afrizal malna

26
kesepian di lantai 5 rumah sakit Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa. Keningnya seperti mau berkata, apakah aku sedang membuat dusta? Aku menghampirinya, dan mencium bibirnya. Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu. Tetapi keningnya mengatakan, bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh kesepian. Aku kembali mencium lelaki itu, seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki itu berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta. Aku memeluk lelaki itu di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu melihat ambulan datang dan menerobos begitu saja ke dalam jantungnya. Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu. Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu, lalu aku melihat tubuhku melayang, batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku. Aku melihat kesunyian meledak dari seragam seorang suster, lalu aku tidak melihat ketika tiba-tiba aku tidak bisa lagi merasakan waktu: tuhan, jangan tinggalkan kesepian berdiri sendiri di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu tidak tahu apakah kematian itu sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta. Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian, dan membuat ladang bintang- bintang di kaca jendela rumah sakit. Ciumannya seperti

Upload: si-bob

Post on 10-Aug-2015

37 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

kumpulan puisi

TRANSCRIPT

Page 1: afrizal malna

kesepian di lantai 5 rumah sakit

Lelaki itu menatapku setelah selesai mengucapkan doa. Keningnya seperti mau

berkata, apakah aku sedang membuat dusta? Aku menghampirinya, dan mencium

bibirnya. Tubuh manusia itu sedih dan menyimpan bangkai masa lalu. Tetapi

keningnya mengatakan, bahuku sakit dan bisa merasakan ciuman dari seluruh

kesepian.

Aku kembali mencium lelaki itu, seperti jus tomat yang tidak tahu kenapa lelaki

itu berdoa dan sekaligus merasa telah berdusta. Aku memeluk lelaki itu di lantai 5

sebuah rumah sakit. Lelaki itu melihat ambulan datang dan menerobos begitu saja

ke dalam jantungnya. Dia tidak yakin apakah ambulan itu apakah jantung itu.

Lalu aku melompat dari lantai 5 rumah sakit itu, lalu aku melihat tubuhku

melayang, batang-batang rokok berhamburan dari saku bajuku. Aku melihat

kesunyian meledak dari seragam seorang suster, lalu aku tidak melihat ketika tiba-

tiba aku tidak bisa lagi merasakan waktu: tuhan, jangan tinggalkan kesepian

berdiri sendiri di lantai 5 sebuah rumah sakit. Lelaki itu tidak tahu apakah

kematian itu sebuah dusta tentang waktu dan tentang cinta.

Lelaki itu kembali menatapku setelah selesai mengucapkan kesunyian, dan

membuat ladang bintang-bintang di kaca jendela rumah sakit. Ciumannya seperti

berkata, kesunyian itu, tidak pernah berdusta kepadamu. Aku lihat wajah lelaki

itu, seperti selimut yang berbau obat-obatan. Perangkap tikus di bawah bantal.

Dan kau tahu, akulah tahanan dari luka-lukamu.

 

khotbah di bawah tiang listrik

Aku membiarkan malam membuat balok kayu di punggungku. Angin berhembus

seperti tiang gantungan yang menyeret talinya sendiri. Seorang lelaki, setelah

menutup pintu mobilnya, berlari ke tiang listrik. Suara lubang dari tubuhnya

terdengar mengerikan seperti suara sel penjara jam 11 malam. Kenapa kau berada

di luar khotbah yang kau buat sendiri? Kenapa ada lendir yang menetes dari jam

11 malam?

Page 2: afrizal malna

Lelaki itu adalah jam 11 malam yang meninggalkan khotbahnya sendiri. Adalah

jam 11 malam yang baru menemukan lubang sebesar paku di telapak tangannya

sendiri, menyeret kesunyian dari leher tuhan yang telah menciptakan lelaki jam 11

malam. Bekas kawat berduri di keningnya, dan sisa-sisa nikotin di jari-jari

tangannya. Lelaki itu membersihkan semua vagina untuk menemukan anaknya,

khotbah-khotbah yang selalu ditutup dengan hujan yang digantung di tiang listrik.

Benarkah, tuhan, benarkah aku bisa melihat? Benarkah aku bisa mendengar?

Benarkah, tuhan, benarkah aku sedang berdiri di bawah tiang listrik ini? Benarkah

aku telah menggantikan khotbah dengan kematianku sendiri, bukan dengan

kematian orang lain. Benarkah aku sedang berjalan meninggalkanmu,

meninggalkan pakaianku di dalam mobil. Benarkah tubuhku telah menjadi lantai

dalam geraja itu.

 

antri uang di bank

Seseorang datang menemui punggungku. Membicarakan sesuatu, menghitung

sesuatu, seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai. Lalu ia meletakkan batu

es dalam botol mineralku.

 

batu dalam sepatu

Selamat pagi Kamsudi, selamat pagi Busro, selamat pagi Remy dan Aidil yang

marah. Kami masih di sini, di warung sop buntut kemarin, gelas kopi kemarin,

asbak dan kursi plastik kemarin. Kami masih menjaga sebuah batu yang kami

simpan dalam sepatu kami. Kami memotret tubuh kami sendiri di depan warung

kopi, di samping tong sampah. Rambut putih yang putus dari kepala kami, setelah

tertawa tertahan, dan hari kemarin masih di sini.

Selamat pagi, waktu. Selamat pagi semua yang telah menggantikan malam kami

dengan cerita-cerita kecil. Waktu yang melapukkan atap kamar tidur kami,

Page 3: afrizal malna

sebelum kami sempat terpulas, mengintip mimpi dari tembok-tembok berjamur.

Hampir 50 tahun kami menunggu hingga sepatu kami kembali berubah menjadi

kulit sapi. Waktu, seperti makhluk-makhluk asing yang beranak-pinak dalam

tubuh kami. Puisi yang sampai sekarang tidak tahu bagaimana cara

menuliskannya: 12 selimut untuk teman-teman dari Makassar. 12 selimut untuk

teman-teman dari Padang dan Lampung.

Dan besok, besok kami akan datang lagi ke warung kemarin, ke Jalan Cikini

kemarin yang telah menjadikan tubuh kami sebagai percobaan waktu untuk

menunggu, percobaan menunggu untuk bisa melihat, percobaan melihat untuk

mengenal kedatanganmu tak terduga. Percobaan untuk tetap berada di hari

kemarin. Para gubernur datang dan berganti di kota ini, seperti permainan dalam

kota-kota kolonial. Membuat peti telur untuk puisi dan teater.

Kemarin. Kami—kami tidak pernah tahu tentang hari ini dan hari esok. Dan batu

lebih dalam lagi, lebih keras lagi, antara sepatu dan kulit sapi. Batu—untuk semua

negeri yang terlalu curiga pada kebebasan, pada kemiskinan dan orang-orang yang

masih tetap berjalan dengan kakinya.

 

kartu identitas penduduk di china

untuk lan zhenghui

Aku sudah menyiapkan tas ransel, mesin pencukur jenggot, dan sebuah

kebangsaan yang dipotret di kantor kecamatan. Setiap terbangun, aku takut

ketinggalan pesawat. Atau menemukan diriku sedang bercinta dengan bahasa

China di kamar orang lain. Hari Selasa kemarin tidak datang. Besok masih besok.

Kemarin entah ke mana sebelum hari Minggu. Hari Selasa masih menunggu

kemarin yang tidak datang. Hari Selasa bukan hari Selasa kalau belum hari Selasa.

Besok, hari Selasa mulai akan melubangi bayanganku dari punggungku, untuk

mendengar bahasa China dari sipit mataku hingga hardware komputerku. Besok

masih besok sebelum kemarin. Hari Selasa tidak menyimpan 100 tahun dari

ketakutan setiap generasi pada Kartu Identitas Penduduk, pendidikan dan

Page 4: afrizal malna

lapangan kerja. Orang-orang membuat rumah untuk berdusta. Menjeritkan

generasi yang berceceran di tangga eskalator. Dan menjeritkan lagi ketakutan

mereka di atas great wall. Sejarah seperti obeng dan gergaji yang menjauhkan

manusia dari tangan-tangan waktu.

Apakah kamu dari Indonesia? Tanya supir taksi. Ya jawabku. Seperti menjawab

suara jeritan dari toko-toko yang terbakar di Jakarta. Perempuan mereka yang

ditelanjangi dan diperkosa. Tubuh-tubuh yang berubah menjadi arang hitam.

Sejarah yang mengambil tangan kita, dan membenamkannya kembali berulang ke

dalam luka yang sama. Luka yang kembali bertanya: Apakah kamu dari

Indonesia?

Pagi itu kabel-kabel listrik di jalan masih menahan dingin, melepaskan sisa-sisa

malam, lemak dan kembang api olimpiade. Seorang teman memesan topi Mao.

Apa yang aku kenang tentang negeri ini dari great wall, topi bulu musang dari

Mongol, teguran politik dari Tibet, air terjun manusia yang tumpah dari lubang

langit – hingga manajemen komunis yang mengatur penghasilan penduduk

sampai kamar hotelku.

Zhenghui, aku mengagumi lukisanmu, yang kembali ke kertas bubur beras dan

tinta China. Angin menjelang musim dingin mulai menyapa leherku.

 

Kamar yang Terbuat dari Laut

Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap

malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut.

Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah

kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang

Bajau itu, bercerita tentang …

Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit

Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku

harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan

Page 5: afrizal malna

demam. Dan pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu,

tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.

Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang

menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-

anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah

bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan

jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat

dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut

yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah

hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.

Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang

ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.

Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku

Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu

seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas

jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan

sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang

malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang

biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan

lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku

telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang

dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar

jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar

jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan

arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat

negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku

lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar

dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas

bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.

Page 6: afrizal malna

Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar

Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan

dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu,

seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.

Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher

anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus

mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti

anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya

seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.

Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan

sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya

pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah

membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak

percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau

melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya

berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.

Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar.

Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada

negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap

memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk

menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan,

punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api

ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.

Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah

melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam

Page 7: afrizal malna

rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas

pergi dan bekas air mata di telapak tangan.

Aku Baru Saja Mengepel Lantai

Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar

lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku

lihat tubuhmu telah menjadi genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi.

Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana

aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus

menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga

berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan

ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan

lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang

mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada

kehidupan ikan di dalam pikiranku.

Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya

bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku

memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku

tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk

memanggilmu.

Korek Api di Atas Bayanganmu

Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan

menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas

membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti

belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di

masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya,

memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak

belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan

Page 8: afrizal malna

bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya

sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan

korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak

mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian

mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan

korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan,

kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api

melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.

Sebutir Telur di Belakang Punggungku

Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di

belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari

ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli

coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan

ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai.

Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.

Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati

berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai

itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena orang terus

berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus

menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut,

itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan

sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah

tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.

Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan

untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih

seperti musim dingin.

Bau Air Mata di Bantal Tidurmu

Page 9: afrizal malna

Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang

berjalan, bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati.

Ada musang mengambil kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku

menari, tubuhku terbuat dari oli dan obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali

batang-batang pohon berjatuhan dari perutku. Gelondongan-gelondongan kayu,

pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu mengapung di sungai Mahakam,

diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu pagi-pagi sekali. Ibu

yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung Intan. Aku

juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah

sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang

berhudoq, menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang

membuat pusaran- pusaran air di Tering Seberang.

Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat

keluarga. Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam

baru datang, kalau batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-

mantranya. Burung-burung bangaulah yang telah membuat bulan, kata mereka,

ketika permukaan sungai masih bisa membaca kesedihan-kesedihanmu. Lalu

ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari tangannya.

Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau

setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji.

Kau curi hati anak-anak muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan

jatuh di atas permukaan sungai, seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku

tak pernah menari lagi.

Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut

tidur ibuku dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah

lagi menemukan hutan di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana

pun. Tetapi burung-burung terus bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku

kembali menari. Tarian yang membuat seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-

kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh dinding rumahmu. Bau air

mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.

Page 10: afrizal malna

BERI AKU KEKUASAAN

Mereka pernah berjalan dalam taman itu, membuat wortel, semangka, juga

pepaya. tetapi aku buat juga ikan-ikan plastik, angsa-angsa kayu dari Bali, juga

seorang presiden dari boneka di Afrika. Kemana saja kau bawa kolonialisme itu,

dan kau beri nama : Jakarta 1945 yang terancam. Beri aku waktu, beri aku waktu,

untuk berkuasa.

Kau lihat juga tema-tema berlepasan, dari Pulo gadung ke Sukarno Hatta, atau di

Gambir : Jakarta 1957 yang risau. Sepatuku goyah di situ. Orang bicara tentang

revolusi, konfrontasi Malaysia, Amerika dan Inggris dibenci pula. Sejarahku

seperti anak-anak lahir, dari kapal kolonial yang terbakar. Mereka mencari tema-

tema pembebasan, tetapi bukan ayam goreng dari Amerika, atau sampah dari

Jerman.

Begitu saja aku pahami, seperti mendorong malam ke sebuah stasiun, membuka

toko, bank dan hotel di situ pula. Kini aku huni kota-kota dengan televisi, penuh

obat dan sikat gigi. Siapakah yang bisa membunuh ilmu pengetahuan siang ini,

dari orang-orang yang tak tergantikan dengan apapun. Beri aku waktu, beri aku

waktu, untuk kekuasaan. tetapi sepatuku goyah, menyimpan dirimu.

Mereka pernah masuki tema-tema itu, bendera terbakar, letusan di balik pintu,

jerit tangis anak-anak, dan dansa-dansi di malam hari. Lalu : Siapakah yang

mengusung tubuhmu , pada setiap kata............

PELAYARAN TUHAN

Dalam orang tak bertuhan dalam orang tak bertuhan

aku berlayar dalam tubuh tubuh sepi

terdaging di puncak puncak kediaman hening

mengeras dalam hujan hujan panjang

O, tuhan berlaut dalam keheningan nisu

pada kapal kapal kaku

Page 11: afrizal malna

bisik bisik menjauh

kata yang mengeras dalam makna

aku mengental dalam tarian sinarmu

mabok lautanmu - samudra diri

melaju

melaju kaku

ke kota kota sepi

semua tak bicara dalam sujud abadi:

diri yang terusir darimu

jadi laut tak bertepi

Kamar yang Terbuat dari Laut

Masa kanak-kanakmu terbuat dari sebuah pulau, Ram, di Tomia, Buton. Setiap

malam, di antara suara batukku, demam yang tinggi, aku mendengar nafas laut.

Laut yang tak punya listrik. Laut yang menyimpan masa kanak-kanakmu. Sebuah

kamar yang dihuni orang-orang Bajau. Mereka, laut, kamar dan orang-orang

Bajau itu, bercerita tentang …

Lidahku jatuh dekat ujung sepatuku. Laut memiliki sebuah kamar di atas bukit

Kahiyanga. Ikan-ikan dan batu karang juga punya sebuah kamar di situ. Aku

harus menggunakan lidahku sendiri untuk membukanya. Dan suara batuk, dan

demam. Dan pulau yang bising oleh pengendara-pengendara ojek. Kamarmu itu,

tempat bahasa melompat-lompat seperti ada api yang terus membakarnya.

Setiap malam, aku seperti mendengar nafas laut, ikan lumba-lumba yang sedang

menidurkan anaknya … wa ina wandiu diu … malam tak pernah memukuli anak-

anaknya di dasar laut. Malam tak pernah membuat dirimu terus menangis setelah

bangun tidur. Lalu pulaumu itu, Tomia, mengambil batuk dan demamku dengan

jari-jarinya yang terbuat dari tulang-tulang ikan, dengan jari-jarinya yang terbuat

dari darah ikan. Laut tempat waktu melukis seluruh warna di permukaannya. Laut

yang membuat kerudung ibumu seperti lempengan emas di senja hari. Sebuah

hempasan waktu yang telah menelan seluruh leherku.

Page 12: afrizal malna

Kamar yang terbuat dari laut itu kemudian bercerita … kau telah menjadi seorang

ibu, Ram, untuk masa kanak- kanakmu sendiri.

Ketukan-ketukan Kecil di Atas Dengkulku

Aku mengetuk-ngetuk dengkulku, ada tanah yang berjatuhan. Dengar. Tanah itu

seperti sebuah malam minggu yang mati. Seperti sungai yang berjalan di atas

jembatan. Dengkul tidak seperti kota yang kau bangun di mulut knalpot. Bukan

sebuah kebahagiaan yang berisik seperti kantong plastik, tempat orang membuang

malam dengan bercakap-cakap, dan mencari sedikit pelukan dari kesepian yang

biasa. Pelukan yang biasa. Keparat. Seperti piring yang pecah dan meninggalkan

lubang hitam di dalamnya. Lalu aku bangkit, dengkulku sudah tak ada. Dengkulku

telah pergi dari tubuhku. Tubuh tanpa dengkul itu pun aku buang. Aku buang

dekat jendela. Aku terkejut. Aku berada di mana kini? Di luar jendela atau di luar

jendela. Siapa yang telah dibuang? Aku yang telah membuang tubuhku ke luar

jendela, atau jendela itu yang telah membuangku? Bagaimana aku menentukan

arah tanpa bersama tubuhku? Lalu kucing berpesta di malam minggu. Membuat

negara dari piring-piring pecah. Aku lihat piring pecah di malam minggu. Aku

lihat malam minggu pecah di lubang hitam yang mulai berotot itu. Aku dengar

dengkulku menyembunyikan semuanya. Tentang tanah yang berjatuhan di atas

bantal tidurmu. Tentang korek api dalam tubuhmu.

Guru dan Murid Dilarang Masuk ke Dalam Sekolah yang Terbakar

Sebuah truk mengangkut bayangan, lebih banyak lagi bayangan dari sebuah jalan

dari sebuah truk. Bayangan itu seperti mengenalmu dan berusaha mengenalmu,

seperti ada tulisan yang tak bisa dihapus pada keningmu yang demam.

Manusia dilarang masuk dilarang berdiri di situ, dilarang memberi rantai di leher

Page 13: afrizal malna

anjing dan memasang perangkap tikus. Dan kau mulai mengerti kenapa harus

mengucapkan assalamualaikum untuk masuk ke negeri ini. Sebuah truk seperti

anakmu masuk sebagai pegawai Bank Dunia, dan seorang tentara keningnya

seperti stempel pada punggung sapi yang memasuki ruang jagal.

Aku tak percaya pada tanganku sendiri yang pagi ini telah membakar ratusan

sekolah di kotaku sendiri, sekolah untuk anak-anakku sendiri. Aku tak percaya

pada tanganku yang telah menyalakan api, aku tak percaya pada api yang telah

membakar sekolah itu, aku tak percaya pada sekolah yang terbakar itu, aku tak

percaya pada peristiwa yang telah membakar pikiranku, pergi dan tak mau

melihatmu lagi yang penuh dengan kawat berduri di wajahmu. Aku tak percaya

berita yang datang dari botol-botol kecap di warung soto dekat rumahmu.

Guru dan murid-murid dilarang masuk ke dalam sekolah yang terbakar.

Membiarkan lidah sendiri menjadi ular di depan cermin. Aku tak percaya pada

negeri di mana kata-kata telah dibakar. Tetapi guru dan murid-murid tetap

memasuki sekolah yang terbakar itu sambil membawa segenggam tanah untuk

menyelamatkan kapur tulis, dan tetap menulis bayangan sebuah kebebasan,

punggung dan kakinya dan lehernya. Dan papan tulis dari punggung api. Dan api

ingin melihat wajahmu, ingin melihat air mukamu, ingin melihat tatapan matamu.

Dan api ingin membuat sebuah kampung, seperti kampung yang telah

melahirkanmu. Dan api menuliskan kembali semua kalimat-kalimat ini dalam

rahim ibumu, sebelum anak-anak pergi ke jalan, melihat bayangan truk melintas

pergi dan bekas air mata di telapak tangan.

Aku Baru Saja Mengepel Lantai

Aku baru saja mengepel lantai. Aku berjalan dengan ujung jari-jari kakiku, agar

lantai yang baru dipel tidak kotor lagi oleh telapak kakiku. Di dalam kamar, aku

lihat tubuhmu telah menjadi genangan air yang dasarnya tak bisa kulihat lagi.

Bagaimana aku bisa memelukmu kalau tubuhmu telah menjadi air? Bagaimana

Page 14: afrizal malna

aku bisa menciummu kalau keningmu telah menjadi air? Aku pikir aku harus

menjadi ikan agar bisa berenang di dalamnya. Tapi aku bukan ikan. Ikan juga

berpikir dirinya bukan diriku. Ikan tidak bisa mengepel lantai dan berjalan dengan

ujung jari-jari kakinya. Aku juga berpikir aku tidak bisa dipancing seperti ikan

lalu dijual di pasar lalu digoreng. Ikan juga berpikir tidak terbayang ada yang

mengepel dan suara tangisan di dasar laut. Aku juga berpikir tidak mungkin ada

kehidupan ikan di dalam pikiranku.

Aku bukan laut. Aku yakin aku bukan laut. Ikan juga tak akan pernah percaya

bahwa akhir hidupnya ada dalam tubuhku. Tetapi aku tetap memelukmu. Lalu aku

memelukmu. Dan aku memelukmu pagi itu. Lalu aku tenggelam. Dan aku

tenggelam. Hati-hati, biarkan aku tenggelam. Biarkan aku menjadi air untuk

memanggilmu.

Korek Api di Atas Bayanganmu

Ada masa kanak-kanak yang masih mengenalmu, datang di suatu sore, dan

menuliskan sesuatu di atas bayang-bayangmu. Sebuah korek api bekas

membersihkan gigi. Masa kanak-kanak itu menulismu, rasanya perih. Seperti

belahan pada telur asin. Sore itu, aku masih memeluk lehermu: Sebuah kota di

masa liburan sekolah. Anak-anak belajar memelihara orang tua, memandikannya,

memberinya makan, dan menguburkannya bila mati aku menulisnya. Anak-anak

belajar membeli beras dan minyak goreng, dan menjadi orang tua dengan

bayangan yang terbuat dari korek api. Anak-anak melahirkan, aku menulisnya

sore itu ketika ombak datang membasahi lehermu. Anak-anak dari bayangan

korek api. Anak-anak sekolah, sekolah dari bayangan korek api. Anak-anak

mencari kerja, lapangan pekerjaan dari bayangan korek api. Lehermu kemudian

mengeras, seperti masa liburan sekolah yang telah berakhir. Seperti kemarahan

korek api terhadap kotamu. Seperti perjalanan korek api kembali ke hutan,

kembali ke batang-batang pinus, tempat api melahirkan ibumu. Tempat api

melahirkan sebuah sore. Dan aku menulis bayanganmu dengan tangan-tangan api.

Page 15: afrizal malna

Sebutir Telur di Belakang Punggungku

Kau telah menjadi air ketika melihat semua kejadian yang berlangsung di

belakang punggungmu. Kita menginap di sebuah hotel murah, dekat bandara. Hari

ini kau berulang tahun. Aku bergegas membersihkan kamar. Kau sibuk membeli

coklat, roti, jeruk dan minuman kaleng. Kau bilang kau sedang ngobrol dengan

ayahmu tentang seorang perempuan yang matanya terbuat dari sebuah pantai.

Tapi ayahmu bilang kau sedang tak di rumah.

Di kotamu aku seperti bisa melihat mataku sendiri dengan mataku. Hati-hati

berjalan di situ. Ada kepiting yang sedang menggali lubang di dalam pasir. Pantai

itu, seperti sepasang kelopak mata yang tak pernah terpejam. Karena orang terus

berdatangan, karena pesta belum berakhir. Kepiting dalam lubang itu terus

menggali, dan menemukan laut yang lain di punggungku. Menurutku bukan laut,

itu sebutir telur. Sebutir telur tempat ibuku dikuburkan. Tapi kukira itu juga bukan

sebutir telur, itu buah semangka yang tumbuh di lapangan bola. Aku tak pernah

tahu, siapa saja yang telah membakar diriku dalam pesta itu.

Lalu aku buat sebuah bantal, sebuah bantal dari waktu-waktu yang berjatuhan

untuk tidurmu. Pesta belum berakhir, hingga punggungku berwarna putih. Putih

seperti musim dingin.

Bau Air Mata di Bantal Tidurmu

Pagi-pagi sekali hutan telah bangun dan berjalan ke kamar hotelmu. Hutan yang

berjalan, bayangannya seperti jubah matahari. Disel telah mati. TV telah mati.

Ada musang mengambil kepala ayam. Anak-anak babi berebut tetek ibunya. Aku

menari, tubuhku terbuat dari oli dan obat tidur. Pagi-pagi sekali. Pagi-pagi sekali

batang-batang pohon berjatuhan dari perutku. Gelondongan-gelondongan kayu,

Page 16: afrizal malna

pagi-pagi sekali, gelondongan-gelondongan kayu mengapung di sungai Mahakam,

diseret oleh ribuan kapal yang seperti menyeret tubuh ibumu pagi-pagi sekali. Ibu

yang dilahirkan dari rahim Dayak Bahau. Namaku Lung Ding Lung Intan. Aku

juga dipanggil Daleq Devung dan Joan Ping. Bapak dan hinangku adalah

sepasang burung elang yang terbuat dari karung plastik. Malam ini aku sedang

berhudoq, menari hingga perahu-perahu melaju di permukaan pagi. Pagi yang

membuat pusaran- pusaran air di Tering Seberang.

Tarian yang mengajariku tentang sebuah goa di Matalibaq, tempat hutan membuat

keluarga. Matahari terbuat dari butiran-butiran jagung, kata mereka. Dan malam

baru datang, kalau batang-batang kayu besi telah mengucapkan mantra-

mantranya. Burung-burung bangaulah yang telah membuat bulan, kata mereka,

ketika permukaan sungai masih bisa membaca kesedihan-kesedihanmu. Lalu

ibuku menari kenyah. Burung-burung berhinggapan di jari-jari tangannya.

Pagi-pagi sekali, ribuan bangkai hutan diseret di atas sungai Mahakam. Kau

setubuhi juga anak-anak gadis kami dengan penismu yang terbuat dari gergaji.

Kau curi hati anak-anak muda kami lewat perahu bermotor. Lalu bayangan hutan

jatuh di atas permukaan sungai, seperti jatuhnya sebuah mahkota. Sejak itu ibuku

tak pernah menari lagi.

Pagi-pagi sekali aku ambil kembali sungai Mahakam, seperti mengambil selimut

tidur ibuku dan aku kembalikan ke dalam goa itu. Sejak itu, kau tak akan pernah

lagi menemukan hutan di mana pun, kau tak akan melihat lagi sungai di mana

pun. Tetapi burung-burung terus bernyanyi tentang hutan dan sungai agar ibuku

kembali menari. Tarian yang membuat seluruh isi rumahmu bergerak seperti kaki-

kaki hutan. Daun yang tiba-tiba tumbuh di seluruh dinding rumahmu. Bau air

mata yang masih tercium dari bantal tidurmu.

Afrizal Malna lahir di Jakarta dan kini tinggal di Yogyakarta. Kumpulan puisinya

antara lain Abad yang Berlari (1984), Arsitektur Hujan (1995), Dalam Rahim

Ibuku Tak Ada Anjing (2002), dan Teman-temanku dari Atap Bahasa (2008).