adaptasi petani jawa di kalimantan selatan …eprints.ulm.ac.id/226/1/6 adaptasi petani jawa di...

22
1 ADAPTASI PETANI JAWA DI KALIMANTAN SELATAN (STUDI KASUS DESA KOLAM-KANAN) I. PENDAHULUAN Pertanian hingga sekarang ini masih merupakan mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah ekosistem wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah pemukiman dan perindustrian, tetapi pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun Indonesia memasuki era industrialisasi, tetapi kemampuan pertanian yang tangguh masih akan terus diperlukan untuk mendukung industrialisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa peranan pembangunan pertanian pada tahun-tahun mendatang masih terus dibutuhkan. Berdasarkan tujuan pembangunan nasional jangka panjang, dalam pembangunan sektor industri terus mengalami perturnbuhan yang cepat. Keadaan ini tidak saja menyebabkan perluasan kawasan industri, sehingga pembangunan industri telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak di inginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian di Jawa. Selain itu, dewasa ini kian pesatnya proses alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian (industri dan pemukiman). Hal ini mendorong sebagian petani Jawa melakukan migrasi ke daerah-daerah lain di luar Jawa khususnya di daerah Kalimantan Selatan. Petani Jawa di Kalimantan Selatan harus beradaptasi dengan kondisi geografis setempat agar dapat bertahan hidup (survive). Penyesuaian diri terhadap lingkungan alam biasanya terwujud dalam berbagai pola pertanian yang mereka miliki. Dengan demikian, para petani di Kalimantan Selatan khususnya petani Jawa yang tinggal di desa Kolam-Kanan harus beradaptasi dan berjuang keras untuk menghadapi kondisi geografis setempat. Sejumlah penelitian mengenai adaptasi petani di propinsi Kalimantan Selatan telah banyak dilakukan, seperti penelitian ilmiah yang dilakukan oleh Prof. DR. H. Wahyu, M.S (2001) dalam memperoleh gelar Doktor dengan

Upload: doannhi

Post on 20-Feb-2018

222 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

1

ADAPTASI PETANI JAWA DI KALIMANTAN SELATAN

(STUDI KASUS DESA KOLAM-KANAN)

I. PENDAHULUAN

Pertanian hingga sekarang ini masih merupakan mata pencaharian

utama bagi masyarakat Indonesia. Sekalipun di berbagai daerah ekosistem

wilayahnya ada yang sudah berubah menjadi daerah pemukiman dan

perindustrian, tetapi pertanian masih tetap merupakan andalan utama bagi

kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, meskipun Indonesia memasuki era

industrialisasi, tetapi kemampuan pertanian yang tangguh masih akan terus

diperlukan untuk mendukung industrialisasi tersebut. Hal ini berarti bahwa

peranan pembangunan pertanian pada tahun-tahun mendatang masih terus

dibutuhkan.

Berdasarkan tujuan pembangunan nasional jangka panjang, dalam

pembangunan sektor industri terus mengalami perturnbuhan yang cepat.

Keadaan ini tidak saja menyebabkan perluasan kawasan industri, sehingga

pembangunan industri telah menimbulkan berbagai dampak yang tidak di

inginkan, antara lain berkurangnya lahan pertanian di Jawa. Selain itu,

dewasa ini kian pesatnya proses alih fungsi (konversi) lahan pertanian subur

menjadi lahan untuk kepentingan non-pertanian (industri dan pemukiman).

Hal ini mendorong sebagian petani Jawa melakukan migrasi ke daerah-daerah

lain di luar Jawa khususnya di daerah Kalimantan Selatan.

Petani Jawa di Kalimantan Selatan harus beradaptasi dengan kondisi

geografis setempat agar dapat bertahan hidup (survive). Penyesuaian diri

terhadap lingkungan alam biasanya terwujud dalam berbagai pola pertanian

yang mereka miliki. Dengan demikian, para petani di Kalimantan Selatan

khususnya petani Jawa yang tinggal di desa Kolam-Kanan harus beradaptasi

dan berjuang keras untuk menghadapi kondisi geografis setempat.

Sejumlah penelitian mengenai adaptasi petani di propinsi Kalimantan

Selatan telah banyak dilakukan, seperti penelitian ilmiah yang dilakukan oleh

Prof. DR. H. Wahyu, M.S (2001) dalam memperoleh gelar Doktor dengan

2

judul Kemampuan Adaptasi Petani Dalam Sistem Usaha Tani Sawah Pasang

Surut dan Sawah Irigasi di Kalimantan Selatan. Selain itu penelitian yang

sama juga dilakukan oleh Abdoelah (1990) tentang adaptasi yang dilakukan

oleh para transmigran dengan latar belakang budaya yang berbeda.

Proses penelitian mengenai adaptasi petani Jawa ini akan

dideskripsikan melalui proses adaptasi petani transmigran di daerah pasang

surut di Desa Kolam Kanan, propinsi Kalimantan Selatan. Dimana pola

pertanian yang diterapkan berbeda dengan pola pertanian yang biasa

dilakukan di daerah Jawa. Di daerah Kolam Kanan ini, para transmigran

dituntut dapat beradaptasi dengan kondisi geografis setempat. Hal tersebut

secara langsung juga berpengaruh terhadap aspek kehidupan, terutama dalam

aspek ekonomi masyarakatnya.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola umum stategi

adaptasi yang dilakukan oleh para petani transmigran dalam melakukan

usahanya agar dapat bertahan hidup (survive) dalam keadaan lingkungan yang

berbeda dengan keadaan lingkungan yang sebelumnya. Adapun bentuk-

bentuk adaptasi yang dimaksud meliputi strategi di bidang pertanian, strategi

di bidang pangan, dan strategi di bidang reproduksi. Penelitian ini tidak

membicarakan semua aspek kehidupan dan aktivitas ekonomi petani, tetapi

hanya membicarakan variabel yang erat hubungannya dengan kelangsungan

ekonomi dan proses adaptasi di daerah baru, sehingga dapat diketahui pola

adaptasi petani Jawa di Desa Kolam-Kanan.

Dari studi pendahuluan di lapangan pada kenyataannya bahwa petani

Jawa di Desa Kolam-Kanan sudah mampu melakukan adaptasi dengan pola-

pola pertanian yang ada di Desa Kolam-Kanan. Hal ini dapat terlihat dari

kemampuan petani Jawa dalam mengolah lahan pasang surut yang jauh

berbeda dengan lahan pertanian di Jawa yang, pada umumnya menggunakan

sistem irigasi.

Oleh karena itu penelitian ini panting dilakukan untuk mengetahui

strategi adaptasi petani Jawa di Kalimantan Selatan khususnya di Desa

Kolam-Kanan. Sebaliknya jika tidak dilakukan penelitian maka tidak akan

3

diketahui mengenai inovasi dan strategi-strategi adaptasi yang dilakukan

petani Jawa untuk dapat bertahan hidup. Jika demikian maka tidak

teridentifikasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani Jawa di Desa

Kolam-Kanan.

II. LANDASAN TEORI

A. Petani

Masyarakat petani merupakan terjemahan dari peasant society

(Redfield, 1985 dalam Wahyu, 2001). Dalam konteks historis, masyarakat

petani menurut Sanderson (1993:97) pertama muncul kira-kira 5000-6000

tahun yang lalu di Mesir dan Mesopotamia dan agak berkembang sedikit di

Cina dan India. Masyarakat petani belum lama terdapat dibanyak bagian

dunia. Sejak masyarakat petani muncul untuk pertama kalinya sampai

sekarang, mayoritas manusia hidup secara agraris.,

Sejauh menyangkut cara hidup, masyarakat sekarang ini telah

mengalami perubahan akibat perkembangan industrialisasi. Sebagai

perbandingan, petani dahulu menggunakan alat-alat seperti bajak dengan

memanfaatkan tenaga hewan sedang kini para petani telah menggunakan

teknologi seperti traktor.

Di Indonesia kehidupan masyarakat petani terpolarisasi diberbagai

tempat seperti di sawah, tegalan, ladang dan sebagainya. Perbedaan ekologi

pertanian tersebut akan menghasilkan pola pertanian yang berbeda. Sebagai

contoh pertanian di ladang, petani menanami lahan dengan cara "dua ladang"

atau "tiga ladang". Pada petani yang menanami lahan dengan cara "dua

ladang", mereka bekerja pada satu ladang selama satu tahun sambil

membiarkan ladang yang satunya kosong, kemudian pada tahun berikutnya

akan membalikkan proses yang sama. Berbeda dengan para petani yang

menggunakan "tiga ladang", satu ladang ditanami buah-buahan, ladang yang

lain ditanami sayur-sayuran, sementara ladang ketiga dibiarkan kosong pada

saat yang sama.

4

Tahun berikutnya tanah yang dibiarkan kosong tadi akan ditanami,

begitulah selanjutnya. Secara alamiah dengan menggilirkan bibit dan ladang,

dan hal ini merupakan usaha para petani untuk menjaga kesuburan tanah

setinggi mungkin. Berbeda dengan pertanian di sawah mereka menanami padi

atau palawija secara berkesinambungan (Wahyu, 2001).

Redfield (Wahyu, 2001:26) melukiskan bahwa "petani di masa lalu itu

mempunyai sikap yang intim dan hormat terhadap tanah serta pekerjaan

pertanian adalah baik". Tentang sikap yang intim dan menghormati tanah ini

dimaksudkan bahwa para petani tetap menjalankan pertanian meskipun secara

ekonomis kadang-kadang tidak menguntungkan. Sebaliknya pekerjaan diluar

pertanian seperti perdagangan tidak pernah menjadi sesuatu yang begitu

penting dan sungguh-sungguh seperti pertanian. Hal ini adalah suatu yang

begitu jelas bagi petani bahwa tanah adalah sebagai tempat petani bekerja.

Pekerjaan di atas tanah adalah sebagai keharusan ini memperlihatkan bahwa

petani benar-benar menekankankan pekerjaan di tanah untuk membangun

suatu kehidupan yang bermartabat bukan hanya sekedar mati-matian mencari

sesuap nasi.

Selanjutnya Redfield (Wahyu, 2001), selain melihat sikap petani

terhadap tanah juga terhadap kerja, ia menyatakan bahwa "cara hidup yang

terhormat bagi petani adalah bekerja keras". Para petani umumnya

menanamkan daya tahan dan bekerja keras kepada anak-anaknya atau kaum

muda. Bekerja keras ini telah menjadi tradisi yang berkembang luas

dilingkungan petani. Di samping itu orientasi petani dimasa lalu lebih

sederhana. Mereka tidak memamerkan seleranya atau menampakkan

emosinya. Jadi nilai-nilai kesederhanaan adalah sikap-sikap yang dipilih para

petani.

Pandangan Wolf (1983:19) "Petani di masa lalu umumnya hanya

menyediakan bagi kebutuhan keluarganya sendiri atau untuk menunaikan

kewajiban-kewajiban keluarga dan bukan untuk dipertukarkan dengan tujuan

memperoleh keuntungan. Dari sudut pandangan ini sistem pertanian yang

5

demikian itu disebut "subsistence" yaitu sistem pertanian dimana tujuan, dari

petani adalah untuk memenuhi keperluan hidupnya beserta keluarganya.

Menurut Scott (1981:7) petani subsistence ini menganut prinsip safety

first yaitu dahulukan selamat. Artinya petani yang bercocok tanam itu

berusaha menghindari kegagalan yang menghancurkan kehidupannya dan

bukan berusaha memperoleh keuntungan besar dengan mengambil resiko.

Tingkah laku itu oleh Scott disebut risk-averse yaitu mereka meminimumkan

kemungkinan subyektif dari kerugian maksimum.

Menurut Mubyarto, (1994: 22) bahwa "Hasil produksi pertanian pada

umumnya untuk keperluan sendiri sedangkan sarana produksi semuanya

dicukupi dari dalam keluarga sendiri, perdagangan hampir tidak ada". Dalam

istilah ekonomi pertanian usaha ini dinamakan usaha tani subsistence.

Sementara Wolf (1983: 2) menyebutnya peasent (petani pedesaan), mereka

mengelola usaha taninya untuk keperluan sendiri, bukan untuk bisnis.

B. Adaptasi

Menurut Sahlins (Wahyu, 2001), adaptasi merupakan suatu proses

dimana individu berusaha untuk memaksimalkan kesempatan hidupnya.

Sementara Barnet (Wahyu, 2001) mengatakan bahwa adaptasi merupakan

suatu proses saling hubungan antara manusia dengan lingkungan fisik, bahwa

individu tersebut berusaha untuk meyesuaikan tingkah lakunya sesuai dengan

tantangan lingkungan fisik.

Cara pandang demikian sebenarnya sejak lama telah digunakan oleh

Steward yang disebut Ekologi Budaya. Steward (1955:65) menjelaskan ada

hubungan timbal balik antara lingkungan fisik dan kebudayaan. Dasar teori

Steward ini telah ditindak lanjuti oleh studi Geertz dari etnik Jawa. Teori

Geertz (1976:10) menegaskan bahwa, "sifat adaptasi suatu komunitas

tergantung pada perjuangan keras atau kecerdikan mereka untuk mengalahkan

lingkungan alam".

Proses adaptasi yang digambarkan oleh Steward dapat terjadi di dalam

struktur masyarakat manapun juga. Dengan teori Steward di atas maka

6

permasalahan umum di sawah pasang surut dan sawah irigasi dapat diatasi

secara baik asal saja perintah-perintah yang menimbulkan permasalahan dapat

teratasi. Caranya para petani di sawah pasang surut dan sawah irigasi ini harus

lincah, gesit, mudah bergerak dan berjuang keras. Karena itu, faktor tradisi,

motivasi, karsa dan kemampuan dasar petani merupakan bagian dari

kebudayaan dikaji lebih mendalam.

Menurut Garna (Wahyu, 2001), "Tradisi itu terintegrasi dalam

kehidupan masyarakat, tidak mudah menyisihkannya, malah cenderung

berlanjut terus yang diperkaya oleh unsur-unsur budaya luar". Senada dengan

itu hasil penelitian Collier (Wahyu, 2001) menemukan bahwa "proyek

transmigrasi Purwosari Kalimantan Selatan yang disponsori oleh pemerintah

sukses karena transmigran menanam kelapa dan padi mengikuti sistem

pertanian tradisional orang Banjar". Seperti halnya faktor produksi, inovasi

pun merupakan motivasi yang sangat penting dalam mengantarkan petani

beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Menurut Me Clelland (Wahyu,

2001) "motivasi sebagai, faktor penentu keberhasilan seseorang". Soewardi

(1999:173) mengatakan "orang yang mempunyai motivasi yang tinggi, selalu

ditandai oleh daya juang yang kuat dan berdasarkan jerih payah". Sementara,

Denni (1997:7) mengatakan "seseorang yang mempunyai motivasi yang tinggi

mempunyai gairah hidup dan memiliki energi yang amat berlimpah dan kuat".

Semakna dengan pengertian di atas, Soewardi (1999:165) mengatakan

"seseorang yang mempunyai keinginan keras selalu ditandai oleh bekerja

keras atau pantang menyerah". Dengan karsa kuat inilah semua kelemahan

dan budaya santai dapat diatasi dan dengan karsa kuat ini pula petani dapat

mengelola kondisi lingkungannya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa sifat adaptasi tidak sepenuhnya

ditentukan oleh kesamaan kebudayaan, melainkan tergantung pada perjuangan

keras dan kecerdikan manusianya sendiri menyesuaikan diri dengan

lingkungannya. Penyesuaian diri dengan lingkungannya mempunyai nilai

untuk kelangsungan hidup. Makin besar kemampuan adaptasi, makin besar

pula kelangsungan hidupnya.

7

III. HASIL PENELITIAN

A. Identiflikasi Umum dan Lingkungan

Desa Kolam-Kanan adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan

Barambai, kabupaten Barito Kuala, propinsi Kalimantan Selatan. Desa

Kolam-Kanan berjarak ± 7 km dari ibu kota kabupaten dan berjarak ± 55 km

dari kota Banjarmasin. Untuk mencapai desa Kolam-Kanan dapat ditempuh

dengan sepeda motor dan taksi angkutan kota (angkot). Luas wilayah Desa

Kolam-Kanan yaitu ± 27 km2. Dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) 12 dan

Rukun Warga (RW) 3. Desa Kolam-Kanan berbatasan dengan Desa Karya

Tani di sebelah utara, Desa Sungai Raya di sebelah timur, Desa Barambai

Muara disebelah selatan, dan Desa Kolam-Kiri Dalam di sebelah Barat.

Jumlah penduduk Desa Kolam-Kanan menurut data pada tahun 2004

sebanyak 1.334 jiwa. Terdiri dari 688 laki-laki dan 646 perempuan. Mata

pencaharian utama penduduk transmigrasi Desa Kolam-Kanan adalah bertani.

Ada pula yang beternak, dengan rincian ternak sapi 22 orang, ternak kambing

10 orang, ternak ayam 300 orang, ternak kerbau 4 orang, ternak, dan ternak

itik 15 orang. Mayoritas agama yang dianut adalah Islam dan beberapa yang

menganut agama kristen. Terdapat fasilitas pendidikan yaitu Sekolah Dasar

Negeri Barambai, fasilitas kesehatan yaitu Puskesmas Pembantu, dan fasilitas

beribadah yaitu mesjid.

Pola pemukiman penduduk mengikuti alur jalan dan sungai-sungai

kecil serta terdapat gang-gang dengan kondisi jalan sebagian dari batu bata

dan sebagian lagi masih berupa jalan tanah. Rumah-rumah penduduk yang ada

di Kolam-Kanan menunjukkan tingkat status sosial meraka. Sebagian Rumah

penduduk terbuat dari kayu beratap sirap, genteng, dan seng. Fasilitas MCK

(Mandi, Cuci, Kakus), dilakukan di parit-parit yang ada di depan rumah.

Sedangkan kakus, telah banyak dimiliki di rumah masing-masing, hanya

sebagian kecil saja yang masih menggunakan jamban.

Proyek transmigrasi ini khususnya transmigran asal Jawa dimulai pada

tahun 1971. Ini merupakan transmigrasi gelombang kedua, sedangkan

gelombang pertama dimulai tahun 1970 yaitu khusus untuk trasmigran dari

8

Bali. Selanjutnya gelombang ketiga tahun 1973 transmigran dari Jawa.

Mereka ditempatkan di Desa Barambai yang bersebelahan dengan desa

Kolam-Kanan.

Petani transmigran yang ada di Desa Kolam Kanan ini pada umumnya

berasal dari pulau Jawa, yaitu dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Transmigran

dari Jawa Tengah berasal dari Tegal, Purwodadi, Grobokan, Bondowoso,

Cilacap, Semarang, dan lain-lain. Transmigran yang berasal dari Jawa Timur

berasal dari daerah Jember, Jombang, Probolinggo dan lain-lain. Pada awalnya

transmigran yang datang ke daerah ini berjumlah 50 KK (Kepala Keluarga).

Para petani transmigran Jawa setiap KK mendapatkan tanah sebanyak

2 ha. Dengan rincian, 13/4 ha lahan pertanian dan ¼ ha pekarangan rumah.

Selain itu petani transmigran juga mendapatkan 1 unit rumah beserta

perabotan rumah tangga seperti piring, cangkir, panci, sendok dan lain-lain.

Pada tahun-tahun awal mulai bertani, para transmigran memproduksi

padi rata-rata 200 kaleng per hektar. Hal tersebut berlangsung selama ± 27

tahun. Tetapi produksi tersebut berbeda antara petani yang satu dengan yang

lainnya, tergantung bagaimana keuletan petani tersebut mengelola sawahnya.

Produksi padi sempat mendapat kendala serius. Dimana pada tahun 1998

terjadi kebakaran besar yang menghanguskan areal persawahan, hingga

mempengaruhi tingkat kesuburan tanah, terutama meningkatnya kadar

keasaman tanah, sehingga areal persawahan sulit ditanami padi dan sawah

tidak dapat berproduksi secara maksimal untuk beberapa tahun, dan

menyebabkan paceklik.

Daerah Kolam-Kanan termasuk tipologi sawah pasang surut, maka

kualitas tanah semakin lama semakin menurun jika tidak diolah dengan baik

dan benar. Keadaan ini merupakan faktor utama yang menyebabkan

perpindahan para transmigran Jawa ke daerah lain, seperti daerah Pelaihari,

Binuang, Sebamban, Balikpapan, dan Kalimantan Tengah. Bahkan ada yang

kembali pulang ke daerah asal di Jawa.

Setelah ± 5 tahun pasca kebakaran, produksi sawah berangsur-angsur

kembali normal. Walaupun tidak semaksimal pads awal bertani, tetapi

9

setidaknya hasil panen mampu mencukupi kebutuhan sandang dan pangan

para transmigran. Para transmigran yang masih bertahan di Desa Kolam-

Kanan telah berupaya menciptakan Strategi adaptasi untuk bisa bertahan

hidup dengan mengolah sawah yang diselingi tanaman lain, bahkan ada yang

alih profesi menjadi tukang bangunan, petugas kebersihan kota, dan buruh.

Adapun para transmigran yang masih dapat bertahan di daerah ini

hanya sebanyak 45 kepala keluarga dan bahkan telah mempunyai anak yang

telah berkeluarga sehingga hal tesebut mempengaruhi jumlah penduduk

daerah tersebut. Secara ekonomi, kehidupan para transmigran dalam beberapa

tahun ini dapat dikatakan meningkat dari pada beberapa tahun setelah

kebakaran, hal ini dapat dilihat dari hasil pertanian yang mereka peroleh yaitu

sekitar 200-300 kaleng per hektar, dibandingkan pada saat pasca kebakaran

yaitu sekitar 5 kaleng per hektar.

B. Strategi Adaptasi Petani Transmigran di Daerah Kolam-Kanan

1. Strategi di Bidang Pertanian

a. Pembukaan Areal Sawah

Para transmigran datang ke daerah Kolam-Kanan tersebut pada tahun 1971

dengan mengikuti gelombang ke-2, mereka mendapat bagian masing-masing 2

hektar tanah yang terdiri dari rumah yaitu 1/4 hektar dan sisanya berupa lahan

pertanian. Sebelum pengolahan sawah dilakukan oleh para petani, pemerintah

setempat telah melakukan sosialisasi mengenai sistem pengolahan tanah di

Kolam-Kanan selain dari mencontoh cara petani Banjar dalam mengelola

tanah. Dari hal tersebut, dapat terlihat adanya hubungan baik antara

petani Jawa dengan petani Banjar di mana mereka dapat Baling bertukar

pikiran mengenai pengelolaan sawah.

Dalam pembukaan sawah baru, ada beberapa hal yang

dilakukan oleh para petani Jawa yaitu pembersihan lahan, penyemaian

benih, penanaman benih, pengaturan air dan pembersihan rumput.

Pada tahap pembersihan lahan, mereka menggunakan tajak dan

traktor untuk membersihkan lahan persawahan dari rumput. Tajak

10

merupakan salah satu alat tebas yang berbentuk seperti parang yang

menyerupai bulan sabit. Pekerjaan membersihkan lahan ini dikerjakan

sendiri dan dibantu oleh anggota keluarga yang lain, namun ada pula

yang mempekerjakan orang lain untuk membersihkan lahan pertanian

tersebut, yang dibayar dengan sejumlah uang ataupun dengan keperluan

rumah tangga seperti beras, gula dan bahan pangan lainnya.

Sebagian besar petani Jawa menggunakan tajak untuk

membersihkan rumput seperti halnya para petani Banjar, sedangkan

traktor hanya sebagian dari petani Jawa yang menggunakan, yaitu

bagi mereka yang mempunyai lahan pertanian cukup luas dan

mempunyai tingkat ekonomi yang lebih. Para petani Jawa juga

beranggapan bahwa dengan menggunakan tajak, tanah yang diolah lebih

baik dari pada menggunakan traktor karena rumput-rumput yang selesai

ditebas akan dibiarkan membusuk di atas tanah dan ini akan bermanfaat

bagi kesuburan tanah. Menurut Bapak Sujono (67 tahun) salah satu

petani transmigran di Desa Kolam-Kanan, "Menggunakan tajak akan

lebih baik dari pada traktor karena rumput akan tumbuh lebih lama

karena rumput dibiarkan membusuk di atas tanah dan biji dari rumput

tersebut mengalami penghambatan pertumbuhan yang disebabkan oleh

daun-daun yang menumpuk. Sedangkan jika menggunakan traktor, biji

akan tertinggal di tanah dan menyebabkan rumput baru tumbuh dengan

cepat".

Adapun tahap selanjutnya adalah penyemaian benih padi di

sawah. Biasanya benih yang digunakan jenis siam adus (siam unus).

Benih ini dipilih karena cocok dengan jenis tanah yang akan ditanami serta

mudah dalam penanganannya. Dari petani sendiri, sejauh ini tidak ada

keinginan untuk mengganti jenis bibit yang dipakai dengan jenis bibit

lainnya, walaupun jenis tersebut hanya dapat dipanen setahun sekali.

Selain alasan di atas, terdapat ketakutan tersendiri dari para petani jika

menggunakan bibit lain, seperti gagal panen, serangan hama tikus jika

panen tidak serempak, dan minimnya pengetahuan para petani

11

transmigran terhadap penggunaan bibit selain siam adus.

Langkah pertama dalam tahap penyemaian benih adalah benih

dibersihkan serta dipilah antara benih yang baik dan berpotensi unggul

dengan yang tidak. Kedua, bibit yang telah dibersihkan dan dipilah

kemudian dimasukkan dalam lubang yang dibuat dengan tugal (tongkat

kayu panjang yang runcing). Dalam satu lubang terdapat berpuluh-puluh

benih. Benih tersebut akan tumbuh menjadi wiwitan dalam jangka waktu

± 1,5 bulan untuk dapat di tanam di areal persawahan yang telah disiapkan

sebelumnya.

Setelah wiwitan siap, biasanya terdapat sebuah ritual sebelum

menanam wiwitan di areal persawahan, ritual tersebut dinamakan Co'

Bakal. Adapun lingkup ritual ini hanya diikuti oleh keluarga inti Baja

dan ritual ini hanya dilaksanakan oleh sebagian kecil dari para petani

transmigran di Desa Kolam-Kanan. Ritual Co' Bakal ini berisi

pemanjatan do'a-do'a selamat dan sesajen yang diletakkan di pojok areal

persawahan. Adapun isi dari sesajen Co' Bakal tersebut adalah kembang

kenanga, bumbu dapur (seperti bawang, merica, ketumbar, dan lain-lain),

nyiur yang sudah diparut, nasi ketan, telur ayam, dan gula merah, yang

dibungkus dengan daun pisang membentuk mangkuk. Tujuan dari ritual

Co' Bakal ini adalah untuk meminta ijin kepada para leluhur terdahulu

sebagai pemilik tanah yang akan ditanami. Di mana terdapat keyakinan

supaya padi yang ditanam akan babarkat, yang artinya jika segala

sesuatunya dimulai dengan kebaikan maka hasil yang diperoleh akan

baik pula.

Selanjutnya, setelah wiwitan ditanam, kemudian masuk dalam

tahapan pemeliharaan. Dimulai dari pemberian pupuk dengan jenis urea

dan TSP yang dicampur dengan kapur untuk menetralisir kadar keasaman

tanah. Pemberian pupuk dan kapur dilakukan 2 (dua) kali hingga padi siap

dipanen.

Tidak hanya padi yang ditanam di areal persawahan, para petani

juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran seperti terong, cabe

12

rawit, singkong, kacang tanah, keladi, pisang, jagung dan jeruk. Dengan

memanfaatkan galangan sawah sebagai tempat menanam tanaman

palawija tersebut. Hasil dari tanaman sampingan itu ada yang dijual dan

untuk konsumsi sendiri.

Selain itu para petani transmigran juga beternak, kebanyakan dari

mereka memelihara binatang ternak seperti ayam dan sapi. Walau

kecil-kecilan, tetapi dari pemeliharaan ternak tersebut dapat

menambah penghasilan dari para petani. Dalam hal ini ternak tersebut

oleh para petani untuk dikonsumsi sendiri dan sebagian dijual di pasar.

Tidak sedikit ditemui lahan persawahan berubah fungsi menjadi

lahan perkebunan. seperti perkebunan jeruk dan rambutan. Dimana kedua

tanaman ini menjadi pilihan bagi para petani transmigran selain

mengolah sawah. Adapun yang menjadi alasan mengubah persawahan

menjadi perkebunan, adalah karena menurunnya tingkat kesuburan dan

tingginya kadar keasaman tanah pasta kebakaran. Dimana pada saat itu

para petani transmigran masih belum dapat mengutusi permasalahan tersebut,

sehingga mereka berinisiatif mengolah areal persawahan yang pada

awalnya diperuntukkan bagi tanaman padi menjadi lahan perkebunan

jeruk dan rambutan. Hal tersebut dimaksudkan agar mereka dapat bertahan

hidup dan lahan tidak kosong.

2. Strategi di Bidang Pangan

a. Strategi Petani Jawa Memasuki Musim Panen

Setiap proses pertanian, baik pertanian dengan panen satu kali

setahun, pertanian dengan dua kali panen setahun atau pertanian dengan

tiga kali panen setahun seperti pertanian di pulau Jawa tentunya selalu

menanti musim panen. Pertanian di Desa Kolam-Kanan umumnya

musim panen selalu jatuh pada bulan Agustus atau Nopember.

Pada saat panen petani biasanya melibatkan seluruh anggota

keluarganya yang dianggap mampu untuk membantu memanen padi.

13

Tetapi jika tenaga kerja terbatas maka mereka mencari tenaga kerja orang

lain. Ini memperlihatkan bahwa petani Jawa memiliki rasa alturism

(rasa berbakti) antara anggota keluarganya. Selain itu pada musim

panen petani Jawa juga melibatkan orang lain sehingga dapat membantu

pendapatan mereka.

Pada saat memasuki musim panen, umumnya banyak anggota

masyarakat baik yang berasal dari desa Kolam-Kanan sendiri maupun

masyarakat dari desa lainnya yang menawarkan jasa untuk memanen

padi. Pekerjaan mereka ini umumnya disebut maambil upah (bekerja di

sawah dengan mengharapkan upah).

Standar upah untuk pekerja upahan tergantung pada

kesepakatan antara pemilik sawah dengan paambil upahan. Ada yang

membayar sistem harian dan ada pula yang membayar dengan sistem

borongan. Sistem harian biasanya ±Rp 25.000,00 perhari. Sedangkan

untuk sistem borongan biasanya ±Rp. 50.000,00 perorang.

Hasil panen yang mereka dapatkan pada saat kondisi tanah

subur biasanya sekitar 300 kaleng per 2 ha sawah. Hasil panen

sebagian digunakan untuk membayar hutang pupuk pada saat proses

penanaman dan sebagian lagi digunakan untuk konsumsi keluarga.

Hasil yang digunakan untuk konsumsi biasanya sudah mereka

perkirakan untuk konsumsi satu tahun, umumnya 1/3 dari hasil panen atau

100 kaleng.

Jenis padi yang dipanen berupa siam adus (siam unus). padi jenis

ini di pilih karena mutunya paling baik dan cocok dengan kondisi tanah

di desa Kolam-Kanan. Selain itu.jenis ini tergolong mahal karena

rasanya yang enak dan lembut dibandingkan dengan jenis lainnya.

Untuk sate blek (sekitar empat liter) beras jenis siam unus ini biasanya

dihargai sebesar Rp. 35.000,-. Oleh karena itu banyak para petani

Jawa di Desa Kolam-Kanan menanam padi jenis ini.

Pada saat musim panen padi jenis slam adus ini menjadi

konsumsi utama bagi petani Jawa di desa Kolam-Kanan. Untuk

14

lauknya sendiri biasanya mereka dapatkan dengan membelinya di

pasar dan ada juga yang membeli dari pedagang keliling. Untuk

sayurannya mereka biasanya mengambil dari kebun sendiri yang

terletak di samping dan pekarangan rumah atau di galangan-galangan

sawah, hanya sayur-sayur tertentu saja yang mereka beli dari pedagang

keliling karena tidak ditanam sendiri di kebun mereka.

Dari hasil temuan di alas, dapat dilihat bahwa para petani Jawa

mampu memenuhi kebutuhan subsistem dengan cara mereka sendiri.

Ini membuktikan bahwa mereka telah mampu beradaptasi dengan

lingkungan yang baru di Desa Kolam-Kanan walaupun kondisi

lingkungannya berbeda dengan di daerah asal pulau Jawa.

b. Strategi Petani Jawa Menghadapi Musim paceklik

Musim paceklik merupakan masa yang sulit bagi petani,

biasanya musim ini jatuh pada bulan november-pebruari. Pada saat

musim tersebut persediaan padi mulai menipis dan aktivitas pertanian

tidak ada atau sering disebut disebut musim diam. Petani Jawa biasanya

mencari alternatif pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan

keluarganya. Adapun pekerjaan yang mereka geluti selam musim

diam yaitu membuka hutan di kota Marabahan untuk dijadikan lahan

pertanian.

Selama musim paceklik ada sebagian petani yang mulai

kehabisan persediaan pangan. Oleh karena itu mereka membeli beras

jenis lain yang lebih rendah mutunya dibanding beras unus untuk

konsumsi sehari-hari. Ada pula sebagian lagi petani yang membeli atau

berhutang kepada tetangga yang masih memiliki persediaan.

Petani Jawa di desa Kolam-Kanan tergolong petani yang

makmur karena pada saat musim paceklik pun tidak ada masyarakat

yang menkonsumsi nasi tiwul atau nasi aking seperti yang terjadi pada

petani di pulau Jawa. Pada musim paceklik petani transmigran Jawa

masih mengkonsumsi beras, akan tetapi beras yang dikonsumsi

15

adalah beras yang kualitasnya lebih rendah dibanding betas siam unus

seperti beras Bulog dan beras IR.

Pada tahun 1998, di desa Kolam-kanan terjadi kebakaran yang

memusnahkan lahan pertanian penduduk, yang menyebabkan

penurunan kualitas tanah pertanian. Menurut Pa Tarsan, peristiwa

kebakaran tersebut berimbas pada tingkat hasil pertanian yang

beberapa tahun mengalami penurunan secara drastis. Tidak hanya itu,

hal tersebut juga berpengaruh pada pola makan masyarakatnya,

seperti banyaknya masyarakat yang kekurangan pangan sehingga

mereka mengkonsumsi tiwul (makanan yang terbuat dari ubi yang

dikeringkan kemudian dihaluskan dan dimasak).

c. Strategi Petani Dalam Belanja dan Pengeluaran

Pada dasarnya petani Jawa di daerah Kolam-Kanan tersebut

mempunyai sifat konsumtif yang rendah, hal ini dapat terlihat dari pola

makan yang sederhana dan perabot rumah tangga yang tidak terlalu

mewah. Mereka lebih suka hidup sederhana dengan kebutuhan pangan

yang tercukupi.

Para petani Jawa di Kolam-kanan ini lebih suka

menginvestasikan hasil pertaniannya dalam bentuk modal dan biaya

pendidikan anak-anaknya. Seperti anggapan Bapak Punari (38 tahun)

"Duit hasil pertanian lebih baik digunakan untuk pendidikan anak dari

pada membeli barang-barang perabotan rumah tangga, karena pendidikan

penting untuk masa depan anak-anak". Untuk sekolah sendiri, SD

berada di desa kolam kanan sedangkan tingkat SMP dan SMA berada

di kota Marabahan tapi walaupun jarak cukup jauh, kenyataannya

mereka masih memiliki motivasi yang tinggi untuk bersekolah. I lal ini

berarti, para petani Jawa di Desa Kolam-Kanan tersebut mempunyai

orientasi ke depan mengenai pendidikan untuk meningkatkan status

keluarganya.

Untuk modal, mereka lebih mengutamakan ke pupuk karena

16

pupuk merupakan bagian yang paling penting dalam usaha

pertaniannya, bahkan mereka meminjam banyak pupuk pada salah

seorang petani yang menyalurkan pupuk dan pada saat panen, pupuk

yang telah dipinjam akan dibayar dalam bentuk uang.

lbu-ibu mempunyai peranan penting dalam mengatur

pengeluaran dan belanja sehari-hari. biasanya mereka pergi ke pasar

yang berada di Kolam-kiri yaitu pada hari minggu dan ini dilakukan

setiap satu minggu sekali (stranggul market). Barang-barang yang

dibeli berupa keperluan rumah tangga seperti garam, gula, bawang,

minyak goreng dan keperluan lainnya yang dianggap penting. Selain

itu, jika para ibu-ibu tersebut kehabisan barang maka mereka akan

menitip pada tetangga yang secara kebetulan pergi ke Marabahan.

Di Desa Kolam-kanan ini tidak banyak terdapat warung atau

kios,karena masyarakatnya tidak terlalu suka jajan ke warung, mereka

lebih suka membuat sendiri di rumah dibanding kebiasaan yang

dilakukan oleh masyarakat Banjar yaitu belanja di warung sebelum

melakukan aktivitas di sawah. Masyarkat Jawa di desa Kolam kanan

ini beranggapan bahwa jika mereka berbelanja di luar rumah maka

hal itu hanya untuk pemborosan raja padahal masih banyak kepentingan

lain yang lebih utama.

3. Strategi Reproduksi

Masyarakat petani Jawa di desa Kolam-Kanan pada umumnya telah

hidup berumah tangga cukup lama dan telah memberi keturunan dua

generasi, di antara mereka ada yang telah memiliki anak dan cucu

(reproduksi). Adapun mayoritas tipe dari bentuk keluarga masyarakat

petani Jawa di Desa Kolam-Kanan ini adalah keluarga batik, seperti

keluarga Ibu Rohani dan keluarga Bapak lyak, yang hanya memiliki

anak 2-4 orang saja. Namun ada pula bentuk keluarga luas, seperti

keluarga Mbah Ndoyo. Mbah Ndoyo adalah salah satu tetuha (tokoh

17

masyarakat) di wilayah transmigran ini. la termasuk orang tua yang

memiliki banyak anak, yaitu 12 orang dengan tambahan cucu.

Dalam hal memilih pasangan, beberapa di antara generasi kedua

memilih bentuk perkawinan eksogami. sebagian besar mereka menikah

dengan laki-laki yang berasal dari suku Banjar. Perkenalan mereka

biasanya terjadi di tempat-tempat kerja di wilayah Kota Banjarmasin

seperti di pabrik-pabrik atau di sektor jasa lainnya. Perkawinan dengan

perbedaan latar kultural inilah tampaknya yang menyebabkan adanya

perbedaan orientasi dalam menyikapi kehidupan anak-anak mereka.

Terdapat perbedaan dalam hal reproduksi antara generasi tua dan

generasi muda. Generasi tua rata-rata memiliki banyak anak, sedang

generasi muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Menurut para

generasi tua, dulu mereka tidak mengenal program KB (Keluarga

Berencana). Sedangkan pada generasi muda yang jumlah anaknya

sedikit, mereka telah mengenal program KB (Keluarga Berencana). Hal

ini menunjukkan bahwa tingkat reproduksi pada generasi tua lebih tinggi

dari pada generasi muda.

Para petani Jawa di desa Kolam-Kanan ternyata mempunyai

kepedulian yang tinggi terhadap pendidikan, terlebih pada pendidikan

anak-anak mereka. Hal tersebut terlihat dari anak-anak mereka yang

bersekolah sampai jenjang SMA (Sekolah Menengah Atas). Bahkan ada

beberapa yang menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang Perguruan

Tinggi, hal itu biasanya berlaku bagi keluarga yang mampu. Namun,

sebagian dari mereka ada yang tidak menyekolahkan anak mereka sampai

tingkat SMA dan hanya sampai tingkat SD (Sekolah Dasar) saja, hal

tersebut disebabkan oleh faktor keterbatasan biaya.

Bagi mereka anak adalah investasi untuk kehidupan kelak, dimana

mereka berharap jika anak sudah besar maka is dapat membantu

pekerjaan orang tua terutama dalam hal pertanian. Anak-anak yang

masih sekolah biasanya turut membantu pekerjaan orang tuanya bertani

setelah pulang dari sekolah. Hal tersebut dimaksudkan agar kelak anak

18

tahu dan mengerti tata Cara bertani. Biasanya anak-anak yang membantu

orang tuanya bertani adalah anak-anak usia SMP (Sekolah Menengah

Pertama).

Namun anggapan ini hanya berlaku bagi sebagian orang. Bagi

keluarga yang merupakan hasil perkawinan campuran dengan

penduduk Banjar maka anggapan ini sudah mulai hilang. Anak-anak

mereka hampir tidak ada yang dilibatkan dalam pekerjaan pertanian.

setelah lulus dari sekolah, kebanyakan dari mereka bekerja di

perusahaan-perusahaan atau hidup merantau seperti menjadi pelayan

warung nasi goreng di Banjarmasin. Jika sudah berhenti bekerja dan

kemudian menikah, maka mereka akan kembali lagi ke Desa Kolam-

Kanan. Pada akhirnya anak-anak tersebut juga hidup bertani seperti

orangtua mereka.

Kehidupan para transmigran Jawa tidak hanya sebatas bertani saja,

mereka juga melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang bekerja

menjadi tukang sapu di kantor pemerintahan Marabahan (Pasukan

Kuning), seperti suami Rohani. Ada pula yang menjadi buruh bangunan

jika musim panen sudah selesai, dan mencari kayu galam untuk dibuat

kayu bakar dan kemudian dijual. Tidak hanya itu, ada juga yang berjualan

tahu, tempo dan sayur-sayuran di pasar. Berjualan lontong di Sekolah

seperti keluarga Rohani dan membuka warung seperti yang dilakukan lbu

lyah. Bahkan ada yang menjadi dukun beranak seperti Mbah Ndoyo. Hal

tersebut mereka lakukan untuk menambah pendapatan ekonomi keluarga.

Tanah sebanyak 2 hektar yang didapat para transmigran

umumnya tidak dibagi rata kepada, anak-anaknya. setiap anak tidak

harus mendapat warisan tanah secara merata. Karma dulunya tanah seluas

2 hektar tersebut banyak yang telah dijual. Tanah itu akan digarap

oleh orangtua mereka selama masih mampu, meskipun tidak maksimal

dikarenakan usia yang telah tua. Tanah itu biasanya digarap oleh anak

yang kehidupannya dianggap lebih sudah dari anak-anaknya yang lain.

Sedangkan anak-anak yang lainnya ada yang membeli tanah sendiri, dari

19

uang yang didapat saat bekerja di perusahaan atau lainnya. Sehingga

tidak ada pembagian tanah secara merata, terkecuali jika orangtua mereka

telah meninggal dunia, maka tanah akan dibagi secara adil kepada anak-

anak mereka.

20

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

Para petani transmigran Jawa di Desa Kolam-Kanan 99%

berprofesi sebagai petani. Mereka di fasilitasi oleh pemerintah berupa

tanah seluas 2 ha, dengan rincian 175 m2 untuk lahan persawahan, dan

25 ml untuk mendirikan rumah. Sistem pertanian yang dipakai adalah

pertanian pasang-surut. Karena tingginya tingkat keasaman, tanah,

maka para petani transmigran Jawa di Desa Kolam-Kanan

menggunakan kapur untuk mengurangi tingkat keasaman tanah. Jenis

padi yang ditanam adalah siam adus (siam onus). Selain padi, mereka

juga menanam tanaman palawija dan sayur-sayuran. Sebagian besar petani

transmigran di Kolam Kanan dapat dikategorikan sebagai petani

subsisten dengan prinsip "safety first" yaitu dahulukan selamat karena

mereka bercocok tanam lebih mengedepankan menghindari kegagalan

yang menghancurkan kehidupannya daripada memperoleh keuntungan

besar.

Dalam tingkat adaptasi, masyarakat petani Jawa transmigran di

Desa Kolam-Kanan termasuk tinggi. Hal terlihat jelas pada musim

paceklik, tidak ditemui kasus kekurangan bahan pangan. Mereka

memanage hasil panen seefisien mungkin, maka beras yang dipanen

cukup untuk memenuhi pangan selama satu tahun, maka beras tidak

dijual, sebaliknya jika hasil panen melebihi kebutuhan pangan untuk satu

tahun, maka kelebihan tersebut dijual.

Terdapat perbedaan tingkat reproduksi pada masyarakat petani

Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan, antara generasi tua dan generasi

muda. Dimana generasi tua memiliki banyak anak, sedang generasi

muda cenderung memiliki anak yang sedikit. Selain itu mereka juga

mulai mengorientasikan pekerjaan anak-anak mereka ke sektor-sektor

yang lebih variatif seperti bekerja di perusahaan atau di bidang jasa dan

perdagangan. Anggapan bahwa anak sebagai aset dan tenaga kerja

tambahan di sektor pertanian juga telah mulai menghilang seiring dengan

21

mulai terintegrasinya mereka ke dalam kebudayaan Banjar lewat perkawinan.

2. Saran

Para petani Jawa transmigran di Desa Kolam-Kanan diharapkan

terus melakukan inovasi-inovasi dalam bidang pertanian. Hal ini

disarankan agar tingkat produksi pertanian meningkat, yang secara

otomatis akan meningkatkan taraf hidup masyarakatnya.

22

DAFTAR PUSTAKA

Abdoellah, 1990. Budidaya Tanaman Padi. Yogyakarta: Kanisius.

Denni, Richard, 1997. Sukses Memotivasi, Jurus Jim Meninggalkan Prestasi.

Alih Bahasa Pius M. Sumaktoyo. Jakarta: PT. Gramedia.

Geertz, 1976. Ivolusi Pertanian, terjemahan S. Supomo. Jakarta: Bharata KA.

Mubyarto, 1994. Politik Pertanian dan Pembangunan Pedesaan. Jakarta: Sinai

Harapan.

Redfield, 1985. Masyarakat Petani dan Kebudayaan, terjemahan YIIS. Jakarta:

CV. Rajawali.

Sanderson, Staphen. K, 1993. Sosilogi Makro, terjemahan Farid Wajidi dan

S. Menno. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Scott, James. C, 1981. Moral Ekonomi Petani, terjemahan Hasan Basri. Jakarta:

PT. Gramedia.

Soewardi, Herman, 1999. Tiba Saatnya Islam Kembali Kaffah, Kuat dan

Bertihad, Suatu Kognisi Baru Tentang Islam. Bandung: Pasca Sarjana

UNPAD.

Steward, JH,1955. Theory of Culture Change. Urbana: University of Illionis

Press.

Wahyu, 2001. Disertasi, Kemampuan Adaptasi Petani dalam Sistem

Usahatani Sawah Pasting Surut dan Irigasi di Kalimantan Selatan.

Bandung: Pasca Sarjana UNPAD.

Wolf, Eric R, 1983. Petani Suatu Tinjauan Antropologis, terjemahan YIIS.

Jakarta: CV. Rajawali.