akal asia

38
AKALASIA ESOFAGUS 1. Definisi Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (LES) yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada waktu menelan makanan. Akalasia juga diartikan sebagai kelainan motorik dari otot polos esofagus, dimana terjadi gangguan peristaltik otot esofagus yang menyeluruh disertai gangguan otot lingkar esofagus bagian bawah, gagal untuk relaksasi secara sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan pengosongan esofagus [1,2] Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan timbul pelebaran esophagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi dalam akalasia primer dan akalasia sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya. [1,3] 2. Anatomi dan Fisiologi 1

Upload: yuyunjamil

Post on 08-Aug-2015

44 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Akal Asia

AKALASIA ESOFAGUS

1. Definisi

Akalasia merupakan suatu keadaan khas yang ditandai dengan tidak adanya

peristaltis korpus esofagus bagian bawah dan sfingter esofagus bagian bawah (LES)

yang hipertonik sehingga tidak bisa mengadakan relaksasi secara sempurna pada

waktu menelan makanan. Akalasia juga diartikan sebagai kelainan motorik dari otot

polos esofagus, dimana terjadi gangguan peristaltik otot esofagus yang menyeluruh

disertai gangguan otot lingkar esofagus bagian bawah, gagal untuk relaksasi secara

sempurna, sehingga mengakibatkan gangguan pengosongan esofagus[1,2]

Secara histopatologik kelainan ini ditandai oleh degenerasi ganglia pleksus

mienterikus. Akibat keadaan ini akan terjadi stasis makanan dan selanjutnya akan

timbul pelebaran esophagus. Keadaan ini akan menimbulkan gejala dan komplikasi

tergantung dari berat dan lamanya kelainan yang terjadi. Secara klinis akalasia dibagi

dalam akalasia primer dan akalasia sekunder yang dihubungkan dengan etiologinya.[1,3]

2. Anatomi dan Fisiologi

Esofagus merupakan suatu organ silindris berongga dengan panjang sekitar 25

cm dan garis tengah 2 cm. Esofagus yang berada di leher panjangnya 5 cm, berjalan

diantara trakea dan kolumna vertebralis, serta selanjutnya memasuki rongga toraks

setinggi manubrium sterni. Di dalam rongga dada, esophagus berada di mediastinum

posterior mulai di belakang lengkung aorta dan bronkus cabang utama kiri, kemudian

agak membelok ke kanan berada di samping kanan depan aorta torakalis bawah dan

masuk ke dalam rongga perut melalui hiatus esophagus dari diafragma dan berakhir

di kardia lambung. Panjang esophagus yang berada di rongga perut sekitar 2-4 cm.

Otot esofagus bagian sepertiga atas adalah otot rangka yang berhubungan erat

dengan otot-otot faring sedangkan dua pertiga bawah adalah otot polos yang terdiri

dari otot sirkuler dan otot longitudinal seperti yang terdapat pada organ saluran cerna

1

Page 2: Akal Asia

yang lain. Berbeda dengan bagian saluran cerna yang lain, bagian luar esofagus tidak

memiliki lapisan serosa ataupun selaput peritonium melainkan terdiri atas jaringan

ikat jarang yang menghubungkan esofagus dengan struktur-struktur yang berdekatan.

Esofagus mengalami penyempitan di tiga tempat yaitu penyempitan pertama

setinggi cartilago cricoideus yang bersifat spingter terletak pada batas antara faring

dan esofagus, yaitu tempat peralihan otot serat lintang menjadi otot polos.

Penyempitan kedua terletak di rongga dada bagian tengah akibat tertekan lengkung

aorta dan cabang bronkus utama kiri, penyempitan ini tidak bersifat spingter. S

penyempitan yang terakhir terletak pada hiatus esofagus diafragma, yaitu tempat

berakhirnya esophagus di kardia lambung. Otot polos pada bagian ini murni bersifat

spingter.[2,4]

Gambar 1. Hubungan anatomi topografi

esofagus.[2]

(1) esofagus,

(2) trakea,

(3) bronkus kanan,

(4) bronkus kiri,

(5) arkus aorta,

(6) diafragma,

(7) hiatus esofagus,

(8) segmen abdominal esofagus,

(9) kardia gaster,

(10) fundus gaster

Distribusi darah esofagus mengikuti pola segmental. Bagian atas disuplai oleh

cabang-cabang a. thyroidea inferior dan a. subclavia. Bagian tengah disuplai oleh

cabang-cabang segmental aorta dan a.bronkiales, sedangkan bagian subdiafragmatika

disuplai oleh a.gastrika sinistra dan a. frenica inferior.

2

Page 3: Akal Asia

Gambar 2. Esophagus[4]

Aliran darah vena juga melalui pola segmental. Vena-vena esofagus bagian

leher mengalirkan darah ke v.azygos dan v. Hemiazygos untuk kemudian masuk ke

vena kava superior sedangkan vena-vena esofagus bagian subdiafragmatika masuk ke

dalam v.gastrica sinistra yang merupakan cabang vena porta sehingga terjadi

hubungan langsung antara sirkulasi vena porta dan sirkulasi vena esophagus bagian

bawah melalui vena koronaria.

Pembuluh limfe esofagus membentuk pleksus dalam mukosa, submukoas,

lapisan otot, dan tunika adventisia. Di bagian sepertiga cranial, pembuluh ini berjalan

secara longitudinal bersama dengan pembuluh limfe dari faring ke kelnjar di leher,

sedangkan di bagian dua per tiga kaudal pembuluh ini bermuara ke kelnjar seliakus,

seperti halnya pembuluh limfe dari lambung.

Persarafan utama esofagus dilakukan oleh serabut-serabut simpatis dan

parasimpatis dari sistim saraf otonom. Serabut saraf simpatis dibawa oleh n. vagus.

Selain serabut saraf ekstrinsik, terdapat jala-jala serabut saraf intramural intrinsik di

antara lapisan otot sirkuler dan longitudinal (pleksus mienterikus Auerbach) dan

pleksus Meissner yang terletak pada submukosa esofagus.[2,5]

3

Page 4: Akal Asia

Fungsi utama esophagus adalah menyalurkan makanan dan minuman dari

mulut ke lambung. Fungsi dasar esofagus adalah membawa material yang ditelan dari

faring ke lambung. Yang kedua, refluks gastrik ke esofagus dicegah oleh sfingter

bawah esofagus dan masuknya udara ke esofagus pada saat inspirasi dicegah oleh

sfingter atas esofagus, sfingter atas normalnya selalu tertutup akibat kontraksi tonik

otot krikofaringeus. Ketika makanan mencapai esofagus, makanan akan didorong ke

lambung oleh gerakan peristaltik. Kekuatan kontraksi peristaltik tergantung kepada

besarnya bolus makanan yang masuk ke esofagus. Gerakan peristaltik esofagus terdiri

dari gerakan peristaltik primer dan gerakan peristaltik sekunder. Gerak peristaltik

primer adalah gerak peristaltik yang merupakan lanjutan dari gerakan peristaltik pada

faring yang menyebar ke esofagus. Gerakan ini berlangsung dengan kecepatan 3-4

cm/ detik, dan membutuhkan waktu 8-9 detik untuk mendorong makanan ke

lambung. Gerakan peristaltik sekunder terjadi oleh adanya makanan dalam esofagus.

Sesudah gerakan peristaltik primer dan masih ada makanan pada esofagus yang

merangsang reseptor regang pada esofagus, maka akan terjadi gelombang peristaltik

sekunder. Gelombang peristaltik sekunder berakhir setelah semua makanan

meninggalkan esofagus. Esofagus dipisahkan dari rongga mulut oleh sfingter

esofagus proksimal atau sfingter atas esofagus (upper esopaheal spinchter/ UES), dan

dipisahkan dengan lambung oleh sfingter esofagus distal atau sfingter bawah

esofagus (lower esophageal spinchter/ LES). Sfingter esofagus proksimal terdiri dari

otot rangka dan diatur oleh n. vagus. Tonus dari otot ini dipertahankan oleh impuls

yang berasal dari neuron post ganglion n. vagus yang menghasilkan asetilkolin.

Sfingter esofagus distal yang terletal 2-5 cm di atas hubungan antara esofagus

dan lambung merupakan otot polos. Secara anatomis, strukturnya tidak berbeda

dengan esofagus tetapi secara fisiologis berbeda oleh karena dalam keadaan normal

sfingter selalu konstriksi.[4,5]

4

Page 5: Akal Asia

Proses menelan dapat di bagi menjadi 3 tahap yaitu :

1. Fase oral, yang mencetuskan proses menelan

Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan bercampur

dengan liur akan membentuk bolus makanan, melalui dorsum lidah ke orofaring

akibat kontraksi otot intrinsik lidah. Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan

rongga pada tekukan dorsum lidah diperluas, palatum mole dan bagian atas dinding

posterior faring (Passavant's ridge) terangkat, penutupan nasofaring akibat kontraksi

m. levator veli palatine, kontraksi m. Palatoglosus, ismus fausium tertutup, kontraksi

m. palatofaring, sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.

2. Fase faringeal

Fase ini terjadi secara refleks pada akhir fase oral, membantu jalannya

makanan dari faring kedalam esophagus. Faring dan taring bergerak ke atas oleh

kontraksi m.stilofaring, m. salfingofaring, m.tirohioid dan m. palatofaring. Aditus

laring tertutup oleh epiglotis, sedangkan ketiga sfingter laring, yaitu plika

ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup karena kontraksi m.

ariepiglotika dan m. aritenoid obliges, menuju penghentian aliran udara ke laring

karena refleks yang menghambat pernapasan (bolus tidak akan masuk ke sal.nafas,

meluncur ke arah esofagus.

3. Fase esofageal

Fase involunter lain yang mempermudah jalannya makanan dari esofagus ke

lambung. Rangsangan makanan pada akhir fase faringeal, relaksasi m. krikofaring,

introitus esofagus terbuka dan bolus makanan masuk kedalam esophagus, sfingter

berkontraksi > tonus introitus esofagus saat istirahat, refluks dapat dihindari. Akhir

fase esofageal sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika dimulainya peristaltik

esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke distal. Selanjutnya setelah

bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup kembali.

Proses muntah terjadi karena tekanan di dalam rongga perut dan lambung

meningkat serta terjadi relaksasi sementara sfingter esofagokardia sehingga secara

5

Page 6: Akal Asia

refleks makanan dan cairan dari dalam lambung dan esophagus naik ke faring dan

dikeluarkan melalui mulut.[4,5]

3. Epidemiologi

Insidens terjadinya akalasia adalah 1 dari 100.000 jiwa pertahun dengan

perbandingan jenis kelamin antara pria dan wanita 1 : 1. Akalasia lebih sering

ditemukan orang dewasa berusia 20 - 60 tahun dan sedikit pada anak-anak dengan

persentase sekitar 5% dari total akalasia.

Penyakit ini relatif jarang di jumpai. Dari data subdivisi Gastroenterologi

Departemen Penyakit Dalam FKUI didapatkan 48 kasus dalam kurun waktu 5 tahun

(1984-1988). Sebagian besar kasus terjadi pada umur pertengahan dengan

perbandingan jenis kelamin yang hampir sama. Di Amerika Serikat ditemukan sekitar

2000 kasus akalasia setiap tahun, sebagian besar pada usia 25-60 tahun dan sedikit

pada anak-anak. Dari suatu penelitian internasional didapatkan bahwa angka

kematian kasus ini dari 28 populasi yang berasal dari 26 negara didapatkan angka

kematian tertinggi tercatat di Selandia Baru dengan angka kematian standar 259

sedangkan yang terendah didapatkan dengan angka kematian standar 0. Angka

kematian ini diperoleh dari seluruh kasus akalasia baik primer maupun sekunder.[1,5]

4. Etiopatogenesis

Akalasia atau megaesofagus adalah keadaan sfingter esofagus inferior yang

gagal berelaksasi selama menelan. Sebagai akibatnya, makanan yang ditelan ke

dalam esofagus gagal untuk melewati esofagus menuju lambung.

Bila ditinjau dari etiologi, akalasia ini dibagi menjadi 2 bagian, yakni:

1. Akalasia Primer (Idiophatic Achalasia)

Penyebab yang jelas kelainan ini tidak diketahui. Diduga disebabkan oleh virus

neurotropik yang berakibat lesi pada nucleus dorsalis vagus pada batang otak dan

ganglia misenterikus pada esofagus. Pada akalasia primer, terjadi inkomplit

relaksasi pada lower esophageal sphincter (LES).

2. Akalasia Sekunder (Pseudoachalasia)

6

Page 7: Akal Asia

Kelainan ini didapatkan oleh infeksi (spt. Penyakit Chagas), tumor

intraluminer seperti tumor cardia atau pendorongan ekstra luminer seperti pseudokista

pankreas. Pada akalasia sekunder ditemukan aperistaltik di sekitar gastroesophageal

junction.[3,6]

Selain itu, penyebab terjadinya akalasia esophagus juga dikarenakan beberapa

hal dibawah ini.

1. Teori Genetik

Temuan kasus akalasia pada beberapa orang dalam satu keluarga telah

mendukung bahwa akalasia kemungkinan dapat diturunkan secara genetik.

Kemungkinan ini berkisar antara 1 % sampai 2% dari populasi penderita akalasia.

2. Teori Infeksi

Faktor-faktor yang terkait termasuk bakteri (diphtheria pertussis, clostridia,

tuberculosis dan syphilis), virus (herpes, varicella zooster, polio dan measles), Zat-zat

toksik (gas kombat), trauma esofagus dan iskemik esofagus uterine pada saat rotasi

saluran pencernaan intra uterine. Bukti yang paling kuat mendukung faktor infeksi

neurotropflc sebagai etiologi. Pertama, lokasi spesifik pada esofagus dan fakta bahwa

esofagus satu-satunya bagian saluran pencernaan dimana otot polos ditutupi oleh

epitel sel skuamosa yang memungkinkan infiltrasi faktor infeksi. Kedua,banyak

perubahan patologi yang terlihat pada akalasia dapat menjelaskan faktor neurotropik

virus tersebut. Ketiga, pemeriksaan serologis menunjukkan hubungan antara measles

dan varicella zoster pada pasien akalasia.

3. Teori Autoimun

Penemuan teori autoimun untuk akalasia diambil dari beberapa somber.

Pertama, respon inflamasi dalam pleksus mienterikus esofagus didominasi oleh

limfosit T yang diketahui berpefan dalam penyakit autoimun. Kedua, prevalensi

tertinggi dari antigen kelas II, yang diketahui berhubungan dengan penyakit autoimun

lainnya. Yang terakhir, beberapa kasus akalasia ditemukan autoantibodi dari pleksus

mienterikus.

4. Teori Degeneratif

7

Page 8: Akal Asia

Studi epidemiologi dari AS menemukan bahwa akalasia berhubungan dengan

proses penuaan dengan status neurologi atau penyakit psikis, seperti penyakit

Parkinson dan depresi Susunan otot pada sepertiga bagian atas dinding esofagus

dibentuk oleh otot lurik dan sebagian lagi otot polos. Pada proses menelan, spingter

esofagus bagian atas secara reflex akan membuka dan gelombang reflex peristaltik

mendorong bolus makanan ke esophagus. Di tempat ini, dilatasi akibat bolus akan

memicu gelombang peristaltik selanjutnya hingga mencapai lambung. Spingter

esofagus bagian bawah dibuka oleh reflex vasovagal pada permulaan proses menelan.

Reflex relaksasi resptif ini diperantarai oleh neuron nonadrenergik nonkolinergik

inhibitor (NCNA) di pleksus mesenterikus.[3,5,7]

Pada akalasia terjadi hipermotilitas yang dapat disebabkan oleh lapisan otot

yang menebal, peningkatan sensitivitas otot terhadap transmitter eksitatorik

(asetilkolin), atau hormon, atau penurunan sensitivitas terhadap transmitter

inhibitorik. Hiperosmolar juga dapat disebabkan oleh peningkatan aktivitas neuron

kolinergik atau penurunan aktivitas neuron NCNA inhibitorik. Kelainan ini

disebabkan oleh penurunan jumlah neuron NCNA intramural serta pengurangan

reaktivitas neuron ini terhadap asetilkolin yang dilepaskan di praganglion.[8,9]

Ada beberapa hal yang telah dikemukakan berkaitan dengan patomekanisme

terjadinya akalasia esophagus.

1. Neuropatologi

Beberapa macam kelainan patologi dari akalasia telah banyak dikemukakan.

Beberapa dari perubahan ini mungkin primer (misal: hilangnya sel-sel ganglion

dan inflamasi mienterikus), dimana yang lainnya (misal : perubahan degeneratif

dari n. vagus dan nukleus motoris dorsalis dari n. vagus, ataupun kelaianan otot

dan mukosa) biasanya merupakan penyebab sekunder dari stasis dan obstruksi

esofagus yang lama.

2. Kelainan pada Innervasi Ekstrinsik

8

Page 9: Akal Asia

Saraf eferen dari n. vagus, dengan badan-badan selnya di nukleus motoris

dorsalis, menstimulasi relaksasi dari LES dan gerakan peristaltik yang

merupakan respon dari proses menelan. Dengan mikroskop cahaya, serabut saraf

vagus terlihat normal pada pasien akalasia. Namun demikian, dengan

menggunakan mikroskop elektron ditemukan adanya degenerasi Wallerian dari

n. vagus dengan disintegrasi dari perubahan aksoplasma pada sel-sel Schwann

dan degenarasi dari selubung myelin, yang merupakan perubahan-perubahan

yang serupa dengan percobaan transeksi saraf.

3. Kelainan pada Innervasi Intrinsik

Neuron nitrergik pada pleksus mienterikus menstimulasi inhibisi disepanjang

badan esofagus dan LES yang timbul pada proses menelan. Inhibisi ini penting

untuk menghasilkan peningkatah kontraksi yang stabil sepanjang esofagus,

dimana menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi dari LES. Pada akalasia,

sistem saraf inhibitor intrinsik dari esofagus menjadi rusak yang disertai

inflamasi dan hilangnya sel-sel ganglion di sepanjang pleksus mienterikus

Auerbach.

4. Kelainan Otot Polos Esofagus

Pada muskularis propria, khususnya pada otot polos sirkuler biasanya menebal

pada pasien akalasia. Goldblum mengemukakan secara mendetail beberapa

kelainan otot pada pasien akalasia setelah proses esofagektomi. Hipertrofi otot

muncul pada semua kasus, dan 79% dari specimen memberikan bukti adanya

degenerasi otot yang biasanya melibatkan fibrosis tapi tennasuk juga nekrosis

likuefaktif, perubahan vakuolar, dan kalsifikasi distrofik. Disebutkan juga bahwa

perubahan degeneratif disebabkan oleh otot yang memperbesar suplai darahnya

oleh karena obstruksi yang lama dan dilatasi esofagus. Kemungkinan lain

menyebutkan bahwa hipertrofi otot merupakan reaksi dari hilangnya persarafan.

5. Kelainan pada Mukosa Esofagus

9

Page 10: Akal Asia

Kelainan mukosa, di perkirakan akibat sekunder dari statis luminal kronik yang

telah digambarkan pada akalasia. Pada semua kasus, mukosa skuamosa dari

penderita akalasia menandakan hiperplasia dengan papillamatosis dan hiperplasia

sel basal. Rangkaian p53 pada mukosa skuamosa dan sel CD3+ selalu melebihi

sel CD20+, situasi ini signifikan dengan inflamasi kronik, yang kemungkinan

berhubungan dengan tingginya resiko karsinoma sel skuamosa pada pasien

akalasia.

6. Kelainan Otot Skelet

Fungsi otot skelet pada proksimal esofagus dan spingter esofagus atas terganggu

pada pasien akalasia. Meskipun peristaltik pada otot skelet normal tetapi

amplitude kontraksi peristaltik mengecil. Massey dkk. juga melaporkan bahwa

refleks sendawa juga terganggu. Ini menyebabkan esofagus berdilatasi secara

masif dan obstruksi jalan napas akut.

7. Kelainan Neurofisiologik

Pada esofagus yang sehat, neuron kolinergik eksftatori melepaskan asetilkolin

menyebabkan kontraksi otot dan meningkatkan tonus LES, dimana inhibisi

neuron NO/VIP memediasi inhibisi sehingga mengbambat respon menelan

sepanjang esofagus, yang menghasilkan gerakan peristaltik dan relaksasi LES.

Kunci kelainan dari akalasia adalah kerusakan dari neuron inhibitor

postganglionik dari otot sikuler LES.[5,9,10]

5. Diagnosis

Diagnosis akalasia dapat ditegakkan melalui gambaran klinis dan pemeriksaan

yang cermat. Pemeriksaan fisik tidak banyak membantu dalam menentukan diagnosis

akalasia karena tidak menunjukkan gejala objektif yang nyata.

1. Manifestasi Klinik

Gejala utama akalasia berupa disfagia yang sering diperburuk oleh stress

emosional ataupun makan yang terburu-buru. Penderita mula-mula mengeluh terasa

ditikam oleh bolus makanan, rasa penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya

10

Page 11: Akal Asia

pada permulaan hilang timbul yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis

ditegakkan. Serangan ini datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan

secara perlahan-lahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada

90% kasus.

Gejala yang sering ditemukan pada kasus akalasia, antala lain:

Disfagi : Rasa penuh/mengganjal (hilang timbul/ makin lama makin berat)

Makan perlahan, minum banyak, Makanan hangat sampai dingin, Makanan

padat sampai cair, Makanan dingin lebih sulit lewat, cairan > sulit dari padat.

Penderita mula-mula mengeluh terasa ditikam oleh bolus makanan, resa

penuh terasa di bagian bawah sternum. Sifatnya pada permulaan hilang timbul

yang dapat terjadi bertahun-tahun sebelum diagnosis ditegakkan. Serangan ini

datang berulang kali dan makin sering. Pasien akan makan secara perlahan-

lahan dan selalu minum yang banyak. Gejala ini didapatkan pada 90% kasus.

Regurgitasi : Regurgitasi setelah terjadi mega-esofagus sampai Aspirasi

pneumoni. Saat baring (pada malam hari pasien terbangun). Regurgitasi ini

berhubungan dengan posisi pasien dan sering terjadi pada malam hari oleh

karena adanya akumulasi makanan pada esofagus yang melebar. Hal ini

berhubungan dengan posisi berbaring pasien. Sebagai tanda bahwa regurgitasi

berasal dari esofagus adalah pasien tidak merasa asam atau pahit.

Kompresi : sudah dilatasi hebat, rasa rasa tidak enak di substernum, sesak

napas.

Nyeri dada, Sifat nyeri dengan lokasisubsternal dan dapat menjalar ke

belakang bahu, rahang, dan tangan yang biasanya dirasakan bila minum air

dingin.

Muntah yang makin lama makin berat

Berat badan menurun.

Hal ini disebabkan pasien takut makan akibat timbulnya odinofagi. Bila

keadaan ini berlangsung lama akan dapat terjadi kenaikan berat badan

kembali karena pelebaran esofagus akibat retensi makanan. Keadaan ini akan

11

Page 12: Akal Asia

meningkatkan tekanan hidrostatik yang akan melebihi tekanan sfingter

esofagus bagian bawah. Gejala ini berlangsung dalam 1-5 tahun sebelum

diagnosis ditegakkan dan ditemukan pada 50% kasus. Sekitar 25 – 50 % kasus

dengan disfagia juga disertai dengan nyeri dada yang biasanya tidak begitu

dirasakan oleh pasien.[1,3,5]

2. Pemeriksaan Histopatologi

Sekarang secara umum diterima bahwa pada akalasia primer terjadi

penurunan persarafan inhibitorik intrinsik sfingter esofagus bawah dan segmen otot

polos badan esofagus. Akalasia sekunder dapat terjadi akibat prosses patologik yang

mengganggu fungsi esophagus. Contoh klasik adalah penyakit chagas, yang

disebabkan oleh Trypanosoma cruzi, yang menyebabkan destruksi pleksus

mienterikus esofagus, duodenum, kolon, dan ureter. Namun, pada sebagian besar

kasus akalasia terjadi sebagian besar kasus akalasia terjadi sebagai gangguan primer

yang etiologinya tidak diketahui.[5,9]

Gambar 3. Gambaran histopatologik mukosa esofagus pada akalasia. Ketiadaan ganglia pada pleksus Auerbach di gastro-esophageal junction. a) tampak sedikit infiltrasi limfosit. b) inflamasi ringan pleksus mienterikus Auerbach. Infiltrasi sedang limfosit, sel ganglion dapat teridentifikasi. c) inflamasi sedang : tampak infiltrasi limfosit. Hilangnya sel ganglion. d) Radang berat mienterikus dengan gambaran limfosit banyak.[9]

Pada akalasia primer terjadi dilatasi progresif esofagus diatas sfingter

esofagus bawah. Dinding esofagus mungkin memiliki ketebalan normal, lebih

daripada normal karena hipertrofi otot, atau sangat menipis akibat dilatasi. Ganglion

mienterikus biasanya tidak ditemukan di korpus esofagus, tetapi mungkin berkurang

12

Page 13: Akal Asia

atau normal jumlahnya di regio sfingter esofagus bawah. Peradangan di lokasi

mienterikus esofagus merupakan tanda patognomonik penyakit. Walaupun akalasia

bukan suatu penyakit mukosa, statis makanan dapat menyebabkan peradangan

mukosa dan ulserasi yang terletak proksimal dari sfingter esophagus bawah.[5,9]

3. Pemeriksaan Radiologi

a. Foto Thorax

Pada pemeriksaan dengan foto polos dada akan menunjukkan gambaran

kontur ganda di atas mediastinum bagian kanan, seperti mediastinum melebar dan

adanya gambaran batas cairan udara.[6,7]

Gambar 4. Foto thorax PA/L akalasia[11]

Gambar 5. Dilatasi esofagus [9]

Pada gambar 4, panah merah pelebaran mediastinum akibat adanya dilatasi

esophagus. Selain itu, dapat dilihat tidak adanya gambaran udara pada gaster di

bawah diafragma.[6,8]

b. USG

13

Dilatasi pada mediastinum

Kontur Ganda

Air Fluid Level

Dilatasi esofagus

Tidak ada bayangan udara pada gaster

Page 14: Akal Asia

(a)

(b)

c. Foto Kontras

Pemeriksaan radiologi dengan kontras menggambarkan adanya

penyempitan dan stenosis pada cardia esofagus dengan dilatasi bagian

proksimalnya.

Pada pemeriksaan dengan barium kontras terlihat gambaran

penyempitan dan stenosis pada kardia esofagus dengan dilatasi esofagus

bagian proksimal. Pada akalasia berat akan terlihat dilatasi esofagus, sering

berkelok-kelok dan memanjang dengan ujung distal yang meruncing disertai

permukaan yang halus memberikan gambaran paruh burung ( Bird’s Beak

Appearrance ). Bagian esofagus yang berdilatasi dan pada stadium lanjut

menunjukkan tanda elongasi.[6,8,9]

14

Gambar 6. USG transabdominal

(a)Gambaran hiperechoic dan hipoechoic yang tampak mengindikasikan adanya retensi cairan dan makanan

(b)Tampak dilatasi esophagus seperti gambaran ‘bird beak appearance’[9,11]

Page 15: Akal Asia

Gambar 7. Gambaran esofagus dengan kontras

Gambar 8. Gambaran Bird’s Beak Appearrance

d. CT-Scan

Gambar 9. CT scan potongan axial

15

Dilatasi esofagus

Dilatasi esofagus

Stenosis pada area cardiac esofagus

Page 16: Akal Asia

Pada foto CT menunjukkan kontras, sisa makanan, dan udara disertai tanda dilatasi

esophagus (panah).[9,11]

Gambar 10. CT-Scan Thorax Potongan Coronal menunjukkan dilatasi esofagus.

Gambar 11. Primary achalasia potongan oblique coronal.

4. Pemeriksaan Manometri

Pemeriksaan Manometri merupakan Gold Standart diagnosis akalasia. Pada

akalasia didapatkan tekanan istirahat sfingter kardia yang tinggi, relaksasi yang tidak

sepenuhnya pada saat menelan dan tidak adanya peristaltik di esofagus distal,

simultaneous, amplitudo rendah, single-peaked, kontraksi peristaltik yang luas dan

tekanan positif gastroesofageal yang tajam.[5,8]

Kriteria Manometrik :[5,13]

a. Keadaan normal : Tekanan SEB 10-26 mmHg dengan relaksasi normal Amplitudo peristaltik esofagus distal 50-110 mmHg Tidak dijumpai kontraksi spontan, repetitif, atau simultan Gelombang tunggal

16

Dilatasi esofagus

Sisa makanan yang tampak dengan

kontras

Stenosis pada area cardiac esofagus

Dilatasi esofagus

Page 17: Akal Asia

5 waktu gelombang peristaltik esofagus distal rata-rata 30 detikb. Pada akalasia :

Tekanan SEB meningkat >26 mmHg atau >30 mmHg Relaksasi SEB tidak sempurna Aperistaltik korpus esofagus Tekanan intraesofagus meningkat (>lambung)

5. Monitoring PH

Memeriksa PH esofagus bagian bawah, diperlukan untuk menyingkirkan

gastroesophageal reflux disease (GERD). Jika ditemukan ada GERD, maka

kontraindikasi penatalaksanaan dilatasi pneumatik.[9,10]

6. Endoskopi

Endoskopi dilakukan untuk menyingkirkan keganasan sehingga harus

dilakukan pada pasien akalasia ”Rat Tail Appearance”. Pada striktur, alat

kemungkinan tidak bisa melewati daerah striktur.[9,10]

6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding akalasia esofagus seperti carcinoma gastroesophageal yang

meluas dari gester ke esofagus. Penyakit chagas juga dapat memberikan gambaran

akalasia, akan tetapi biasanya disertai megakolon, megaureter dan penyakit

miokardial. Scleroderma juga dapat memberikan gambaran seperti akalasia akan

tetapi gangguannya hanya pada kontraksi saja tanpa gangguan LES.[8,9]

Gambar 12. Ca. gastroesophageal

17

Page 18: Akal Asia

Gambar 13. Chagas Disease 16

Gambar 14. Scleroderma Esophagus

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaa akalasia antara lain dengan terapi konservatif (oral, dilatasi

pneumatik, injeksi toksin botulinum) dan terapi bedah (miotomi Heller).

a. Terapi Konservatif:[5,12]

1. Terapi oral (kapsul atau pil)

Untuk mengendorkan sfingter esofagus dan diberikan sebelum makan.

Bersifat sementara dan tidak memperbaiki gejela secara bermakna. Efek samping,

sakit kepala, hipotensi dan edema kaki. Indikasi pemberian terapi oral yaitu masih

dalam tahap awal, tidak ada rencana operasi, dan injeksi toksin botulinum.

Obat-obat yang dapat diberikan yaitu Ca channel blocker

(verapamil,nifedipine), agen antikolinergik (cimetropum bromide), nitrat (isosorbid

dinitrat) dan opioid (loperamide).

18

Page 19: Akal Asia

2. Injeksi Toksin botulinum

Disuntikkan ke LES saat endoskopi, bekerja menghambat pelepasan

asetilkolin di sfingter bawah esofagus sehingga relaksasi otot sfingter dan makanan

mudah masuk ke lambung. Suatu injeksi botulinum toksin intrasfingter dapat

digunakan untuk menghambat pelepasan asetilkolin pada bagian sfingter esofagus

bawah, yang kemudian akan mengembalikan keseimbangan antara neurotransmiter

eksitasi dan inhibisi. Dengan menggunakan endoskopi, toksin diinjeksi dengan

memakai jarum skleroterapi yang dimasukkan ke dalam dinding esophagus dengan

sudut kemiringan 45°, dimana jarum dimasukkan sampai mukosa kira-kira 1-2 cm di

atas squamocolumnar junction. Lokasi penyuntikan jarum ini terletak tepat di atas

batas proksimal dari LES dan toksin tersebut diinjeksi secara caudal ke dalam

sfingter. Dosis efektif yang digunakan yaitu 80-100 unit/mL yang dibagi dalam 20-25

unit/mL untuk diinjeksikan pada setiap kuadran dari LES. Injeksi diulang dengan

dosis yang sama 1 bulan kemudian untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Namun

demikian, terapi ini mempunyai penilaian terbatas dimana 60% pasien yang telah

diterapi masih tidak merasakan disfagia 6 bulan setelah terapi; persentasi ini

selanjutnya turun menjadi 30% walaupun setelah beberapa kali penyuntikan dua

setengah tahun kemudian. Sebagai tambahan, terapi ini sering menyebabkan reaksi

inflamasi pada bagian gastroesophageal junction, yang selanjutnya dapat membuat

miotomi menjadi lebih sulit. Terapi ini sebaiknya digunakan pada pasien lansia yang

kurang bisa menjalani dilatasi atau pembedahan.[5,7,12]

19

Page 20: Akal Asia

Gambar 15. Injeksi botulinum toksin

3. Dilatasi pneumatik (balloning)

Memasukkan balon ke esofagus untuk meregangkan sfingter esofagus dengan

anestesi lokal. Suatu balon dikembangkan pada bagian gastroesophageal junction

yang bertujuan untuk merupturkan serat otot dan membuat mukosa menjadi intak.

Persentase keberhasilan awal adalah antara 70% dan 80%, namun akan turun menjadi

50% 10 tahun kemudian, walaupun setelah beberapa kali dilatasi. Rasio terjadinya

perforasi sekitar 5%. Jika terjadi perforasi, pasien segera dibawa ke ruang operasi

untuk penutupan perforasi dan miotomi yang dilakukan dengan cara thorakotomi kiri.

Insidens dari gastroesophageal reflux yang abnormal adalah sekitar 25%. Pasien yang

gagal dalam penanganan pneumatic dilatation biasanya di terapi dengan miotomi

Heller. [5,12,15]

20

Page 21: Akal Asia

Gambar 16. Dilatasi pneumatik (balloning)

b. Terapi bedah

Esofagomiotomi (Miotomi Heller) :

Terapi yang optimal yang dilakukan pertama kali oleh Earnest Heler (1913).

Prosedur ini dapat membedakan dengan tepat otot sirkuler dan longitudinal pada

esofagus bawah, dan memperbaiki obstruksi fungsi esofagus bawah. Dilakukan

secara transtorakal atau minimal invasif laparoskopi. Kontraindikasi dilakukannya

operasi ini yaitu pasien dengan penyakit kardiopulmoner berat atau pun keadaan lain

yang beresiko untuk tindakan pembiusan.

Cara tradisional dalam miotomi Heller yaitu melakukan torakotomi kiri pada

ruang interkostal VII. Esofagus distal dan proksimal dimobilisasi. Otot sirkuler dan

longitudinal diinsisi dari inferior v. Pulmonalis menyilang dengan persambungan

gastroesofagus melengkapi miotomi dengan jarak yang bervariasi ke dalam lambung.

Otot dipisahkan dari lapisan mukosa sehingga memungkinkan lapisan mukosa yang

kuat menonjol. Miotomi yang panjang memungkinkan gangguan pada sfingter

esofagus bawah memulihkan disfagia namun meningkatkan resiko refluks. Untuk

mengoptimalkan hasilnya, banyak ahli bedah menambahkan funduplikasi parsial pada

miotomi yang panjang. Dada ditutup setelah itu di pasang chest tube dan pasien

dirawat 4 hingga 7 hari.[13,14]

21

Page 22: Akal Asia

Gambar 17. Esofagomiotomi Heller

Laparoskopi miotomi Heller saat ini merupakan prosedur yang optimal,

hasilnya sangat baik dan hanya sedikit morbiditas yang ditimbulkan. Prosedur ini

harus dilakukan oleh ahli bedah dengan kemampuan laparoskopik yang baik dan

berpengalaman. Prosedur ini dilakukan dengan pembiusan total, dan memerlukan 5

trokar laparoskopi. Peritonium di atas esofagus distal dipisahkan dan esophagus

anterior akan terlihat setelah memasuki pneumoperitoneum. N. Vagus anterior

diidentifikasi dan diamankan. Dengan pembesaran laparoskopis, otot longitudinal dan

sirkular dipisahkan secara hati-hati untuk membuat lapisan mukosa nampak. Setelah

itu miotomi diperluas ke proksimal 6 cm dari sambungan gastroesofagus dan ke distal

sepanjang 1 cm ke dalam lambung bagian proksimal. Pemisahan otot dari mukosa

memungkinkan mukosa mengalami penonjolan. Endokopi fleksibel intraoperatif

kemudian dilakukan untuk memastikan tidak adanya obstruksi distal lebih lanjut.

Miotomi dapat dengan mudah diperluas jika dibutuhkan hingga LES diablasi. Udara

kemudian dimasukkan ke esofagus untuk menyelidiki ada atau tidaknya perforasi.

Setelah proses miotomi selesai dilanjutkan dengan prosedur antirefluks yaitu

fundoplikasi parsial. Setelah trokar di lepaskan , 0,5-1 cm insisi tersebut dijahit

dengan benang yang dapat diabsorpsi. Pemasangan NGT tidak diperlukan, dan

malamnya pasien dapat memulai makan makanan cair. Nyeri postoperatif, pemulihan

22

Page 23: Akal Asia

dan kembalinya pasien bekerja sama seperti setelah prosedur kolesistektomi

laparoskopi.[16,17]

Gambar 18. Laparoskopi miotomi Heller

Gambar 19. Algoritma Diagnosis dan Penatalaksanaan Akalasia Esofagus

23

Page 24: Akal Asia

8. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi pada akalasia esofagus yaitu:[5,9]

a. Pada akalasia esofagus yang tidak ditangani dapat terjadi inhalasi material dari

esofagus pada malam hari (nokturnal) dan pneumonia aspirasi.

b. Pada akalasia esofagus yang diterapi dapat menyebabkan perforasi dan refluks

gastroesofagus.

c. Pada akalasia esofagus yang kronis dapat menyebabkan karsinoma esofagus (2 -7

% pasien).

9. Prognosis

Perbaikan gejala obstruksi dapat diperoleh pada prosedur dilatasi dan operasi

sekurang-kurangnya 85-90% pasien. Prosedur Heller dapat mengatasi obstruksi

namun juga dapat berakibat pada timbulnya refluks gaastroesofagus. Akan lebih baik

jika dilakukan esofagoskopi secara berkala pada semua pasien karena terapi yang

berhasil pun tidak mengurangi resiko kanker esofagus pada pasien akalasia.[5,9]

24

Page 25: Akal Asia

DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat dan De Jong. 2011. Akalasia Esofagus dalam Buku Ajar Ilmu

Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2. Sjamsuhidajat dan De Jong. 2011. Anatomi dan Fisiologi Esofagus dalam Buku

Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

3. Fielding, Jhon W.L dan Michael T Hallissey. 2005. Motility Disorders: Achalasia

of Oesophagus dalam Upper Gastrointestinal Surgery. Birmingham : Departement

of Surgery The Queen Elizabeth Hospital, Birmingham, UK.

4. Fielding, Jhon W.L dan Michael T Hallissey. 2005. Anatomy and Physiology of

Oesophagus dalam Upper Gastrointestinal Surgery. Birmingham : Departement of

Surgery The Queen Elizabeth Hospital, Birmingham, UK.

5. Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia. 2010. Anatomi Esofagus dan Akalasia

Esofagus dalam Digestive System.

6. Perase, Joan. 2010. Achalasia Oesophagus. Merck Research Laboratories,

Whitehouse station, N.J.

7. Chuah, Seng-Kee, Pin-I Hsu,et al. 2012. 2011 Update on Esophageal Achalasia.

Taiwan: World Journal of Gastroenterology.

8. Farrokhi, Farnoosh dan Michael F Vaezi. 2007. Idiophatic (Primary) Achalasia.

USA: Division of Gastroenterology and Hepatology, Center for Swallowing and

Esophageal Disorder, Vanderbilt University Medical Center, Nashville,

Tennnessee.

9. Hirano, Ikuo. 2006. Pathophysiology of Achalasia and Diffuse Esophageal Spasm.

GI Motility.

10. Earlam, Richard. 2003. Pathophysiology and Clinical Presentation of Achalasia in

Clinics in Gastroenterology.

11. Sawyer, Michael AJ. 2011. Achalasia Imaging. USA: Departement of Surgery,

Southwestern Medical Centre, Consulting Staff. Diambil dari: Medscape

25

Page 26: Akal Asia

Reference Drugs, Disease, and Procedurs.

12. Castell, Donald dan Jason R. Roberts. 2010. Management of Achalasia in the 21 st

Century: A Suggested Approach. Charleston: Division of Gastroenterology and

Hepatology, Medical University of South Carolina, Charleston.

13. Bonavina, Luigi dan Alberto Peracchia. 2007. Operation for Achalasia dalam

Atlas of Upper Gastrointestinal and Hepato-pancreato-biliary Surgery. USA:

Department of Surgery, Gastric and Mixed Tumor Service, Memorial Sloan-

Kettering Cancer Center.

14. Satava, Richard M,Gasvari, Achile et al. 2007. Oesophageal Surgey and Heller

Miotomy dalam Emerging Technologies in Surgery. USA: Departement of

Surgery, University of Washington Medical Center, USA.

15. Riley, S.A and Atwood. Guidelines on The Use of Oesophageal Dilatation In

Clinical Practice. 2004. Sheffield Teaching Hospitals, Northern General Hospital,

Shieffeld S5 7AU, UK.

16. Vierra, Mark MD. 2010. Achalasia and Laparoscopic Heller Myotomy. Canada:

Monterey County Surgical Associates.

17. Vanderpool, David, Mattehew V. Westmoreland. 1999. Achalasia: Willis or

Heller?. USA; Departement of Surgery, Baylor University Medical Centre, Dallas,

Texas, USA.

26