afrizal malna
DESCRIPTION
kumpulan puisiTRANSCRIPT
kesepian di lantai 5 rumah sakit
Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa. Keningnya seperti mau
berkata, apakah aku sedang membuat dusta? Aku menghampirinya, dan mencium
bibirnya. Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu. Tetapi
keningnya mengatakan, bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh
kesepian.
Aku kembali mencium lelaki itu, seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki
itu berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta. Aku memeluk lelaki itu di lantai 5
sebuah rumah sakit. Lelaki itu melihat ambulan datang dan menerobos begitu saja
ke dalam jantungnya. Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.
Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu, lalu aku melihat tubuhku
melayang, batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku. Aku melihat
kesunyian meledak dari seragam seorang suster, lalu aku tidak melihat ketika tiba-
tiba aku tidak bisa lagi merasakan waktu: tuhan, jangan tinggalkan kesepian
berdiri sendiri di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu tidak tahu apakah
kematian itu sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.
Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian, dan
membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit. Ciumannya seperti
berkata, kesunyian itu, tidak pernah berdusta kepadamu. Aku lihat wajah lelaki
itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan. Perangkap tikus di bawah bantal.
Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu.
khotbah di bawah tiang listrik
Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku. Angin berhembus
seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri. Seorang lelaki, setelah
menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik. Suara lubang dari tubuhnya
terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam. Kenapa kau berada
di luar khotbah yang kau buat sendiri? Kenapa ada lendir yang menetes dari jam
11 malam?
Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri. Adalah
jam 11 malam yang baru menemukan lubang sebesar paku di telapak tangannya
sendiri, menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11
malam. Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari
tangannya. Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya,
khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik.
Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat? Benarkah aku bisa mendengar?
Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini? Benarkah
aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri, bukan dengan
kematian orang lain. Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu,
meninggalkan pakaianku di dalam mobil. Benarkah tubuhku telah menjadi lantai
dalam geraja itu.
antri uang di bank
Seseorang datang menemui punggungku. Membicarakan sesuatu, menghitung
sesuatu, seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai. Lalu ia meletakkan batu
es dalam botol mineralku.
batu dalam sepatu
Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro, selamat pagi Remy dan Aidil yang
marah. Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin, gelas kopi kemarin,
asbak dan kursi plastik kemarin. Kami masih menjaga sebuah batu yang kami
simpan dalam sepatu kami. Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung
kopi, di samping tong sampah. Rambut putih yang putus dari kepala kami, setelah
tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini.
Selamat pagi, waktu. Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami
dengan cerita-cerita kecil. Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami,
sebelum kami sempat terpulas, mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur.
Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami kembali berubah menjadi
kulit sapi. Waktu, seperti makhluk-makhluk asing yang beranak-pinak dalam
tubuh kami. Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara
menuliskannya: 12 selimut untuk teman-teman dari Makassar. 12 selimut untuk
teman-teman dari Padang dan Lampung.
Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin, ke Jalan Cikini
kemarin yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk
menunggu, percobaan menunggu untuk bisa melihat, percobaan melihat untuk
mengenal kedatanganmu tak terduga. Percobaan untuk tetap berada di hari
kemarin. Para gubernur datang dan berganti di kota ini, seperti permainan dalam
kota-kota kolonial. Membuat peti telur untuk puisi dan teater.
Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok. Dan batu
lebih dalam lagi, lebih keras lagi, antara sepatu dan kulit sapi. Batu—untuk semua
negeri yang terlalu curiga pada kebebasan, pada kemiskinan dan orang-orang yang
masih tetap berjalan dengan kakinya.
kartu identitas penduduk di china
untuk lan zhenghui
Aku sudah menyiapkan tas ransel, mesin pencukur jenggot, dan sebuah
kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan. Setiap terbangun, aku takut
ketinggalan pesawat. Atau menemukan diriku sedang bercinta dengan bahasa
China di kamar orang lain. Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok.
Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu. Hari Selasa masih menunggu
kemarin yang tidak datang. Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa.
Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku, untuk
mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku. Besok
masih besok sebelum kemarin. Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun dari
ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk, pendidikan dan
lapangan kerja. Orang-orang membuat rumah untuk berdusta. Menjeritkan
generasi yang berceceran di tangga eskalator. Dan menjeritkan lagi ketakutan
mereka di atas great wall. Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan
manusia dari tangan-tangan waktu.
Apakah kamu dari Indonesia? Tanya supir taksi. Ya jawabku. Seperti menjawab
suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta. Perempuan mereka yang
ditelanjangi dan diperkosa. Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam.
Sejarah yang mengambil tangan kita, dan membenamkannya kembali berulang ke
dalam luka yang sama. Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari
Indonesia?
Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin, melepaskan sisa-sisa
malam, lemak dan kembang api olimpiade. Seorang teman memesan topi Mao.
Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall, topi bulu musang dari
Mongol, teguran politik dari Tibet, air terjun manusia yang tumpah dari lubang
langit – hingga manajemen komunis yang mengatur penghasilan penduduk
sampai kamar hotelku.
Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu, yang kembali ke kertas bubur beras dan
tinta China. Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku.
Kamar yang Terbuat dari Laut
Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap
malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut.
Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah
kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang
Bajau itu, bercerita tentang …
Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit
Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku
harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan
demam. Dan pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu,
tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.
Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang
menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-
anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah
bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan
jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat
dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut
yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah
hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.
Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang
ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.
Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku
Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu
seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas
jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan
sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang
malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang
biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan
lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku
telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang
dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar
jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar
jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan
arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat
negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku
lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar
dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas
bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.
Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar
Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan
dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu,
seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.
Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher
anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus
mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti
anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya
seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.
Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan
sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya
pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah
membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak
percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau
melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya
berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.
Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar.
Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada
negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap
memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk
menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan,
punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api
ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.
Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah
melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam
rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas
pergi dan bekas air mata di telapak tangan.
Aku Baru Saja Mengepel Lantai
Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar
lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku
lihat tubuhmu telah menjadi genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi.
Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana
aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus
menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga
berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan
ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan
lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang
mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada
kehidupan ikan di dalam pikiranku.
Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya
bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku
memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku
tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk
memanggilmu.
Korek Api di Atas Bayanganmu
Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan
menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas
membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti
belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di
masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya,
memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak
belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan
bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya
sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan
korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak
mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian
mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan
korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan,
kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api
melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.
Sebutir Telur di Belakang Punggungku
Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di
belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari
ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli
coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan
ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai.
Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.
Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati
berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai
itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena orang terus
berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus
menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut,
itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan
sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah
tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.
Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan
untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih
seperti musim dingin.
Bau Air Mata di Bantal Tidurmu
Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang
berjalan, bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati.
Ada musang mengambil kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku
menari, tubuhku terbuat dari oli dan obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali
batang-batang pohon berjatuhan dari perutku. Gelondongan-gelondongan kayu,
pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu mengapung di sungai Mahakam,
diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu pagi-pagi sekali. Ibu
yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung Intan. Aku
juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah
sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang
berhudoq, menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang
membuat pusaran- pusaran air di Tering Seberang.
Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat
keluarga. Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam
baru datang, kalau batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-
mantranya. Burung-burung bangaulah yang telah membuat bulan, kata mereka,
ketika permukaan sungai masih bisa membaca kesedihan-kesedihanmu. Lalu
ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari tangannya.
Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau
setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji.
Kau curi hati anak-anak muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan
jatuh di atas permukaan sungai, seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku
tak pernah menari lagi.
Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut
tidur ibuku dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah
lagi menemukan hutan di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana
pun. Tetapi burung-burung terus bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku
kembali menari. Tarian yang membuat seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-
kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh dinding rumahmu. Bau air
mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.
BERI AKU KEKUASAAN
Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga
pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga
seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu,
dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu,
untuk berkuasa.
Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di
Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang
revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku
seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-
tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari
Jerman.
Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka
toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh
obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini,
dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku
waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.
Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu,
jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang
mengusung tubuhmu , pada setiap kata............
PELAYARAN TUHAN
Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan
aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi
terdaging di puncak puncak kediaman hening
mengeras dalam hujan hujan panjang
O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu
pada kapal kapal kaku
bisik bisik menjauh
kata yang mengeras dalam makna
aku mengental dalam tarian sinarmu
mabok lautanmu - samudra diri
melaju
melaju kaku
ke kota kota sepi
semua tak bicara dalam sujud abadi:
diri yang terusir darimu
jadi laut tak bertepi
Kamar yang Terbuat dari Laut
Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap
malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut.
Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah
kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang
Bajau itu, bercerita tentang …
Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit
Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku
harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan
demam. Dan pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu,
tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.
Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang
menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-
anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah
bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan
jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat
dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut
yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah
hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.
Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang
ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.
Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku
Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu
seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas
jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan
sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang
malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang
biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan
lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku
telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang
dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar
jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar
jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan
arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat
negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku
lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar
dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas
bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.
Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar
Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan
dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu,
seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.
Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher
anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus
mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti
anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya
seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.
Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan
sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya
pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah
membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak
percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau
melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya
berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.
Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar.
Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada
negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap
memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk
menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan,
punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api
ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.
Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah
melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam
rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas
pergi dan bekas air mata di telapak tangan.
Aku Baru Saja Mengepel Lantai
Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar
lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku
lihat tubuhmu telah menjadi genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi.
Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana
aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus
menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga
berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan
ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan
lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang
mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada
kehidupan ikan di dalam pikiranku.
Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya
bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku
memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku
tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk
memanggilmu.
Korek Api di Atas Bayanganmu
Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan
menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas
membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti
belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di
masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya,
memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak
belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan
bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya
sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan
korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak
mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian
mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan
korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan,
kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api
melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.
Sebutir Telur di Belakang Punggungku
Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di
belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari
ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli
coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan
ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai.
Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.
Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati
berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai
itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena orang terus
berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus
menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut,
itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan
sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah
tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.
Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan
untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih
seperti musim dingin.
Bau Air Mata di Bantal Tidurmu
Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang
berjalan, bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati.
Ada musang mengambil kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku
menari, tubuhku terbuat dari oli dan obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali
batang-batang pohon berjatuhan dari perutku. Gelondongan-gelondongan kayu,
pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu mengapung di sungai Mahakam,
diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu pagi-pagi sekali. Ibu
yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung Intan. Aku
juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah
sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang
berhudoq, menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang
membuat pusaran- pusaran air di Tering Seberang.
Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat
keluarga. Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam
baru datang, kalau batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-
mantranya. Burung-burung bangaulah yang telah membuat bulan, kata mereka,
ketika permukaan sungai masih bisa membaca kesedihan-kesedihanmu. Lalu
ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari tangannya.
Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau
setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji.
Kau curi hati anak-anak muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan
jatuh di atas permukaan sungai, seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku
tak pernah menari lagi.
Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut
tidur ibuku dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah
lagi menemukan hutan di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana
pun. Tetapi burung-burung terus bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku
kembali menari. Tarian yang membuat seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-
kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh dinding rumahmu. Bau air
mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.
Afrizal Malna lahir di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta. Kumpulan puisinya
antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim
Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).