absennya muhammadiyah

Upload: ahmad-sholikin

Post on 14-Jan-2016

219 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

absen

TRANSCRIPT

Ahmad Najib Burhani, Absennya Muhammadiyah (Opini Koran Sindo, 13 November 2014 )Mengapa seolah-olah pemerintahan Jokowi-JK mengabaikan Muhammadiyah dalam menyusun Kabinet Kerja 2014- 2015?Apakah tidak ada profesional dari organisasi yang berdiri sejak 1912 ini yang layak untuk masuk dalam kabinet, termasuk di bidang kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial, bidang-bidang yang telah ditekuni oleh organisasi ini selama lebih dari satu abad? Apakah pengabaian ini terjadi sebagai akibat sampingan dari survei PPIM tahun 2011 lalu, yang merilis bahwa jumlah warga Muhammadiyah di Indonesia jauh lebih kecil dari klaimnya selama ini?Ataukah ini terjadi karena pilihan sebagian anggota organisasi ini dan partai yang berbasiskan organisasi ini pada masa kampanye presiden? Banyak pertanyaan yang berkaitan dengan absennya kader inti Muhammadiyah dalam Kabinet Kerja Jokowi- JK. Pertanyaan-pertanyaan itu semakin deras setelah melihat ada Enam kader NU (Nahdlatul Ulama) yang masuk dalam kabinet, yaitu M Hanif Dhakiri (Menteri Ketenagakerjaan), Marwan Jafar (Menteri PDT dan Transmigrasi), Imam Nahrawi (Menteri Pemuda dan Olahraga), Khofifah Indar Parawansa (Menteri Sosial), M Nasir (Menteri Ristek dan Dikti), dan Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama).

Memang ada beberapa menteri yang memiliki latar belakang Muhammadiyah seperti Siti Nurbaja (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan) atau konon direkomendasikan oleh Muhammadiyah seperti Nila F Moeloek (Menteri Kesehatan). Namun, tidak ada kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri. Maksud dari kader inti di sini adalah mereka mendapat pengaderan di Muhammadiyah dan aktif dalam organisasi ini dalam masa yang cukup panjang. Sering dikatakan, beberapa menteri dari NU itu diangkat bukan karena latar belakang ke-NU-annya, melainkan karena mereka berangkat atau diusulkan oleh PKB atau PPP. Satu-satunya yang tidak berangkat dari partai atau profesional adalah Khofifah Indar Parawansa yang dalam masa kampanye presiden merupakan anggota tim inti dan juru bicara Jokowi-JK. Pertanyaannya kemudian adalah apakah tidak ada orang Muhammadiyah dalam tim inti pemenangan Jokowi-JK? Ada beberapa nama dari Muhammadiyah yang masuk tim inti Jokowi-JK, seperti Rizal Sukma, Abdul Munir Mulkhan, dan Malik Fadjar. Bahkan berbeda dari Said Aqil Siradj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yang secara tegas memberikan dukungan kepada Prabowo-Hatta, Ketua Umum Muhammadiyah Din Syamsuddin berusaha bersikap netral selama kampanye.Konon Rizal Sukma yang merupakan direktur eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan ketua bidang hubungan luar negeri pimpinan pusat Muhammadiyah sudah masuk sebagai calon menteri luar negeri, namun namanya dicoret pada keputusan akhir. Apakah ini karena dia dari CSIS yang dulu dikenal sebagai think tank Orde Baru, dekat dengan kalangan Kristen, dan dekat dengan konglomerat? Jawabannya tentu ada di Jokowi dan orang-orang yang terlibat dalam keputusan akhir. Dugaan lain tentang absennya Muhammadiyah di kabinet Jokowi adalah karena Partai Amanat Nasional (PAN) yang dulu kelahirannya dibidani oleh Muhammadiyah memilih berkoalisi dengan Gerindra untuk mengusung Prabowo-Hatta sebagai calon presiden dan wakil presiden. Dan dalam beberapa survei, warga Muhammadiyah lebih banyak yang mendukung Prabowo-Hatta dari pada Jokowi-JK. Ini barangkali dugaan terkuat mengapa tidak ada orang Muhammadiyah yang menjadi menteri. Pilihan politik PAN berdampak pada Muhammadiyah. Namun demikian, mengidentikkan Muhammadiyah dengan PAN tentu tak sepenuhnya tepat mengingat hubungan keduanya tak seperti dulu lagi.Di samping itu, kini banyak pimpinan PAN yang bukan berasal dari Muhammadiyah termasuk ketua umumnya, Hatta Rajasa. Ada lagi yang menduga, meski kemungkinannya sangat kecil, bahwa tiadanya kader inti Muhammadiyah yang menjadi menteri adalah akibat sampingan dari survei yang dikembangkan oleh The Asia Foundation (TAF), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), dan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 2010. Dari survei yang di antaranya diterbitkan oleh Robin Bush (2014) dalam artikelnya yang berjudul A snapshot of Muhammadiyah social change and shifting markers of identity and values itu, disebutkan bahwa jumlah responden yang menyatakan diri berafiliasi dengan NU berjumlah 49%, sementara yang berafiliasi dengan Muhammadiyah hanya 7,9%.Angka ini kemudian sering dipakai untuk menarik kesimpulan bahwa warga Indonesia yang berafiliasi ke NU hampir mencapai 50%, sementara warga Indonesia yang Muhammadiyah tidak ada 10%. Kesimpulan ini kemudian dipakai sebagai alat untuk merevisi pandangan sebelumnya, yang didasarkan klaim masingmasing organisasi, bahwa beda antara jumlah warga Muhammadiyah dan NU itu hanya 10 juta orang. Jika NU memiliki 40 juta anggota, Muhammadiyah memiliki 30 juta warga. Atau, jika 40% dari umat Islam Indonesia secara tradisi adalah warga NU, 30% orang Indonesia adalah Muhammadiyah. Sisanya adalah mengikuti organisasi lain.Apa konsekuensi dari penelitian PPIM, TAF, dan LSI itu? Ternyata jumlah warga Muhammadiyah tidak sesignifikan yang selama ini dibayangkan. Karena itu, Muhammadiyah bisa diabaikan dalam pembentukan kabinet. Tidak ada keharusan mengangkat menteri dari organisasi yang jumlah warganya kurang dari 10% warga Indonesia ini. Asumsi di atas, yang didasarkan pada jumlah kepala, tentu tak sejalan dengan kontribusi yang diberikan oleh Muhammadiyah kepada bangsa ini. Di Jawa Timur, misalnya, meski warga Muhammadiyah jauh lebih kecil dari NU, organisasi ini telah menyumbangkepada bangsadalam bentuk pendirian sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, pusat pelayanan sosial hampir di setiap kota dari propinsi itu.

Belum lagi jumlah sekolah, rumah sakit pusat pelayanan sosial yang diberikan oleh Muhammadiyah di provinsi- provinsi lain di Indonesia. Persoalan lain yang berkaitan dengansurvei itu adalah berkaitan dengan metode, kebenaran data, dan kesimpulan. Jika diasumsikan semuanya benar, kemudian pertanyaannya adalah berkaitan dengan perbedaan karakter warga dan organisasi.NU lebih merupakan budaya, sementara Muhammadiyah adalah organisasi. Orang yang melaksanakan tradisi NU seperti selamatan dan tahlilan akan dengan mudah mengasosiasikan dirinya dengan NU. Sementara di Muhammadiyah, orang yang tidak menjadi pengurus organisasi atau pernah sekolah di Muhammadiyah kadang enggan mengidentifikasi diri sebagai bagian dari Muhammadiyah.Jadi, meski orang terus menduga-duga tentang absennya Muhammadiyah di kabinet, satu hal yang saya yakin adalah bahwa Muhammadiyah akan terus mengabdi kepada negeri ini meski tak ada anggotanya yang menjadi menteri. Sementara dari pihak Jokowi-JK, keputusan tak memasukkan orang Muhammadiyah adalah sikap kurang mengapresiasi kontribusi organisasi ini untuk bangsa.

JOKOWI-JK TANPA MENTERI DARI MUHAMMADIYAH DAN ROKOKNYA SANG MENTERIWalaupun Persyarikatan Muhammadiyah secara kelembagaan atau secara resminya tidak mendukung calon presiden dalam pilpres yang lalu, namun beberapa kader dan senior Muhammadiyah secara personal telah menjadi bagian dari tim kampanye mereka. Dengan keberadaan mereka itu, dan posisi Persyarikatan Muhammadiyah sebagai ormas Islam terbesar di negeri ini, maka sepantasnyalah ada kader Muhammadiyah yang duduk dalam susunan kabinet, sesuai ekspektasi warga Muhammadiyah. Sejak pengumuman KPU tentang pemenang pilpres sehingga menjelang pelantikan presiden medio Oktober lalu, dalam berbagai media massa, terdapat beberapa nama yang muncul, disebut-sebut sebagai kader Muhammadiyah yang layak duduk sebagai calon menteri, misalnya Dr. Irwan Akib, Prof. Abdul Munir Mulkan, Dr. Abdul Mukti, Prof. Bambang Setiadi, Prof. Agus Suradika, lagipun Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Din Syamsuddin, disebut sebagai kandidat kuat yang akan membantu presiden lima tahun ke depan.Dalam kenyataannya, kita tidak melihat adanya kader-kader tersebut yang duduk dalam susunan kabinet. Oleh itu, sebagian warga Muhammadiyah menjadi kecewa. Haruskah kita kecewa dan mengapa harus kecewa? Untuk menutupi kekecewaan tersebut, Pimpinan Pusat Muhammadiyah memberikan keterangan pers bahwa meskipun tidak ada kader tulen Muhammadiyah yang masuk dalam susunan kabinet, namun ada juga anggota kabinet yang merupakan usulan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, seperti Menteri Kesehatan, Nila F. Moeluk. Di samping itu, terdapat pula beberapa anggota kabinet yang memiliki hubungan darah dengan Muhammadiyah.

Bagi saya secara pribadi, tidak terlalu penting mempersoalkan ada atau tidaknya kader Muhammadiyah yang duduk dalam susunan kabinet. Karena akan terjadi perbedaan persepsi tentang manfaat dan peranannya bagi Muhammadiyah. Juga akan memperdebatkan tentang definisi kader tulen Muhammadiyah itu sendiri. Sebab tanpa adanya kader dalam kabinet, tidaklah menjadikan gerakan dakwah dan jalannya roda Persyarikatan terhenti atau mundur. Kita memang akan senang jika ada kader yang masuk dalam kabinet. Sebab masuknya kader Muhammadiyah dalam susunan kabinet, dipandang akan turut membantu gerakan dakwah Persyarikatan dalam ranah politik. Walau bagaimanapun, kita juga boleh senang dan berbangga sebagai kader Persyarikatan akan mengawal gerakan dakwah tanpa harus menggantungkan diri kepada kabinet. Pengalaman dalam kabinet SBY yang lalu, meskipun tanpa kader tulen Muhammadiyah, tidak menjadikan Muhammadiyah berhenti bekerja. Justeru yang terjadi adalah sebaliknya, Persyarikatan terus berjalan, amal usaha berkembang, dan gerakan dakwah tetap berlangsung dengan baikMeskipun tidak berhasil masuk atau memasukkan kader tulen Muhammadiyah dalam jajaran kabinet, saya tetap memberikan hormat dan bangga kepada teman-teman dan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang berusaha masuk ke dalam tim pemenangan pilpres yang lalu. Sepatutnya memang demikian. Sebagian kader Muhammadiyah harus masuk dalam ranah politik; baik dalam partai politik mahupun dalam jajaran kampanye politik. Kader Muhammadiyah perlu membagi diri. Ada yang mengurus Persyarikatan, ada pula yang masuk ke wilayah yang lebih luas. Saya meyakini, mereka keberadaan mereka dalam tim, meskipun dikatakan sebagai atas nama pribadi, tentunya mereka sebagai kader yang darah Muhammadiyah sudah mengalir deras dalam jiwa raganya,akan membawa misi dakwah Islam yang sebenar. Bahwa mereka belum berhasil masil dalam jajaran kabinet, tak perlu dirisaukan. Saya yakin mereka akan mendapat ganjaran yang pantas atas jerih payahnya nanti. Insha Allah.

Terhadap susunan kabinet Jokowi-JK kali ini, saya memberikan catatan tersendiri. Ada memang beberapa nama menteri dipandang tidak sesuai dengan kapasitasnya. Tapi harus dipahami bahwa posisi menteri adalah jabatan politis, tidak menjadi satu keharusan mutlak pertimbangan latar belakang profesinya. Beberapa tokoh yang sempat diprediksi masuk kabinet, malah tidak masuk, misalnya Prof. Kamaruddin Hidayat. Justeru saya senang dengan adanya nama Pak Lukman Hakim Syaifuddin sebagai Menteri Agama. Kinerjanya selama beberapa bulan ini cukup baik, menggembirakan dan dekat dengan semua kalangan serta mampu merangkulnya. Coba lihat ketika Sidang Isbath tahun ini, beliau berhasil mendatangkan Prof. Din Syamsuddin, walaupun disebut sebagai perwakilan Majelis Ulama Indonesia, tapi nama Muhammadiyah tentu melekat pula di dalamnya. Bayangkan kalau Menteri Agama dijabat oleh seseorang yang dulu pernah disebarkan sebagai pentolan aliran tertentu yang oleh banyak pihak disebut bertentangan dengan ajaran Islam. Jika dia masuk, inikan bisa menjadi masalah besar bagi negeri ini. Dan seterusnya. Kita mesti memberi kesempatan kepada Jokowi-JK bersama dengan para anggota kabinetnya untuk kerja, kerja, dan kerja sesuai dengan amanah rakyat Indonesia. Sebagaimana pesan Buya Syafii dan Prof. Amien Rais.

Tugas kita sebagai warga Muhammadiyah dan sebagai warganegara adalah mengawal pemerintahan ini agar berada pada koridor yang benar, berlaku adil kepada semua pihak, dan komitmen untuk meningkatkan taraf kesejahateraan rakyat Indonesia mulai dari Sabang sampai Merauke. Jangan hanya terfokus di satu pulau saja. Mesti terjadi pemerataan yang lebih kongkrit, bukan sekedar wacana maupun kabar angin sorga, sehingga goncangan-goncangan politik bisa diminimalisir. Bibit-bibit konflik pun akan bisa dihindari.Satu hal yang sempat mengganjal di hati saya adalah tentang apa yang disebut sebagai moralitas beberapa anggota kabinet. Saya tidak tahu persis apakah ini berkaitan dengan moral atau bukan, sebab tentunya akan terjadi perbedaan persepsi terhadapnya. Ada nama menteri dikabarkan adalah orang yang antisosial, karena selama lima tahun tinggal dalam satu kompleks di rumahnya yang begitumewah,tak ada satu tetangganya yang mengenalnya. Memang ini adalah fenomena yang terjadi di daerah perkotaan, tapi untuk kapasitas seorang menteri, saya pikir hal ini tidak baik. Bahwa ada pejabat yang antisosial, bukan hal baru. Jangankan pejabat negara, mungkin saja diantara kader Muhammadiyah, ada yang masuk kategori antisosial, tidak pernah bergaul dengan masyarakat sekitarnya karena mungkin sibuk mengurus organisasi. Lalu, sempat pula terdengar kabar seorang anggota kabinet yang pernah disebut melakukan plagiat. Ada pula menteri yang dikabarkan merokok di tempat umum, bahkan di dalam kompleks istana negara, sehingga ditegur oleh pasukan Paspampres. Jika ketiga contoh di atas adalah benar, maka saya sangat menyayangkannya.

Bagi sebagian orang, sikap kehidupan yang antisosial, kasus plagiat, merokok di depan publik, mungkin adalah hal yang biasa. Itu mungkin pula dikaitkan dengan masalah pribadi, masalah hak asasi pribadi, cara pandang yang berbeda, dan seterusnya. Boleh saja berlaku perkara seperti itu, sepanjang itu adalah untuk kepentingan pribadi sendiri, dalam rumah sendiri, atau minimal tidak diketahui oleh publik. Jika sudah menjadi pengetahuan publik, maka itu menjadi hal yang sangat tidak pantas, bertolak belakang dengan budaya ketimuran kita. Sebab menteri adalah pejabat publik, dia akan menjadi contoh bagi masyarakat, maka tidak tertutup kemungkinan perkara tersebut sebagai media pembenaran kepada rakyat Indonesia, yang kekuatan aqidahnya belum sempurna, untuk melakukan hal yang sama. Kalaulah ini terjadi, dimana lagi letak moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan kita sebagai Bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila?