abstrak - sinta.unud.ac.id · pasal 8 ayat 1 huruf j undang-undang nomor 8 tahun 1999 telah...
TRANSCRIPT
i
ABSTRAK
Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 telah
memberikan aturan tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha, yang
menyatakan bahwa Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk
penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. Namun faktanya di lapangan penerapan ketentuan
pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor masih
banyak dijumpai tidak mematuhi aturan perundang-undangan yang berlaku. oleh
karena itu, menarik untuk dikaji bagaimanakah efektivitas ketentuan tentang
pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik impor
dan bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik
impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni penelitian hukum
empiris yang mengkaji kesenjangan antara ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Huruf J UU No.
8 Tahun 1999 dengan pelaksanaannya di lapangan. Data primer dalam penelitian ini
diperoleh melalui penelitian lapangan yaitu dengan cara melakukan wawancara
langsung ke beberapa informan dan responden yang terkait. Data sekunder dalam
penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan terhadap bahan hukum primer,
sekunder, dan tertier sesuai permasalahan yang akan dibahas. Data yang telah
dikumpulkan baik dari penelitian lapangan maupun kepustakaan di olah dengan
pendekatan kualitatif.
Dari hasil penelitian tersebut diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa
ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor
belum efektif diterapkan, melihat masih banyaknya beredar kosmetik impor yang
belum mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada
kemasannya. Mengenai bentuk perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk
kosmetik impor yang tidak mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa
Indonesia pada kemasannya dilakukan melalui perlindungan preventif dan represif.
Kata kunci : Label, Kosmetik Impor, Hak Konsumen, Perlindungan Konsumen
ii
ABSTRACT
Article 8 Paragraph 1 Letter J Law No. 8 of 1999 has provided rules on
prohibiting the acts for businesses, which states that the business communities are
prohibited from producing and / or trading goods and / or services that do not
include the information and / or instructions for use of Indonesian goods in
accordance with the provisions of applicable law. But in fact, in the field application
of the provisions in Indonesian language, labeling on the packaging of imported
cosmetic products still prevalent not to comply with the rules of applicable
legislation. Therefore, it is interesting to examine how the effectiveness of the
provisions on labeling in Indonesian language on the packaging of imported cosmetic
products and how the legal protection for consumers against imported cosmetic
products that are not labeled Indonesian.
The type of research used in this study is the empirical legal research which
examines the gap between the provisions of Article 8, paragraph 1 of Law No. Letter
J 8, 1999 with the ground implementation. Primary data in this study were obtained
through field research that is by direct interviews to several informants and
respondents which were concerned. Secondary data in this study were obtained
through library research to primary legal materials, secondary, and tertiary
appropriate issues to be discussed. The data have been collected both from the
research literature in the field or the qualitative approach.
From the results mentioned above, it can be concluded that the provisions in
Indonesian language labeling on imported cosmetic products has not been effectively
implemented, there are still many outstanding view that have not been included, such
as the conditions of the use of Indonesian language labeling on the packaging.
Regarding the forms of legal protection for consumers against imported cosmetic
products that do not include the terms of use in Indonesian language labeling on the
packaging is done through preventive and repressive protection.
Keywords: Label, Cosmetic Imports, Consumer Rights, Consumer Protection.
iii
RINGKASAN
Bab I Pendahuluan, menguraikan latar belakang yang melandasi lahirnya
penelitian terhadap permasalahan dalam tesis ini. Berdasarkan hal tersebut, maka
permasalahan yang yang diteliti dalam tesis ini meliputi 2 (dua) hal yakni efektivitas
ketentuan tentang pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap kemasan produk
kosmetik impor dan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik
impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia. Disamping latar belakang dan rumusan
masalah, pada bab I juga diuraikan mengenai tujuan dan manfaat penelitian, landasan
teoritis yang akan dipakai mengkaji sesuai permasalahan yang dibahas, metode
penelitian yang digunakan dalam penulisan tesis ini, sumber-sumber bahan hukum
yang menunjang pembahasan permasalahan, teknik pengumpulan bahan hukum serta
teknik pengolahan dan analisa bahan hukum.
Bab II, Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen dan Label
Kemasan menguraikan mengenai pengertian dan dasar hukum perlindungan
konsumen, asas dan tujuan perlindungan konsumen, hak dan kewajiban konsumen
serta hak dan kewajiban pelaku usaha. Pada bab ini juga menguraikan mengenai
pengertian label kemasan, fungsi label kemasan serta klasifikasi label kemasan.
Bab III tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil
penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa
berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan
yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini memuat tentang peredaran
produk kosmetik impor di bali, pencantuman label kemasan berbahasa indonesia pada
produk kosmetik impor yang beredar di bali.
Bab IV tentang pembahasan rumusan masalah I, dikemukakan hasil-hasil
penelitian yang diperoleh sesuai dengan permasalahan yang dibahas dan dianalisa
berdasarkan kajian teoritis, empiris, untuk menemukan jawaban dari permasalahan
yang ada. Oleh karena itu, dalam sub bahasan bab ini memuat tentang keberadaan
label kemasan pada produk kosmetik impor sebagai wujud hak konsumen atas
informasi dan perlindungan hukum terhadap konsumen atas produk kosmetik impor
yang tidak berlabel bahasa indonesia.
Bab V sebagai penutup ini dikemukakan kesimpulan yang diperoleh
berdasarkan hasil pembahasan yang dilakukan pada bab III dan bab IV. Adapun
kesimpulan atas kedua permasalahan yang dibahas yakni, ketentuan pencantuman
label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor belum efektif diterapkan,
melihat masih banyaknya beredar kosmetik impor yang belum mencantumkan
ketentuaan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya. Bentuk
perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak
mencantumkan ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia pada kemasannya
dilakukan melalui perlindungan preventif dan represif.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL DEPAN
HALAMAN SAMPUL DALAM …………………………………………… i
HALAMAN PERSYARATAN GELAR MAGISTER……………………… ii
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………… iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS …………………… iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………… v
UCAPAN TERIMA KASIH………………………………………………… vi
ABSTRAK ………………………………………………………………… . ix
ABSTRACT ....................................................................................................... x
RINGKASAN………………………………………………………………… xi
DAFTAR ISI………………………………………………………………...... xii
DAFTAR BAGAN…………………………………………………………… xvi
DAFTAR DIAGRAM………………………………………………………. xvii
DAFTAR TABEL…………………………………………………………… xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah……………………………………….. … 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 12
1.3 Ruang Lingkup Masalah………………………………………….. 12
1.4 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 13
1.4.1 Tujuan Umum..…………………………………………….. 13
1.4.2 Tujuan Khusus……………………………………………... 14
v
1.5 Manfaat Penelitian……………………………………………….. 14
1.5.1 Manfaat Teoritis…………………………………………… 14
1.5.2 Manfaat Praktis…………………………………………… 15
1.6 Orisinalitas Penelitian……………………………………………. 16
1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir….……………………….. 17
1.7.1 Landasan Teori…………………………………………….. 17
1.7.2 Kerangka Berpikir…………………………………………. 27
1.8 Metode Penelitian………………………………………………… 29
1.8.1 Jenis Penelitian……………………………………………. 30
1.8.2 Sifat Penelitian……………………………………………… 32
1.8.3 Data dan Sumber Data……………………………………… 33
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data…………………………………. 36
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian……………………… 37
1.87 Teknik Pengolahan dan Analisi Data……………………….... 38
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
DAN LABEL KEMASAN…..…………………………………...……. 39
2.1 Perlindungan Konsumen……………………………………………. 39
2.1.1 Pengertian dan Dasar Hukum Perlindungan Konsumen.…….. 39
2.1.2 Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen………….............. 44
2.1.3 Hak dan Kewajiban Konsumen…………………………….. . 51
vi
2.1.4 Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha………………………….. 59
2.2 Label Kemasan……………………………………………………. 63
2.2.1 Pengertian Label dan Kemasan……………………………… 63
2.2.2 Fungsi Label dan Kemasan………………………………….. 66
2.2.3 Klasifikasi Label dan Kemasan……………………………… 68
BAB III PENCANTUMAN LABEL KEMASAN BERBAHASA INDONESIA
PADA PRODUK KOSMETIK IMPOR………………………………. 73
3.1 Peredaran Produk Kosmetik Impor Di Bali…………………………. 73
3.1.1 Syarat-Syarat Peredaran Kosmetik Impor di Bali…………….. 79
3.1.2 Akibat Hukum Tidak Dicantumkannya Label Kemasan Berbahasa
Indonesia Pada Produk Kosmetik Impor……………………. 85
3.2 Pencantuman Label Kemasan Berbahasa Indonesia Pada Produk
Kosmetik Impor Yang Beredar Di Bali…………………………… 87
3.2.1 Efektifitas Pencantuman Label Kemasan Berbahasa Indonesia
Pada Produk Kosmetik Impor Yang Beredar Di Bali………… 93
3.2.2 Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pencantuman Label
Kemasan Berbahasa Indonesia Pada Produk Kosmetik Impor 104
BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN PADA PRODUK
KOSMETIK IMPOR YANG TIDAK BERLABEL BAHASA
INDONESIA ………………………………………………………. 105
vii
4.1 Keberadaan Label Kemasan Pada Produk Kosmetik Impor Sebagai
Wujud Hak Konsumen Atas Informasi ………………………. 105
4.1.1 Tujuan Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk
Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia.. 121
4.1.2 Manfaat Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap Produk
Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia.. 124
4.2 Perlindungan Hukum Terhadap Konsumen Atas Produk Kosmetik
Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia……………………… 127
4.2.1 Perlindungan Hukum Terhadap Kerugian Konsumen Atas Produk
Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia…….. 134
4.2.2 Penyelesaian Terhadap Kerugian Konsumen Akibat Produk
Kosmetik Impor Yang Tidak Berlabel Bahasa Indonesia……… 139
BAB V PENUTUP
5.1 Simpulan ……………………………………………………. 148
5.2 Saran ………………………………………………………… 149
DAFTAR PUSTAKA
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan Negara yang semakin maju mempunyai pengaruh bagi
masuknya produk-produk impor yang saat ini tidak hanya beredar di kota-kota besar
saja tetapi telah masuk sampai pelosok-pelosok daerah di kota-kota terpencil, selain
itu kebutuhan manusia yang semakin kompleks seiring dengan berkembangnya
zaman serta taraf hidup manusia yang menuju modernisasi telah berdampak pada
kebutuhan yang tidak hanya sebatas pada kebutuhan pokok/dasar saja, melainkan
juga kebutuhan penunjang kehidupan sosial seseorang dalam masyarakat, antaralain
kebutuhan akan penampilan yang menarik. Banyak cara yang digunakan oleh para
wanita untuk memperbaiki penampilan, salah satu cara yang sering dijumpai pada
kehidupan sehari-hari untuk memperbaiki penampilan agar terlihat lebih cantik
adalah dengan adalah penggunaan tata rias wajah atau yang lebih dikenal dengan
istilah kosmetik.
Salah satu kota yang cukup pesat perkembangannya bagi produk impor
terutama kosmetik adalah kota Denpasar, Provinsi Bali, sebagai kota besar yang
kebanyakan penduduknya dari kalangan atas menilai kosmetik sudah menjadi
kebutuhan. Adanya perubahan gaya hidup menyebabkan kosmetik terutama kosmetik
impor merupakan produk yang diminati masyarakat di Kota Denpasar. Hal ini dapat
ix
dilihat dari banyaknya kosmetik kemasan produk luar negeri beredar di pasar
tradisional maupun pasar modern seperti swalayan maupun mini market.
Peredaran kosmetik impor yang diimbangi dengan banyaknya pemakaian
produk kosmetik impor, namun di lain pihak pengetahuan masyarakat masih belum
memadai untuk dapat memilih dan menggunakan produk kosmetik secara tepat, benar
dan aman. Kurangnya keamanan menyebabkan banyak konsumen yang dirugikan
dengan penggunaaan produk kosmetik.Dengan demikian perlindungan konsumen
terutama pada pemakaian produk kosmetik impor harus mendapat perhatian yang
lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia,
dimana ekonomi Indonesia juga telah terkait dengan ekonomi dunia.Persaingan
perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan
konsumen.1
Pengaruh globalisasi tampak jelas ketika masuknya barang-barang impor di
pasar Indonesia. Implikasinya terhadap masuknya arus barang-barang impor yang
pesat ke pasar Indonesia akan menimbulkan dampak yang paling signifikan adalah
produk lokal sulit untuk bersaing dengan produk asing di tingkat pasar. Pada
kenyataannya konsumen lebih memilih untuk menggunakan produk kosmetik impor
karena mutu dan kualitasnya dianggap lebih baik daripada produk kosmetik lokal.
Pemerintah pun akan sulit membendung arus masuknya produk-produk asing
1Celine Tri Siwi Krisyanti, 2011, Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 3
x
tertentu, baik karena tingkat permintaan yang tinggi atau penawaran yang atraktif dari
luar negeri.
Banyak produk kosmetik yang beredar di pasaran di Indonesia namun tidak
disertai dengan keterangan mengenai produk tersebut dalam bahasa Indonesia.
Produsen luar negeri dengan bebas mengimpor produknya dan beredar di
Indonesia.Padahal menurut ketentuan perlindungan konsumen informasi dalam
bentuk bahasa Indonesia adalah ketentuan mutlak yang harus dipenuhi ketika produk
impor memasarkan produknya di Indonesia.Konsumen yang keberadaanya sangat
tidak terbatas dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan
kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara sefektif
mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu
semua cara pendekatan diupayakan sehinga mungkin menimbulkan berbagai dampak
termasuk keadan yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan tidak
terpuji yang berawal dari tikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain
menyangkut kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan
menyesatkan, pemalsuan dan sebagainya.
Bagi konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa memilki arti
yangsangat penting.2Informasi-informasi tersebut meliputi tentang ketersedian
barangatau jasa yang dibutuhkan masyarakat konsumen, tentang kualitas
produk,keamananya, harga, tentang berbagai persyaratan dan/atau cara
2A.Z Nasution, 1995, Konsumen dan Hukum, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hal.10
xi
memperolehnya,tentang jaminan atau garansi produk, persedian suku cadang,
tersedianya pelayanan
jasa purna purna-jual, dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara materil maupun formal
makin terasa sangat penting, mengingat makin majunya ilmu pengetahuan dan
teknologi yang merupakan motor pengerak bagi produktifitas dan efisiensi produsen
atas barang atau jasa yang dihasilkanya dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam
rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak
langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya.3
Dengan demikian, upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap
kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak, untuk
segera dicari solusinya, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang
menyangkut perlindungan konsumen di Indonesia lebih-lebih menyongsong era
perdagangan bebas.
Kesepakatan mengenai harmonisasi ASEAN di bidang kosmetik dicapai pada
tanggal 2 September 2003 yaitu dengan ditandatanganinya ASEAN Harmonized
Cosmetic Regulatory Schemeoleh 10 wakil negara anggota ASEAN, dalam hal ini
Indonesia diwakili oleh Menteri Industri dan Perdagangan pada waktu itu. Tujuan
AHCRS adalah untuk menghilangkan hambatan teknis dengan menyelaraskan
peraturan dan persyaratan teknis di ASEAN tanpa mengabaikan mutu dan keamanan
kosmetik. Hal ini akan membantu perdagangan kosmetik diantara negara ASEAN dan
3Happy Susanto, 2008, Hak-Hak Konsumen Jika Dirugikan, Visi Media, Jakarta, hal. 39
xii
meningkatkan daya saing industri kosmetik ASEAN di tingkat global. AHCRS
meliputi ASEAN Mutual Recognition Arrangement of Product Registration Approval
for Cosmetic (Schedule A) diterapkan dari 2003-2007 dan ASEAN Cosmetic
Directive/ACD (Schedule B) diterapkan pada 1 Januari 2008.
Pada sidang ACC ke-6 yang diselenggarakan pada bulan Juni 2006 di Siem
Reap Kamboja, semua negara anggota (kecuali Myanmar tidak hadir) menyatakan
akan mengikuti Schedule B yaitu menerapkan harmonisasi di bidang kosmetik mulai
1 Januari 2008 dengan acuan ASEAN Cosmetic Directive (ACD). Pada saat
implementasi harmonisasi, produsen atau perusahaan yang bertanggung jawab atau
menempatkan produknya di pasar harus memberi tahu (notify) pada pemerintah di
setiap negara anggota ASEAN di mana produk akan dipasarkan. Perbedaan mendasar
sistem pengawasan pada saat ini dan nanti pada saat ditetapkannya harmonisasi
adalah adanya transisi dari sistem registrasi (pre-market approval) menjadi sistem
pengawasan setelah beredar (post-market surveillance), hal ini dilakukan karena dari
analisa penilaian resiko kosmetik merupakan produk beresiko rendah sepanjang
semua peraturan/regulasi kosmetik dipatuhi oleh produsen.
ASEAN Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme menyatakan suatu negara
anggota ASEAN harus menerima produk yang telah terdaftar di negara anggota
ASEAN lain; Namun, regulasi dan persetujuan untuk negara-negara anggota masih
belum valid sehingga perlu untuk mendaftarkan produk kosmetik Impor tersebut di
Indonesia. Proses registrasi produk kosmetik di Indonesia diatur oleh Badan
Pengawasan Obat dan Makanan, juga memanggil BPOM yang berada di bawah
xiii
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.Untuk dapat melanjutkan registrasi
produk kosmetik impor di Indonesia harus memiliki perusahaan di Indonesia atau
distributor atau agen yang akan mendaftarkan produk tersebut di bawah perusahaan
sendiri Indonesia sesuai dengan syarat dan ketentuan Peraturan Perundang-undangan
Indonesia.4
Perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia diatur dalam ketentuan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK). Menurut ketentuan yang diatur
dalam Pasal 1 angka 2 UUPK menyatakan bahwa : “Konsumen adalah setiap orang
pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan
diri sendiri, keluarga, orang lain maupun mahluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan.” Hak atas informasi adalah salah satu dari sekian banyak hak-hak
yang dimiliki konsumen, sebagaimana dirumuskan didalam Pasal 4 Huruf c
UUPKyang menyatakan bahwa “konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas,
dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa.”
Ketentuan penggunaan label berbahasa Indonesia juga diatur dalam Pasal 8
Ayat 1 Huruf J UUPK yang mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku
usaha, yang menyatakan bahwa “Pelaku Usaha dilarang memproduksi dan/atau
memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak mencantumkan informasi
4Asrijaya, 2016, Impor Kosmetik Indonesia, https://asrijaya.wordpress.com/tag/impor-
kosmetik-indonesia/, diakses pada 16 Juni 2016.
xiv
dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.”
Diantara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang
diperlukan konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah
informasi yang bersumber dari kalangan pelaku usaha.Terutama dalam bentuk iklan
dan label, tanpa mengurangi pengaruh berbagai bentuk informasi pengusaha
lainnya.5Mengingat begitu pentingnya informasi yang benar dan lengkap mengenai
suatu produk barang/dan atau jasa seharusnya dapat menyadarkan para pelaku usaha
untuk menghormati hak-hak konsumen dan menjalankan kewajiban pelaku usaha
dengan baik dengan memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk
digunakan, mengikuti standar yang berlaku dan harga yang wajar.
Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas dengan strata yang
sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan
distribusi produk barang atau barang dengan cara seefektif mungkin agar dapat
mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. Untuk itu semua cara pendekatan
diupayakan sehingga mungkin menimbulkan berbagai dampak, termasuk keadaan
yang menjurus pada tindakan yang bersifat negatif bahkan yang tidak terpuji yang
berawal dari itikad buruk. Dampak buruk yang lazim terjadi, antara lain menyangkut
kualitas, atau mutu barang, informasi yang tidak jelas bahkan menyesatkan,
pemalsuan dan sebagainya.6
5Ibid, hal. 71 6 Zumroetin K. Soesilo, 1996, Penyambung Lidah Konsumen, Swadaya, Jakarta, hal. 12
xv
Dalam hubungannya dengan masalah label, penggunaan bahasa Indonesia
yang baik dan benar dibutuhkan bagi konsumen untuk memperoleh informasi yang
benar, jelas, dan lengkap, baik mengenai kuantitas, isi, kualitas, cara pemakaian
produk maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai produk kosmetik impor yang
beredar di pasar. Mengenai label, dalam kemasan harus tercantum nama produsen,
importir, bahan penyusun dan khasiat. Label ini harus dalam bahasa Indonesia,
sehingga mudah dimengerti. Label merupakan standar kelayakan penggunaan
kosmetik. Bila kosmetik tersebut tidak bermasalah maka produsen tidak keberatan
menggunakan label dengan bahasa sesuai dengan negara pengguna.7
Selain UUPK, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor
73/M-DAG/PER/9/2015Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa
Indonesia Pada Barang sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 2, yaitu :
(1) Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Barang untuk diperdagangkan
di Pasar dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri
ini wajib mencantumkan Label dalam Bahasa Indonesia.
(2) Lampiran Peraturan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari :
a. Lampirin I, memuat daftar jenis Barang elektronika keperluan rumah tangga,
telekomunikasi, dan informatika;
b. Lampiran II, memuat daftar jenis Barang Bahan Bangunan;
c. lampiran III, memuat daftar jenis Barang keperluan kendaraan bermotor (suku
cadang dan lainnya);
d. Lampiran IV, memuat daftar jenis Barang lainnya; dan
e. Lampiran V, memuat daftar tambahan jenis Barang dan perluasan Barang.
(3) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya
menggunakan Bahasa Indonesia yang jelas dan mudah dimengerti.
(4) Penggunaan Bahasa selain Bahasa Indonesia, angka arab, huruf latin
diperbolehkan jika tidak ada padanannya.
7ibid
xvi
Pasal 3 menjelaskan :
(1) Barang yang diimpor oleh Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
pada saat memasuki Daerah Pabean telah dicantumkan Label dalam Bahasa
Indonesia.
(2) Pelaku Usaha yang mengimpor Barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bertanggung jawab terhadap Barang yang diimpor.
Pasal 4 menjelaskan :
(1) Pencantumkan Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (1) untuk Barang,
harus bersifat tetap (permanen) berupa :
a. emboss atau tercetak pada Barang; atau
b. label yang secara utuh melekat pada Barang.
(2) Pencantuman Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) untuk
kemasan, harus bersifat tetap (permanen) berupa :
a. embos atau tercetak pada Kemasan; atau
b. Label yang secara utuh melekat pada Barang dan Kemasan yang bersifat tetap
(permanen) sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) tidak berupa stiker.
(3) Label yang secara utuh melekat pada Barang dan Kemasan yang sersifat tetap
(permanen) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berupa stiker.
(4) Label berbahasa Indonesia yang melekat pada Kemasan berukuran lebih besar
atau sama dengan label aslinya (bahasa asing) serta rusak jika dilepaskan.
(5) Ukuran Label disesuaikan dengan besar atau kecilnya Barang atau Kemasan yang
digunakan dan dapat dibaca dengan mudah dan jelas.
Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang kosmetik juga
mengatur mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia pada kosmetik impor.
Pada Pasal 19 menyatakan wadah dan pembungkus harus diberikan penandaan yang
berisi informasi yang lengkap, objektif dan tidak menyesatkan. Selanjutnya pada
pasal 22 Ayat 1 berisi penulisan pernyataan atau keterangan dalam penandaan harus
jelas dan mudah dibaca menggunakan huruf latin dan angka arab. Kemudian pada
Pasal 22 ayat 2 jelas memuat mengenai penandaan yang ditulis dengan bahasa asing,
harus disertai keterangan mengenaikegunaan, cara penggunaan dan keterangan lain
dalam Bahasa Indonesia.
xvii
Produk kosmetik impor tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia masih
banyak beredar di pasaran. Terdapat juga pelabelan yang lengkap namun pesan
informasi tidak sampai ke konsumen, karena menggunakan bahasa Negara asal
produk tersebut yang belum tentu dipahami konsumen. Contohnya seperti kosmetik
dengan merek Revlon, Loreal, SK II.Produk kosmetik ini lebih banyak menggunakan
bahasa dari Negaranya seperti Inggris dan Cina.
Penggunaan bahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor memiliki
arti yang penting mengingat sebagian besar konsumen di Indonesia tidak mudah
untuk memahami penggunaan bahasa lain. Penggunaan label dengan bahasa
Indonesia saja kadang tidak dapat dimengerti atau dipahami konsumen, apalagi
produk selain bahasa Indonesia. Dengan label berbahasa Indonesia, konsumen bisa
mengetahui informasi produk yang dibelinya sehingga bisa meminimalisasi resiko
kejadian yang tidak diinginkan. Label selain bahasa Indonesia tentu akan menyulitkan
konsumen dalam memahami, menggunakan, serta mengetahui bahan-bahan yang
terdapat pada produk yang dibelinya.
Dampaknya bagi kesehatan dan keamanan pemakaian produk kosmetik impor
tanpa pencantuman label berbahasa Indonesia tidak terjamin dengan baik. Banyaknya
beredar merek-merek kosmetik yang dijual dipasaran dengan kemasan yang menarik,
dan menjanjikan akan mendapatkan hasil dalam waktu singkat perlu diwaspadai oleh
masyarakat. Konsumen harus lebih waspada serta jeli sebelum membeli produk
kosmetik.Produk kosmetik yang mengandung bahan berbahaya memiliki efek
xviii
samping yang berdampak pada kerusakan kulit akibat dari pemakaian produk tersebut
yang sebelumnya tidak ada keterangan atau petunjuk dokter.
Standarisasi mutu produk sangat penting dirasakan untuk produk kosmetik,
mengingat sangat dekat berhubungan dengan kesehatan, karena efek pemakaian
kosmetik yang mengandung bahan berbahaya bisa berdampak buruk pada kesehatan
tubuh terutama pada kulit. Oleh karena itu, produsen selaku pelaku usaha yang
kegiatannya memperdagangkan produk-produk kosmetik harus memperhatikan
ketentuan mengenai keamanan produk itu sendiri yang harus memenuhi syarat-syarat
dan pengawasan kosmetik yang telah dikeluarkan oleh pemerintah Republik
Indonesia. Faktor keamanan dan tidak merugikan kesehatan merupakan hak
konsumen yang sangat penting.
Berdasarkan pemaparan keadaan seperti yang telah diuraikan diatas terjadi
kesenjangan antara das sollen (teori) dengan das sein (praktek atau kenyataan) pada
penerapan ketentuan pencantuman labelyang tidak sesuai dengan pasal Pasal 8 Ayat 1
Huruf J Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2,Pasal 3 dan Pasal4
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-Dag/Per/9/2015
Tahun 2015Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada
Barang, serta Pasal 22 Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745
tentang Kosmetik, tetapi pada praktek atau kenyataannya banyak produk kosmetik
impor yang beredar di pasaran belum mencantumkan penggunaan bahasa Indonesia
pada kemasannya. Dalam tesis ini penulis hendak melakukan penelitian lebih lanjut
xix
dilapangan yang berlokasi di Denpasar, penelitian lapangan ini bertujuan untuk
mengetahui secara langsung mengenai implementasi dari ketentuan pencantuman
label berbahasa Indonesia pada produk kosmetik yang beredar di Indonesia, hal inilah
yang melatar belakangi penelitian karya ilmiah ini dengan mengangkat judul
“Implementasi Ketentuan Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada
Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Atas
Keamanan Konsumen”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana diuraikan diatas, maka
dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah efektivitas ketentuan tentang pencantuman label berbahasa
Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik impor ?
2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk
kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menghindari pembahasan yang jauh menyimpang dari pokok
permasalahan yang diajukan dalam penulisan tesis ini, maka dipandang perlu
mengadakan pembatasan, sehingga dalam pembahasan selanjutnya dapat terfokus
pada pokok permasalahan yang diajukan sebelumnya.
xx
Pada penelitian ini ruang lingkup masalah yang ingin dikemukakan dibatasi
hanya padaefektivitas ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia terhadap
kemasan produk kosmetik impor dan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap
produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia tersebut.
1.4Tujuan Penelitian
adapun tujuan dari penelitian tesis ini yaitu tujuan umum dan tujuan khusus
yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1.4.1 Tujuan Umum
Adapun tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu
sebagai berikut:
1. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai perlindungan
hukum terhadap konsumen berkaitan dengan penggunaan label Bahasa
Indonesia pada setiap kemasan produk kosmetik impor.
2. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengembangkan pemikiran yang
konseptual mengenai pencantuman label berbahasa Indonesia sebagai
perwujudan hak konsumen atas informasi yang kaitannya dengan
perlindungan konsumen.
3. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk menyumbangkan pemikiran berkenaan
dengan label berbahasa Indonesia yang harus dicantumkan pada setiap
kemasan produk mengingat masih banyaknya produk impor yang beredar
dipasaran belum memberikan informasi produk dalam bahasa Indonesia.
xxi
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk menganalisa implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa
Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor sebagai bentuk
perlindungan hak atas keamanan konsumen.
2. Untuk menganalisa efektivitas ketentuan peraturan yang berkaitan dengan
pencantuman label Bahasa Indonesia terhadap kemasan produk kosmetik
impor
3. Untuk menganalisaperlindungan hukum bagi konsumen terhadap produk
kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.
1.5 Manfaat Penelitian
Mengenai manfaat yang diharapkan melalui penelitian terhadap kedua pokok
permasalahan diatas tersendiri dari dua manfaat, yaitu :
1.5.1 Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
sumbangan pemikiran yang bersifat teoritis dalam rangka pengembangan
ilmu pengetahuan hukum di masa yang akan datang yang khususnya
berkaitan dengan perkembangan di bidang hukum bisnis terutama
mengenai implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa Indonesia
pada kemasan produk kosmetik impor.
xxii
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengembangan ilmu
pengetahuan hukum khususnya mengenai efektivitas ketentuan peraturan
yang berkaitan dengan pencantuman label Bahasa Indonesia terhadap
kemasan produk kosmetik impor
3. Penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman dan pengembangan
wawasan pengetahuan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen
terhadap produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Manfaat bagi konsumen
Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan untuk tetap
memperhatikan pencantuman label pada setiap produk yang dibelinya,
sehingga kepedulian konsumen akan haknya atas informasi sangat
membantu dalam usaha - usaha pemberdayaan konsumen itu sendiri.
2. Bagi produsen atau pelaku usaha
Hasil penelitian ini diharapkan akan menimbulkan kesadaran hukum untuk
memberikan informasi yang jelas, benar dan jujurserta mencantumkan
label berbahasa Indonesia pada setiap kemasan produk kosmetik tersebut.
3. Bagi pemerintah khususnya Dinas Perindustrian dan Perdagangan maupun
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan masukan untuk lebih
mengintensifkan peraturan mengenai efektivitas pencantuman label
berbahasa Indonesia pada produk kosmetik impor.
xxiii
1.6 Orisinalitas Penelitian
Substansi pada tesis ini adalah kajian mendalam mengenai implementasi
pencantuman label pada kemasan produk kosmetik impor dan faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi implementasinya. Sepanjang penulusuran penulis, belum pernah
ada yang meneliti dan memecahkan masalah mengenai tulisan ini.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan terhadap tulisan atau hasil penelitian
yang berjudul “Implementasi Pencantuman Label Berbahasa Indonesia Pada
Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk Perlindungan Hak Atas Keamanan
Konsumen” belum pernah ada yang meneliti sebelumnya. Akan tetapi ada penelitian
yang berkaitan dengan pelabelan, yaitu :
1. Tesis dari Indah Febrianti pada Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universtas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010 yang mengangkat tesis dengan
judul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dengan Adanya Sistem
Notifikasi Kosmetika Dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme
(AHCRS), dengan permasalahanya yaitu (1) Apakah penerapan notifikasi
kosmetik dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme (AHCRS)
di Indonesia telah sejalan dengan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1999
tentang perlindungan konsumen ? (2) Apakah sistem notifikasi kosmetik
dalam Asean Harmonized Cosmetik Regulatory Scheme (AHCRS) telah
xxiv
menjamin hak-hak konsumen seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen ?8
2. Tesis dari Anak Agung Ayu Diah Indrawati pada Program Pascasarjana
Universitas Udayana, 2011 yang meneliti tentang Perlindungan Hukum
Konsumen Dalam Pelabelan Produk Pangan, dengan rumusan masalah yaitu
(1) Apakah ketentuan label produk pangan sebagaimana diatur dalam PP No.
69 Tahun 1999 telah memenuhi asas-asas perlindungan konsumen ?, (2)
Apakah akibat hukum dan tanggung jawab pelaku usaha terhadap pelanggaran
ketentuan label pangan ?9
1.7 Landasan Teori dan Kerangka Berpikir
1.7.1 Landasan Teori
Menurut Shorter Oxford Dictionary ‘teori’ mempunyai beberapa definisi yang
salah satunya lebih tepat sebagai suatu disiplin akademik “suatu skema atau sistem
gagasan atau pernyataan yang dianggap sebagai penjelasan atau keterangan dari
sekelompok fakta atau fenomena, suatu pernyataan tentang sesuatu yang dianggap
sebagai hukum, prinsip umum atau penyebab sesuatu yang diketahui dan diamati.
Definisi lain yang diberikan oleh neuman, ‘teori’ adalah suatu sistem yang tersusun
8 Indah Febrianti, 2010, Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Dengan Adanya Sistem
Notifikasi Kosmetika Dalam Asean Harmonized Cosmetic Regulatory Scheme
(AHCRS),http://etd.ugm.ac.id. diakses 27 oktober.
9 Anak Agung Ayu Diah Indrawati, Perlindungan Hukum Konsumen Dalam Pelabelan
Produk Pangan, Tesis S2 Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar.
xxv
oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai ide
yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia.10Sedangkan
Kerlinger mendefinisikan teori sebagai :
“A theory is a set of interrelated constructs (concepts), definitions, and
propositions that present a systematic view of phenomena by specifying
relations among variables, with the purpose of explaining and predicting the
phenomena”.11
Teori juga sangat diperlukan dalam penulisan karya ilmiah dalam tatanan
hukum positif konkrit. Hal ini sesuai dengan pendapat Jan Gijssels dan Mark Van
Koecke ”Eendegelijk inzicht indeze rechtsteoretissche kwesties wordt blijkens het
voorwoord beschouwd alseen noodzakelijke basis voor elke wetenschappelijke studie
van een konkreetpositief rechtsstelsel”12 (dalam teori hukum diperlukan suatu
pandangan yang merupakan pendahuluan dan dianggap mutlak perlu ada sebagai
dasar dari studi)
Kerangka Teoritis merupakan susunan dari beberapa anggapan, pendapat,
cara, aturan, azas, keterangan sebagai satu kesatuan yang logis yang menjadi
landasan, acuan dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan.
Pada umumnya teori bersumber dari Undang-undang, buku atau karya tulis bidang
ilmu, dan laporan penelitian .teori menjembatani harapan dan kenyataan. Dalam teori
hukum positif, harapan itu tergambar dalam ketentuan Undang-undang (Das Sollen),
10Otje Salman S dan Anthon F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan,
dan Membuka Kembali), Refika Aitama, Bandung, hal. 22
11 Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung,
hal. 140 12 Jan Gijssels en Mark Van Koecke, 1982, What Is Rechtsteorie?, Antwepen, Nederland, hal.
57
xxvi
sedangkan kenyataan berupa perilaku (Das Sein).
Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang
sering diperlukan sebagai tuntunan untuk memecahkan berbagai permasalahan dalam
sebuah penelitian.Landasan teori berupa perangkat konsep, definisi, dan proposisi
yang menyajikan gejala secara sistematik dan merinci hubungan variabel-variabel
untuk meramalkan dan menerangkan gejala tersebut.13
Terkait dengan teori yang dipergunakan dalam penelitian ini, akan digunakan
berupa teori, konsep, dan pandangan para ahli sebagai landasan teoritis. Berikut ini
adalah uraian mengenai landasan teoritis yang digunakan:
1. Teori Sistem Hukum
Untuk menjawab implementasi ketentuan pencantuman label berbahasa
Indonesia pada produk kosmetik impor, dalam hal ini setidaknya perlu dilakukan
pengkajian terhadap syarat elemen subtansi dari suatu sistem hukum yang ada.
Berkaitan dengan hal tersebut, Lawrence M. Friedman dalam teorinya tentang
sistem hukum mengemukakan bahwa setidaknya terdapat tiga elemen sistem hukum
dalam suatu Negara yang turut menentukan efektivitas dari suatu ketentuan hukum
yang terdiri dari struktur (structure), Substansi (substance), dan budaya hukum (legal
13Universitas Udayana,2010, Buku Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis Program
Magister Ilmu Hukum, hal. 12
xxvii
culture).14 Menurut Friedman yang dimaksud dengan komponen sistem hukum
tersebut yakni:15
a. Struktur hukum adalah keseluruhan institusi hukum beserta aparatnya, jadi
termasuk di dalamnya kepolisian dengan polisinya, kejaksaan dengan
jaksanya, pengadilan dengan hakimnya, dan seterusnya. Komponen struktur
dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi (lembaga) yang
diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya
dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.
b. Substansi hukum adalah keseluruhan aturan hukum (termasuk asas hukum
dan norma hukum), baik yang tertulis maupun tidak tertulis, termasuk putusan
pengadilan. Subtansi hukum ini juga mencakup hukum yang hidup di tengah
masyarakat bukan hanya pada aturan-aturan yang ada didalam buku-buku
hukum/ undang-undang/ putusan hakim. Komponen substansi hukum ini
relevan untuk membahas rumusan masalah yang pertama, substansi hukum
yaitu undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
berkaitan dengan pencantuman label berbahasa Indonesia pada kemasan
produk kosmetik impor,jika substansi hukumnya tidak mengatur maka
perlindungan hukum terhadap konsumen pengguna kosmetik impor akan
lemah.
14 Lawrence M. Firedman Sebagaimana yang diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, 2001,
American Law an Introduction, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, PT. Tatanusa, Jakarta, hal. 7
15Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(JudicialPrudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Kencana Prenada Media
Group, Jakarta, hal.225.
xxviii
c. Kultur hukum mencakup nilai-nilai dalam masyarakat yang mendasari hukum
yang berlaku. Mengenai pengertian kultur hukum ini Friedman menyatakan:
Besides structure and subtance, then, there is a third and vital element of the
legal system. It is the element of demand. What creates a demand? One factor,
for what of a better term, we call ‘the legal culture’. By this we mean ideas,
attitudes, beliefs, expectations and opinions about law.
Cara lain dalam mengambarkan 3 (tiga) unsur hukum itu oleh Friedman,
adalah struktur hukum diibaratkan seperti mesin, subtansi hukum diibaratkan sebagai
apa yang dikerjakan dan apa yang dihasilkan mesin tersebut, sedangkan kultur atau
budaya hukum adalah apa saja atau siapa saja yang memutuskan untuk
menghidupkan dan mematikan mesin itu serta memutuskan bagaiamana mesin
tersebut digunakan.
2. Teori Perlindungan Konsumen
Teori perlindungan konsumen terdiri dari :
A. Teori Kontrak
a. Kewajiban untuk memenuhi (The duty to comply)
Kewajiban moral utama para pelaku bisnis menurut teori kontrak adalah
kewajiban menyediakan bagi konsumen produk produk yang sesuai dengan klaim
perusahaan yang dinyatakan secara jelas mengenai produk produk tersebut, yang
memungkinkan konsumen memasuki kontrak secara bebas dan membentuk
pemahaman konsumen mengenai apa yang dia setujui untuk dibeli. Seorang pelaku
xxix
bisnis memiliki kewajiban untuk memenuhi produk yang berkualitas bagi
konsumennya. Produk itu dapat digunakan dan aman bagi konsumennya.16
b. Kewajiban untuk mengungkapkan (The duty of disclosure)
Kesepakatan tidak dapat mengikat kecuali kedua belah pihak yang terlibat
dalam kesepakatan itu mengetahui apa yang mereka lakukan dan secara bebas
memilih untuk melakukannya. Ini berarti bahwa penjual yang bermaksud untuk
memasuki kontrak dengan konsumen memiliki kewajiban untuk mengunkapkan apa
yang pelanggan secara jelas produk ynag akan dibeli oleh pelanggan dan syarat-syarat
pembelian. Seorang penjual memiliki kewajiban untuk menyampaikan kepada
pembeli setiap fakta tentang produk. Informasi yang diungkapkan oleh seorang
penjual akan mempengaruhi keputusan konsumen untuk memesan atau membeli
barang tersebut.
c. Kewajiban untuk tidak disalahartikan (The duty not to misrepresent)
Salah dalam menggambarkan sebuah produk, bahkan lebih dari kegagalan
untuk mengungkapkan informasi. Kesalahan ini akan mengakibatkan kebebasan
untuk memilih menjadi mustahil. Konsumen tidak akan memilih berdasarkan
pengetahuan yang benar mengenai sebuah produk. Dan dalam hal ini tidak akan ada
kebebasan untuk memilih. Kebebasan memilih merupakan sesuatu yang esensial
untuk mengadakan sebuah kontrak.Sebuah tindakan yang dengan sengaja memberi
16 Velazuez, Manuel G. Etika Bisnis : Konsep dan Kasus (Edisi Ke-5). Diterjemahkan oleh
Ana Purwaningsih, Kurnianto, dan Totok Budi Santoso, Yogyakarta; Penerbit Andi, 2005, hal.137.
xxx
gambaran yang tidak tepat mengenai sebuah produk atau komoditi tidak pernah
dibenarkan secara etis.
d. Kewajiban untuk tidak memaksa (The duty not to coercive)
Orang sering bertindak secara tidak rasional bila berada dibawah pengaruh
ketakutan atau tekanan emosional.Seorang penjual dalam hal ini tidak dibenarkan
secara etis untuk memanfaatkan kecemasan, ketakutan atau tekanan emosinal yang
dialami oleh konsumen untuk membeli komoditi yang dijual Kalau penjual
memanfaatkan itu, berarti penjual memaksakan kehendaknya kepada konsumen.
B. The due care theory
Teori perhatian semestinya mengenai kewajiban para pelaku bisnis terhadap
konsumen didasari pada gagasan bahwa konsumen dan pelaku bisnis atau penjual
tidak berada dalam secara equal.Dlama kondisi ini kepentingan konsumen secara
khusus sangat rentan untuk disalahgunakan oleh para pelaku bisnis atau penjual. Di
satu pihak para penjual memiliki pengetahuan dan keahlian mengenai barang
komoditi yang dijual, sedangkan pada pihak yang lain konsumen tidak memiliki
pengetahuan dan keahlian mengenai produk yang akan mereka beli. Oleh karena para
pelaku ekonomi berada dalam posisi yang menguntungkan, mereka memiliki
kewajiban untuk memberikan perhatian ang khusus untuk menjamin kepantingan
konsumen untuk tidak disalahgunakan.Konsumen sangat bergantung pada keahlian
para pelaku bisnis atau penjual. Para pelaku bisnis atau penjual tidak hanya memiliki
kewajiban untuk menyampaikan produk mereka kepada konsumen, tetapi mereka
xxxi
juga harus melaksanakan perhatian yang semestinya (to exercise due care) untuk
mencegah orang lain dari luka yang disebabkan oleh produk.
C. The social cost view of the manufacturer’s duties
Teori ini merupakan kelanjutan dari dua teori sebelumnya.Teori ini
menekankan pada kewajiban pelaku bisnis atau produsen untuk memberikan ganti
rugi terhadap kerugian yang dialami oleh konsumen akibat produk yang digunakan.
3. Teori Kepastian Hukum
Teori Kepastian yang dimaksud dalam teori ini adalah tentang kepastian
hukum, yang mana artinya adalah setiap perbuatan hukum yang dilakukan seharusnya
menjamin sebuah kepastian hukum.Secara konseptual,Indroharto mengemukakan
bahwa kepastian hukum adalahkonsep yang mengharuskan, bahwa hukum objektif
yang berlaku untuk setiap orang tersebut harus jelas dan ditaati.17
Kepastian hukum atau rechtszekerheid menurut J.M.Otto, yang dikutip oleh
Tatiek Sri Djatmiati terdiri dari beberapa unsur sebagai berikut:18
1. Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkannegara.
2. Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsistendan
berpegang pada aturan hukumtersebut.
3. Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.
17 Indroharto,tanpa tahun, Rangkuman Asas-asas umum HukumTataUsaha Negara, Jakarta,
hal.212-213
18 Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi,PPS Unair,
Surabaya, hal. 18
xxxii
4. Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkanaturan
hukum tersebut.
5. Putusan hakim dilaksanakan secara nyata
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka jaminan kepastian hukum menjadi
prasyarat dalam implementasi Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD1945. Hal itu dimaksudkan untuk menjamin terwujudnya tata kehidupan
bernegara dan berbangsa yang adil dan sejahtera, aman, tenteram dan tertib, serta
memberikan kedudukan hukum yang sama bagi warga masyarakat. Peraturan
Perundang-undangan tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan
berdasarkan latar belakang antara lain, agama, suku, ras, golongan, gender, atau status
sosial.
Hal itu menunjukan bahwa kepastian hukum akan terjamin bilamana aturan
hukumnya tidak bermasalah dan setiap warganegara dan pejabat-pejabat
pemerintahan menjunjung tinggi dan menjalankan aturan hukum yang berlaku.
Hukum harus berlaku tegas di dalam masyarakat, mengandung keterbukaan sehingga
siapapun dapat memahami makna atas suatu ketentuan hukum. Hukum yang satu
dengan yang lain tidak boleh kontradiktif sehingga tidak menjadi sumber
keraguan. Kepastian hukum menjadi perangkat hukum suatu negara yang
mengandung kejelasan, tidak menimbulkan multitafsir, tidak menimbulkan
xxxiii
kontradiktif, serta dapat dilaksanakan, yang mampu menjamin hak dan kewajiban
setiap warga negara sesuai dengan budaya masyarakat yang ada.
Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan
arah/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati, karenanya penelitian ini
diarahkan pada ilmu hukum positif yang berlaku, yaitu Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen khususnya Pasal 8 Ayat 1 Huruf yang
mengatur tentang perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha bahwa Pelaku Usaha
dilarang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak mencantumkan
informasi petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.Makatelah timbul hubungan hukum
yaitu adanya hak dan kewajiban antara pelaku usaha dengan konsumen yang
melahirkan aturan hukum untuk membuktikan jaminan kepastian hukum.
xxxiv
1.7.2 Kerangka Berpikir
1
Implementasi Ketentuan Pencantuman Label Berbahasa Indonesia
Pada Kemasan Produk Kosmetik Impor Sebagai Bentuk
Perlindungan Hak Atas Keamanan Konsumen
Perlindungan hukum bagi konsumen
terhadap produk kosmetik impor yang tidak
berlabel Bahasa Indonesia
Efektivitas ketentuan Pasal 8 Ayat 1
Huruf J UUPK tentang pencantuman
label Bahasa Indonesia terhadap
kemasan produk kosmetik impor
Teori Perlindungan
Konsumen
Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen
Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia
73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa
Indonesia Pada Barang
Pasal 22 Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik
Hasil Penelitian
Kesimpulan dan Saran
Teori Sistem Hukum Teori Kepastian Hukum
xxxv
Keterangan Kerangka Berpikir
Pada penelitian karya ilmiah implementasi ketentuan pencantuman label
berbahasa Indonesia pada kemasan produk kosmetik impor sebagai bentuk
perlindungan hak atas keamanan konsumen dengan rumusan masalah Efektivitas
ketentuan Pasal 8 Ayat 1 Huruf J UUPK tentang pencantuman label Bahasa Indonesia
terhadap kemasan produk kosmetik impor akan ditinjau dengan menggunakan teori
efektivitas dan keberlakuan hukum. Alasan menggunakan teori sistem hukum karena
penulis berpendapat bahwa ketentuan mengenai label merupakan elemen substansi
dalam sistem hukum. Kemudian selanjutnya menggunakan teori perlindungan
konsumen diharapkan dapat menjadi pedoman, baikbagi masyarakat maupun bagi
aparatur hukum dalam mengambil keputusan dengan di undangkannya Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ini berarti baik
konsumen maupun pelaku usaha telah dilindungi secara hukum, namun pada
kenyataannya banyak konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha dengan
memproduksi produk kosmetik tanpa menggunakan label bahasa Indonesia.
Untuk memecahkan rumusan yang kedua yaitu perlindungan hukum bagi
konsumen terhadap produk kosmetik impor yang tidak berlabel Bahasa Indonesia
digunakan Teori Kepastian Hukum. Alasan peneliti menggunakan teori kepastian
hukum yaitu untuk menjamin adanya kepastian hukum dengan
memberikanarah/petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati terutama peredaran
kosmetik impor yang belum mencantumkan label bahasa Indonesia.
xxxvi
1.8 Metode Penelitian
Penelitian adalah suatu usaha untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan secara metodologi dan
sistematis.Metodelogi berarti menggunakan metode-metode yang bersifat ilmiah
sedangkan sistematis berarti sesuai pedoman/aturan penelitian yang berlaku untuk
karya ilmiah.19
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada
metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu
atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya.Kecuali itu, maka
juga dikatakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tertentu kemudian
mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di
dalam gejala yang bersangkutan.20
Sebelum mengadakan penelitian, harus dipahami terlebih dahulu mengenai
metode. Metode adalah alat untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan, oleh
karena itu suatu metode atau alat harus jelas dahulu apa yang dicari.21Agar dapat
dipercaya kebenarannya suatu penelitian ilmiah harus disusun dengan menggunakan
suatu metode yang tepat. Metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk dapat
memahami obyek menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan.
19 Sutrisno Hadi, 2002, Metodologi Research, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 4
20 Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, hal. 43 21 Setiono, 2001, Pemahaman Terhadap Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Jakarta,
hal. 1
xxxvii
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian pada dasarnya merupakan, suatu upaya pencarian dan bukannya
sekedar mengamati dengan teliti terhadap suatu obyek yang mudah terpegang, di
tangan. Penelitian merupakan terjemahan dari bahasa inggris, yaitu research,yang
berasal dari kata re (kembali) dan to search (mencari). Dengan demikian secara
logawiyah berarti “mencari kembali”.22
Menurut H.L. Manheim, suatu penelitian pada dasarnya merupakan,… the
careful, deligent, and exchaustive investigation of scientific subject matter, having, as
its aim the advancement of mandkind’s knowledge.23Hakekat penelitian adalah
berlandaskan suatu ketelitian, ketekunan, dan kesempurnaan dalam melakukan
penelitian atas permasalahan yang dibahas dalam topik penelitian secara ilmiah
hendak menambah pengetahuan setiap peneliti setelah tujuan penelitian tersebut
terpenuhi.Tujuan penelitian tentu saja untuk menemukan, mengembangkan dan
menguji kebenaran terhadap suatu masalah.
Dalam penelitian hukum empiris dapat dipakai berbagai jenis
penelitiandiantaranya penelitian berlakunya hukum dan penelitian yang bertujuan
untukmengidentifikasi hukum yang hidup.24 Penelitian hukum empiris terdiridari 4
komponen yaitu :
22 Bambang Sunggono, 1997, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta,
hal. 28
23Ibid, hal. 29 24Ade Saptomo, 2009, Pokok-Pokok Metodelogi, Penelitian Hukum Empiris Murni, Sebuah
xxxviii
1) penelitian terhadap identifikasi hukum (hukum tidaktertulis),
2) penelitian terhadap efektifitas hukum,
3) penelitian perbandinganhukum,
4) dan penelitian sejarah hukum.25
Jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah jenis penelitian hukum
empiris, yaitu dengan melihat permasalahan dari kenyataan yang ada dalam
masyarakat dan dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku saat
ini, yakni mengenai adanya kesenjangan antarapada penerapan ketentuan
pencantuman label yang tidak sesuai dengan pasal Pasal 8 Ayat 1 Huruf J Undang-
Undang Perlindungan Konsumen, Pasal 2,Pasal 3 dan Pasal4 Peraturan Menteri
Perdagangan Republik Indonesia Nomor 73/M-DAG/PER/9/2015 Tentang
Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa Indonesia Pada Barang, serta Pasal 22
Ayat 2 Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, tetapi
pada praktek atau kenyataannya banyak produk kosmetik impor yang beredar di
pasaran belum mencantumkan penggunaan bahasa Indonesia pada
kemasannya.Penelitian hukum empiris adalah penelitian hukum yang objek kajiannya
meliputi ketentuan dan mengenai pemberlakuan atau implementasi ketentuan hukum
Alternatif, Penerbit Universitas Trisakti, Jakarta, hal.42
25HAL.Zainuddin Ali,M.A, 2010, Metode Penelitian Hukum, Cetakan ke-2, Sinar Grafika,
Jakarta, hal.30
xxxix
normatif (kodifikasi, Undang-Undang atau kontrak) secara in action/in abstracto
pada setiap peristiwa hukum yang terjadi dalam masyarakat (in concreto).26
1.8.2 Sifat Penelitian
Menurut Amiruddin dan Zainal Asikin, dilihat dari sudut sifatnya penelitian
dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :
1. Penelitian yang bersifat eksploratif (penjajakan atau penjelajahan), yang
umumnya dilakukan terhadap pengetahuan yang masih baru, belum banyak
ditemukan informasi mengenai masalah yang diteliti, atau bahkan belum ada
sama sekali, seperti belum adanya teori-teori dan norma-norma. Kalaupun
ada namun hal itu masih relatif sedikit. Oleh karena itu dalam penelitian ini
tidak menggunakan hipotesis.
2. Penelitian yang bersifat deskriptif, yang bertujuan untuk menggambarkan
secara tepat sifat-sifat individu, keadaan, gejala atau suatu kelompok tertentu,
atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala, atau untuk menentukan ada
tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala lainnya dalam
masyarakat. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-
norma hukum, karya tulis yang dimuat, baik dalam literature maupun jurnal,
doktrin serta laporan penelitian terdahulu sudah mulai ada, bahkan
jumlahnya cukup memadai. Sehingga dalam penelitian ini hipotesis tidak
26Abdulkadir Muhamad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
hal. 134
xl
mutlak harus diperlukan, atau dengan kata lain hipotesis boleh ada boleh juga
tidak.
3. Penelitian yang bersifat eksplanatif (menerangkan) bertujuan menguji
hipotesis-hipotesis tentang ada tidaknya hubungan sebab akibat antara
berbagai variabel yang diteliti. Dengan demikiaan penelitian ini baru dapat
dilakukan apabila informasi-informasi tentang masalah yang diteliti sudah
cukup banyak, yaitu adanya beberapa teori tertentu dan telah ada berbagai
penelitian empiris yang menguji berbagai hipotesis tertentu.27
Sifat penelitian dalam penulisan karya ilmiah ini bersifat deskriptif, karena ingin
menggambarkan kenyataan yang terjadi.Penelitian deskriptifmerupakan penelitian
yang bertujuan melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu pada saat tertentu
dan untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lainnya dalam masyarakat.28
1.8.3 Data dan Sumber Data
Dalam penelitian hukum ini data yang digunakan adalah data primer
(lapangan) dan data sekunder (kepustakaan ) yaitu sebagai berikut:
Data Primer adalah data yang diperoleh peneliti dari tangan pertama,
dan sumber asalnya yang pertama belum diolah dan diuraikan oleh orang
lain, yang didapat langsung dari hasil wawancara dari pihak-pihak informan
dan responden yang ada pada lokasi penelitian tersebut.Informan, adalah
27Amiruddin dan Zainal Asikin, 2010, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 25.
28Bambang Waluyo, Op.cit, hal. 8.
xli
orang atau individu yang memberikan informasi data yang dibutuhkan oleh
peneliti sebatas yang diketahuinya.Responden, adalah seseorang atau
individu yang mengetahui dan mengalami langsung suatu kejadian.29
Sumber data primer dari penelitian ini dengan melakukan penelitian yang
berlokasi di Kota Denpasar Provinsi Bali. Informan pada penelitian iniadalah
Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan Kota Denpasaryaitu Bapak I Putu
Mahentoro selaku Staf Penyidikan pada Balai Besar POM Denpasar dan
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Denpasar yaitu Bapak I Wayan
Riyona selaku Kasi Perlindungan Konsumen pada Disperindag Kota
Denpasar, sedangkan responden dalam penelitian ini adalahpara konsumen
kosmetik impor. Untuk memenuhi penelitian ini, kuisioner disebar ke 100
orang responden.
Data Sekunder adalah data yang bersumber dari penelitian kepustakaan
yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum, yang terdiri dari :
(1) Bahan-Bahan Hukum Primer, yaitu :
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
c. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
d. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
29 Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, UI press, Jakarta, (selanjutnya disebut
Soerjono Soekanto II) hal. 174
xlii
e. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor73/M-
DAG/PER/9/2015 Kewajiban Pencantuman Label Dalam Bahasa
Indonesia Pada Barang
f. Keputusan Kepala BPOM RI No.HK.00.05.4.1745 tentang
Kosmetik
(2) Bahan-bahan Hukum Sekunder, yaitu :
Bahan hukum sekunder, yang terdiri dari literatur-literatur, buku-buku,
makalah, dan jurnal yang ditulis oleh para ahli dan dokumen-dokumen
yang berkenaan dengan masalah yang dibahas. Menurut Robert Watt
bahan hukum sekunder adalah “all of the other materials in the library
are used basically to assist researcher in understanding the law and this
group se call secondary materials”.30 Terjemahan bebasnya adalah
semua bahan-bahan lain di perpustakaan pada dasarnya digunakan untuk
membantu peneliti memahami hukum dan kelompok ini disebut bahan-
bahan sekunder.
(3) Bahan-bahan Hukum Tertier, yaitu :
Bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap
bahanhukum primer dan bahan hukum sekunder yang meliputi :
a. Kamus Hukum,
b. Kamus Bahasa Indonesia,
c. Kamus Bahasa Ingris-Indonesia.
30Robert Watt, 2001, Concise Legal Research, The Federation Press, Leinchrdt, NSW, hal.1.
xliii
1.8.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data primer yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah dengan metode wawancara dengan mewawancarai para responden
maupun informan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
Jenis wawancara yang dipergunakan adalah wawancara terstruktur, yang telah
disusun terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan dan semua
yang diwawancarai ditanyakan dengan pertanyaan yang sama. Dengan tehnik
wawancara ini akan lebih mudah mendapatkan informasi yang diinginkan,
menurut pendapat yang dikemukakan oleh William D. Crano dan Marilyn B.
Brewer, bahwa : “in survey research, personal contact is achieve higher
response rates than the more impersonal question approach”31 terjemahan
bebas penulis bahwa dalam penelitian lapangan, wawancara secara pribadi
memberikan respon yang lebih tinggi dari pada tidak dengan melakukan
wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu.
Percakapan dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara adalah pihak yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara adalah pihak yang memberikan
31Crano, William D. and Brewer, Marilyn B., 2002, Principles and Methodes of Social Research,
Lowrence Erlbaum Associates, Mahwah, New Jersey, hal. 223.
xliv
jawaban atas pertanyaan itu.32Tehnik pengumpulan data sekunder dalam
penelitian ini menggunakan tehnik studi dokumen melalui kepustakaan
dipergunakan dengan cara mencatat data-data yang bersumber pada bahan
hukum primer maupun dari bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku
tulisan dari para sarjana dan bahan hukum tersier yang berupa kamus dan
ensiklopedia.
1.8.5 Teknik Penentuan Sampel Penelitian
Adapun lokasi Penelitian dalam penyusunan tesis ini pada beberapa
swalayan dan toko-toko kosmetik yang berada di Kota Denpasar yaitu
Matahari Departmen Store dan Tiara Dewata.Terpilihnya lokasi tersebut
sebagai lokasi penelitian dikarenakan banyaknya dijual produk kosmetik impor
yang tidak menggunakan label berbahasa Indonesia pada swalayan tersebut.
Selain itu Selain itu penelitian ini juga dilakukan di Dinas Perindustrian dan
Perdagangan Kota Denpasar dan BBPOM (Balai Besar Pengawas Obat dan
Makanan) sebagai instansi pengawas peredaran kosmetik impor.
Dalam Penelitian ini metode sampel yang digunakan adalah sampel
secara Non Random Sampling, yaitu suatu cara menentukan sampel dimana
peneliti telah menentukan atau menunjuk sendiri sampel dalam penelitiannya.33
32Lexy J. Moleong, 2013, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, PT. Remaja Rosdakarya,
Cet. XXXI, Bandung, hal. 186. 33Amiruddin dan Zainal Asikin, op.cit, hal. 98.
xlv
1.8.6 Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan
data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.34 Setelah data
dikumpulkan kemudian data diolah secara kualitatif dengan melakukan studi
perbandingan antara data lapangan dengan data kepustakaan sehingga akan
diperoleh data yang bersifat saling menunjang antara teori dan praktek. Dalam
menganalisa data, setelah data terkumpul maka langkah penting selanjutnya
adalah analisis data.35 Analisis data yang dipergunakan dalam peneltian ini
adalah analisis deskriptif, yaitu data yang telah dikumpulkan baik dari
penelitian lapangan maupun kepustakaan di olah dengan pendekatan
kualitatif dan disajikan secara deskriptif sesuai dengan hasil penelitian
lapangan dan kepustakaan untuk memperoleh kesimpulan yang tepat dan
logis sesuai dengan permasalahan yang dikaji.36
34Bambang Waluyo, op.cit, hal. 72. 35Ibid, hal 19. 36Zainuddin Ali, 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107.
xlvi