agama dan budaya

62
Agama dan Budaya (akulturasi budaya) Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar Dosen Pembimbing : Ni’matuzzuhroh, M.Si Oleh Zainal Asrory NIM :07140061 JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS TARBIYAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

Upload: el-en

Post on 05-Dec-2014

75 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Relevansi agama terhadap budaya

TRANSCRIPT

Page 1: Agama Dan Budaya

Agama dan Budaya

(akulturasi budaya)

Untuk Memenuhi Mata Kuliah Ilmu Budaya Dasar

Dosen Pembimbing : Ni’matuzzuhroh, M.Si

Oleh Zainal Asrory

NIM :07140061

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MALANG

2008

Page 2: Agama Dan Budaya

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Segala puji bagi Allah atas limpahan Rahmat, Taufiq, serta Hidayah Nya sehingga tugas

makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpahkan

kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW yang telah banyak memberikan inspirasi

kepada penulis sehingga terselesaikanlah tugas makalah ini. walaupun masih banyak

kekurangan, sebagaimana kata pepatah “tiada gading yang tak retak”, untuk itu kritik

dan saran yang membangun sangat diharapkan oleh penyusun.

Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang dengan keikhlasan membantu dalam

proses penyelesaian makalah ini. Kami ucapkan terimakasih kepada Ibu Ni’matuzzuhroh,

M.Si selaku dosen mata kuliah Ilmu Budaya Dasar (IBD).

Semoga makalah ini bermanfaat khususnya bagi pembaca. Amin……

Malang, 08 Mei 2008

Penyusun

Page 3: Agama Dan Budaya

DAFTAR ISI

Kata Pengantar

Daftar isi

Bab I Pendahuluan

1. Latar Belakang

2. Rumusan Masalah

3. Tujuan Penulisan

Bab II Konsepsi Teori

1. Pengertian Agama

2. Agama dan Budaya

3. Agama dan Budaya Indonesia

4. Proses masuknya Islam Ke Indonesia

5. Pertemuan Islam dan budaya Nusantara

Bab III Studi Kasus

Bab IV Analisa dan kesimpulan

Kajian Pustaka

Page 4: Agama Dan Budaya

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak abad ke-1 Hijriah atau abad ke-7 Masehi, kawasan Asia Tenggara mulai

berkenalanan dengan “tradisi” Islam, meskipun frekuensinya tidak terlalu besar.

Pengenalan ini berlangsung sejalan dengan munculnya para saudagar Muslim di beberapa

tempat di Asia Tenggara. Bukti tertua adanya “komunitas” Muslim di Asia Tenggara

adalah dua buah makam yang bertarikh sekitar abad ke-5 Hijriah/ke-11 Masehi di

Pandurangga (kini Panrang, Viet Nam) dan di Leran (Gresik, Indonesia).

Kehadiran Islam secara lebih nyata di Indonesia terjadi pada sekitar abad ke-13

Masehi, yaitu dengan adanya makam dari Sultan Malik as-Saleh yang mangkat pada

bulan Ramadhan 696 Hijriah/1297 Masehi. Ini berarti bahwa pada abad ke-13 Masehi di

Nusantara sudah ada institusi kerajaan yang bercorak Islam.

Para saudagar Muslim sudah melakukan aktivitas dagangnya sejak abad ke-7

Masehi. Beberapa kerajaan Hindu dan Buddha di Nusantara sudah melakukan hubungan

dagang dan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Bukti-bukti

arkeologis yang mendukung ke arah itu ditemukan di Laut Jawa dekat Cirebon. Di antara

komoditi perdagangan yang asalnya dari Timur Tengah ditemukan indikator “keIslaman”

yang berupa sebuah cetakan tangkup (mould) yang bertulisan asma‘ul husnah.

Meskipun sebagian besar masyarakat Indonesia menganut paham Sunni, namun

pada prakteknya saat ini di Sumatra dan Jawa menganut paham Syi‘ah. Data arkeologis

menunjukkan bahwa Islam yang masuk ke Nusantara berasal dari Persia melalui Gujarat,

kemudian dibawa oleh para saudagar ke Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan

Semenanjung Tanah Melayu.

Page 5: Agama Dan Budaya

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi

budaya. Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan

tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam

dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi

sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh

para ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai

realitas budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi

local) atau juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau

setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam

ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum

Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini

seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri

(pinggiran).

Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-

kawasan yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini

mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi

konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang

dihasilkan masyarakat.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian

melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil

mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga

dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang

membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara

lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi

unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke

dalam budaya asliu; dan memilkiki kemampuanmengendalikan dan memberikan arah

pada perkembangan budaya selanjutnya.

Page 6: Agama Dan Budaya

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia,

ajaran Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai

agama sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya

local yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-

budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam.

Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan

Islam.

B. Rumusan Masalah

Kapan Islam masuk ke Indonesia?

Bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia?

Bagaimana implikasi masuknya Islam terhadap budaya di Indonesia?

Bagaimana proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia?

Bagaimana proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara?

C. Tujuan Penulisan.

Mengetahui kapan masuknya Islam ke Indonesia

Mengetahui bagaimana proses masuknya Islam di Indonesia

Mengetahui implikasi masuknya Islam terhadap perubahan budaya di Indonesia

Mengetahui proses asimilasi Islam dengan masyarakat Indonesia

Mengetahui proses terjadinya akulturasi antara Islam dan budaya Nusantara.

Page 7: Agama Dan Budaya

BAB II

KONSEPSI TEORI

A. Pengertian Agama

Kata agama berasal dari bahasa Sansekerta dari kata a berarti tidak dan gama

berarti kacau. Kedua kata itu jika dihubungkan berarti sesuatu yang tidak kacau. Jadi

fungsi agama dalam pengertian ini memelihara integritas dari seorang atau sekelompok

orang agar hubungannya dengan Tuhan, sesamanya, dan alam sekitarnya tidak kacau.

Karena itu menurut Hinduisme, agama sebagai kata benda berfungsi memelihara

integritas dari seseorang atau sekelompok orang agar hubungannya dengan realitas

tertinggi, sesama manusia dan alam sekitarnya. Ketidak kacauan itu disebabkan oleh

penerapan peraturan agama tentang moralitas,nilai-nilai kehidupan yang perlu dipegang,

dimaknai dan diberlakukan.

Pengertian itu jugalah yang terdapat dalam kata religion (bahasa Inggris) yang

berasal dari kata religio (bahasa Latin), yang berakar pada kata religare yang berarti

mengikat. Dalam pengertian religio termuat peraturan tentang kebaktian bagaimana

manusia mengutuhkan hubungannya dengan realitas tertinggi (vertikal) dalam

penyembahan dan hubungannya secara horizontal.1

Agama itu timbul sebagai jawaban manusia atas penampakan realitas tertinggi

secara misterius yang menakutkan tapi sekaligus mempesonakan Dalam pertemuan itu

manusia tidak berdiam diri, ia harus atau terdesak secara batiniah untuk

merespons.Dalam kaitan ini ada juga yang mengartikan religare dalam arti melihat

kembali kebelakang kepada hal-hal yang berkaitan dengan perbuatan tuhan yang harus

diresponnya untuk menjadi pedoman dalam hidupnya.

Islam juga mengadopsi kata agama, sebagai terjemahan dari kata Al-Din seperti

yang dimaksudkan dalam Al-Qur’an surat 3 : 19 ( Zainul Arifin Abbas, 1984 : 4). Agama

Islam disebut Din dan Al-Din, sebagai lembaga Ilahi untuk memimpin manusia untuk

mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Secara fenomenologis, agama Islam dapat

Page 8: Agama Dan Budaya

dipandang sebagai Corpus syari’at yang diwajibkan oleh Tuhan yang harus dipatuhinya,

karena melalui syari’at itu hubungan manusia dengan Allah menjadi utuh. Cara pandang

ini membuat agama berkonotasi kata benda sebab agama dipandang sebagai himpunan

doktrin.

Komaruddin Hidayat seperti yang dikutip oleh muhammad Wahyuni Nifis

(Andito ed, 1998:47) lebih memandang agama sebagai kata kerja, yaitu sebagai sikap

keberagamaan atau kesolehan hidup berdasarkan nilai-nilai ke Tuhanan.

Walaupun kedua pandangan itu berbeda sebab ada yang memandang agama

sebagai kata benda dan sebagai kata kerja, tapi keduanya sama-sama memandang sebagai

suatu sistem keyakinan untuk mendapatkan keselamatan disini dan diseberang sana.

Dengan agama orang mencapai realitas yang tertinggi. Brahman dalam

Hinduisme, Bodhisatwa dalam Buddhisme Mahayana, sebagai Yahweh yang

diterjemahkan “Tuhan Allah” (Ulangan 6:3) dalam agama Kristen, Allah subhana

wata’ala dalam Islam.

Sijabat telah merumuskan agama sebagai berikut:

“Agama adalah keprihatinan maha luhur dari manusia yang terungkap selaku jawabannya

terhadap panggilan dari yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Keprihatinan yang maha

luhur itu diungkapkan dalam hidup manusia, pribadi atau kelompok terhadap Tuhan,

terhadap manusia dan terhadap alam semesta raya serta isinya”.

Uraian Sijabat ini menekankan agama sebagai hasil refleksi manusia terhadap

panggilan yang Maha Kuasa dan Maha Kekal. Hasilnya diungkap dalam hidup manusia

yang terwujud dalam hubungannya dengan realitas tertinggi, alam semesta raya dengan

segala isinya. Pandangan itu mengatakan bahwa agama adalah suatu gerakan dari atas

atau wahyu yang ditanggapi oleh manusia yang berada dibawah.

Page 9: Agama Dan Budaya

B. Agama dan Budaya

Budaya menurut Koentjaraningrat adalah keseluruhan sistem, gagasan, tindakan

dan hasil kerja manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik

manusia dengan belajar. 2

Jadi budaya diperoleh melalui belajar. Tindakan-tindakan yang dipelajari antara

lain cara makan, minum, berpakaian, berbicara, bertani, bertukang, berrelasi dalam

masyarakat  adalah budaya. Tapi kebudayaan tidak saja terdapat dalam soal teknis tapi

dalam gagasan yang terdapat dalam fikiran yang kemudian terwujud dalam seni, tatanan

masyarakat, ethos kerja dan pandangan hidup. Yojachem Wach berkata tentang pengaruh

agama terhadap budaya manusia yang immaterial bahwa mitologis hubungan kolektif

tergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Interaksi sosial dan keagamaan berpola

kepada bagaimana mereka memikirkan Tuhan, menghayati dan membayangkan Tuhan.

Lebih tegas dikatakan Geertz, bahwa wahyu membentuk suatu struktur psikologis

dalam benak manusia yang membentuk pandangan hidupnya, yang menjadi sarana

individu atau kelompok individu yang mengarahkan tingkah laku mereka. Tetapi juga

wahyu bukan saja menghasilkan budaya immaterial, tetapi juga dalam bentuk seni suara,

ukiran, bangunan.3

Dapatlah disimpulkan bahwa budaya yang digerakkan agama timbul dari proses

interaksi manusia dengan kitab yang diyakini sebagai hasil daya kreatif pemeluk suatu

agama tapi dikondisikan oleh konteks hidup pelakunya, yaitu faktor geografis, budaya

dan beberapa kondisi yang objektif.

Faktor kondisi yang objektif menyebabkan terjadinya budaya agama yang

berbeda-beda walaupun agama yang mengilhaminya adalah sama. Oleh karena itu agama

Kristen yang tumbuh di Sumatera Utara di Tanah Batak dengan yang di Maluku tidak

begitu sama sebab masing-masing mempunyai cara-cara pengungkapannya yang

berbeda-beda. Ada juga nuansa yang membedakan Islam yang tumbuh dalam masyarakat

dimana pengaruh Hinduisme adalah kuatdengan yang tidak. Demikian juga ada

perbedaan antara Hinduisme di Bali dengan Hinduisme di India, Buddhisme di Thailan

Page 10: Agama Dan Budaya

dengan yang ada di Indonesia. Jadi budaya juga mempengaruhi agama. Budaya agama

tersebut akan terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan perkembangan kesejarahan

dalam kondisi objektif dari kehidupan penganutnya (Andito,ed,1998:282).Tapi hal pokok

bagi semua agama adalah bahwa agama berfungsi sebagai alat pengatur dan sekaligus

membudayakannya dalam arti mengungkapkan apa yang ia percaya dalam bentuk-bentuk

budaya yaitu dalam bentuk etis, seni bangunan, struktur masyarakat, adat istiadat dan

lain-lain. Jadi ada pluraisme budaya berdasarkan kriteria agama. Hal ini terjadi karena

manusia sebagai homoreligiosus merupakan insan yang berbudidaya dan dapat berkreasi

dalam kebebasan menciptakan pelbagai objek realitas dan tata nilai baru berdasarkan

inspirasi agama.

C. Agama dan budaya Indonesia

Jika kita teliti budaya Indonesia, maka tidak dapat tidak budaya itu  terdiri dari 5

lapisan. Lapisan itu diwakili oleh budaya agama pribumi, Hindu, Buddha, Islam dan

Kristen.4

Lapisan pertama adalah agama pribumi yang memiliki ritus-ritus yang berkaitan

dengan penyembahan roh nenek moyang yang telah tiada atau  lebih setingkat yaitu

Dewa-dewa suku seperti sombaon di Tanah Batak, agama Merapu di Sumba, Kaharingan

di Kalimantan. Berhubungan dengan ritus agama suku adalah berkaitan dengan para

leluhur menyebabkan terdapat solidaritas keluarga yang sangat tinggi. Oleh karena itu

maka ritus mereka berkaitan dengan tari-tarian dan seni ukiran, Maka dari agama

pribumi  bangsa Indonesia mewarisi kesenian dan estetika yang tinggi dan nilai-nilai

kekeluargaan yang sangat luhur.

Lapisan kedua dalah Hinduisme, yang telah meninggalkan peradapan yang

menekankan pembebasan rohani agar atman bersatu dengan Brahman maka dengan itu

ada solidaritas mencari pembebasan bersama dari penindasan sosial untuk menuju

kesejahteraan yang utuh. Solidaritas itu diungkapkan dalam kalimat Tat Twam Asi, aku

adalah engkau.

Page 11: Agama Dan Budaya

Lapisan ketiga adaalah agama Buddha, yang telah mewariskan nilai-nilai yang

menjauhi ketamakan dan keserakahan. Bersama dengan itu timbul nilai pengendalian diri

dan mawas diridengan menjalani 8 tata jalan keutamaan.

Lapisan keempat adalah agama Islam yang telah menyumbangkan kepekaan

terhadap tata tertib kehidupan melalui syari’ah, ketaatan melakukan shalat dalam lima

waktu,kepekaan terhadap mana yang baik dan mana yang jahat dan melakukan yang baik

dan menjauhi yang jahat (amar makruf nahi munkar) berdampak pada pertumbuhan

akhlak yang mulia. Inilah hal-hal yang disumbangkan Islam dalam pembentukan budaya

bangsa.

Lapisan kelima adalah agama Kristen, baik Katholik maupun Protestan. Agama

ini menekankan nilai kasih dalam hubungan antar manusia. Tuntutan kasih yang

dikemukakan melebihi arti kasih dalam kebudayaan sebab kasih ini tidak

menuntutbalasan yaitukasih tanpa syarat. Kasih bukan suatu cetusan emosional tapi

sebagai tindakan konkrit yaitu memperlakukan sesama seperti diri sendiri. Atas dasar

kasih maka gereja-gereja telah mempelopori pendirian Panti Asuhan, rumah sakit,

sekolah-sekolah dan pelayanan terhadap orang miskin.

Dipandang dari segi budaya, semua kelompok agama di Indonesia telah

mengembangkan budaya agama untuk mensejahterakannya tanpa memandang perbedaan

agama, suku dan ras.

Disamping pengembangan budaya immaterial tersebut agama-agama juga telah

berhasil mengembangkan budaya material seperti candi-candi dan bihara-bihara di Jawa

tengah, sebagai peninggalan budaya Hindu dan Buddha. Budaya Kristen telah

mempelopori pendidikan, seni bernyanyi, sedang budaya Islam antara lain telah

mewariskan Masjid Agung Demak (1428) di Gelagah Wangi Jawa Tengah. Masjid ini

beratap tiga susun yang khas Indonesia, berbeda dengan masjid Arab umumnya yang

beratap landai. Atap tiga susun itu menyimbolkan Iman, Islam dan Ihsan. Masjid ini

tanpa kubah, benar-benar has Indonesia yang mengutamakan keselarasan dengan

alam.Masjid Al-Aqsa Menara Kudus di Banten bermenaar dalam bentuk perpaduan

Page 12: Agama Dan Budaya

antara Islam  dan Hindu. Masjid Rao-rao di Batu Sangkar merupakan perpaduan berbagai

corak kesenian dengan hiasan-hiasan mendekati gaya India sedang atapnya dibuat dengan

motif rumah Minangkabau.5

Kenyataan adanya legacy tersebut membuktikan bahwa agama-agama di

Indonesia telah membuat manusia makin berbudaya sedang budaya adalah usaha manusia

untuk menjadi manusia.

Dari segi budaya, agama-agama di Indonesia adalah aset bangsa, sebab agama-

agama itu telah memberikan sesuatu bagi kita sebagai warisan yang perlu dipelihara.

Kalau pada waktu zaman lampau agama-agama bekerja sendiri-sendiri maka dalam

zaman milenium ke 3 ini agama-agama perlu bersama-sama memelihara dan

mengembangkan aset bangsa tersebut. Cita-cita ini barulah dapat diwujudkan apabila

setiap golongan agama menghargai legacy tersebut Tetapi yang sering terjadi adalah

sebaliknya sebab kita tidak sadar tentang nilai aset itu bagi bagi pengembangan budaya

Indonesia. Karena ketidak sadaran itu maka kita melecehkan suatu golongan agama

sebagai golongan yang tidak pernah berbuat apa-apa. Kalaupun besar nilainya, tapi

karena hasil-hasil itu bukan dari golonganku, maka kita merasa tidak perlu

mensyukurinya. Lebih buruk lagi, jika ada yang berpenderian apa yang diluar kita adalah

jahat dan patut dicurigai. Persoalan kita, bagaimana kita dapat menghargai monumen-

monumen budaya itu sebagai milik bangsa, untuk itu kita perlu:

1 Mengembangkan religius literacy.

Tujuannya agar dalam kehidupan pluralisme keagamaan perlu dikembangkan

religious literacy, yaitu sikap terbuka  terhadap agama lain yaitu dengan jalan melek

agama. Pengembangan religious literacy sama dengan pemberantasan buta huruf dalam

pendidikan. Kitaakui bahwa selama ini penganut agama buta huruf terhadap agama diluar

yang dianutnya. Jadi perlu diadakan upaya pemberantasan buta agama, Karena buta

terhadap agama lain maka orang sering tertutup dan fanatik tanpa menh\ghiraukan bahwa

ada yang baik dari agama lain. Kalau orang melek agama, maka orang dapat memahami

ketulusan orang yang beragama dalam penyerahan diri kepada Allah dalam kesungguhan.

Page 13: Agama Dan Budaya

Sikap melek agama ini membebaskan umat beragama dari sikap tingkah laku curiga

antara satu dengan yang lain. Para pengkhotbah dapat berkhotbah dengan kesejukan dan

keselarasan tanpa bertendensi menyerang dan menjelekkan agama lain.

2. Mengembangkan legacy spiritual dari agama-agama.

Telah kita ungkapkan sebelumnya tentang  legacy spiritual dari setiap agama di

Indonesia. Legacy itu dapat menjadi wacana bersama menghadapi  krisis-krisis Indonesia

yang multi dimensi ini. Masalah yang kita hadapi yang paling berat adalah masalah

korupsi, supremasi hukum dan keadilan sosial. Berdasarkan legacy yang tersebut

sebelumnya, bahwa setiap agama mempunyai modal dasar dalam menghadapi masal-

masalah tersebut, tetapi belum pernah ada suatu wacana bersama-sama untuk melahirkan

suatu pendapat bersama yang bersifat operasional.

Agaknya setiap kelompok agama di Indonesia sudah waktunya bersama-sama

membicarakan masalah-masalah bangsa dan penanggulangannya.

D. Proses masuknya Islam Ke Indonesia

Berbicara tentang Islamisasi di Nusantara, pertanyaan kita adalah bilamana  Islam

masuk ke Nusantara dan siapa yang membawa atau menyebarkannya. Pertanyaan

kemudian, Islam seperti apa yang masuk dan bagaimana bentuknya yang sekarang?

Pertanyaan pertama dan kedua dapat dijawab secara teoritis melalui bukti-bukti arkeologi

mutakhir yang sampai kepada kita, sedangkan pertanyaan berikutnya dapat dijawab

melalui kacamata budaya yang masih dapat disaksikan di beberapa tempat di Nusantara.

Hingga saat ini tidak ada satupun bukti tertulis yang secara tersurat menyatakan

bahwa Islam masuk di Nusantara pada tahun atau abad sekian dan yang membawa masuk

adalah si Nasruddin (misalnya). Kajian mengenai dugaan masuknya Islam di Nusantara

hingga saat ini baru didasarkan atas bukti tertulis dari nisan kubur serta beberapa naskah

yang menuliskan para pedagang Islam. yang ditemukan di beberapa tempat di Nusantara,

seperti di Aceh, Barus (pantai barat Sumatra Utara) dan Gresik (Jawa Timur).

Page 14: Agama Dan Budaya

Islamisasi di Nusantara erat kaitannya dengan sejarah Islam yang hingga kini

penulisannya belum “lengkap” dan sifatnya masih parsial. Keadaan seperti ini jauh-jauh

hari sudah disinyalir oleh Presiden Soekarno yang menyatakan bahwa sikap ulama

Indonesia kurang atau bahkan tidak memiliki pengertian perlunya penulisan sejarah. Di

samping sikap ulama Indonesia tersebut, masih ada kendala lain untuk menuliskan

sejarah. Kendala itu antara lain kurangnya data atau sumber-sumber tertulis, serta luasnya

geografis Indonesia sehingga untuk mengintegrasikan data dari berbagai daerah juga

sulit.

Mengenai darimana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan

argumennya masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia,

India, bahkan ada yang menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai

asalnya Islam berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara

melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syi‘ar

Islam. Hal ini sesuai dengan Hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”.

Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal atau

para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Songo.

Tidak ada satupun pendapat yang pasti mengenai kapan masuknya Islam di

Nusantara jika mengingat hubungan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Timur

Tengah, Persia, India, dan Tiongkok sudah berlangsung lama. Para saudagar dari tempat-

tempat tersebut membawa dan mengambil komoditi perdagangan dari dan ke Nusantara.

Dari Nusantara mereka membawa hasil-hasil hutan yang laku dijual di pasaran, seperti

kapur barus, kemenyan, dan rempah-rempah. Dari tempat asalnya mereka membawa

barang-barang kaca, keramik, kain sutra/brokat, batu-batu mulia dan barang-barang

perunggu. Sebelum Islam ada, para pedagang, pendeta, dan bhiksu menyebarkan budaya

India di Nusantara, termasuk penyebaran agama Hindu dan Buddha. Pada masa abad ke-

7-10 Masehi, Śrīwijaya pernah menjadi pusat pengajaran agama Buddha. Dengan

demikian, kuat dugaan bahwa Islam masuk ke Nusantara juga dibawa oleh para saudagar.

Baru-baru ini, sektar tahun 2004 di perairan laut Jawa sebelah utara Cirebon ditemukan

runtuhan sebuah kapal yang diduga tenggelam karena kelebihan muatan. Berdasarkan

Page 15: Agama Dan Budaya

pertanggalan keramik dan teknologi pembuatannya, kapal yang tenggelam tersebut

berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Muatannya bermacam-macam yang berasal dari

berbagai tempat di luar Nusantara. Berdasarkan ciri-ciri fisiknya, dapat diduga bahwa

barang-barang muatan kapal tersebut berasal dari daerah Timur Tengah, India, dan

Tiongkok. Sebagian besar merupakan barang dagangan, dan sebagaian lagi merupakan

barang-barang untuk upacara keagamaan atau benda-benda keagamaan.

Dalam tulisan singkat ini, saya hendak mengungkapkan tentang salah satu cara

masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara pada satu kurun waktu sekitar abad ke-10

Masehi. Data untuk bahan kajian berasal dari artefak-artefak yang ditemukan dari kapal

yang tenggelam di perairan Cirebon serta data lain yang ditemukan dari hasil penelitian

arkeologi. Dari data tersebut kemudian akan ditarik pada budaya Islam di Nusantara

dalam konteks kekinian. Timbul dan berkembangnya suatu aliran atau mazhab tertentu

dapat tergantung darimana asalnya aliran tersebut. Pada masa kini, sebagian masyarakat

yang beragama Islam di Indonesia menganut tradisi Suni. Namun tidak tertutup

kemungkinan ada juga yang menganut tradisi Syi‘ah. Kedua tradisi tersebut bermazhab

Syafi‘i.

1. Pelayaran dan Perdagangan

Sumber-sumber tertulis (sejarah) yang merupakan catatan harian dari orang-orang

Tionghoa, Arab, India, dan Persia menginformasikan pada kita bahwa tumbuh dan

berkembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan

Tiongkok sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, disebabkan karena dorongan

pertumbuhan dan perkembangan imporium-imporium besar di ujung barat dan ujung

timur benua Asia. Di ujung barat terdapat emporium Muslim di bawah kekuasaan

Khalifah Bani Umayyah (660-749 Masehi) kemudian Bani Abbasiyah (750-870 Masehi).

Di ujung timur Asia terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T‘ang

(618-907 Masehi). Kedua emporium itu mungkin yang mendorong majunya pelayaran

dan perdagangan Asia, tetapi jangan dilupakan peranan Śrīwijaya sebagai sebuah

emporium yang menguasai Selat Melaka pada abad ke-7-11 Masehi. Emporium ini

Page 16: Agama Dan Budaya

merupakan kerajaan maritim yang menitik beratkan pada pengembangan pelayaran dan

perdagangan.

Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat menunjukkan asalnya,

genta, ujung tongkat pendeta, wajra, dan arca mungkin dari India. Benda-benda ini

merupakan alat-alat upacara yang dimiliki oleh kelompok pemeluk agama Buddha.

Nama Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse

atau Po-ssu yang biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia, dan

sering pula diceriterakan sama-sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K‘uo yang

biasa diidentifikasikan dengan Arab. Po-sse dapat juga dimaksudkan dengan orang-orang

Persia yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang

Muslim asli Iran—yang dapat pula digolongkan pada orang-orang yang disebut Ta-shih

atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus

yang merupakan mayoritas penduduk Iran setelah peng Islaman.

Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran pedagang Po-sse di

Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama-sama dengan orang-orang Ta-shih di bandar-

bandar sepanjang tepian Selat Melaka, pantai barat Sumatera, dan pantai timur

Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan diketahui sejak

abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Mereka dikenal sebagai pedagang dan pelaut

ulung. Sebuah catatan harian Tionghoa yang meceriterakan perjalanan pendeta Buddha I-

tsing tahun 671 Masehi dengan menumpang kapal Po-sse dari Kanton ke arah selatan,

yaitu ke Fo-shih (Śrīwijaya). Catatan harian itu mengindikasikan kehadiran orang-orang

Persia di bandar-bandar di pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara. Kemudian pada

tahun 717 Masehi diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Srilanka

ke Śrīwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada tahun 720 Masehi kembali lagi

ke Kanton karena kebanyakan dari kapal-kapal tersebut mengalami kerusakan.6

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara bangsa Arab, Persia, dan Śrīwijaya

rupa-rupanya dibarengi dengan hubungan persahabatan di antara kerajaan-kerajaan di

kawasan yang berhubungan dagang. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya

beberapa surat dari Mahārāja Śrīwijaya yang dikirimkan melalui utusan kepada Khalifah

Page 17: Agama Dan Budaya

Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz (717-720 Masehi). Isi surat tersebut antara lain tentang

pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan.

Nusantara (Śrīwijaya dan Mālayu) adalah ditemukannya artefak dari gelas dan

kaca berbentuk vas, botol, jambangan dll di Situs Barus (pantai barat Sumatera Utara)

dan situs-situs di pantai timur Jambi (Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur). Barang-

barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatangkan dari Persia atau Timur

Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya antara lain Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit,

al-Ubulla, Kish, dan Oman. Dari Nusantara para pedagang tersebut membawa hasil bumi

dan hasil hutan. Hasil hutan yang sangat digemari pada masa itu adalah kemenyan dan

kapur barus.

Hubungan pelayaran dan perdagangan yang kemudian dilanjutkan dengan

hubungan politik, pada masa yang kemudian menimbulkan proses islamisasi. Dari proses

islamisasi ini pada abad ke-13 Masehi kemudian muncul kerajaan Islam Samudera Pasai

dengan sultannya yang pertama adalah Malik as-Saleh yang mangkat pada tahun 1297

Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian

Marco Polo yang singgah di Peurlak tahun 1292 Masehi, Samudera Pasai bukan hanya

kerajaan Islam pertama di Nusantara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan

Islam ini semakin mempererat hubungan antara Sumatera dan negara-negara di Arab dan

Persia.

Pada pertengahan abad ke-14 Masehi Ibn Batuta singgah di Pasai yang pada

waktu itu diperintah oleh Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya disebutkan

bahwa Sultan adalah seorang penganut Islam yang taat dan ia dikelilingi oleh para ulama

dan dua orang Persia yang terkenal, yaitu Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj

ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi yang datang ke Samudera Pasai

dan juga ke Melaka dimana para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna/Insan al-

Kamil” mungkin sekali dari Persia.

Page 18: Agama Dan Budaya

Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di wilayah Aceh

sudah ada kerajaan yang bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri

pada tahun 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdal-

Aziz Syah keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi‘ah.

Tingginya intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan kerajaan di

Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil di beberapa tempat yang dikunjungi pedagang

Persia, tinggal dan menetap pula orang-orang Persia. Di tempat ini timbul juga kontak

budaya antar dua budaya yang berbeda, dan tidak mustahil ada juga penganut Islam

Syi‘ah. Hal ini dapat dideteksi dari adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan yang biasa

dilakukan oleh kaum Syi‘ah.

2. Tinggalan Budaya

Pada sekitar abad ke-7 Masehi para pedagang Muslim dari Timur Tengah dan

Persia giat melakukan aktivitas perdagangan. Berdasarkan suatu keyakinan bahwa setiap

insan dalam pandangan Islam termasuk pedagang Muslim mempunyai kewajiban untuk

menyampaikan ajaran Islam kepada siapapun sesuai dengan cara yang baik dan persuasif,

sejalan dengan urusan perdagangan menyebar pula agama Islam. Berawal dari

pengislaman daerah pesisir Anak Benua India, kemudian memicu/merangsang bukan saja

hubungan dagang tetapi juga berbagai bentuk hubungan dan pertukaran keagamaan,

sosial, politik, dan kebudayaan. Sebenarnya sejak abad-abad pertama terjadinya

perdagangan internasional melalui laut, bukan hubungan perdagangan semata, tetapi juga

hubungan politik dan kebudayaan.

Meskipun menganut mazhab yang berbeda dengan mayoritas penduduk Indonesia

(Sunnah wal Jamaah mazhab Syafi‘i), bangsa Persia sedikit banyak telah berjasa dalam

penyebaran dan pengembangan Islam di Nusantara. Hal ini terbukti dengan tinggalan

budayanya baik yang berupa kebendaan (tangible), maupun yang bukan (intangible).

Tinggalan budaya tersebut masih dapat ditemukan di berbagai tempat di Nusantara,

terutama di nusantara sebelah barat, seperti di Sumatera dan Jawa.

Page 19: Agama Dan Budaya

2.1 Kargo Cirebon

Di antara runtuhan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon, ada beberapa jenis

benda yang mungkin tidak termasuk dalam barang komoditi. Beberapa jenis barang

tersebut adalah sebuah benda berbentuk tanduk yang dibuat dari logam berlapis emas,

sebuah benda berbentuk cumi-cumi (sotong) dari kristal, cetakan tangkup (mould) dari

batu sabun (soapstone), serta benda-benda perunggu yang berfungsi sebagai alat-alat

upacara agama Buddha/Hindu.

Orang-orang di dalam sebuah kapal merupakan satu komunitas tersendiri, ada

nakhoda, kelasi, dan penumpang. Semuanya itu dipimpin oleh seorang nakhoda. Dialah

yang memegang kendali di kapal. Demikian juga penumpang kapal yang terdiri dari

bermacam status sosial dan profesi. Ada golongan pedagang, mungkin ada bangsawan

dan pendeta/bhiksu, dan ada juga penumpang biasa. Semua itu dapat diketahui dari

benda-benda yang disandangnya.

Ibn Khordadhbeh, seorang pejabat yang dilantik khalifah Dinasti Abassiyah pada

sekitar abad ke-9 Masehi, adalah seorang pedagang yang pernah berkunjung ke Zabag

(Śrīwijaya). Dia menulis sebuah buku yang berjudul Kitab al-masalik wa-l-mamalik

(Buku tentang Jalan-jalan dan Kerajan-kerajaan). Buku ini berisi tentang semua pos-pos

pergantian dan jumlah pajak di setiap tempat yang dikunjunginya. Sebagai seorang

pejabat yang dilantik oleh Khalifah tentunya mempunyai tanda legitimasi dan atribut lain

yang dibawa dan disandangnya.

Cetakan tangkup yang dibuat dari batusabun (soapstone) berbentuk empat persegi

panjang (4,2 x 6,7 cm). Pada salah satu sisinya terdapat kalimat yang ditulis dalam aksara

Arab bergaya kufik: “al-malk lillah; al-wahid; al-qahhar” yang berarti “Semua kekuasaan

itu milik Allah yang Maha Esa dan Maha Perkasa” dalam dua buah bingkai empat

persegi. Kalau diterjemahkan secara harfiah, maka kalimat itu mengandung asma‘ul

husna, tepatnya merupakan sifat yang dimiliki mausuf (Allah) yang memiliki kekuasan.

Melihat gaya tulisan kufik yang dipakai tampaknya masih kaku jika dibandingkan

dengan gaya tulisan kufik pada batu nisan Malik as-Saleh (wafat 1297 Masehi) dari

Page 20: Agama Dan Budaya

Samudra Pasai (Aceh). Bentuk tulisan ini diduga berasal dari sekitar abad ke-9-10

Masehi yang dikembangkan di daerah Kufah pada masa pemerintahan kekhalifahan Bani

Abassiyah (750-870 Masehi).

Sebuah cetakan (mould) dengan ciri-ciri antara lain tulisan digoreskan pada

bidang segi empat dalam bentuk negatif. Bidang segi empat yang bertulisan tersebut ada

dua buah dibentuk dengan cara “dikorek” sedalam kurang dari 0,5 mm. Dari bagian sisi

bawah (dilihat dari bentuk tulisan/aksara) dari bidang segi empat tersebut terdapat garis

yang bertemu pada satu titik. Pada titik pertemuan kemudian melebar membentuk

corong. Garis berpotongan tersebut mempunyai ukuran lebar 1 mm. dan dalam kurang

dari 0,5 mm. Bagian yang membentuk corong berukuran lebar 1-3 mm. Di bagian bawah

bidang empat persegi, terdapat dua buah tonjolan yang bergaristengah sekitar 5 mm. dan

tinggi sekitar 3 mm. Di bagian atas bidang segiempat terdapat garis yang dibentuk

dengan cara dikorek, kemudian permukaan lainnya lebih tinggi dari permukaan atas dua

bidang segiempat.

Apabila diperhatikan dengan seksama, benda ini merupakan semacam cetakan

untuk logam mulia, seperti emas dan perak. Seharusnya ada sepasang yang saling

menangkup, tetapi bagian yang satunya tidak ditemukan. Dua tonjolan bulat yang ada

pada permukaan benda tersebut, merupakan semacam pasak pengunci agar tidak bergerak

ketika proses pengecoran. Bagian yang berlubangnya seharusnya terdapat pada bagian

tangkupan yang hilang. Garis-garis yang bersilang dan bertemu pada satu bentuk corong

merupakan tempat mengalirnya cairan logam yang memenuhi bidang segiempat. Tempat

memasukan cairan pada bagian yang membentuk corong.

Hasil dari logam yang dicor tersebut berupa lempengan tipis dengan kalimat-

kalimat asma‘ul husna yang timbul. Kalimat-kalimat tersebut dikelilingi bingkai empat

persegi dengan hiasan titik-titik seperti umumnya terdapat pada mata-uang logam. Bagian

yang memanjang, dapat dipotong dan dapat pula tidak. Saya belum dapat memastikan

fungsi dari benda yang dicetak tersebut. Berdasarkan perbandingan yang diketahui, benda

semacam ini berfungsi sebagai jimat dengan tulisan asma‘ul husna. Memang dalam

Page 21: Agama Dan Budaya

keyakinan Islam tidak dikenal jimat, tetapi dalam kenyataannya sebagian umat Islam

memandangnya sebagai jimat yang bertulisan asma‘ul husna.

Kalau ditelaah dari stempel yang beraksara Arab tersebut, kapal asing yang

tenggelam bersama kargonya di perairan Cirebon, diduga kapal yang berasal dari

pelabuhan Kufah atau Basra yang sekarang termasuk wilayah Republik Irak. Ini berarti

bahwa kapal bersama kargonya berasal dari sekitar abad ke-10 Masehi. Dalam

pelayarannya ke arah timur (mungkin ke Kambangputih, Tuban) di perairan Cirebon

tertimpa musibah dan tenggelam bersama kargonya. Dilihat dari posisinya di dasar laut,

kapal ini tenggelam karena kelebihan muatan. Bagian ruang nakhoda masih tampak utuh

(tidak terlalu porak poranda).

Artefak yang berbentuk tanduk pada bagian yang lurus berukuran panjang sekitar

10 cm. Bagian pangkalnya berbentuk segi delapan dengan garis tengah 4 cm. Bagian

yang melengkung diberi hiasan berupa ukir-ukiran sulur daun. Bagian pangkalnya

berbentuk helaian teratai. Berdasarkan perbandingan dengan benda yang sama dan

menjadi koleksi Museum Nasional, benda tersebut merupakan hulu sebuah pedang. Hulu

pedang koleksi Museum Nasional tersebut ditemukan di Cirebon dan berasal dari sekitar

abad ke-8-9 Masehi.

Ada kemungkinan lain artefak ini berfungsi sebagai hulu pedang (pendek).

Cirinya tampak pada sebuah lubang empat persegi panjang pada bagian pangkalnya.

Lubang empat persegi panjang ini berfungsi sebagai tempat untuk memasukan bilah

senjata tajam pada pegangan. Apabila difungsikan sebagaimana layaknya pedang,

pegangan ini terasa tidak nyaman. Mungkin saja senjata tajam dengan gagangnya dari

emas berhiasan ukiran ini berfungsi sebagai simbol status dari pemiliknya.

Benda lain yang diduga merupakan hulu pisau atau senjata tajam adalah benda dari

kristal yang berbentuk seperti cumi-cumi (sotong). Bagian untuk memasukan bilah

senjata berdenah bulat panjang. Pada foto tampak samar-samar lubang yang memanjang

dari ujung ke bagian tengah. Bagian atas (lihat foto) ditempatkan melekat pada telapak

tangan, sedangkan bagian bawah melekat pada jari-jari tangan.

Page 22: Agama Dan Budaya

Hampir seluruh artefak yang diangkut tersebut bukan produk salah satu kerajaan

di Nusantara. Ada yang berasal dari Timur Tengah dan India, dan ada pula yang berasal

dari Tiongkok. Meskipun demikian, artefak tersebut manfaatnya sangat besar bagi sejarah

kebudayaan Indonesia, khususnya sejarah masuknya Islam di Indonesia. Berdasarkan

sumber-sumber tertulis para sejarahwan berteori bahwa masuknya Islam di Indonesia

dibawa oleh kaum pedagang Islam. Dengan ditemukannya artefak-artefak yang berasal

dari negeri-negeri yang beragama Islam dalam konteksnya dengan barang dagangan, teori

tersebut semakin mendekati kebenaran. Cetakan beraksara Arab dengan menyebutkan

nama-nama Allah, merupakan bukti kuat bahwa Islam masuk melalui “perantara” para

pedagang Islam.

2.2 Jejak Persia

Hubungan perdagangan antara Persia dan Nusantara (pada waktu itu dengan

Śrīwijaya) berlangsung pada sekitar abad ke-7 Masehi. Pada waktu itu komoditi

perdagangan dari Persia berupa barang-barang yang terbuat dari kaca atau gelas yang

dikenal dengan sebutan Persian Glass. Benda-benda ini berbentuk vas, karaf, piala, dan

mangkuk. Dari Śrīwijaya yang salah satu pelabuhannya adalah Barus (Fansur), para

pedagang Persia dan Timur Tengah membawa kapur barus, kemenyan, dan getah damar.

Komoditi perdagangan ini sangat digemari di Timur Tengah, Persia, dan India sebagai

bahan wangi-wangian.

Persian Glass ditemukan di situs-situs arkeologi yang diduga merupakan bekas

pelabuhan kuna. Sebuah penelitian arkeologis di Situs Labo Tua, Barus berhasil

menemukan sejumlah besar temuan barang-barang kaca Persia dalam bentuk pecahan dan

utuhan. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, benda-benda itu mungkin sekarang di

tempat asalnya sudah tidak diproduksi lagi. Pelabuhan tempat barang tersebut dikapalkan

antara lain dari Siraf yang letaknya di pantai timur teluk Persia.

Masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara melahirkan kerajaan yang

bercorak Islam. Salah satu di antaranya adalah Kesultanan Samudera Pasai yang lahir

pada sekitar abad ke-13 Masehi dengan sultannya yang pertama adalah Sultan Malik as-

Page 23: Agama Dan Budaya

Saleh (mangkat 1297 Masehi). Jejak adanya kerajaan ini dapat ditelusuri dari tinggalan

budayanya yang berupa batu nisan Sultan Malik as-Saleh. Ada dua hal yang dapat

dicermati pada batu nisan ini dan merupakan indikator Persia. Aksara yang dipahatkan

pada batu nisan merupakan aksara shulus yang cirinya berbentuk segitiga pada bagian

ujung. Gaya aksara jenis ini berkembang di Persia sebagai suatu karyaseni kaligrafi.

Kalimat yang dipahatkan bernafaskan sufi, misalnya “Sesungguhnya dunia ini fana, dunia

ini tidaklah kekal, sesungguhnya dunia ini ibarat sarang laba-laba”.

Indikator Persia lain ditemukan pada batu nisan Na‘ina Husam al-Din berupa

kutipan syair yang ditulis penyair kenamaan Persia, Syaikh Muslih al-din Sa‘di (1193-

1292 Masehi). Ditulis dalam bahasa Persia dengan aksara Arab, merupakan satu-satunya

syair bahasa Persia yang ditemukan di Asia Tenggara. Batu nisan ini bentuknya indah

dengan hiasan pohon yang distilir (disamarkan) dan hiasan-hiasan kaligrafi yang

berisikan kutipan syair Persia dan kutipan al‘Quran II: 256 ayat Kursi.

2.3 Wali Sanga dan Tasawwuf

Wali Sanga di tanah Jawa dikenal sebagai sembilan orang Wali-Ullah yang

dianggap sebagai penyiar-penyiar terkemuka agama Islam. Mereka ini sengaja dengan

giat menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran Islam. Waktu penduduk tanah

Jawa masih berkepercayaan lama yang percaya dengan hal-hal gaib, para wali tersebut

dipercaya mempunyai kekuatan gaib, mempunyai kekuatan batin yang berlebih, dan

mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itulah mereka itu dipercaya sebagai pembawa dan

penyiar agama Islam ahli dalam tasawwuf.

Wali Sanga jumlahnya ada sembilan orang, yaitu Sunan Gunung Jati, Sunan

Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan

Muria, dan Syekh Siti Jenar. Kebanyakan dari gelar-gelar ini diambil dari nama tempat

mereka dimakamkan, misalnya Gunung Jati di dekat Cirebon, Drajat dekat Tuban, Muria

di lereng Gunung Muria, Kudus di Kudus dsb.

Dalam masa hidupnya mereka menyebarkan agama Islam di daerah tempatnya

bermukim. Di wilayahnya itu mereka juga membangun masjid sebagai tempat beribadah.

Page 24: Agama Dan Budaya

Di daerah sekitar kaki selatan Gunung Muria, banyak ditemukan tinggalan makam para

Wali dan masjid tinggalannya, yaitu Sunan Kalijaga, Sunan Muria, dan Sunan Kudus.

Masjid yang dibangun adalah Masjid Demak dan Masjid Kudus.

Walaupun di Indonesia dikenal mazhab Syafi‘i dan menganut Sunnah wal

Jamaah, namun di kalangan masyarakat di beberapa tempat di Nusantara masih

ditemukan jejak-jejak Syi‘ah yang semula dikenal pusatnya di Persia (Iran). Di Timur

Tengah dan di Persia, penganut Sunnah wal Jamaah dan penganut Syi‘ah tidak sepaham,

terutama dalam hal sumber hukum Islam (ijma= kesepakatan para alim ulama). Dalam

aliran ini sudah dimulai politisasi agama, terutama pada dasar hukum ijma. Kaum Syi‘ah

menganggap bahwa yang berhak menjadi Khalifah adalah yang masih keturunan Nabi

Muhammad SAW. Dengan adanya Ijma, dimungkinkan yang bukan keturunan Nabi

Muhammad SAW dapat menjadi Khalifah. Karena itulah yang kaum Syi‘ah menganggap

al-Qur‘an dan Hadist saja yang menjadi dasar hukum agama Islam, sedangkan Ijma dan

Qiyash (= perumpamaan) tidak perlu.

Runtuhnya kesultanan Syi‘ah tidak menyurutkan ajaran yang “terlanjur” ber-

kembang di masyarakat. Berbagai ritual Syi‘ah menjelma menjadi tradisi yang masih

ditemukan di beberapa daerah di Nusatara. Di Indonesia penganut Syi‘ah jumlahnya tidak

banyak (sekitar 1 juta), namun di beberapa tempat tradisi yang biasa dilakukan umat

Syi‘ah masih dapat ditemukan, dan secara kontinyu dilakukan oleh kelompok masyarakat

tersebut.

Dapat dikemukakan sebagai contoh tentang tradisi Syi‘ah, misalnya:Perayaan

Tabot, peringatan Hari Arbain atau hari wafatnya Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad)

oleh kaum Syiah dalam bentuk perayaan tabot (tabut). Tabot dibuat dari batang pisang

yang dihiasi bunga aneka warna, diarak ke pantai, diiringi teriakan “Hayya Husein hayya

Husein” yang artinya “Hidup Husein, hidup Husein”. Pada akhir upacara tabot ini

kemudian dilarung di laut lepas. Benda yang disebut tabot melambangkan keranda mayat.

Perayaan Tabot masih dilakukan masyarakat pada setiap tanggal 10 Muharram di

Bengkulu, Pariaman, dan Aceh.

Page 25: Agama Dan Budaya

Asyura di Jawa dalam sistem pertanggalan Jawa berubah menjadi bulan Suro,

sebutan untuk bulan Muharram (bulan wafatnya Husein). Peringatan Asyura belakangan

dikenal dengan istilah “Kasan Kusen”. Di Aceh, Asyura diistilahkan dengan Bulan Asan

Usen. Di Makassar Asyura dimaknai sebagai perayaan kemenangan Islam pada zaman

Nabi Muhammad SAW, sehingga masyarakat merayakannya dengan sukacita. Mereka

membuat bubur tujuh warna dari warna dasar merah, putih, dan hitam.

Peringatan Hari Arbain dirayakan juga di  Desa Marga Mukti, Pengalengan, Jawa Barat.

Ratusan umat Islam Syi‘ah memenuhi Masjid al-Amanah untuk melakukan nasyid, doa

persembahan kepada Imam Husein, dan ziarah Arbain, doa untuk keluarga Ali bin Abi

Thalib.

Debus. Adalah pertunjukan yang hubungannya erat dengan tarekat Rifa‘iyah.

Tarekat ini didirikan oleh Ahmad al-Rifa‘i yang wafat pada tahun 1182 Masehi. Tarekat

ini pandangannya lebih fanatik dengan ciri-ciri melakukan penyiksaan diri, mukjizat-

mukjizat seperti makan beling, berjalan di atas bara api, menyiramkan air keras (HCl) ke

tubuhnya, dan menusuk-nusuk tubuh dengan benda tajam. Penganut Rifa‘iyah dengan

debus-nya terdapat di Aceh, Kedah, Perak, Banten, Cirebon, dan Maluku bahkan sampai

masyarakat Melayu di Tanjung Harapan Afrika Selatan.

E.Kesusasteraan dan Bahasa

Karya-karya sastra bentuk prosa dari Persia sampai pula pengaruhnya kepada

kesusasteraan Indonesia, misalnya kitab Menak yang ditulis dalam bahasa dan aksara

Jawa yang semula ceritera dari Persia. Dalam bahasa Melayu menjadi Hikayat Amir

Hamzah. Kitab Menak pada dasarnya serupa dengan kitab Panji, perbedaannya terletak

pada tokoh-tokoh pemerannya. Ceritera-ceritera Menak dalam arti Hikayat Amir

Hamzah, biasanya ditampilkan pula dalam pertunjukan wayang golek yang konon

diciptakan oleh Sunan Kudus, wayang kulit diciptakan oleh Sunan Kalijaga, dan wayang

gedog diciptakan oleh Sunan Giri. Ceritera Menak jumlahnya tidak sedikit, misalnya

kitab Rengganis yang banyak digemari oleh masyarakat Sasak di Lombok dan

Palembang.

Page 26: Agama Dan Budaya

Hasil kesusastraan lain yang mendapat pengaruh Syi‘ah adalah Kissah

Muhammad Hanafiah, mengisahkan pertempuran Hassan dan Husein, anak-anak

Khalifah Ali, di medan perang Karbala. Ditulis dan diterjemahkan dalam bahasa Melayu

pada sekitar abad ke-15 Masehi.Hikayat Amir Hamzah, merupakan kisah roman

melegenda berdasarkan tokoh Hamza ibn Abd. Al-Mutalib, paman Nabi Muhammad

S.A.W. Kisah roman ini ditulis oleh Hamzah Fansuri, seorang ulama Melayu penganut

tasawwuf.Mir‘at al-Mu‘minin (Cerminan jiwa insan setia) yang ditulis oleh Shamsuddin

as-Sumatrani, seorang penasehat spiritual Sultan Iskandar Muda, murid dan penerus

Hamzah Fansuri.

Hamzah Fansuri adalah tokoh terpenting dalam perkembangan Islam dan

tasawwuf di Nusantara. Ia adalah orang pertama yang menuliskan seluruh aspek

fundamental doktrin sufi ke dalam bahasa Melayu. Ia juga berjasa dalam membawa

bahasa dan sastra Melayu ke tingkat baru yang lebih maju.

Bayan Budiman, cerita yang didongengkan oleh seekor burung nuri ini berasal

dari ceritera India Śukasaptati, yang isinya memuat pula dongeng-dongeng dari

pañcatantra. Di Persia ceritera itu menjadi Tuti-namĕ, dan di Nusantara disadur menjadi

Hikayat Bayan Budiman.

Pengaruh Persia dalam hal bahasa juga ada. Beberapa kosa kata, terutama yang

berhubungan dengan pelayaran dan perdagangan berasal dari kata-kata Persia, misalnya

nakhoda, bandar, shahbandar, dan gelar penguasa (raja atau sultan) dengan sebutan Shah

atau Syah.

F. Pertemuan Islam dan Budaya Nusantara

Sejak awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya.

Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan tentang

kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan Islam dengan

budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam sebagai konsespsi sosial

Page 27: Agama Dan Budaya

budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam sebagai konsepsi budaya ini oleh para

ahli sering disebut dengan great tradition (tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas

budaya disebut dengan little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau

juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.7

Tradisi besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau setidak-

tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar. Dalam ruang yang

lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan syariah-hukum Islam yang

menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali

juga disebut dengan center (pusat) yang dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).

Tradisi kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan yang

berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini mencakup unsur-unsur

yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi konsep atau norma, aktivitas

serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya yang dihasilkan masyarakat.

Dalam istilah lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian

melahirkan apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil

mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing, sehingga

dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di wilayah bangsa yang

membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius memiliki karakteristik antara

lain: mampu bertahan terhadap budaya luar; mempunyai kemampuan mengakomodasi

unsur-unsur budaya luar; mempunyai kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke

dalam budaya asli; dan memiliki kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada

perkembangan budaya selanjutnya.8

Sebagai suatu norma, aturan, maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran

Islam telah menjadi pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama

sekaligus telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local

yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam. Budaya-budaya

local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat warna-warna Islam.

Page 28: Agama Dan Budaya

Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”, antara budaya local dan

Islam.

Budaya-budaya local yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara

slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari).

Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di

Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu

India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru

memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam di dalamnya.tidak hanya

dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa.

Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan

andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.

Pada sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat dilihat misalnya:

bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu tebal, bertiang saka, dan

sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri arsitektur local. Sementara esensi Islam

terletak pada “ruh” fungsi masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan

paduraksa sebagai ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah

asing” pun tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui

pendirian bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs

Cardeel, dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang

Cina: Cek-ban Cut.9

Dalam perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten

kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi dengan

struktur-struktur yang mencirikan prototype  kraton yang bercorak Islam di Jawa,

sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan Banten dan

Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan internasional dengan

ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya terdiri dari penduduk setempat,

tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan orang-orang asing, antara lain Pakoja,

Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.

Page 29: Agama Dan Budaya

Dalam bidang kerukunan, Islam di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan

perlakuan yang sama terhadap umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten

misalnya telah memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain.

Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman Cina

dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa Banten.

Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar belakang agama

oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama lain pada masa itu, juga

dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di nusantara, terutama dalam aspek

perdagangan. Penguasa Islam di berbagai belahan nusantara telah menjalin hubungan

dagang dengan bangsa Cina, India dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka

berbeda keyakinan.

Aspek akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda

adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk sering

dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap keagamaan yang tinggi

dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini berasal dari unsur budaya local pra-

Islam kemudian dipadukan dengan unsur Islam seperti pada wawacan Ugin yang

mengisahkan manusia yang memiliki kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini

biasa disajikan pada acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati

kelahiran bayi ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti

kehamilan ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan

peringatan hari-hari besar nasional. 

Akulturasi Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di

Jawa didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat, Aceh,

Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus di daerah

Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat dalam acara-acara seperti

upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.

G. Eksklusivisme Islam menuju Inklusivisme

Page 30: Agama Dan Budaya

Jika dalam wilayah non-teologis atau sosial kemasyarakatan Islam begitu sangat

akomodatif terhadap budaya local, berbeda halnya dengan wilayah-wilayah lainnya,

terutama berkenaan dengan aspek teologis (aqidah). Dalam masalah teologis ini Islam

menarik garis demarkasi secara tegas. Islam tampil dengan wajah yang sangat eksklusif.

Penegasan Islam ini termaktub di dalam Alquran surah Al-Ikhlas, dan surah Al-Kafirun

yang tercermin dalam dua kalimah sahadah. Inilah doktrin sentral Islam yang kemudian

disebut dengan tauhid; pengakuan kemahakuasaan dan kemutlakan Tuhan serta

penegasan bahwa Muhammad nabi terakhir yang diutus Tuhan  bagi umat manusia di

muka bumi.

Klaim-klaim eksklusif Islam sebagaimana tercermin dalam doktrin teologis

tersebut tidak berarti umat Islam menjadi umat yang eksklusif yang menafikan

pluralisme. Karena Islam juga sangat menekankan inklusivisme, sebagaimana dinyatakan

dalam sumber-sumber primer Islam (misalnya Q.S al-Kafirun:6, Q.S.al-Hujarat:13) dan

sebagaimana pula yang telah dipraktikkan dalam sejarah awal pembentukan masyarakat

Islam.

Gambaran ideal tentang kerukunan antara umat Islam dan non-Islam sebagaimana

yang dicontohkan nabi dan yang kemudian menjadi model bagi tata laku kehidupan

bermasyarakat dan bernegara ini secara original dapat dilihat dalam butir-butir “Piagam

Madinah”. Dalam piagam ini hak-hak penganut agama Yahudi untuk hidup

berdampingan secara damai dengan umat Islam dinyataan secara tegas. Harkat dan

martabat kaumYahudipun kemudian terangkat dari sekedar klien kesukuan menjadi

warga negara yang sah sebagaimana yang dialami oleh kaum muslimin. Tidak ada

perbedaan perlakuan antara keduanya. Posisi demikian ini tidak pernah dimiliki kaum

Yahudi sejak invasi Babilonia pada 586 SM. Dalam bingkai negara Madinah inilah kaum

Yahudi dapat menjalankan ajaran agamanya sesuai dengan ajaran Taurat. Tidak hanya

itu, negara Madinah juga menjamin dan memikul tanggung jawab tentang ke-Yahudian

itu. Perlakuan negara Madinah yang demikian adil tanpa diskriminasi, khususnya

terhadap komunitas Yahudi ini mengantarkan peradaban Yahudi dengan berbagai

aspeknya mencapai masa “keemasannya” di bawah pemerintahan Islam.

Page 31: Agama Dan Budaya

Situasi dan kondisi yang istimewa tersebut juga dialami oleh kaum Nasrani,

terutama pasca “futuhat” Makkah. Kaum Kristen Najran Yaman mendatangi Nabi untuk

memperjelas posisi mereka vis-à-vis negara Islam. Delegasi mereka ini diterima dengan

baik oleh Nabi. Sebagian mereka kemudian memeluk agama Islam. sementara yang lain

tetap pada keyakinan agamanya di dalam kerangka negara Islam. Nabi kemudian

mengukuhkan posisi mereka sebagai ummah yang khas, sebagaimana halnya yang

dialami oleh kaum Yahudi.

Praktik kerukunan sebagaimana yang dicontohkan nabi Muhammad diteruskan

oleh para sahabat nabi sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khattab  ketika melakukan

ekspansi ke wilayah-wilayah Bizantium Kristen. Ketika wilayah ini ditaklukkan, Umar

mengadakan perjanjian dengan uskup setempat yang berisi tentang jaminan Islam akan

eksistensi Kristen di dalam kekuasaan Islam11.

Prinsip persamaan, keadilan dan kebebasan yang diberikan oleh penguasa Islam

kepada umat-umat lain ini yang kemudian menyebabkan umat Kristen tumbuh dan

berkembang secara luas. Bahkan pada abad-abad pertama hijriah, mayoritas penduduk di

dalam entitas politik Muslim adalah penganut Kisten. Situasi demikian tidak mereka

dapati pada masa-masa sebelumnya seperti pada masa kekuasaan Roma Kristen maupun

Bizantium Yunani.

Prinsip prinsip luhur kerukunan tersebut juga dapat dijumpai pada hampir di

wilayah-wilayah kekuasaan Islam lainnya, seperti di anak Benua India. Di wilayah ini

para penganut, Hindu dan Budha mendapat hak yang sama sebagaimana yang diperoleh

kaum Yahudi dan Nasrani. Ketika kekuasaan Islam berakhir, masyarakat tetap berada

pada keyakinan semula. Hal ini membuktikan bahwa prinsip toleransi atau kerukunan

tetap menjadi pegangan bagi para penguasa muslim.

Bahkan perkembangan peradaban Islam yang mencapai puncaknya pada masa

Abbasiyah antara lain disebabkan oleh pengembangan teologi kerukunan ini. Sukar

dibayangkan bahwa kemajuan ilmu dan peradaban Islam tanpa peran serta dari penganut

umat beragama lain. Dalam tahapan perkembangan kebudayaan Islam dengan segenap

Page 32: Agama Dan Budaya

aspeknya hampir selalu berpijak pada akar kerukunan. Perkembangan sains dan teknologi

pada masa Abbasiyah yang melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan diawali

dengan keterlibatan ahli-ahli dari non Islam yang diawali dengan proses penterjemahan

besar-besaran seperti dari Nasrani dan Persia.

Sementara itu dialog-dialog ataupun tukar fikiran antara kaum Nasrani dengan

umat Islam sebagaimana dicatat Annemarie Schimmel juga sudah mulai berjalan. Dialog-

dialog tersebut umumnya dilaksanakan di istana-istana para penguasa muslim, sekalipun

saling pengertian dan kerukunan timbal balik tidak berkembang sebagaimana yang

diharapkan. Hal ini disebabkan masih adanya prasangka-prasangka negatif dari masing-

masing pihak. Para teolog muslim misalnya mempelajari Perjanjian Lama dan Perjanjian

Baru untuk menyanggah Ketuhaan Yesus, dan penyalipan Yesus, serta menuduh kaum

Nasrani telah menyelewengkan kitab sucinya. Sementara di pihak lain, kaum Nasrani

mempelajari Islam hanya untuk membuktikan bahwa Islam hanyalah agama bidat dan

anti Kristus.

Hubungan antara Islam dan Kristen selama masa tersebut memang tidak selalu

berjalan dalam keadaan ko-eksistensi damai. Karena sejak abad IX M telah mulai tampak

benih-benih ketidakharmonisan itu. Hal ini disebabkan antara lain perkembangan sosial

politik di dalam kekuasaan Islam sendiri yang telah memperlihatkan perpecahan.

Ketidakstabilan dalam bidang politik ini pada gilirannya mengganggu hubungan Islam-

Kristen.

Perbedaan doktinal antara Kristen dan Islam tidak selalu mudah untuk

didamaikan,bahkan mungkin dianggap sebagai sesuatu yang musykil. Misalnya

perbedaan antara Islam dan Kristen tentang Ketuhanan Yesus, khususnya tentang

penyalibannya. Pihak Islam umumnya meyakini bahwa tidak ada penyaliban

terhadapYesus (nabi Isa). Sementara umat Kristiani penyaliban Yesus sebagai sesuatu

keyakinan yang sudah final. Demikian pula doktrin tentang kerasulan Muhammad. Umat

Islam meyakini bahwa Muhammad sebagai Nabi  terakhir, akan tetapi umat Kristen tidak

mengakui hal ini. Kedua agama ini masing-masing tidak mengakui adanya keselamatan

Page 33: Agama Dan Budaya

di luar agamanya. Inilah beberapa prinsip fundamental yang membedakan keduanya,

sehingga sulit untuk disatukan.

Selain perbedaan-perbedaan doctrinal secara teologis, perbedaan lain yang menempatkan

Islam sebagai ajaran eksklusif adalah ajaran Islam tentang larangan memakan hewan

tertentu.(Q.S.al-Maidah:3).Ajaran ini bagi Islam tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagai hal

yang mutlak yang harus dipatuhi. Sementara dalam agama lain, terutama Kristen

larangan tentang  memakan hewan tertentu (babi dan anjing) tidak ada. Di pihak lain

agama Hindu (India) ada larangan untuk memakan hewan tertentu, sementara Islam

justru menganjurkannya sebagai binatang kurban, misalnya binatang sapi.

Perbedaan merupakan realitas kehidupan manusia yang sengaja diciptakan Tuhan

agar umat manusia berlomba-lomba menjadi yang terbaik.(Q.S.49:13) Karena jika Tuhan

berkehendak, tentu ia akan menjadikan umat manusia menjadi satu umat saja tanpa

perbedaan satu sama lain.

Dengan demikian, agama dan budaya harus dapat menjadi instrumen bagi pengembangan

kebudayaan dan budaya seharusnya dapat berjalan seiring dalam rangka memperkuat

kerukunan antar umat beragama

Jadi kerukunan beragama bukanlah berarti penyatuan konsep-konsep teologis

sentral dari masing-masing agama, melainkan adanya saling memahami dan saling

pengertian terhadap adanya perbedaan-perbedaan doctrinal mendasar itu. Kerukunan

dalam arti penyatuan hanya bisa dimungkinkan pada wilayah-wilayah non teologis,

seperti sosial budaya dengan segenap unsur-unsur di dalamnya. Kerukunan dalam makna

inilah yang disebut dengan akulturasi budaya. Hal inilah yang dilakukan umat Islam pada

masa itu sehingga melahirkan kebudayaan yang sangat tinggi yang dikenal dengan zaman

keemasan Islam yang mencapai puncaknya pada masa Abbasiyah.

Page 34: Agama Dan Budaya

BAB III

STUDI KASUS

Keragaman budaya menjadi salah satu ciri utama yang dimiliki masyarakat

Indonesia. Dari zaman ketika kerajaan-kerajaan masih hadir menghidupi ruang sejarah

negeri ini hingga era modern seperti kini, keragaman itu tetap ada, bahkan nampak

semakin bertambah. Ketidaksamaan itu kini tidak lagi memonopoli perkotaan besar yang

biasanya menjadi tempat bermuaranya berbagai macam budaya dan agama. Di setiap

penjuru nusantara ini, telah diisi dengan berbagai rupa-rupa yang berbeda begitulah

Indonesia perjalanan panjang sebagai sebuah bangsa yang majemuk, membekaskan

sebuah citraan pada diri tubuh multikultur ini. Indonesia merupakan salah satu tempat

bersinggungan berbagai macam budaya dan agama. Proses asimilasi atau akulturasi

sering nampak dalam gerak-gerak praktis nuansa kehidupan yang ada di dalamnya. Sebut

saja misalnya budaya Islam Jawa.

Gerak hidup Islam di Jawa memiliki keunikan tersendiri disbanding dengan Islam

lainnya di negeri ini, meskipun hal ini tidak mutlak dapat dijadikan pijakan, namun

setidaknya Islam Jawa memiliki karakteristik tertentu di antara yang lain. Bahkan Gertz

seorang antropolog terkenal dunia sampai melakukan studi penelitian dalam waktu cukup

Page 35: Agama Dan Budaya

lama untuk membaca wajah Islam di Jawa. Dengan sampling masyarakat Islam

Mojokuto, Gertz berkesimpulan bahwa Islam Jawa memiliki tiga strata dalam praktiknya,

santri, abangan, dan priyayi. Meskipun banyak mendapat kritik, dalam beberapa hal saya

piker Gertz memang benar. Bukankah studi antropologi memang tidak pernah

menyatakan adanya objektifitas dalam hasil yang diperoleh. Yang kemungkinan bisa

muncul adalah intersubjektifitas dari sebuah fenomena. Begitulah kiranya Gertz yang

mampu membaca Islam Jawa dari sudut pandang yang tak tentu sama dengan kita, dan

lagi-lagi itu membawa kebenarannya sendiri.

Keunikan Islam Jawa menurut tesis Gertz menurut saya terletak pada gerak

spritualitas yang dilakukan oleh Golongan Abangan. Di akar budaya yang dimiliki oleh

golongan ini, kekerasan budaya tidaklah nampak begitu menonjol. Bahkan dalam

pertemuan antara Islam dan budaya Jawa dalam diri mereka terlihat begitu mesra. Baik

unsure Islam maupun Jawa, terlihat ada saling mengerti. Gerusan-gerusan yang mungkin

dapat dikatakan sebagai sinkretisme budaya ini berjalan pelan dan akhirnya menjadi

sinergi. Contoh menarik adalah peringatan tahun baru 1429 hijriah beberapa waktu lalu di

daerah Sragen, Jawa Tengah. Acara menarik itu dilakukan di komplek makam Pangeran

Samudera. Seorang tokoh keramat bagi masyarakat setempat. Sejarah pasti budaya

memohon berkah di tempat ini masih nampak kabur. Yang jelas budaya ini ada sebagai

bentuk akulturasi budaya Jawa dan Islam. Nuansa kedua unsure ini begitu kental,

bercampur memunculkan satu tradisi baru yang tidak meninggalkan akar rumput yang

dimilikinya.

Acara itu sendiri merupakan ritual pergantian selambu yang menyelubungi

makam Pangeran Samudera. Kegiatan rutin yang dilakukan setiap pergantian tahun baru

Jawa maupun Islam yang memang diperingati berbarengan Pergantian selambu makam

ini menjadi menarik karena serangkaian ceremonial yang ada di dalamnya. Setelah

selambu menyelubungi makam selama setahun dibuka, acara dilanjutkan ke Waduk

Kedung Ombo. Di waduk yang juga dianggap keramat ini, selambu tadi dicelupkan, satu

lambing penyucian diri seperti halnya tubuh manusia yang perlu dibersihkan. Ketika

selambu telah selesai dibasahi dengan air Waduk ini, kain inipun segera dibawa kembali

ke komplek makam. Biasanya para warga yang mengharapkan berkah, segera berebut

Page 36: Agama Dan Budaya

tetesan air selambu yang baru saja direndam tadi. Tetesan air itu biasanya digunakan

untuk mengusap wajah atau bagian tubuh lainnya.

Ketika sampai kembali ke komplek makam, acara berikut dilanjutkan dengan

ritual pembilasan. Air yang digunakan untuk membilas selambu ini, adalah air yang

berasal dari tujuh mata air disekitar komplek makam Pangeran Samudera. Tujuh air ini

ditempatkan di tujuh tong yang berbeda. Dan secara bergantian ketujuh tong tadi menjadi

tempat pembilasan selambu. Acara diakhiri dengan do’a yang bernafaskan Islam,

disinilah bentuk akulturasi itu muncul. Ritual semacam ini yang sebelum kedatangan

Islam diisi dengan do’a-do’a Hindu atau Budha, setelah Islam dating diganti dengan

do’a-do’a yang bersumber dari kitab suci Islam.

BAB IV

Page 37: Agama Dan Budaya

ANALISIS DAN KESIMPULAN

Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia membawa perubahan-perubahan dalam

berbagai aspek kehidupan masyarakat. Candi dan petirtaan tidak dibangun lagi, tetapi

kemudian muncul mesjid, surau, dan makam. System kasta di dalam masyarakat dihapus,

arca dewa-dewa serta bentuk-bentuk zoomorphic tidak lagi dibuat. Para seniman ukir

kemudian menekuni pembuatan kaligrafi, mengembangkan ragam hias flora dan

geometris, serta melahirkan ragam hias stiliran. Kota-kota mempunyai komponen dan

tata ruang baru, bahkan pada abad XVII M Sultan Agung memunculkan kalender Caka

dan Hijriah. Akan tetapi, pada sisi lain budaya tidak dapat dikotak-kotakkan, sehingga

terjadi pula kesinambungan-kesinambungan yang inovatif sifatnya. Masjid dan cunggup

makam mengambil bentuk atap tumpang, seperti mesjid Agung Demak, yang bentuk

dasarnya sudah dikenal pada masa sebelumnya sebagaimana tampak pada beberapa relief

candi. Demikian pula menara mesjid tempat muazin menyerukan azan, seperti menara di

Masjid Menara di Kudus. Bentuk dasarnya tidak jauh berbeda dari candi gaya Jawa

Timur yang langsing dan tinggi, tetapi detailnya berbeda. Bagian kepalanya berupa

bangunan terbuka, relung-relungnya dangkal karena tidak berisi arca, dan hiasan relief

diganti dengan tempelan piring porselin.

Bangunan makam Islam merupakan hal baru di Indnesia kala itu, karenanya

tercipta nisan, jirat, dan juga cungkub, dalam berbagai bentuk karya seni. Nisan makam-

makam tertua di Jawa, seperti makam Fatimah bin Maimun dan Makam Malik Ibrahim,

menurut penelitian merupakan benda yang diimpr dalam bentuk jadi, sebagaimana

tampak dari gaya tulisan Arab pada prasastinya dan jenis ornamentasi yang digunakan.

Namun, nisan makam-makam berikutnya dibuat di Indonesia oleh seniman-seniman

setempat. Hal ini antara lain tampak dari ragam hias yang digunakan, misalnya lengkung

kurawal, patra, dsb. Bahkan di pemakaman raja-raja Binamu di Jeneponto (Sulawesi

Selatan) di atas jirat ada patung orang yang dimakamkan. Ini adalah suatu hal yang tidak

pernah terjadi di tempat lain.

Pada tata kota, terutama kota kerajaan di jawa, juga dapat dilihat adanya perubahan dan

kesinambungan. Di civic centre kota-kota tersebut ada alun-alun, kraton, masjid agung,

Page 38: Agama Dan Budaya

dan pasar yang ditata menurut pola tertentu. Di sekelilingnya terdapat bangunan-

bangunan lain, serta pemukiman penduduk yang juga diatur berkelompok-kelompok

sesuai dengan jenis pekerjaan, asal, dan status social.

Di dalam perjalanannya, suatu kebudayaan memang lazim mengalami perubahan dan

perkembangan. Oleh karena itu, corak kebudayaan di suatu daerah berbeda-beda dari

jaman ke jaman. Perubahan itu terjadi karena ada kontak dengan kebudayaan lain, atau

dengan kata lain karena ada kekuatan dari luar. Hubungan antara para pendukung dua

kebudayaan yang berbeda dalam waktu yang lama mengakibatkan terjadinya akulturasi,

yang mencerminkan adanya pihak pemberi dan penerima. Di dalam proses itu terjadi

percampuran unsure-unsur kedua kebudayaan yang bertemu tersebut. Mula-mula unsure-

unsurnya masih dapat dikenali dengan mudah, tetapi lama-kelamaan akan muncul sifat-

sifat baru yang tidak ada dalam kebudayaan induknya. Rupanya proses seperti diuraikan

di atas berulang kali terjadi di Indonesia, termasuk ketika Islam masuk dan berkembang

di Indonesia. Pertemuan dan akulturasi antara kebudayaan Hindu-Budha, Prasejarah, dan

Islam (kemudian juga kebudayaan Barat) terjadi dalam jangka waktu yang panjang, dan

bertahap. Tidak dipungkiri bahwa selama itu tentu terjadi ketegangan serta konflik. Akan

tetapi hal tersebut adalah bagian dari proses menuju akulturasi. Factor pendukung

terjadinya akulturasi adalah kesetaraan serta kelenturan kebudayaan pemberi dan

penerima, dalam hal ini kebudayaan Islam dan pra-Islam. Salah satu contohnya adalah

bangunan mesjid. Akulturasi juga memicu kreativitas seniman, sehingga tercipta hasil-

hasil budaya baru yang sebelumnya belum pernah ada, juga way of life baru.

Setelah mengetahui bahwa terjadi akulturasi dan perubahan sehingga terbentuk

kebudayaan Indonesia-Islam, maka perlu dipikirkan bagaimana pengembangannya pada

masa kini dan masa mendatang. Dalam hal budaya materi memang harus dilakukan

pengembangan-pengembangan sesuai dengan kemajuan teknologi, supaya tidak terjadi

stagnasi, tetapi tanpa meninggalkan kearifan-kearifan yang sudah dihasilkan.

Hasil akulturasi menunjukkan bahwa Islam memperkaya kebudayaan yang sudah ada

dengan menunjukkan kesinambungan. Namun, tetap dengan cirri-ciri tersendiri. Hasil

akulturasi juga memperlihatkan adanya mata rantai-mata rantai dalam perkembangan

Page 39: Agama Dan Budaya

kebudayaan Indonesia. Supaya mata rantai-mata rantai tersebut tetap kelihatan nyata,

harus dilakukan pengelolaan yang terintegrasi atas warisan-warisan budaya Indonesia.

Hal ini perlu dikemukakan dan ditekankan, mengingat banyak warisan budaya yang

terancam keberadaannya, terutama karena kurangnya kepedulian dan pengertian

masyarakat Indonesia sendiri.

Hubungan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan Persia

(Iran) diduga sudah berlangsung sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah. Dari

hubungan perdagangan ini, kemudian berdampak pada pemikiran keagamaan terutama

sufisme atau tasawwuf dengan tarekat-tarekatnya. Selain itu berdampak juga pada unsur-

unsur kebudayaan. Beberapa tradisi Syi‘ah dan tarekatnya masih tetap dipelihara oleh

kelompok masyarakat tertentu di Indonesia. Dalam susastra dan bahasa beberapa karya

sastra yang berbau Sufi dan kosa kata Persia diadopsi pada karya sastra Melayu dan kosa

kata dalam bahasa Indonesia.

Mungkin masih banyak lagi unsur kebudayaan lainnya yang belum terekam dalam

kehidupan bangsa Indonesia yang mendapat pengaruh Persia. Semua ini memerlukan

penelitian dari berbagai disiplin ilmu-ilmu humaniora dan sosial, seperti arkeologi dan

sejarah, antropologi, sosiologi, agama, linguistik, dan kesusasteraan.

Ada satu hal yang patut kita syukuri dalam kehidupan beragama di Tanah Air

Indonesia. Di Tanah Air umat Islam dari berbagai aliran dapat hidup rukun. Keadaan

seperti ini sudah “tercipta” sejak masa awal kedatangan Islam di Nusantara. Para penyiar

agama melakukan penyampaian dengan cara persuasif dan menyesuaikan dengan budaya

setempat, misalnya Wali Sanga menyampaikan syiar Islam dengan cara menggunakan

sarana wayang. Tidak ada sedikitpun unsur pemaksaan. Sementara itu di belahan dunia

lain, kita lihat bagaimana Libanon, Irak, dan Afghanistan sampai hancur-hancuran

sebagai akibat pertikaian sesama umat Islam yang mungkin disebabkan karena adu

domba pihak lain.

Page 40: Agama Dan Budaya

DAFTAR PUSTAKA

Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, Yayasan Pembangunan: Jakarta

Azyumardi Azra, 1999, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam,

Paramadina: Jakarta

Hasan Muarif Ambary, 1998, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam

di Indonesia: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional: Jakarta

Koentjaraningrat, 1980, Pokok-Pokok Antropologi Sosial, Penerbitan Universitas:

Jakarta

Soerjanto Poespowardoyo, 1986, Pengertian Local Genius dan Relevansinya

Dalam Modernisasi, “Kepribadian Budaya Bangsa (local genius)”, Pustaka Jaya:

Jakarta

Geertz, Clifford, 1992, Kebudayaan dan Agama, Kanisius: Yogyakarta

Andito, 1998, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik,

Pustaka Hidayah: Bandung

Mulyono Sumardi, 1982, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, Pustaka

Sinar Harapan: Jakarta

Badri Yatim, 2006, Sejarah Peradaban Islam, Raja Grafindo Persada: Jakarta

Hamka, 1975, Sejarah Umat Islam IV, Bulan Bintang: Jakarta

1 Mulyono Sumardi, Penelitian Agama, Masalah dan Pemikiran, hal. 71

2 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, hlm. 170

3 Geertz, Clifford, Kebudayaan dan Agama, 1992, hlm. 13

4 Andito, Atas Nama Agama, Wacana Agama Dalam Dialog Bebas Konflik, 1998, hlm. 77-79

5 Tule, Philipus, Wilhelmus Julie, ed Agama-agama, Kerabat Dalam Semesta, hlm. 159.

6 Poerbatjaraka, R, Ng, 1952, Riwayat Indonesia I, hlm. 31-32

7 Azyumardi Azra, Konteks Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam, hal. 13.

Page 41: Agama Dan Budaya

8 Soejanto Poespowardojo, Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam modernisasi, kepribadian budaya bangsa (local genius), hal. 28

9 Hasan Muarif Ambary, Menemukan Peradaban Islam: Arkeologi dan Islam di Indonesia, hlm. 209.