aids 1

9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi AIDS Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk family retroviridae. AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam) 2.2. Tahapan dalam infeksi HIV Terdapat 3 fase dalam infeksi HIV. Pertama sekali adalah fase serokonversi akut. Dalam fase ini, infeksi tersebut akan menghasilkan simpanan proviral. Simpanan ini terdiri daripada sel - sel yang terinfeksi seperti makrofag dan ini melepaskan virus - virus secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak dan jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa minggu sampai ke beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam, limfadenopati, dan gatal - gatal. Fase yang kedua adalah infeksi HIV asimptomatik. Pada fase ini, pasien yang terinfeksi HIV tidak menunjukan gejala atau simptom untuk beberapa tahun yang akan datang. Replikasi viral berlangsung dalam fase ini dan respon imun terhadap virus masih aktif. Jumlah virus terus bertambah secara stabil dan jumlah sel T-CD4 menurun. Fase yang ketiga adalah AIDS. Penderita yang terinfeksi HIV dikatakan menderita AIDS apabila terdapat kerusakan sistem imun yang sangat menyolok sehingga bisa menimbulkan infeksi oppurtunistik. Secara laboratorium diagnose AIDS jumlah sel T-CD4 kurang dari 200/μL. ( e- medicine, 2010) Universitas Sumatera Utara

Upload: samuel-einstein-ymp

Post on 15-Apr-2016

221 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

AIDS 1

TRANSCRIPT

Page 1: AIDS 1

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) dapat diartikan sebagai

kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan oleh menurunnya kekebalan

tubuh akibat infeksi oleh virus HIV yang termasuk family retroviridae. AIDS

merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. (Sudoyo AW et al., Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam)

2.2. Tahapan dalam infeksi HIV

Terdapat 3 fase dalam infeksi HIV.

Pertama sekali adalah fase serokonversi akut. Dalam fase ini, infeksi

tersebut akan menghasilkan simpanan proviral. Simpanan ini terdiri daripada

sel - sel yang terinfeksi seperti makrofag dan ini melepaskan virus - virus

secara terus menerus. Oleh karena itu, jumlah virus menjadi sangat banyak

dan jumlah sel T-CD4 menurun. Serokonversi membutuhkan waktu beberapa

minggu sampai ke beberapa bulan. Simptom pada fase ini demam,

limfadenopati, dan gatal - gatal.

Fase yang kedua adalah infeksi HIV asimptomatik. Pada fase ini, pasien

yang terinfeksi HIV tidak menunjukan gejala atau simptom untuk beberapa

tahun yang akan datang. Replikasi viral berlangsung dalam fase ini dan

respon imun terhadap virus masih aktif. Jumlah virus terus bertambah secara

stabil dan jumlah sel T-CD4 menurun.

Fase yang ketiga adalah AIDS. Penderita yang terinfeksi HIV dikatakan

menderita AIDS apabila terdapat kerusakan sistem imun yang sangat

menyolok sehingga bisa menimbulkan infeksi oppurtunistik. Secara

laboratorium diagnose AIDS jumlah sel T-CD4 kurang dari 200/μL. ( e-

medicine, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 2: AIDS 1

2.3. Patogenesis

HIV merupakan lentivirus, subgroup dari retrovirus. Ada dua jenis virus utama

yaitu HIV-1 dan HIV-2. HIV adalah partikel ikosahedral bertutup (envelope)

dengan ukuran 100-140 nanometer. Inti virus terdiri dari untaian RNA serta enzim

reverse transcriptase, integrase dan protease yang diperlukan untuk proses

replikasi virus. Selubung virus tersusun oleh lapisan bilayer yang mempunyai

tonjolan - tonjolan yang tertanam pada permukaan selubung lipid dan terdiri dari

glikoprotein Gp120 dan Gp41. Gp120 berperan pada pengikatan HIV dengan

reseptor CD4 dari sel. GP41 mengadakan fusi antara virus dengan membran sel

host pada saat virus masuk ke sel host. Struktur genom RNA yaitu struktur pasang

basanya terdiri dari 3 gen utama yang mengkode pembentukan struktur – struktur

virusm yaitu gen gag, pol dan env. Selain itu, terdapat gen tambahan yaitu tat, rev

dan nef. Struktur polipeptida utama dari inti virus adalah p24. Polipeptida lain

adalah p17 yang ada di sekeliling inti dan p15 yang membentuk kompleks dengan

RNA virus. (Pathologic Basic of Disease)

Gambar 2.3.1. – Illustrasi skematik untuk struktur HIV-1 (dikutip dari buku

Pathologic Basic of Disease )

Universitas Sumatera Utara

Page 3: AIDS 1

Gambar 2.3.2. – Genome untuk HIV (dikutip dari buku Harrison; Greene &

Peterlin)

Infeksi HIV dimulai dengan penempelan virus pada sel-sel yang mempunyai

molekul CD4 sebagai reseptor utama yaitu limfosit T, monosit, makrofag dan sel

– sel dendritik yang lain. Gp120 yang merupakan reseptor permukaan virus akan

berikatan dengan CD4. Kemudian GP120 akan berinteraksi dengan koreseptor

yang tertanam dalam membrane sel dan terpapar dengan peptide dari Gp41 dan

mulailah terjadi fusi antara virus dan membrane sel. Setelah fusi, internal virion

core akan dilepaskan ke sitoplasma sebagain suatu kompleks ribonukleoprotein.

(Pathologic Basic of Disease)

Gambar 2.3.3. – Mekanisme HIV masuk ke sel ( dikutip dari buku Pathologic

Basic of Disease )

Universitas Sumatera Utara

Page 4: AIDS 1

HIV mempunyai enzim reverse transcriptase yang akan mengubah RNA virus

menjadi DNA. DNA ini akan memasuki inti sel host dan dengan bantuan enzim

integrase akan berintegrasi dengan DNA sel host dan membentuk provirus.

Setelah terjadi integrasi, DNA provirus mengadakan transkripsi dengan bantuan

enzim polymerase sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan

translasi dengan protein – protein structural sampai terbentuk protein mRNA.

Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus, yang

nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada

permukaan membrane sel, virion akan dikeluarkan dari sel host dalam keadaan

matang. (Pathologic Basic of Disease)

Segera setelah infeksi HIV, sebagian virus yang bebas maupun yang berada

dalam sel – sel CD4 T yang terinfeksi akan mencapai kelenjar limfe regional dan

akan merangsang imunitas seluler dan humoral dengan cara antara lain merekrut

limfosi – limfosit. Pengumpulan sel limfosit ini justru akan menyebabkan sel – sel

CD4 yang terinfeksi akan semakin banyak. Monosit dan limfosit yang terinfeksi

akan menyebarkan virus ke seluruh tubuh. HIV juga dapat memasuki otak melalui

monosit atau melalui infeksi sel endotel. (Pathologic Basic of Disease)

Beberapa hari setelah infeksi HIV, akan terjadi limfopenia akibat penurunan

CD4 T dalam darah. Selama periode awal ini, virus – virus bebas dan protein

virus p24 dapat dideteksi dalam kadar yang tinggi dalam darah dan jumlah sel –

sel CD4 yang terinfeksi HIV meningkat. Pada fase ini, virus bereplikase secara

cepat dengan sedikit control dari respon imun. Kemudian setelah 2-4 minggu akan

terjadi peningkatan dramatis jumlah limfosit total yang diakibatkan oleh

peningkatan jumlah sel CD8 T (sel sitotoksik) yang merupakan bagian dari respon

imun terhadap virus. Adanya sel T sitotoksik merupakan tanda rangsang

neutralising antibodi. Antibodi akan terbentuk setelah minggu kedua atau ketiga

namun kadang – kadang terjadi sampai beberapa bulan. Penurunan virus bebas

dan sel yang terinfeksi disebabkan oleh lisis sel yang terinfeksi HIV oleh CD8 T.

Sel CD8 yang teraktivasi pada individu yang terinfeksi HIV juga memproduksi

sejumlah sitokin terlarut yang dapat menghambat replikasi virus dalam sel – sel

CD4 T tanpa menyebabkan lisis sel. Setelah itu, jumlah sel CD4 akan kembali ke

Universitas Sumatera Utara

Page 5: AIDS 1

kadar semula seperti sebelum terinfeksi HIV. Selama fase akut, kebanyakan kasus

menunjukkan gejala infeksi virus akut pada umumnya yaitu berupa demam,

letargi, mialgia dan sakit kepala serta gejala lain berupa faringitis, limfadenopati

dan ruam. (Pathologic Basic of Disease)

Setelah infeksi fase akut, terjadi keadaan asimtomatik selama beberapa tahun

walaupun jumlah CD4 menurun secara perlahan – lahan. Jumlah virus dalam

darah dan sel – sel perifer yang dapat dideteksi rendah. Penurunan jumlah CD4

dalam darah rata – rata 65 sel/ul setiap tahun. Didapatkan kerusakan pada sistem

imun tapi tidak bersifat laten dan masih dapat mengalami perbaikan terutama

dalam limfonoduli. Penurunan jumlah sel CD4 T selama infeksi HIV secara

langsung dapat mempengaruhi beberapa reaksi imunologik yang diperankan oleh

sel CD4 T seperti hipersensitivitas tiper lambat, transformasi sel muda limfosit

dan aktivitas sel limfosit T sitotoksik. Munculnya strain HIV yang lebih pathogen

dan lebih cepat bereplikasi pada host merupakan faktor utama dalam mengontrol

kemampuan sistem imun. Dikatakan juga bahwa jumlah dan fungsi sel T

sitotoksik akan menurun bila jumlah sel CD4 menurun sampai < 200 sel/ul.

Karena sel – sel ini berperan dalam mengontrol sel yang terinfeksi virus dan

membersihkan virus pada tahap awal infeks sehingga dikemukakan hilangnya

aktivitas sel ini mempunyai dampak dalam peningkatan jumlah virus.

Kemungkinan lain disebabkan karena terjadi mutasi dari virus sehingga tidak

dikenal oleh sel T sitotoksik. Rata – rata masa dari infeksi HIV sampai masa

AIDS adalah 8-10 tahun.

2.4. Etiologi dan Transmisi

HIV masuk tubuh manusia melalui darah, semen dan secret vagina serta

transmisi dari ibu ke anak. Terdapat tiga cara penularan HIV. Pertama sekali

adalah melalui hubungan seksual baik secara vaginal, oral maupun anal dengan

pengidap HIV. Ini adalah cara yang paling umum terjadi iaitu meliputi 80 – 90%

total kasus sedunia. Kedua adalah dengan kontak langsung dengan darah, produk

darah atau jarum suntik. Hal ini termasuklah transfusi darah yang tercemar,

pemakaian jarum suntik yang tidak steril dan penyalahgunaann narkoba dengan

Universitas Sumatera Utara

Page 6: AIDS 1

jarum suntik yang dipakai secara bersamaan. Kecelakaan tertusuk jarum pada

petugas kesehatan juga salah satu cara penularan melalui kontak langsung dengan

darah. Ketiga adalah transmisi secara vertikal dari ibu pengidap HIV kepada

bayinya, (selama proses kelahiran dan melalui ASI). (Sudoyo AW et al., Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam)

2.5. Diagnosis

Diagnosis untuk pesakit HIV adalah sama untuk mendiagnosa penyakit –

penyakit lain yaitu dimulai dengan anamnese. Harus ditanyakan adakah pesakit

tersebut berhubungan sex tanpa alat kontrasepsi dan adakah pesakit tersebut

mempunyai banyak teman sexual. Juga ditanyakan dengan siapa pesakit tersebut

membuat hubungan seks. Selain itu, harus ditanyakan sama ada pesakit tersebut

mempunyai kontak dengan darah yang tercemar iaitu adakah pesakit tersebut

pernah tercucuk jarum yang terinfeksi. Menanyakan riwayat keluarga juga penting

untuk mengetahui adakah pesakit tersebut mendapat HIV dari luar atau dari

ibunya. ( e-medicine, 2010)

Pemeriksaan fisik untuk mendiagnosa infeksi HIV adalah tidak terlalu penting.

Hal ini karena tiada penemuan yang spesifik untuk infeksi HIV. Secara umum,

infeksi HIV akan menyebabkan limfadenopati di seluruh tubuh dan berat badan

yang menurun. Infeksi minor yang oppurtunistik seperti oral candidiasis yang luas

juga merupakan petunjuk awal untuk infeksi HIV. ( e-medicine, 2010)

Pemeriksaan penunjang adalah pemeriksaan laboratorium. Salah satu tes yang

dijalankan adalah tes antibodi HIV yaitu dengan menggunakan test enzyme-linked

immunoabsorbent assay ( ELISA ). Hasil tes yang positif berarti pernah terinfeksi,

bukan adanya kekebalan terhadap virus. Sensitivitas ELISA sebesar 98 – 100%.

Hasil positif ELISA harus dinkonfirmasi dengan Western Blot. Western Blot lebih

spesifik mendeteksi antibodi terhadap komponen antigen permukaan virus.

Spesifisitas Western Blot sebesar 99.6 – 100%. Hasilnya dinyatakan positif,

negative atau indeterminate. CDC merekomendasikan reaksi dengan dua dari

band berikut sebagai kriteria untuk hasil positif; p24, Gp41, Gp 120. Hasil

indeterminate dihasilkan dari reaksi nonspesifik sera HIV negatif dengan beberapa

Universitas Sumatera Utara

Page 7: AIDS 1

protein HIV. Hasil indeterminate harus dievaluasi dan diperiksa secara serial

selama 6 bulan sebelum menyatakan negatif. Untuk mendeteksi antigen virus

digunakan pemeriksaan PCR. ( Harrison, 2005)

• Gambar 2.5.1 – Algoritma dalam tes serologi untuk mendiagnosa infeksi HIV-1

atau HIV – 2. ( dikutip dari buku ajar Harrison )

Staging HIV adalah berdasarkan kepada manifestasi klinisnya,tetapi

pemeriksaan lab lain bisa membantu untuk memulakan pengobatan. Antaranya

adalah menghitung CD4 T sebagai indicator terhadap resiko untuk infeksi

oppurtunistik. Biasanya selepas serokonversi, jumlah CD4 akan menurun secara

perlahahan – lahan dan apabila CD4 menurun sehingga kurang dari 200/ul, ini

didefiniskan sebagai AIDS. Tes alternatif yang lain adalah menghitung virus

bebas pada pembuluh darah perifer. Tes ini disebut tes alternative karena tidak

terlalu tepat. Hal ini karena replikasi virus berlaku di kelenjar limfa dan bukannya

di pembuluh darah perifer. ( Harrison, 2005)

Terdapat juga tes – tes yang lain seperti kultur virus yang jarang digunakan

karena terlalu mahal. Biopsi kelenjar limfa juga bisa dilakukan. HIV DNA, RNA

dan proteinnya bisa dideteksi dengan teknik molekular dan dengan menggunakan

mikroskop elektron untuk melihat virions. ( e-medicine, 2010)

Universitas Sumatera Utara

Page 8: AIDS 1

2.6. Terapi Farmakologi

Pengobatan infeksi HIV terdiri dari pengobatan terhadap virus dan pencegahan

terhadap infeksi oportunistik. Tujuan pengobatan adalah untuk mengurangi viral

load sebanyak mungkin dengan target <20-50 kopi/ml sehingga dapat

menghentikan atau memperlambat progresivitas selama mungkin, memperbaiki

status imun dalam segi kuantitas dan kualitas CD4, serta memperpanjang usia

hidup dan memperbaiki kualitas hidup. Pengobatan yang sekarang dianut adalah

pengobatan kombinasi tiga obat, yaitu terdiri dari dua nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NRTI) dan satu protease inhibitor (PI) atau satu non-

nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NNRTI). Ini adalah untuk mengontrol

replikasi virus dalam jaringan dan plasma serta memperbaiki sistem imun. Saat

memulai pengobatan anti retroviral adalah pada keadaan simptomatik AIDS dan

pada keadaan CD4 <200/mm3 dengan atau tanpa gejala klinis.

Obat golongan NRTI yaitu Zidovudine (AZT), Lamivudine (3TC), Didanosine

(ddL), Zalcitabine (ddC) dan lain – lain bekerja melalui fosforilasi interselluler

menjadi bentuk trifosfat dan bergabung ke DNA selanjutnya dapat menghambat

pemanjangan rantai RNA virus.

Obat golongan NNRTI seperti Nevirapine (NVP), Delavirdine (DLV) dan

Efavirenz (EFV) bekerja dengan menghambat enzim reverse transcriptase melalui

ikatan dengan tempat aktivitas enzim. Obat ini dapat menghambat atau

menginduksi aktivitas sitokrom p450 sehingga dapat berinteraksi dengan obat –

obatan yang lain.

Obat golongan PI seperti Saquinavir (SQV), Indinavir (IDV), Ritonavir (RTV)

dan lain – lain bekerja dengan mencegah pelepasan polipeptida pasca translasi

menjadi protein virus fungsional. PI dapat menghambat sitokrom p450, dan ini

akan meningkatkan potensi interaksi dengan banyak obat. ( e-medicine)

Universitas Sumatera Utara

Page 9: AIDS 1

2.7. Terapi Non – Farmakologik

Terapi non – farmakologik terdiri daripada pencegahan penularan HIV. Ini

melibatkan 5 P’s iaitu Partners, Prevention of Pregnancy, Protection of Sexual

transmitted diseases, Practices, Past history of sexual transmitted disease. (CDC)

Metode yang sering digunakan adalah menggalakan orang menggunakan alat

kontrasepsi. Antara kontrasepsi yang sering digunakan adalah kondom. Selain itu,

menyarankan agar penderita untuk abstinen dan jika sudah berkawin,

menyarankan penderita dan pasangannya agar tidak berhubungan seks dengan

orang lain. (CDC)

Untuk pencegahan transmisi secara vertical, proses kelahiran haruslah

dilakukan secara pembedahan yaitu caesarean. Penyusuan bayi oleh ibu yang

menderita juga harus dielakkan. (CDC)

Universitas Sumatera Utara