akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami · pdf filealasan suami murtad (analisa...
TRANSCRIPT
AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN
ALASAN SUAMI MURTAD (Analisa Putusan No. 1154/ PDT. G/ 2007/ PA. JS)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)
Oleh :
LILIS SURYANI
NIM : (104044201470)
Di bawah Bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. H. Abd. Wahab Abd Muhaimin,Lc. MA Afwan Faizin, S. Ag, M.A,
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM JURUSAN AKHWAL AS-SYAHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA 1429 H/2008 M
بسم اهللا الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripisi ini. Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa syari’ah-Nya yang universal bagi semua umat manusia
setiap waktu dan tempat sampai akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya,
kesungguhan, serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung
maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya,
sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya pada kesempatan kali ini penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Bapak Kamarusdiana, S.Ag., M.
Hum, selaku Ketua Prodi dan Sekertaris Prodi al-Akhwalus Syakhsiyyah
Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak H. Abd. Wahab Abd Muhaimin, Lc. MA dan Bapak Afwan Faizin, S.Ag,
M.A, selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran selama membimbing penulis untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah memudahkan setiap langkahnya. Amin.
4. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Prodi al-
Akhwalus Syakhsiyyah fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuannya kepada
penulis selama duduk di bangku kuliah.
5. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syari’ah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan penulis dalam menyusun
skripsi.
6. Bapak Drs. A. Chairi, M. Hum, selaku Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Sejumput bakti ananda persembahkan kepada Ayahanda H. Abdul Rosyid dan
Uminda tercinta Hj. Zubairoh, yang telah mencahayai hidupku serta senantiasa
memberikan kasih sayang disertai do’a penuh rasa tulus dan ikhlas dalam setiap
jejak langkahku. Semoga baktiku ini mampu menjelma menjadi do’a ‘terima
kasih’ ku untukmu. Semoga Allah selalu menyayangi mereka berdua. Amin.
8. Selaksa do’a dan harapan penulis panjatkan untuk kakak-kakakku tercinta;
Abdul Ghafur, Hj. Umi Kholasoh, Abdul Ghafir, Mujikha, Khunafah,
Muhammad Ghazali, Murfatmah, Murfatmi, yang senantiasa memberikan
wejangan dan semangat pada penulis selama penulis mengerjakan skripsi. Tidak
lupa terima kasih pada mama Ika, mas Olid, mba Siswi, mas Sidin, mba Ah,
mba Dina, mas Budi dan mas Taufan. Terimakasih atas do’a dan motivasinya.
9. Selaksa cinta penuh kasih penulis haturkan teruntuk Bambang Hermawan
beserta keluarga besar. Terima kasih atasa dukungan dan do’anya dan dan
terima kasih juga telah memberikan penawar dahaga kalbu disaat penulis tengah
gundah gulana.
10. Untuk keponakan-keponakanku tercinta; Ika Trisnawati, terima kasih atas
dukungan, motivasi dan do’a yang senantiasa dipanjatkan untukku, dan terima
kasih juga pada Iin, Aya, Amin, Mahda, teruslah semangat dalam belajar untuk
menggapai impian kalian.
11. Setangkup do’a dan asa kupersembahkan untuk sahabat sekaligus saudariku;
Yayah, Ika, Hajah, Neng Hanna, Ade, Ida, Febri, Rizal, kuucapkan rasa terima
kasih yang tak terhingga atas suntikan motivasi yang tiada henti, serta
bantuannya baik moril maupun materil. Semoga Allah ‘Azza Wa Jalla yang
akan memabalas budi baik kalian. Amin
12. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada teman-teman diskusi
konsentrasi Administrasi Keperdataan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2004, yang telah
melangkah bersama penulis dalam petualangan asah kecerdasan dan kearifan,
terutama pada sahabat-sahabat karib; Eni, Riana, Rida, Eva, Diah, Iis, Rizka,
Riani,
Tita, Puji, Zarkazi, Mara, Tofik, Ma’min, Barry, Yanto, serta kawan-kawan lainnya
yang penulis tidak dapat sebutkan satu persatu. Mudah-mudahan jalinan persahabatan
kita tidak akan luntur di lekang waktu dan semoga persahabatan ini bisa terjalin
sampai kapan pun dan dimanapun kita berada.
Semoga amal baik mereka di balas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Jazakumullah Khairan Kastira. Sungguh hanya Allah SWT yang
dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran, senantiasa
penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Jakarta: HUlaJumadil19M2008Juni23
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ vii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................. 8
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian ................................... 9
D. Metode Penelitian ........................................................... 10
E. Sistematika Penulisan ..................................................... 12
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya.................. 14
B. Sebab-sebab Perceraian................................................... 18
C. Macam-macam Perceraian .............................................. 23
BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Murtad .......................................................... 32
B. Syarat-syarat Murtad....................................................... 34
C. Macam-macam Murtad ................................................... 37
BAB IV : AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN DENGAN
ALASAN SUAMI MURTAD
A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami
Murtad............................................................................. 39
1. Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974........ 39
2. Menurut Kompilasi Hukum Islam ............................ 51
B. Tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan
dalam Memutuskan Perceraian Dengan Alasan Suami
Murtad Dengan Perkara No. 1154/Pdt.G/ 2007/PA.JS ... 65
C. Analisa Putusan............................................................... 76
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 80
B. Saran................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 83
LAMPIRAN – LAMPIRAN................................................................................... 86
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Surat mohon kesediaan pembimbing skripsi
4. Surat mohon data dan wawancara
5. Surat keterangan telah melakukan penelitian dan wawancara di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
6. Surat putusan No. 1154/Pdt. G/2007/PA. JS
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam berisi aturan-aturan tentang setiap segi kehidupan manusia,
termasuk didalamnya segi pergaulan antar jenis yang secara ilmiah memerlukan
terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin. Dalam syurah al-Dzaariyat 49 Allah
menyatakan :
.. ⌧ ⌧
Artinya: “Dan segala sesuatu yang kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah”.1 Tuhan telah menciptakan secara berpasang-pasangan segala hal yang
ada di dunia ini, dan menjadikan perkawinan sebagai sunnatullah bagi mahluk-
Nya. Dengan demikian, tingkat kebutuhan lahir dan batin manusia tidak
menghalangi pergaulan antara pria dan wanita disebabkan sudah adanya suatu
ikatan perkawinan.
1 Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta, Departemen Agama Republik Indonesia,
1990).
Perkawinan menurut hukum Islam merupakan suatu perjanjian suci
antara seorang perempuan dan seorang laki-laki untuk membentuk keluarga yang
bahagia. Perjanjian ini mengandung pengertian adanya kemauan bebas antara
kedua belah yang saling berjanji berdasarkan prinsip suka sama suka, sehingga
diharapkan perkawinan tersebut dapat berlangsung sampai akhir hayat. Meskipun
mengandung pengertian adanya kemauan bebas, perkawinan harus tetap
memperhatikan aturan-aturan hukum yang telah ditetapkan dan berlaku secara
sah, karena perkawinan disamping sebagai ibadah ritual juga merupakan suatu
perbuatan hukum.
Untuk mengatur perkawinan sebagai perbuatan hukum, maka Negara
menetapkan peraturan yang akan menjadi dasar atau acuan bagi masyarakat yang
akan melaksanakan perkawinan.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 merupakan pedoman bagi pemeluk
agama Islam yang berisi tentang tata cara perkawinan. Pada pasal 1 Undang-
undang tersebut menyatakan bahwa ; “Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin
antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam
perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau mustaqon gholidzan untuk
mentaati perintah Allah dan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah.2
Prinsip dari keluarga sakinah tersebut diatas secara Qur’ani antara lain
diatur dalam surat Al-Rumm ayat 21:
☯
☺
⌧
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadika-nNya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mau berpikir”. (Q. S. al-Rum/ 30:21).
Sedangkan pada pasal 2 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974
Tentang Perkawinan yang menyebutkan tentang keabsahan perkawinan yang
berbunyi : “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Berdasarkan bunyi dari pasal tersebut di atas telah jelas bahwa ikatan
lahir batin yang dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, bertujuan
untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal yang dilakukan
berdasarkan ketentuan hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang
bersangkutan.
2 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Departemen Agama Republik Indonesia, 2004.
Sesuai dengan penjelasan pasal tersebut, kita dapat mengartikan
adanya prinsip kebebasan beragama bagi setiap warga Negara. Hal ini sejalan
dengan pasal 29 ayat 2 Undang-undang 1945 yang menjamin tentang kebebasan
dalam memeluk agama dan kepercayaan masing-masing yang mana hal tersebut
dilihat dari keabsahan perkawinan, apabila dilakukan menurut aturan hukum
masing-masing.
Beradasar ketentuan di atas, yang mengartikan prinsip kebebasan
beragama bagi setiap warga Negara, maka dapat juga diartikan secara tegas
makna yang tersirat di dalamnya yang mengandung arti kebebasan untuk pindah
agama, sejauh tidak ada paksaan atau bujukan agar seseorang mau melakukan
pindah agama.
Perbuatan pindah agama (riddah) menurut syara’ adalah keluar dari
agama Islam, baik menjadi kafir atau tidak beragama sama sekali. Dalam ikatan
perkawinan, murtadnya salah satu pihak baik atas kemauan sendiri maupun
karena bujukan dari orang lain akan dapat mengakibatkan putusnya ikatan
perkawinan dengan sendirinya, yang mana hal tersebut didasarkan atas
pertimbangan keselamatan agama dari laki-laki/perempuan yang beragama Islam,
dan dikhawatirkan anak-anaknya akan mengikuti agama bapaknya/ibunya yang
bukan Islam.
Adapun hal-hal yang mendorong penulis memilih judul ini adalah
berdasarkan prinsip Sayyid Sabiq dalam kitab Fiqh Sunnah jilid II, sebagai
berikut :
اذا ارتد الزوج او الزوجة انقطعت عالقة منهما باآلخر الن ردة اي واخد منهما موجبة للفرقة بينهما
Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami-isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka”3
Dan juga berdasarkan firman Allah SWT dalam al-Qur’an yang
berbunyi :
☺
☺
☺ ☺ ⌧
⌧
☺
☺
⌧
⌧
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah skepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
3 Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Bairut: Daar al-Fikr, 1983), Juz. 8, Jilid II, h. 389
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar, dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya, dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Q. S. al-Mumtahanah: 10)
Dari ayat diatas kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam
melarang adanya ikatan perkawinan antara orang Islam dan orang kafir, yang
mana murtadnya salah satu pihak dapat menjadikan putusnya perkawinan.
Hal ini juga dipertegas dalam surat al-Baqarah ayat 221 yang
menjelaskan tentang larangan berpegang pada tali (perkawinan) dengan orang
kafir dan orang musyrik sebelum mereka beriman, dengan didasarkan atas
pertimbangan kemadharatan dan dikhawatirkan akan terbawa kepada agama
suaminya.
Akan tetapi, jika kita lihat dalam kehidupan bermasyarakat masih
banyak kita temui maslah-maslah perpindahan agama, yang mana satu sama lain
tetap mempertahankan agama dan keyakinannya masing-masing tanpa
mengindahkan larangan-larangan tersebut. Misalnya sebelumnya dia telah
memeluk agam Islam kemudian pindah agama selain Islam. Ada beberapa alasan
atau sebab seseorang untuk pindah agama, yaitu:
1. Karena mengikuti kehendak atau bujuk rayu dari suami atau isteri.
2. Karena adanya tekanan atau ancaman yang memaksanya untuk pindah agama.
3. Karena tertarik dengan ajaran agama lain.
4. Yang tadinya non Islam, karena belum kuat imannya memeluk agama Islam,
sehingga mudah kembali keagama semula yang dia anut.
5. Karena belum mengetahui atau mengerti akibat dari perbuatannya, bahwa
murtadnya itu akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangganya.
Perpindahan agama dalam suatu perkawinan juga ada hubungannya
dengan masalah warisan, di mana perbedaan agama itu dapat menghalangi
seseorang untuk mendapatkan warisan dan tidak berhak untuk diwarisi,
sebagaimana sabda nabi Muhammad SAW:
ال يرث المسلم : م قال.عن اسامة بن يزيد الن النبي ص )متفق عليه(الكافر وال يرث الكافر المسلم
Artinya: “Dari Usamah bin Yazid, katanya: bahwa Rasulullah saw bersabda:”Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, begitu pula sebaliknya tidak mewarisi orang kafir terhadap orang Islam”. (HR. Muttafaq Alaih). 4
Dalam Islam, perkawinan tidak diikat dalam ikatan yang mati dan
tidak pula mempermudah terjadinya perceraian. Perceraian boleh dilakukan jika
benar-benar dalam keadaan darurat atau terpaksa. Perceraian dibenarkan dan
diperbolehkan apabila hal tersebut lebih baik daripada tetap dalam ikatan
perkawinan tetapi tidak tercapai kebahagiaan dan selalu berada dalam
penderitaan. Agama Islam pun membolehkan suami istri bercerai, tentunya
4Imam Bukhari dan Muslim, Sahih Muslim, (terj.) Mahmud Matraji, (Beiru: Daar
al_Fikr, 1993), vol. 2, h. 273
dengan alasan-alasan tertentu, kendati perceraian itu (sangat) dibenci oleh Allah
SWT. 5
Dalam penyelesaian keluarga (hubungan suami istri) apabila sudah
tidak ada jalan lain, tidak ada kata sepakat antara kedua belah pihak untuk
menyatu lagi membangun keluarga, bahkan kalau diteruskan mungkin merusak
hubungan keluarga, maka perceraian merupakan alternative terakhir, dimana
suami istri harus berpisah. Pihak yang menentukan sah atau tidaknya talak dalam
suatu peraturan hukum adalah Pengadilan Agama.6
Masalah murtadnya salah satu pasangan suami atau isteri dalam suatu
perkawinan merupakan salah satu alasan yang dapat diajukan untuk bercerai.
Perceraian karena pindah agama (murtad) di dalam Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 tidak diatur secara jelas. Dalam Undang-undang tersebut ada beberapa
hal yang dapat dijadikan alasan perceraian, diatur dalam pasal 38. Dan untuk
alasan perceraian karena salah satu pihak pindah agama (murtad) diatur dalam
pasal 116 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang apabila terjadi peralihan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga
oleh salah satu pihak antara suami isteri.
Dari masalah perceraian tentunya akan membawa akibat-akibat hukum
bagi para pihak beserta anak hasil dari perkawinan tersebut, belum lagi nantinya
5Ahmad Shiddiq, Hukum Talak Dalam Ajaran Islam (Surabaya: Pustaka Pelajar
2001), cet. Ke-I, h. 54-55 6Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqih, UU No I Tahun 1974 sampai KHI (Jakarta: Prenada Media, 2004), cet. Ke- 2, h. 233-234
juga akan menyangkut mengenai harta yang mereka peroleh selama masa
perkawinan. Berangkat dari hal tersebut, maka penulis memilih judul skripsi ini
dengan “Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad
(Analisis Putusan No. 1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar pokok permasalahannya dalam memahami skripsi ini tidak
terlalu meluas dan tetap pada jalurnya, penulis membatasi ruang lingkup
pembahasan ini hanya berkisar pada perceraian yang dilatarbelakangi adanya
perpindahan agama (riddah) yang dilakukan oleh suami.
Dari permasalahan tersebut penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah akibat hukum apabila terjadi perceraian dengan alasan suami
murtad ditinjau Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 maupun
Kompilasi Hukum Islam?
2. Bagaimana putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap
perkara perceraian dengan alasan suami murtad?
3. Atas pertimbangan apa saja Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara
perceraian dengan alasan suami murtad?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui akibat hukum dari perceraian dengan alasan suami murtad
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam.
2. Untuk mengetahui hasil putusan hakim Pengadilan Agama dalam
memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.
3. Untuk mengetahui pertimbangan apa saja yang dilakukan Pengadilan Agama
dalam memutuskan perkara perceraian dengan alasan suami murtad.
Adapun keguaan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi akademisi; untuk menambah kajian keilmuan dalam bidang hukum
perkawinan ditinjau dari perspektif agama dan Undang-undang Perkawinan.
2. Bagi elit pengambil kebijakan; untuk mengembangkan pemikiran dan
kepastian hukum bagi pejabat di Pengadilan Agama mengenai peraturan-
peraturan perkawinan yang berada di Indonesia.
3. Bagi masyarakat pada umumnya; untuk memberikan wawasan keilmuan
dalam bidang hukum perkawinan beserta peraturan-peraturannya yang berlaku
di Indonesia.
D. Metode Penelitian
Dalam menyusun penulisan skripsi ini, penulis akan menggunakan
metode:
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah penelitian ini adalah pendekatan kualitatif yaitu
dengan melakukan analisa isi, menganalisa dengan cara menguraikan dan
mendeskirpsikan isi dari putusan yang penulis dapatkan tersebut kemudian
menghubungkannya dengan masalah yang diajukan sehingga ditemukan
kesimpulan objektif, logis, konsisten dan sistematis sesuai dengan tujuan yang
dikehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan
data skunder, yaitu;
a. Data Primer
1) Di dapatkan dari Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan nomor
putusan 1154/ Pdt. G/ 2007/PA. JS.
2) Wawancara terhadap hakim.
Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang di kaji.
b. Data Skunder
Data skunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan
studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan
masalah yang di ajukan. Dokumen yang dimaksud adalah; Al- Qur’an, Al-
Hadist, buku-buku karangan ilmiah, Undang-undang, Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1875, serta buku dan peraturan
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang di ajukan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Menganalisa terhadap putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan nomor
1154/ Pdt. G/ 2007/ PA. JS
b. Interview atau wawancara yaitu mengumpulkan data yang dilakukan
penulis dengna jalan mengadakan dialog langsung dengan responden yaitu
yang telah di pilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Jakarta
Selatan.
4. Teknik Analisa Data
Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa
teknik, maka data yang sudah ada akan diolah dan dianalisis supaya
mendapatkan suatu hasil akhir yang bermanfaat bagi penelitian ini. Pengolaan
data dilakukan dengan mengadakan studi dengan teori kenyataan yang ada di
tempat penelitian. Sedangkan teknik penulisan mengikuti pedoman penulisan
skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah dalam memahami
skripsi ini, maka penulis membagi isi skripsi ini dari lima bab. Adapun
sistematikanya adalah sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Merupakan pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah yang
akan dibahas, pembatasan dan perumusan masalah. tujuan dan
kegunaan penelitian, metode penelitian serta sistematika penulisan
atau isi dari ringkasan bab demi bab dalam penulisan skripsi ini.
Bab II Tinjauan Umum Tentang Perceraian
Dalam bab ini dijelaskan mengenai perceraian dan dasar hukumnya,
sebab-sebab perceraian, serta macam-macam perceraian.
Bab III Tinjauan Umum Tentang Murtad Menurut Hukum Islam
Dalam bab ini diuraikan mengenai pengertian dari murtad, syarat-
syarat murtad, macam-macam murtad.
Bab IV Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad
Dalam bab ini dijelaskan juga mengenai akibat hukum dari
perceraian dengan alasan suami murtad menurut Undang-undang
No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan menurut Kompilasi
Hukum Islam, diuraikan juga mengenai tinjauan Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan dalam memutuskan perkara perceraian
dengan alasan suami murtad, yang terakhir adalah mengenai analisa
kasus putusan perceraian tersebut dengan nomor perkara 1154/ Pdt.
G/ 2007/ PA. JS.
Bab V Penutup
Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari akibat
hukum dari perceraian dengan alasan suami pindah agama (murtad),
dan saran-saran. Juga, dikemukakan bahan-bahan yang dipergunakan
dalam penulisan skripsi yaitu library research ditulis dalam daftar
pustaka, serta lampiran-lampiran data dan dari hasil wawancara yang
dilakukan penulis di lapangan.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian Perceraian dan Dasar Hukumnya
Perceraian dalam istilah fiqih disebut “talak” atau “furqah”. “Talak”
berarti “membuka ikatan”, “membatalkan perjanjian”. “Furqah” berarti
“bercerai”, lawan dari “berkumpul”. Kemudian kedua perkataan ini dijadikan
istilah oleh ahli-ahli fiqih yang berarti perceraian antara suami istri.2 Ta’rif thalaq
menurut bahasa Arab mempunyai arti melepaskan ikatan. Yang dimaksud disini
adalah melepaskan ikatan perkawinan.3
Talak menurut bahasa adalah membuka ikatan, sedangkan menurut
syara’ adalah melepaskan tali perkawinan dan mengakhiri tali pernikahan suami
istri.4 Talak menurut istilah adalah memutuskan tali perkawinan yang sah dari
pihak suami dengan kata-kata yang khusus, atau dengan apa yang dapat
mengganti kata-kata tersebut.5
Penulis tidak menjumpai pengertian yang jelas tentang perceraian
dalam hukum positif yang mengatur tentang perkawinan. Dalam Undang-undang
2 Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan
Bintang, 1974), cet. Ke-2, h. 156 3 H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriya, 1976), cet. Ke-6, h. 376 4 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, (Semarang: Dina Utama, 1993), Cet. Ke-1, h. 134 5 S. Ziyad Abbas, Fiqh Wanita Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991), h. 43
Nomor 1 Tahun 1974 pasal 38 hanya menyebutkan sebab-sebab putusnya
perkawinan yaitu:
1. karena kematian
2. karena perceraian
3. karena putusan pengadilan
Akan tetapi, perlu kiranya penulis mengemukakan pendapat para
sarjana sebagai pegangan tentang pengertian perceraian. Subekti merumuskan
bahwa perceraian adalah penghapusan perkawinan dengan hakim atau tuntutan
salah satu pihak dalam perkawinan itu. Sedangkan Happy Marpaung berpendapat,
perceraian adalah perbuatan pembubaran perkawinan ketika para pihak masih
hidup dengan alasan yang dapat dibenarkan dan ditetapkan dengan putusan
pengadilan.6
Dasar Hukum Perceraian
Dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari antara suami isteri
haruslah selaras agar terciptanya kehidupan yang damai dan tenteram sesuai
dengan apa yang diinginkan yaitu terbentuknya kelurga yang sakinah, mawaddah
wa rahmah. Namun tidak sedikit halangan yang dihadapi oleh suami isteri
tersebut, bahkan hal yang terburukpun dapat terjadi dalam rumah tangga bila
tidak ada kata sepakat lagi yaitu terjadinya perceraian sebagai jalan terakhir untuk
menyelamatkan kedua belah pihak.
6Happy Marpaung, Masalah Perceraian, (Bandung: Tonis, 1983), Cet. Ke- 1, h. 15
Mengenai dasar hukum perceraian penulis akan mencantumkan ayat-
ayat al-Qur’an serta hadist yang menjadi landasan hukum perceraian, antara lain :
1. Surat al-Baqarah ayat 230 yang berbunyi :
⌧ ⌧ ⌧ ⌧
☺
☺
☺
Artinya: “Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui”.
2. Surat al-Baqarah ayat 229 yang berbunyi :
⌧
☺ ☺ ⌧
☺
⌧ ☺
⌧
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
3. Surat at-Thalaq ayat 1 yang berbunyi :
⌧
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka
hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru”.
Selain ayat-ayat al-Qur’an diatas, adapula hadist yang berkenaan
dengan dasar hukum perceraian.
Hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah, yang
berbunyi:
ضغبا: ال قملس وهيل عى اهللال صيبن الن عرم عن ابنعاود الحاآم رواه ابواد. (قاللط الج وز عى اهللال الالحال
)وصححهArtinya: “Dari Ibnu Umar r. a berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Diantara
barang-barang yang halal yang dibenci oleh Allah adalah talak”. (Diriwayatkan oleh abu Daud, Ibnu Majah, dan disahkan oleh Hakim dan Abu Hatim menguatkan kemursalannya).
B. Sebab-sebab Terjadinya Perceraian
Suatu perceraian dapat terjadi karena sebab-sebab tertentu. Di dalam
Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan perceraian disebutkan pada pasal 116 yang
terdapat delapan macam alasan untuk perceraian. Dalam hal ini penulis mencoba
menjelaskan menurut kemampuan yang ada, yaitu:
1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan
lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
Zina adalah salah satu perbuatan yang dapat dijadikan alasan
perceraian. Suatu perbuatan zina yang dituduhkan kepada seseorang dapat
dibuktikan dengan saksi-saksi yang kesaksiannya benar-benar menyaksikan
sendiri peristiwa zina yang dilakukan oleh orang yang dituduh berada dalam
keadaan tertangkap basah. Para saksi harus melihat langsung seorang laki-laki
dan perempuan sedang melakukan hubungna kelamin. Tuduhan perbuatan
zina tidak bisa didasarkan atas suatu hasil konklusi. Karena sulitnya cara
pembukitan ini, maka banyak dalam perkara perceraian, penggugatnya jarang
yang berani secara tegas mendasarkan dalilnya atas alasan zina. Karenanya
orang lebih sering mempergunakan istilah “serong, selingkuh, ataupun
menyeleweng” dan dari perbuatan ini akan timbulah perselisihan dan
pertengkaran yang terus menerus.
Alasan lain yang dapat digunakan oleh kedua belah pihak untuk
mengajukan perceraian adalah pemabuk, pemadat, penjudi dan sebagainya.
Jika hal tersebut (mabuk, madat dan judi) dilakukan terus menerus maka akan
timbul dampak negatif terhadap keutuhan rumah tangga dan kehidupan
ekonomi keluarga akan terancam.
2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya;
Dicantumkannya jangka waktu 2 tahun pada rumusan diatas adalah
untuk mendapatkan kepastian hukum, karena permasalahan ini erat kaitannya
dengan pihak yang meninggalkan. Perceraian dengan alasan ini adalah untuk
menjaga dan melindungi pihak yang ditinggalkan, sedangkan mengenai kata
‘berturut-turut’, apabila tidak disebutkan dengan jelas ada kemungkinan
kepergiannya terputus-putus asal kepergianya itu jumlahnya 2 tahun maka
bisa dijadikan alasan untuk memohon perceraian.
Persyaratan paling penting dalam hal ini adalah bila memang ada
i’tikad ingin meninggalkan tanpa suatu alasan yang sah dan tanpa izin orang
yang ditinggalkannya itu. Namun, bila meniggalkannya itu demi kepentingan
yang berkaitan dengan kelangsungan hidup mereka pada masa yang akan
datang, maka hal seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai alasan memohon
perceraian.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
Pasal 23 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 disebutkan
“Gugatan perceraian karena salah seorang dari suami-isteri mendapat
hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai
dimaksud dalam Pasal 19 huruf c maka untuk mendapat putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap.7
7Abdul Gani Abdullah, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan
Peradilan Agama, (Jakarta: Intermasa, 1991), h. 326
Pasal tersebut diatas menunjukan bahwa salinan putusan pidana
yang telah mempunyai kekuatan hukum langsung dianggap mempunyai
kekuatan pembuktian yang menentukan/ mempunyai kekuatan pembuktian
yang memaksa.
Pihak penggugat tidak dapat melumpuhkan alat tersebut dengan
alat bukti lawan. Hakim sendiripun terikat secara mutlak atas alat bukti
tersebut, dengan syarat:
a. Hukuman yang dijatuhkan paling rendah lima tahun penjara.
b. Putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kraht)
c. Adanya keterangan dari pengadilan yang bersangkutan yang menjelaskan
bahwa putusan pidana tersebut telah benar-benar mempunyai kekuatan
hukum tetap. Putusan dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung antara
suami istri.8
4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat yang
membahayakan pihak lain
Jika suami melakukan kekejaman atau penganiyayaan berat
terhadap isterinya, maka isteri berhak mengajukan gugatan cerai ke
Pengadilan. Alasan kejam yang dimaksudakan bukan hanya menurut ukuran
isteri yang bersangkutan melainkan menurut perasaan umum yang tentunya
8M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan
Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993), h. 260
tidak berlawanan dengan pemukulan secara edukatif yang dibolehkan agama
dalam batas kewajaran.
5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
dapat menjalankan kewajibannya sebagi suami atau isteri
Alasan cacat badan atau menderita suatu penyakit tidak
memperoleh penjelasan yang lengkap di dalam Undang-undang Perkawinan,
keseluruhannya diserahkan pada kebijaksanaan Hakim. Hakimlah yang
menentukan secara pasti terhadap semua keadaan apakah bisa dijadikan alasan
untuk bercerai sebagaimana yang dimaksud dalam pasal ini. Bila cacat badan
atau penyakit itu menurut Hakim menyebabkan seseorang tidak dapat
menjalankan kewajibannya, maka hal tersebut dapat menjadi alasan untuk
memohon perceraian.
6. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengakaran
dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Perselisihan dan pertengkaran secara terus menerus yang terjadi
dalam dalam suatu keluarga akan sangat merugikan, baik bagi kedua pasangan
maupun bagi kehidupan anak-anaknya. Disebutkan lebih lanjut dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 134 bahwa; “Gugatan perceraian karena alasan
tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi
Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu
dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan
suami isteri tersebut.
7. Suami melanggar ta’lik talak
Apabila suami telah terbukti melakukan pelanggaran atas
perjanjian ta’lik talak atau tidak menepati salah satu dari isi sighat ta’lik talak
yang telah ia ucapkan dahulu, kemudian isteri merasa di rugikan, maka hal
tersebut menimbulkan peluang bagi isteri untuk mengajukan gugatan dengan
menempatkan perjanjian itu sebagai alasan perceraian.
8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan
dalam rumah tangga.
Orang yang murtad yaitu orang yang keluar dari agama Islam baik
memeluk agama Yahudi, Nasrani atau yang lain atau sama sekali tidak
beragama, maka haram bagi diri isterinya yang masih beragama Islam.9
Dengan demikian maka apabila seorang suami atau isteri murtad, maka
dengan sendirinya perkawinannya menjadi batal, artinya jatuhlah perceraian
antara suami isteri tersebut dengan disebabkan kemurtadan. Agama Islam
menetapkan batalnya perkawinan karena murtad dimaksudkan untuk melindungi
agama suami/isteri sehingga tidak terjerumus pada keyakinan hidup yang sesat,
dengan demikian pula dalam suatu pernikahan bila suami atau isteri pindah agama
9M. Thlaib, 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 1997), cet. Ke-1, h. 179
(murtad) jelas sekali akan membawa dampak dalam kehidupan perkawinan,
karena agama dan keimanan merupakan salah satu dasar dari pembentukan rumah
tangga yang sakinah dan diridhai Allah.
C. Macam-macam Perceraian
Menurut hukum Islam putusnya hubungan perkawinan (perceraian)
dapat terjadi karena talak, khulu, syiqaq, fasakh, ta’lik talak, dzihar, ila’, li’an,
tafwid dan riddah. Berikut akan penulis kemukakan secara ringkas macam-
macam perceraian tersebut yaitu :
1. Talak
Menurut bahasa Arab, talak ialah ‘melepaskan’ atau
‘meniggalkan’, seperti melepaskan sesuatu dari ikatannya. Menurut istilah
syara’ talak ialah melepaskan ikatan perkawinan dengan mengucapkan lafal
talak atau yang searti dengannya. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 117
menjelaskan talak adalah ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.
Adapun macam-macam talak adalah :
Talak ditinjau boleh tidaknya suami rujuk kembali pada isterinya
setelah isteri di talak;
a. Talak raji’, adalah talak kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’
selama istri dalam masa iddah. (Pasal 118 KHI)
b. Talak Ba’in, talak ba’in ada dua macam :
1) Talak bain syughra, adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi boleh
akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah. (Pasal
119 KHI)
2) Talak ba’in kubra, adalah talak yang menghilangkan hak suami untuk
menikah kembali kepada isterinya, kecuali kalau bekas isterinya itu
telah menikah lagi dengan orang lain dan telah berkumpul sebagai
suami isteri secara nyata dan sah.(Pasal 120 KHI)
Talak ditinjau dari waktu menjatuhkannya;
a. Talak sunni, adalah talak yang diperbolehkan, yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam
waktu sucinya tersebut. (Pasal 121 KHI)
b. Talak Bid’i, adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan
kepada isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi
sudah dicampuri pada waktu suci tersebut. (Pasal 122 KHI)
2. Khulu
Talak khulu’ adalah suatu perceraian perkawinan dengan cara
memberikan sejumlah uang dari pihak isteri kepada suami yang disebut “talak
tebus”.10
Dasar kebolehan talak khulu’ terdapat dalam surat al- Baqarah ayat
229 :
⌧
☺ ☺ ⌧
☺
⌧ ☺
⌧
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi
dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah
10Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UIP, 1974), cet. Ke-
2, h. 115
kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
Khulu’ dapat dijatuhkan sewaktu-waktu baik isteri dalam keadaan
suci ataupun tidak, hal ini disebabkan khulu’ terjadi atas kehendak isteri.
3. Syiqaq
‘Syiqaq’ berarti ‘perselisihan’ menurut istilah fiqih berarti
perselisihan suami isteri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu
seorang hakam dari pihak suami dan seorang dari pihak hakam dari pihak
isteri.11 Tetapi apabila keadaan sangat terpaksa dan hakam sudah sekuat
tenaga berusaha untuk mendamaiakan suami isteri namun tidak berhasil maka
hakam boleh mengambil keputusan menceraiakan suami isteri tersebut.
Adapun pengangkatan hakam apabila terjadi syiqaq, berdasarkan
firman Allah swt :
☺ ☺
☯
☺
⌧ ☺ Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik
11 Djaman Nur, Fiqh Munakahat, h. 168
kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.
4. Fasakh
Fasakh berarti ‘mencabut’ atau ‘menghapus’ maksudnya adalah
perceraian yang disebabkan oleh timbulnya hal-hal yang dianggap berat oleh
suami atau isteri atau keduanya sehingga mereka tidak sanggup untuk
melaksanakan kehidupan suami isteri dalam mencapai tujuannya.12 Jadi
fasakh berarti diputuskannya hubungan perkawinan (atas permintaan salah
satu pihak) oleh hakim agama karena salah satu pihak menemui cela pada
pihak lain atau merasa tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya perkawinan.13
Perceraian dalam bentuk fasakh ini termasuk perceraian dengan
proses Peradilan. Hakimlah yang memberi keputusan tentang kelangsungan
perkawinan atau terjadimya perceraian, karena itu pihak penggugat dalam
perkara fasakh ini haruslah mempunyai alat-alat bukti yang lengkap, yang
dapat menimbulkan keyakinan bagi hakim yang mengadilinya.
5. Ta’lik Talak
Arti ta’lik talak ialah ‘menggantungkan’ dan jika dihubungkan
dengan kata-kata talak menjadi “ta’lik talak” yang berarti suatu talak yang
digantungkan jatuhnya kepada suatu hal yang memang mungkin terjadi, yang
12 Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 212 13 Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 117
telah disebutkan lebih dahulu dalam suatu perjanjian atau telah diperjanjikan
lebih dahulu.14
Maksud diadakan ta’lik talak adalah suatu usaha dan upaya untuk
melindungi isteri dari tindakan sewenang-wenang suaminya, dengan adanya
sistem ta’lik talak maka nasib isteri dan kedudukannya dapat diperbaiki jika
suami menyia-nyiakannya, sehingga isteri dapat mengadukan kepada hakim
agar perkawinannya diputus. Dan hakim dapat mengabulkan permohonannya
sesudah terbukti kebenaran pengaduannya tersebut.
Ketentuan diperbolehkannya ta’lik talak ini tercantum dalam
firman Allah surat An-Nisa/4: 128 :
⌧ ☺
☺ ☯ ⌧
☯ ⌧
⌧ ☺ ☺
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
14 Ibid., h. 106
6. Zihar, Ila’ dan Li’an
Tiga macam perbuatan hukum zihar, ila’ dan li’an adalah
perbuatan yang berupa kata atau sumpah yang tidak secara langsung berisi
ungkapan yang menyatakan putusnya ikatan perkawinan tetapi oleh hukum
dinyatakan berdampak memutuskannya. ‘Zihar’ merupakan kebiasaan orang
jahiliyah yang tidak lagi memfungsikan isterinya sebagai isteri walaupun
masih tetap diikat, seperti pernyataan : “kamu seperti punggung ibuku
sendiri” sambil memulai sikap tidak bersedia lagi menggaulinya. Sedangkan
‘ila’ juga merupakan kebiasaan orang jahiliyah yaitu pihak laki-laki
bersumpah mengenai hubungannya sebagai suami terhadap isterinya sendiri
bahwa ia tidak akan menggaulinya lagi.15
Adapun li’an ialah saling menyatakan bahwa bersedia dilaknat
Allah setelah mengucapkan persaksian empat kali oleh diri sendiri yang
dikuatkan dengan sumpah yang dilakukan oleh suami dan isteri karena salah
satu pihak bersikeras menuduh pihak yang lain melakukan perbuatan zina,
atau suami tidak mengakui bahwa anak yang dikandung atau dilahirkan oleh
isterinya sebagai anaknya dan pihak yang lain bersikeras menolak tuduhan
15Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h. 143
tersebut, sedangkan masing-masing tidak mempunyai alat bukti yang dapat
diajukan kepada hakim.16
Sebagaimana terdapat dalam firman Allah swt :
⌧
☺
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar”. (Annur/24: 6)
7. Tafwidh
Tafwidh talak artinya menyerahkan talak.17 Yaitu seorang suami
memberikan hak kepada isterinya, yaitu berupa hak talak. Syarat-syaratnya
ditentukan oleh keduanya secara sukarela, jadi bukan hak talak yang bersifat
mutlak. Apabila syarat yang telah ditentukan secara sukarela tersebut terjadi,
maka isterinya mempunyai hak untuk menjatuhkan talak dan terjadilah
talak.18 Sebagaimana ulama berpendapat tidak sah mentafwidhkan talak,
16Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 203-204 17Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam: Suatu Study Perbandingan dalam
Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-negara Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 281 18Jamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1981), h. 56-57
karena talak sudah ditetapkan berada ditangan suami.19 Firman Allah dalam
surat Al-Ahzab ayat 28 :
☯
⌧ Artinya: “Hai nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu: "Jika kamu
sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, Maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan Aku ceraikan kamu dengan cara yang baik”.
8. Murtad (riddah)
Murtad atau riddah ialah keluar dari agama Islam, baik pindah
pada agama lain atau tidak beragama. Di Indonesia putusnya perkawinan
karena murtadnya salah seorang dari suami isteri termasuk fasid atau batal
demi hukum, dan pemutusannya dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama. Pengadilan Agama hanya dapat menerima riddahnya seseorang, jika
orang itu menyatakan sendiri dengan tegas di depan sidang Pengadilan
Agama, oleh karena itu riddahnya seseorang yang dinyatakan bukan di depan
sidang Pengadilan Agama dianggap tidak sah.20
Kesimpulan
19Daly, Hukum Perkawinan Islam, h. 282 20 Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, h. 72
Perceraian merupakan sesuatu yang halal/ boleh dilakukan jika dalam
bahtera rumah tangga sudah tidak dapat lagi diselamatkan lagi oleh kedua belah
pihak karena tidak adanya persamaan tujuan. Mengenai sebab-sebab perceraian
terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 116, Undang-undang No. 1/ 1974
pasal 38, dan Peraturan Pemerintah No. 9/ 1975 pasal 19, adapun macam dari
perceraian itu ada 4 yaitu talak, khulu, fasakh dan zihar, ila’, li’an.
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG MURTAD
MENURUT HUKUM ISLAM
A. Pengertian Murtad
1. Segi Bahasa
Riddah menurut bahasa artinya “kembali (kepada jahiliyah)”.
Riddah merupakan perbuatan kufur yang sangat keji dan menghapus semua
amal jika dilakukan terus menerus sampai mati.21 Kata riddah merupakan isim
masdar dari kata irridad yang secara harfiyah berarti “kembali”,
“dikembalikan”, “berpaling”, “dipalingkan”.22 Yakni, lair dari sesuatu menuju
sesuatu yang lain, arti tersebut antara lain terdapat dalam firman Allah,
...
Artinya: “…dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), Maka kamu menjadi orang-orang yang merugi”.
Murtad dalam arti kembali-dikembalikan terdapat dalam surat al-
An’am ayat 28 ;
21 Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibaba al Fannani, Terjemahan Fat- Hul
Mu’in, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994), cet. 1, h. 548 22 Soleh A. Mahdi, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir, (Jakarta: PT. Arista
Brahmatysa, 1994), cet-2, h. 9
⌧
☺
Artinya: “Tetapi (sebenarnya) Telah nyata bagi mereka kejahatan yang mereka dahulu selalu menyembunyikannya. sekiranya mereka dikembalikan ke dunia, tentulah mereka kembali kepada apa yang mereka Telah dilarang mengerjakannya. dan Sesungguhnya mereka itu adalah pendusta belaka”.
Sedangkan murtad yang berarti paling-berpaling terdapat dalam
surat Muhammad ayat 25 ;
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan Telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka.”.
Sayyid Sabiq dalm fiqh sunnahnya mengartikan riddah adalah
kembali atau mundur dijalan dimana ia datang.23
Menurut Wahbah Al- Zuhaili, riddah adalah kembali dari sesuatu
kepada yang lain.24
2. Segi Istilah
23 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah II, (Beirut: Dar Al-Fiqr, 1983), cet. IV, h. 38 24 Wahbah Al- Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuh, (T.tp: T.p, T. t), Juz. IV,
h. 183
Di dalam Ensiklopedia Islam di Indonesia, riddah adalah makna
asal dari kembali (ke tempat atau jalan semula), namun kemudian istilah ini
dalam penggunannya lebih banyak dikhususkan untuk pengertian kembali atau
keluarnya seseorang dari agama Islam kepada kekufuran atau pindah kepada
agama selain Islam. Dari pengertian riddah ini dapat dikemukakan tentang
pengertian murtad, yaitu orang Islam yang keluar dari agama (Islam) yang
dianutnya kemudian pindah (memeluk) agama lain atau sama sekali tidak
beragama.25
Menurut hukum Islam, orang yang keluar dari agama Islam (murtad),
maka saat ia bercita-cita dan telah dihukumi murtad, yaitu kafir dan pada saat
itulah gugurlah segala amal ibadah yang telah di kerjakannya. Akan tetapi, bila ia
bertobat kembali, maka tidaklah hilang amalan yang telah berlalu itu. Dia tidak
wajib mengulangi kembali ibadahnya sebelum ia murtad itu.26
B. Syarat-syarat Murtad
Seseorang dianggap murtad jika ia telah mukallaf dan menyatakan
kemurtadannya secara terangan-terangan atau dengan kata-kata yang
menjadikannya murtad atau dengan perbuatan yang mengandung unsure-unsur
kemurtadannya. Adapun seseorang yang dinytakan murtad dengan persyaratan
sebagai berikut:
25 Harun Nasution (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1992), h. 696
26 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abdillah S, Fiqh Mazhab Syafi’i, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), cet. 1, h. 529
1. Berakal
Tidak sah kemurtadan orang gila dan anak kecil yang belum
berakal karena akan menjadi syarat kecakapan dalam masalah aqidah
(keyakinan) dan masalah lainnya.
2. Baligh (Dewasa)
Karenanya tidak sah murtadnya anak kecil yang telah mencapai
mumayiz menurut ulam Syafi’iyah.27
Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) di
perselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad yang di kutip
dalam buku ‘Ala’ Ad-din Al- Kasani, baligh (dewasa) bukan merupakan
syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian, murtadnya anak kecil yang
sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah.
Sedangkan menurut Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah
berpendapat bahwa anak mumayiz apabila menyatakan Islam maka hukumnya
sah, dengan demikian pula sebaiknya apabila ia menyatakan murtad,
hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan
perbuatan nyata yang keluar dair hati sebagai salah satu anggota badan.
27 Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Hukum Islam di Indonesia, Peluang,
Prospek dan Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 64
Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukan adanya
hal tersebut (iman dan kufur).
Menurut fuqaha Syafi’iyah yang dikutip dalam buku Jalal Ad- Din
Abu Bakar As- Suyuthi berpendapat murtadnya anak kecil dan islamnya
hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari
pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan
dengna hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibnu
Majah, dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah SAW bersabda;
رفع القلم عن ثالث عن النائم حتى يستيقظ وعن رواه . (المبتلى حتى يبرأ وعن الصبي حتى يكبر
والحاآم من , ابن ماجة, النساء, ابى داود, احمد )عائشة
Artinya: “Pena itu diangkat (beban itu dibebaskan) dari tiga kelompok orang; orang tidur sampai bangun, orang gila sampai berakal (sembuh), serta anak kecil sampai dewasa”.
Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah telah mengakui
keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah
satunya yang masuk Islam.
3. Kehendak Sendiri
Karena tidak sah murtdanya orang yang dipaksa, dengna catatan
harinya bersiteguh dalam agamanya. Umpamanya jiwanya terancam kalau
tidak melakukannya, tidaklah ia dihukumi kafir atau murtad selama hatinya
tetap seperti yang dikehendaki Islam.28
Sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah dalam surat al-
Nahl 106.
⌧ ☺
☺ ☺
⌧ ⌧
Artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.
C. Macam-macam Murtad
1. Murtad karena ucapan
Seperti contohnya ucapan mencela Allah ta’ala atau Rasul-Nya,
menjelek-jelekkan malaikat atau salah seorang rasul. Atau mengaku
mengetahui ilmu gaib, mengaku sebagai Nabi, membenarkan orang yang
mengaku Nabi. Atau berdoa kepada selain Allah, beristighotsah (meminta
dihilangkan kesusahan yang sedang menimpa, pen) kepada selain Allah dalam
28Mas’ud dan Abidin S, Fiqh Mazhab Syafi’i, h. 529
urusan yang hanya dikuasai Allah atau meminta perlindungan kepada selain
Allah dalam urusan semacam itu.
2. Murtad karena perbuatan
Seperti contohnya melakukan sujud kepada patung, pohon, batu
atau kuburan dan menyembelih hewan untuk diperembahkan kepadanya. Atau
melempar mushaf di tempat-tempat yang kotor, melakukan prkatek sihir,
mempelajari sihir atau mengajarkannya. Atau memutuskan hukum dengan
bukan hukum Allah dan meyakini kebolehannya.
3. Murtad karena keyakinan
Seperti contohnya meyakini Allah memiliki sekutu, meyakini
khamr, zina dan riba sebagai sesuatu yang halal. Atau meyakini bahwa sholat
itu tidak diwajibkan dan sebagainya. Atau meyakini keharaman sesuatu yang
jelas disepakati kehalalannya. Atau meyakini kehalalan sesuatu yang telah
disepakati keharamannya.
4. Murtad karena keraguan
Seperti meragukan sesuatu yang sudah jelas perkaranya di dalam
agama, seperti meragukan diharamkannya syirik, khamr dan zina. Atau
meragukan kebenaran risalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para
Nabi yang lain. Atau meragukan kebenaran Nabi tersebut, atau meragukan
ajaran Islam. Atau meragukan kecocokan Islam untuk diterapkan pada zaman
sekarang ini.
BAB IV
AKIBAT HUKUM DARI PERCERAIAN
DENGAN ALASAN SUAMI MURTAD
A. Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad
1. Akibat Hukum Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
a. Terhadap Status Perkawinan
Ikatan perkawinan yang kekal dan abadi sepanjang masa
merupakan harapan dan cita-cita bagi setiap pasangan suami isteri,
keabadian tersebut diwujudkan dalam bentuk keluarga yang harmonis,
damai dan sejahtera.
Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, makana
Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut prinsip
untuk mempersukar perceraian itu ditetapkan dengan menegaskan bahwa
perceraian hanya dapat dilakukan di depan siding Pengadilan dengan
disertai alasan-alasan tertentu sebagaimana yang telah diterapkan oleh
Undang-undang Perkawinan tersebut.
Suatu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayannya itu, disamping itu
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut perundang-undangan yang
berlaku. Demikianlah bunyi pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
Dari bunyi pasal tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa
sahnya suatu perkawinan semata-mata didasarkan pada ketentuan hukum
agama dari yang bersangkutan, Jadi, apabila ada perkawinan yang
menyimpang dari norma-norma agama dipandang sebagai sesuatu yang
menyalahi hukum agama. Selain dilakukan menurut hukum agama,
perkawinan itujuga harus dicatatkan pada Pegawai Pencatat Nikah.
Perkawinan yang demikian itulah yang dianggap sah, baik oleh hukum
agama maupun oleh hukum Negara.
Di atas telah dijelaskan bahwa suatu perkawinana adalah sah
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu
perkawinan menjadi fasakh (batal) apabila ada suatu kejadian, yaitu
kejadian yang mana menurut hukum agamanya dan kepercayaannya dapat
menghilangkan keabsahan perkawinan tersebut.
Menurut pandangan para ahli hukum fiqh Islam, bahwa apabila
dalam suatu perkawinan salah satu pihak dari suami atau isteri berpindah
agama/murtad, yaitu keluar dari agama Islam kepada agama selain Islam,
maka perkawinannya menjadi fasakh (batal) dan keduanya harus segera
dipisahkan.29
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta : UIP, 1974), cet.
Ke-2, h. 119
Jadi, perpindahan agama/ murtadnya suami merupakan suatu
kejadian yang dapat mengakibatkan batal/ putusnya ikatan perkawinan
demi hukum, yaitu hukum Islam.
Suatu perkawinan dapat menjadi fasakh karena disebabkan
oleh tiga hal, yaitu :
1) Apabila salah seorang dari suami-isteri murtad dair Islam dan tidak
mau kembali samasekali, maka akadnya fasakh (batal) disebabkan
adanya kemurtadan yang dilakukan.
2) Apabila suami yang tadinya kafir masuk Islam, tetapi isteri tetap
dalam kekafirannya, maka akadnya fasakh (batal).
3) Perkawinan yang dilakukan dibawah ancaman yang melanggar hukum
atau pada waktu perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri
suami/isteri.30
Akan tetapi Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
tidak mengatur bentuk-bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan
perpindahan agama/ murtad dalam suatu perkawinan. Dalam Undang-
undang Perkawinan pasal 38 hanya menggolongkan secara umum
mengenai putusnya perkawinan kepada 3 golongan, yaitu :
1) karena kematian
2) karena perceraian
3) karena putusan dari Pengadilan
30Sayyid Sabiq, Terjemahan Fiqh Sunnah, (Bandung: PT al- Ma’arif, 1996), Jilid VII, cet. Ke-2, h. 125
Dan pada pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, berbunyi ;
(1) Perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah
Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suani isteri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Adapun alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
melakukan perceraian diatur dalam pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975. Menurut penulis, kata “dapat” dalam pasal tersebut
mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan
tertentu.
Perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan yang terdapat
dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 116.
Berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 , suatu perkawinna baru pitus apabila Pengadilan telah memutuskan
melalui siding Pengadilan dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam
pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, kecuali putusnya
perkawina karena kematian, karena tnapa diputuskan oleh Pengadilan
perkawinan itu telah putus dengan sendirinya akibat adanya kematian
tersebut.
Jadi apabila salah seorang dari suami-isteri keluar dari agama
Islam (murtad) dan kemurtadannya iu belum atau tidak diajukan ke
Pengadilan, dan Pengadilan belum memutuskannya, maka perkawinan
mereka masih dianggap sah dan berlaku. Berbeda halnya menurut hukum
agama, maka perkawinan mereka tetap dianggap tidak sah.
Jadi berdasarkan pasal 38 dan 39 Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974, bahwa perpindahan agama/murtad dalam suatu
perkawinan, maka hakim tidak dapat memfasinnya begitu saja. Yang
menjadi arahan hakim dalam menyelesaikan perkara murtad, riddahnya itu
adalah bukan karena murtadnya itu sendiri akan tetapi didasarkan pada
pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang telah
disebutkan di atas mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar
untuk melakukan perceraian, maka hakim dapat memutuskannya dengan
didasarkan pada adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
antara suami-iateri yang disebabkan karena perpindahan agama tersebut.31
Dalam hal ini penulis berpendapat, apabila dalam rumah
tangga mereka tidak ada pertengkaran ataupun perselisihan yang
disebabkan karena perpindahan agama yang terjadi oleh salah satu pihak,
maka perkawinan tersebut tetap fasakh dan harus segera diputuskan.
31H. M. Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di
Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-1, h. 75
b. Terhadap Status Anak
Seorang anak dikatakan sah atau tidak, tergantung kepada sah
atau tidaknya suatu perkawinan yang menyebabkan lahirnya anak itu, dan
tergantung juga kepada sah atau tidaknya perkawinan tersebut.
Dalam hal ini dapat diartikan bahwa perkawinanlah yang akan
menentukan status seorang anak sah atau tidak. Jika suatu perkawinan itu
sah, baik menurut hukum agama maupun Negara, maka anak yang akan
dilahirkan mempunyai status anak sah. Akan tetapi, apabila perkawinan
dari kedua orang tuanya itu tidak sah, maka anak yang akan dilahirkannya
sudah pasti mempunyai status anak yang tidak sah.
Masalah kedudukan anak ini diatur dalam Undang-undang
Perkawinan No. 1/ 1974, pasal 42 yang berbunyi : “Anak yang sah, adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”.
Pasal 43 ayat 1 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974 :
(1) Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pasal 44 ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan No. 1/ 1974:
(1) Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan
isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina
dan anak itu akibat dari pada perzinaan tersebut.
(2) Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas
permintaan pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan pasal 42 Undang-undang Perkawinan No. 1/
1974, bahwa anak dikatakan sah apabila ia lahir dari perkawinan yang sah.
Apabila perkawinan (rumah tangga) yang di dalamnya telah terjadi
kemurtadan pada suami menurut pasal 39 ayat 1 dan 2 Undang-undang
Perkawinan No. 1/ 1974, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan hakim Pengadilan, begitu juga dengan kemurtadan yang terjadi
pada suami dan belum diajukan ke Pengadilan, maka perkawinan (rumah
tangga) tersebut tetap dianggap sah dan berlaku karena pengadilan belum
memutuskannya.
Karena perkawinan itu masih dianggap sah menurut Undang-
undang Perkawinan No. 1/ 1974, maka hubungan mereka juga tetap
dianggap sah dan bukan sebagai perbuatan zina, begitu juga dengan anak-
anak yang dilahirkan dair hasil perkawinan tersebut adalah sah hukumnya.
Karena anak tersebut dianggap sah maka konsekwensinya
adalah :
1. Anak tetap bernasab kepada bapak dan ibunya.
2. Anak mewarisi bapak dan ibunya.
3. Bila anak itu perempuan, maka bapak berhak menjadi wali dalam
perkawinannya.
c. Terhadap Status Harta Suami/Isteri dan Harta Bersama
Setelah secara resmi hakim memutuskan perceraian diantara
keduanya yang diakibatkan oleh adanya perpindahan agama/murtad yang
dapat menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus di
antara keduanya, maka akibat putusnya perkawinan inidalam hal harta
kekayaan diadakan pembagian, terutama terhadap kekayaan yang
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan
harta bersama.
Menurut Undang-undang No. 1/ 1974 pasal 35 dinyatakan
bahwa : “harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama, sedangkan harta bawaan dari masing-masing suami atau isteri
dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak
tidak menentukan lain”. Selanjutnya di dalam penjelasan pasal tersebut
dikatakan apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur
menurut hukumnya masing-masing, yaitu hukum adapt dan hukum-hukum
lainnya (penjelasan pasal 35).32
Dilihat dair bunyi pasal di atas, maka harta kekayaan dalam
perkawinan terbagi atas 2 (dua) macam :
1) Harta bersama
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama. Ini berarti terbentuknya harta bersama ialah sejak saat
32 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: PT. Alumni,
1993), h. 155
tanggal terjadinya perkawinan sampai ikatan perkawinan itu putus,
mati), maupun karena perceraian (cerai hidup). 33
2) Harta pribadi
Harta yang diperoleh berupa warisan atau hibah oleh salah satu pihak
yang dibawa masuk dalam perkawinan danterletak di luar harta
bersama.34 Harta pribadi ini dapat dibagi menjadi 4 (empat) bagian,
menurut pasal 35 ayat 2 yaitu :
a) Harta bawaan suami
b) Harta bawaan isteri
c) Harta hibah/warisan suami
d) Harta hibah/warisan isteri35
Dalam hal pembagian harta kekayaan, maka menurut ketentuan
pasal 35 yang telah disebutkan diatas tadi dan dalam pasal 36 yang
berbunyi :
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas
persetujuan kedua belah pihak.
(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai
hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta
bendanya.
33 M. Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan
Agama, (Jakarta : Pustaka Kartini, 1997), Cet. ke-3, h. 299 34 Ibid., h. 300 35 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: Citra Aditya Sakti,
1991), Cet. ke-1, h. 188
Mengenai harta warisan masing-masing suami dan isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai
harta bendanya. Asas hukum yang diatur dalam ketentuan pasal 35 ayat 2
merupakan asas teori hukum yang diatur dalam syariat hukum Islam,
dimana isteri tetap memegang kekayaan sebagai subyek hukum atas segala
miliknya sendiri, mengusai hasil pencaharian yang diperolehnya dari jerih
payah yang dilakukannya, berhak menerima hibah dan warisan selam
perkawinannya berlangsung, dan dengan sendirinya menjadi hak dan
berada di bawah pengawasannya sendiri. 36
Apabila pasal 35 ayat 2 dihubungkan dengan pasal 36 ayat 2,
terdapat perbedaan antara harta bawaan dan pusaka warisan yang
diperoleh salah satu pihak dan harta yang diperoleh karena hibah atau
berdasar usaha sendiri pada pihak lain, yaitu :
(1) Mengenai harta bawaan dan harta warisan yang diperoleh dalam
perkawinan; terhadap kedua harta inilah yang dimaksudkan oleh pasal
36 ayat 2, masing-masing berhak dan berkuasa penuh menurut hukum
atas harta-harta tersebut.
(2) Akan tetapi mengenai hibah dan hadiah atau hasil jerih payah masing-
masing termasuk pada kategori pasal 35 ayat 2, yaitu berada dibawah
pengawasannya masing-masing, tetapi penguasaannya tidak mutlak
sepenuhnya seperti berlaku terhadap harta bawaan dan warisan. Jadi
36 Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 303
pengawasan ada ditangan pihak-pihak tapi bagaimana dan
kemanfaatannya tidak sepenuhnya ditentukan oleh pemiliknya.
Dalam pembagian harta, semata-mata didasarkan kepada
perceraian, seperti yang terdapat dalam pasal 37 bahwa : “Bila perkawinan
putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-
masing”. Jadi apabila putus karena perceraian, maka harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan harus dibagi dua bersama suami dan isteri.
Mengenai hukum pembagiannya, maka undang-undang memberi jalan :
(1) Dilakukan berdasarkan hukum agama jika hukum agama itu
merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam mengatur tata cara
perceraian.
(2) Aturan pembagianya akan dilakukan menurut hukum adapt, jika
hukum tersebut merupakan kesadaran hukum yang hidup dalam
lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Berdasarkan pasal 37 mengenai pembagian harta bersama ini
didasarkan atas adanya perceraian dan tidak memandang adanya
perbedaan agama, yang disebabkan karena berpindah agama/murtadnya
suami dalam suatu perkawinan. Jadi perbedaan agama bukanlah suatu
penghalang dalam halpembagian harta. Asal saja diantara suami-isteri
telah resmi bercerai dan atas dasar keputusan hakim dalam sidang
pengadilan.
Harta bawaan suami yang diperoleh sewaktu masih dalam
keadaan Islam yakni sebelum dia murtad/pindah agama, baik harta itu
diperoleh sebagai hadiah atau warisan dari orang tuanya, maka berarti
anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan bapaknya yang didapatkan
sebelum bapaknya itu murtad. Lain halnya dengan harta yang diperoleh
setelah bapaknya murtad, menurut pandangan hukum Islam maka anak-
anaknya atua ahli warisnya yang lain tidak dapat menjadi ahli waris dari
harta orang yang telah murtad/pindah agama itu.37 Jadi tidak dapat
dilakukan pembagian warisan karena berbeda agama. Dasarnya adalah
hadis Nabi saw yang berbunyi :
اليرث : م قال.عن اسمامة بن يزيد ان النبي ص )متفق عليه(المسلم الكافر وال يرث الكافر المسلم
Artinya: “Dari Usamah bin Yaazid katanya, bahwa Rasulullah saw bersabda : “Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang kafir, dan tidak mewarisi orang kafir terhadap orang muslim”.38
Dengan demikian, apabila suami-isteri yang murtad itu
mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama untuk diadakan
pembagian warisan terhadap harta mereka, maka Pengadilan Agama tidak
berhak dalam hal ini, karena mereka berbeda agama. Masalah perbedaan
37T. M. Hasbi ash-Shiddieqy, Fiqhul Mawaris dalam Syariat Islam,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1973), h. 62 38Imam Muslim, Shahih Mulim, Vol. II, diterjemahkan oleh Mahmoud
Matraji, (Beirut : Daar el-Fikr, 1993), h. 273
agama yang disebabkan karena perpindahan agama/murtad adalah menjadi
penghalang dalam hal waris-mewaris.
2. Akibat Hukum Menurut Kompilasi Hukum Islam
a. Terhadap Status Perkawinan
Salah satu dari tujuan perkawinan adalah membentuk dan
membina keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Selain dari itu
perkawinan juga diwujudkan untuk mencari ketenangan jiwa serta
kebahagiaan dunia dan akhirat, yang mana kebahagiaan suatu keluarga
sangat ditentukan oleh kesamaan pandangan hidup dan kesatuam aqidah
antara suami-isteri. Perbedaan pandangan hidup atau kegoncangan
keyakinan dalam suatu keluarga dapat membuat perselisihan dan
pertengkaran yang akhirnya membuat keluarga itu berantakan atau
kehilangan pandangan hidup.
Munculnya perubahan pandangan hidup ataupun perbedaan
aqidah dalam suatu keluarga dapat mempengaruhi kerukunan dan
keharmonisan dalam rumah tangga.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Sayyid Quthub :
“Perkawinan adalah suatu ikatan yang paling dalam, paling kuat dan
paling kekal yang menghubungkan dua orang manusia. Ikatan itu
merupakan peluang emas untuk mewujudkan pengertian di antara dua
orang manusia. Oleh karena itu diperlukan adanya kesatuan hati dan
keyakinan, dan supaya hati itu dapat dipersatukan, maka perlu kesatuan
aqidah dan segala hal yang berkaitan dengannya. Dan aqidah terhadap
agama adalah sesuatu yang paling dalam menancap pada jiwa manusia”.39
Perpindahan agama/murtad dalam suatu perkawinan yang
dilakukan oleh suami ataupun isteri adalah termasuk perbedaan hati dan
aqidah yang dapat mempengaruhi langkah dan tujuan yang telah dibentuk
dan dibina oleh keduanya. Hal tersebut merupakan perubahan
kegoncangan keyakinan yang paling besar, dimana dalam pandangan
Islam seseorang yang murtad adalah telah keluar dari cahaya Islam dan
masuk ke dalam lembah kekafiran.
Ditinjau dari hukum Islam perpindahan agama/ murtad yang
dilakukan suami, dapat menimbulkan putusnya/fasakhnya ikatan
perkawinan itu dengan sendirinya, dan berkewajiban untuk berpisah dari
isterinya, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya
Fiqh Sunnah, sebagai berikut :
اذا ارتد الزوج او الزوجة انقطعت عالقة منهما باآلخر الن ردة اي واحد منهما موجبة للفرقة
بينهما Artinya: “Apabila suami isteri murtad, maka putuslah hubungan
perkawinan keduanya, karena riddahnya salah seorang dari suami isteri itu adalah hal yang mewajibkan pisahnya mereka.40
39Abdul Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan
Wanita Asing, (Jakarta: PT. Firdaus, 1993), h. 10 40 Sabiq, Fiqh Sunnah, h. 389
Hal tersebut mengandung arti bahwa kemurtadan salah seorang
suami isteri dapat memfasakh ikatan perkawinan mereka. Dan apabila
kemurtadan itu terjadi sebelum mereka bersetubuh, maka perkawinan
mereka terputus pada saat itu juga, akan tetapi apabila kemurtadan itu
terjadi sesudah mereka bersetubuh, maka status dari perkawinan mereka
menjadi tertangguh (tawaqquf), artinya apabila yang murtad itu ingin
kembali masuk Islam dalam masa iddah, maka perkawinannya tetap sah.
Pada masa tawaqquf itu, haram bagi keduanya untuk
berkumpul sebagaimana layaknya suami siteri dalam hubungan
perkawinan yang sah. Dan akibat riddahnya mereka menimbulkan akibat
hukum yamh mewajibkan pisahnya mereka. Dan apabila salah satu dari
suami-isteri yang murtad itu bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam,
maka untuk mengadakan hubungan perkawinan seperti semula mereka
haruslah memperbaharui lagi akad nikah dan mahar.41
Para ulama bersepakat atas batalnya (fasakh) perkawinan,
apabila suami keluar (murtad) dari agama Islam dengan 2 (dua) alasan :
1) Firman Allah swt dalam Q. S Al-Mumtahanah :10, “Dan janganlah
kamu memegangi pertalian nikahmu denagn wanita-wanita kafir”.
Dalam ayat yang sama dinyatakan; “janganlah kamu mengembalikan
mereka (wanita-wanita yang telah beriman) kepada ornag-orang kafir
41 Sayyid Sabbiq, Tarjamah Fiqh Sunnah, (Bandung, PT. al-Ma’arif, 1993),
cet. ke-8, jilid 9, h. 170
(suami mereka). Wanita-wanita itu tidak halal bagi suami-suami yang
tidak beriman dan suami-suami yang tidak beriman itu tidak halal bagi
mereka”.
2) Perbedaan agama antara suami istri, dimana salah saut di antara
keduanya adalah agama yang batil, karena itu wajib difasakhkan
ikatan perkawinan mereka.42
Inilah landasan hukum yang melarang terpautnya dua hati yang
keyakinannya tidak sama, atau yang pada dasarnya tidak mungkin
bertemu. Jika terjadi perkawinan antara seorang laki-laki muslim dengan
wanita musyrik, maka perkawinan itu akan menjadi sebuah ikatan yang
sangat rapuh. Kedua suami isteri itu tidak akan pernah menemukan
kesepakatan dalam mencintai Allah.43
Dan jika ditinjau dari Kompilasi Hukum Islam, masalah
mengenai perpindahan agama ini dilihat dari pasal 4 (empat) mengenai
keabsahan perkawinan yang berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum Islam, sesuai dengan bunyi pasal 2 ayat (1)
Undang-undang No. 1/ 1974”.
Ketentuan tersebut mempunyai arti bahwa suatu perkawinan
mempunyai hubungan erat sekali dengan keagamaan/kerohanian, oleh
42 Abdul Muta’al M. Al-Jabry, Perkawinan Antar Agama Suatu Dilema,
(Surabaya: PT. Risalah Gusti, 1992), h. 40 43 Azis, Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan
Wanita Asing, h. 16
karena itu setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan dengan
ketentuan hukum Islam, dengan sendirinya menurut hukum perkawinan
belum sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan.
Perpindahan agama/murtad menurut Kompilasi Hukum Islam
merupakan suatu kejadian yang dapat menghilangkan keabsahan
perkawinan, karena hal tersebut sangat bertentangan dengan ketentuan
hukum Islam, yaitu adanya larangan perkawinan antara orang muslim
dengan orang kafir. Ketentuan ini juga diperkuat dalam pasal 40 huruf c
yang berbunyi : “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria
dengan seorang wanita karena keadaan tertentu, di antaranya seorang
wanita yang tidak beragama Islam”. Dan pasal 44 yang berbunyi :
“Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan
seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Dilihat dari ketentuan bunyi pasal-pasal di atas dapat ditarik
istimbath hukum bahwa, setiap perkawinan yang dilakukan bertentangan
dengan hukum Islam adalah tidak sah. Begitu pula, apabila dihubungkan
dengan masalah kemurtadan yang dilakukan oleh suami/isteri dalam
perkawinan, hal tersebut dapat menyebabkan putus/fasakhnya ikatan
perkawinan mereka.
Akan tetapi Kompilasi Hukum Islam tidak mengatur bentuk-
bentuk dan tata cara perceraian yang dikarenakan perpindahan
agama/murtad dalam perkawinan. Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal
113 hanya menggolongkan secara umum mengenai putusnya perkawinan
kepada 3 (tiga) golongkan, yaitu :
1) Kematian
2) Perceraian
3) Atas putusan Pengadilan
Dan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama
tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Menurut penulis kata “dapat” dalam kalimat di atas
mengandung arti bahwa perceraian itu dapat terjadi karena alasan-alasan
tertentu, padahal seharusnya pasal tersebut tidak perlu menggunakan kata
“dapat”, melainkan secara otomatis perceraian terjadi karena alasan-alasan
tertentu.
Adapun dalam Kompilasi Hukum Islam alasan-alasan yang
dapat dijadikan dasar melakukan perceraian diatur dalam pasal 116.
Berdasarkan pasal 115 Kompilasi Hukum Islam, suatu perkawinan baru
putus, apabila pengadilan telah memutuskannya melalui siding Pengadilan
dengan disertai alasan-alasan yang diatur dalam pasal 116 Kompilasi
Hukum Islam, kecuali putusnya perkawinan karena kematian, karena
tanpa diputuska oleh Pengadilan, perkawinan itu telah putus dengan
sendirinya akibat kematian tersebut.
Sedangkan berdasarkan pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum
Islam, bahwa perpindahan agama/murtad yang dilakukan oleh suami atau
isteri dalam suatu perkawinan dapat dijadikan salah saut alasan untuk
memfasakhkan perkawinan dengan mengajukan permohonan cerai ke
Pengadilan Agam, maka Hakim berhak untuk mefasidkan perkawinan
dengan berdasarkan peralihan agama atau murtad yang menyebabkan
terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Akan tetapi, apabila peralihan agama dalam suatu perkawinan,
tetapi dalam hubungan perkawinan mereka tidak menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran, dengan kata lain rumah tangga mereka
tetap dalam keadaan rukun dan damai, dan mereka tetap mempertahankan
perkawinannya, maka para ulama sepakat bahwa perkawinan mereka tetap
tidak sah, dikarenakan dalam pandangan Islam hubungan yang dilakukan
oleh orang muslim dan orang kafir adalah tidak halal dan hukumnya
haram. Keharaman perkawinan perempuan muslimah dengan laki-laki
bukan Islam ini berdasarkan pertimbangan kemudharatan. Hal ini
dikarenakan setelah perkawinan wanita tersebut terikat kepada suaminya,
di bawah kekuasaannya.44
b. Terhadap Status Anak
Perpindahan agama/murtad akan dapat mempengaruhi
keabsahan suatu perkawinan, demikian pula anak yang dilahirkannya akan
44 Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : PT. Pustaka Setia,
2000), h. 132
mempunyai pengaruh yang sangat kuat sekali. Status anak itu dapat
dibedakan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu :
1) Anak yang dilahirkan sewaktu Islam, anak ini adalah anak muslim,
menurut kesepakatan para fuqaha.
2) Anak yang dikandung sewaktu Islam dan dilahirkan setelah murtad,
maka hukumnya adalah sama dengan anak yang dilahirkan sewaktu
Islam, karena dia telah dibuahi diwaktu Islam.
3) Anak yang dikandung dan dilahirkan setelah murtad, maka anak itu
hukumnya kafir, karena dia dilahirkan diantara kedua orang tuanya
yang kafir, tidak ada pendapat lain dalam masalah ini.
Oleh karena itu, apabila isteri yang beragama Islam tetap
mengikuti suaminya yang telah murtad dan hidup sebagai suami-isteri,
maka perkawinan (rumah tangga) mereka sudah tidak sah lagi (haram)
menurut hukum Islam dan hubungan mereka adalah suatu perzinaan.
Dalam Kompilasi Hukum Islam masalah anak ini diatur dalam
pasal 99 yang berbunyi :
a. anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat
perkawinan yang sah.
b. anak yang sah adalah hasil perbuatansuami isteri yang sah dilua rahim
dan dilahirkan oleh isteri tersebut.
Perpindahan agama adalah satu faktor yang dapat
mempengaruhi nasab dari seorang anak, apabila kedua suami isteri itu
tetap melakukan hubungan badan layaknya suami isteri setelah adanya
peralihan agama dari suami tanpa mengindahkan ketentuan hukum
perkawinan yang melarang ikatan perkawinan mereka.
Hal ini dijelaskan dalam apsal 100 yang berbunyi : “Anak yang
lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan
ibunya dan keluarga ibunya. Dan pasal 101 yang berbunyi : “ Seorang
suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya,
dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li’an”.
Berdasarkan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam, bahwa ; “anaka
yang sah adalah anak yang lahir akibat dari perkawinan yang sah.” Maka
apabila dalam rumah tangga suami murtad, maka menurut pasal 40 huruf c
dan pasal 44 yang melarang adanya perkawinan antar agama, maka
perkawinan tersebut harus dibatalkan/ difasakhkan oleh Hakim dalam
siding Pengadilan Agama.
Karena perkawinan tersebut tidak sah atau telah difasakhkan
menurut ketentuan hukum Islam, maka anak-anak yang dilahirkan
darihasil perkawinan tersebut adalah haram/tidak sah, sehingga akibatnya
adalah :
a. Anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya saja.
b. Anak hanya dapat mewarisi dari ibunya saja.
c. Bila anak itu perempuan, maka bapak tidak berhak menjadi wali dalam
perkawinannya.
c. Terhadap Status Harta Suami/Isteri dan Harta Bersama
Salah satu akibat hukum yang ditimbulkan dari percerian yang
diakibatkan suami pindah agama/murtad, adalah dalam hal harta kekayaan
harus diadakan pembagian, terutama terhadap harta kekayaan yang
diperoleh selama berlangsungnya perkawinan yang lebih dikenal dengan
harta bersama. Dilihat dair sudut asal-usulnya harta suami-isteri itu dapat
digolongkan pada 3 (tiga) golongan, yaitu :
1) Harta masing-masing suami isteri yang telah dimilikinya sebelum
mereka kawin, baik berasal dari warisan, hibah atau usaha mereka
sendiri-sendiri atau dapat disebut sebagai harta bawaan.
2) Harta masing-masing suami isteri yang dimilikinya sesudah mereka
berada dalam hubungan perkawinan, tetapi diperolehnya bukan dari
usaha mereka, baik seorang-seorang atau bersama-sama, tetapi
merupakan hibah, wasiat atau warisan untuk masing-masing.
3) Harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan
perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang mereka
atau disebut harta pencaharian.45
Pada dasarnya harta suami dan isteri terpisah, baik harta
bawaannya masing-masing atau harta yang diperoleh oleh salah seorang
suami isteri atasa usahanya sendiri-sendiri maupun harta yang diperoleh
45 Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, h. 83
oleh salah seorang mereka karena hadiah atau hibah atau warisan sesudah
mereka terikat dalam hubungan perkawinan.46
Sebagai dasar atas pendirian tersebut, dapat dipergunakan dalil
yang berbunyi :
☺
☺ ⌧
☺ ⌧
☺
⌧
⌧ ⌧
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh
Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. (Annisa/4: 34)
46 Ibid, h. 84
Dan firman Allah yang berbunyi :
⌧ ☺
⌧ ☺
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”. (Annisa/4: 29)
Dalam Kompilasi Hukum Islam, mengenai penguasaan harta
pribadi milik suami dan istri, dan adanya harta bersama dalam
perkawinan, dijelaskan dalam pasal 86 bahwa :
1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan isteri
karena perkawinan.
2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suani tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh
olehnya.
Jadi, mengenai harta kekayaan atasa usaha sendiri-sendiri,
sebelum perkawinan dan harta yang berasal bukan usaha salah seorang
mereka atau bukan dari usaha mereka berdua, tetapi berasal dair
pemberian atau warisan atau lainnya yang khusus teruntuk mereka
masing-masing, dapat tetap menjadi milik masing-masing, baik yang
diperoleh sebelum perkawinan, maupun yang diperoleh sesudah beada
dalam ikatan perkawinan.
Oleh karena itu, apabila terjadi perceraian antara suami dan
isteri, maka dalam hal pembagian harta kekayaan, menurut ketentuan
hukum Islam harta kekayaan isteri tetap menjadi nilik si isteri dan dikuasai
sepenuhnya olehnya, dan harta kekayaan suami tetap menjadi milik si
suami dan dikuasai sepenuhnya olehnya.
Dan apabila selama perkawinan berlangsung diperoleh harta
kekayaan, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapa, maka ini disebutdengan harta syirkah, yakni
harta bersama yang menjadi milik bersama dari suami dan isteri, apabila
terjadi perceraian hidup diantara keduanya.
Mengenai harta kekayaan masing-masing adalah di bawah
kekuasaannya masing-masimg sebagaimana yang terdapat dalam pasal 87
Kompilasi Hukum Islam :
1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang
diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah
penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menenutkan
lain dalam perjanjian perkawinan.
2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan
perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah,
shadaqah atau lainnya.
Harta bawaan seseorang, baik suami atau isteri yang diperoleh
sewaktu masih dalam keadaan Islam, yakni sebelum dia murtad/pindah
agama dari agama Islam kepada agama yang selain Islam, baik harta itu
diperoleh sebagai hadiah atau warisan menjadi pusaka bagi waris-
warisnya, maka berarti anak-anaknya dapat mewarisi harta bawaan orang
tuanya yang didapatkan sebelum orang tuanya murtad.
Akan tetapi, terhadap harta yang diperoleh setelah orang
tuanya murtad dan secara resmi perkawinan kedua orang tuanya telah
difasidkan oleh Hakim Pengadilan, maka menurut pandangan hukum
Islam terhadap harta yang dimiliki oleh salah seorang suami isteri yang
murtad, maka anak-anaknya atau ahli warisnyayang laintidak dapat
menjaadi ahli waris dari harta orang yang telah murtad.47
Jadi, tidak dapat dilakukan pembagian warisan karena
perbedaan agama. Dasarnya adalah hadis Nabi SAW :
ال يرث المسلم : م.عن اسامة بن يزيد ان النبي ص )متفق عليه(الكافر وال يرث الكافر المسلم
Artinya: “Dari Usamah bin Yazid katanya, Rasulullah saw bersabda : “Tidak mewarisi orang muslim terhadap orang-orang kafir, dan tidak mewarisi oaring-orang kafir terhadap orang muslim.”48
Dengan demikian, apabila suami yang murtad itu mengajukan
permohonan ke Pengadilan Agama untuk diadakan pembagian warisan
terhadap harta mereka, maka Pengadilan Agama menolak pengajuan
tersebut, dengan alasan bahwa Pengadilan Agama tidak berhak dalam hal
ini, karena mereka berbeda agama. Perbedaan agama inilah yang menjadi
penghalang dalam hal waris-mewarisi.
B. Tinjauan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan dalam Menetapkan
Akibat Hukum Dari Perceraian Dengan Alasan Suami Murtad
Menurut para ulama Fiqh, jika seseorang suami atau isteri keluar dari
agama Islam (murtad), maka dengan sendirinya perkawinannya menjadi fasakh
(terputus) tanpa perlu melalui talak atau perceraian. Di Indonesia putusnya ikatan
perkawinan karena riddahnya seseorang dari suami isteri termasuk fasakh dan
47 ash-Shiddiqy, Fiqhul Mawaris, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, h. 62 48 Imam Muslim, Shahih Muslim, h. 273
harus dilakukan di depan Pengadilan Agama. Pengadilan Agama hanya dapat
menerima riddahnya seseorang jika orang itu menyatakan sendiri dengan tegas
atau berdasarkan saksi-saksi yang memberikan kesaksian di Pengadilan Agama
bahwa ia telah keluar dari agama Islam. Karena itu, “riddah” seseorang yang
dilakukan bukan didepan Pengadilan Agama tidak boleh dianggap sah. 49
Dalam penelitian penulis terhadap putusan perkara perceraian yang
disebabkan apabila salah seorang dari suami isteri tidak lagi memeluk agama
Islam karena keyakinan batinnya (murtad). Dalam hal ini salah satu pihak dapat
meminta hukum tentang status pernikahannya, menurut hukum agama Islam
Pengadilan Agama dapat menyatakan dalam keputusannya bahwa perkawinan
mereka telah terfasakh disebabkan salah seorang dari pada suami isteri itu tidak
lagi memeluk agama Islam.
1. Pokok Perkara
Dalam putusan perkara no. 1154/Pdt. G/ 2007/ PA. JS di
sebutkan bahwa: Ersy Vinnilia Syarif binti S. Syarif, umur 30 tahun, agama
Islam, pekerjaan swasta, tempat tinggal Jl. Pondok Jaya VI No. 15, Rt. 006,
Rw. 006, Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta
Selatan sebagai “Penggugat” melawan Devi Sammy Andrean Tumengkot bin
Estefanus Tumengkot, umur 31 tahun, agama Kristen Protestan, pekerjaan
swasta, tempat tinggal Jl. Radar Auri No. 3 Rt. 001, Rw. 007, Kelurahan
49Drs. H. Muh. Abduh Sulaiman, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan,
Wawancara Pribadi, Jakarta,
Cimanggis, Kecamatan Cisalak, Kota Depok, Jawa Barat, selanjutnya
deisebut “Tergugat”.
Berdasarkan surat gugatan yang diajukan oleh penggugat yaitu
tertanggal 21 Agustus 2007 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Selatan dengan Nomor 1154/Pdt. G/2007/PA.JS
tertanggal 21 Agustus mengemukakan hal-hal sebagai berikut:
a. Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan pernikahan pada tanggal 29
Juli 1999 di hadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, sebagaimana akta nikah
No. 348/86/VII/1999.
b. Sejak menikah sampai dengan November 2006 kehidupan rumah tangga
Penggugat dan Tergugat masih rukun sebagaimana layaknya suami isteri
meskipun pernah timbul perselisihan namun masih bisa diatasi. Pada
waktu rukun berumah tangga Penggugat dan Tergugat berkediaman di Jl.
Pondok Jaya VI No. 15 Rt. 006 Rw. 006, Kelurahan Pela Mampang ,
Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan.
c. Dari pernikahan tersebut telah dikaruniai seorang anak yang bernama Sata
Dennise Virgilia.
d. Sejak November 2006 kehidupan Penggugat dan Tergugat sering terjadi
perselisihan/pertengkaran secara terus menerus yang sulit diatasi, sehingga
membawa akibat buruk bagi kelangsungan hidup berumah tangga yang
telah dibina mereka bersama.
e. Bahwa, sebab-sebab terjadinya perselisihan/pertengkaran tersebut karena
Tergugat sebagai suami telah kembali keagama semula (Kristen Protestan)
sejak tahun 2004.
f. Bahwa, akibat dari perselisihan tersebut akhirnya sejak November 2006
hingga sekarang ini + 10 bulan Penggugat dan Tergugat telah berpisah
tempat tinggal, yang mana dalam pisah tersebut Penggugat dengan
Tergugat bertempat tinggal di alamat masing-masing sebagaimana
tersebut di atas.
g. Bahwa, sejak berpisahnya Penggugat dengan Tergugat selama + 10 bulan
tersebut, maka sejak itu Tergugat tidak pernah lagi memberikan nafkah
lahir batin terhadap Penggugat.
h. Bahwa, dengan sebab-sebab tersebut diatas Penggugat merasa rumah
tangganya tidak bisa dipertahankan lagi, mengingat perselisihan dan
pertengkaran secara terus menerus yang berkepanjangan, maka Penggugat
bertambah yakin bahwa tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
berumah tangga dengan Tergugat. Oleh karena itu, mohon kiranya kepada
Bapak Ketua Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk memutuskan
perkawinan Penggugat dan Tergugat.
i. Bahwa, mengingat anak Penggugat dan Tergugat masih dibawah umur,
maka anak tersebut haruslah dibawah asuhan Penggugat demi
kelangsungan kasih sayang dan pendidikannya, maka anak tersebut
haruslah dibawah pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat, adapun
mengenai nafkah anak tersebut hendaknya dibebankan kepada Tergugat
untuk setiap bulannya sebesar Rp. 1.500.000,-(satu juta lima ratus ribu
rupiah).
2. Bukti-bukti dalam Persidangan
Dalam persidangan Pengugat dan Tergugat membawa bukti-bukti
untuk memperkuat pendapatnya yang berupa alat bukti surat dan beberapa
saksi dari masing-masing pihak.
Adapun alat bukti berupa surat yang diajukan Penggugat yang
telah dicocokan dengan aslinya dan bermaterai yang cukup adalah sebagai
berikut;
a. Foto copy Kutipan Akta Nikah dari Kantor Urusan Agama Kecamatan
Mampang Prapatan Nomor: 348/86/VII/1999, tanggal 29 Juli 1999 yang
telah ditetapkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Mampang Prapatan
(P-1).
b. Foto copy akta kelahiran atas nama Dennise Virgilia yang dikeluarkan
catatan sipil Jakarta Selatan (P-2).
Selain bukti tertulis Pengggugat telah mengajukan saksi keluarga
sebagai berikut: Eli Nafadan binti Taib, yang dibawah sumpah menerangkan
sebagai berikut:
a. Hubungan saksi sebagai ibu kandung Penggugat.
b. Benar antara Penggugat dan Tergugat menikah tanggal 29 Juli 1999 dan
telah dikarunia seorang anak.
c. Setelah menikah, mereka tinggal serumah dengan saksi.
d. Pada saat itu hubungan Penggugat dan Tergugat tidak rukun dan mereka
sering berselisih dan bertengkar, dan saksi sering melihat mereka
bertengkar.
e. Penyebab adanya sering terjadinya pertengkaran itu disebabkan Tergugat
kembali keagama asalnya (Kristen Protestan) tahun 2004.
f. Sejak November 2006 Tergugat meninggalkan kediaman bersama dan
kembali ke orangtuanya.
g. Upaya keluarga untuk mendamaikan Penggugat dan Tergugat sudah ada
tapi tidak berhasil.
Selanjutnya Tergugat juga mengajukan saksi keluarga yang
bernama Estefanus Tumengkol bin Tumengkol, yang dibawah sumpahnya
menerangkan sebagai berikut:
a. Hubungan saksi sebagai ayah Tergugat.
b. Benar Penggugat dan Tergugat telah menikah tanggal 29 Juli 1999 dan
telah dikaruniai seorang anak.
c. Pada saat menikah Tergugat masuk agama Islam dan sebelumnya
beragama Kristen Protestan.
d. Benar Tergugat telah kembali keagamanya semula tahun 2004, karena
tidak ada bimbingan dari Penggugat.
e. Sejak November 2006 rumah tangga tidak harmonis, sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara mereka dan sekarang mereka telah
berpisah rumah.
f. Sulit untuk rukun kembali antara Penggugat dan Tergugat karena
Tergugat tetap pada keyakinannya agama Kristen Protestan.
Menimbang, bahwa Penggugat dan Tergugat telah diberikan
kesempatan yang cukup untuk mengajukan bukti-bukti, namun tidak
mengajukan bukti lainnya lagi kecuali bukti-bukti tersebut diatas.
Menimbang, bahwa selanjutnya Penggugat dan Tergugat
menyatakan tidak akan mengajukan apa-apa lagi kecuali mohon putusan yang
seadil-adilnya.
3. Pertimbangan Hakim
Majelis Hakim menimbang bahwa maksud dan tujuan gugatan
Penggugat adalah sebagaimana tersebut diatas.
Bahwa yang menjadi permasalahan Penggugat mengajukan
gugatannya adalah karena rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak
harmonis lagi dan antar Penggugat dan Tergugat sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran terus menerus, sebab Tergugat kembali keagama semula
yaitu Kristen Protestan yang kemudian diakhiri denagn perpisahan rumah
sejak bulan November 2006.
Berdasarkan bukti P-1 telah terbukti bahwa antara Penggugat dan
Tergugat masih terikat dalam pernikahan yang sah dan antara Penggugat dan
Tergugat telah dikaruniai seorang anak sesuai bukti P-2.
Majelis Hakim telah berusaha menasehati Penggugat agar rukun
kembali, akan tetapi tidak berhasil, karena Penggugat didalam persidangan
tetap bersiteguh terhadap dalili-dalilnya, dalam pada itu Tergugat didalam
jawabannya telah mengakui semua dalil Penggugat dan tidak keberatan
bercerai dengan Penggugat dan setuju jika anak diasuh oleh Penggugat dan
Tergugat sanggup memberi nafkah anak sebesar Rp 800.000,-(delapan ratus
rubu rupiah).
Terhadap dalil-dalil Penggugat yang telah dibenarkan oleh
Tergugat dianggap sebagai pengakuan Tergugat sehingga oleh karenanya
dalil-dalil Penggugat tersebut telah menjadi dalil yang tetap, dan sesuai
dengan ketentuan Pasal 174 HIR, pengakuan tersebut dipandang telah
mempunyai kekuatan pembuktian.
Walaupun Tergugat telah mengakui semua dalil Penggugat, namun
karena perkara ini bidang perceraian dan juga menghindari adanya rekayasa,
kesepakatan dan kebohongan besar dalam alasan perceraian oleh para pihak,
maka Tergugat masih dibebani beban pembuktian.
Dalam perkara ini Penggugat dan Tergugat telah mengajukan saksi
keluarga masing-masing yaitu 1, Eli Nafidan binti M Taib, 2, Estefanus
Tumengkol bin Tumengkol yang telah memberi kesaksian dibawah sumpah.
Pertimbangan hakim juga dalam hal keterangan para saksi tersebut
secara formil dapat diterima karena telah memenuhi unsure Pasal 76 ayat (1)
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989, dan secara materil dapat
dipertimbangkan karena satu sama lain saling bersesuaian sebagaimana
dimaksud oleh Pasal 170 dan Pasal 172 HIR.
Berdasarkan keterangan para saksi yang saling bersesuaian
tersebut Majelis Hakim menemuka fakta-fakta didalam persidangan sebagai
berikut :
Bahwa rumah tangga Penggugat dan Tergugat tidak harmonis dan antara
mereka sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang sulit dirukunkan,
yang disebabkan Tergugat sejak tahun 2004 telah kembali keagamanya
semula (Kristen Protestan) yang akibatnya sejak bulan November 2006
Penggugat dan Tergugat telah berpisah rumah dan sampai sekarang tidak
pernah berkumpul lagi.
Majelis Hakim menimbang, bahwa maksud dan tujuan perkawinan
menurut ketentuan hukum perundang-undangan yang berlaku sebagaimana
telah ditentukan didalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 juga
Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam adalah membentuk rumah tangga sakinah,
mawaddah dan rahmah, namun yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat
dengan Tergugat adalah sebaliknya yaitu suatu rumah tangga yang penuh
dengan perselisihan dan pertengkaran bahkan antara Penggugat dan Tergugat
sudah berpisah rumah selama 1 (satu) bulan sehingga kedua belah pihak
sudah tidak dapat lagi menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, maka Majelis Hakim
berkesimpulan bahwa rumah tangga antara Penggugat dengan Tergugat sudah
pecah dan sudah tidak harmonis lagi serta tidak sesuai dengan tujuan
perkawinan sebagaimana tesebut diatas, maka mempertahankan rumah tangga
yang sudah sedemikian keadannya itu dikhawatirkan dapat menimbulkan hal-
hal yang negative bagi keduanya, oleh karenanya Majelis berpendapat bahwa
alasan Penggugat telah sesuai dengan ketentuan Pasal 39 ayat (2) Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 jo Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam, maka
gugatan Penggugat patut untuk dikabulkan. Menimbang, bahwa selama
perkawinan antar Penggugat dan Tergugat telah lahir 1 (satu) orang anak yang
bernama Safa Dennise Virgilia, lahir tanggal 2 September 2000.
Sesuai dengan ketentuan pasal 105 (a) Kompilasi Hukum Islam
menentukan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayiz atau belum
berumur 12 tahun adalah hak ibunya, oleh karena anak Penggugat dan
Tergugat yang bernama Safa dennise Virgilia sesuai dengan bukti P-2 dan
terbukti bahwa anak tersebut baru berumur 7 tahun sehingga oleh karenanya
sesuai dengan ketentuan pasal 195 huruf (a) Kompilasi Hukum Islam tersebut
maka anak tersebut harus ditetapkan diasuh dan dipelihara oleh Penggugat.
Sesuai dengan ketentuan pasal 41 huruf (a) Undang-undang nomor
1 tahun 1974 bahwa akibat putusnya perkawinan baik ibu maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak, maka sesuai dengan pertimbangan hukum
tersebut diatas, meskipun secra fisik anak-anak dalam pemeliharaan
Penggugat namun tidak berarti untuk memiliki, sebab pada hakekatnya anak-
anak tersebut adalah milik berdua sehingga Tergugat sebagai ayahnya tetap
diperbolehkan sewaktu-waktu bertemu/ mengajak jalan-jalan untuk
mencurahkan rasa kasih sayangnya kepada anak-anak terssebut dengan cara-
cara yang baik dan sesuai dengan kepatutan tanpa dihalang-halangi oleh
Penggugat.
Mengenai nafkah anak telah disepakati oleh Penggugat dan
Tergugat sebesar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah).
Menimbang, bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 84 Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 serta SEMA Nomor : 28/TUADA-MA/X/2000 tanggal 22
Oktober 2002 maka Majelis memerintahkan kepada Panitera Pengadilan
Agma Jakarta Selatan untuk mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai
Pencacat Nikah pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Mampang Prapatan
untuk mencatat perceraian tersebut.
Menimbang, bahwa oleh karena perkara ini termasuk dalam bidang
perkawinan, maka sesuai dengan ketentuan Pasal 89 ayat (1) Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 biaya perkara ini dibebankan kepada Penggugat.
4. Putusan Perkara
Hakim telah memutuskan:
a. Menjatuhkan talak satu ba’in sughra Tergugat (Devy sammy Andrean
Tumengkol bin Estefanus Tumengkol) terhadap Penggugat (Ersy Vinillia
Sjarif binti S. Sjarif) dan menyatakan perkawinan antara Penggugat dan
Tergugat putus karena talak tersebut.
b. Menetapkan anak Penggugat dan Tergugat yang bernama Safa Dennise
Virgillia, lahir 2 November 2000, berada dibawah pengasuhan dan
pemeliharaan Penggugat.
c. Menghukum Tergugat untuk membayar nafkah anak tersebut melalui
Penggugat untuk setiap bulannya Rp 800.000,-(delapan ratus ribu rupiah)
d. Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Agama Jakarta Selatan untuk
mengirimkan salinan putusan ini kepada Pegawai Pencatat Nikah pada
Kantor Urusan Agama Kecamatan Mampang Prapatan untuk mencatat
perceraian tersebut.
e. Membebankan kepada Penggugat untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp. 206.000,-(dua ratus enam ribu rupiah).
C. Analisis Kasus
Dengan adanya perceraian, maka akan timbul akibat-akibat hokum
tertentu, baik bagi mantan suami atau isteri, harta benda, serta anak-anak. Adapun
hubungan antara mantan suami-isteri dapat berakhir dengan mudah, demikian
pula dengan harta benda, namun hubungan dengan anak-anak merupakan
tanggung jawab yang berkelanjutan meskipun kedua mantan suami-isteri telah
berpisah.
Dari duduk perkara diatas, dapat diketahui dengan jelas alasan-alasan
mengapa Penggugat mengajukan gugatan cerai gugat kepada Tergugat, yaitu
karena Tergugat telah secara eksplisit menyatakan bahwa ia telah keluar dari
agama Islam (murtad) dan telah menganut agama asalnya (Kristen Protestan).
Dengan adanya perbedaan keyakinan, sekiranya hal tersebut justru menimbulkan
perselisihan diantara Penggugat dan Tergugat secara terus menerus, sehingga bila
alasan-alasan yang telah dikemukakan Penggugat tersebut dapat dibuktikan
kebenarannya, maka berarti telah cukup alasan bagi Penggugat dalam
mengajukan gugatan cerai gugatannya.
Dalam perkara cerai gugat ini, pihak majelis Hakim Pengadilan
Agama Jakarta Selatan telah berupaya untuk mengambil langkah-langkah positif,
seperti adanya upaya untuk mendamaikan kedua belah pihak. Seperti telah
disinggung dalam duduk perkara diatas, bahwa pasangan ini telah mempunyai
seorang anak yang tentunya dengan adanya perceraian kedua orang tuanya akan
mengakibatkan anak tersebut kehilangan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Menurut penulis, berikut ini paling tidak ada dua point yang
menyebabkan pasangan Devy Sammy Andrean Tumengkol dengan Ersy Vinnilia
Sjarif bercerai, yaitu :
Pertama, adanya ketidak sesuaian dari kedua belah pihak. Artinya
masing-masing pihak tetap ngotot dengan pendapatnya sendiri tanpa bisa saling
menerima pendapat satu sama lain. Selain itu, adanya perbedaan keyakinan yang
disebabkan Tergugat keluar dari agama Islam dan menganut agama asalnya
(Kristen Protestan), sehingga hal tersebut mengusik jiwa dan batin Penggugat
yang tetap menginginkan rumah tangganya tetap dalam naungan agama Islam.
Perbedaan keyakinan itu akhirnya terus menerus memperkeruh rumah
tangga kedua belah pihak, di tambah lagi Tergugat selama berpisah rumah dengan
Penggugat tidak pernah lagi memberikan nafkah lahir batin terhadap Penggugat.
Perselisihan-perselisihan yang terus menerus terjadi antara kedua
belah pihak memang sangat sulit untuk diselesaiakan, maka menurut hemat
penulis, dengan adanya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus terjadi,
dikhawatirkan akan memberi kemudharatan bukan hanya untuk kedua belah pihak
akan tetapi terhadap anak-anaknya.
Kedua, kelalaian Tergugat dalam menjalankan kewajibannya, bila
ditilik kembali alasan yang membuat Penggugat mengajukan gugatan, penulis
melihat adanya kesalahan dari Penggugat dimana menurut kesaksian dari
Estefanus Tumengkol, bahwa Penggugat tidak memberikan bimbingan agama
Islam kepada Tergugat sehingga Tergugat sebagai seorang muallaf mudah
terpengaruh untuk kembali keagama asalnya.
Berdasarkan peristiwa diatas, peluang bersatu kembali dalam ikatan
perkawinan rasanya tidak mungkin terjadi , walaupun berbagai upaya telah
dilakukan. Dan dengan mempertimbangkan alasan-alasan tersebut diatas, maka
dalam kasus ini perceraian menjadi solusi terakhir dalam memecahkan kemelut
dalam rumah tangga antara Devy Sammy Andrean Tumengkol dengan Ersy
Vinnilia Sjarif.
Mengenai akibat hukum dari perceraian diatas, menurut amar putusan
Hakim, perkawinan antara Devy Sammy Andrean Tumengkol dengan Ersy
Vinnilia Sjarif telah putus jatuh talak satu ba’in sughra dan nenetapkan anak
Penggugat dan Tergugat yang bernama Sifa Dennise Virgillia berada dibawah
pengasuhan dan pemeliharaan Penggugat, dengan menghukum Tergugat untuk
membayar nafkah anak tersebut melalui Penggugat untuk setiap bulannya Rp
800.000,-. Mengenai akibat hukum dari percerian diatas dalam hal harta bersama,
dalam perkara ini tidak disinggung oleh Penggugat mengenai harta bersama,
karena antara Penggugat dan Tergugat berbeda agama sehingga mengakibatkan
tidak berwenangnya Pengadilan Agama dalam pembagian harta bersama diantara
mereka.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Akibat hukum dari perpindahan agama dari perceraian dengan alasan suami
murtad, apabila ditinjau dari Undang-undang No. 1/1974 dan dapat
menyebabkan ikatan perkawinan antara suami dan isteri menjadi putus/fasakh
demi hukum, yaitu hukum Islam. Hal tersebut didasarkan pada ketentuan
Undang-undang no. 1/1974 pasal 2 ayat (1) jo KHI pasal 4 bahwa sahnya
suatu perkawinan semata-mata didasarkan atas ketentuan hukum agama dan
kepercayaan yang bersangkutan. Artinya, apabila ada perkawinan yang
menyimpang dari norma-norma agama maka hal tersebut dipandang sebagai
sesuatu yang menyalahi hukum agama dan prkawinan itu dianggap tidak sah.
Mengenai status anak, menurut Undang-undang No. 1/1974, seorang anak
tetap dikatakan sebagai anak yang sah dari ibu dan bapaknya, apabila
Pengadilan Agama belum memutuskan perceraian diantara keduanya yang
diakibatkan suami murtad, sedangkan menurut KHI, apabila anak yang
dilahirkannya adalah hasil dari hubungan dengan suaminya yang telah murtad,
maka anak itu dikatakan sebagai anak yang tidak sah, disebabkan hubungan
keduanya dianggap sebagai suatu perbuatan zina. Mengenai dalam hal harta
kekayaan maka akibat hukum dari perpindahan agama/murtadnya suami,
maka harus diadakan pembagian yang adil antara suami dan isteri. Terhadap
harta benda yang diperoleh karena warisan atau hibah yang diperoleh sebelum
suami murtad, maka anak-anak atau ahli warisnya yang lain dapat menjadi
pusaka warisannya sedangkan harta yang diperoleh setelah suami murtad
maka anak atau ahli warisnya yang lain tidak boleh menjadi pusaka warisnya,
disebabkan perbedaan agama diantara suami isteri yang menjadikan harta
tersebut hukumnya haram.
2. Mengenai putusan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan terhadap perkara
perceraian dengan alasan suami murtad, dalam hal ini majelis hakim ada dua
keputusan, yaitu
a. Dengan memfasakh langsung, dalam artian Hakim langsung memfasakh
(memutuskan) perkawinan antara Penggugat dengan Tergugat
b. Dengan menjatuhkan talak ba’in sughra.
Sebenarnya sama saja antara kedua putusan Hakim diatas
mengenai perkara dengan alasan suami murtad, yaitu sama-sama tidak bisa
menikah lagi dengan mantan suaminya yang murtad itu kecuali dengan akad
baru dan tentunya dengan memenuhi syarat-syarat sahnya untuk menikah,
dalam hal ini mantan suami harus kembali ke agama Islam.
3. Pertimbangan Pengadilan Agama dalam memutuskan perkara perceraian
dengan alasan suami murtad adalah Pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974, pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
pasal 116 huruf h Kompilasi Hukum Islam. Dalam pasal 116 huruf h
menjelaskan bahwa salah satu alasan perceraian adalah perpindahan agama
atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga. Menurut Hakim dengan adanya perpindahan agama dalam suatu
perkawinan akan mengakibatkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga
sehingga rumah tangga tersebut tidak bisa didamaikan karena masalah
keyakinan merupakan faktor yang sangat fundamental dalam membangun
rumah tangga yang sakinah, mawadah dan rahmah.
B. Saran-saran
1. Dari analisi skripsi ini, Penulis menyarankan kepada generasi muda yang
belum menikah, khususnya kaum muslimahnya yang seringkali menjadi
korban tipu daya laki-laki yang hanya mencari kesenangan semata, agar selalu
berhati-hati dan waspada dalam memilih pasangan hidup yang benar-benar
istiqomah imannya, untuk kemaslahatan dirinya dan anak-anaknya di masa
mendatang.
2. Dan apabila telah terjadi kemurtadan dalam perkawinan, baik dari pihak laki-
laki ataupun perempuan, sebaiknya untuk segera mengajukan permohonan
cerai ke Pengadilan Agama agar tidak menimbulkan fitnah di kalangan
masyarakat.
3. Hendaklah kepada para pejabat di Pengadilan Agama, agar dapat memutuskan
perkara yang berkaitan dengan peralihan agama ini dengan lebih teliti dan
cepat agar tidak menimbulkan madharat bagi salah satu pihak.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Pedoman wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
2. Hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan.
3. Surat mohon kesediaan pembimbing skripsi
4. Surat mohon data dan wawancara
5. Surat keterangan telah melakukan penelitian dan wawancara di Pengadilan
Agama Jakarta Selatan
6. Surat putusan No. 1154/Pdt. G/2007/PA. JS
DAFTAR PUSTAKA
Al- Qur’anul Karim
al- Amili, Muh. Makki, ali Husain, Perceraian Salah Siapa?Bimbingan dalam Mengatasi Problematika Rumah Tangga, Jakarta: Lentera, 2001
Al- Jabry, Abdul, Muta’al, M., Perkawinan Antar Agama Suatu Dilema, Surabaya: Risalah Gusti, 1992
Abdullah, Abdul Ghani, Himpunan Perundang-undangan dan Peraturan Peradilan Agama, Jakarta: Intermasa, 1991
Abbas, S. Ziyad, Fiqh Wanita Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1991
A. Mahdi, Soleh, Hukum Bagi Orang Murtad dan Kafir. Jakarta: PT. Arista Brahmatysa, 1994
As-Shiddiqy, Hasby, TM., Fiqhul Mawaris, Jakarta: Bulan Bintang, 1973
Az-Zuhaili, Wahbah, al- Fiqhul Islam wa ‘Adillatuh, Damaskus: Darul Fikr, 1997
Aziz, Abdul, Dr., Perkawinan yang Harmonis dan Bahaya Perkawinan dengan Wanita Asing, Jakarta: Firdaus, 1993
Departemen Agama RI: Direktorat Jenderal, Bimbingan Masyarakat, dan Penyelenggaraan Haji, al- Qur’an dan Terjemahannya, Semarang: Toha Putera, 1989
-------------, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Thun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Departeman Agama RI: Dirjen, Bimas dan Penyelenggaraan Haji, 2004
Daly, Peunoh, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Fannani, Zainuddin bin Abdul Aziz al- Malibala al, Terjemahan Fat-Hul Mu’in, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994
Harahap, M. Yahya, Kedudukan, Kewenangan, dan Acara Peradilan Agama, Jakarta: Pustaka Kartini, 1993
Hakim, Rahmat, H., Drs., Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Adat, Bandung: PT. Alumni, 1993
Kasani, ‘Ala’ Ad- Din al- Kitab Bada’i Ash- Shariai’, Dar al- Fikr: Beirut, 1996
Kuzari, Achmad, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995
Latief, Djamil, H. M., S. H., Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1983, Cet. ke-1
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Yayasan al- Hikmah, 2000
Marpaung, Happy, Masalah Perceraian, Bandung: Tonis, 1983
Matraji, Mahmoud, Shahih Muslim, Beirut: Daar- al- Fikr, 1993
Mas’ud, Ibnu, Drs., H. dan S. Abidin, Zainal, Drs. H., Fiqh Mazhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia, 2000
Muhammad, Abu Bakar, Terjemah Subussalam, Surabaya: al- Ikhlas, 1995
Mukhtar, Kamal, Drs., Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: BUlan Bintang, 1974
Nasution, Harun, Prof., Dr., (Ketua Tim), Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Djambatan, 1992
Nur, Djaman, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993
Nuruddin, Amir dan Tarigan, Akmal Azhari, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dan Fiqh, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Prenada Media, 2004
Rosjid, Sulaiman, H., Fiqh Islam, Jakarta: Attahiriya, 1976
Sabbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Beirut: Dar al- Fikr, Jilid III, 1993
--------------, Fiqh Sunnah 8, Bandung: al- Ma’arif, 1996
Satrio, J, Hukum Harta Perkawinan, Bandung: Citra Aditya Sakti, 1991
Shiddieq, Ahmad, Hukum Thalaq dalam Islam, Surabaya: Putra Pelajar, 2001
Sulaiman, Muh. Abduh, Hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan, Wawancara Pribadi, Jakarta,
Suma, Muhammad Amin, Prof., Dr., MA., SH., dkk, Pidana Hukum Islam di Indonesia Peluang, Prospek dan Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001
Thalib, Sayuti, SH., Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI. Press, 1981
Thalib, M., 15 Penyebab Perceraian dan Penanggulangannya, Bandung: Irsyad Baitus Salam, 1997
PEDOMAN WAWANCARA
1. Selama Bapak bertugas di PA Jaksel, apa Bapak pernah menangani perkara
perceraian karena alasan murtad?
2. Menurut Bapak, apa pengertian murtad itu? Apakah asalnya memang pernah
menganut agama, lalu kembali ke agama semula setelah menikah, ataukah
benar-benar ia muslim/ muslimah lalu ia beralih agama?
3. Apakah menurut bapak murtadnya seseorang dalam perkawinan
menyebabkan putusnya perkawinan mereka seketika itu juga?
4. Dalam KHI pasal116 huruf (f) disebutkan murtad menjadi salah satu alasan
untuk bercerai jika menyebabkan ketidak rukunan dalam rumah tangga,
bagaimana pendapat Bapak jika murtadnya salah satu pihak dari mereka itu
tidak mempengaruhi kerukunan rumah tangga mereka?
5. Pertimbangan apa saja yang Majelis Hakim ambil dalam menyelesaikan
perceraian dengan alasan suami murtad?
6. Menurut Bapak apa saja akibat hukum dari perceraian tersebut? Karena di
dalam UU No. 1/ 1974 maupun KHI tidak menjelaskan akibat hukum dari
perceraian dengan alasan suami murtad?