aklimatisasi anggrek
DESCRIPTION
Merupakan laporan praktikum OrkhidologiTRANSCRIPT
AKLIMATISASI ANGGREK
Oleh:
Nama : Annisa Dwinda FatimahNIM : B1J011082Kelompok : 3Rombongan : IAsisten : Atika Laeli Sukmawati
LAPORAN PRAKTIKUM ORKHIDOLOGI
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGIPURWOKERTO
2014
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, salah
satunya adalah anggrek, diperkirakan sekitar 5000 jenis spesies
anggrek tersebar di wilayah Indonesia, khususnya potensi genetis
untuk menghasilkan anggrek silangan yang memiliki nilai komersial
tinggi. Tidak dipungkiri bahwa metode yang terbaik hingga saat ini
dalam pelestarian dan perbanyakan anggrek adalah dengan kultur
jaringan. Metode kultur jaringan dikembangkan untuk membantu
memperbanyak tanaman, khususnya untuk tanaman yang sulit
dikembangkan secara generatif, salah satunya tanaman anggrek
(Sarwono, 2002).
Pelaksanaan teknik kultur jaringan didasarkan atas teori sel
seperti yang dikemukakan oleh Schleiden dan Scwann, yaitu sel
mempunyai kemampuan autonomi, bahkan mempunyai
kemampuan totipotensi. Kemampuan totipotensi adalah
kemampuan tiap sel untuk tumbuh menjadi tanaman yang
sempurna bila diletakkan di lingkungan yang sesuai (Hendaryono
dan Wijayanti, 1994). Tanaman yang diperbanyak melalui kultur
jaringan dapat diperoleh beribu-ribu bibit anggrek dari tanaman
tunggal dalam waktu relatif singkat melalui salah satu jaringan
meristem. Berbagai macam jaringan meristem yang bisa dipakai
untuk kultur jaringan antara lain adalah ujung tunas, tunas
samping, ujung batang, ujung daun dan tunas apikal (Sarwono,
2002).
Planlet yang dipelihara dalam keadaan steril dengan
lingkungan (suhu, dan kelembaban) optimal, sangat rentan
terhadap lingkungan eksternal. Planlet yang tumbuh dalam
kultur jaringan di laboratorium memiliki karakteristik stomata
daun yang lebih terbuka dan sering tidak memiliki lapisan lilin
pada permukaan daun. Dengan demikian, planlet sangat rentan
terhadap kelembaban rendah. Mengingat sifat-sifat tersebut,
sebelum ditanam di lapangan maka planlet memerlukan
aklimatisasi. Dalam aklimatisasai, lingkungan tumbuh (terutama
kelembaban) berangsur-angsur disesuaikan dengan kondisi
lapangan (Mariska & Sukmadjaja, 2003).
B. Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk meningkatkan keterampilan melakukan
aklimatisasi anggrek, meningkatkan prosentase keberhasilan bibit anggrek yang
jadi (tetap hidup) sehingga dapat diperjualbelikan, menentukan macam media
aklimatisasi yang sesuai untuk masing-masing jenis anggrek.
II. MATERI DAN METODE
A. Materi
Alat-alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kawat yang ujungnya
menyerupai huruf U, pinset, baskom untuk merendam bibit dalam larutan
fungisida, pot plastik ukuran 2,5 inchi, dan tempat meletakkan pot yang telah
ditanami anggrek.
Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah steroform, bibit anggrek
botolan yang telah siap diaklimatisasi (Dendrobium sp., dan Vanda sp.), moss atau
Sphagnum, kertas koran, dan fungisida.
B. Metode
Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu:
1. Tutup botol dibuka, diisi dengan air yang bersih sambil dikocok pelan-pelan
agar media terlepas dari akarnya.
2. Ditarik pelan-pelan menggunakan kawat pengait, ditarik pada bagian pangkal
batang dan diusahakan agar akar keluar terlebih dahulu, agar tidak rusak
daunnya.
3. Direndam dalam larutan fungisida yang telah disiapkan selama 5 detik,
kemudian ditiskan di kertas koran.
4. Setelah benar-benar kering seedling ditanam ditengah-tengan media dengan
cara pot plastik diisi dengan steroform 2/3 bagian lalu bagian atasnya diisi
dengan moss.
5. Seedling diamati selama seminggu.
6. Pot diletakkan dalam rak plastik dan harus terlindungi dari sinar matahari
langsung.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Gambar 3.1. Aklimatisasi Hari ke-1 Gambar 3.2. Subkultur Hari ke-6
B. Pembahasan
Anggrek yang digunakan dalam praktikum ini adalah Vanda sp.
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, tanaman anggrek yang telah
diaklimatisasi tidak menunjukkan adanya perubahan, namun tidak pula
mengalami penurunan. Kultur jaringan tanaman mengacu pada pertumbuhan dan
multiplikasi sel, jaringan serta organ tanaman dalam media padat atau cair di
bawah kondisi aseptik dan kondisi lingkungan yang dikontrol. Mikropropagasi
memungkinkan produksi yang cepat berkualitas tinggi, bebas penyakit dan bahan
penanaman seragam terlepas dari musim dan cuaca. Namun keterbatasan utama
dalam aplikasi skala besar dari teknologi ini adalah tingginya kematian yang
dialami oleh tanaman mikropropagasi selama atau setelah laboratorium ke
pengalihan tanah. Tanaman dipindahkan ke ex vitro pada kondisi abiotik yang
berbeda (suhu berubah, cahaya intensitas dan kelembaban kondisi) dan kondisi
cekaman biotik kondisi yaitu mikroflora tanah, sehingga perlu aklimatisasi untuk
kelangsungan hidup planlet (Chandra et al., 2010). Serangkaian kegiatan yang
diperlukan untuk produksi bibit anggrek adalah pengecambahan biji anggrek in
vitro, pertumbuhan dan pembesaran seedling, hingga aklimatisasi plantlet/bibit
botolan. Tahapan sejak perkecambahan hingga akhir bibit botolan perlu
pembesaran seedling in vitro, karena media yang optimal untuk pengecambahan
biji berbeda dengan media yang optimal untuk pertumbuhan dan pembesaran
seedling (Gusta et al., 2011).
Aklimatisasi adalah suatu upaya mengkondisikan planlet atau tunas mikro
hasil perbanyakan melalui kultur in vitro ke lingkungan in vivo yang aseptik.
Aklimatisasi merupakan proses yang penting dalam rangkaian aplikasi teknik
kultur jaringan untuk mendukung pengembangan pertanian (Yusnita, 2003).
Proses aklimatisasi dilakukan dengan cara bertahap. Tujuannya adalah supaya
tanaman hasil kultur jaringan dapat beradaptasi dengan perubahan lingkungan.
Baik suhu, kelembaban, cahaya maupun faktor lainnya akan berbeda dan tanaman
hasil kultur jaringan juga memiliki kekurangan dibanding tanaman yang ditanam
di lingkungan alami. Tanaman hasil kultur jaringan memiliki lapisan lilin
(kutikula) yang tidak berkembang sempurna dan akar yang belum bisa berfungsi
dengan baik. Saat pemindahan tanaman ke kondisi normal atau dalam media
pakis, tanah, atau kompos, harus dilakukan secara bertahap dan menghindari
infeksi dari fungi serta bakteri karena tanaman hasil kultur jaringan belum mampu
beradaptasi dengan patogen-patogen yang biasa ditemukan di lingkungan luar
(Pierik, 1987).
Media tumbuh bagi bibit merupakan lingkungan baru dalam proses
aklimatisasi. Media tumbuh yang baik bagi anggrek harus memenuhi beberapa
persyaratan, antara lain tidak cepat melapuk dan terdekomposisi, tidak menjadi
sumber penyakit bagi tanaman, mempunyai aerasi dan draenase yang baik secara
lancar, mampu mengikat air dan zat-zat hara secara optimal, dapat
mempertahankan kelembaban di sekitar akar, untuk pertumbuhan anggrek
dibutuhkan pH media 5-6, ramah lingkungan serta mudah di dapat dan relatif
murah harganya (Ginting, 2008). Pilihan jenis media yang akan digunakan harus
mempertimbangkan beberapa faktor, misalnya lingkungan, pertumbuhan tanaman
dan susunan unsur haranya. Di daerah bercurah hujan tinggi, penggunaan media
moss atau pakis harus dihindari karena kemampuan menahan airnya cukup tinggi.
Akibatnya, tanaman mudah menggugurkan daun dan busuk karena akar napas
anggrek yang menyukasi kondisi terbuka tidak mampu bernapas akibat tergenang
air. Dalam proses aklimatisasi sebaiknya digunakan media tanam yang halus dan
lunak, sehingga akar dapat tumbuh optimal. Media aklimatisasi berupa sekam
bakar, serbuk pakis, moss atau akar pakis. Media tersebut harus cukup halus,
dapat memegang air dengan baik, serta bebas dari jamur dan penyakit. Media
aklimatisasi disterilkan dengan menggunakan autoklaf. Pemberian fungisida
diperlukan untuk mencegah serangan jamur, pembersihan media secara benar juga
mengurangi resiko serangan (Handayani, 2011).
Tahap-tahap dalam proses mengeluarkan bibit anggrek dari dalam botol
(aklimatisasi) sebagai berikut :
1. Memilih bibit anggrek yang sudah siap untuk di keluarkan dari botol.
2. Membuka tutup botol dan masukan air bersih. Langkah ini bertujuan untuk
memecah media agar supaya bibit mudah di keluarkan.
3. Mengeluarkan bibit dari botol dengan cara bagian pangkal batang
(pseudobulb) ditarik lebih dulu dengan kawat atau sejenisnya yang ujungnya
bengkok.
4. Mencuci dan bersihkan bibit dari media agar, terutama bagian akar dengan air
bersih. Apabila media agar masih melekat, maka akan dapat membahayakan
bibit, karena bisa menjadi tempat tumbuh jamur dan bakteri.
5. Setelah bibit dicuci bersih, letakkan atau tiriskan diatas kertas (bisa
menggunakan koran) sampai tidak terlalu basah.
6. Menanam antara 30-40 bibit dalam satu pot (kompot) tergantung besarnya
ukuran pot dengan media tanam pakis dan arang kayu dengan perbandingan
1:1.
7. Meletakkan bibit yang sudah ditanam dalam komuniti pot (kompot) di tempat
yang tidak terkena sinar matahari dan air hujan secara langsung. Kebutuhan
akan cahaya matahari sangat rendah, yaitu sekitar 20 %, dengan sirkulasi
udara yang baik.
Dalam menanam bibit anggrek, hal yang harus diperhatikan adalah batang semu
atau umbi semu (pseudobulb) tidak boleh tertutup oleh media tanam, karena dapat
membusuk sehingga dapat menyebabkan kematian bibit. Bibit yang sudah di
tanam dalam pot diusahakan jangan sampai sering tersenggol karena akar yang
sedianya akan melekat pada media tanam menjadi terlepas lagi sehingga
pertumbuhannya terhambat (Prasetyo, 2009).
Bibit anggrek dari botol yang telah siap diaklimatisasikan dapat
digolongkan menjadi dua golongan yang sifat pertumbuhannya simpodial tidak
mengenal masa istirahat (rest period), sedangkan yang bersifat monopodial
mengenal masa istirahat sehingga transplangingnya (pindah tanam) harus
didasarkan atas kenyatan adanya masa istirahat itu. Bagi monopodial saat yang
tepat untuk mengeluarkan bibit dari dalam botol adalah waktu tanaman
memperlihatkan pertumbuhan yang kuat, cepat, dan segar. Sedangkan untuk
anggrek yang bersifat simpodial paling tidak memperlihatkan adanya umbi semu
(Pseudobulbus), setidaknya umbi kedua (Diah, 2003). Menurut Untari et al.,
(2007), alasan yang menyebabkan bibit anggrek tidak tumbuh yaitu bibit
mengalami penguapan/transpirasi yang tinggi karena tidak dilakukan penutupan
dengan botol plastik pada awal pengaklimatisasian, sehingga daun menjadi layu
dan kemampuan fotosintesispun menurun. Intensitas cahaya dan kelembaban yang
tinggi tidak diperhatikan saat pengaklimatisasian.
Adapun faktor-faktor lingkungan yang menjadi pembatas dalam proses
aklimatisasi yaitu sebagai berikut:
1. Keasaman (pH)
Sel-sel tanaman yang dikembangkan dengan teknik kultur jaringan
mempunyai toleransi pH yang relatif sempit dengan titil optimal antara pH
5,0 dan 6,0. Bila eksplan sudah mulai tumbuh, pH dalam lingkungan kultur
dalam media kultur jaringan mempunyai peran yang sangat penting dalam
menstabilkan pH. Penyimpangan pH dalam medium yang mengandung
garam tinggi kemungkinan terjadi lebih kecil, karena kapasitas buffernya
lebih besar. Kapasitas kultur sel untuk penggunaan NH4+ sebagai satu-satunya
sumber N tergantung pada pengaturan pH dari medium di atas 5.
2. Kelembaban
Kelembaban relatif (RH) lingkungan biasanya mendekati 100%. RH
sekeliling kultur mempengaruhi pola pengembangan. Jadi, pengaturan RH
pada keadaan tertentu memerlukan suatu bentuk diferensiasi khusus.
3. Cahaya
Intensitas cahaya yang rendah dapat mempertinggi embriogenesis dan
organogenesis. Cahaya ultraviolet dapat mendorong pertumbuhan dan
pembentukan tunas dari kalus tembakau pada intensitas yang rendah.
Sebaliknya, pada intensitas yang tinggi proses ini akan terhambat.
Pembentukan kalus maksimum sering terjadi di tempat yang lebih gelap.
4. Temperatur
Temperatur yang dibutuhkan untuk dapat terjadi pertumbuhan yang optimum
umumnya adalah berkisar di antara 200-300C. Sedangkan temperatur optimum
untuk pertumbuhan kalus endosperm adalah sekitar 250C. Faktor lingkungan,
di samping faktor makanan (media tanam) yang cocok, dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi.
IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan yaitu:
1. Tahapan aklimatisasi yaitu perendaman botol kultur, pengeluaran plantlet,
perendaman plantlet kedalam larutan fungisida, persiapan media dalam pot,
penanaman dan pengamatan harian.
2. Media yang paling baik untuk anggrek epifit adalah moss sphagnum karena
lebih mengikat air, tetapi lebih lancar dalam drainese dan aerasi udara.
DAFTAR REFERENSI
Chandra, S., R., Bandopadhyay., R., V. Kumar., R. Chandra. 2010. Acclimatization of Tissue Cultured Plantlets: from Laboratory To Land. Biotechnol Lett 32: 1199–1205.
Diah, Widiastoety, D. 2003. Merawat Cattleya. Swadaya, Jakarta.
Ginting B. 2008. Membuat Media Tumbuh Anggrek. KP Penelitian Tanaman Hias, Deptan.
Gusta, A.R., D. Hapsoro., N. Sa’diyah., & Yusnita. 2011. Pengaruh Media Dasar dan Benziladenin (BA) terhadap Pembesaran Seedling Anggrek Dendrobium In Vitro. Jurnal Agrotropika 16(2): 76-79.
Handayani, R.F. 2011. Proses Aklimatisasi pada Kultur Jaringan Anggrek di Laboratorium Kultur Jaringan Unit Wonocatur Banguntapan Bantul Yogyakarta. Tugas Akhir. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Mariska, I., & Sukmadjaja, D. 2003. Perbanyakan Bibit Abaka Melalui Kultur Jaringan. Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Bogor.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publishers. Netherlands.
Prasetyo, C.H. 2009. Teknik Kultur Jaringan Anggrek Dendrobium sp. di Pembudidayaan Anggrek Widorokandang Yogyakarta. Tugas Akhir. Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Sarwono, B. 2002. Mengenal dan Membuat Anggrek Hibrida. AgroMedia Pustaka, Jakarta.
Untari, Rina, E., Sandra., & D. M., Puspitaningtyas. 2007. Aklimatisasi Bibit Anggrek Hitam (Coelogyne pandurata Lindl). Buletin Kebun Raya Indonesia Vol.10 No.1.
Yusnita. 2003. Kultur jaringan Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. Agro Media Pustaka, Jakarta.