agresi

7
 Nama : Ariefianto Nugraha NPM : 190110070098 INSTINCT (LIFE & DEATH) - AGGRESION Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive. Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati (thanatos/death instinct ) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya ( survival). Bentuk dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (  fighting instinct ) yang diwariskan ( inherited ) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya. Insting Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh secara turun-temurun (filogenetik) . Dalam psikoanalisis, naluri dianggap sebagai tenaga psikis bawah sadar yang dibagi atas naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanos). Pengertian lain dari insting adalah perwujudan psikologik dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuaasan. Misalnya, insting lapar berasal dari kebutuhan tubuh yang kekurangan nutrisi, dan dalam jiwani maujud dalam bentuk keinginan makan. Hasrat, atau motivasi, atau dorongan dari insting secara kuantitatif adalah enerji psikik, dan kumpulan enerji dari seluruh insting yang dimiliki seseorang merupakan enerji yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian. Enerji insting dapat dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), obyek (object) dan daya dorong (impetus) yang dimilikinya:

Upload: ariefiantonug9708

Post on 18-Jul-2015

85 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 1/7

 

Nama : Ariefianto Nugraha

NPM : 190110070098

INSTINCT (LIFE & DEATH) - AGGRESION

Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa

agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive.

Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati

(thanatos/death instinct ) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Bentuk 

dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin

menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Pandangan serupa juga diajukan oleh

Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif 

terutama berasal dari insting berkelahi (  fighting instinct ) yang diwariskan (inherited ) untuk 

memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan

gen mereka pada generasi berikutnya.

Insting 

Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan

tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh

secara turun-temurun (filogenetik). Dalam psikoanalisis, naluri dianggap sebagai tenaga psikis

bawah sadar yang dibagi atas naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanos). Pengertian

lain dari insting adalah perwujudan psikologik dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuaasan.

Misalnya, insting lapar berasal dari kebutuhan tubuh yang kekurangan nutrisi, dan dalam jiwani

maujud dalam bentuk keinginan makan. Hasrat, atau motivasi, atau dorongan dari insting secara

kuantitatif adalah enerji psikik, dan kumpulan enerji dari seluruh insting yang dimiliki seseorang

merupakan enerji yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian. Enerji insting dapat

dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), obyek (object) dan daya dorong (impetus) yang

dimilikinya:

Page 2: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 2/7

 

1.  Sumber insting: adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan. Tubuh menuntut keadaan

yang seimbang terus menerus, dan kekurangan nutrisi misalnya akan mengganggu

keseimbangan sehingga memunculkan insting lapar. Sepanjang hayat, sumber insting

bersifat konstan, tidak berubah kecuali perubahan akibat kemasakan. Kemasakan akan

mengembangkan kebutuhan jamaniah yang baru, dan dari sana dapat timbul insting-

insting yang baru pula.

2.  Tujuan insting: berkaitan dengan sumber insting, yakni kembali memperoleh

keseimbangan, misalnya dengan mencukupi kekurangan nutrisi. Seperti sumber insting,

tujuan insting juga bersifat konstan. Konsep Freud memandang insting sebagai pemicu

tegangan, dan id-ego-superego bekerja untuk mereduksi tegangan itu. Jadi, tujuan insting

pada dasarnya regressive (kembali asal); berusaha kembali ke keadaan tenang seperti

sebelum munculnya insting. Tujuan insting juga bersifat konservatif ; mempertahankan

keseimbangan organisme dengan menghilangkan stimulasi-stimulasi yang mengganggu.

Sumber dan tujuan yang konstan, bisa menimbulkan pengulangan tingkahlaku; dimulai

dari timbul rangsangan sampai peredaan tegangan. Kalau pengulangan menjadi irasional,

tanpa dapat dicegah oleh kesadaran, menjadi gejala neurotik kompulsi repetisi (repetition

compulsion). 

3.  Obyek insting: adalah segala sesuatu yang menjembatani antar kebutuhan yang timbul

dengan pemenuhannya. Obyek insting lapar bukan hanya makanan, tetapi meliputi

kegiatan mencari uang, membeli makanan dan menyajikan makanan itu. Berbeda dengan

sumber dan tujuan insting yang konstan, obyek insting atau cara orang memuaskan

kebutuhannya ternyata berubah-ubah sepanjang waktu. Enerji insting itu dapat

dipindahkan (displacement ) dari obyek asli ke obyek lain yang tersedia untuk mereduksi

tegangan. Apabila pemindahan menjadi permanen (sehingga obyeknya bukan lagi obyek 

asli yang ditentukan dari lahir), maka proses itu disebut derivatif insting (instinct 

derivative), misalnya insting keibuan diganti obyeknya dengan merawat anak terlantar

karena tidak mempunyai anak. Displacement dan derivative instinct inilah yang menjadi

sumber plastisitas dan keanekaragaman tingkahlaku manusia.

4.  Daya dorong insting: kekuatan/intensitas keinginan berbeda – beda setiap waktu. Insting

lapar dari orang yang seharian tidak makan tentu lebih besar dari insting lapar orang yang

Page 3: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 3/7

 

makannya teratur. Sebagai tenaga pendorong, jumlah kekuatan enerji dari seluruh insting

bersifat konstan. Penggunaannya yang berubah; kebutuhan yang sangat penting akan

mendapat satu enerji yang lebih besar dibandingkan kebutuhan lain yang kurang penting.

Jenis-jenis Insting 

Insting Hidup dan Insting Seks 

Freud mgajukan dua kategori umum insting hidup (life instinct ) dan insting mati (death

istinct ). Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan

reproduksi, seperti lapar, haus, dan seks. Enerji yang dipakai oleh insting hidup ini disebutlibido. Freud menjadi kontroversial karena berpendapat insting hidup yang terpenting adalah

insting seks. Bagi Freud semua aktivitas yang memberi kenikmatan dapat dilacak hubungannya

dengan insting seksual.

Sepanjang usia bayi yang perhatiaannya tertuju kepada dirinya sendiri (self centered ),

libido ditujukan kepada ego yang berarti bayi memperoleh kepuasan dengan mengenal dirinya

sendiri, dinamakan Freud; narkisisme primer ( primary narcissism) atau libido narcissism. Semua

bayi mengalami gejala narkisisme primer ini. Bertambahnya usia mengembangkan perhatian ke

dunia luar, dan kepuasan menuntut obyek diluar diri; libido narkisime primer berubah menjadi

libido obyek. Pada usia pubertas sering pada individu tertentu perhatiaannya lebih tertuju kepada

tampang diri dan interes dirinya sendiri. Gejala ini kemudian disebut secondary narcissism.

Libido yang ditujukan kepada orang lain , itulah Cinta ( Love).Insting seks sebagai bagian dari

insting hidup dapat muncul bersama dengan insting destruktif (insting mati); menjadi gejala

Sadism dan Masochism. Sadisme adalah memuaskan dorongan seksual dan dorongan destruktif 

melalui menyerang orang lain, sedang masokisme adalah memuaskan dorongan seksual denganmenyerang atau menyakiti diri sendiri.

Insting Mati 

Page 4: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 4/7

 

Insting mati atau insting destruktif (destructive instincts), disebut juga Thanatos, bekerja

secara sembunyi-sembunyi dibandingkan insting hidup. Akibatnya pengetahuan mengenai

insting mati menjadi terbatas, kecuali kenyataannya bahwa pada akhirnya semua orang mati.

Menurut Freud, tujuan semua kehidupan adalah kematian. Hanya saja Freud gagal menunjukkan

sumber fisik dari insting mati dan enerji apa yang dipakai oleh insting mati itu. Dorongan agresif 

(aggressive drive) adalah derivatif insting mati uyang terpenting. Insting mati mendorong orang

untuk merusak diri sendiri, dan dorongan agresif merupakan bentuk penyaluran agar orang tidak 

membunuh dirinya sendiri (suicide). Untuk memelihara diri, insting hidup umumnya melawan

insting mati itu dengan mengarahkan enerji keluar, ditujukan ke orang lain. Sebagian enerji

agresi itu dapat disalurkan ke kegiatan yang dapat diterima lingkungan sosial, seperti

pengawasan lingkungan (oleh polisi), dan olahraga. Ada juga yang tersalur dalam ekspresi yang

dilemahkan seperti menghukum atau menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri dengan bekerja

lebih keras dan sikap merendah/meminta maaf.

Di sisi yang lain, kritik yang banyak bermunculan terhadap pendukung teori nature

menunjukkan bahwa kelompok teori ini belum dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh faktor

disposisi/kepribadian terhadap perilaku agresif. Kekurangan dari teori ini adalah tidak 

memperhatikan keanekaragaman yang terdapat pada tiap individu yang disebabkan oleh faktor

lingkungan. Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen),

seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen

tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam

mengekspresikan agresivitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal. Contoh:

di Norwegia, angka pembunuhan sangat rendah yaitu tidak sampai 1 orang dalam 100.000

penduduk tetapi di Irlandia jauh lebih tinggi yaitu 13 orang dalam 100.000 penduduk dan di

Muangthai mencapai 14 orang dalam 100.000 penduduk (data tahun 1970, dikutip dari Archer &

Gartner, 1984).

Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk 

menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor

situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective (e.g.,

Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah

respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya

secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya

Page 5: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 5/7

 

(Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan

pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1)

berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3)

tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang

mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective

berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung

pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang

diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang

membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.

Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif: 

1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu

stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar

STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan

berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang

memakai seragam STM Y.

2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah

melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu

yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-

esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa

disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.

3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia

kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung

meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.

4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu

lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil

memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down.

5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan

kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok 

berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus

bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.

6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki

Page 6: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 6/7

 

oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif 

(berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).

Nature VS Nurture 

Melihat uraian-uraian di atas, penulis sependapat dengan Anderson & Bushman bahwa

manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh

respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan

mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Menurut penulis, individu yang tidak mempunyai

sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari

lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan

menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya

berperilaku agresif. Hal ini dibuktikan melalui eksperimen klasik dengan boneka Bobo yang

dilakukan oleh Bandura & Ross (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam eksperimen ini, pada

kelompok murid TK yang pertama ditampillkan video yang berisi perilaku agresif (memukul,

menendang, membanting boneka Bobo) sedangkan pada kelompok murid TK yang kedua

ditampilkan video yang tidak berisi perilaku agresif. Hasilnya, kelompok murid TK yang

pertama berperilaku jauh lebih agresif dibandingkan dengankelompok murid TK yang kedua

bahkan mereka meniru adegan-adegan yang terdapat dalam video yang berisi perilaku agresif.

Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada hewan yang lebih rendah,

banyak respons yang selama ini dianggap instinctive murni ternyata sebenarnya adalah respons

yang dipelajari. Contoh: seekor kucing muda memburu tikus bukan karena instingnya tetapi

karena mereka mempelajari perilaku itu dengan melihat kucing lain yang lebih tua (Kuo, 1930).

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif lebih merupakan perilaku yang

dipelajari dari lingkungan (nurture) daripada perilaku yang diwariskan (nature).

DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N.R. (2006). Social psychology (11th ed.). Boston:

Pearson Education, Inc.

Page 7: agresi

5/14/2018 agresi - slidepdf.com

http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 7/7

 

Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai

Pustaka.

Sarwono, S.W. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Jakarta:

Bulan Bintang.

Wortman, C.B., Loftus, E.F., & Weaver, C. (1999). Psychology (5th ed.). Boston: McGraw-Hill

College