agresi
TRANSCRIPT
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 1/7
Nama : Ariefianto Nugraha
NPM : 190110070098
INSTINCT (LIFE & DEATH) - AGGRESION
Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa
agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive.
Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati
(thanatos/death instinct ) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Bentuk
dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin
menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Pandangan serupa juga diajukan oleh
Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif
terutama berasal dari insting berkelahi ( fighting instinct ) yang diwariskan (inherited ) untuk
memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan
gen mereka pada generasi berikutnya.
Insting
Naluri atau insting adalah suatu pola perilaku dan reaksi terhadap suatu rangsangan
tertentu yang tidak dipelajari tapi telah ada sejak kelahiran suatu makhluk hidup dan diperoleh
secara turun-temurun (filogenetik). Dalam psikoanalisis, naluri dianggap sebagai tenaga psikis
bawah sadar yang dibagi atas naluri kehidupan (eros) dan naluri kematian (thanos). Pengertian
lain dari insting adalah perwujudan psikologik dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuaasan.
Misalnya, insting lapar berasal dari kebutuhan tubuh yang kekurangan nutrisi, dan dalam jiwani
maujud dalam bentuk keinginan makan. Hasrat, atau motivasi, atau dorongan dari insting secara
kuantitatif adalah enerji psikik, dan kumpulan enerji dari seluruh insting yang dimiliki seseorang
merupakan enerji yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian. Enerji insting dapat
dijelaskan dari sumber (source), tujuan (aim), obyek (object) dan daya dorong (impetus) yang
dimilikinya:
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 2/7
1. Sumber insting: adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan. Tubuh menuntut keadaan
yang seimbang terus menerus, dan kekurangan nutrisi misalnya akan mengganggu
keseimbangan sehingga memunculkan insting lapar. Sepanjang hayat, sumber insting
bersifat konstan, tidak berubah kecuali perubahan akibat kemasakan. Kemasakan akan
mengembangkan kebutuhan jamaniah yang baru, dan dari sana dapat timbul insting-
insting yang baru pula.
2. Tujuan insting: berkaitan dengan sumber insting, yakni kembali memperoleh
keseimbangan, misalnya dengan mencukupi kekurangan nutrisi. Seperti sumber insting,
tujuan insting juga bersifat konstan. Konsep Freud memandang insting sebagai pemicu
tegangan, dan id-ego-superego bekerja untuk mereduksi tegangan itu. Jadi, tujuan insting
pada dasarnya regressive (kembali asal); berusaha kembali ke keadaan tenang seperti
sebelum munculnya insting. Tujuan insting juga bersifat konservatif ; mempertahankan
keseimbangan organisme dengan menghilangkan stimulasi-stimulasi yang mengganggu.
Sumber dan tujuan yang konstan, bisa menimbulkan pengulangan tingkahlaku; dimulai
dari timbul rangsangan sampai peredaan tegangan. Kalau pengulangan menjadi irasional,
tanpa dapat dicegah oleh kesadaran, menjadi gejala neurotik kompulsi repetisi (repetition
compulsion).
3. Obyek insting: adalah segala sesuatu yang menjembatani antar kebutuhan yang timbul
dengan pemenuhannya. Obyek insting lapar bukan hanya makanan, tetapi meliputi
kegiatan mencari uang, membeli makanan dan menyajikan makanan itu. Berbeda dengan
sumber dan tujuan insting yang konstan, obyek insting atau cara orang memuaskan
kebutuhannya ternyata berubah-ubah sepanjang waktu. Enerji insting itu dapat
dipindahkan (displacement ) dari obyek asli ke obyek lain yang tersedia untuk mereduksi
tegangan. Apabila pemindahan menjadi permanen (sehingga obyeknya bukan lagi obyek
asli yang ditentukan dari lahir), maka proses itu disebut derivatif insting (instinct
derivative), misalnya insting keibuan diganti obyeknya dengan merawat anak terlantar
karena tidak mempunyai anak. Displacement dan derivative instinct inilah yang menjadi
sumber plastisitas dan keanekaragaman tingkahlaku manusia.
4. Daya dorong insting: kekuatan/intensitas keinginan berbeda – beda setiap waktu. Insting
lapar dari orang yang seharian tidak makan tentu lebih besar dari insting lapar orang yang
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 3/7
makannya teratur. Sebagai tenaga pendorong, jumlah kekuatan enerji dari seluruh insting
bersifat konstan. Penggunaannya yang berubah; kebutuhan yang sangat penting akan
mendapat satu enerji yang lebih besar dibandingkan kebutuhan lain yang kurang penting.
Jenis-jenis Insting
Insting Hidup dan Insting Seks
Freud mgajukan dua kategori umum insting hidup (life instinct ) dan insting mati (death
istinct ). Insting hidup disebut juga Eros adalah dorongan yang menjamin survival dan
reproduksi, seperti lapar, haus, dan seks. Enerji yang dipakai oleh insting hidup ini disebutlibido. Freud menjadi kontroversial karena berpendapat insting hidup yang terpenting adalah
insting seks. Bagi Freud semua aktivitas yang memberi kenikmatan dapat dilacak hubungannya
dengan insting seksual.
Sepanjang usia bayi yang perhatiaannya tertuju kepada dirinya sendiri (self centered ),
libido ditujukan kepada ego yang berarti bayi memperoleh kepuasan dengan mengenal dirinya
sendiri, dinamakan Freud; narkisisme primer ( primary narcissism) atau libido narcissism. Semua
bayi mengalami gejala narkisisme primer ini. Bertambahnya usia mengembangkan perhatian ke
dunia luar, dan kepuasan menuntut obyek diluar diri; libido narkisime primer berubah menjadi
libido obyek. Pada usia pubertas sering pada individu tertentu perhatiaannya lebih tertuju kepada
tampang diri dan interes dirinya sendiri. Gejala ini kemudian disebut secondary narcissism.
Libido yang ditujukan kepada orang lain , itulah Cinta ( Love).Insting seks sebagai bagian dari
insting hidup dapat muncul bersama dengan insting destruktif (insting mati); menjadi gejala
Sadism dan Masochism. Sadisme adalah memuaskan dorongan seksual dan dorongan destruktif
melalui menyerang orang lain, sedang masokisme adalah memuaskan dorongan seksual denganmenyerang atau menyakiti diri sendiri.
Insting Mati
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 4/7
Insting mati atau insting destruktif (destructive instincts), disebut juga Thanatos, bekerja
secara sembunyi-sembunyi dibandingkan insting hidup. Akibatnya pengetahuan mengenai
insting mati menjadi terbatas, kecuali kenyataannya bahwa pada akhirnya semua orang mati.
Menurut Freud, tujuan semua kehidupan adalah kematian. Hanya saja Freud gagal menunjukkan
sumber fisik dari insting mati dan enerji apa yang dipakai oleh insting mati itu. Dorongan agresif
(aggressive drive) adalah derivatif insting mati uyang terpenting. Insting mati mendorong orang
untuk merusak diri sendiri, dan dorongan agresif merupakan bentuk penyaluran agar orang tidak
membunuh dirinya sendiri (suicide). Untuk memelihara diri, insting hidup umumnya melawan
insting mati itu dengan mengarahkan enerji keluar, ditujukan ke orang lain. Sebagian enerji
agresi itu dapat disalurkan ke kegiatan yang dapat diterima lingkungan sosial, seperti
pengawasan lingkungan (oleh polisi), dan olahraga. Ada juga yang tersalur dalam ekspresi yang
dilemahkan seperti menghukum atau menyalahkan diri sendiri, menyiksa diri dengan bekerja
lebih keras dan sikap merendah/meminta maaf.
Di sisi yang lain, kritik yang banyak bermunculan terhadap pendukung teori nature
menunjukkan bahwa kelompok teori ini belum dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh faktor
disposisi/kepribadian terhadap perilaku agresif. Kekurangan dari teori ini adalah tidak
memperhatikan keanekaragaman yang terdapat pada tiap individu yang disebabkan oleh faktor
lingkungan. Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen),
seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen
tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam
mengekspresikan agresivitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal. Contoh:
di Norwegia, angka pembunuhan sangat rendah yaitu tidak sampai 1 orang dalam 100.000
penduduk tetapi di Irlandia jauh lebih tinggi yaitu 13 orang dalam 100.000 penduduk dan di
Muangthai mencapai 14 orang dalam 100.000 penduduk (data tahun 1970, dikutip dari Archer &
Gartner, 1984).
Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk
menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor
situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective (e.g.,
Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah
respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya
secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 5/7
(Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan
pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1)
berbagai cara untuk menyakiti yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3)
tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang
mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective
berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung
pada banyak faktor situasional, yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards yang
diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang
membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu
stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar STM X yang sering tawuran dengan pelajar
STM Y akan mengasosiasikan pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan
berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang yang
memakai seragam STM Y.
2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah
melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu
yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-
esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa
disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.
3. Modelling (meniru). Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia
kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung
meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu
lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil
memiting tangan temannya setelah menonton acara Smack Down.
5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan
kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok
berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus
bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 6/7
oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif
(berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).
Nature VS Nurture
Melihat uraian-uraian di atas, penulis sependapat dengan Anderson & Bushman bahwa
manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh
respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan
mengobservasi tingkah laku manusia lainnya. Menurut penulis, individu yang tidak mempunyai
sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari
lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan
menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya
berperilaku agresif. Hal ini dibuktikan melalui eksperimen klasik dengan boneka Bobo yang
dilakukan oleh Bandura & Ross (Bandura, Ross, & Ross, 1961). Dalam eksperimen ini, pada
kelompok murid TK yang pertama ditampillkan video yang berisi perilaku agresif (memukul,
menendang, membanting boneka Bobo) sedangkan pada kelompok murid TK yang kedua
ditampilkan video yang tidak berisi perilaku agresif. Hasilnya, kelompok murid TK yang
pertama berperilaku jauh lebih agresif dibandingkan dengankelompok murid TK yang kedua
bahkan mereka meniru adegan-adegan yang terdapat dalam video yang berisi perilaku agresif.
Selain itu, penelitian lainnya juga menunjukkan bahwa pada hewan yang lebih rendah,
banyak respons yang selama ini dianggap instinctive murni ternyata sebenarnya adalah respons
yang dipelajari. Contoh: seekor kucing muda memburu tikus bukan karena instingnya tetapi
karena mereka mempelajari perilaku itu dengan melihat kucing lain yang lebih tua (Kuo, 1930).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perilaku agresif lebih merupakan perilaku yang
dipelajari dari lingkungan (nurture) daripada perilaku yang diwariskan (nature).
DAFTAR PUSTAKA
Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N.R. (2006). Social psychology (11th ed.). Boston:
Pearson Education, Inc.
5/14/2018 agresi - slidepdf.com
http://slidepdf.com/reader/full/agresi-55ab4de53f9a7 7/7
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai
Pustaka.
Sarwono, S.W. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Jakarta:
Bulan Bintang.
Wortman, C.B., Loftus, E.F., & Weaver, C. (1999). Psychology (5th ed.). Boston: McGraw-Hill
College