adab di musim hujan

5
Musim Hujan Telah Tiba Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal Allah telah menurunkan hujan sebagai rahmat di saat dibutuhkan oleh seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.[1] Keberkahan dan Manfaat Hujan Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam.” (QS. Qaaf: 9). Yang dimaksud keberkahan di sini adalah banyaknya kebaikan .[2] Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, hewan dan tumbuh- tumbuhan sangat membutuhkannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiya’: 30). Al Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan hewan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”[3] Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung. Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.”[4] Kedua: Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah. ’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5] Ketiga: Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a. Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[6] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan, dan (3) Saat hujan turun .”[7] Keempat: Do’a ketika terjadi hujan lebat.

Upload: abu-fathan

Post on 11-Mar-2016

229 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

ADAB DI MUSIM HUJAN

TRANSCRIPT

Page 1: ADAB DI MUSIM HUJAN

Musim Hujan Telah Tiba

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Allah telah menurunkan hujan sebagai rahmat di saat dibutuhkan oleh seluruh

makhluk. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan Dialah Yang menurunkan

hujan sesudah mereka berputus asa dan menyebarkan rahmat-Nya. Dan Dialah Yang

Maha Pelindung lagi Maha Terpuji.” (QS. Asy Syuura: 28). Yang dimaksudkan dengan rahmat di sini adalah hujan sebagaimana dikatakan oleh Maqotil.[1]

Keberkahan dan Manfaat Hujan

Hujan adalah air yang diturunkan dari langit dan penuh keberkahan. Allah Ta’ala

berfirman (yang artinya), “Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh

keberkahan lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman

yang diketam.” (QS. Qaaf: 9). Yang dimaksud keberkahan di sini adalah banyaknya kebaikan.[2]

Di antara keberkahan dan manfaat hujan adalah manusia, hewan dan tumbuh-

tumbuhan sangat membutuhkannya untuk keberlangsungan hidup, sebagaimana Allah

Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang

hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?” (QS. Al Anbiya’: 30). Al

Baghowi menafsirkan ayat ini, “Kami menghidupkan segala sesuatu menjadi hidup

dengan air yang turun dari langit yaitu menghidupkan hewan, tanaman dan pepohonan. Air hujan inilah sebab hidupnya segala sesuatu.”[3]

Beberapa Amalan Ketika Turun Hujan

Pertama: Takut datangnya adzab ketika mendung.

Ketika muncul mendung, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu khawatir, jangan-jangan akan datang adzab dan kemurkaan Allah.”[4]

Kedua: Do’a ketika turun hujan sebagai rasa syukur pada Allah.

’Aisyah radhiyallahu ’anha berkata, ”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika

melihat turunnya hujan, beliau mengucapkan, ”Allahumma shoyyiban nafi’an” [Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat]”.[5]

Ketiga: Turunnya hujan, kesempatan terbaik untuk memanjatkan do’a.

Ibnu Qudamah dalam Al Mughni[6] mengatakan, ”Dianjurkan untuk berdo’a ketika

turunnya hujan, sebagaimana diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa

sallam bersabda, “Carilah do’a yang mustajab pada tiga keadaan : (1) Bertemunya dua pasukan, (2) Menjelang shalat dilaksanakan, dan (3) Saat hujan turun.”[7]

Keempat: Do’a ketika terjadi hujan lebat.

Page 2: ADAB DI MUSIM HUJAN

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu saat pernah meminta diturunkan hujan.

Kemudian ketika hujan turun begitu lebatnya, beliau memohon pada Allah agar

cuaca kembali menjadi cerah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a,

“Allahumma haawalaina wa laa ’alaina. Allahumma ’alal aakami wal jibaali, wazh

zhiroobi, wa buthunil awdiyati, wa manaabitisy syajari [Ya Allah, turunkanlah

hujan di sekitar kami, bukan untuk merusak kami. Ya Allah, turunkanlah hujan ke

dataran tinggi, gunung-gunung, bukit-bukit, perut lembah dan tempat tumbuhnya pepohonan].”[8]

Kelima: Do’a ketika terjadi angin kencang.

Dianjurkan bagi seorang muslim ketika terjadi angin kencang untuk membaca do’a

berikut sebagaimana yang disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu

‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan ketika itu,

“Allahumma inni as-aluka khoirohaa wa khoiro maa fiihaa wa khoiro maa ursilat

bihi, wa a’udzu bika min syarrihaa wa syarri maa fiiha wa syarri maa ursilat

bihi (Ya Allah, Aku memohon kepada-Mu baiknya angin ini dan kebaikan yang ada

padanya, dan aku memohon kebaikan dari yang diutus dengannya. Aku berlindung

kepada-Mu dari buruknya angin ini, dan keburukan yang ada padanya dan aku berlindung dari keburukan yang diutus dengannya)”[9]

Keenam: Do’a ketika mendengar suara petir.

Apabila ’Abdullah bin Az Zubair mendengar petir, dia menghentikan pembicaraan,

kemudian mengucapkan, “Subhanalladzi yusabbihur ro’du bi hamdihi wal mala-ikatu

min khiifatih” (Mahasuci Allah yang petir dan para malaikat bertasbih dengan memuji-Nya karena rasa takut kepada-Nya).”[10]

Ketujuh: Mengambil berkah dari air hujan.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, ”Kami pernah kehujanan bersama

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi

wa sallam menyingkap bajunya hingga terguyur hujan. Kemudian kami mengatakan,

“Wahai Rasulullah, mengapa engkau melakukan demikian?” Kemudian Rasulullah

shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Karena hujan ini baru saja Allah ciptakan.”[11]

An Nawawi menjelaskan, “Makna hadits ini adalah hujan itu rahmat yaitu rahmat

yang baru saja diciptakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertabaruk (mengambil berkah) dari hujan tersebut.”[12]

Kedelapan: Dianjurkan berwudhu dengan air hujan.

Dalilnya, “Apabila air mengalir di lembah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

mengatakan, “Keluarlah kalian bersama kami menuju air ini yang telah dijadikan

oleh Allah sebagai alat untuk bersuci”. Kemudian kami bersuci dengannya.”[13]

Kesembilan: Tidak boleh mencela hujan.

Page 3: ADAB DI MUSIM HUJAN

Sebagian orang sering keluar dari mulutnya celaan, “Aduh!! hujan lagi, hujan

lagi”. Ketahuilah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menasehatkan kita

agar jangan selalu menjadikan makhluk yang tidak dapat berbuat apa-apa sebagai

kambing hitam jika kita mendapatkan sesuatu yang tidak kita sukai. Seperti

beliau melarang kita mencela waktu dan angin karena kedua makhluk tersebut tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam sebuah hadits qudsi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Manusia menyakiti Aku; dia mencaci maki

masa (waktu), padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Aku-lah yang

mengatur malam dan siang menjadi silih berganti.”[14] Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,”Janganlah kamu mencaci maki angin.”[15]

Dari dalil di atas terlihat bahwa mencaci maki masa (waktu) dan angin adalah

sesuatu yang terlarang. Begitu pula halnya dengan mencaci maki makhluk yang

tidak dapat berbuat apa-apa, seperti mencaci maki angin dan hujan adalah terlarang.[16]

Kesepuluh: Do’a setelah turun hujan

Do’anya adalah, “Muthirna bi fadhlillahi wa rohmatih (Kita diberi hujan karena

karunia dan rahmat Allah).”[17]

Keringanan Ketika Turun Hujan

Pertama: Bolehnya meninggalkan shalat jama’ah di masjid ketika turun hujan.

Dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan,

”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna

Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. …”[18]

An Nawawi -semoga Allah merahmati beliau- menjelaskan, ”Dari hadits di atas

terdapat dalil tentang keringanan untuk tidak melakukan shalat jama’ah ketika

turun hujan dan ini termasuk udzur (halangan) untuk meninggalkan shalat

jama’ah. Dan shalat jama’ah -sebagaimana yang dipilih oleh ulama Syafi’iyyah-

adalah shalat yang mu’akkad (betul-betul ditekankan) apabila tidak ada

udzur[19]. Dan tidak mengikuti shalat jama’ah dalam kondisi seperti ini adalah

suatu hal yang disyari’atkan (diperbolehkan) bagi orang yang susah dan sulit

melakukannya. Hal ini berdasarkan riwayat lainnya, ”Siapa yang mau, silahkan

mengerjakan shalat di rihal (kendaraannya) masing-masing.”[20]

Sayid Sabiq -semoga Allah merahmati beliau- dalam Fiqh Sunnah menyebutkan salah

satu sebab yang membolehkan tidak ikut shalat berjama’ah adalah cuaca yang

dingin dan hujan. Lalu beliau membawakan perkataan Ibnu Baththol yang

menyatakan bahwa hal ini adalah ijma’ (kesepakatan para ulama).[21]

Page 4: ADAB DI MUSIM HUJAN

Dari hadits-hadits yang dibawakan oleh Imam Muslim dalam kitab shahihnya, ada

beberapa lafadz tambahan adzan ketika kondisi hujan, dingin, berangin kencang, dan tanah yang penuh lumpur baik ketika mukim maupun safar :

1. Alaa shollu fir rihaal artinya Hendaklah shalat di rumah (kalian)

2. Alaa shollu fi rihaalikum artinya Hendaklah shalat di rumah kalian 3. Sholluu fii buyutikum artinya Sholatlah di rumah kalian

An Nawawi mengatakan, “Lafadz ini boleh diucapkan setelah adzan maupun di

tengah-tengah adzan karena terdapat dalil mengenai dua model ini. Akan tetapi,

mengucapkannya sesudah adzan lebih baik agar lafadz adzan yang biasa diucapkan tetap ada.”[22]

Kedua: Bolehnya menjama’ shalat ketika hujan deras.

Dari Abu Az Zubair, dari Sa’id bin Jubair, dari Ibnu Abbas, beliau berkata,

”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah mengerjakan shalat Dzuhur dan

Ashar serta Maghrib dan Isya’ secara jama’, bukan dalam keadaan takut maupun

safar.”[23] Yang meriwayatkan dari Abu Az Zubair adalah Imam Malik dalam

Muwatho’nya. Imam Malik mengatakan, ”Aku menyangka bahwa menjama’ di sini adalah ketika hujan.”

Al Baihaqi mengatakan, ”Begitu pula hadits ini diriwayatkan oleh Zuhair bin

Mu’awiyah dan Hammad bin Salamah, dari Abu Az Zubair, juga dikatakan, ”(Beliau

menjama’) bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena safar. Akan tetapi

dalam riwayat tersebut tidak disebutkan shalat Maghrib dan ’Isya dan hanya

disebut jama’ tersebut dilakukan di Madinah.”[24] Artinya, Nabi shallallahu

’alaihi wa sallam melakukan jama’ ketika mukim (tidak bepergian) dalam kondisi hujan.

Beberapa point yang perlu diperhatikan:

1. Yang diperintahkan ketika hujan adalah menjama’ shalat (menggabungkan dua

shalat) tanpa perlu mengqoshor.[25]

2. Jama’ dilakukan dengan imam di masjid dan bukan dilakukan di rumah.[26]

3. Apabila shalat telah dijama’ pada waktu pertama dari dua shalat, lalu

setelah dijama;’, hujan tersebut reda, maka shalatnya tetap sah dan tidak

perlu diulangi.[27]

4. Boleh menjama’ shalat zhuhur dan ashar atau maghrib dan Isya. Yang paling

afdhol jika dilakukan dengan jama’ taqdim.[28]

5. Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa

membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan

dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.[29]

Page 5: ADAB DI MUSIM HUJAN

____________

[1] Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 5/322, Mawqi’ At Tafasir

[2] Tafsir Al Baghowi (Ma’alimut Tanzil), Al Husain bin Mas’ud Al Baghowi,

7/357, Dar Thoyibah, cetakan keempat, 1417 H

[3] Tafsir Al Baghowi, 5/316

[4] Lihat Adabul Mufrod no. 686. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini

hasan

[5] HR. Bukhari no. 1032, Ahmad no. 24190, dan An Nasai no. 1523

[6] Al Mughni fi Fiqhil Imam Ahmad bin Hambal Asy Syaibani, Ibnu Qudamah Al

Maqdisi, 2/294, Darul Fikr, Beirut, cetakan pertama, 1405 H

[7] Dikeluarkan oleh Imam Syafi’i dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma’rifah

dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

Lihat Shohihul Jaami’ no. 1026

[8] HR. Bukhari no. 1014

[9] HR. Muslim no. 899

[10] Lihat Adabul Mufrod no. 723. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini

shahih

[11] HR. Muslim no. 898

[12] Syarh Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 6/195, Dar Ihya’ At Turots Al

‘Arobiy, cetakan kedua, 1392 H

[13] HR. Muslim, Abu Daud, Al Baihaqi, dan Ahmad. Lihat Irwa’ul Gholil no. 679.

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[14] HR. Bukhari no. 4826 dan Muslim no. 2246, dari Abu Hurairah

[15] HR. Tirmidzi no. 2252, dari Abu Ka’ab. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa

hadits ini shahih

[16] Faedah dari guru kami Ustadz Abu Isa hafizhohullah. Lihat buah pena beliau

“Mutiara Faedah Kitab Tauhid”, hal. 227-231, Pustaka Muslim, cetakan pertama,

Jumadal Ula 1428 H

[17] HR. Bukhari no. 846 dan Muslim no. 71, dari Kholid Al Juhaniy

[18] HR. Muslim no. 699

[19] Pendapat yang lebih kuat, shalat jama’ah adalah fardhu ‘ain –bagi kaum

pria-

[20] Syarh Muslim, 5/207

[21] Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, 1/234-235, Mawqi’ Ya’sub

[22] Syarh Muslim, 5/207

[23] HR. An Nasa-i no. 601. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih

[24] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24/73

[25] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/292, Mawqi’ Al Ifta’

[26] Lihat Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhutsil Al ‘Ilmiyyah wal Iftaa’,

8/135, Darul Ifta’

[27] Lihat Al Jami’ Liahkamish Sholah, Mahmud ‘Abdul Latif ‘Uwaidhoh, 2/ 497-

499, Daruk Wadhoh, ‘Amman, Yordania, cetakan ketiga, tahun 2004

[28] Syarhul Mumthi’, 2/285 [29] Al Mughni, 2/117