akses menuju keadilan (access to justice)

Upload: putragie225

Post on 15-Oct-2015

15 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

abt

TRANSCRIPT

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    PELATIHAN HAK ASASI MANUSIA

    UNTUK JEJARING KOMISI YUDISIAL RI

    Bandung, 30 Juni - 3 Juli 2010

    M K L H

    AKSES MENUJU KEADILAN(Access to Justice)

    Oleh:Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.

    KOMISI YUDISIAL

    REPUBLIK INDONESIA

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    DAFTAR ISI

    Judul

    Pengantar.. 1Akses Menuju Keadilan . 4

    A. Bantuan Hukum .. 91. Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Pidana ..... 102. Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara Perdata . 22

    B. Informasi Hukum . 28Penutup Dan Saran 34

    Daftar Pustaka ......................................................................... 36

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    MAKALAH

    AKSESMENUJUKEADILAN(AccesstoJustice)

    Oleh:

    Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.

    Disampaikan Pada Pelatihan HAM Bagi Jejaring Komisi Yudisial

    Bandung, 3 Juli 2010

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    PENGANTAR

    Topik makalah yang diberikan kepada Penulis, adalah:Akses

    Menuju Keadilan atau yang lebih umum dikenal dengan istilah

    A c c e s s t o J u s t i c e . Pengertian Akses Menuju Keadilan adalah

    K e se m p a t a n a t a u k e m am p u a n s e t i a p w a r g a n e g ar a t a n p a

    m em b e d a k a n l a t a r b e l ak a n g n y a ( r a s , a g a m a , k e t u r u n a n ,

    p e n d i d i k a n , a t a u t e m p a t l ah i r n y a ) u n t u k m em p e r o le h k e a d i l an

    m e l a l u i l e m b a g a p e r a d i la n . Termasuk juga akses bagi masyarakat

    khususnya bagi kelompok miskin, buta hukum, dan tidak berpendidikan

    terhadap mekanisme yang adil dan akuntabel (bertanggungjawab)

    untuk memperoleh keadilan dalam sistem hukum positif melalui

    lembaga peradilan.

    Latar belakang faktual yang mendasari lahirnya pemikiran-

    pemikiran mengenai Akses Menuju Keadilan adalah kenyataan bahwatidak semua golongan dalam masyarakat memperoleh kesempatan

    yang sama untuk memperoleh keadilan pada saat menghadapi masalah

    hukum di pengadilan. Seperti yang dikatakan oleh Warren Burger,

    seorang hakim Pengadilan di Amerika Serikat pernah mengatakan

    bahwa: Sistem Pengadilan telah dipenuhi dengan pengacara yang

    buas, hakim yang ganas dan pegawai dengan beban kesibukan yang

    tinggi sehingga tidak dapat menyediakan prosedur yang adil.

    Padahal, pendekatan historis dan filsafat selalu menginginkan

    hukum berkaitan dengan keadilan. Dalam kata lain, pengadilan sebagai

    pelaksana hukum adalah suatu lembaga yang akan memberikan

    keadilan bagi mereka yang mencari keadilan, tidak peduli siapapun dan

    bagaimanapun latar belakangnya. Namun, dalam kenyataannya, hukum

    sejak semula selalu mengandung potensi untuk cenderung memberikan

    1

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    keuntungan kepada mereka dari golongan yang lebih mampu secara

    finansial.

    1

    Jurang pemisah antara tujuan ideal hukum, yaitu keadilan dengan

    kenyataan hidup sehari-hari digambarkan oleh George Bernard Shaw2

    sebagai berikut:

    The law is equal before all of us, but we are not all equalbefore the law. Virtually there is one law for the rich andanother for the poor, one law for the cunning and anotherfor the simple, one law for the forceful and another for thefeeble, one law for the ignorant and another for the learned,one law for the brave and another for the timid, and withinfamily limits one law for the parent and no law at all for thechild.

    Celah antara cita-cita keadilan dan praktik pelaksanaannya dalam

    kehidupan sehari-hari telah melahirkan suatu pandangan John Rawls

    mengenai keadilan. Rawls memandang keadilan seperti dua sisi mata

    uang yang tidak dapat terpisahkan. Keadilan mengandung prinsip

    persamaan (equality); di sisi lain, keadilan juga mengandung prinsip

    perbedaan (difference). Prinsip persamaan termaktub dalam kalimat

    setiap warga negara bersamaan haknya di hadapan hukum. Di sisi

    lain, prinsip perbedaan memberikan kewajiban kepada pemerintah

    untuk memberikan perlindungan dan perlakuan khusus kepada warga

    negara yang secara ekonomi dan sosial berada dalam posisi kurang

    beruntung atau lemah.

    1 Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit Buku Kompas,Jakarta, 2003, hlm. 177.

    2 George Bernard Shaw adalah penulis drama Inggris. Kalimat tersebut dikutip darinaskah drama berjudul Millionairess. Lihat Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard

    Shaw: Collected Plays with their Prefaces, vol. 6, 1973. Lihat juga Kurniawan, RuntuhnyaTafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukum di Tengah Masyarakat yang Berubah, JurnalHukum JENTERA, Edisi 01/Agustus 2002, hlm. 71.

    2

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Apa yang dikemukakan oleh John Rawls sesungguhnya bukan hal

    baru bagi kita di Indonesia, prinsip persamaan ini dapat dilihat jugadalam sila ke-5 Pancasila3, alinea IV Pembukaan UUD 19454, dan Pasal

    27 UUD 1945.5 Dengan kata lain, negara Republik Indonesia

    memberikan perlindungan hukum yang sama bagi seluruh warga

    negara Indonesia tanpa memandang dasar agama, ras/suku,

    keturunan, atau tempat lahirnya, dan latar belakang ekonomis,

    pendidikan, dll.6

    Dengan demikian, topik mengenai Akses Menuju Keadilan

    dilandasi oleh semangat untuk melindungi hak-hak warga negara yang

    secara ekonomis kurang beruntung, bukan hanya pada saat

    menghadapi masalah di peradilan, tetapi juga meliputi haknya untuk

    memperoleh informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan

    lembaga pengadilan.

    Khusus mengenai pembicaraan tentang Akses Menuju Keadilan

    sebagai hak untuk memperoleh informasi, maka pembahasan materi

    tersebut berkaitan erat dengan topik mengenai Transparansi yang

    merupakan istilah yang sudah lebih dulu dikenal. Sebagai contoh, dalam

    Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung yang dikeluarkan oleh

    Mahkamah Agung tahun 2003, hlm. 205, menyebutkan bahwa salah

    satu bentuk dari transparansi bahwa publik diberikan keleluasaan untuk

    mengakses informasi. Jaminan untuk mengakses informasi ini akan

    3Sila Kelima Pancasila berbunyi: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.4Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 berisi 5 dasar negara yang kemudian dikenal dengan

    nama Pancasila.5Pasal 27 UUD 1945 : Segala warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan

    wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya; (2) Tiap-tiap

    warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan; (3) Setiapwarganegara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.

    6Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 101-102.

    3

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    memudahkan masyarakat dalam melakukan kontrol terhadap

    Mahkamah Agung...

    7

    Memang antara Akses Menuju Keadilan dan Transparansi

    memiliki keterkaitan yang sangat erat. Keduanya disebut-sebut dalam

    pembahasan mengenai Reformasi Peradilan. Keduanya juga saling

    berkaitan dengan istilah lain yang juga biasa kita dengar, yaitu

    akuntabilitas peradilan ataujudicial accountability.

    Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dan Transparansi

    menjadi topik bahasan yang menarik sehubungan dengan makin

    meningkatnya tekanan masyarakat terhadap jajaran pengadilan

    Indonesia untuk melakukan reformasi yang disesuaikan dengan

    reformasi demokrasi di bidang ketatanegaraan. Namun dalam makalah

    ini kami tidak membahas mengenai Transparansi, oleh karena topik

    mengenai Transparansi telah dibahas oleh pemateri sebelumnya.

    Namun berbeda dengan pengertian transparansi yang

    menitikberatkan pada akuntabilitas atau kontrol masyarakat kepada

    badan peradilan, pengertian akses menuju keadilan meletakkan titik

    berat kepada pelayanan sistem peradilan kepada masyarakat,

    khususnya golongan masyarakat yang tidak mampu secara finansial.

    AKSES MENUJU KEADILAN

    Pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan dalam makalah ini

    berpedoman kepada terms of reference yang diberikan oleh Panitia

    Penyelenggara seminar ini. Permasalahan dalam pembicaraan Akses

    7Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2003,hlm. 205.

    4

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Menuju Keadilan adalah hak setiap orang untuk mendapatkan akses

    memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan yang merupakan HakAsasi Manusia.

    Mengenai Akses Menuju Keadilan Joshua Rozenberg berpendapat:

    Few of us give it a second thought. We assume justice willsomehow be available, on tab, whenever we need it, but when thetime comes to enforce our rights many of us will find it verydifficult if not downright impossible to obtain true justice fromthe courts.8

    Sebagai negara hukum (rechtsstaat) sebagaimana bunyi pasal 1

    ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan Negara

    Indonesia adalah negara hukum; maka negara harus menjamin

    persamaan setiap orang di hadapan hukum serta melindungi hak asasi

    manusia. Persamaan di hadapan hukum memiliki arti bahwa semua

    orang memiliki hak untuk diperlakukan sama di hadapan hukum

    (equality before the law). Persamaan perlakuan di hadapan hukum bagisetiap orang berlaku dengan tidak membeda-bedakan latar

    belakangnya (ras, agama, keturunan, pendidikan atau tempat lahirnya),

    untuk memperoleh keadilan melalui lembaga peradilan.

    Pasal 8 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

    telah dilengkapi dan disempurnakan dengan UU No. 4 Tahun 2003,

    secara eksplisit menyatakan bahwa setiap orang, yang disangka,

    ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan,

    wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan,

    yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum

    yang tetap. Secara implisit makna persamaan kedudukan di hadapan

    8 Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law, Hodder andStoughton Ltd, 194, hlm. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah Beberapa dari kitamemberikan suatu permikiran bahwa keadilan telah ada dan tersedia apabila kitamembutuhkannya, akan tetapi apabila tiba waktunya untuk melaksanakan hak-hak kita, kita

    akan mendapatkan kesulitan-kesulitan atau tidak mendapatkannya sama sekali, untukmemperoleh keadilan yang benar dari lembaga peradilan.

    5

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    hukum dapat ditemukan juga dalam Pasal 37 dan Pasal 38 UU No. 4

    Tahun 2004 jo. UU No. 4 Tahun 2003 tentang Kekuasaan Kehakiman.

    Di dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP, baik persamaan

    kedudukan di hadapan hukum maupun asas praduga tak bersalah tidak

    secara tegas dicantumkan dalam salah satu pasal, namun hal itu

    tersirat baik dalam Konsideran dan Penjelasan Umum KUHAP,

    khususnya dalam angka 3 antara lain ditegaskan: asas yang

    mengatur perlindungan terhadap keluhuran harkat serta martabat

    manusia yang telah diletakkan di dalam Undang-undang tentang

    Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yaitu UU No. 14

    Tahun 1970 harus ditegakkan dalam dan dengan undang-undang ini.

    Asas-asas yang dimaksud tersebut, antara lain, adalah:

    a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di hadapan hukumdengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.

    b. Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, didakwa dipengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan

    pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

    kekuatan hukum tetap (presumption of innocence).

    c. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatanmemperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk

    melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.

    Dalam hubungan ini Solly Lubis9menjelaskan bahwa:

    Yang dimaksud dengan kedudukan yang sama dalamhukum dalam Pasal 27 ayat (1) itu adalah meliputi baikbidang hukum privat maupun hukum publik, sehinggakarenanya setiap warga negara mempunyai hak untukmendapatkan perlindungan dengan mempergunakan keduakelompok hukum tersebut dan jika ditilik selanjutnya, makatampak bahwa hukum yang dimaksud sebagai alat, sudah

    9Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975, hlm. 112.

    6

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    mencakup segi-segi keperdataan dan kepidanaan, sertacabang-cabang hukum publik lainnya, seperti Hukum Tata

    Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum AcaraPidana/Perdata dan sebagainya, di dalam Pasal 27 ayat (1)UUD 1945 tersebut telah tercakup semua hak-hak hukumseperti disebutkan di dalam UUD.

    Bentuk persamaan perlakuan di hadapan hukum adalah bahwa

    semua orang berhak untuk memperoleh pembelaan dari advokat sesuai

    dengan ketentuan undang-undang, sehingga tidak hanya orang yang

    mampu saja yang dapat memperoleh pembelaan dari

    advokat/penasihat hukum tetapi juga fakir miskin atau orang yang tidak

    mampu juga dapat hak yang sama dalam rangka memperoleh keadilan

    (access to justice).

    Pada abad ini Askes Menuju Keadilan dapat digambarkansebagai

    berikut:

    Justice, as so administered, has to be available to all, on anequal footing. This is the ideal, but one which has never beenattained, due largely to inequalities of wealth and power and aneconomic system which maintains and tends to increase theinequalities.10

    Ada banyak kasus di Indonesia di mana orang dengan mudah bisa

    menyebutkan bagaimana orang-orang yang sederhana dan tidak punya

    uang mengalami perlakuan hukum yang tidak adil. Kasus Sengkon-

    Karta pada akhir 1970-an mungkin merupakan kasus yang paling

    terkenal di Indonesia. Kemudian perkara yang terbaru, perkara

    terdakwa Prita yang sempat ditahan di Rutan atas laporan penghinaan

    terhadap RS. Omni Internasional. Pada kasus-kasus tersebut, pihak

    terdakwa atau terhukum adalah orang-orang lemah secara ekonomis,

    10Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited,2000. Yang terjemahannya kurang lebih adalah: Keadilan, sebagaimana dijalankan, harus

    tersedia untuk semua, sederajat kedudukannya. Inilah sesuatu yang ideal, tetapi hal ini tidakpernah dicapai, karena terdapat ketidaksamaan kemakmuran dan kekuasaan serta sistemekonomi yang mempertahankan dan cenderung meningkatkan ketidaksamaan.

    7

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    sehingga mereka tidak mampu menemukan keadilan yang sepantasnya

    bagi perkara mereka; atau di mana si terlapor atau terdakwa yangkalah ketika berhadapan dengan laporan pihak lain yang memiliki

    kekuatan ekonomi besar dan dapat mempengaruhi lembaga peradilan.

    Untuk memudahkan pembahasan pada makalah ini, maka penulis

    akan membahas Akses Menuju Keadilan dari 2 (dua) sisi, yaitu

    bagaimana Akses Menuju Keadilan berdasarkan:

    (1) sistem hukum acara pidana; dan

    (2) berdasarkan sistem hukum acara perdata.

    Pembahasan keduanya perlu dibedakan, karena juga menganut tata

    cara dan sistem yang berbeda, sekalipun tetap juga memiliki titik-titik

    persamaan.

    Selain itu, pembicaraan mengenai Akses Menuju Keadilan juga

    menyangkut kemudahan bagi masyarakat luas untuk memperoleh

    informasi mengenai hal-hal yang terjadi di pengadilan. Hal ini didasari

    pada suatu pendapat bahwa pengadilan selain sebagai lembaga

    yudikatif, juga merupakan lembaga yang memberikan pelayanan publik

    kepada semua orang atau kepada masyarakat luas. Oleh karena itu,

    pelayanan yang diberikan juga harus mudah dipahami dan mudah

    didapatkan seperti selayaknya lembaga-lembaga pelayanan publik

    lainnya.

    Hal ini berarti bahwa Akses Menuju Keadilan bisa dipandang

    melalui 2 (dua) sudut pandang yang saling melengkapi. Secara privat,

    berarti Bantuan Hukum dan secara publik berarti Informasi Hukum.

    8

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    A.BANTUAN HUKUM

    Mengenai Bantuan Hukum, Joshua Rozenberg mengatakan:

    For many people the legal aid scheme will be no more than acruel deception apparently available to help them a problemarises, but in practice priced out of their reach11

    Pada dasarnya, usaha-usaha terhadap Akses Menuju Keadilan

    telah diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1970, di mana dalam

    TAP MPR No. IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara

    (GBHN)12, mengenai pembangunan di bidang hukum, telah ditetapkan

    arah pembangunan bidang kepada:

    1) Peningkatan dan penyempurnaan pembinaan hukum nasionaldengan mengadakan pembaharuan kodifikasi serta unifikasi hukum

    di bidang-bidang tertentu;

    2) penertiban badan-badan penegak hukum sesuai dengan fungsi danwewenang masing-masing;

    3) peningkatan kemampuan dan kewibawaan aparat penegak hukum;4) pembinaan penyelenggaraan bantuan hukum untuk golongan

    masyarakat yang kurang mampu.

    Melalui GBHN tahun 1978, maka Indonesia mulai secara aktif

    membicarakan Akses Menuju Keadilan yang digambarkan sebagai

    Bantuan Hukum bagi mereka yang tidak mampu. Pelaksanaan atas

    GBHN tersebut diwujudkan dengan lahirnya UU No. 8 Tahun 1981

    Tentang Hukum Acara Pidana, yang menggantikan hukum acara

    peninggalan masa kolonial sebagaimana diatur dalam HIR/RIB dan RBG.

    11 Ibid, Joshua Rozenberg, hal. 171. Yang terjemahannya kurang lebih adalah Untukbanyak orang, bantuan hukum tidak lebih dari tipuan kejam - seharusnya ditujukan untukmembantu mereka yang menghadapi masalah hukum, tetapi dalam prakteknya menuntut biaya

    diluar kemampuannya.12Ketetapan MPR ini merupakan salah satu pertimbangan dalam UU No. 8 Tahun 1981

    tentang KUHAP.

    9

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Akses Menuju Keadilan

    dalam sistem hukum acara pidana diwujudkan dalam bentuk BantuanHukum. Oleh karena itu, apabila orang membicarakan tentang

    Bantuan Hukum, maka pembicaraan adalah mengenai sistem hukum

    acara pidana itu sendiri.

    Pengertian ini sedikit berbeda jika kita berbicara dalam konteks

    sistem hukum acara perdata. Bantuan Hukum tidak mengenai sistem

    hukum acara perdata, karena di dalam hukum acara perdata, tidak ada

    kewajiban khusus bagi pemohon atau penggugat untuk menggunakan

    Penasihat Hukum. Setiap orang dapat mengajukan sendiri

    permasalahan hukumnya langsung kepada pengadilan.

    Masuknya ketentuan mengenai Bantuan Hukum dalam Hukum

    Acara Pidana ini dipandang sebagai suatu tonggak penting dalam

    perlindungan HAM di Indonesia, selain itu mengingat masalah Bantuan

    Hukum ini merupakan hal yang esensi dalam setiap sistem hukum di

    negara-negara modern.

    Oleh karena itu, kami akan menguraikan mengenai bagaimana

    sistem hukum acara pidana Indonesia dalam UU No. 8 Tahun 1981

    mengatur tentang Bantuan Hukum tersebut.

    1) Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara PidanaBantuan hukum merupakan pelaksanaan Pasal 1 ayat (1) KUHP13

    yang lazim disebut sebagai asas legalitas. Asas legalitas sendiri adalah

    asas umum Hukum Pidana yang berlaku universal. Meskipun tidak

    secara nyata menyebut tentang bantuan hukum, namun pasal 1 KUHP

    13 Pasal 1 Ayat (1) KUHP berbunyi: Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecualiberdasarkan kekuatan ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.

    10

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    ini mempunyai substansi dan tujuan yang sama, yaitu sebagai

    perlindungan hukum atas hak kebebasan dan jiwa raga seorangtersangka atau terdakwa. Sehingga adalah layak juga apabila bantuan

    hukum dipandang sebagai wujud nyata atas asas legalitas.14

    Bantuan hukum adalah instrumen penting dalam Sistem Peradilan

    Pidana karena merupakan bagian dari perlindungan HAM, khususnya

    terhadap hak atas kebebasan dan hak atas jiwa-raga. Namun

    pertanyaan paling mendasar adalah apakah bantuan hukum itu

    bersifat wajibataukah baru diwajibkan setelah beberapa syarat

    tertentu dipenuhi.

    Berdasarkan ketentuan Pasal 56 ayat (1) Kitab Undang-Undang

    Hukum Acara Pidana, seseorang yang dituntut untuk kejahatan-

    kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara minimal 5 tahun

    harus dibantu oleh Penasihat hukum, atau bantuan hukum lain dari

    Lembaga Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Lembaga Swadaya

    Masyarakat.15

    Hak untuk dibela advokat dan perolehan bantuan hukum bagi

    fakir miskin sudah ada sejak dahulu sebagaimana diatur dalam

    Reglement op de rechtsvordering (Rv)bagi golongan Eropa (Europeans)

    dan HIR bagi golongan Timur Asing (Vreemde Oosterlingen). Namun

    tidak ada jaminan serupa bagi masyarakat golongan pribumi.

    Apabila melihat Pasal 54 KUHAP maka pada prinsipnya hak atas

    bantuan hukum tersebut diakui, tetapi tidak termasuk ke dalam hak

    yang bersifat wajib. Ada kondisi atau syarat tertentu yang harus

    dipenuhi sebelum hak atas bantuan hukum tersebut menjadi

    14Merupakan pendapat O.C. Kaligis dalam Disertasinya berjudul: Perlindungan HukumAtas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa Dan Terpidana Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

    15 Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesias Transitional Era andCorruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice in Asian and European Transitional Countries,Bogor, 27-28 June.

    11

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    wajib.Pasal 56 Ayat (1) dan (2) KUHAP menyatakan bahwa syarat

    khusus tersebut menyangkut:(a) kemampuan (finansial); dan

    (b) ancaman hukuman bagi tindak pidana yang disangkakan.

    Apabila ketentuan wajib tersebut diabaikan, akan menimbulkan

    akibat tuntutan Jaksa Penuntut Umum tidak dapat diterima atau

    mengakibatkan Penyidikan menjadi tidak sah. Pendirian pengadilan

    seperti itu dapat dilihat dalam salah satu putusan Mahkamah Agung No.

    1565 K/Pid/1991 tertanggal 16 September 1993. Dalam kasus ini,

    proses pemeriksaan Penyidikan melanggar pasal 56 ayat (1) KUHAP,

    yakni Penyidikan berlanjut terhadap Tersangka tanpa didampingi oleh

    penasihat hukum. Pelanggaran ini dijadikan alasan kasasi, dan

    dibenarkan oleh peradilan tingkat kasasi, dengan pertimbangan:

    Apabila syarat-syarat penyidikan tidak dipenuhi sepertihalnya Penyidik tidak menunjuk penasihat hukum bagi

    Tersangka sejak awal Penyidikan, tuntutan Penuntut Umumdinyatakan tidak dapat diterima.

    Kondisi dan syarat-syarat seperti itu menimbulkan ketidakpastian,

    khususnya mengenai bagaimana penyidik bisa menilai apakah seorang

    tersangka mampu secara finansial atau tidak untuk membayar jasa

    Penasihat Hukum. Tampaknya, syarat ini diadakan karena pada awal

    terbentuknya, KUHAP mencoba untuk mencari kompromi antara duakeadaan yang terjadi dalam masyarakat Indonesia pada waktu itu, yaitu

    kondisi di daerah-daerah terpencil di Indonesia, di mana penegakan

    hukum tetap harus berjalan sekalipun tidak ada tenaga penasihat

    hukum.

    12

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Contoh lain, dalam kasus Bom Kuningan dengan Terdakwa Joko

    Triharmanto dan Purnama Putra.

    16

    Pada saat dakwaan dibacakan,kedua Terdakwa tersebut tidak didampingi oleh Penasihat Hukum,

    padahal ancaman hukuman maksimal yang didakwakan kepada mereka

    adalah hukuman mati sesuai Pasal 9 dan 13 huruf b Perpu No. 1/2002

    tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Juncto UU No. 15

    tahun 2003 tentang Penetapan Perpu No. 1/2002 menjadi UU.

    Rencananya kedua terdakwa tersebut didampingi oleh Penasihat Hukum

    dari Mabes Polri, namun tanpa ada keterangan yang jelas Penasihat

    Hukum tersebut tidak hadir di persidangan. Terhadap tidak adanya

    Penasihat Hukum para Terdakwa, maka Majelis Hakim meminta Jaksa

    Penuntut Umum untuk memastikan kedua terdakwa harus didampingi

    oleh Penasihat Hukum pada persidangan selanjutnya, mengingat

    ancaman pidana yang didakwakan adalah pidana mati.

    Pada masa sekarang mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma diatur dalam pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Advokat No. 18

    Tahun 2003 tentang Advokat yang berbunyi: Advokat wajib

    memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari

    keadilan yang tidak mampu; dan juga diatur dalam Peraturan

    pemerintah No. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara

    Pemberian Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; sebagai peraturan

    pelaksana dari pasal 22 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang

    Advokat.

    Dalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008, disebutkan

    bahwa Lembaga Bantuan Hukum adalah lembaga yang memberikan

    16Lihat Harian KORAN TEMPO, tanggal 3 Januari 2006, Lima Tersangka Bom KuninganDiadili, hlm. 6. Lihat Diduga Membantu Noordin M. Top, Lima Terdakwa Teroris Mulai Diadili,, dikutip pada tanggal 23 Juni 2003.

    Lihat juga Terdakwa Pengebom Kedubes Australia Di Sidang,, dikutip pada tanggal 23 Juni2003.

    13

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    bantuan hukum kepada Pencari Keadilan tanpa menerima pembayaran

    honorarium. Namun konsep bantuan hukum sebagaimana dimaksuddalam pasal 1 angka (6) PP No. 83 Tahun 2008 tersebut tidak sesuai

    dengan apa yang terjadi pada kenyataannya. Pada kenyataan banyak

    terdapat kantor-kantor advokat yang mengaku sebagai organisasi

    bantuan hukum tapi sebenarnya berpraktik komersial dan memungut

    fee, yang menyimpang dari konsep pro bono public yang sebenarnya

    merupakan kewajiban advokat.17 Hal ini terjadi karena tidak ada

    peraturan perundang-undangan yang secara tegas memberikan sanksi

    bagi advokat yang menolak memberikan bantuan hukum secara cuma-

    cuma kepada orang yang tidak mampu membayar. Peraturan yang ada

    hanya memberikan sanksi oleh Organisasi Advokat kepada advokat

    yang melanggar ketentuan tersebut berupa sanksi teguran lisan,

    teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap

    dari profesinya, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) dan (2) PP

    No. 83 Tahun 2008. Oleh karena itu diperlukan undang-undang bantuan

    hukum yang mengatur dan memberikan sanksi yang tegas serta

    mengikat kepada advokat yang menolak memberikan bantuan hukum

    secara cuma-cuma kepada orang yang tidak mampu dan mempertegas

    hak konstitusional fakir miskin untuk memperoleh bantuan hukum.

    Namun yang jadi permasalahan adalah bahwa peraturan

    perundang-undangan mengenai bantuan hukum secara cuma-cuma

    hanya mengatur untuk golongan yang tidak mampu dan fakir miskin,

    sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (4) PP No. 83 Tahun 2008

    yang berbunyi: Pencari Keadilan yang tidak mampu yang selanjutnya

    disebut Pencari Keadilan adalah orang perseorangan atau sekelompok

    orang yang secara ekonomis tidak mampu memerlukan jasa hukum

    17 Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskin untukMemperoleh Bantuan Hukum, hal. 12, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2009

    14

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Advokat untuk menangani dan menyelesaikan masalah hukum dan

    pasal 4 ayat (3) PP No. 83 Tahun 2008 yang berbunyi: Dalampermohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pencari Keadilan

    harus melampirkan keterangan tidak mampu yang dibuat oleh pejabat

    yang berwenang;sehingga bagaimanakah untuk golongan menengah

    yang tidak dapat digolongankan fakir miskin dan juga tidak dapat

    dikatakan mampu (kaya) untuk membayar jasa pengaca/advokat,

    namun ditolak untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu oleh

    pejabat yang berwenang dengan alasan termasuk golongan yang

    mampu untuk membayar jasa pengacara/advokat ?

    Mengenai bantuan hukum Jerold Auerbach berpendapat bahwa:

    Throughout the 20th century, as judges and lawyers havemonotonously conceded, legal institutions have defaulted ontheir obligation to provide justice for all. This is surelybecause the ideal of equal justice is incompatible with thesocial realities of unequal wealth, power, and opportunity,

    which no amount of legal formalism can disguise.18

    Dalam memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma, aspek

    terpenting dalam bantuan hukum adalah segi pendanaan. Kondisi

    financial sangat penting dalam menentukan pengembangan program

    bantuan hukum. Segi pendanaan untuk bantuan hukum bagi orang

    yang tidak mampu seharusnya merupakan tanggung jawab negara. Jikanegara mengabaikan tugas konstitusionalnya untuk membiayai gerakan

    bantuan hukum dan tidak mengalokasikan anggaran tertentu dalam

    18Justice In The Twenty-First Century; Cavendish Publishing (Australia) Pty Limited,2000. Hal. 82. terjemahannya kurang lebih adalah: Sepanjang abad 20, para hakim dan parapengacara terus-menerus mengakui bahwa lembaga-lembaga hukum sudah gagal memenuhikewajiban mereka untuk menyediakan keadilan untuk semua. Hal ini terjadi karena ide dari

    keadilan yang sama ternyata tidak sejalan dengan kenyataan-kenyataan sosial darikemakmuran yang tidak merata, kekuasaan dan kesempatan, di mana tidak ada lagi formalismehukum yang dapat disembunyikan.

    15

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), itu artinya negara

    tidak memenuhi kewajibannya untuk melindungi fakir miskin.

    Namun dalam kenyataannya negara tidak menyediakan dana

    yang signifikan untuk membiayai bantuan hukum bagi orang fakir

    miskin dan tidak mampu. Contohnya adalah dukungan financial bagi

    YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia) yang merupakan

    lembaga bantuan hukum diperoleh dari sumbangan-sumbangan luar

    negeri, seperti dari Amerika Serikat, Belanda, Swedia, Belgia, Australia,

    dan Kanada.19

    Di India, bantuan hukum diakui sebagai hak konstitusional yang

    dinyatakan dalam Konstitusi India pasal 21 dan 22, intinya adalah

    negara di berikan tanggung jawab untuk menyediakan bantuan hukum

    bagi fakir miskin. Di Filipina, negara membantu pendanaan bagi

    bantuan hukum untuk orang miskin melalui kejaksaan agung,

    sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) mengakui haksipil, politik, ekonomi, budaya dan sosial fakir miskin tetapi belum

    menyediakan dana signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan

    Pembelanjaan Negara (APBN) bagi bantuan hukum.20 Negara

    seharusnya menyediakan dana yang diambil dari APBN bagi

    terselenggaranya bantuan hukum.

    Sedangkan dalam perkara pidana, Pasal 56 ayat (1) KUHAP

    menjamin bahwa untuk perkara-perkara pidana dengan ancaman

    hukuman mati atau hukuman lebih dari 15 tahun atau ancaman

    hukuman lebih dari 5 tahun bagi mereka yang tidak mampu, negara

    melalui pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan

    dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat hukum. Pada masa

    lalu, setiap pengadilan dapat menunjuk Penasihat Hukum yang tersedia

    19Ibid, Frans Hendra Winarta, hal. 1520Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, PT Kompas Media Nusantara,

    2009

    16

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) yang umumnya ada di setiap

    pengadilan negeri. Sekarang ini dengan adanya Peraturan PemerintahNo. 83 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian

    Bantuan Hukum Secara Cuma-Cuma; maka diharapkan orang yang

    tidak mampu membayar jasa advokat/penasihat hukum dapat meminta

    bantuan hukum secara cuma-cuma untuk menghadapi perkaranya dan

    setiap orang yang tidak mampu serta diancam pidana penjara paling

    sedikit 5 tahun dapat memperoleh penasihat hukum/advokat dalam

    menghadapi perkaranya di pengadilan.

    Di Amerika Serikat, setiap proses pidana akan dimulai dengan

    Miranda Rule yang merupakan hak tersangka sebelum diperiksa oleh

    penyidik/instansi yang berwenang.21 Hak tersebut antara lain adalah

    hak untuk diam, karena segala perkataannya dapat digunakan untuk

    melawannya di pengadilan; hak untuk mendapatkan penasihat

    hukum/advokat untuk membela hak-hak hukumnya, dan bila ia tidak

    mampu maka ia berhak mendapatkan penasihat hukum dari negara,

    yang diberikan oleh pejabat yang bersangkutan.22 Hak tersebut

    merupakan bagian dari hak untuk memperoleh keadilan. Miranda Rule

    hanya merupakan penegasan saja terhadap hak-hak asasi manusia

    untuk memperoleh keadilan yang telah ada sebelumnya. Keadilan di sini

    termasuk keadilan atas kepastian hukum dalam tata cara mengadilinya.

    Disamping hak-hak yang telah diatur dalam Miranda Rule sebagai

    Hak Asasi Manusia (HAM). Ternyata ada HAM lain yang berkaitan

    dengan Miranda Rule yang telah pula diakomodasi dalam peraturan-

    21M. Sofyan Lubis, ; Prinsip Miranda RuleHak Tersangka Sebelum Pemeriksaan; Hal.

    15; Pustaka Yustisia, 2010. Miranda Rule berbunyi: You have the right to remain silent. Youhave the right to the pressence of an attorney. If you cannot afford an attorney, one will beappointed for you. (huruf tebal oleh Penulis) Anything you say can and will be used againstyou.Terjemahan: Anda berhak untuk diam. Anda berhak atas kehadiran penasihat hukum. Jika

    anda tidak mampu menunjuk penasihat hukum, maka negara akan memilihkan. Apapun yanganda katakan dapat dan akan digunakan untuk menuntutmu.

    22Ibid, M Sofyan Lubis, hal. 22

    17

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    peraturan perundang-undangan di Indonesia. Adapun prinsip-prinsip

    yang ada di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,adalah sebagai berikut:

    Hak untuk dianggap sama di depan hukum (pasal 17 UU HAM) Hak untuk mendapat bantuian dan perlindungan yang adil dari

    pengadilan yang objektif (pasal 5 ayat (2) UU HAM).

    Hak memperoleh keadilan dari pengadilan yang jujur dan adil. Hak untuk dianggap tidak bersalah sebelum diputuskan oleh

    hakim (pasal 18 ayat (1) UU HAM)

    Hak untuk dituntut hanya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

    Hak untuk mendapatkan ketentuan hukum yang palingmenguntungkan tersangka, jika perubahan aturan hukum (pasal

    18 ayat (3) UU HAM)

    Hak untuk mendapatkan bantuan hukum sejak penyidikan sampaiadanya putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (pasal 18

    ayat (4) UU HAM)

    Hak untuk dituntut pidana hanya berdasar aturan hukum yangtelah ada sebelumnya (pasal 18 ayat (2) UU HAM)

    Hak untuk tidak dituntunt untuk kedua kalinya dalam kasus yangsama (pasal 18 ayat (5) UU HAM)

    Hak untuk mendapat jaminan hukum yang diperlukan untukpembelaannya (pasal 18 ayat (1) UU HAM)

    Berdasarkan ketentuan pasal 54 dan pasal 114 KUHAP, sebelum

    penyidik melakukan pemeriksaan terhadap seorang tersangka maka

    tersangka wajib diberitahukan hak-haknya, termasuk untuk

    mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi oleh penasihat hukum

    dalam pemeriksaannya. Berdasarkan ketentuan pasal 115 KUHAP

    penasihat hukum dalam mendampingi tersangka dilakukan dengan cara

    18

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    menyaksikan dan mendengar pemeriksaan yang dilakukan oleh

    penyidik, namun dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara,penasihat hukum dapat hadir dengan cara melihat tetapi tidak dapat

    mendengar pemeriksaan terhadap tersangka. Adapun hak-hak

    tersangka selama pemeriksaan yang harus dihormati dan diperhatikan

    oleh penyidik adalah sebagai berikut:

    Hak untuk memberikan keterangan secara bebas tanpa tekanan darisiapa pun dan atau dalam bentuk apa pun (pasal 117 ayat (1)

    KUHAP).

    Hak untuk dicatat keterangan yang diberikannya dengan seteliti-telitinya sesuai dengan kata-kata yang dipergunakan oleh tersangka

    sendiri (pasal 117 ayat (2) KUHAP).

    Hak untuk meneliti dan membaca kembali hasil pemeriksaansebelum tersangka menandatanganinya (pasal 118 ayat (1) KUHAP).

    Dari ketentuan pasal 114 KUHAP diatur bahwa penyidik

    berkewajiban sebelum pemeriksaan dimulai, memberitahukan bahwa

    tersangka berhak mendapatkan bantuan hukum dari penasihat

    hukum/advokat, dan memberitahukan bahwa perkara yang dihadapinya

    mengharuskan dirinya dalam pemeriksaan didampingi penasihat

    hukum/advokat. Sesuai dengan prinsip-prinsip Miranda Rule, maka

    pemberitahuan tersebut seharusnya diberikan setelah seseorang

    dinyatakan sebagai tersangka, dengan maksud agar tersangka punya

    waktu untuk menghubungi atau mengupayakan penasihat hukum atau

    advokat guna mengkonsultasikan permasalahan yang sedang

    dihadapinya tersebut.

    Namun yang terjadi selama ini bukanlah demikian, seseorang

    yang dijadikan tersangka tidak langsung diberitahukan akan hak-hak

    hukumnya. Pemberitahuan dilakukan pada saat pemeriksaan dimulai,

    sehingga hal itu mengakibatkan tersangka tidak punya waktu dan

    19

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    kesempatan untuk mencari, menghubungi, dan berkonsultasi dengan

    penasihat hukum/advokat tentang perkara yang sedang dihadapinya.Pemberitahuan tersebut juga terkesan hanya formalitas.

    Miranda Rule merupakan aturan yang bersifat universal di hampir

    semua negara yang berdasarkan hukum mempunyai peraturan hukum

    yang mirip. Negara Indonesia yang merupakan negara hukum sangat

    menghormati Miranda Rule yang dibuktikan dengan mengadopsi

    Miranda Rule ini ke dalam sistem Hukum Acara Pidana yaitu di dalam

    pasal 56 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 KUHAP yang berbunyi: Dalam

    hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak

    pidana yang diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima

    belas tahun atau lebih atau bagi mereka yang tidak mampu yang

    diancam dengan tindak pidana lima tahun atau lebih yang tidak

    mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada

    semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjukpenasihat hukum bagi mereka.

    Ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP dipandang dari pendekatan

    strict law atau formalitas legal thinking mengandung beberapa aspek

    permasalahan hukum, antara lain:

    Mengandung aspek nilai Hak Asasi Manusia (HAM), di mana bagisetiap tersangka atau terdakwa berhak didampingi penasihat hukum

    pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan. Hak ini

    tentu sejalan dan/atau tidak boleh bertentangan dengan Deklarasi

    Universal Hak Asasi Manusia yang menegaskan hadirnya penasihat

    hukum untuk mendampingi tersangka atau terdakwa merupakan

    sesuatu yang inhaerent pada diri manusia. dan konsekuensi logisnya

    bagi penegak hukum yang mengabaikan hak ini adalah bertentangan

    dengan nilai HAM.

    20

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Pemenuhan hak ini oleh penegak hukum dalam proses peradilanpada semua tingkat pemeriksaan menjadi kewajiban dari pejabatyang bersangkutan apabila tindak pidana yang disangkakan atau

    didakwakan diancam pidana mati atau 15 tahun atau lebih, atau bagi

    yang tidak mampu yang diancam dengan pidana 5 tahun atau lebih

    yang tidak mempunyai penasihat hukum sendiri. Berdasarkan

    ketentuan pasal 56 ayat (1) KUHAP ini tentu kehadiran dan

    keberadaan penasihat hukum mendampingi tersangka bersifat

    imperatif, sehingga kalau mengabaikannya maka mengakibatkan

    hasil pemeriksaan atau hasil penyidikan tidak sah atau batal demi

    hukum.

    Pasal 56 ayat (1) KUHAP sebagai ketentuan yang bernilai HAM telahdiangkat menjadi salah satu patokan Miranda Rule di Indonesia.

    Apabila pemeriksaan/penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan

    perkara tersangka/terdakwa di persidangan tidak didampingi

    penasihat hukum maka sesuai dengan Miranda Rule, hasil penyidikan

    tidak sah (illegal) atau batal demi hukum (null and void).23

    Kewajiban pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat

    hukum pada suatu tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan tersebut

    tidak berlaku/gugur atau terdapat pengecualian dalam hal sebagai

    berikut:

    a. sebelum pemeriksaan dimulai tersangka/terdakwa telahmempunyai penasihat hukum sendiri yang telah ia tunjuk sendiri

    atau atas tunjukan dari keluarga tersangka tersebut;

    b. Tersangka atau terdakwa tersebut diancam dengan pidana kurangdari 5 (lima) tahun (sebagaimana diatur dalam pasal 21 ayat (4)

    huruf a KUHAP).

    23Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 34

    21

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Namun dalam hal tersangka menolak untuk didampingi oleh

    penasihat hukum, maka guna terciptanya transparansi penegakanhukum, pihak penyidik seyogyanya membuat berita acara penolakan

    tersangka atau membuat surat pernyataan dari tersangka yang

    bersangkutan yang isinya menolak adanya penasihat hukum dalam

    perkara yang dihadapinya, dan mengenai adanya surat pernyataan

    penolakan dari tersangka tersebut harus diketahui dan turut

    ditandatangani pula oleh penasihat hukum yang bersangkutan

    tersebut.24

    2)Akses Menuju Keadilan Dalam Sistem Hukum Acara PerdataSetiap orang mempunyai persamaan di hadapan hukum,

    sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 UUD 1945, sebagai ide atau

    gagasan atau cita-cita hukum. Asas persamaan hak disebut juga

    sebagai asas equality before the law. Dalam praktik sehari-hari

    dikatakan bahwa pengadilan wajib menjunjung tinggi prinsip persamaan

    di hadapan hukum (equality before the law) sebagai bentuk keadilan.

    Penerapan prinsip equality dapat dipandang sebagai landasan paling

    hakiki bagi kekuasaan kehakiman. Melalui prinsip ini kekuasaan

    kehakiman dituntut untuk memberikan berbagai hak (kepentingan)

    individual yang terlibat pada suatu perkara, dan keseimbangan antara

    hak-hak individual tersebut dengan kepentingan masyarakat yang lebih

    luas cakupannya. Dalam dimensi universal, hakim wajib memperhatikan

    asas simillia similibus(kasus serupa diperlakukan serupa).

    Secara kontekstual, hakim justru mendapati kasus-kasus yang

    seolah-olah serupa, tetapi sesungguhnya tidak mewakili konstelasi hak

    (kepentingan) yang serupa pula. Setiap kasus memiliki keunikan yang

    24Ibid, M. Sofyan Lubis, hal. 40.

    22

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    pada akhirnya harus diperlakukan secara khusus pula. Jika generalisasi

    perlakuan terjadi, justru akan melukai rasa keadilan, sebagaimanadiungkapkan dalam slogan summun ius summa injuria (hukum yang

    mutlak adalah ketidakadilan terbesar).25

    Dengan demikian penerapan asas equality before the law harus

    tercermin dalam proses beracara di pengadilan, bukan pada putusan

    perkaranya. Penerapan asas equality before the law perlu diterapkan

    sejak pertama kali seorang pencari keadilan mendaftarkan gugatan atau

    tuntutannya sampai kepada putusan dan eksekusi putusan pengadilan

    yang telah berkekuatan hukum tetap.

    Ketentuan Pasal 237 - 241 HIR / Pasal 272 281 RBg telah

    mengatur bahwa orang-orang yang betul-betul tidak mampu membayar

    bisaya perkara boleh minta izin kepada Ketua Pengadilan Negeri agar

    berperkara secara cuma-cuma (prodeo) disertai dengan surat

    keterangan dari kelurahan (sekarang ini dikenal dengan surat

    keterangan miskin).

    Ketentuan Pasal 118 HIR / 142 RBg mengatur gugatan yang

    dibuat dengan tulisan tangan dan ditandatangani sendiri oleh

    Penggugat.

    Ketentuan Pasal 120 HIR / 144 RBg mengatur juga tentang

    gugatan yang tidak tertulis bagi orang yang tidak bisa baca-tulis.

    Penggugat dapat datang ke pengadilan dan mohon kepada Ketua

    Pengadilan Negeri setempat untuk mengajukan gugatan tidak tertulis.

    Kemudian Ketua Pengadilan Negeri akan menunjuk hakim atau panitera

    yang akan membantu pemohon/penggugat untuk membuat gugatannya

    secara tertulis. Dengan mengajukan sendiri gugatannya, pemohon atau

    25 J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kepada Independensi KekuasaanKehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008, hlm. 68.

    23

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    masyarakat tidak wajib menggunakan jasa advokat (kecuali dalam

    perkara kepailitan).

    Perkara perdata yang mencerminkan keberpihakan pengadilan

    terhadap nasib rakyat miskin, dapat dicermati dalam kasus Kedung-

    Ombo.

    Perkara Kedung-Ombo ini merupakan contoh konkrit bagaimana

    pengadilan menerapkan prinsip equality dan prinsip keadilan dari John

    Rawls dan Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa memaksimalkan

    persamaan penghasilan akan tercapai apabila setiap orang dilindungi

    dalam batas-batas tertentu agar ia dapat leluasa bergabung dalam

    aktivitas produksi. Bagaimana kesejahteraan itu ditentukan oleh bentuk

    dan besar-kecilnya masyarakat yang akan menikmati atau terkena

    akibat dari suatu kebijakan.26

    Konsep keadilan sosial dapat dilihat dari Putusan MahkamahAgung RI No. 2263 K/Pdt/1991 tanggal 20 Juli 1991, yang dikenal

    dengan perkara Kedungombo. Proyek bendungan Kedungombo adalah

    proyek pemerintah yang berguna untuk meningkatkan padi dalam

    rangka program swasembada beras. Proyek tersebut menyebabkan

    beberapa desa yang berada di areal bendungan harus dibebaskan.

    Pembebasan dan ganti rugi belum lagi selesai ketika bendungan

    berfungsi dan rumah-rumah penduduk digenangi air. Putusan MARI

    tersebut memenangkan gugatan para petani dan memberikan ganti rugi

    lebih daripada tuntutan dalam gugatan mereka.

    Putusan kasasi MARI tersebut mewakili konsep keadilan sosial.

    Setiap kesejahteraan berarti persamaan kesejahteraan dan hal itu

    berarti juga perlindungan terhadap masyarakat marjinal agar

    26Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press, Cambridge,1983, hlm. 91

    24

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    merekapun dapat dengan leluasa ikut atau menikmati aktivitas ekonomi

    tersebut. Proyek bendungan Kedung Ombo adalah proyek yang baikbagi masyarakat petani di Jawa Tengah maupun masyarakat Indonesia

    secara keseluruhan karena mendukung tujuan swasembada pangan.

    Tetapi penduduk yang akan kehilangan tanah dan rumahnya tidak boleh

    menjadi penonton atau korban atas proyek tersebut. Penduduk yang

    terkena proyek juga harus ikut menikmati keberadaan proyek tersebut

    melalui aktivitas ekonomi berupa ganti rugi atas tanah dan rumah

    mereka.27

    Kasus Kedung Ombo berawal pada tahun 1982, dengan

    dimulainya pembangunan waduk Kedung Ombo yang menyebabkan

    6.576 Hektar lahan harus dibebaskan. Proyek tersebut terletak di 3

    (tiga) keresidenan: Semarang, Pati dan Surakarta, dan 9 (sembilan)

    kabupaten: Semarang, Demak, Kudus, Pati, Blora, Grobogan, Jepara,

    Boyolali dan Sragen. Jumlah seluruh penduduk yang terkena dampakpembebasan tanah akibat proyek meliputi 5.268 kepala keluarga atau

    sekitar 30.000 jiwa. Pembebasan tidak berjalan lancar. Sampai waduk

    Kedung Ombo diresmikan pada tanggal 18 Mei 1991, masih sekitar 600

    keluarga yang menolak ganti rugi dan tetap bertahan di daerah

    genangan. 34 orang di antara keluarga yang menolak ganti rugi

    kemudian mengajukan gugatan ke PN Semarang dengan tuntutan agar

    diberikan ganti rugi yang wajar sebesar Rp 10.000,- / meter persegi.

    Pada tanggal 20 Desember 1990, melalui putusan No.

    117/Pdt/G/1990/PN.Smg, gugatan para penggugat dinyatakan ditolak.

    27Menciptakan keseimbangan antara kepentingan umum (algemeen belang) di satu sisidengan kepentingan individual (individueel belang) di sisi lain bukanlah merupakan persoalanyang mudah. Di masa Orde Baru, kepentingan umum selalu didahulukan atau dikedepankan.Pemerintah atas nama negara memiliki hak untuk mencabut atau mengabaikan hak-hakindividu demi kepentingan umum. Perkembangan dewasa ini telah berubah. Seiring

    keikutsertaan Indonesia dalam berbagai konvensi internasional HAM, maka hak-hak yangdianggap sebagai non-derogable rights tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dandengan alasan apapun, termasuk oleh pemerintah sekalipun.

    25

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Pada tanggal 9 April 1991, Pengadilan Tinggi Semarang dalam putusan

    No. 143/Pdt/1991/PT.Smg, ternyata menguatkan putusan PNSemarang. Warga kemudian mengajukan kasasi kepada Mahkamah

    Agung yang pada tanggal 28 Juli 1993, dalam putusan No.

    2263K/Pdt.1991, Majelis Hakim Agung (Prof. Z. Asikin Kusumah

    Atmadja; A.M. Manrapi; dan R.L. Tobing) mengabulkan permohonan

    kasasi para warga Kedung Ombo. Bahkan putusan kasasi Mahkamah

    Agung memerintahkan agar pemerintah membayar ganti rugi yang jauh

    lebih besar (Rp 50.000,- / meter persegi) dari tuntutan yang diminta

    oleh warga Kedung Ombo. Bahkan Majelis Hakim menetapkan kerugian

    imaterial sesuai dengan petitum ex aequo et bonosebesar Rp 2 Milyar.

    Mejelis Hakim Z. Asikin Kusumah Atmadja bependapat bahwa:

    ...tanah yang digunakan adalah milik warga berekonomilemah yang ditempati turun temurun, sehingga setelahmereka rela melepaskan tanahnya seharusnya diberi gantirugi yang mendekati realitas agar mereka bisa memperoleh

    tanah pengganti. Perbuatan pemerintah dalam kasus iniadalah tidak sah dan bertentangan dengan hukum, sehinggaakibat semua ini, warga telah kehilangan kenikmatan hidup(nilai imaterial) yang seharusnya ditambahkan pada nilaiganti rugi.... uang ganti rugi yang ditetapkan dalam suratkeputusan tersebut di atas sangat minim dan tidakmanusiawi, sebab uang ganti rugi tersebut di bawah hargaumum dan tidak dapat digunakan untuk membeli barangyang sejenis/kualitas/kwantitas yang sama.... uang gantirugi yang diperoleh dari para Termohon Kasasi tidak

    dapat/bisa untuk membeli tanah dan rumah sebagaimanayang dimiliki semula.

    Berdasarkan ketentuan Hukum Acara Perdata, Hakim dilarang

    memberikan putusan lebih dari tuntutan yang diminta.28 Risiko atas

    tindakan tersebut adalah putusan menjadi batal demi hukum.29Hakim

    28 Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 178 Ayat (3) HIR: Hakim tidak diizinkanmenjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau memberikan lebih daripada yangdigugat [asasjudex non reddit plus quam quod petens ipse requiritatau a judge does not give

    more than what the complaining party himself demands].29Pada tanggal 30 Juli 1994, Presiden Soeharto mengadakan pertemuan dengan Ketua

    Mahkamah Agung. Presiden meminta secara khusus agar Ketua MA memberikan keputusan

    26

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    dalam perkara ini berpendapat lain. Pelanggaran atas ketentuan hukum

    acara yang bersifat imperatif adalah berdasarkan pertimbangan tujuankeadilan bagi masyarakat luas. Nilai tanah bagi pegawai di kota besar

    dan bagi kaum petani di pedesaan tentunya berbeda. Bagi orang kota

    tanah adalah benda tidak bergerak yang mempunyai harga. Sementara

    bagi kaum petani, tanah adalah seluruh hidup, nafkah, dan harta turun

    temurun yang dipelihara. Pendekatan keadilan hukum hanya akan

    melihat hukum dari sisi legal, tanah sebagai benda tetap yang

    mempunyai harga. Tetapi pendekatan keadilan sosial akan melihat

    aspek-aspek sosial dan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu

    putusan hakim pada tingkat kasasi dirasakan lebih memberikan

    keadilan.

    Akses kepada keadilan di bidang hukum acara perdata juga

    mengakomodasikan perkembangan kasus-kasus seperti perkara Kedung

    Ombo tersebut, di mana suatu tindakan hukum atau kebijakan dapatsaja menimbulkan kerugian bagi masyarakat banyak.

    yang seadil-adilnya dalam penanganan Peninjauan Kembali perkara ini. Ketua MA tidak

    menganggap pernyataan Presiden tersebut sebagai bentuk intervensi eksekutif. Purwotoberpendapat, hal ini adalah himbauan yang wajar-wajar saja, sekalipun pemerintah merupakanpihak dalam sengketa tersebut. Lihat Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo,Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan Mahkamah Agungtentang Kasus Kedung Ombo,Jakarta, Elsam, 1977, hlm. 87.

    Melalui Putusan tanggal 29 Oktober 1994, No. 650 PK/Pdt.1994, dengan majelis hakimterdiri atas Ketua Mahkamah Agung dan 4 orang ketua muda MA (pimpinan MA) MahkamahAgung membatalkan putusan kasasi dan menyatakan gugatan warga Kedung Ombo tidak dapatditerima (niet ontvankelijk verklaard). Dalam pertimbangannya, Majelis hakim PK berpendapatbahwa hakim pada tingkat kasasi telah menyalahi ketentuan hukum acara Pasal 178 Ayat (3)

    HIR.Selanjutnya Mejelis Hakim PK mengatakan: juga sesuai dengan tertib acara, apabila

    hakim telah mengabulkan tuntutan primer pemohon, maka tuntutan subsider (nilai imaterial)tidak bisa dipertimbangkan lagi. Jika hakim memutuskan berdasarkan ex aquo et bono, tetapinilainya tidak boleh melebihi tuntutan primer. Ganti rugi akibat kehilangan kenikmatan hidup,selain tidak diminta oleh pemohon, juga kurang dipertimbangkan oleh hakim. Berdasarkan Pasal1370, 1371, dan 1372 KUHPerdata, ganti rugi imaterial hanya dapat diberikan untuk kondisitertentu, seperti kematian, luka berat dan penghinaan. Majelis Hakim Purwoto menyatakanbahwa oleh karena dalam perkara ini pemohon (warga Kedung Ombo) menggunakan Peraturan

    Menteri Dalam Negeri No. 15 Tahun 1975, sementara Majelis Hakim berpendapat seharusnyadipergunakan ketentuan Keppres No. 55 Tahun 1993 sebagai sumber hukum yang digunakandalam perkara, maka gugatan tersebut tidak dapat diterima.

    27

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2002 tentang

    Acara Gugatan Perwakilan Kelompok memberikan kesempatan kepadamasyarakat luas yang dirugikan akibat tindakan hukum atau kebijakan

    tertentu, untuk mengajukan gugatannya secara bersama-sama ke

    pengadilan.

    Dengan cara ini, maka tiap-tiap orang yang merasa dirugikan oleh

    suatu tindakan hukum tidak perlu mengajukan gugatan satu per satu

    atas nama orang per orang. Cukup dengan membentuk satu kelompok

    dan menunjuk perwakilannya untuk mengajukan gugatan kepada pihak

    tertentu.

    Sayangnya saat ini belum semua perbuatan hukum dapat

    diajukan gugatan kelompok. Saat ini hanya perkara-perkara di bidang

    tertentu saja yang boleh diajukan secara gugatan kelompok (class

    action), antara lain perkara-perkara yang berkaitan dengan UU No. 23

    Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun

    1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 41 tentang 1999

    tentang Kehutanan.

    Sesungguhnya gugatan kelompok (class action) ini akan sangat

    memudahkan dan membantu pihak masyarakat kecil yang secara

    langsung menjadi korban kerugian atas tindakan tindak bertanggung

    jawab pihak lain. Namun dalam praktiknya gugatan kelompok tidak

    mudah dilaksanakan karena pengelolaan anggota-anggota kelompok

    yang juga tidak mudah.

    B.INFORMASI HUKUMSeiring dengan berlangsungnya reformasi ketatanegaraan di

    Indoensia pada tahun 1998, Mahkamah Agung tergerak untuk segera

    28

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    melakukan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan, khususnya

    Untuk membangun Pengadilan yang fair dan transparan.

    Mahkamah Agung menyadari bahwa pengadilan yang fair dan

    transparan dibentuk dalam rangka mewujudkan peradilan yang

    berkualitas. Untuk mencapainya, maka para hakim maupun

    penyelenggara peradilan harus memiliki integritas, ilmu pengetahuan

    dan kemampuan yang memadai.

    Peradilan yang berkualitas, menurut Mahkamah Agung, terdiri

    atas 3 (tiga) unsur, yaitu:

    a) dipenuhinya pertimbangan Yuridis, Sosiologis dan Filosofisdalam setiap putusan pengadilan;

    b) tercapainya unsur efisiensi, berupa penyelenggaraan peradilanyang dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya ringan.

    c) Adanya efektivitas dalam setiap putusan berupa keseragaman(unifikasi) dan kepastian hukum.

    Untuk mencapai peradilan yang berkualitas, Mahkamah Agung

    telah menetapkan sejumlah langkah kebijaksanaan yang diwujudkan

    sebagai berikut:

    1)Mengupayakan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya yangterjangkau dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen,

    sehingga dapat memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan

    dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk golongan masyarakat

    yang tidak mampu;

    2)Menyempurnakan administrasi peradilan untuk mempercepatproses penyelesaian perkara pada tingkat pertama dan banding

    dari semua lingkungan peradilan serta meningkatkan proses

    penyelesaian perkara di tingkat kasasi dan peninjauan kembali;

    29

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    3)Melanjutkan upaya untuk lebih memfungsikan danmendayagunakan tempat sidang tetap (zittingsplaatsen) dalamrangka mendekatkan badan peradilan dengan pencari keadilan

    serta agar perkara dapat diselesaikan di tempat kasus perkara

    terjadi.

    4)Mendorong Badan Peradilan agar dapat berfungsi sebagaipenggerak masyarakat dalam pembangunan hukum dan

    pembinaan tertib hukum;

    5)Mendorong para hakim agar dalam mengambil putusan, disamping senantiasa harus berdasarkan pada hukum yang berlaku,

    juga berdasarkan atas keyakinan yang seadil-adilnya dan sejujur-

    jujurnya dengan mengingat akan kebebasan yang dimilikinya

    dalam meriksa dan memutus perkara. Oleh karena itu, dalam

    menegakkan hukum perlu digunakan metode analisis yuridis

    komprehensip untuk memecahkan permasalahan hukum,

    khususnya perkara. Analisis ini menggunakan pendekata yuridis,

    sebagai pendekatan pertama dan utama yaitu sesuai dengan

    ketentuan peraturan perundanga-undangan yang berlaku,

    pendekatan filosofis yaitu berintikan rasa keadilan dan kebenaran

    serta pendekatan sosiologis yaitu sesuai dengan tata nilai budaya

    yang berlaku di masyarakat.

    6)Meningkatkan kualitas serta kemampuan profesional para hakimdari semua lingkungan peradilan melalui pelatihan teknis yustisial

    berupa pendalaman materi terutama dalam menghadapi

    perkembangan hukum sebagai dampak dari globalisasi dan

    perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

    7)Meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan peradilandi semua lingkungan peradilan.

    8)Sikap keterbukaan/transparansi merupakan langkah yang diambillembaga peradilan sehingga setiap orang terutama para pencari

    30

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    keadilan dapat mengetahui sejauh mana penyelesaian

    perkaranya, khususnya di Mahkamah Agung. Sikap keterbukaanini di Mahkamah Agung awalnya dikenal dengan namun Akses

    121. Sayangnya kemudian tidak berjalan baik, hingga sekarang

    diganti menjadi SIMARI (Sistem Informasi Mahakamah Agung

    RI), dan kini telah diubah lagi namanya menjadi SIAP MARI

    (Sistem Informasi dan Administrasi Peradilan MARI). Dewasa

    ini pun, setiap pengadilan negeri maupun pengadilan agama,

    utamanya di kota-kota besar Indonesa juga sudah mempunyai

    situs internet sendiri yang memberikan informasi mengenai

    pengadilan yang bersangkutan.

    Tuntutan-tuntutan agar pengadilan lebih transparan ditanggapi

    oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Keputusan Ketua

    Mahkamah Agung RI No. 144/KMA/SK/VII/2007 tentang Keterbukaan

    Informasi di Pengadilan, tanggal 28 Agustus 2007.

    Melalui keputusan tersebut Mahkamah Agung memberikan

    pedoman mengenai informasi-informasi apa saja yang harus

    diumumkan kepada publik, yaitu:

    1) gambaran umum pengadilan yang antara lain, meliputi: fungsi,tugas, yuridiksi dan struktur organisasi Pengadilan tersebut serta

    telepon, faksimili, nama dan jabatan pejabat Pengadilan non

    Hakim;

    2) gambaran umum proses beracara di Pengadilan;3) hak-hak pencari keadilan dalam proses peradilan;4) biaya yang berhubungan dengan proses penyelesaian perkara

    serta biaya hak-hak kepaniteraan sesuai dengan kewenangan,

    tugas dan kewajiban Pengadilan;

    5)putusan dan penetapan Pengadilan yang telah berkekuatan tetap;

    31

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    6) putusan dan penetapan Pengadilan Tingkat Pertama danPengadilan Tingkat Banding yang belum berkekuatan hukum tetapdalam perkara-perkara tertentu, yakni:

    a. korupsi;b. terorisme;c. narkotika/psikotropika;d. pencucian uang; ataue. perkara lain yang menarik perhatian publik atas perintah

    Ketua Pengadilan.

    7) agenda sidang pada Pengadilan Tingkat Pertama;8) agenda sidang pembacaan putusan, bagi Pengadilan Tingkat

    Banding dan Pengadilan Tingkat Kasasi;

    9) mekanisme pengaduan dugaan pelanggaran yang dilakukanhakim dan pegawai;

    10)hak masyarakat dan tata cara untuk memperoleh informasi dipengadilan.

    Khusus untuk Mahkamah Agung30, selain informasi-informasi di

    atas, juga wajib untuk mengumumkan informasi tentang:

    30 Mahkamah Agung telah mengembangkan Sistem Informasi / komputerisasi yangdinamakan SIAP MARI (dahulu namanya SIMARI). Sistem Informasi tersebut akan terdiriatas Sistem Inti dan Sistem Pendukung. Sistem Inti akan mengemukakan tentang: (i) Sistem

    Informasi Adminstrasi Perkara (SIAP); (ii) Sistem Informasi Adminstrasi Hukum (SIAH); (iii)Portal Internet yang dapat diakses oleh umum melalui website. Sedangkan Sistem Pendukung yang bersifat internalakan berisi modul: (i) Sistem Informasi Kepegawaian MA (SIKMA); Sistem Informasi Keuangan(SIKeu); (iii) Sistem Informasi Perencanaan (SIRen); (iv) Sistem Informasi Sarana Prasarana

    (SILog); dan (v) Sistem Pengawasan (SIWasbin). Pengembangan sistem informasi berbasiskomputerisasi (Akses 121) sesungguhnya telah dimulai oleh Mahkamah Agung pada tahun 1998setelah penulis bersama-sama dengan Ibu Mariana Sutadi dan Bapak Kahardiman ditugaskanoleh Ketua Mahkamah Agung untuk melakukan studi banding mengenai Integrated CourtAdministration di Amerika Serikat. Menurut Arlene Sheskin dan Charles W. Grau, masuknyateknologi informasi dalam sistem hukum Amerika karena tuntutan rasionalisasi penggunaandana dan sumber daya pengadilan. Penggunaan teknologi informasi menjadi pilihan karenaselama bertahun-tahun cara ini telah dipergunakan oleh perusahaan-perusahaan swasta agartetap memiliki daya saing dan memenuhi tuntutan konsumen. Inti dari penggunaan teknologi

    informasi adalah integrasi dari seluruh tugas administrasi pengadilan dengan peran profesi-profesi pengadilan yang sudah ada sebelumnya. Integrasi tersebut juga berarti menggabungkanpekerjaan-pekerjaan rutin pengadilan dengan para pekerja profesional yang baru. Lihat tulisan

    32

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    (1) Peraturan Mahkamah Agung;(2)

    Surat Edaran Mahkamah Agung;

    (3) Yurisprudensi Mahkamah Agung;(4) Laporan Tahunan Mahkamah Agung;(5) Rencana strategis Mahkamah Agung;(6) Pembukaan pendaftaran untuk pengisian posisi hakim atau

    pegawai.

    Selain dari informasi-informasi yang telah dikemukakan di atas,

    maka bagi negara dengan topografi seperti Indonesia yang terdiri dari

    banyak kepulauan, maka letak gedung pengadilan yang hanya ada di

    Ibukota Kabupaten/Kotamadya juga merupakan salah satu

    permasalahan Akses Menuju Keadilan, yang menyebabkan masyarakat

    di pedalaman sulit untuk memperjuangkan hak-hak hukumnya melalui

    lembaga pengadilan.

    Di masa Hindia Belanda, diadakan tempat-tempat sidang tetap diluar gedung pengadilan yang disebut dengan istilah zittingsplaatsen.

    Hakim-hakim (dalam perkara pidana) dan jaksa akan datang dan

    menyidangkan perkara-perkara di tempat tersebut.31

    Tempat-tempat zittingsplaatsen seperti masa Hindia Belanda ini

    sempat dihidupkan di masa Orde Baru. Sayangnya karena tidak ada

    anggaran yang memadai, maka tempat-tempat zittingsplaatsen

    tersebut tidak terawat bahkan sering dijadikan kandang hewan ternak

    oleh masyarakat sekitar. Pada akhirnya gagasan yang mendekatkan

    pencari keadilan dengan pengadilan ini lenyap dengan sendirinya.

    Arlene Sheskin and Charles W. Grau, Judicial Responses to Technocratic Reform,terungkap dalam Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15, Sage Publications,

    Baverlly Hills, 1981, hlm. 225-227.31Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun 2004, FH UII

    Pers, Yogyakarta, 2007, hlm. 59

    33

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Penulis berpendapat, gagasan mengenai zittingsplaatsen ini perlu

    dihidupkan kembali. Jika pemerintah bisa menyediakan akseskesehatan (seperti puskesmas keliling, Kantor Pos Keliling, Kantor Pajak

    Keliling, bahkan SIM Keliling), maka tentu saja penyediaan pengadilan

    dengan hakim/jaksa keliling juga dapat dilakukan. Hal ini juga akan

    sangat membantu dalam mendidik masyarakat mengenai hukum dan

    bagaimana memperjuangkan hak-hak perorangan atau individu dan

    hak-hak masyarakat.

    Penutup dan Saran

    Berdasarkan uraian kami tersebut di atas, maka penulis

    berkesimpulan, bahwa:

    1.Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Bantuan Hukum kepadakaum lemah dan miskin sekalipun telah diatur dalam KUHAP,

    namun masih memerlukan sinkronisasi dengan ketentuan

    peraturan hukum lainnya, misalnya dengan UU Kejaksaan atau

    UU Kepolisian atau UU Peradilan. Selain itu, juga perlu

    diperhatikan bahwa syarat atau kondisi dalam KUHAP untuk

    mengakses Bantuan Hukum juga perlu dihilangkan. Hak atas

    Bantuan Hukum adalah bersifat mutlak dan bukan pilihan, kecuali

    si tersangka atau terdakwa menolak dengan tegas haknya

    tersebut.

    2. Perlu juga dipertimbangkan dan disiapkan bahwa Bantuan Hukumbukan hanya sekedar hak bagi tersangka atau terdakwa, tetapi

    juga kewajiban bagi para Advokat. Dengan demikian, hak Advokat

    untuk menerima honorarium harus ditanggung oleh negara.

    34

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Dalam hal ini, pemerintah perlu membuat mekanisme

    pembayarannya melalui sistem keuangan negara.3. Akses Menuju Keadilan dalam pengertian Informasi Hukum

    merupakan pelayanan publik dari lembaga peradilan. Dengan

    menggunakan teknologi informasi, diharapkan setiap orang di

    pelosok manapun berada dapat dengan mudah dan murah

    menerima informasi mengenai tata cara, biaya dan hal-hal lain

    yang berkaitan dengan proses beracara di pengadilan.

    Demikianlah ceramah kami, mudah-mudahan dapat bermanfaat

    bagi Jejaring Komisi Yudisial sekalian. Terima kasih atas perhatiannya.

    Denpasar, 26 Juni 2010

    Dr. J. Djohansjah, S.H., M.H.

    35

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    DAFTAR PUSTAKA

    Abdul Hakim G. Nusantara dan Budiman Tanuredjo, Dua Kado HakimAgung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-Putusan MahkamahAgung tentang Kasus Kedung Ombo,Elsam, Jakarta, 1977.

    Ali, H. Zainuddin, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

    Arlene Sheskin and Charles W. Grau,Judicial Responses to TechnocraticReform, Cramer, James A. (ed.), Courts and Judges, volume 15,Sage Publications, Baverlly Hills, 1981.

    Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UU No. 4 Tahun2004, FH UII Pers, Yogyakarta, 2007.

    Cetak Biru Pembaruan Mahkamah Agung, Mahkamah Agung RepublikIndonesia, 2003.

    Frans Hendra Winarta, Probono Publico, Hak Konstitusional Fakir Miskinuntuk Memperoleh Bantuan Hukum, PT. Gramedia PustakaUtama, Jakarta 2009

    Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, PT KompasMedia Nusantara, 2009

    J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kepada IndependensiKekuasaan Kehakiman, Kesaint Blanc, Jakarta, 2008.

    Joshua Rozenberg, The Search For Justice An Anotamy od the Law,Hodder and Stoughton Ltd, 194,

    Justice In The Twenty-First Century, Cavendish Publishing (Australia)

    Pty Limited, 2000.

    Kurniawan, Runtuhnya Tafsir Hukum Monolitik, Sketsa Wacana Hukumdi Tengah Masyarakat yang Berubah, Jurnal Hukum JENTERA,Edisi 01/Agustus 2002.

    Laurence, Dan H. (ed), The Bodley Bernard Shaw: Collected Plays withtheir Prefaces, vol. 6, 1973.

    Posner, Richard A., the Economics of Justice, Harvard University Press,Cambridge, 1983

    36

  • 5/26/2018 Akses Menuju Keadilan (Access to Justice)

    Satjipto Rahardjo, Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Penerbit BukuKompas, Jakarta, 2003.

    Solly Lubis, Pembahasan UUD 1945, Alumni, Bandung, 1975.

    Sofyan Lubis, Prinsip Miranda Rule Hak Tersangka SebelumPemeriksaan; Pustaka Yustisia, 2010.

    Access to Justice in Indonesia, Special Note on Indonesias TransitionalEra and Corruption by Maruarar Siahaan, Access to Justice inAsian and European Transitional Countries, Bogor, 27-28 June.

    Harian Koran Tempo, tanggal 3 Januari 2006,

    37