agro inovasi inovasi ternak dukung swasembada daging · pdf fileedisi 7-13 september 2011...

6
Agro inovasI Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatan www.litbang.deptan.go.id Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

Upload: phungthu

Post on 05-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

Agro inovasI

Badan Penelitian dan Pengembangan PertanianJl. Ragunan No.29 Pasar Minggu Jakarta Selatanwww.litbang.deptan.go.id

Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging dan Kesejahteraan Peternak

Page 2: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

Edisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI

2 AgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi Sapi Di Perkebunan Sawit

Dengan luas areal perkebunan kelapa sawit sekitar 7,8 juta hektar, Indonesia masih merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia, yang pada tahun 2008 telah mencapai 19 juta ton dengan nilai ekspor sekitar US$ 12 miliar (Badrun, 2010). Perkembangan perkebunan kelapa sawit yang cepat ini disebabkan oleh beberapa alasan, antara lain: (i) secara agroekologis sangat cocok dikembangkan di Indonesia; (ii) secara sosial ekonomis sangat layak dan memberikan keuntungan yang cukup besar bagi pelaku usaha; dan (iii) produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

Saat ini perkebunan kelapa sawit tersebar di hampir seluruh pelosok Indonesia, kecuali NTT, NTB dan Bali. Kebun sawit banyak dikembangkan di Sumatera dan Kalimantan, dan dalam jumlah terbatas terdapat di Jawa, Sulawesi, dan Papua. Ditinjau dari segi ekonomi, pekebun dengan luas tanaman produktif 2 ha dapat menghasilkan sekitar Rp. 6 juta/bulan (Rp. 2.000/kg TBS). Hasil ini tidak memerlukan curahan tenaga kerja yang terlalu banyak, karena panen tandan buah segar (TBS) dapat dilakukan setiap 2 minggu, dan kegiatan pemupukan serta perawatan kebun relatif sangat ringan dibandingkan budidaya tanaman lainnya. Dari segi produktivitas, minyak sawit (3,4 juta ton/ha/th) sangat efisien dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, dan rape seed masing-masing sebesar: 0,38; 0,48; dan 0,67 ton/ha/tahun.

Sepuluh lokasi utama perkebunan sawit berdasarkan luas arealnya di Indonesia berturut-turut terdapat di propinsi: (1) Riau (1,70 juta ha); (2) Sumatera Utara (1,05 juta ha); (3) Kalimantan Tengah (0,87 juta ha); (4) Sumatera Selatan (0,71 juta ha); (5) Kalimantan Barat (0,50 juta ha); (6) Jambi (0,49 juta ha); (7) Kalimantan Timur (0,43 juta ha); (8) Sumatera Barat (0,40 juta ha); (9) Kalimantan Selatan (0,29 juta ha); dan NAD (0,28 juta ha). Di samping itu, perkembangan areal perkebunan sawit masih akan terus meningkat di Sulawesi dan Papua, termasuk perkembangan secara terbatas juga tetap terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Di pulau Jawa (Banten) luas perkebunan kelapa sawit diperkirakan tidak akan berkembang bahkan cenderung menyusut, dan tidak akan ada penanaman kelapa sawit di NTT, NTB maupun Bali.

Dari luas areal perkebunan sawit tersebut, sekitar 44% merupakan usaha perkebunan rakyat, dan sisanya merupakan usaha perkebunan besar milik PTPN maupun swasta. Diperkirakan perluasan usaha perkebunan besar milik swasta akan meningkat lebih cepat dibandingkan usaha perkebunan rakyat karena kemampuan pembiayaan atau akses kredit yang lebih kuat. Hal tersebut sangat terkait erat dengan kemampuan segmen ini dalam membangun pabrik pengolahan minyak sawit dan produk derivatifnya.

Memperhatikan kenyataan tersebut, sub-sektor peternakan memperkirakan adanya ketersediaan biomasa yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan

Page 3: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

3AgroinovasI

Edisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLIBadan Litbang Pertanian

ternak, baik berupa rumput, daun dan pelepah sawit, maupun bahan-bahan sisa hasil pengolahan lainnya seperti lumpur sawit, dan bungkil inti sawit. Perkiraan nilai tambah yang disumbangkan oleh bahan-bahan tersebut kepada sub-sektor peternakan, khususnya sapi potong, dapat mencapai kontribusi daya tampung sebesar 2 ekor sapi dewasa/ha/tahun. Bungkil inti sawit (BIS) yang merupakan hasil samping pengolahan minyak sawit merupakan bahan baku pakan yang pada saat ini sudah menjadi produk komersial yang bernilai jual tinggi.

Produksi BIS diperkirakan mencapai 2,7 juta ton/tahun, di mana sebanyak 0,3 juta ton digunakan sebagai bahan baku pakan unggas dan 0,4 juta ton untuk pakan ternak pada usaha penggemukan sapi. Dengan demikian, masih tersisa sekitar 2 juta ton yang belum secara optimal dimanfaatkan bagi kepentingan di dalam negeri. Pada tahun 2010 tercatat angka ekspor sebesar 2,5 juta ton dengan nilai USD 216,9 juta, yang agak menurun dibandingkan dengan angka tahun 2009 yang mencapai 2,6 juta ton, namun dengan nilai yang lebih rendah yaitu sebesar USD 143,9 juta karena perbedaan harga internasional. Kinerja ekspor BIS pada kurun waktu 2006-2010 menunjukkan angka peningkatan sebesar 13,9%.

Berbagai kendala yang dihadapi oleh sub-sektor peternakan, dalam meningkatkan populasi, produktivitas dan daya saing peternakan telah diidentifikasi, salah satunya adalah terbatasnya lahan dan sumber pakan untuk menopang usaha peternakan secara lebih intensif. Untuk itu perlu dicarikan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapi.

Permasalahan utama yang dirasakan masih menjadi kendala ini adalah fakta mengenai masih tingginya volume impor bahan baku pakan ternak yang nilainya mencapai lebih dari Rp. 10 triliun per tahun. Impor mengakibatkan terkurasnya devisa negara dan menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi pengembangan usaha peternakan, yang pada akhirnya dapat menghambat berbagai upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pedesaan.

Saat ini, sebagian besar BIS diekspor untuk dijadikan bahan baku pakan. Di lain pihak, pabrik pakan di dalam negeri masih ‘enggan menggunakan’ BIS karena berbagai alasan dan kendala, baik dalam aspek teknis, ekonomis, maupun alasan-alasan lainnya. Bahan pakan sumber protein untuk pabrik pakan ternak (non-ruminansia) lebih banyak menggunakan bungkil kedelai atau tepung ikan yang hampir sepenuhnya merupakan komponen impor. Usaha peternakan sapi atau ternak ruminansia pada umumnya hampir tidak mempunyai akses atau tidak berkeinginan untuk menggunakan BIS sebagai sumber gizi dalam ransum ternak untuk keperluan penggemukan atau produksi susu.

Integrasi sebagai AlternatifSalah satu alternatif yang dapat dijadikan sebagai kawasan untuk pembudidayaan

ternak ruminansia adalah lahan perkebunan sawit yang tersedia cukup luas. Pada tahun 2010, luas perkebunan sawit di Indonesia mencapai 7,8 juta hektar, yang terdiri dari 44% perkebunan rakyat, 48% perkebunan swasta, dan 8% milik BUMN

Page 4: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

4 AgroinovasI

Badan Litbang PertanianEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI

(Dewan Minyak Sawit Indonesia, 2011). Secara teoritis, lahan perkebunan sawit tersebut dapat menghasilkan biomassa yang dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Mathius (2007) menyatakan bahwa dengan lahan seluas 7,8 juta hektar secara teoritis mampu menghasilkan 41,9 juta ton biomassa berupa pelepah, daun, solid, BIS, serat perasan dan tandan kosong, yang apabila 70%-nya saja dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak, maka jumlah ternak yang dapat ditampung adalah sebanyak 13 juta ekor sapi dewasa. Angka tersebut hampir sama dengan jumlah populasi sapi potong yang ada di Indonesia saat ini yaitu 13,63 juta ekor, yang dikelola oleh 4,6 juta rumah tangga.

Selain dapat memanfaatkan biomassa yang tersedia, peternakan sapi potong di perkebunan sawit memberikan keuntungan positif bagi pekebun, sebagai berikut:

Dapat dimanfaatkannya ternak sapi sebagai alat untuk mengangkut TBS dari 1) kebun sawit ke tempat pengumpulan yang tidak dapat dijangkau oleh kendaraan bermotor, Dengan demikian, kebutuhan areal lahan untuk lajur kendaraan dapat dikurangi, 2) sehingga dapat menambah areal tanaman sawit,Ternak sapi dapat menghasilkan kotoran yang dapat digunakan sebagai pupuk 3) organik bagi tanaman kelapa sawit,Ternak sapi dapat memakan tanaman liar di sekitar pohon sawit (gulma) yang 4) mengganggu pertumbuhan pohon sawit, Dapat dimanfaatkannya limbah pabrik kelapa sawit (serat/fiber) yang belum 5) termanfaatkan untuk pakan ternak,Dapat memberikan penghasilan tambahan, terutama bagi pekebun, dari 6) penjualan ternak hasil penggemukan atau dari sapi pedet hasil pembiakan, dan Dalam beberapa kasus, kotoran ternak dapat dimanfaatkan untuk pembangkit 7) energi biogas untuk keperluan energi penjaga kebun.Dengan demikian secara teoritis integrasi antara peternakan sapi di kebun

kelapa sawit dapat memberikan sinergi yang sangat positif. Namun, BIS yang merupakan salah satu hasil samping (by product) pabrik pengolahan minyak sawit saat ini justru lebih banyak diekspor, belum dimanfaatkan untuk memperkuat industri pakan ternak. Oleh karena itu diperlukan suatu instrumen yang tepat untuk mendorong penggunaan BIS dalam industri pakan ternak atau industri peternakan nasional, dan sekaligus meningkatkan daya saing industri minyak sawit berwawasan lingkungan.

Tantangan Meskipun pengintegrasian secara in-situ antara ternak sapi di kebun sawit

memberikan sinergi positif, pada kenyataannya belum banyak kebun sawit atau peternak sapi yang melaksanakan pengintegrasian tersebut. Sejauh ini hanya beberapa perkebunan sawit yang sukses melaksanakan antara lain: PT. Agricinal di Propinsi Bengkulu, PT Asian Agri di Propinsi Jambi dan Riau, dan PT Tribakti Sari Mas di Propinsi Riau. Hal ini mengakibatkan keberadaan kebun sawit yang

Page 5: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

5AgroinovasI

Badan Litbang Pertanian Edisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI

luas belum memberikan dampak terhadap berkembangnya industri peternakan. Pemanfaatan BIS untuk memperkuat industri pakan ternak maupun industri peternakan nasional masih sangat terbatas, dan sebagian lagi justru masih menjadi masalah karena belum dimanfaatkan untuk keperluan apapun.

Langkah PengembanganBerdasakan penelaahan terhadap kekuatan, kelemahan, dan peluang,

dan tantangan terhadap pemanfaatan BIS, diperlukan strategi tertentu guna mengupayakan pengembangan industri peternakan yang memanfaatkan potensi perkebunan sawit di Indonesia, khususnya pemanfaatan BIS secara maksimal. Untuk merumuskan strategi yang tepat maka perlu dilakukan langkah-langkah di antaranya sebagai berikut:

Melakukan pemutakhiran decission analysis yang disebabkan oleh adanya a. teknologi terapan yang mampu meningkatkan penggunaan bahan-bahan derivatif kelapa sawit sebagai sumber pakan ternak (non-ruminansia dan ruminansia).

Potensi penggunaan BIS bagi pakan ternak ruminansia dapat mencapai 75% i) dalam ransum ternak ruminansia, sedangkan pada unggas sekitar 5-20% (ayam ras pedaging dan petelur), sebagai substitusi jagung atau bahan pakan lainnya.Kontaminasi cangkang dalam produk BIS merupakan salah satu pembatas ii) dalam proses aplikasinya bagi pengguna industri pabrik pakan. Industri ini maksimum hanya mampu menyerap 20-25% dari produksi BIS yang ada di dalam negeri. Hal ini mengindikasikan bahwa 75-80% dari produk BIS saat ini memang harus ditujukan untuk diekspor. Estimasi kebutuhan BIS untuk bahan baku pakan sekitar 0,75 juta ton, di mana 0,35 juta ton untuk pakan ternak unggas dan sekitar 0,4 juta ton untuk pakan ternak ruminansia.Produk samping yang mempunyai potensi bagi pakan ternak lainnya hasil iii) produk samping industri pengolahan sawit adalah lumpur sawit dan solid heavy phase. Pemanfaatan dua produk samping ini masih memerlukan kajian yang lebih komprehensif terkait dengan aspek teknis maupun biaya produksi dan harga jual yang kompetitif. Scalling upiv) hasil-hasil penelitian pada produk BIS dalam skala komersial dan aplikatif masih sangat rendah. Mediasi pemerintah diperlukan dalam menjembatani gap tersebut dengan melibatkan peran swasta maupun BUMN/D. Hal ini juga dapat dilakukan dengan pendekatan penggunaan dana-dana CSR dari perkebunan sawit swasta maupun BUMN, antara lain dengan membangun suatu pilot pengembangan pabrik bahan baku pakan, konsentrat, maupun pakan lengkap dalam bentuk pellet atau blok.Penelitian terkait BIS di negara penghasil BIS relatif sangat sedikit, sehingga v) Indonesia seharusnya dapat memanfaatkan hal ini sebagai kekuatan untuk menghasilkan referensi yang berkualitas.

Melakukan kajian antar sub-sektor di dalam Kementerian Pertanian mengenai a.

Page 6: Agro inovasI Inovasi Ternak Dukung Swasembada Daging · PDF fileEdisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI 2 AgroinovasI Badan Litbang Pertanian Akselerasi Pengembangan Sistem Integrasi

Edisi 7-13 September 2011 No.3421 Tahun XLI

6 AgroinovasI

Badan Litbang Pertanian

pengaturan/pilihan kebijakan yang mampu memberikan nilai tambah bagi setiap sub-sektor maupun kemampuan daya saing secara nasional.

Koordinasi antara Ditjen Perkebunan, Ditjen PKH, Ditjen P2HP, dan Badan vi) Litbang Pertanian.Terus melakukan kajian teknis, ekonomis dan sosial terkait pemanfaatan vii) BIS untuk pakan ternak.

Melakukan road show ke berbagai daerah yang memiliki potensi kelapa sawit c. dalam rangka menjaring opini dan membangun sinergi penciptaan nilai tambah dengan semangat nasionalisme.

Pengembangan sapi di lahan perkebunan sawit tidak semata-mata disebabkan viii. oleh masalah teknis, namun faktor sosial/budaya dan ekonomi menjadi hal yang penting. Usaha sawit sudah merupakan usaha yang mapan, dengan harga TBS yang booming sejak tahun 2010 maka semakin resisten para petani sawit untuk bersinergi dengan usaha sapi, kecuali bila benar-benar dapat ditunjukkan bahwa keberadaan sapi justru mampu meringankan kerja dalam pemanenan TBS, penggunaan pupuk, dan penyediaan energi alternatif bagi rumah tangga pekebun.Perubahan paradigma dan mind set para pelaku usaha sawit harus ix. dilakukan secara bertahap, salah satunya melalui penguatan sistem model usaha yang terintegrasi, yang disesuaikan dengan kondisi agroekologi dan sosial budaya setempat.Sosialisasi program integrasi sapi di perkebunan sawit perlu dilakukan x. terus menerus dengan dukungan penuh dari pemerintah pusat dan daerah serta pelaku usaha.

Memberikan rekomendasi dan dorongan prioritas bagi pelaksanaan kegiatan d. penelitian (konsorsium) di bidang pemanfaatan derivatif produk kelapa sawit sebagai pakan ternak.

Teknologi untuk pemanfaatan BIS diarahkan pada pembangunan pabrik xi. pakan konsentrat, utamanya bagi ternak ruminansia. Dari 52 pabrik pakan yang ada di Indonesia, 80% adalah pabrik pakan unggas yang sudah well established, padahal penggunaan BIS dalam ransum unggas baru mencapai 2-3%.nAtien Priyanti, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor