abstrak - sinta.unud.ac.id · moral sebagai dampak dari pengerjaan elemen narasi dan sinematik yang...

28
viii ABSTRAK PROMOSI PARIWISATA MELALUI FILM STUDI KASUS FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ Film merupakan suatu bentuk promosi pariwisata yang potensial untuk menginduksi keinginan wisatawan untuk bepergian ke suatu destinasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pesan promosi pariwisata melalui film dengan menggunakan film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ sebagai obyek analisis. Tujuan ini dicapai dengan menganalisis simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang muncul dalam konten film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ , serta perbandingan kontribusi masing-masing film dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing film. Data dikumpulkan dengan mengobservasi konten masing-masing film. Komentar-komentar penonton yang didapatkan melalui penelusuran internet digunakan sebagai bantuan dalam menginterpretasikan simbol dan mengetahui resepsi penonton terhadap kedua film tersebut. Komentar-komentar diambil dari laman tinjauan film Rotten Tomatoes dan Internet Movie Database, serta memasukkan juga tinjauan dari Tripadvisor, Amazon, dan beberapa blogger perjalanan independen. .Analisis ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan tiga teori, yaitu teori semiotika, resepsi, dan promosi. Kajian ini menyimpulkan bahwa pesan promosi pariwisata yang muncul pada masing-masing film berasal dari adanya daya tarik rasional, emosional, dan moral sebagai dampak dari pengerjaan elemen narasi dan sinematik yang baik. Perbandingan antara kedua film menunjukkan bahwa film „Eat Pray Love‟ tampak mampu menampilkan konten yang memperlihatkan suasana liburan di Bali dengan lebih utuh, sehingga memiliki peran informatif dan persuasif yang lebih baik. Sedangkan, film „Laskar Pelangi‟, walaupun terlihat kurang dalam menampilkan keutuhan suasana Belitung, namun namun kemampuan persuasinya dapat dikatakan hampir sama kuatnya dengan film „Eat Pray Love‟. Kedua film telah menunjukkan kemampuan untuk mempresentasikan potensi masing-masing destinasi yang bersangkutan. Kata Kunci: Promosi Pariwisata, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi.

Upload: duongquynh

Post on 11-Mar-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

viii

ABSTRAK

PROMOSI PARIWISATA MELALUI FILM

STUDI KASUS FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟

Film merupakan suatu bentuk promosi pariwisata yang potensial untuk

menginduksi keinginan wisatawan untuk bepergian ke suatu destinasi. Penelitian

ini bertujuan untuk mengkaji pesan promosi pariwisata melalui film dengan

menggunakan film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ sebagai obyek analisis.

Tujuan ini dicapai dengan menganalisis simbol dan makna pesan promosi

pariwisata yang muncul dalam konten film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟,

serta perbandingan kontribusi masing-masing film dalam mencapai tujuan

promosi pariwisata untuk melihat kelebihan dan kekurangan dari masing-masing

film.

Data dikumpulkan dengan mengobservasi konten masing-masing film.

Komentar-komentar penonton yang didapatkan melalui penelusuran internet

digunakan sebagai bantuan dalam menginterpretasikan simbol dan mengetahui

resepsi penonton terhadap kedua film tersebut. Komentar-komentar diambil dari

laman tinjauan film Rotten Tomatoes dan Internet Movie Database, serta

memasukkan juga tinjauan dari Tripadvisor, Amazon, dan beberapa blogger

perjalanan independen. .Analisis ini dilakukan dengan metode kualitatif dengan

menggunakan tiga teori, yaitu teori semiotika, resepsi, dan promosi.

Kajian ini menyimpulkan bahwa pesan promosi pariwisata yang muncul

pada masing-masing film berasal dari adanya daya tarik rasional, emosional, dan

moral sebagai dampak dari pengerjaan elemen narasi dan sinematik yang baik.

Perbandingan antara kedua film menunjukkan bahwa film „Eat Pray Love‟ tampak

mampu menampilkan konten yang memperlihatkan suasana liburan di Bali

dengan lebih utuh, sehingga memiliki peran informatif dan persuasif yang lebih

baik. Sedangkan, film „Laskar Pelangi‟, walaupun terlihat kurang dalam

menampilkan keutuhan suasana Belitung, namun namun kemampuan persuasinya

dapat dikatakan hampir sama kuatnya dengan film „Eat Pray Love‟. Kedua film

telah menunjukkan kemampuan untuk mempresentasikan potensi masing-masing

destinasi yang bersangkutan.

Kata Kunci: Promosi Pariwisata, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi.

viii

ABSTRACT

TOURISM PROMOTION THROUGH FILM

THE CASE STUDY OF THE FILM „EAT PRAY LOVE‟ AND „LASKAR

PELANGI‟

Film is a form of a potential tourism promotional form to induce the

tourist desire to travel to a certain destination. This research was aimed to study

the tourism promotional messages through film by using the films „Eat Pray Love‟

and „Laskar Pelangi‟ as the objects of the analyses. This objective was attained by

analyzing the tourism promotional message symbols and meanings which

emerged in the contents of the films „Eat Pray Love‟ and „Laskar Pelangi‟, and the

comparison of the contributions of each film in achieving the tourism promotional

goals to see the advantages and disadvantages of each films.

The data were collected by observing the contents of each film. The

comments of the audiences which were collected from the internet search were

used as assistance in interpreting the symbols and to know the audience receptions

of both films. The comments were taken from the film review website of Rotten

Tomatoes and Internet Movie Database, and the reviews from Tripadvisor,

Amazon, and some independent travel blogger. The analyses were conducted by

using qualitative method by applying three theories, which were semiotics,

reception, and promotion theories.

The studies conclude that the tourism promotion messages that emerge in

each film are from the presence of rational, emotional, and moral appeals as the

results of the well-made narration and cinematic elements. The comparisons

between each film show that the film „Eat Pray Love‟ looks able to display the

vacation atmosphere in Bali at a more complete way, so it has better informative

and persuasive roles. On the other hand, the film „Laskar Pelangi‟, although it

seems lacking in displaying the completeness of Belitung atmospheres, but its

persuasive ability can be said to be practically as equally strong as the film „Eat

Pray Love‟. Both films have shown the ability to present the potentials of each

respected destinations.

Keywords: Tourism Promotion, Film Tourism, Eat Pray Love, Laskar Pelangi

xviii

DAFTAR ISI

Halaman

SAMPUL DALAM …………………………………………………………. i

PRASYARAT GELAR ……………………………………………………... ii

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………. iii

PENETAPAN PANITIA PENGUJI ………………………………………… iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ……………………………………….. v

UCAPAN TERIMAKASIH ………………………………………………… vi

ABSTRAK …………………………………………………………………... viii

ABSTRACT ………………………………………………………………… ix

RINGKASAN ……………………………………………………………….. x

DAFTAR ISI ………………………………………………………………... xviii

DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………... xxi

DAFTAR TABEL …………………………………………………………... xxiii

LAMPIRAN …………………………………………………….................... xxiv

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………. 1

1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………… 17

1.3 Tujuan Penelitian ………………………………………………. 17

1.3.1 Tujuan Umum …………………………………............ 17

1.3.2 Tujuan Khusus …………………………………………. 17

1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………... 18

1.4.1 Manfaat Teoritis ………………………………………... 18

1.4.2 Manfaat Praktis ………………………………………… 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

MODEL PENELITIAN ….……..………………………………... 20

2.1 Tinjauan Pustaka ……………………………………………….. 20

2.2 Konsep …………………………………………………………. 37

2.2.1 Struktur Film …………………………………………… 37

2.2.2 Unsur Film ……………………………………………... 38

2.2.3 Promosi ………………………………………………… 39

2.2.4 Publisitas ………………………………………............. 40

2.2.5 Film Tourism ………………………………………….... 41

2.3 Landasan Teori …………………………………………............ 41

2.3.1 Teori Semiotika ………………………………………… 42

2.3.2 Teori Resepsi …………………………………………... 45

2.3.3 Teori Promosi ………………………………………….. 47

2.4 Model Penelitian ……………………………………………….. 55

BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………… 58

xix

3.1 Pendekatan Penelitian …………………………………………. 58

3.2 Jenis dan Sumber Data …………………………………………. 58

3.3 Instrumen Penelitian …………………………………………… 59

3.4 Metode Pengumpulan Data …………………………………….. 59

3.5 Metode Analisis Data ………………………………………… 59

3.6 Metode Penyajian Hasil Analisis Data ………………………… 61

BAB IV GAMBARAN UMUM FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN

„LASKAR PELANGI‟ …………………….…………………….

63

4.1 Gambaran Umum Film „Eat Pray Love‟ ……………................ 63

4.2 Gambaran Umum Film „Laskar Pelangi‟ ………………………. 72

BAB V SIMBOL DAN MAKNA PESAN PROMOSI PARIWISATA

YANG DITAMPILKAN DALAM FILM „EAT PRAY LOVE‟

UNTUK BALI ………………………………………………..….

82

5.1 Simbol Promosi Pariwisata dalam Film „Eat Pray Love‟ ……… 83

5.2 Pesona Wisata Bali dalam Film „Eat Pray Love‟ ……………… 85

5.2.1 Destinasi yang Indah, Sejuk, dan Bersih ………............ 85

5.2.2 Destinasi yang Aman dan Tertib……………………….. 98

5.2.3 Keramahtamahan Bali …………………………............. 102

5.2.4 Sentuhan dengan Alam dan Budaya Bali ……………… 105

5.2.5 Diferensiasi Wisata Spiritual Bali dan Meditasi

Tersenyum ……………………………………………...

106

5.2.6 Eat, Pray, Love and Escape in Ubud ……………............ 117

5.3 Resepsi Penonton Film „Eat Pray Love‟ …………………. 121

5.4 Makna Pesan Promosi Pariwisata bagi Bali yang Muncul dalam

Film „Eat Pray Love‟ …………………………………………...

129

BAB VI SIMBOL DAN MAKNA PESAN PROMOSI PARIWISATA

YANG DITAMPILKAN DALAM FILM „LASKAR PELANGI‟

UNTUK BELITUNG ……………………………........................

138

6.1 Simbol Promosi Pariwisata dalam Film „Laskar Pelangi‟ ……... 139

6.2 Pesona Wisata Belitung dalam Film „Laskar Pelangi‟ …... 140

6.2.1 Keindahan Alam Belitong dan Kehidupan Alam Liar …. 140

6.2.2 Bangunan Sekolah Dasar Muhammadiyah Gantung …... 146

6.2.3 Kilasan Nuansa Ragam Budaya Pulau Belitung ……….. 147

6.3 Resepsi Penonton Film „Laskar Pelangi‟ ………………… 149

6.4 Makna Pesan Promosi Pariwisata yang Timbul dari Film Laskar

Pelangi untuk Belitung ………………………………………….

152

BAB VII PERBANDINGAN KONTRIBUSI FILM „EAT PRAY LOVE‟ DAN „LASKAR PELANGI‟ DALAM MENCAPAI TUJUAN

PROMOSI PARIWISATA UNTUK INDONESIA ……………..

155

7.1 Kualitas Pesan Promosi Pariwisata …………………………….. 156

xx

7.1.1 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan

Isi Pesan ………………………………………………...

158

7.1.2 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan

Struktur Pesan ………………………………………….

164

7.1.3 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan

Format Pesan ……………………………………………

167

7.2 Tahapan Proses Pengambilan Keputusan oleh Wisatawan ……. 171

7.2.1 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar

Pelangi‟ Berdasarkan Buyer Readiness State …………..

172

7.2.2 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar

Pelangi‟ Berdasarkan Hierarchy of Effects …………….

180

7.3 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟

dalam Mencapai Tujuan Promosi Pariwisata ….......................

186

BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN …………....................................... 198

8.1 Simpulan ……………………………………………………….. 198

8.2 Saran ……………………………………………………........... 202

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 205

LAMPIRAN ………………………………………………………………… 217

xxi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Model Penelitian ………………………………………… 57

Gambar 5.1 Shot Pemandangan Pantai dan Gunung Sekuen Pembukaan

(Bali) ……………………………………………………….

86

Gambar 5.2 Shot Pemandangan Sawah, Hutan Mangrove dan Pantai,

Sekuen Pembukaan (Bali) …………………………………

87

Gambar 5.3 Sekuen Liz sedang bersepeda di jalanan pedesaan, Sekuen

Pembukaan (Bali) ………………………………………….

88

Gambar 5.4 Shot Liz sedang bersepeda dengan latar persawahan di

Bali, sekuen „Love‟………………………………………...

93

Gambar 5.5 Suasana Villa tempat Liz menginap di Ubud-Bali ……….. 94

Gambar 5.6 Shot Liz sedang bersepeda melintasi jalan setapak di

tengah kebun kelapa dan shot sekumpulan anak sedang

beraktifitas di sungai ………………………………………

95

Gambar 5.7 Shot Felipe dan Liz berenang di pantai ………………….... 97

Gambar 5.8 Shot pemandangan pegunungan dan danau ……………….. 98

Gambar 5.9 Shot Liz berjalan di jalan setapak menuju penginapannya 100

Gambar 5.10 Shot Wayan menyiapkan jamu dan shot buah durian di

pasar ……………………………………………………….

106

Gambar 5.11 Shot pada dialog Ketut Liyer “In morning, you do

meditation from India, serious, very serious” ……………..

111

Gambar 5.12 Shot pada dialog Ketut Liyer “In day, you enjoy Bali” …… 113

Gambar 5.13 Shot Liz sedang melakukan meditasi tersenyum ………….. 114

Gambar 5.14 Adegan Liz yang sulit berkonsentrasi dalam sebuah

meditasi ……………………………………………………

116

Gambar 5.15 Komentar username „cheerio74‟ dari Canada pada laman

imdb ………………………………………………………..

124

Gambar 5.16 Komentar username „mombot‟ dari Amerika Serikat pada

laman imdb ………………………………………………...

125

Gambar 5.17 Komentar username „Judy C‟ pada laman rottentomatoes 125

Gambar 5.18 Komentar username „Marco M‟ pada laman rottentomatoes 125

Gambar 5.19 Komentar use rname „Stephanie H‟ pada laman

rottentomatoes ……………………………………………..

126

Gambar 5.20 Caption salah seorang „pengikut‟ Elizabeth Gilbert dalam

akun instagram @iloveruffag: “Following the footsteps of

Elizabeth Gilbert. Soon I will eat, pray, love, and explore

beautiful Bali”……………………………………………...

135

Gambar 6.1 Shot panorama padang rumput dengan langit berawan …… 141

Gambar 6.2 Shot tupai dan buaya pada film Laskar Pelangi …………... 142

Gambar 6.3 Adegan Laskar Pelangi bermain di pantai Tanjung Tinggi .. 143

Gambar 6.4 Shot pantai Tanjung Tinggi pada adegan akhir …………... 145

Gambar 6.5 Shot tampak luar bangunan sekolah SD Muhammadiyah

Gantung ……………………………………………………

147

xxii

Gambar 6.6 Shot Kedai Kopi di kota Manggar ………………………… 148

xxiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 7.1 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan Isi

Pesan …….. …………..…………………………………….

159

Tabel 7.2 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

Film „Eat Pray Love‟ dan Laskar Pelangi‟ Berdasarkan

Struktur Pesan …....................................................................

165

Tabel 7.3 Perbandingan Kualitas Pesan Promosi Pariwisata antara

Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ Berdasarkan

Format Pesan ……………………………………….............

168

Tabel 7.4 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar

Pelangi‟ Berdasarkan Buyer Readiness States ……………...

173

Tabel 7.5 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar

Pelangi‟ Hierarchy of Effects ……………………………….

181

Tabel 7.6 Perbandingan antara Film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar

Pelangi‟ dalam Mencapai Tujuan Promosi Pariwisata……...

187

xxiv

LAMPIRAN

Halaman

Pedoman Observasi Film ……………………………………………............. 214

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Seperti proses pemasaran pada umumnya, dapat disetujui bahwa promosi

merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses pemasaran destinasi

pariwisata. Promosi menjadi wahana bagi suatu destinasi untuk menjelaskan

keberadaan serta kekuatannya kepada pasar. Hasil yang ingin dicapai tentu saja

peningkatan penjualan produk-produk pariwisata di destinasi yang bersangkutan.

Namun, tujuan promosi tidak dapat dilihat semata-mata sebagai usaha

peningkatan penjualan ataupun pengenalan terhadap produk baru, tetapi juga

sebagai penciptaan atau peningkatan pengenalan akan adanya merk tersebut,

peningkatan preferensi pasar terhadap merk, mendorong terjadinya pembelian

ulang, dan penarikan terhadap pelanggan-pelanggan baru (Hasan, 2014).

Suatu destinasi pariwisata yang menarik bisa saja memiliki angka

kunjungan dan penjualan yang rendah dikarenakan ketidaktahuan pasar akan

keberadaannya. Oleh karenanya, usaha untuk mempromosikan suatu destinasi

menjadi penting. Banyaknya kompetitor destinasi pariwisata juga dapat menjadi

alasan kuat mengapa kegiatan promosi menjadi bagian yang tidak dapat

ditinggalkan sebagai usaha untuk mengkomunikasikan informasi-informasi

mengenai kualitas-kualitas destinasi tersebut kepada wisatawan potensial dengan

tujuan untuk mempengaruhi perilaku konsumsi. Fitur-fitur pariwisata yang serupa

dapat saja dimiliki oleh banyak destinasi, sehingga destinasi tersebut harus

2

berusaha untuk menempatkan dirinya di daftar atas preferensi wisatawan ketika

akan memutuskan untuk membeli produk pariwisata. Hasan (2014: 617)

berpendapat bahwa “the battle is not in the product, but in the mind of prospect.”

(terjemahan: peperangan bukan (terletak) pada produk, tetapi pada pikiran calon

konsumen). Morgan dan Pritchard (2005) juga menambahkan bahwa persaingan

dalam mempromosikan pariwisata dengan karakternya yang unik tidak hanya

terjadi dalam ranah pikiran namun juga emosi calon wisatawan. Hal ini

menjadikan kerja badan promosi adalah untuk menggiring pikiran dan emosi para

wisatawan potensial untuk memutuskan berwisata di destinasi yang bersangkutan.

Holloway dkk (2009: 21) menyebutkan bahwa adanya faktor rasa

penasaran sebagai salah satu pendorong terjadinya perjalanan telah terjadi sejak

jaman Mesir kuno ketika warga Mesir saat itu melakukan perjalanan spiritual

mengunjungi piramida. Saat ini rasa penasaran dapat berupa banyak hal, seperti

ekspektasi terhadap hal-hal baru, asing, menyenangkan, yang dapat berupa

keindahan lanskap, budaya, sejarah, dan manfaat intangible lainnya.

Narasi yang melekat atau dilekatkan pada suatu destinasi dapat juga

menjadi stimulus rasa penasaran tersebut. Kisah sejarah yang melatarbelakangi

suatu tempat bisa menjadi daya tarik kedatangan wisatawan. Kisah cinta di balik

pembangunan Taj Mahal, sejarah penghancuran tembok Berlin, peristiwa

lapangan Tiananmen, merupakan beberapa kisah yang menjadikan suatu lokasi

menjadi lebih menarik. Selain kisah sejarah, karakter fiksi juga mampu menarik

kedatangan wisatawan (Bergstedt, 2009). Kisah fiktif „L'Impromptu de Madrid‟

karya Marc Lambron and „Mysteries of Madrid‟ karya Antonio Munoz Molina‟s

3

merupakan dua di antara banyak karya kontemporer yang mampu menarik

perhatian wisatawan untuk mengunjungi Madrid (Busby, dkk, 2011). Dengan

prinsip yang sama, kota Verona, Italia, mendasarkan tur Romeo-Juliet pada kisah

fiksi karya William Shakespeare.

Sebuah ujaran mengatakan “selling holidays is like selling dreams”

(Holloway dkk, 2009: 10), dan mimpi yang harus dijual dalam pariwisata meliputi

berbagai macam hal yang kompleks. Hal ini menjadi suatu tantangan para ahli

komunikasi pemasaran pariwisata untuk menginduksikan mimpi yang intangible

dan kompleks tersebut ke dalam bentuk yang lebih konkret. Kemajuan teknologi

saat ini telah memberikan kemudahan dalam proses pencitraan pengalaman

berlibur tersebut. Aspek narasi yang akan digunakan untuk menstimulasi

keputusan calon wisatawan, dapat diadaptasi ke dalam bentuk film yang

memungkinkan penyampaian cerita yang terlihat lebih konkret dengan

memadukan aspek audio dan visual.

Promosi melalui film yang dapat digolongkan pada publisitas ini memiliki

sifat massal, sehingga lebih efektif untuk menjangkau pasar yang luas dan

tersebar. Perreault dan McCarthy (2002) menyebutkan bahwa dalam promosi

massal, publisitas merupakan metode yang lebih murah dibandingkan iklan sebab

sifatnya yang tak berbayar untuk diberitakan dan sering kali dapat menjadi lebih

efektif daripada iklan. Sebagai perbandingan, tarif per slot iklan pada jam-jam

utama di lima stasiun televisi mayor di Amerika Serikat (ABC, CBS, NBC, FOX,

dan CW) pada periode 2013-2014 untuk jadwal musim gugur berkisar antara USD

19.333 hingga USD 326.260 (Adweek, 2013). Dari data tersebut, dapat

4

diperhitungkan besaran biaya jika badan promosi suatu destinasi ingin memasang

iklan di salah satu dari lima stasiun televisi tersebut.

Kepopuleran suatu film dapat menjadi publikasi bagi destinasi yang

digunakan sebagai latar pembuatan film. Pemanfaatan publikasi dari film untuk

dikelola menjadi daya tarik wisata suatu destinasi ini dikenal juga dengan film

tourism, dimana suatu kegiatan pariwisata ditimbulkan oleh adanya pembuatan

film di lokasi yang bersangkutan (Connel, 2012). Contoh destinasi yang dapat

memanfaatkan publisitas melalui film adalah New Zealand dan Korea Selatan.

Keberhasilan film „Lord of the Ring’ menduduki box office menjadikan New

Zealand, yang merupakan lokasi syuting film tersebut, sebagai destinasi yang

ramai dikunjungi wisatawan. Film „Lord of the Ring‟ bukan hanya memberikan

manfaat bagi New Zealand sebagai sebuah destinasi, namun ikon film tersebut

juga dimanfaatkan oleh Air New Zealand dalam iklannya. Korea Selatan juga

populer secara global dalam menggunakan film tourism. Publikasi yang

didapatkan tidak hanya terbatas pada lokasi-lokasi syuting yang kemudian

dikemas dalam paket-paket wisata, namun Korea Selatan juga memperkenalkan

budaya, way of life, dan lifestyle-nya. Ketenaran dunia hiburan Korea Selatan juga

membawa peluang baru bagi dunia pariwisata medis seiring makin populernya

tren operasi plastik agar dapat memiliki wajah seperti bintang-bintang terkenal

asal Korea Selatan (Washington Post, 2014).

Permasalahan yang dihadapi oleh pemanfaatan suatu publikasi melalui

film adalah, sering kali suatu film yang akhirnya menjadikan suatu destinasi

menjadi terkenal pada awalnya tidak dibuat untuk kepentingan promosi pariwisata

5

suatu destinasi, namun secara kebetulan memberikan efek promosi bagi destinasi

yang bersangkutan. Hingga saat ini, film-film yang memberikan publisitas

terhadap destinasi masih banyak yang cenderung dikarenakan ketidaksengajaan.

Pesan-pesan yang disimbolisasikan dalam film dapat saja sesuai dengan tujuan

promosi pariwisata, namun dapat juga tidak. Walaupun demikian, setiap publisitas

tetap dapat diolah menjadi keuntungan. Untuk mencetuskan rasa penasaran dari

calon wisatawan, sehingga terdorong unruk mencari informasi lebih banyak lagi,

maka tahap awal yang harus dilakukan adalah membuat mereka mengetahui

terlebih dahulu bahwa ada destinasi pariwisata bernama Indonesia dengan segala

potensinya. Film hanya merupakan salah satu media yang sudah dimanfaatkan

oleh banyak negara, namun masih kurang mendapat perhatian di Indonesia.

Pemanfaatan film sebagai media promosi pariwisata tidak serta merta

dimaksudkan untuk menggantikan bentuk-bentuk promosi lainnya, namun dapat

dijadikan sebagai pelengkap. Film dapat menjadi pelengkap yang potensial sebab

publikasi yang dihasilkan dari film, tidak hanya berasal dari film itu sendiri

namun juga dapat menghasilkan pemberitaan media yang lebih luas (Connell,

2012: 1008). Namun, tentunya akan lebih baik jika pemanfaatan film sebagai

media promosi pariwisata juga dapat direncanakan, bukan sekedar hasil dari

ketidaksengajaan, sehingga citra pariwisata yang ditampilkan dapat lebih terarah.

Pada kasus Indonesia, telah terdapat beberapa film Internasional yang

mengikutsertakan nama Indonesia di dalamnya. Beberapa menyiratkan Indonesia

sebagai suatu tempat liburan yang ideal (terutama Bali), namun, ada juga film-

film yang mengetengahkan Indonesia sebagai tempat yang „Liar‟, „Primitif‟,

6

„Rawan Bencana‟, dan berhubungan dengan „Kejahatan‟. Sebagai contoh, pada

Film „Anaconda: the Hunt for the Blood Orchid‟ (2004), walaupun lokasi syuting

film tersebut dilakukan di area hutan Amazon, namun setting latar pada cerita

adalah di Kalimantan – disebutkan sebagai Borneo di film tersebut. Film tersebut

memperlihatkan alam Kalimantan yang masih liar, belum tersentuh, dan

berbahaya. Publisitas yang didapatkan dari cara film ini merepresentasikan

Borneo, dengan memperlihatkan simbol-simbol yang mengindikasikan sisi alam

liar hutan belantara Indonesia yang masih perawan dan berbahaya, dapat dijadikan

promosi yang menyasar kepada pariwisata niche bertema petualangan.

Contoh lain pelekatan citra Indonesia adalah pada film „Elektra‟ produksi

Marvel Enterprise (2005). Pada film bergenre fantasi tersebut, tokoh Elektra,

menyebutkan Indonesia dalam salah satu dialognya. Pada adegan tersebut, Elektra

sedang berdialog dengan seorang gadis remaja bernama Abby, yang seharusnya

menjadi target pembunuhannya, mengenai gelang etnik yang dikenakan Abby.

Elektra menceritakan bahwa gelang tersebut berasal dari Indonesia dan bahwa

gelang itu adalah gelang pejuang. Elektra menambahkan dengan serius bahwa

berabad-abad lalu, seseorang harus menjadi petarung terbaik di desanya untuk

bisa memperoleh gelang tersebut. Abby kemudian menjawab dengan nada santai

bahwa dia mendapatkan gelang tersebut dari e-bay. Jika melihat dialog Elektra

saja maka kesan bahwa Indonesia adalah tempat yang khas dengan suku-suku

petarung yang menarik untuk dikunjungi dapat timbul, namun jawaban Abby juga

dapat menyiratkan kesan bahwa itu bukan hal yang spesial, gelang seperti itu

dapat dengan mudah didapatkan melalui pembelian on-line.

7

Dua contoh film di atas memperlihatkan bahwa melekatkan suatu destinasi

pada narasi dapat menimbulkan potensi untuk mempengaruhi kesan terhadap

destinasi tersebut. Untuk menjadikan suatu film menjadi media promosi yang baik

bagi destinasi pariwisata di Indonesia tentunya bukan hanya perkara membuat

film dengan latar Indonesia, namun juga bagaimana menimbulkan kesan yang

positif terhadap destinasi yang bersangkutan. Penggabungan antara narasi dan

aspek-aspek sinematografis pada suatu film diharapkan juga mampu membuat

penonton menjadi terkoneksi ke dalam narasi tersebut. Green dan Block (2000,

dalam Shrum 2010), mengemukakan bahwa pembaca atau pemirsa yang

tertransportasi ke dalam suatu narasi akan memiliki kecenderungan untuk

mempercayai hal-hal yang disebutkan di dalam narasi tersebut. Hal ini kemudian

juga dapat secara tidak sengaja berpengaruh kepada citra suatu destinasi tanpa

diinginkan atau, merujuk pada pendapat Connell (2012), film juga dapat

digunakan untuk membentuk citra suatu destinasi.

Kesan positif ini tidak harus dibangun dari plot cerita yang indah-indah

saja, namun juga dapat diperoleh dari plot yang negatif seperti yang ditampilkan

oleh film „Java Heat‟ (2013) produksi Margate House Films. Film ini

menampilkan permasalahan terorisme, narkoba, prostitusi, dan juga perdagangan

manusia dengan banyaknya adegan kekerasan, tetapi di dalam narasinya juga

memperlihatkan toleransi beragama. Film ini mencoba memberikan klarifikasi

terhadap pandangan dunia luar tentang Indonesia pasca aksi-aksi terorisme

dengan menampilkan toleransi kehidupan beragama yang rukun. Film ini juga

memperkenalkan budaya Indonesia, terutama Jawa, dari banyak sudut seperti

8

kesantunan, ketaatan beragama, batik, kebaya, alam yang indah, dan Borobudur

yang memukau. Hal yang disayangkan dari film ini adalah, jika dilihat dari

tinjauan penonton, kurang kuatnya narasi dan akting dari aktor Hollywood dalam

film ini yang juga mendapat banyak kritikan (IMDb, 2013).

Kementerian Pariwisata (sebelumnya Kementerian Pariwisata dan

Ekonomi Kreatif) telah mengadakan lomba menulis tahunan, Tulis Nusantara,

sejak tahun 2012. Lomba menulis ini merupakan usaha untuk menangkap

keberagaman warna Indonesia melalui karya-karya anak bangsa yang berkualitas,

yang diharapkan nantinya dapat menembus pasar best seller dunia. Karya-karya

yang baik ini tentunya diharapkan dapat pula menjadi promosi bagi

kepariwisataan Indonesia di mata dunia. Semakin banyak karya berkualitas yang

dipasarkan tentunya akan menjadi penguat keberadaan Indonesia sebagai suatu

destinasi pariwisata di pikiran calon wisatawan potensial. Karya-karya ini dapat

menjadi “selembar bulu yang mengayunkan timbangan” (Sutherland dan

Silvester, 2005: 9) ketika calon wisatawan hendak memilih suatu destinasi

liburan.

Memanfaatkan produk karya naratif seperti film memang memiliki potensi

besar untuk mempromosikan destinasi wisata. Seperti yang dikatakan Sharon

(1992), “One major reason for travelling, and for selecting a particular

destination, is to see something about which we have read or heard for a long

time” (terjemahan: Satu alasan utama untuk bepergian, dan dalam memilih suatu

destinasi tertentu, adalah untuk melihat sesuatu yang berkaitan dengan hal yang

kita pernah baca atau dengar pada jangka waktu yang lama). Namun, badan

9

promosi pariwisata tidak dapat memaksakan seluruh film yang diproduksi,

katakanlah di dalam negeri, agar sejalan dengan tujuan promosi pariwisata.

Bagaimanapun, fungsi utama suatu film adalah untuk menyampaikan cerita yang

merupakan ide dari sineas yang bersangkutan. Di lain pihak, tidak semua film

yang mengambil latar Indonesia juga harus dijadikan media promosi. Ide film

tidak dapat dipatok hanya menampilkan hal-hal yang bercitra positif saja. Namun,

badan promosi pariwisata dapat memberikan dorongan agar lebih banyak sineas

yang memproduksi film-film berkualitas dengan mengambil latar di suatu

destinasi wisata dan menampilkan narasi-narasi yang bersifat positif serta mampu

memperlihatkan potensi pariwisata di destinasi tersebut. Pemerintah juga dapat

memfasilitasi agar lebih banyak produksi-produksi film berkualitas yang

ditampilkan di kancah internasional. Seperti film „Tabula Rasa‟ dan „Filosofi

Kopi‟ yang tampil di ajang Festival film Cannes (Tempo, 2015). Kedua film

tersebut juga memiliki muatan cerita yang dapat mempromosikan Indonesia dari

segi wisata kuliner. Cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan mengundang

rumah produksi dari luar negeri untuk membuat produksi di Indonesia. Namun,

cara inipun juga memerlukan ketelitian pemerintah dalam memilih topik dan

narasi yang akan diijinkan untuk membuat film dengan latar Indonesia.

Beberapa contoh yang dapat dijadikan perbandingan mengenai cara

pemerintah mendorong produksi film-film yang dapat juga menjadi publisitas

bagi destinasi pariwisata mereka adalah Korea Selatan, Singapura, Australia, dan

Inggris. Korea Selatan dan Pihak pemerintah tidak secara langsung mendanai

pembuatan film, namun memberikan stimulus bagi pembuatan produksi-produksi

10

yang sejalan dengan promosi pariwisata. Badan promosi pariwisata kota Seoul

membuat Seoul Tourism Award dan memberikan tiga dari empat kategori

penghargaan tertinggi kepada kalangan film yang dianggap berkontribusi besar

dalam promosi pariwisata Seoul (eTurboNews, 2009). Usaha lain yang dapat

dilakukan oleh badan promosi pariwisata adalah dengan membuka hubungan

dengan lembaga-lembaga film internasional. Hal ini dimaksudkan agar informasi

mengenai film-film yang akan diproduksi dapat lebih mudah dan lebih cepat

diperoleh, sehingga badan promosi pariwisata tersebut dapat segera mendekati

rumah produksi yang dimaksud sehingga dapat segera memberikan tawaran

kolaborasi agar film yang narasinya dianggap sesuai dapat difilmkan di destinasi

pariwisata di negara yang bersangkutan. Rewtrakunphaiboon (2009) menyebutkan

beberapa contoh kolaborasi yang dilakukan oleh Australia dan Inggris. Australian

Tourism Comission berkolaborasi dengan Disney dalam pembuatan film animasi

„Finding Nemo‟ sebagai salah satu usaha untuk mendongkrak kedatangan

wisatawan Amerika ke Australia. Badan promosi pariwisata Inggris juga secara

aktif mengundang rumah-rumah produksi Bollywood untuk membuat film di

negara ratu Elizabeth tersebut. Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak

pariwisata Korea Selatan dan Singapura. Kedua negara ini memberikan

kemudahan-kemudahan bagi kalangan film asing untuk membuat film di

negaranya, asalkan menampilkan negara mereka kurang lebih selama durasi 60

menit (CNN Indonesia, 2015).

Ketenaran Bali yang mendahului nama Indonesia di dunia, pada mulanya,

dapat dikatakan salah satunya terpublikasikan oleh keberadaan film. Chin (Bali

11

Echo, 2001) menuliskan artikel mengenai film-film yang mengetengahkan Bali

pada kisaran perempat kedua hingga pertengahan abad ke dua puluh. Film

dokumenter yang memperlihatkan keunikan budaya Bali pertama kali

dipertontonkan ke mata dunia oleh seorang pembuat film berkebangsaan Belanda

bernama W. Mullens pada tahuin 1926. Filmnya berjudul „Bali -

Leichenverbrennung und Einascherung einer Fürstebwitwe’ (Royal

Cremation) and ‘Bali - Sanghijang und Ketjaqtanz‟ (Sang Hyang and Kecak

Dance). Chin (Bali Echo, 2001) menyebutkan kedua film ini membentuk kesan

awal terhadap eksotisme dan ektrimisme budaya Bali. „Calon Arang‟ pada tahun

1927 kemudian menjadi film fiksi pertama yang melukiskan Bali sebagai “Island

of Gods” maupun “Island of Demons”. Namun, film yang menjadi tonggak

penting dalam mempublikasikan Bali ke mata dunia barat adalah film buatan

Andre Roosevelt dan Armand Denis dengan judul „Goona-Goona‟ (1930) atau

yang juga dikenal dengan judul „The Kris‟. Film melodrama ini memperlihatkan

daya tarik seksual perempuan-perempuan Bali. Istilah „Goona-Goona‟ ini

kemudian menjadi istilah yang popular digunakan oleh warga New York saat itu

untuk merepresentasikan daya tarik seksual. Film ini, diperkirakan, juga

merupakan film yang membuat K‟tut Tantri berhasrat dan akhirnya datang ke

Bali. K‟tut Tantri menyebutkan film ini dengan judul „The Last Paradise‟, namun

kemungkinan terjadi tumpang tindih dengan buku Hickman Powell yang berjudul

„The Lost Paradise‟ (1930). Film-film berikutnya yang menjadikan Bali sebagai

latar adalah „The Island of the Demons‟ (1933), „The Road to Bali‟ (1952)

produksi Paramount Picture dan dibintangi oleh bintang film kawakan

12

Hollywood, Bob Hope dan Bing Crosby. Saat itu Hollywood telah membuat Bali

menjadi gambaran surga yang paling indah dengan menampilkan gabungan

elemen-elemen keindahan laut tropis, sehingga walaupun lokasi syuting tidak

dilakukan di Bali, seperti kasus film „South Pasific‟ (1958) produksi Twentieth

Century Fox, namun kemunculan desir angin pantai dalam film sudah membuat

penonton mengasumsikan bahwa itu adalah Bali (Bali Echo, 2001).

Simbol-simbol yang ditampilkan dalam film serta resepsi penonton pada

masa tersebut telah berkontribusi dalam membentuk publikasi Bali yang eksotis

seperti yang banyak dikenal oleh wisatawan hingga saat ini. Namun, promosi

tidak dapat dilakukan hanya sekali. Preferensi pasar terhadap suatu produk harus

dijaga kesetiaannya, sehingga promosi juga harus dilakukan terus menerus. Pada

awal abad ke duapuluh satu ini, pariwisata Bali kembali diuntungkan dengan

kehadiran film „Eat Pray Love‟ (2010) yang didasarkan pada memoir karya

Elizabeth Gilbert yang juga berjudul sama. Film ini memberikan pandangan baru

tentang romantisme Bali dengan memperlihatkan lingkungan Ubud yang tenang.

Pengambilan gambar lokasi di film ini dan kegiatan berwisata yang dilakukan

oleh tokoh dalam film memang cenderung ditanggapi positif. Beberapa komentar

yang muncul mengenai perjalanan yang ditampilkan dalam film adalah mengenai

bagaimana film ini memunculkan keinginan untuk melakukan perjalanan keliling

dunia, menampilkan pemandangan yang menakjubkan, dan memberikan

pencerahan melalui perjalanan spiritual yang ditampilkan. Walaupun terdapat juga

banyak kritik negatif seputar narasi yang dimuat penonton pada laman Rotten

Tomattoes, namun, artikel-artikel berita juga menunjukkan adanya indikasi

13

kenaikan jumlah wisatawan yang mengunjungi tempat yang menjadi bagian dari

kisah Elizabeth Gilbert tersebut (Daily Mail, 2010; Denver Post, 2010; The

Jakarta Post, 2010a; Time, 2010). Komentar-komentar tersebut memperlihatkan

keberagaman resepsi terhadap film ini. Dari sisi industri, publikasi yang

dihasilkan oleh film ini menimbulkan daya tarik yang cukup signifikan sehingga

dapat dimanfaatkan oleh industri pariwisata, sebagai contoh adalah paket „Eat

Pray Love‟ di hotel Ayana yang saat itu sampai diperpanjang periodenya karena

permintaan yang tinggi. Paket tersebut menawarkan perpaduan paket spa, yoga,

makan malam romantis, dan perjalanan tur ke Ubud (The Jakarta Post, 2010b).

Hal yang tidak jauh berbeda juga dialami oleh film „Laskar Pelangi‟

(2008) yang diangkat dari memoir karya Andrea Hirata berjudul sama. Film

Indonesia yang juga sudah dimainkan di enam negara lain di luar Indonesia ini

menjadi promosi pariwisata bagi pulau Belitung yang sebelumnya hanya

diketahui karena tambang timahnya. Badan Pusat Statistik kabupaten Belitung

(2013) mencatat, sejak tahun 2008 telah terjadi peningkatan kunjungan wisatawan

dari 32.036 wisatawan menjadi 111.613 wisatawan pada 2013. Ketenaran film

„Laskar Pelangi‟, yang meraih penjualan tiket layar lebar lebih dari 4,6 juta di

seluruh Indonesia (Miles Film, t.t), menjadikan agen-agen perjalanan menawarkan

paket-paket wisata „Laskar Pelangi‟. Isi dari paket tersebut bukan hanya

mengunjungi lokasi syuting „Laskar Pelangi‟ namun juga tempat-tempat wisata

lain di Belitung. Di sini dapat dilihat jika film ini memberikan pintu bagi

destinasi-destinasi potensial lainnya di Belitung untuk dikunjungi wisatawan.

„Laskar Pelangi‟ memberikan latar belakang naratif terhadap pulau Belitung

14

sebagai destinasi wisata dan keberadaan cerita ini menjadi ikon pariwisata

kabupaten Belitung, yang kini juga dikenal dengan bumi Laskar Pelangi. Rumah

Andrea Hirata, sebagai penulis novel Laskar Pelangi, juga menjadi obyek wisata

yang menjual. Rumah ini sekarang dijadikan museum kata Andrea Hirata.

Kedua film di atas, „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟, hingga saat ini

masih digunakan oleh Kementerian Pariwisata maupun industri pariwisata sebagai

gimmick untuk promosi pariwisata di destinasi bersangkutan. Pada laman resmi

pariwisata Indonesia, kabupaten Belitung masih diasosiasikan dengan pulau

„Laskar Pelangi‟ (Pesona Indonesia, 2016), sedangkan film „Eat Pray Love‟,

hingga belakangan ini, juga masih dimanfaatkan untuk dalam tagline destinasi

wisata Ubud, yaitu Eat, Pray, Love, and Escape in Ubud (Pesona Indonesia,

2013). Meskipun demikian, kedua film ini belum pernah dikaji isinya dari sudut

pandang promosi pariwisata. Apa saja hal-hal yang ditampilkan di dalam kedua

film ini yang sekiranya mampu memberikan dampak promosi bagi pariwisata di

destinasi yang bersangkutan maupun terhadap Indonesia secara umum. Seperti

juga film „Goona-Goona‟ memperkenalkan eksotisme Bali kepada dunia barat, isi

dari film „Eat Pray Love‟ dan „Laskar Pelangi‟ pasti juga mengantarkan

simbolisme tertentu pada citra destinasi yang ditampilkannya.

Adanya fenomena dimana orang dari negara di belahan dunia barat tidak

mengetahui mengenai Indonesia, atau mengetahui Bali tapi tidak mengetahui

mengenai Indonesia, dan juga ada anggapan bahwa Indonesia hanya sebatas Bali,

menjadikan berbagai promosi untuk Indonesia sebagai negara dengan banyak

destinasi wisata yang indah masih sangat dibutuhkan. Akan menjadi lebih baik

15

jika promosi-promosi tersebut diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk

melalui media hiburan seperti film. Sebagai suatu referensi untuk membuat

bentuk-bentuk promosi pariwisata melaui dunia hiburan di masa mendatang, maka

kajian terhadap kelebihan dan kekurangan, dari sudut pandang promosi

pariwisata, yang ditampilkan oleh karya di masa lalu juga menjadi penting.

Dua film ini menarik untuk diteliti bukan hanya karena menjadi box office,

namun juga karena efek promosi terhadap destinasi pariwisata di Indonesia.

„Laskar Pelangi‟ sebagai karya anak bangsa yang memperlihatkan Indonesia dari

sudut pandang orang Indonesia dan „Eat Pray Love‟ yang ditulis dari sudut

pandang wisatawan juga menjadi poin mengapa fitur-fitur di dalam kedua film ini

menarik untuk dibandingkan. Cara sineas lokal Indonesia dan sineas asing

tentunya memiliki warna yang berbeda dalam menerjemahkan warna Indonesia

dalam karyanya. Kajian terhadap bagaimana dua film ini menampilkan pesan-

pesan yang bersifat promosi bagi destinasi pariwisata diharapkan mampu menjadi

referensi bagi pengembangan promosi-promosi pariwisata di masa mendatang,

terutama promosi pariwisata melalui pemanfaatan industri kreatif seperti film.

Pedoman pasti dalam membuat suatu karya narasi yang laku keras maupun

dapat memberikan publikasi yang baik bagi suatu destinasi akan sulit untuk

didapatkan, karena juga berhubungan dengan berbagai macam aspek di luar karya

itu sendiri. Namun, kajian terhadap kelebihan dan kekurangan dari suatu karya

box office yang telah dianggap mampu memberikan publisitas bagi destinasi akan

memberikan masukan baru, baik bagi para pembuat karya lainnya maupun bagi

para pihak yang akan memanfaatkan karya-karya industri kreatif untuk pemasaran

16

pariwisata. Hal penting yang dapat diperhatikan adalah bagaimana unsur-unsur

dalam film saling bekerjasama dalam suatu sistem yang akhirnya juga

memberikan efek promosi pariwisata. Beeton (2005: 54) mengatakan bahwa

promosi pariwisata melalui film menyampaikan pesan promosi dengan lebih halus

dan mirip dengan word of mouth.

Melalui pemaparan di atas telah dilihat bahwa film merupakan bentuk

yang potensial digunakan untuk mempromosikan suatu destinasi pariwisata dan

juga memiliki kemungkinan memunculkan tema-tema penelitian yang sangat luas.

Connell (2012) mengatakan bahwa kemampuan film dalam membentuk asumsi

terhadap suatu lokasi dapat membuka topik penelitian yang melihat simbol-simbol

dalam film yang mampu mempengaruhi respon penonton mengenai suatu

destinasi. Lebih lanjut Connell (2012) menambahkan bahwa sering kali atribut

yang berkaitan dengan film dapat menjadi lebih menarik dari pada atribut

destinasi itu sendiri. Hal inilah yang sering terjadi pada film tourism.

Melihat masih pentingnya membuat penelitian di bidang film tourism

dengan menerapkan beberapa disiplin ilmu, sedangkan penelitian di ranah ini

masih kurang dilakukan di Indonesia, walaupun Indonesia telah merasakan

manfaat dari praktik ini, maka penelitian terhadap film „Eat Pray Love‟ dan

„Laskar Pelangi‟ ini ingin mengisi celah tersebut. Penelitian ini ingin menerapkan

kajian lintas disiplin untuk melihat simbol-simbol dalam konten kedua film yang

dapat berperan sebagai daya tarik yang berkaitan dengan promosi pariwisata.

Sesuai dengan yang disarankan oleh Kindem (dalam Beeton, 2015), dalam

memprediksi potensi suatu film dalam kemampuannya menjadi media promosi

17

tidak hanya dapat dilihat dari sudut pandang ekonomi, namun juga dapat

mengaplikasikan sudut pandang psikologi, semiotika, dan ideologi.

1.2 Rumusan Masalah

Uraian latar belakang yang telah dipaparkan merujuk kepada beberapa

pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai berikut:

1. Bagaimanakah simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang

ditampilkan dalam film „Eat Pray Love‟ untuk Bali?

2. Bagaimanakah simbol dan makna pesan promosi pariwisata yang

ditampilkan dalam film „Laskar Pelangi‟ untuk Belitung?

3. Bagaimanakah kontribusi film „Eat Pray Love‟ dibandingkan dengan film

„Laskar Pelangi‟ dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk

Indonesia?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini terbagi ke dalam tujuan umum dan tujuan khusus.

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji promosi

pariwisata melalui film dengan cara menganalisis bagaimana sebuah film dalam

merepresentasikan kehidupan tokoh dan lingkungannya dapat memuat simbol-

simbol promosi bagi suatu destinasi pariwisata.

1.3.2 Tujuan Khusus

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan khusus dari penelitian ini

adalah:

18

1. Untuk menganalisis bagaimana simbol dan makna pesan promosi

pariwisata yang ditampilkan dalam film „Laskar Pelangi‟ untuk Belitung.

2. Untuk menganalisis bagaimana simbol dan makna pesan promosi

pariwisata yang ditampilkan dalam film „Eat Pray Love‟ untuk Bali.

3. Untuk membandingkan kontribusi film Laskar Pelangi dan „Eat Pray

Love‟ dalam mencapai tujuan promosi pariwisata untuk Indonesia.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat secara teoritis maupun

praktis.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangsih

dalam ranah ilmu pariwisata, terutama dalam bidang promosi pariwisata.

Pengaplikasian beberapa disiplin ilmu dalam analisis ini diharapkan memberikan

referensi bagi kemungkinan membuat kajian-kajian dari sudut pandang baru

dalam dunia promosi kepariwisataan Indonesia. Hasil dari kajian ini diharapkan

pula dapat membawa pada kajian-kajian lain yang lebih mendalam mengenai

pemanfaatan media-media alternatif, seperti film, sebagai promosi bagi

kepariwisataan Indonesia.

1.4.2 Manfaat Praktis

Promosi destinasi pariwisata dengan memanfaatkan ketenaran suatu film,

atau dapat disebut juga Film Tourism sesungguhnya bukan merupakan hal baru

namun masih sangat kurang dieksplorasi potensinya serta kurang mendapat

perhatian khusus dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu, secara praktis hasil dari

19

penelitian ini diharapkan mampu menjadi salah satu rujukan bagi para praktisi

pemasaran pariwisata maupun pihak-pihak terkait yang akan mengolah bentuk

promosi pariwisata melalui film. Kelebihan dan kekurangan dari kedua film, dari

sudut pandang promosi pariwisata, diharapkan dapat menjadi masukan dalam

penyusunan konten promosi pariwisata melalui film di masa mendatang.