acs iii

Upload: andre-hendrajaya

Post on 16-Jul-2015

408 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Part 10: Acute Coronary Syndromes2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular CareGuidline AHA 2010 untuk CPR (Cardiopulmonary Resuscitation) dan ECC (Emergency Cardiovascular Care) dijadikan sebagai panduan evaluasi dan manejemen pasien- pasien dengan sindrom koroner akut (SKA) yang ditemui oleh para petugas kesehatan di lapangan mulai dari petunjuk untuk menangani pasien yang dicurigai SKA dengan awal serangan 1 jam.Rangkuman dari guidline ini ditujukan untuk perawatan di luar rumah sakit, biasnya digunakan di unit-unit gawat darurat. Petugas-petugas emergensi juga harus melengkapi sumber-sumber lain yang di rekomendasikan oleh AHA. Seperti pedoman-pedoman lainnya, pedoman ini juga harus diaplikasikan sesuai dengan norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku pada suatu daerah tersebut. Tujuan utama yang harus dicapai pada terapi pasien dengan SKA adalah : Menurunkan jumlah kerusakan atau nekrosis pada miokardium yang biasanya terjadi pada acute myokardia.infarction (AMI), memelihara fungsi ventrikel kiri, mencegah gagal jantung dan meminimalisir terjadinya penyakit kardivaskular lainnya Mencegah MACE (major adverse cardiac events) seperti : kematian, MI non fatal, dan kebutuhan revascularisasi yang mendesak. perawatan terhadap gejala akut, yang merupakan komplikasi dari AMI yang dapat menyebabkan kematian seperti, ventrikel fibrilasi, ventrikel takikardi, takikardi tidak stabil, gejala bradikardi, edema pulmonal, shock kardiogenik dan komplikasi dari AMI. Gambaran bentuk perwatan dari pasien dengan ACS ditunjukkan pada gambar 1. Yaitu algoritmaAcute Coronary Syndromes. Di dalamnya terdapat istilah AMI yang merujuk pada acute myocardial infarction baik dengan ST elevasi (STEMI) ataupun tanpa ST elevasi (NSTEMI). Diagnosis dan treatmen pada pasien AMI, antara STEMI dan NSTEMI akan berbeda, sehingga petugas kesehatan diminta untuk berhati-hati pad pasien dengan AMI

Prehospital ManagementPatient and Healthcare Provider Recognition of ACS (Figure 1, Box1) Diagnosis dan treatmen yang baik dapat memberikan manfaat yang sangat besar untuk menyelamatkan STEMI pada satu jam pertama, dan pada permulaan, jika fokus pada

menejemen dari angina tak stabil dan NSTEMI dapat mengurangi efek samping dan memberikan hasil yang lebih baik. Dan juga sangat penting untuk menganalisis dan mengenali pasien dengan ACS sehingga lebih cepat melakuakn evaluasi dan melakuakn menejemen, pada pasien STEMI terutama untuk lebih cepat dilakukan reperfusi . Penundaan penanganan pasien biasanya terjadi karena 3 interval : dari awal timbulnya gejala sampai pasien mau mengaku atau konsultasi ke petugas kesehatan, selama transportasi ke rumah sakit, dan selama dilakuakn evaluasi di unit emergensi. Penundaan pasien untuk mengaku bahwa dirinya menderita ACS dan aktivasi sistem EMS (Emergency Medical Services) sering merupakan periode yang sangat panjang untuk penundaan pengobatan.Juga penundaan pengobatan bisa disebabkan oleh pihak rumah sakit sendiri seperti sistem data pasien yang kurang baik dan sistem perawatan yang kurang efisien. Gejala-gejala dari ACS dapat dikombinasikan dengan informasi-informasi penting (biomarker, faktor risiko, EKG, dan tes diagnostik lainnya) berguna dalam membuat beberapa keputusan dan perawatan di luar rumah sakit dan di unit emergensi.Gejala dari AMI mungkin lebih intens daripada angina dan paling sering bertahan untuk waktu yang lama (misalnya lebih dari 15-20 menit).Gejala klasik dari ACS yang biasanya terlihat adalah ketidaknyamanan pada tubuh bagian atas, nafas pendek, mual, berkeringat muntah dan pusing. Kebanyakan pasien tercatat mengeluh merasa tidak nyaman pada tubuh bagian atas terutama dada, dispnea,disertai mual muntah dan pusing. Sedangkan diaforesis terisolasi merupakan gejala yang tidak dominan.Atipikal atau gejala yang tidak biasa, lebih banyak ditemukan pada wanita, orang tua dan pasien diabetes.Pemeriksaan fisik dari pasien dengan ACS biasanya normal. Dengan melakukan edukasi pada publik atau masyarakat dapat meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mereka mengenai ACS tetapi biasanya hanya memiliki efek transien yaitu hanya sadar pada saat dilakukan persentasi saja, selanjutnya akan lupa lagi. Untuk pasien dengan

risiko ACS (juga untuk keluarganya), petugas kesehatan harus memberikan solusi dengan mendiskusikan penggunaan aspiririn dengan tepat dan bagaimana aktivasi sistem EMS serta mendiskusikan lokasi layanan kesehatan yang buka 24 jam. Pada guidline sebelumnya sudah direkomendasikan kepada pasien, keluarga pasien, dan kerabat pasien, untuk segera mengaktifkan sistem EMS bukan memanggil dokter, atau langsung saja ke rumah sakit jika ketidaknyamanan pada dada tidak membaik selama 5 menit setelah pemberian nitrogliserin.

Initial EMS Care (Aktivasi EMS Dini)

VF atau VT tanpa pulsasi yang dapat berkembang menjadi fase awal ACS merupakan penyebab terbanyak pada kasus henti jantung. Untuk itu, program yang diberikan pada masyarakat sebaiknya meliputi pula pengenalan awal gejala ACS dan rekan yang membantu diusahakan sebaik kerja para tenaga kesehatan dan penyedia keselamatan publik dalam hubungannya dengan aktivasi dini sistem EMS. Selain itu, program tambahan seperti penggunaan AED (automated external defibrillator) yang diberikan pada masyarakat meliputi akses cepat dan cara menggunakan AED itu sendiri (lihat Bag.6: Electrical Therapies) dan CPR untuk pasien henti jantung (lihat Bag.5 Adult Basic Life Support). Personel kegawatan yang membantu sebelum EMS datang, dan penyedia EMS itu sendiri selayaknya sudah terlatih untuk menghadapi kegawatan kardiovaskular termasuk ACS dan komplikasi akutnya. Aspirin sebaiknya diberikan segera setelah onset gejala pasien suspect ACS dengan cara mengunyahnya (dosis 160-325 mg) dan sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan riwayat alergi aspirin dan tidak adanya gejala atau perdarahan GI baru-baru ini sambil menunggu EMS datang (Class IIa, LOE C). Adapun yang perlu diperhatikan oleh penyedia sistem EMS antara lain : Terbiasa dengan keberadaan ACS dan terlatih untuk menentukan waktu onset gejalanya

Memonitor tanda-tanda vital dan ritme jantung dan bersiap melakukan CPR dan defibrilasi jika diperlukan Memberikan oksigen selama perkiraan awal pasien suspect ACS Mentitrasi terapi berdasarkan pengawasan saturasi oksihemoglobin, 94% (Class I, LOE C), jika didapatkan pasien dengan dispne, hipoksemi, atau tanda pasti gagal jantung Memberi aspirin nonenterik (160 [Class I, LOE B] sampai 325mg [class I, LOE C]) dengan cara dikunyah untuk mempercepat penyerapan. Memberikan sampai 3 dosis nitrogliserin (tablet/spray) pada interval 3-5 menit. Kontraindikasi nitrat pada pasien dengan TDS 0,5mm (0,05 mV) atau gelombang T inversi dengan nyeri dada diklasifikasikan sebagai UA atau NSTEMI. Tidak persistent atau elevasi sementara segmen ST 0,5 mm dalam kurun waktu 20 menit juga masuk kedalam kategori ini. Nilai ambang depresi segmen ST sebesar 0,05 mV pada lead V2 dan V3 dan-0,1 mV (-1mm) pada lead lainnya (laki-laki dan wanita). Klasifikasi ketiga ialah EKG yang nondiagnostik dengan normal maupun secara minimal abnormal ( dengan kata lain, segmen-ST nonspecific atau T-Wave berubah). EKG Ini adalah nondiagnostik dan tidak pasti untuk iskemia. Penggolongan ini meliputi pasien dengan normal ECGS dan mempunyai segmen-ST deviasi < 0.5 mm ( 0.05 mV) atau T-Wave inversi 0.2 mV. Kategori ECG ini termasuk nondiagnostik. Biomarker Jantung Komponen biomarker dari jantung sering ditemukan selama evaluasi dengan pemeriksaan laboratorium pada pasien yang diduga ACS. Pemeriksaan laboratorium tersebut berkaitan dengan troponi jantung yang lebih cenderung digunakan sebagai biomarker karena lebih sensitif dibandingkan CK-MB. Biomarker troponin jantung ini berguna dalam diagnosis, stratifikasi resiko, penentuan prognosis dan peningkatan kadar troponin berhubungan terhadap resiko kematian. Pada biomarker jantung ini juga terdapat keterbatasan karena tes biomarker tersebut tidak peka selama 4 sampai 6 jam pertama dari penampakan (nyerinya) kecuali jika rasa nyeri dada berlanjut selama 6 sampai 8 jam. Untuk alasan ini biomarker jantung tidak bermanfaat pada keadaan pra-rumah sakit. Oleh karena itu dokter atau klinisi perlu mempertimbangkan pemilihan waktu gejala serangan dan kepekaan, ketepatan, dan norma-norma pemeriksaan yang diukur melalui biomarker. Selanjutnya, Jika biomarker menghasilkan hasil negatif dalam waktu 6 jam pertama serangan (onset gejala), direkomendasikan untuk melakukan pengujian biomarker kembali pada 6 sampai 12 jam setelah serangan (onset gejala). Salah satu contoh diagnosis dari infark miokard dapat dibuat ketika gejala klinis atau EKG terlihat abnormal dan sesuai/konsisten dengan iskemia dan satu biomarker meningkat diatas 99 persentil dari URL (upper reference Limit). Ada cukup bukti untuk mendukung penggunaan troponin point-of-care testing (Poct) baik dalam atau luar rumah sakit. Ada juga bukti yang cukup untuk mendukung penggunaan dari mioglobin, -natriuretic peptide (BNP), NT-proBNP, D-dimer,C-reactive protein, iskemia(PAPP-A) atau interleukin-6 dalam isolasi.

STEMI Pasien dengan STEMI biasanya terjadi oklusi komplit pada epikardial arteri koronernya. Tujuan utama dari pengobatan awal STEMI adalah terapi reperfusi dini melalui fibrinolitik (reperfusi farmakologis) atau PPCI (mekanis reperfusi). Dokter harus cepat dalam mengidentifikasi apakah pasien

menderita STEMI atau tidak untuk menyelamatkan keselamatan pasien dan harus dengan cepat serta hati-hati untuk menentukan indikasi dan kontraindikasi untuk terapi fibrinolitik dan PCI. Dan bagi pasien yang tidak memenuhi syarat untuk terapi fibrinolitik harus dipertimbangkan untuk melakukan PCI. Strategi dan kebutuhan bagi pasien STEMI untuk melakukan terapi reperfusi dapat dilihat di tabel di bawah ini

Tidak dianjurkan untuk melakukan konsultasi rutin dengan kardiologi atau dokter lainnya untuk kasus-kasus yang tidak pasti. UA dan NSTEMI

Pada awalnya UA (Unstable Angina) dan NSTEMI awalnya tidak dapat dibedakan. Biasanya pada UA dan NSTEMI terdapat oklusi trombus yang parsial atau intermitten. Terdapat gejala yang sama serta gambaran EKG yang sama pada kedua sindrom ACS ini. Akan terlihat pembentukan penggumpalan dan degradasi pada kedua ACS. Pada gambaran EKG akan terlihat deviasi segmen ST, terlihat segmen ST atau perubahan pada gelombang T dan depresi segmen ST dan inversi gelombang T. Sementara hal yang membedakan UA dan NSTEMI adalah tinggi atau tidaknya biomarker. Tingginya troponin menunjukkan adanya nekrosis miokardium, walaupun banyak kondisi selain ACS yang dapat menyebabkan peningkatan biomarker (misalnya, miokarditis, gagal jantung, dan pulmonary embolism). Strategi manajemen pada pasien UA/NSTEMI adalah pemberian terapi antiplatelet, antithrombin, dan antianginal yang didasarkan pada stratifikasi risiko. Pada pasien UA dan NSTEMI, terapi fibrinolisis di kontraindikasikan, strategi invasif diindikasikan pada pasien yang biomarker positif. Proses Stratifikasi Resiko Tujuan utama dari proses stratifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi pasien yang tampaknya pada penilaian awal tidak mempunyai resiko tinggi terkena ACS tetapi melalui program dari proses diagnostik ditemukan adanya resiko tinggi untuk terjadinya ACS bahkan CAD. Strategi ini dapat memudahkan dokter untuk menentukan strategi penanganan yang akan dilakukan supaya memberikan manfaat dari terapinya tersebut. Hal ini juga berguna untuk menghindari risiko prosedural dan dilakukannya terapi farmakologis yang tidak perlu (misalnya, terapi antikoagulasi dan kateterisasi jantung invasif) pada pasien dengan risiko rendah. Stratifikasi Resiko Braunwald Pendekatan Braundwald didasarkan pada kombinasi sejarah, laboratorium, klinis,dan variabel EKG yang dapat menjawab dua pertanyaan : apa kemungkinan tanda dan gejala dari ACS sekunder hingga obtruksi ACD, apa kemungkinan akibat klinis buruk yang terjadi ?. Pada tabel di bawah ini bisa dilihat modifikasi dari Braunwald

Skor Resiko TIMI

Skor resiko TIMI terdiri dari 7 variable prognosis independent yang bisa dilihat di table bawah

Skor resiko berhubungan dengan kejadian dalam 14 hari terakhir pada end point primer : kematian, infark miokard berulang atau keperluan untuk kepentingan revaskularisasi. Skor resiko TIMI dapat menuntun untuk menentukan keputusan untuk pengobatan.

Indikator Untuk Stategi Penaganan invasif Awal Resiko stratifikasi membantu dokter untuk mengidentifikasi pasien dengan non ST elevasi ACS, apakah seharusnya ditangani dengan straegi invasi yang cepat atau invasif selektif. Berikut adalah

rekomendasi yang dapat digunakan oleh dokter untuk menentukan menggunakan invasi PCI dini atau strategi konservatif 1. Strategi invasif PCI dini diindikasikan pada pasien dengan non ST elevasi ACS yang tidak memiliki komorbiditas serius dan memiliki lesi koroner 2. Strategi invasif dini (misalnya, angiografi diagnostik untuk revaskularisasi) ditunjukkan pada pasien non-ST-elevasi ACS yang mengalami refrakter angina atau hemodinamik atau electric instability ( tanpa adanya komorbiditas yang serius atau kontraindikasi pada prosedurnya ) 3. Pada pasien stabil, yang awalnya strategi konservatif (yaitu, secara selektif invasif) dapat dipertimbangkan sebagai strategi pengobatan untuk ACS non-ST-elevasi (tanpa komorbiditas serius atau kontraindikasi untuk prosedur tersebut ) 4. Keputusan untuk menerapkan konservatif awal (versus strategi invasif awal) pada pasien mungkin dibuat oleh dokter dan mempertimbangkan keinginan pasien

Normal atau Perubahan ECG yang Tidak Terdiagnosis (Gambar 1, Kotak 13 Sampai ke 17) Sebagian besar pasien dengan EKG normal atau nondiagnostic tidak memiliki ACS. Pasien dalam kategori ini dengan ACS yang paling sering berisiko rendah atau menengah. Tujuan Para dokter untuk stratifikasi resiko agar dapat memberikan hasil diagnose yang tepat sehingga strategi pengobatan pasien juga tepat dan sesuai. Strategi ini kemudian dijadikan pasien sebagai acuan agar tidak terdaji peningkatan factor resiko, sambil menghindari risiko (misalnya, terapi antikoagulasi dan invasif kateterisasi jantung) pada pasien dengan resiko rendah atau minimal.

Jenis nyeri dada Protokol pemeriksaan atau observasi nyeri dada dapat digunakan dalam ruang khusus (misalnya, di unit pemeriksaan fisik nyeri dada atau di rumah sakit). Protokol observasi nyeri dada adalah sistem penilaian yang cepat terhadap pasien yang umumnya mencakup riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik, observasi berkala, elektrokardiografi, dan pengukuran serum jantung.

Pada pasien dengan kecurigaan untuk ACS, biomarker awal normal, dan nonischemic EKG, protokol observasi nyeri dada mungkin direkomendasikan sebagai strategi yang aman dan efektif untuk mengevaluasi pasien di UGD (Kelas I, LOE A). Pemeriksaan Lanjutan untuk Mendeteksi Iskemia Koroner dan CAD Untuk pasien ED/CPU yang diduga memiliki ACS, memiliki nonischemic EKG dan biomarker negatif, tes noninvasif untuk uji induksi iskemia miokard atau evaluasi anatomi dari arteri koroner (misalnya, dengan computed tomography [CT] angiography, resonansi magnetik jantung, gambaran perfusi miokard, stress echocardiography) dapat berguna dalam mengidentifikasi pasien apakah bisa dibawa pulang dari ED/rumah sakit (Kelas IIa, B LOE). Strategi ini dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan akurasi diagnostik untuk ACS sehingga mengurangi biaya, efisiensi waktu di rumah sakit, waktu untuk diagnosis, dan dapat memberikan informasi prognosis jangka pendek dan jangka panjang untuk kasus jantung. Skintigrafi perfusi miokard (MPS) memiliki nilai prediktif negative (NPV) yang tinggi untuk mengesampingkan ACS, 99% di pasien ED dengan nyeri dada akut, nondiagnostic EKG, dan marker jantung negatif. MPS juga dapat digunakan untuk stratifikasi risiko, terutama pada derajat rendah sampai menengah pada kasus jantung (Kelas IIa, LOE B), MPS paling baik digunakan pada pasien dengan stratifikasi risiko sedang atau rendah. Penggunaan computer tomografi multidetektor (MDCT) angiography (64-slice scanner) setelah presentasi ke ED dengan ketidaknyamanan dada, EKG nondiagnostic, dan biomarker negative pada jantung juga telah menunjukkan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi untuk CAD dan ACS. Penggunaan angiography MDCT untuk pasien berisiko rendah dapat dipilih berguna untuk memungkinkan pasien keluar lebih cepat dari ED (Kelas IIa, B LOE). Hal ini masuk akal untuk mempertimbangkan paparan radiasi dan agen kontras iodinasi saat menggunakan angiografi MDCT dan imaging perfusi miokard. Sedikit bukti telah tersedia untuk mendukung penggunaan MRI pada populasi pasien. Keamanan Pemulangan dari Rumah Sakit dan Risiko Kejadian Gangguan Jantung Lanjuan setelah Pulang dari Rumah Sakit/CPU /ED

Langkah terakhir dalam proses stratifikasi resiko di CPU adalah keputusan untuk memulangkan atau meminta pasien rawat inap. Tidak ada aturan klinis sederhana yang kuat dan ampuh dalam membuat keputusan ketika mengidentifikasi ketidaknyamanan di dada pasien yang diduga ACS. Penggunaan system penilaian yang berguna untuk prognosis dapat mengurangi risiko rawat inap (Kelas I, LOE A) tetapi tidak dianjurkan untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin aman dipulangkan dari ED (Kelas III, LOE C). Proses Bayesian merupakan beberapa yang harus dikerjakan sebelum dilakukan test, uji diagnostik, dan reklasifikasi lalu menuju pada risiko post-test ,tingkat berdasarkan hasil tes merupakan metode yang paling dapat diandalkan untuk mengidentifikasi pasien pada risiko terendah untuk peristiwa jangka pendek yang merugikan jantung dan pasien yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut untuk CAD yang mendasarinya. Pasien dengan risiko klinis rendah dan menengah untuk ACS yang tetap stabil dalam CPU dan memiliki serial negatif EKG, serial pengukuran biomarker jantung, dan noninvasif pengujian fisiologis atau anatomis untuk ACS memiliki kemungkinan yang kecil mengalami kejadian penyakit jantung yang kurang baik pada 30 hari setelah keluar dari ED. Pasien yang umurnya lebih muda dari 40 tahun dengan riwayat penyakit yang tidak serta EKG 12-lead normal memiliki resiko sangat rendah dalam kemungkinan mengalami kejadian gangguan jantung lanjutan. Pasien-pasien ini dapat dieliminasi langsung dari ED / CPU jika pengujian rawat jalan yang sesuai dapat diatur dalam waktu 72jam. Setiap sistem yang mencoba untuk rawat jalan memfasilitasi pengujian harus mencakup mekanisme untuk menjamin akses pasien klinik rawat jalan, fasilitas pengujian serta harus mempertimbangkan hambatan nonmedis

untuk keluar dari ED yang mungkin memerlukan izin rawat inap.

Terapi Awal yang Umum untuk ACS Beberapa langkah terapi awal yang sesuai untuk semua pasien dengan dicurigai ACS terdapat dalam pengaturan ED. Hal ini termasuk pemantauan terus menerus terhadap penderita penyakit jantung, pembuatan akses jantung intravena (IV), dan pertimbangan dari beberapa obat yang dibahas di bawah ini. Oksigen Oksigen harus diberikan pada pasien dengan sesak napas, tanda-tanda gagal jantung, syok, atau saturasi oksihemoglobin arteri 1 mm) di lead V4R (sensitivitas, 88%; spesifisitas, 78%, akurasi diagnostik, 83%). Infark ventrikel kanan

merupakan prediktor kuat terjadinya komplikasi dan mortalitas. Kejadian mortalitas pasien dengan disfungsi ventrikel kanan di rumah sakit mencapai 25%-30%, dimana pasien tersebut harus melakukan terapi reperfusi secara rutin. Terapi fibrinolitik mengurangi kejadian disfungsi ventrikel kanan. Demikian pula PCI yang merupakan alternatif bagi pasien dengan infark ventrikel kanan dan dianjurkan untuk pasien syok. Pasien dengan syok yang disebabkan oleh kegagalan ventrikel kanan memiliki tingkat kematian yang serupa dengan pasien syok karena kegagalan ventrikel kiri. Pasien dengan kegagalan ventrikel kanan dan infark akut sangat tergantung pada pemeliharaan tekanan ventrikel kanan saat mengisi (tekanan akhir diastolic RV) untuk menjaga cardiac output. Dengan demikian, nitrat, diuretik, dan vasodilator lainnya (ACE inhibitor) harus dihindari karena dapat menyebabkan hipotensi yang parah. Hipotensi pada awalnya diobati dengan cairan bolus IV.

ADJUNCTIVE THERAPIES FOR ACS AND AMI Thienopyridines Clopidogrel merupakan prodrug preparat oral thienopiridin yang bekerja dengan menghambat permanen reseptor adenosin diphospat di platelet, sehingga dapat mengurangi agregasi platelet. Penelitian terakhir menunjukan bahwa penurunan angka kematian jantung dan pembuluh darah, nonfatal infark, nonfatal stroke (kejadian jantung). Pemberian clopidogrel bersama aspirin dan heparin selama 4 jam di rumah sakit dapat menurunkan angka stoke dan komplikasi jantung lainnya. Pemberian clopidogrel selama 6 jam atau lebih sebelumnya pada pasien ACS tanpa STEMI mengurangi kejadian iskemik selama 28 hari. Pemberian copidogrel pada pasien dengan Unstable Angina menunjukan peningkatan angka perdarahan (selain perdarahan intrakranial) pada 2072 pasien pasca CABG selama 5-7 hari perawatan. Sementara itu penelitian lain memberikan hasil yang beda. Tidak didapatkan

kenaikan kejadian perdarahan pada 1366 pasien. Saat ini ACC/ AHA menganjurkan pemberian clopidogrel selama 5-7 hari sebelum CABG sebagai langkah antisipasi. Pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan STEMI yang diterapi dengan fibrinolisis, menunjukan peningkatan angka mortalitas dan kejadian jantung lainnya jika diberikan clopodogrel bersama dengan aspirin dan heparin (LMWH) atau heparin non-fraksi (UFH) saat penatalaksanaan inisiasi (sekitae 75mg dosis harian selama 8 hari di rumah sakit). Pada pasien dengan STEMI yang diterapi dengan PPCI, terdapat penurunan mortalitas dan kejadian jantung lainnya serta sedikit peningkatan perdarahan saat clopidogrel diberikan di ED, rumah sakit, atau pelayanan sebelum rumah sakit. Pokok utama dari penemuan ini, provider harus mengatur waktu paruh dari clopidogrel untuk standar pengobatan (seperti aspirin, antikoagulan, dan reperfusion) pada pasien yang mempunyai sedang-berat resiko NSTEMI ACS dan STEMI (Kelas I, LOE A). Pada pasien kurang dari 75 tahun, direkomendasikan untuk memberikan waktu paruh clopidogrel 300mg-600mg pada pasien NSTEMI dan STEMI. Sangat beralasan pemberian clopidogrel 300mg pada pasien ED yang dicurigai ACS jika pemberian aspirin dapat menimbulkan hipersensitivitas atau intoleran dari saluran cerna (Kelas IIa, LOE B). Hanya sedikit pembuktian tentang waktu paruh clopidogrel pada pasien berusia lebih dari 75 tahun dengan NTEMI dan Stemi yang diterapi PPCI, dan pasien STEMI dengan terapi fibrinolisis , dosis ideal pemberian clopidogrel telah digambarkan. Di ED, pemilihan antiplatelet harus desertai dengan penelitian lokal, buku panduan dan rekomendasi yang valid. Prasugrel merupakan merupakan preparat oral dari prodrug thienopiridin yang bekerja menghambat reseptor ADP sehingga dapat menghambat terbentuknya agregasi platelet. Prasugel dapat diasosiasikan dengan dengan obat lain yang tidak meningkatkan mortalitas dan kejadian jantung lainnya, seperti dengan clopidogrel. Tetapi pemberian ini dikontraindikasikan dengan pasien pasca angiografi dengan NSTEMI menjalani PCI karena dapat menyebabkan perdarahan. Faktor resiko lain yang dapat menyebabkan perdarahan hebat yaitu udia diatas 75 tahun, pasien dengan stroke, dan berat badan kurang dari 60 kilogram. Prasugrel dengan loading dose 60mg per oral dapat di substitusikan dengan clopidogrel setelah angiografi pada pasien NSTEMI ACS atau STEMI lebih dari 12 jam setelah gejala onset pendahuluan untuk merencanakan PCI (kelas IIa, LOE B). Pada pasien yang tidak memiliki resiko tinggi perdarahan, penggunaan prasugrel untuk angiografi pada pasien STEMI kurang dari 12 jam setelah gejala dapat di substitusikan dengan pemberian clopidogrel. Prasugrel tidak direkomendasikan pada pasien STEMI dengan pengobatan fibrinolisis atau pasien NSTEMI sebelum angiografi. GLIKOPROTEIN IIb/ IIIa INHIBITOR

Penggunaan dan efikasi penghambat reseptor glikoproterin IIb/ IIIa untuk penatalaksanaan pada pasien dengan UA/ NSTEMI tidak bisa dipungkiri dengan baik. Terdapat dua studi yang tidak mendukung dosis rutin pemberian GP IIa/ IIIa I. Penelitian tersebut menunjukan peningkatan yang besar pada pasien yang menujukan peningkatan kadar enzim troponin pada jantung dan strategi invansif pada kejadian yang spesifik misalkan saja pada pasien dengan diabetes atau depresi segmen ST pada gambaran EKG. Pada penelitian yang telah dilakukan, penggunaan GP IIb/ IIIa I bersama dengan obat antiplatelet dapat meningkatkan resiko pendarahan. Belum ada bukti yang mendukung studi tersebut. Masih diperlukan pembuktian lebih lanjut dalam peggunaan obat ini.

Adrenergik Reseptor Blockers Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terjadi penurunan mortalitas dan penurunan besarnya infark dengan pemberian dini blockers secara intravena. Pemberian sesegera mungkin blockers juga membantu mencegah aritmia lebih parah tetapi meningkatkan insidensi shock kardiogenik. Pada beberapa review penelitian menunjukkan bahwa ditemukannya pemberian dini blockers dapat menyebabkan suatu bahaya yang irreversibel pada sampel. Berdasarkan seluruh evidence yang ada untuk pasien ACS tanpa elevasi segment ST, guidelines AHA merekomendasikan blockers diberikan peroral pada 24 jam pertama setelah hospitalisasi. Kontra indikasi dari blockers adalah gagal jantung kiri dan edema paru, bradikardi (