aktivis mahasiswa, andik matulessy.pdf

Upload: fifil-rizki-swetry-ii

Post on 09-Mar-2016

55 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

  • pENDaHULUaN

    1. Latar Belakang permasalahanGerakan mahasiswa setelah

    tahun 1998 seakan terlupakan dan hanya dianggap riak kecil yang tidak terlalu diperhitungkan dalam kancah perpolitikan nasional. Gerakan mahasiswa menjadi sulit melakukan aktivitas demonstrasi, karena pada masa-masa tersebut telah ditetapkan Undang Undang no. 9 tahun 1998 tentang penyampaian pendapat di muka umum, temasuk tata tertib untuk melakukan kegiatan pengumpulan massa atau demonstrasi.

    Ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk tampil kembali

    MODEL KaUsaL partIsIpasI pOLItIK aKtIvIs GEraKaN MaHasIsWa

    andik Matulessyfak. psikologi Universitas 17 agustus 1945 surabaya

    abstrakPenelitian ini hendak merumuskan sebuah model yang dapat digunakan untuk menjelaskan partisimasi politik aktivis gerakan mahasiswa. Data yang digunakan bersumber dari: (a) subjek penelitian yang berstatus sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi dan merupakan aktivis dari suatu kelompok gerakan mahasiswa, berusia antara 19 s/d 26 tahun; (b) informan; (c) dokumen tertulis; dan (4) dokumen tidak Tertulis. Data dianalisis menggunakan Analisis Model Persamaan Struktural (PLS). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa secara langsung tidak ada keterkaitan antara variabel deprivasi relatif egoistik, deprivasi relatif kolektif, kepercayaan politik, dan efikasi politik eksternal, dengan variabel partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa. Variabel yang secara langsung memiliki keterkaitan dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa adalah efikasi politik eksternal. Partisipasi mahasiswa dalam organ gerakan mahasiswa ditentukan oleh deprivasi relatif egoistik dan deprivasi relatif kolektif yang diantarai oleh variabel efikasi politik internal. Hal tersebut berarti perasaan kekurangan atau ketidakpuasan secara individual dan kolektif, merasa diri dan kelompoknya tidak mendapatkan keadilan dan selalu mendapatkan perlakuan yang diskriminatif akan mengarahkan pada munculnya pandangan

    adanya rasa berperan dalam mewarnai kehidupan politik.

    dalam kekuatan yang besar membuat bargaining power mereka menurun. Mereka semakin sulit mendapatkan tempat untuk mengeluarkan ide/gagasan guna mencapai perubahan yang diinginkan. Hal itu terjadi karena nuansa protes lebih mengarah pada ruang gerak atau tema yang relatif sempit. Selain itu isu yang dibawa oleh gerakan mahasiswa cenderung parsial dan bernuansakan kepentingan kelompok tertentu (primordial), atau kepentingan afiliasi partai politik tertentu, sehingga kurang memunculkan gaung solidaritas dari kelompok gerakan mahasiswa yang lain. Apalagi aparat penegak hukum semakin berani bertindak represif terhadap mahasiswa

  • yang melakukan demonstrasi, sehingga banyak aktivis gerakan mahasiswa yang ditangkap saat menyuarakan protes. Kondisi seperti inilah seharusnya dapat menumpulkan keinginan sebagian aktivis gerakan mahasiswa untuk melakukan aksi protes ke jalan.

    Namun demikian pada kenyataannya masih banyak berbagai aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa. Berdasarkan berbagai data selama bulan Nopember 2001Maret 2002 (Suharsih & Mahendra, 2007), jumlah aksi demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa sekitar 54 aksi yang melibatkan tidak kurang dari 23.347 mahasiswa dan pelajar. Dari 54 aksi demonstrasi, 52 di antaranya merupakan aksi yang bernuansakan politik, yakni tuntutan yang diperjuangkan untuk kepentingan rakyat banyak. Hal ini belum ditambah dengan banyaknya aksi protes yang dilakukan oleh organisasi buruh dan petani.

    Perbedaan situasi dan kondisi di antara negara maju dan sedang berkembang akan memunculkan perbedaan hasil penerapan teori dari Barat saat dilakukan penelitian di Indonesia. Apalagi tipikal gerakan mahasiswa yang kemunculannya sangat tergantung pada situasi kondisi nasional, sehingga akan berpengaruh pada model teoritis yang berbeda tentang keterkaitan berbagai variabel yang mempengaruhi partisipasi dalam gerakan mahasiswa di Indonesia. Penelitian dari Matulessy (2003), Matulessy dan Dwiyogo (2005) menemukan hasil yang berbeda dengan konsep dari Orum tentang partisipasi dalam gerakan sosial pada saat dilakukan penelitian pada gerakan mahasiswa di Indonesia.

    Selain persoalan yang sifatnya teoritis, maka dasar pijakan dalam

    melakukan riset ini adalah adanya fenomena kesenjangan antara harapan dan realitas, yang dijelaskan sebagai berikut :

    Masyarakat memiliki harapan besar pada mahasiswa untuk berperan besar dalam upaya mencapai kemajuan negara, menjadi agents of change, memiliki kesiapan untuk meneruskan estafet kepemimpinan, dituntut memiliki kemampuan untuk menangani berbagai persoalan negara, serta dituntut untuk selalu kritis dan peka terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya (ketidakadilan, kesewenangan). Salah satu cara yang digunakan oleh mahasiswa agar bisa menjalankan perannya tersebut adalah berpartisipasi dalam suatu gerakan sosial.

    Di sisi lain, keinginan untuk mengkritisi berbagai kebijakan untuk menyikapi kesewenangan, ketidakadilan, serta memunculkan perubahan kondisi masyarakat dengan cara berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa ternyata tidak selalu menimbulkan simpati dari sebagian besar masyarakat. Hal tersebut karena banyak kejadian demonstrasi aktivis gerakan mahasiswa lebih mengutamakan tindakan yang destruktif, mengganggu ketertiban, banyak dimuati oleh kepentingan politik dan bisa menimbulkan instabilitas perpolitikan nasional yang berujung pula pada instabilitas ekonomi, sosial dan keamanan. Apalagi banyak fakta yang menunjukkan berbagai kerusuhan yang dipicu oleh adanya demonstrasi dari mahasiswa.

    Ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan masyarakat tentang berbagai kegiatan mahasiswa dalam suatu gerakan inilah yang menyebabkan munculnya keinginan peneliti untuk

  • mengkaji lebih dalam tentang berbagai faktor penyebab dari menjamurnya gerakan mahasiswa yang terjadi di Indonesia. Secara teoritis ada banyak faktor yang mempengaruhi partisipasi para aktivis mahasiswa untuk turut serta dalam gerakan mahasiswa di Indonesia.

    Beberapa ahli mengungkapkan bahwa faktor psikologislah yang mempengaruhi partisipasi mahasiswa dalam sebuah gerakan, misalnya ketidakpuasaan atau deprivasi relatif, baik yang sifatnya individual (egoistic) maupun kolektif. Sementara banyak ahli lain yang mengungkapkan bahwa faktor politik yang mendasari munculnya partisipasi mahasiswa dalam suatu gerakan (efikasi politik dan kepercayaan pada sistem politik). Namun demikian peneliti mencoba untuk mengkaitkan faktor psikologis dan faktor politik untuk menjelaskan munculnya berbagai gerakan mahasiswa.

    Oleh karena itu modifikasi model dilakukan oleh peneliti berdasarkan berbagai teori dan temuan penelitian tentang gerakan mahasiswa dari peneliti dan tokoh atau ahli yang lain.

    Berdasarkan fenomena aktual dan gambaran teoretis di atas, maka permasalahan yang dirumuskan adalah : Apakah ada keterkaitan antara collective relative deprivation (deprivasi relatif kolektif) & egoistic relative deprivation (deperivasi relatif egoistik), political trust (kepercayaan politik), dan partisipasi pada aktivis gerakan mahasiswa di Jawa Timur ?

    TINJAUAN PUSTAKA

    1. Gerakan MahasiswaSalah satu bentuk gerakan sosial

    (social movement) adalah gerakan mahasiswa (student movement), di

    samping berbagai gerakan lain yang dilakukan oleh buruh, kaum gay, feminis, pecinta lingkungan, petani dan sebagainya. Pada dasarnya gerakan sosial mencakup beberapa konsep (Cook et al., 1995), yakni: Berorientasi pada munculnya perubahan (change-oriented goals); ada tingkatan tertentu dalam suatu organisasi (some degree of organization); ada tingkatan kontinuitas aktivitas yang sifatnya temporal (some degree of temporal continuity);Aksi kolektif di luar lembaga (aksi ke jalan) dan di dalam lembaga (lobi politik) (some extrainstitutional and institutional).

    Gerakan mahasiswa atau aksi kolektif mahasiswa termasuk dalam kategori gerakan sosial karena memiliki beberapa ciri khas (Hamka, 2000), antara lain : Gerakan mahasiswa diwadahi oleh organisasi, baik yang bersifat permanen untuk menjangkau kepentingan jangka panjang maupun gerakan temporer (anomic) yang berlangsung dalam jangka pendek; memiliki tujuan yang berbeda sebagai upaya untuk menyesuaikan dengan keanekaragaman organisasi; dilakukan dengan penuh kesadaran dan bukan semata-mata atas dasar ketidakpuasan dan emosi; memiliki ideologi yang bervariasi sesuai bentuk organisasi dan kondisi politik; tidak membentuk lembaga resmi seperti partai politik, namun lebih menekankan aksi-aksi kolektif yang inkonvensional untuk memujudkan tujuan gerakan; di dalam menggelar aksi protes kolektif, gerakan mahasiswa menampilkan isu yang strategis sebagai sarana untuk memobilisasi massa dan mengefektifkan aksi.

    Berdasarkan berbagai definisi dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gerakan mahasiswa adalah

  • perilaku kolektif dari sekumpulan mahasiswa dalam waktu yang relatif lama, terorganisir dan mempunyai tujuan untuk mengadakan perubahan struktur sosial yang dianggap tidak memenuhi harapan, serta memunculkan kehidupan baru yang lebih adil dan berpihak pada rakyat kecil.

    2. partisipasi politik Mahasiswa dalam Gerakan

    Konsep partisipasi banyak dimunculkan dengan berbagai istilah, antara lain : citizen participation (Levi & Litwin serta Wandersman & Florin dalam Duffy & Wong, 2003), yakni keikutsertaan seseorang dalam aktivitas organisasi tanpa dibayar dengan harapan mencapai sebuah tujuan tertentu; enpowerment (Rappaport, Swift & Hess dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu melakukan berbagai pemberdayaan terhadap kelompok masyarakat yang membutuhkan atau mengalami masalah sosial; grass-roots activism (Alinsky dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu memunculkan issue tertentu dan menekan adanya perubahan sosial dan memilih bekerja dengan cara bottom-up daripada top-down ; self-help (Christensen&Robinson dalam Duffy & Wong, 2003), yakni individu dengan isu tertentu datang bersama untuk membantu dan memberi dukungan emosional pada individu yang lain.

    Partisipasi dalam gerakan sosial banyak bersangkut paut dengan sistem politik. Sebagaimana ungkapan Suharsih dan Mahendra (2007) bahwa gerakan mahasiswa bisa menjadi bagian dari gerakan sosial ataupun berkembang menjadi gerakan politik.

    3. Relative DeprivationIstilah relative deprivation awal

    mulanya dimunculkan oleh penulis The American Soldier, Samuel A. Stouffer (Runciman,1966) saat melakukan studi psikologi pada skala besar pada serdadu Amerika yang bertugas di Perang Dunia ke dua. Ted Robert Gurr (Sihombing, 2005) memaknai relative deprivation sebagai perasaan kesenjangan antara nilai harapan (value of expentations) dengan kapabilitas nilai (value capabilities). Individu yang menaikkan nilai harapan tanpa meningkatkan nilai kapabilitas secara proporsional dan sebanding,maka akan menimbulkan kekecewaan atau ketidakpuasan.

    Selanjutnya Crosby (Grant & Brown, 1995) membagi relative deprivation menjadi dua jenis sebagai berikut : egoistic relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan interpersonal dan menyebabkan stress atau usaha seseorang untuk mendapatkan perbaikan; collective relative deprivation, yakni hasil dari perbandingan antar kelompok dan mendorong terjadinya protes sosial.

    4. Political EfficacyPolitical efficacy didefinisikan

    kemampuan individu untuk berperan atau mempengaruhi komponen-komponen sistem politik tersebut. Campbell, Gurin dan Miller (Morrell, 2003) mendefinisikan political efficacy sebagai perasaan bahwa aksi politik harus dilakukan sebagai dampak dari proses politik, sebagai bentuk tugas dari warga negara. Secara sederhana political efficacy adalah persepsi powerfullness atau powerlessness warga negara dalam realitas politik. Hal ini ditegaskan lebih dalam oleh Zimmerman (dalam Angelique et al., 2002) bahwa political efficacy merupakan penangkal terjadinya

  • alienasi dan dipahami sebagai bentuk political powerfullness.

    Michael E Morrell (2003) mengungkapkan bahwa political efficacy mencakup dua komponen, yakni : internal political efficacy, yakni adanya keyakinan kompetensi seseorang untuk memahami dan berpartisipasi efektif dalam politik; external political efficacy, yakni adanya keyakinan tentang tanggung jawab pemimpin dan institusi negara pada kebutuhan warga negara.

    5. Political TrustTrust adalah tingkat kepercayaan

    yang dimiliki seseorang terhadap orang lain yang akan secara konsisten merespon kebutuhan dan keinginannya (Miller & Rempel, 2004). Political trust dapat diartikan sebagai kepercayaan individu terhadap komponen-komponen sistem politik yang berlaku saat ini. Kim et al. (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005) menyatakan bahwa kepercayaan politik terkait dengan pandangan individu tentang berbagai hal yang dihasilkan oleh sebuah sistem seperti politisi, sistem politik dan institusi.

    6. Dasar teoria. Hubungan antara Relative Depri-

    vation dengan partisipasi dalam Gerakan sosial

    Relative deprivation juga berkaitan erat secara langsung dengan partisipasi dalam gerakan sosial. Seperti pendapat Feuer (1969) dan Lofland & Stark (1965) yang menemukan hubungan yang erat antara tipe kebutuhan atau permasalahan individu dengan tipe gerakan. Penelitian Ladd & Pettigrew (dalam DiRenzo, 1990) menemukan bahwa adanya gerakan kebebasan warga kulit hitam diakibatkan oleh adanya relative deprivation pada warga

    kulit hitam kelas menengah. Kajian lain dari Begley & Alker serta Guimond & Dube-Simard (dalam Michener & Delamater, 1999), menemukan perasaan deprivasi dari anggota suatu kelompok terhadap anggota kelompok yang lain akan mengarahkan pada aksi protes kolektif.

    b. Hubungan antara Relative depri-vation dengan Political Efficacy

    Relative deprivation juga berkaitan erat secara langsung dengan internal political efficacy dan external political efficacy. Adanya perasaan kekurangan, baik secara personal (egoistik) maupun fraternal (kolektif) akan mengarahkan pada pandangan bahwa dirinya secara pribadi merasa kurang mampu berperan dalam perpolitikan nasional atau dalam pengambilan keputusan publik yang terkait dengan dirinya (internal political efficacy). Selain itu perasaan kekurangan tersebut akan mengarahkan pada pandangan bahwa pejabat publik atau pemerintahan kurang kompeten untuk menyelesaikan persoalan negara (external political efficacy).

    c. Hubungan antara Relative depri-vation dengan Political Trust

    Robinson et al. (dalam Muluk dan Reksodiputro, 2005) mengaitkan relative deprivation dengan political trust, yakni bila terdapat kesenjangan antara harapan yang ada di masyarakat dengan kenyataan yang ada (relative deprivation) maka kepercayaan politik akan rendah dan akan berpengaruh pada efektivitas, kontinuitas dan moralitas sistem sosial. Lebih lanjut Citrin (dalam Chan, 1997) menyimpulkan bahwa political trust memiliki efek yang penting munculnya partisipasi politik masyarakat untuk lebih memperhatikan

  • berita tentang kampanye. Orum (dalam Allen et al., 1980)

    mengemukakan adanya hubungan yang erat antara ketidakpuasan subjektif (relative deprivation) dengan kepercayaan individu terhadap sistem politik yang ada, dimana semakin tinggi ketidakpuasan subjektif (relative deprivation) akan menurunkan kepercayaan terhadap sistem politik yang ada.

    d. Hubungan antara Political Trust dengan partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa

    Milbrath & Coel, serta Conway (dalam Mangum, 2003) mengatakan bahwa seseorang yang percaya terhadap negara memiliki keyakinan bahwa Negara akan bekerja untuk meningkatkan kehidupan warga negaranya, sedangkan warga negara yang memiliki political trust yang rendah mengganggap bahwa negara hanya responsif terhadap beberapa orang atau ketertarikan tertentu seperti korupsi, yang memberi pelayanan khusus. Guterbock & London (Mangum, 2003) menemukan bahwa orang kulit hitam berpartisipasi lebih aktif dalam protes politik apabila menunjukkan tingkat kepercayaan yang rendah terhadap negara. Selanjutnya James M Jasper (Goodwin & Jasper, 2003) menggeneralisasikan bahwa kepercayaan pada sistem politik akan mempengaruhi perilaku politik, terutama mengurangi keinginan untuk protes.

    e. Hubungan antara Political Efficacy dengan Political Trust

    Hasil penelitian dari Pinkleton dkk (1998) pada pemilih di Washington menemukan bahwa political efficacy berkaitan erat dengan cynism

    (kurangnya kepercayaan terhadap sistem politik atau political distrust ). Selanjutnya Austin dan Pinkleton (Pinkleton dkk, 1998) menyatakan bahwa cynism memiliki korelasi negatif dengan efficacy, artinya warga negara yang sinis (cynical citizen) cenderung tidak percaya dengan institusi pemerintah karena merasa tidak mampu mempengaruhi kerja pemerintahan. Hal tersebut berarti seseorang yang tidak merasa menjadi bagian atau merasa kurang berperan pada pengambilan keputusan suatu kebijakan publik (political efficacy yang rendah), maka akan mengarahkan pada munculnya ketidakpercayaan pada sistem politik.

    f. Hubungan antara Political Efficacy dengan partisipasi dalam Gerakan sosial

    Penelitian Pinkleton dkk (1998) menemukan keterkaitan atau korelasi positif antara political efficacy dengan partisipasi politik, terutama perilaku memilih. Selanjutnya menurut Michelson (2000) tingkatan political efficacy berkaitan dengan partisipasi politik, terutama keikutsertaan dalam Pemilu.

    Menurut Orum (dalam Allen, et al., 1980), individu yang mempunyai perasaan mampu untuk mempengaruhi sistem politik yang ada, akan mengarahkan pada keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan sosial. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Morrell (2003), yang menemukan bahwa internal political efficacy berkorelasi sangat kuat dengan psychological involvement, berkorelasi sedang dengan partisipasi politik dan tingkat pendidikan seseorang. Sedangkan studi kualitatif dan kuantitatif dari Stewart dan Weinstein (1997) menemukan bahwa

  • external political efficacy berkaitan erat dengan partisipasi seseorang dalam organisasi HIV/ AIDS. Wittig (dalam Angelique et al., 2002) menyatakan bahwa political efficacy merupakan prediktor dari aktivis dalam gerakan politik.

    Berdasarkan berbagai teori yang telah dikemukakan di atas, maka akan digambarkan keterkaitan antar keseluruhan variabel tersebut di atas dalam model partisipasi dalam gerakan mahasiswa,seperti di bawah ini :

    Keterangan:X1 = Egoistic Relative DeprivationX2 = Collective Relative DeprivationY1 = Political TrustY21 = Internal Political EfficacyY22 = External Political EfficacyZ = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa

    7. HipotesisBerdasarkan kajian teoritis di atas

    dimunculkan hipotesis pada penelitian ini sebagai berikut: Egoistic relative deprivation dan Collective relative

    Gambar 1.Model Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa

    deprivation, internal political efficacy, external political efficacy, serta political trust terkait dengan tingkat partisipasi dalam gerakan mahasiswa.

    MEtODE pENELItIaN

    Pada penelitian ini utamanya digunakan metode penelitian kuantitatif, namun demikian penggunaan metode penelitian kualitatif tetap digunakan untuk menambah ketajaman dari analisis hasil penelitian. Analisis kuantitatif data penelitian menggunakan metode Partial Least Square (PLS) dan

  • Analisis Varians. Pengujian statistik dengan menggunakan metode Partial Least Square (PLS) adalah salah satu metode Structural Equation Modelling (SEM). Menurut Wold (Wiyono dkk, 2008). Tehnik PLS ini banyak digunakan untuk analisis kausal-prediktif yang rumit dan teori yang mendukungnya kurang. Sementara itu pendekatan kualitatif mendeskripsikan berbagai data penelitian berupa informasi dari informan, written document dan unwritten document.

    1. Identifikasi Variabel penelitian variabel Endogen:a. Partisipasi dalam Gerakan

    Mahasiswa (sebagai variabel terikat dengan variabel bebas Egoistic Relative Deprivation, Collective Relative Deprivation, Internal Political Efficacy, External Political Efficacy dan Political Trust)

    b. Political Trust (sebagai variabel bebas dengan variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa; sebagai variabel terikat dengan variabel bebas / Egoistic Relative Deprivation, Collective Relative Deprivation Internal Political Efficacy,dan External Political Efficacy).

    c. Internal Political Efficacy (sebagai variabel bebas dengan variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa dan Political Trust ; sebagai variabel terikat dengan variabel bebas / Egoistic Relative Deprivation dan Collective Relative Deprivation).

    d. External Political Efficacy (sebagai variabel bebas dengan variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa dan Political Trust; sebagai variabel terikat dengan variabel bebas Egoistic Relative Deprivation dan Collective Relative

    Deprivation).

    variabel Eksogen : e. Egoistic Relative Deprivation

    (sebagai variabel bebas dengan variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa, Egoistic Relative Deprivation, Collective Relative Deprivation, Internal Political Efficacy, External Political Efficacy dan Political Trust).

    f. Collective Relative Deprivation(sebagai variabel bebas dengan variabel terikat Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa, Egoistic Relative Deprivation, Collective Relative Deprivation, Internal Political Efficacy, External Political Efficacy dan Political Trust)

    2. Definisi Operasional dan pengukuran variabel penelitiana. partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa

    Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa merupakan keikutsertaan mahasiswa dalam organisasi gerakan mahasiswa untuk melakukan aktivitas politik dalam bentuk demonstrasi / unjuk rasa / aksi protes, yang diungkap dengan skala partisipasi gerakan mahasiswa. Skala ini dikembangkan berdasarkan konsep dari Aie-Rie Lee (1997), Muller (1972). Skala partisipasi dalam gerakan mahasiswa mencakup:Berpartisipasi dalam demonstrasi mahasiswa; Mengikuti kelompok studi yang mempelajari tentang ideologi revolusioner; Berdemonstrasi dengan cara teatrikal; Bergabung dalam kelompok studi yang senang berdiskusi semalaman; Berpartisipasi dalam aksi solidaritas mahasiswa untuk buruh; Berpartisipasi dalam demonstrasi di dalam kampus; Berpartisipasi dalam demonstrasi di kampus lain; Berdiskusi

  • dan konsolidasi gerakan di kampus.

    b. Political Trust : Political trust adalah kepercayaan

    mahasiswa terhadap sistem politik mencakup lembaga politik, organisasi kemasyarakatan dan birokrasi politik di Indonesia yang diungkap dengan skala kepercayaan politik. Skala political trust, yang mencakup enam indikator, yakni : kepercayaan terhadap lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif, partai politik, organisasi kemasyarakatan, serta sistem birokrasi.

    c. Internal Political Efficacy : Efikasi politik internal adalah

    adanya keyakinan bahwa seseorang kompeten untuk memahami dan berpartisipasi efektif dalam politik yang diungkap dengan skala efikasi politik internal. Skala Internal Political efficacy dikembangkan berdasarkan konsep Michael E. Morrell (2003). Internal political efficacy mencakup indikator sebagai berikut: kualifikasi atau kemampuan diri seseorang untuk berpartisipasi dalam politik (selfqual),memahami isu-isu aktual perpolitikan (understand), perasaan bisa bekerja dengan baik di instansi publik seperti orang lain (puboff), dan kemampuan memberikan informasi tentang politik (informed).

    d. External Political Efficacy : Efikasi politik eksternal merupakan

    keyakinan mahasiswa tentang adanya tanggung jawab pemimpin dan institusi negara pada kebutuhan warga negara, yang diungkap dengan skala efikasi politik eksternal. Skala External Political efficacy dikembangkan berdasarkan konsep Michael E. Morrell (2003). External political efficacy mencakup

    keyakinan akan kemampuan pejabat publik atau pemerintahan untuk : memahami permasalahan kompleks dari perpolitikan dan negara (complex), berbicara tentang persoalan yang terjadi di negara (nosay), dan perhatian aparat negara terhadap warga negara (nocare).

    e. Egoistic Relative Deprivation: Egoistic relative deprivation

    merupakan perasaan kekurangan atau ketidakpuasan seseorang hasil dari perbandingan interpersonal yang menyebabkan stres, sehingga memunculkan usaha untuk menda-patkan perbaikan, yang diungkap dengan skala deprivasi relatif egoistik. Pengembangan skala deprivasi relatif berdasarkan pandangan Hoffer (1993), mencakup tujuh indikator, antara lain : tidak mampu secara materi (berkaitan dengan kemiskinan), ketidakmampuan memuaskan keinginan untuk mengerjakan sesuatu, tersingkir dari kekuasaan, ada perasaan minoritas, mempunyai ambisi namun mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas, perasaan bosan akan kemandekan, serta merasa diperlakukan tidak adil.

    f. Collective Relative Deprivation: Collective relative deprivation

    adalah perasaan kekurangan atau ketidakpuasan seseorang hasil dari perbandingan antara kelompoknya dengan kelompok lain yang menyebabkan stres, sehingga memunculkan usaha untuk mendapatkan perbaikan, yang diungkap dengan skala deprivasi relatif kolektif. Pengembangan skala deprivasi relatif berdasarkan pandangan Hoffer (1993), bahwa deprivasi relatif kolektif

  • 0

    mencakup tujuh indikator, yakni: merasa kelompoknya tidak mampu secara materi; kelompoknya tidak mampu memuaskan keinginannya untuk mengerjakan sesuatu; tersingkir dari kekuasaan; perasaan sebagai kelompok minoritas ; kelompok berambisi tapi mengalami rintangan yang besar atau kesempatan yang terbatas; kelompoknya bosan akan kemandekan; kelompoknya merasa diperlakukan tidak adil.

    3. sumber Data dan Lokasi penelitian

    Sumber data penelitian mencakup empat hal, yakni :

    a. Subjek Penelitian pada penelitian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Subjek berstatus sebagai mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri dan Perguruan Tinggi Swasta, atau Akademi dan Sekolah Tinggi; aktivis dari suatu kelompok gerakan mahasiswa, yakni seseorang yang menjadi anggota suatu gerakan mahasiswa dan mengikuti berbagai aktivitas dari organisasi gerakan mahasiswa tersebut; berusia antara 19 s/d 26 tahun, yakni usia produktif seseorang untuk menjadi aktivis suatu gerakan mahasiswa. b. Informan Penggalian data lewat informan atau orang yang dianggap memiliki pengetahuan yang akurat tentang gerakan mahasiswa. Informasi yang yang ingin digali adalah bentuk organisasi dan aktivitas dari para aktivis gerakan mahasiswa. c. Written Document (Dokumen Tertulis)Dokumen tertulis mencakup

    berbagai produk dari organ gerakan mahasiswa dalam bentuk pamflet, modul pelatihan, tulisan-tulisan tentang suatu isu nasional yang dianggap problem masyarakat, serta SMS (pesan singkat) yang diberikan para aktivis kepada peneliti. d. Unwritten Document (Dokumen Tidak Tertulis)Dokumen tidak tertulis didapatkan dari observasi kepada para aktivis organ gerakan mahasiswa, mencakup performans, simbol, atribut yang digunakan dalam aksi mahasiswa, perilaku keseharian, serta cara-cara yang mereka lakukan dalam demonstrasi. Sementara itu lokasi subjek penelitian di Jawa Timur, terutama Surabaya dan Jember, karena di dua daerah tersebut banyak terjadi aktivitas gerakan protes mahasiswa.

    4. analisis Dataa. analisis Model persamaan struktural (pLs)i). Berdasarkan tujuan penelitian yang

    dirumuskan di awal, maka analisis data dilakukan dengan menggunakan model persamaan struktural Partial Least Square (PLS). Berdasarkan analisis dengan menggunakan PLS didapatkan hasil :

    ii). Validitas didapatkan dari output Smart PLS berupa nilai AVE (Average Variance Extracted). Hasil perhitungan menunjukkan bahwa sebagian besar variabel tidak valid, karena nilai AVE di bawah 0.500 (Ghozali, 2005).

    iii). Reliabilitas konstruk dinilai dari composite reliability atau nilai korelasi antar konstruk. Hasil perhitungan menunjukkan nilai di atas 0.800.

  • iv). Modifikasi model dilakukan dengan mempertimbangkan discriminant validity dan composite reliability dengan cara menghilangkan beberapa manifest variable atau indikator, karena skornya di bawah 0.500. Berdasarkan hasil analisis di atas terlihat bahwa nilai composite reliability di atas 0.80, kecuali pada variabel external political efficacy (0.736) dan nilai average variance extracted (AVE) di atas 0.500, kecuali pada variabel external political efficacy (0.492).

    HasIL pENELItIaN DaN pEMBaHasaN

    1. Hasil Uji Model dengan menggunakan analisis pLs untuk pengujian Hipotesis

    Hasil uji hipotesis dengan menggunakan PLS mendapatkan model sebagai berikut yang memenuhi persyaratan model yang fit setelah melakukan modifikasi. Hasil secara lengkap dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

    Keterangan:X1 = Egoistic Relative DeprivationX2 = Collective Relative DeprivationY1 = Political TrustY21 = Internal Political EfficacyY22 = External Political EfficacyZ = Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa

    Berdasarkan tabel tersebut di atas maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Collective Relative Deprivation berkorelasi negatif dengan political trust (p=0.000); Internal Political Efficacy berkorelasi negatif dengan political trust (p=0.011); Egoistic Relative Deprivation

  • berkorelasi negatif dengan Internal Political Efficacy (p=0.006); Collective Relative Deprivation berkorelasi negatif dengan Internal Political Efficacy (p=0.037); Egoistic Relative Deprivation berkorelasi positif dengan External Political Efficacy (p=0.001); Collective Relative Deprivation berkorelasi positif dengan External Political Efficacy (p= 0.000); Internal Political Efficacy berkorelasi positif dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa (p=0.000); Egoistic Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Political Trust; External Political Efficacy tidak berkaitan dengan Political Trust; Egoistic Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa; Collective Relative Deprivation tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa; Political Trust tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa; External Political Efficacy tidak berkaitan dengan Partisipasi dalam Gerakan Mahasiswa.

    2. pembahasanBerdasarkan hasil analisis

    dengan menggunakan PLS didapatkan suatu model baru tentang gerakan mahasiswa di Indonesia. Ada beberapa hal yang sesuai dengan teori yang sudah dibangun sebelumnya, namun demikian sebagian besar temuan penelitian menunjukkan hasil yang berbeda sama sekali dengan model teori yang disusun peneliti.

    a. Keterkaitan antara deprivasi relatif (egositik dan kolektif) dengan kepercayaan politik Hasil penelitian ini sesuai dengan

    pandangan Orum (dalam Allen et al., 1980) bahwa adanya hubungan yang erat antara ketidakpuasan

    subjektif (deprivasi relatif) dengan kepercayaan individu terhadap sistem politik yang ada. Hal tersebut karena individu semakin merasa bahwa kelompoknya merasa kekurangan akan mempersepsikan bahwa sistem politiklah yang bertanggung jawab. Akhirnya muncul ketidakpercayaan terhadap sistem politik yang dianggap menimbulkan ketidakpuasan tersebut.

    Namun demikian deprivasi relatif egoistik atau individual tidak berkaitan dengan rasa percaya atau tidak percaya pada sistem politik yang ada. Jadi kepercayaan pada sistem politik lebih ditentukan oleh kepuasan secara kolektif daripada individual. Hal ini menunjukkan bahwa pada negara yang memiliki karakteristik budaya kolektif, maka ketidakpuasan juga banyak ditentukan oleh pandangan seseorang yang sifatnya kolektif (tertuju pada kelompoknya) dibandingkan pandangan ketidakpuasan secara individual. Hal tersebut karena keikatan pada kelompok menjadi sesuatu yang dipentingkan daripada kepentingan secara individual. Semakin intens individu berada dalam kelompok, maka semakin meningkatkan kohesivitas kelompok, yang tentunya hal ini akan menurunkan kesadaran sebagai individu yang berganti dengan kesadaran sebagai kelompok gerakan mahasiswa.

    b. Keterkaitan antara deprivasi relatif (egositik dan kolektif) dengan efikasi politik internalBerdasarkan hasil analisis data

    diketemukan bahwa aktivis gerakan mahasiswa yang semakin merasakan ketidakpuasan atau kekurangan, baik secara pribadi maupun kolektif, maka semakin merasa tidak yakin bisa berpartisipasi di bidang politik. Mereka

  • merasa kurang memiliki rasa percaya diri akan kemampuan dirinya dan merasa bahwa dirinya tidak berharga dalam kehidupan perpolitikan nasional. Kondisi tersebut lama kelamaan akan menurunkan perasaan untuk mampu berperan penting dalam kehidupan sosial politik. Selain itu adanya perasaan kekurangan dan ketidakpuasan akan diskriminasi yang dilakukan terhadap kelompoknya akan mengarahkan pada perasaan bahwa dirinya tidak mampu berperan dalam perpolitikan nasional. Jadi perasaan kekurangan atau deprivasi relatif seseorang, baik secara egoistik maupun kolektif akan mengarahkan pada perasaan kurang mampu berperan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik.

    c. Keterkaitan antara deprivasi relatif egoistik dan deprivasi relatif kolektif dengan efikasi politik eksternal Hasil penelitian menunjukkan

    bahwa seseorang yang semakin mengalami ketidakpuasan secara individual, maka semakin memiliki pandangan positif bahwa para pejabat publik dan pemerintah memiliki tanggung jawab terhadap kebutuhan warga negara, termasuk aktivis gerakan mahasiswa. Sebaliknya aktivis gerakan mahasiswa yang semakin merasa puas bahwa keinginannya sebagian besar tercapai, maka akan memiliki pandangan negatif pada pejabat publik dan pemerintah.

    Selain itu ada keterkaitan atau korelasi negatif antara deprivasi relatif kolektif dengan efikasi politik eksternal. Hal tersebut berarti seseorang yang merasa diri dan kelompoknya mengalami ketidakpuasan atau halangan dalam mendapatkan sesuatu, maka akan mengarahkan pandangan negatif

    akan pemerintah dan para pejabat publik. Jadi deprivasi kolektif akan mengarah pada solidaritas kelompok untuk menganggap bahwa pemerintah kurang memiliki kompetensi untuk menyelesaikan berbagai persoalan negara. Selain itu ketidakpuasan secara kolektif akan memunculkan pandangan bahwa para pejabat publik tidak mampu mengemban tugas-tugas yang dibebankan oleh rakyat kepada mereka.

    d. Keterkaitan antara deprivasi relatif egoistik dan kolektif dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa Hasil ini berarti bertentangan

    dengan kajian teori dan berbagai studi yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya, antara lain Gurr, Runciman, Walker & Pettigrew (Grant & Brown,1995) yang menemukan bahwa faktor psikologis yang memotivasi seseorang untuk melakukan protes secara kolektif adalah deprivasi relatif.

    Namun demikian konsep teoritis di atas tidaklah terbukti dari perhitungan uji model yang dilakukan. Hal tersebut berarti ketidakpuasan secara individual maupun kolektif tidaklah menjadi jawaban dari munculnya partisipasi mahasiswa untuk secara aktif melakukan protes pada kebijakan pemerintah yang dianggap menimbulkan ketidakpuasan. Goodwin dan Jasper (2003) bahwa gerakan sosial model baru sangat berbeda dengan paradigma lama dari suatu gerakan sosial. Gerakan sosial dengan paradigma baru cenderung tidak lagi berbicara dalam tataran perbedaan atau kesenjangan kelas atau ketidakpuasan, namun lebih mendasarkan pada kesetaraan kepentingan, terutama kepentingan akan perubahan atau konflik politik.

  • Selain itu mahasiswa menjalankan aktivitas dalam sebuah gerakan apabila didorong oleh ideologi tertentu akan semakin menguatkan dasar-dasar dalam menjalankan aktivitasnya. Jadi bukan perasaan kekuarangan atau deprivasi relatif yang mewarnai mereka, namun juga ideologi gerakan menjadi suatu kekuatan besar dalam menjalankan aktivitasnya.

    e. Keterkaitan antara keper-cayaan pada sistem politik dengan partisipasi mahasiswa dalam organ gerakan mahasiswa Tidak terbuktinya keterkaitan

    secara langsung antara kepercayaan pada sistem politik dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa ini bertentangan dengan pandangan Milbrath & Coel serta Conway (dalam Mangum, 2003), Guterbock & London (Mangum, 2003), serta James M Jasper (Goodwin & Jasper, 2003) yang mengkaitkan antara kepercayaan pada sistem politik dengan kecenderungan berpartisipasi dalam gerakan sosial. Hal ini bisa dijelaskan bahwa aktivitas atau partisipasi dalam gerakan mahasiswa yang dilakukan oleh para aktivis tidak sepenuhnya terkait dengan ketidakpercayaan pada sistem politik secara keseluruhan, namun hanya pada sub sistem politik tertentu. Misalnya masih ada kepercayaan pada beberapa pilar politik, seperti organisasi keagamaan dan pemuda. Namur demikian pada pilar politik yang lain, utamanya birokrasi pemerintahan, legislatif, yudikatif dan partai politik, masih kurang adanya kepercayaan dari para responden aktivis gerakan mahasiswa.

    f. Keterkaitan antara efikasi politik internal dan eksternal dengan kepercayaan pada sistem politik Hasil tersebut berarti semakin

    seseorang merasa mampu mempengaruhi perpolitikan nasional, maka semakin menurun rasa percaya pada perpolitikan nasional. Sebaliknya semakin merasa kurang berperan dalam perpolitikan nasional, maka akan semakin meningkatkan rasa percaya pada sistem politik yang ada.

    Hal tersebut secara logis memang sulit untuk diterima, namun demikian apabila mengkaji karakteristik gerakan mahasiswa yang tidak pernah berhenti, selalu muncul pada setiap era kepemimpinan walaupun dengan berbagai bentuk, mulai dari yang sifatnya kooperatif maupun yang bercirikan kekerasan, serta tidak akan pernah berkurang semangatnya untuk selalu menyuarakan ketidakadilan.

    Namun demikian keyakinan mahasiswa tentang adanya tanggung jawab pemimpin dan institusi negara pada kebutuhan warga negara atau efikasi politik eksternal tidak berkaitan dengan rasa percaya pada sistem politik. Efikasi politik eksternal yang tinggi tersebut ternyata tidak terkait dengan tinggi rendahnya kepercayaan pada sistem politik yang ada.

    Jadi kepercayaan pada sistem politik lebih banyak ditentukan oleh adanya rasa berperan pada perpolitikan yang sifatnya internal (individual), bukan pada pandangan pada kemampuan pejabat publik untuk menyelesaikan berbagai persoalan di negara (efikasi politik eksternal).

  • g. Keterkaitan antara efikasi politik internal dan eksternal dengan partisipasi dalam gerakan mahasiswa Hal tersebut berarti seorang aktivis

    gerakan mahasiswa yang semakin merasa yakin mampu berperan atau berpartisipasi aktif dalam perpolitikan nasional, maka semakin besar keinginan untuk berpartisipasi aktif dalam organ gerakan mahasiswa.

    Aktivis mahasiswa dalam suatu organ gerakan mahasiswa tidak berhenti untuk berpartisipasi dalam suatu organ gerakan mahasiswa, walaupun mereka sudah merasa mendapatkan peran yang penting dalam kehidupan perpolitikan nasional (diakui keberadaannya, diberi kebebasan untuk menuangkan ekspresinya). Hasil ini juga sesuai dengan sifat gerakan mahasiswa yang cenderung memunculkan kontinuitas yang sifatnya temporal, artinya aktivitas gerakan mahasiswa akan selalu eksis pada situasi dan kondisi tertentu yang memerlukan perubahan di masyarakat. Kemudian akan berhenti pada saat tertentu namun akan kembali lagi beraktivitas dalam suatu organ gerakan mahasiswa pada situasi yang lain.

    Jadi perasaan bahwa dirinya mampu berperan untuk melakukan berbagai perubahan di dalam perpolitikan nasional (efikasi politik internal) ternyata lebih penting untuk menurunkan atau meningkatkan keinginan untuk berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa dibandingkan pandangan bahwa pejabat publik mampu berperan sesuai dengan tugas dan kewajiban (kompetensi) untuk menyelesaikan berbagai persoalan negara (efikasi politik eksternal).

    KEsIMpULaN DaN saraN

    1. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis

    statistik dengan menggunakan Partial Least Square didapatkan hasil sebagai berikut :1. Secara langsung tidak ada keter-

    kaitan antara variabel deprivasi relatif egoistik, deprivasi relatif kolektif, kepercayaan politik, dan efikasi politik eksternal, dengan variabel partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa.

    2. Variabel yang secara langsung me-miliki keterkaitan dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa adalah efikasi politik eksternal.

    3. Partisipasi mahasiswa dalam organ gerakan mahasiswa ditentukan oleh deprivasi relatif egoistik dan deprivasi relatif kolektif yang diantarai oleh variabel efikasi politik internal. Hal tersebut berarti perasaan kekurangan atau ketidakpuasan secara individual dan kolektif, merasa diri dan kelompoknya tidak mendapatkan keadilan dan selalu mendapatkan perlakuan yang diskriminatif akan mengarahkan pada munculnya pandangan adanya rasa berperan dalam mewarnai kehidupan politik.

    Sebaliknya semakin puas seseorang akan diri dan kelompoknya yang tidak dianggap minoritas dan tidak lagi mendapatkan tekanan akan mengarahkan pandangan bahwa dirinya merasa berperan dalam pengambilan keputusan politik atau merasa dirinya mendapatkan peran dalam percaturan perpolitikan nasional. Perasaan berperan tersebut akan mengarahkan para aktivis mahasiswa untuk berpartisipasi dalam organ gerakan mahasiswa, baik dalam tataran

  • aktif berdiskusi antar aktivis sampai dengan melakukan demosntrasi turun ke jalan. Hal tersebut berarti rasa berperan dalam perpolitikan nasional tidak menyurutkan para aktivis untuk meningkatkan tekanan politik pada pemerintahan.

    Keterkaitan antar variabel deprivasi relatif egoistik dan kolektif, efikasi politik internal dengan partisipasi dalam kegiatan gerakan mahasiswa digambarkan sebagai berikut :

    Keterkaitan kedua variabel tsb dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

    Egoistic Relative Deprivation Collective Relative Deprivation

    Internal Political Efficacy

    Partisipasi dlm Gerakan Mhs Hubungan antara Egoistic Relative Deprivation Collective, Relative Deprivation dan Political Efficacy dengan Partisipasi dalam Gerakan

    Mahasiswa

    2. saranBerdasarkan kesimpulan di atas

    bisa diberikan saran sebagai berikut :1. Kepada MahasiswaAdanya keinginan yang terus

    menerus untuk aktif berperan di percaturan perpolitikan nasional dalam sebuah gerakan mahasiswa merupakan bentuk dari keinginan untuk menyalurkan segala perlakuan negatif yang didapatkan mereka, baik secara individual maupun kolektif (organ gerakan mahasiswa), dalam bentuk ketidakadilan, diskriminasi, perasaan minoritas, tidak mendapatkan peluang untuk menyalurkan berbagai problem secara individual dan kolektif. Perasaan tidak puas tersebut akan mengarahkan pada keinginan untuk mendapatkan peran yang penting dalam pengambilan

    kebijakan pemerintah. Rasa berperan inilah yang akan mengarahkan keaktifan dalam berbagai kegiatan di dalam gerakan mahasiswa. Oleh karena itu pada mahasiswa diharapkan mengarahkan aktifitas dalam gerakan mahasiswa pada keinginan untuk mendapatkan peran penting dalam pengambilan kebijakan pemerintah.

    2. Kepada PemerintahHasil penelitian menunjukkan

    bahwa variabel penting untuk meningkatkan dan menurunkan keinginan mahasiswa untuk berpartisipasi dalam kegiatan gerakan mahasiswa adalah rasa berperan untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan pemerintah. Pada saat mahasiswa tidak diberikan peran penting dalam

  • percaturan perpolitikan nasional, maka akan menurunkan keinginan untuk berpartisipasi dalam organ gerakan mahasiswa. Namun demikian tidak memberi ruang gerak pada mahasiswa untuk memberikan peran penting dalam pembuatan kebijakan publik akan terkait dengan tidak tercapainya kepuasan mereka secara individual maupun kolektif. Hal ini tentunya akan semakin membahayakan bagi stabilitas nasional nantinya. Hal tersebut karena penyumbatan ruang gerak untuk berpartisipasi akan menimbulkan desakan yang lebih besar untuk berperatisipasi lebih aktif dalam organ gerakan mahasiswa.

    3. Kepada Peneliti SelanjutnyaPada peneliti lain yang

    menginginkan melakukan penelitian yang terkait dengan partisipasi mahasiswa dalam gerakan mahasiswa diharapkan mempertimbangkan beberapa hal, di antaranya: mem-pertimbangkan keluasan area dari organ gerakan mahasiswa, terutama pada daerah-daerah yang menjadi pusat kegiatan aktivis, yakni Makassar dan Jakarta. Hal tersebut karena daerah tersebut yang menjadi tolok ukur dari kegiatan demonstrasi mahasiswa. Selain itu perlu dilakukan cross check isian data tentang deskripsi subjek penelitian dengan Universitas, terutama tentang indeks prestasi akademik dan sosial ekonomi.

    DAFTAR PUSTAKA

    Allen, D.E., Guy, R.F., Edgley, C.K. 1980. Social Psychology as Social Process. Wadworth Inc. California.

    Angelique, Holly L., Reischl, Thomas M., Davidson II, Wlliam S. 2002. Promoting Political Empowerment : Evaluation of an Intervention with University Students. American Journal of Community Psychology. Dec 2002. V 30 Iss 6 page 815.

    Chan, Sophia. 1997. Effects of Attention to Campaign Coverage on Political Trust. International Journal of Public Opinion. Vol 9. iss 3. p 286. Oxford : Autumn.

    Cook, K.S., Fine, G.A., House, J.S. 1995. Sociological Perspectives on Sosial Psychology. Allyn & Bacon. Massachusset.

    Duffy,Karen G., Wong, Frank Y. 2003. Community Psychology. Third edition. Pearson Education Inc. Boston.

    Feuer, Lewis S. 1969. The Conflict of Generation. Basic Books Ind. New York.

    Ghozali, Imam., Fuad. 2005. Structural Equation Modelling : Teori, Konsep dan Aplikasi dengan Program Lisrel 8.54. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.

    Grant, Peter R., & Brown, Rupert. 1995. From Ethnocentrism to Collective Protest: Responses to Relative Deprivation and Threats to Social Identity. Social Psychological Quarterly. Sep 1995. Vol 58. Iss 3. pg195. Washington.

    Goodwin, Jeff & Jasper, James M. 2003. The Social Movement Reader: Cases and Concepts. Blackwell Publishing. Cowley Road, Oxford.UK.

    Hamka. 2000. Gerakan Mahasiswa Indonesia Studi Perbandingan

  • Antara Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998. Tesis. Tidak Diterbitkan. Pasca Sarjana UGM. Yogyakarta.

    Hoffer, Eric. 1993. Gerakan Massa. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

    Lee, Aie-Rie. 1997. Exploration of the Sources of Student Activism : The Case of South Korea. International Journal of Public Opinion Research. Vol.9, Iss. 1, pg 48-76. Oxford. Spring.

    Lofland, John., & Stark, Rodney. 1965. Becoming a World Saver : A Theory of Religious Conversion. American Sociological Review. 30. 862-874.

    Mangum, Maurice. 2003. Psychological Involvement and Black Voter Turnout. Political Research Quarterly. Mar 2003. Vol 56. Iss 1 .p 41. Salt Lake City.

    Matulessy, Andik. 2003. Gerakan Mahasiswa. Penerbit Wineka Media. Malang.

    .dan Dwiyogo, Wasis. 2005. Model Kausal Partisipasi Mahasiswa dalam Gerakan Sosial. Hasil Penelitian. Tidak diterbitkan. DIKTI. Jakarta.

    Michener,H Andrew., Delamater, John D. 1999. Social Psychology. 4-th edition. Harcourt Brace College Publ.Fortworth

    Miller, Paul JE., Rempel, John K. 2004. Trust & Partner-Enhancing Attributions in Close Relationships. Personality & Social Psychology Bulletin. Vol 30, No 6, June 2004, 695-705. Society forPersonality & Social Psychology, Inc.

    Morrell, Michael E. 2003. Survey and Experimental Evidence for a Reliable and Valid Measure of Internal Political Efficacy. Public Opinion Quarterly. Winter 2003.Vo.67.Iss 4. pg 589.-602. Chicago.

    Muluk, Hamdi., Reksodiputro, Adrianto. 2005. Prediktor Pembeda Aktivis

    Mahasiswa Berdasarkan Orientasi Politik dan Partisipasi Politik. Jurnal Psikologi Sosial. Vol.11, No.02, Januari 2005.

    Orum, AM. 1974. On Participation in Political Protest Movements. Journal of Applied Behavior Science. 10. 181-207.

    Pinkleton, Bruce E., Austin, Erica W., Fortman, Kristine K J. 1998. Relationship of Media Use and Political Disaffection to Political Efficacy and Voting Behavior. Journal of Broadcasting & Electronic Media. Winter 1998 V 42 n 1 p 34.

    Runciman, W.G. 1966. Relative Deprivation and Social Justice. University of California Press. Barkeley.

    Sihombing, Justin M. 2005. Kekerasan terhadap Masyarakat Marginal. Penerbit Narasi. Yogyakarta.

    Stewart,Eric., Weinstein, Rhona S. 1997. Volunteer Participation in Context : Motivations and Political Efficacy within Three AIDS Organizations. American Journal of Community Psychology. Dec 1997. Vol 25. Iss 6. pg 809. New York.

    Suharsih dan Mahendra, Ign. 2007. Bergerak Bersama Rakyat ! : Sejarah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial Di Indonesia. Resist Book. Yogyakarta.

    Wiyono, AS., Utami, DA., Ridzal, M., Haryanta, P., Zulaiha, S. 2008. Hubunngan Kepemimpinan dengan Kesiapan Implementasi Knowledge Management dalam Organisasi. Laporan Penelitian. ITB. Bandung.