repository.usu.ac.id › bitstream › handle › 123456789 › 54122... bab ii tinjauan...

29
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gelombang Elektromagnetik (GEM) 2.1.1. Definisi GEM Gelombang Elektromagnetik (GEM) adalah gelombang yang tidak membutuhkan medium untuk perambatannya, dimana gelombang tersebut tersusun atas medan magnet dan medan listrik. Contoh Gelombang elektromagnetik diantaranya adalah cahaya, sinar-x, gelombang radio dan signal televisi. (Nicolaide, Andrei. 2012). Gelombang elektromagnetik tidak lepas dari hipotesis Maxwell yang mengacu pada hubungan kemagnetan dan kelistrikan sesuai dengan beberapa percobaan berikut : a. Oersted melakukan percobaan yang berhasil membuktikan bahwa arus listrik menghasilkan medan magnet. Bila jarum kompas diletakkan dekat dengan kawat yang dialiri arus listrik, maka jarum kompas tersebut akan menyimpang. Jarum kompas ternyata dibelokkan oleh medan magnet. b. Faraday melakukan percobaan mengenai perubahan fluks magnet pada kumparan yang dapat menimbulkan arus induksi, kemudian arus induksi tersebut menghasilkan medan listrik. Mengacu kepada dua percobaan ini, Maxwell membuat suatu hipotesa baru dari pernyataan Faraday bahwa “Perubahan fluks magnetik dapat menimbulkan medan listrik” maka Maxwell mengatakan “Jika perubahan fluks magnet dapat menimbulkan medan listrik maka perubahan fluks listrik juga dapat menimbulkan medan magnet”. Hipotesa yang dikemukakan Maxwell ini dikenal dengan sifat simetri medan listrik dengan medan magnet (Foster. 2007) Jika hipotesis Maxwell benar, maka perubahan medan listrik yang terjadi akan mengakibatkan perubahan medan magnet serta sebaliknya dan keadaan ini terus akan berulang. Medan magnet (H) dan medan listrik (E) muncul akibat perubahan medan listrik atau medan magnet sebelumnya akan merambat menjauhi tempat awal kejadian. Perambatan medan magnet dan medan listrik ini dikenal dengan gelombang elektromagnetik seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah ini :

Upload: others

Post on 25-Feb-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gelombang Elektromagnetik (GEM)

2.1.1. Definisi GEM

Gelombang Elektromagnetik (GEM) adalah gelombang yang tidak

membutuhkan medium untuk perambatannya, dimana gelombang tersebut tersusun

atas medan magnet dan medan listrik. Contoh Gelombang elektromagnetik

diantaranya adalah cahaya, sinar-x, gelombang radio dan signal televisi. (Nicolaide,

Andrei. 2012).

Gelombang elektromagnetik tidak lepas dari hipotesis Maxwell yang mengacu pada

hubungan kemagnetan dan kelistrikan sesuai dengan beberapa percobaan berikut :

a. Oersted melakukan percobaan yang berhasil membuktikan bahwa arus listrik

menghasilkan medan magnet. Bila jarum kompas diletakkan dekat dengan

kawat yang dialiri arus listrik, maka jarum kompas tersebut akan menyimpang.

Jarum kompas ternyata dibelokkan oleh medan magnet.

b. Faraday melakukan percobaan mengenai perubahan fluks magnet pada

kumparan yang dapat menimbulkan arus induksi, kemudian arus induksi

tersebut menghasilkan medan listrik.

Mengacu kepada dua percobaan ini, Maxwell membuat suatu hipotesa baru dari

pernyataan Faraday bahwa “Perubahan fluks magnetik dapat menimbulkan medan

listrik” maka Maxwell mengatakan “Jika perubahan fluks magnet dapat menimbulkan

medan listrik maka perubahan fluks listrik juga dapat menimbulkan medan magnet”.

Hipotesa yang dikemukakan Maxwell ini dikenal dengan sifat simetri medan listrik

dengan medan magnet (Foster. 2007)

Jika hipotesis Maxwell benar, maka perubahan medan listrik yang terjadi akan

mengakibatkan perubahan medan magnet serta sebaliknya dan keadaan ini terus akan

berulang. Medan magnet (H) dan medan listrik (E) muncul akibat perubahan medan

listrik atau medan magnet sebelumnya akan merambat menjauhi tempat awal

kejadian. Perambatan medan magnet dan medan listrik ini dikenal dengan gelombang

elektromagnetik seperti ditunjukkan pada gambar 2.1 di bawah ini :

i

Gambar 2.1 Kuat medan listrik (E) dan kuat medan magnet (H) saling tegak lurus

pada gelombang elektromagnetik

(sumber Giancoli. 2001)

2.1.2 Karakteristik Gelombang Elektromagnetik

Gelombang elektromagnetik memiliki sifat sebagai berikut :

a. Dapat merambat tanpa medium dengan kecepatan sebesar c = 3 x 108 m/s.

b. Merambat kesegala arah dengan kecepatan yang sama.

c. Arah getar dan arah rambatnya saling tegak lurus yang merupakan gelombang

transversal.

d. Lintasannya lurus (gerak lurus), tidak dibelokkan dalam medan listrik maupun

medan magnet.

e. Dapat mengalami refleksi, refraksi, interferensi, polarisasi dan difraksi.

2.1.3. Spektrum Gelombang Elektromagnetik

Spektrum Gelombang elektromagnetik diklasifikasi berdasarkan panjang

gelombang dan besarnya frekuensi gelombang elektromagnetik. Pada gambar 2.2

menunjukkan bahwa spektrum gelombang dari gelombang elektromagnetik sebagau

berikut (Soetrisno. 1979) :

1. Gelombang Radio

Gelombang Radio yang sering disebut frekuensi radio, memiliki daerah

frekuensi dari beberapa Hz sampai 109 Hz, dengan kata lain memiliki panjang

gelombang dari 10-3

m sampai 103 m.

2. Gelombang Mikro

H

H

Gelombang mikro sering disebut microwaves, memiliki daerah frekuensi dari

109 Hz sampai 3 x 10

11 Hz, dengan kata lain memiliki panjang gelombang dari

1 mm sampai 30 cm.

Gambar 2.2 Klasifikasi Gelombang Elektromagnetik

(sumber Sugiyarni, Anik. 2010)

3. Sinar Infra Merah

Gelombang ini memiliki daerah frekuensi dari 3 x 1011

sampai 4 x 1014

Hz,

dengan kata lain memiliki panjang gelombang dari 7,8 x 10-7

m sampai 10-3

m.

4. Cahaya Tampak

Cahaya tampak terdiri dari spektrum warna merah, jingga, kuning, hijau, biru,

nila dan ungu. Warna merah memiliki panjang gelombang terbesar dan

frekuensi terkecil. Cahaya tampak memiliki daerah frekuensi dari 4 x 1014

Hz

sampai 1015

Hz, dengan kata lain memiliki panjang gelombang dari 7800

sampai 3900 .

5. Sinar Ultraviolet (UV)

i

Sinar UV memiliki daerah frekuensi dari 8 x 1014

Hz sampai 3 x 1017

Hz,

dengan kata lain memiliki panjang gelombang dari 6 sampai 3000 .

Matahari merupkan sumber pancaran sinar UV yang paling kuat.

6. Sinar X

Sinar X memiliki daerah frekuensi dari 1016

Hz sampai 1020

Hz, dengan kata

lain memiliki panjang gelombang dari 0,06 sampai 10 .

7. Sinar Gamma

Sinar Gamma memiliki daerah frekuensi dari 1020

– 1025

Hz, dengan kata lain

memiliki panjang gelombang dari 10-4

sampai 1 . Sinar Gamma memiliki

frekuensi yang paling besar dan daya tembus yang besar.

2.1.4 Persamaan Maxwell

Maxwell memberikan persamaan untuk Gelombang Elektromagnetik sebagai

berikut :

( )

( )

( )

( )

Apabila persamaan Maxwell diatas digunakan untuk ruang hampa maka akan didapat

kecepatan cahaya. Karena di ruang hampa tidak ada muatan dan arus maka persamaan

Maxwell dapat dituliskan sebagai :

( )

( )

( )

( )

Dari persamaan (2.7) diperoleh persamaan

( ) (

)

( ) ( )

Lalu dengan mensubstitusikan persamaan (2.8) ke dalam persamaan (2.9) diperoleh

( )

(

)

( )

Menurut identitas vektor bahwa

( ) ( )

Oleh karena itu persamaan (2.10) menjadi

( )

( )

Karena , maka persamaan (2.11) menjadi

( )

Persamaan ini merupakan persamaan gelombang medan listrik 3 dimensi yang

merambat dengan kecepatan fase

2.2. Refleksi dan Refraksi

2.2.1. Hukum Snellius

Pada tahun 1650, Pierre de Fermat, menyatakan bahwa “sinar datang dari suatu

titik A menuju cermin dan dipantulkan ke titik B akan menempuh satu lintasan

tertentu yang jaraknya terpendek atau waktu tempuhnya tersingkat“. Dari prinsip ini

lahirlah hukum Snellius tentang pemantulan cahaya sebagai berikut :

1. Sinar datang, sinar pantul, dan garis normal terletak pada satu bidang datar

yang dinamakan bidang pantul.

2. Sudut datang dan sudut pantul ‟ sama besarnya, atau = ‟.

Hukum Snellius ini dapat dibuktikan dengan metode kalkulus variasi.

Pada Gambar 2.3 diketahui bahwa :

I1 = √ (2.13)

I2 = √ ( ) (2.14)

I = I1 + I2 (2.15)

i

Gambar 2.3 Pemantulan pada Cermin Datar

(Sumber Smirnov, Yu. G., 2007)

Substitusi persamaan (2.13) dan (2.14) ke dalam persamaan (2.15) maka akan didapat

bahwa

I = √ + √ ( ) (2.16)

Menurut Prinsip Fermat nilai I harus minimum, dan dalam metode variasi fungsi

minimum didapat dari turunan pertama yang bernilai sama dengan nol, maka

Persamaan (2.16) menjadi :

(√ √ ( ) )

( )

( )

( )

( ( ) )

( )( )

( )

√ ( )

( )

√ ( )

Sin = Sin ‟

= ‟ (2.18)

Hal ini sesuai dengan Hukum Snellius bahwa sudut datang sama dengan sudut pantul.

Selanjutnya Refraksi atau pembiasan terjadi karena GEM memasuki medium

yang berbeda. Apabila sinar datang dari medium yang kurang rapat menuju medium

yang rapat, maka sinar akan dibiaskan mendekati garis normal dan apabila sinar

datang dari medium rapat ke medium kurang rapat sinar akan dibiaskan menjauhi

garis normal. Persamaan Snellius mengenai refraksi (pembiasan) sebagai berikut :

(2.19)

n1 < n2 n1 > n2

Gambar 2.4 Pembiasan Cahaya

(Sumber:Sugiyarni, Anik.2010)

2.2.2. Jenis-Jenis Refleksi

Refleksi atau pemantulan ada dua jenis yaitu

a. Pemantulan baur (difus)

Terjadi jika cahaya jatuh pada benda yang permukaannya tidak rata/kasar.

Cahaya akan dipantulkan ke segala arah tak tentu

b. Pemantulan teratur

Terjadi jika cahaya jatuh ke benda yang permukaannya rata/halus. Cahaya

akan dipantulkan teratur ke arah tertentu

2.2.3. Jenis-Jenis Refraksi

Jenis Refraksi atau pembiasan terdiri atas :

a. Refraksi ganda

Refraksi Ganda atau birefringence atau double refraction adalah

dekomposisi sinar cahaya menjadi dua sinar cahaya yang disebut ordinary

ray dan extraordinary ray. Refraksi ganda terjadi pada saat gelombang

cahaya melalui medium material anisotropik seperti kristal kalsit atau

Boron nitrat. Jika material tersebut mempunyai sumbu optis atau sumbu

anisotropik tunggal, maka pembiasan yang terjadi disebut uniaxial

i

birefringence dengan 2 buah indeks bias material anisotropik, masing-

masing untuk 2 buah arah polarisasi dengan intensitas menurut persamaan:

(2.20)

dengan no dan ne adalah indeks bias untuk polarisasi tegak lurus ordinary

ray dan polarisasi paralel extraordinary ray terhadap sumbu anisotropik.

Refraksi ganda juga dapat terjadi dengan sumbu anisotropik ganda

yang disebut biaxial birefringence atau trirefringence, seperti yang terjadi

pada pembiasan sinar cahaya pada material anisotropik layaknya kristal

atau berlian. Untuk material semacam ini, tensor indeks bias n, secara

umum memiliki tiga eigenvalues yang berbeda, yaitu n, n and n.

b. Refraksi Gradien

Refraksi gradien adalah refraksi yang terjadi pada medium dengan indeks

bias gradien. Pada umumnya, indeks bias gradien terjadi karena

peningkatan kepadatan medium yang menyebabkan peningkatan indeks

bias secara tidak linear, seperti pada kaca, sehingga cahaya yang merambat

melaluinya dapat mempunyai jarak tempuh yang melingkar dan terfokus.

Indeks bias gradien juga terjadi apabila cahaya yang merambat melalui

medium dengan indeks bias konstan, mempunyai intensitas yang sangat

tinggi akibat kuatnya medan listrik, seperti pada sinar laser, sehingga

menyebabkan indeks bias medium bervariasi sepanjang jarak tempuh sinar

tersebut. Jika indeks bias berbanding kuadrat dengan medan

listrik/berbanding linear dengan intensitas, akan terjadi fenomena self-

focusing dan self-phase modulation yang disebut efek optis Kerr.

Fenomena refraksi gradien dengan indeks bias berbanding linear dengan

medan listrik (yang terjadi pada medium yang tidak mempunyai inversion

symmetry) disebut efek Pockels.

c. Refraksi Negatif

Refraksi negatif adalah refraksi yang terjadi seolah-olah sinar cahaya

insiden dipantulkan oleh sumbu normal antarmuka dua medium pada sudut

refraksi yang secara umum tunduk pada hukum Snellius, namun bernilai

negatif.

Refraksi negatif terjadi pada pembiasan antarmuka antara medium

yang mempunyai indeks bias positif dengan medium material meta yang

mempunyai indeks bias negatif oleh desain koefisien permitivitas medan

listrik dan permeabilitas medan magnet tertentu menurut persamaan:

√ (2.21)

Untuk kebanyakan material, besaran permeabilitas sangat dekat dengan

nilai 1 pada frekuensi optis, sehingga nilai n disederhanakan dengan

pendekatan permitivitas: √ . Menurut persamaan ini, maka indeks bias

dapat bernilai negatif, misalnya seperti pada sinar x.

2.3. Metamaterial

Metamaterial adalah suatu material buatan yang memiliki nilai indeks bias

negatif, sehingga dapat memanipulasi gelombang yang melewati material tersebut.

Selama delapan tahun terakhir, metamaterial telah menunjukkan potensi yang luar

biasa dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Ledakan minat metamaterial karena

secara dramatis meningkatkan kemampuan manipulasi atas cahaya serta gelombang

suara yang tidak tersedia di alam. Konsep inti metamaterial adalah untuk

menggantikan molekul dengan struktur buatan manusia, dipandang sebagai "atom

buatan" pada skala yang lebih kecil dari panjang gelombang yang relevan. Dengan

cara ini, metamaterial dapat digambarkan dengan menggunakan sejumlah kecil

parameter yang efektif. (Veselago. 1968)

Semua berawal dari sebuah paper (artikel ilmiah) yang ditulis ilmuwan asal

Rusia bernama Victor Veselago pada tahun 1968. Dalam tulisannya Veselago secara

teoretik menjelaskan sebuah konsep, “Apa yang terjadi jika kita mempunyai sebuah

material yang mempunyai indeks bias yang bernilai negatif?” Secara teori, nilai

negatif indeks bias bisa didapat jika kita mempunyai material dengan konstanta

dielektrik (konstanta yang mengukur derajat polarisasi muatan listrik bila sebuah

material dimasukkan medan listrik) dan permeabilitas magnetik (konstanta yang

mengukur derajat magnetisasi sebuah benda bila di celupkan di medan magnet) yang

secara bersamaan bernilai negatif. Banyak spekulasi yang disampaikan Veselago di

tulisan tersebut yang bertentangan dengan konsep-konsep dasar fisika. Beberapa

ilmuwan menganggap tulisan Veselago hanya isapan jempol, secara teori mungkin

i

bisa diterima, tapi apakah material tersebut benar tersedia di alam ? Orang-orang pun

melupakan artikel ilmiah Veselago tersebut. Tetapi 30 tahun setelah Veselago, pada

1998, seorang fisikawan teori asal Inggris bernama John Pendry menawarkan sebuah

konsep material yang mempunyai indeks bias negatif denganmemodifikasi struktur

material tersebut. Pendry menawarkan kombinasi kawat logam dan struktur split ring

untuk membuat metamaterial. Penggunaan kawat logam adalah untuk membuat

konstanta dielektriknya menjadi negatif sedangkan split ring resonator untuk membuat

permeabilitas yang bernilai negatif.

Di tahun 2000, David Smith dari University of California, San Diego, untuk

pertama kalinya berhasil melakukan eksperimen membuat metamaterial berdasarkan

teori yang diajukan oleh Pendry. Metamaterial ini bekerja di zona gelombang mikro,

yaitu gelombang elektromagnetik yang panjang gelombangnya berkisar antara 1 meter

sampai 1 milimeter. Saat ini, sudah 11 tahun sejak ekperimen pertama tentang

metamaterial, beberapa struktur pun ditawarkan untuk mendapatkan sifat yang

menarik di cahaya tampak. (Li, Zhaofeng. 2009)

2.3.1. Teori dasar

Perambatan gelombang elektromagnetik bisa dijelaskan dari hukum Maxwell.

Hubungan dispersi antara frekuensi dan bilangan gelombang k dapat dituliskan

sebagai berikut,

(

)

( )

n adalah indeks bias, ε adalah konstanta dielektrik, dan μ adalah permeabilitas

magnetik.

Dari persamaan tersebut, konstanta dielektrik (ε) dan permeabilitas magnetik

(μ) secara bersamaan harus bernilai posistif semua atau negatif semua. Untuk material

yang ada di alam, nilai ε dan μ bernilai positif semua. Sedangkan metamaterial

mempunyai ε dan μ yg bernilai negatif. Dengan demikian, pembiasan pada

metamaterial berlawanan dengan arah pembiasan pada material biasa. (Veselago,

Viktor. 2006)

2.3.2. Aplikasi Metamaterial.

Gambar 2.5 Skema cara kerja Perfect Lens

(sumber Vioktalamo, Aunuddin S. 2011)

Jika kita punya lapisan tipis yang mempunyai indeks bias negatif, melalui sifat

pembiasannya, penjalaran gelombang dari sumber sampai membentuk bayangan bisa

diterangkan melalui gambar berikut. Pemfokusan sinar dengan menggunakan konsep

ini mempunyai keunggulan disbanding pemfokusan dengan menggunakan lensa-lensa

konvensional (lensa biasa). Lensa konvensional mempunyai keterbatasan yaitu tidak

bisa memfokuskan melebihi 0.6λ, dimana λ adalah panjang gelombang cahaya yang

melalui lensa. Keterbatasan resolusi ini dikenal sebagai Rayleigh limit.

Dengan menggunakan metamaterial kita bisa memfokuskan lebih detail tanpa

batasan tersebut. Sebagai ilustrasi, perekaman data di DVD biasa menggunakan laser

hanya sanggup menyimpan 1 film (sekitar 4 GB). Jika kita menggunakan perfect lens,

kita bisa menyimpan sampai 1000 film dalam 1 DVD.

i

Gambar 2.6 Cahaya diteruskan melalui permukaan metamaterial

(sumber Vioktalamo, Aunuddin S. 2011)

Dalam film Harry Potter, kita bisa melihat Harry bisa menghilang ketika

menggunakan sebuah jubah yang diberikan Dumbledore. Jubah itu sebenarnya

kepunyaan ayah Harry. Bukan asal-usul jubah itu yang akan dibahas, tapi dari sudut

pandang fisika apakah mungkin kita bisa membuat jubah yang membuat orang bisa

tampak menghilang? Jawabannya, “IYA!”, jika kita bisa melokalisasi resonansi

medan listrik dan magnetik dengan menggunakan metamaterial. Eksperimen ini sudah

dilakukan dengan gelombang mikro pada tahun 2006. Saat ini ilmuwan sedang

menyiapkan desain untuk invisible cloaking di rentang cahaya tampak. (Vioktalamo,

Aunuddin S. 2011).

2.4. Komputasi dengan Matlab

2.4.1. Inisialisasi variable

Salah satu perbedaan utama antara komputer dan kalkulator adalah

pemanfaatan variabel dalam proses perhitungan. Kebanyakan kalkulator tidak

menggunakan variabel dalam proses perhitungan; sebaliknya, komputer sangat

memanfaatkan variable dalam proses perhitungan. Misalnya kita ingin mengalikan 2

dengan 3. Dengan kalkulator, langkah pertama yang akan kita lakukan adalah

menekan tombol angka 2, kemudian diikuti menekan tombol ×, lalu menekan tombol

angka 3, dan diakhiri dengan menekan tombol =; maka keluarlah hasilnya berupa

angka 6. Kalau di komputer, proses perhitungan seperti ini dapat dilakukan dengan

memanfaatkan variabel. Pertama-tama kita munculkan sebuah variabel yang

diinisialisasi dengan angka 2, misalnya A = 2. Kemudian kita munculkan variabel lain

yang diinisialisasi dengan angka 3, misalnya B = 3. Setelah itu kita ketikkan A* B;

maka pada layar monitor akan tampil angka 6. Bahkan kalau mau, hasil

perhitungannya dapat disimpan dalam variabel yang lain lagi, misalnya kita ketiikan C

= A * B; maka hasil perhitungan, yaitu angka 6 akan disimpan dalam variable C.

Script matlab untuk melakukan proses perhitungan seperti itu adalah sebagai berikut

A = 2;

B = 3;

C = A * B

Nama suatu variabel tidak harus hanya satu huruf, melainkan dapat berupa sebuah

kata. Misalnya kita ingin menyatakan hukum Newton kedua, yaitu F = ma, dimana m

adalah massa, a adalah percepatan dan F adalah gaya. Maka, script matlab dapat

ditulis seperti berikut ini

massa = 2;

percepatan = 3;

gaya = massa * percepatan

Atau bisa jadi kita memerlukan variabel yang terdiri atas dua patah kata. Dalam hal

ini, kedua kata tadi mesti dihubungkan dengan tanda underscore. Misalnya

besar_arus = 2;

beda_potensial = 3;

nilai_hambatan = beda_potensial / besar_arus

Semua contoh di atas memperlihatkan perbedaan yang begitu jelas antara penggunaan

komputer dan kalkulator dalam menyelesaikan suatu perhitungan. Saya akan

tunjukkan perbedaan yang lebih tegas lagi pada bagian berikut ini.

2.4.2. Perhitungan yang Berulang

Di dalam matlab, suatu variabel dapat diinisialisasi dengan urutan angka.

Misalnya jika variable t akan diinisialisasi dengan sejumlah angka yaitu 0, 1, 2, 3, 4,

5, 6, 7, 8, 9 dan 10, caranya sangat mudah, cukup dengan mengetikkan

t = 0:10;

i

Angka 0 pada script di atas merupakan nilai awal; sedangkan angka 10 adalah nilai

akhir.

Contoh lainnya, jika anda hanya menginginkan bilangan genap-nya saja, cukup

ketikkan

t = 0:2:10;

Disini, angka 2 bertindak sebagai nilai interval dari 0 sampai 10. Sehingga angka-

angka yg muncul hanyalah 0, 2, 4, 6, 8 dan 10. Andaikata anda menginginkan urutan

angka yang terbalik, maka yang perlu anda lakukan adalah

t = 10:-2:0;

sehingga angka yang muncul adalah 10, 8, 6, 4, 2 dan 0. Ada kalanya proses

perhitungan meminta kita untuk memulainya dari angka kurang dari nol, misalnya

t = -10:3:4;

maka angka-angka yang tersimpan pada variabel t adalah -10, -7, -4, -1 dan 2.

Dengan adanya kemampuan dan sekaligus kemudahan inisialisasi urutan

angka seperti ini, maka memudahkan kita melakukan perhitungan yang berulang.

Sebagai contoh, kita inginmensimulasikan perubahan kecepatan mobil balap yang

punya kemampuan akselerasi 2 m/dt2.

Rumus gerak lurus berubah beraturan sangat memadai untuk maksud tersebut

v = vo + at (2.23)

Jika kita hendak mengamati perubahan kecepatan mobil balap dari detik

pertama disaat sedang diam hingga detik ke-5, kita dapat menghitung perubahan

tersebut setiap satu detik, yaitu

pada t = 1 v1 = (0) + (2)(1) = 2 m/dt

pada t = 2 v2 = (0) + (2)(2) = 4 m/dt

pada t = 3 v3 = (0) + (2)(3) = 6 m/dt

pada t = 4 v4 = (0) + (2)(4) = 8 m/dt

pada t = 5 v5 = (0) + (2)(5) = 10 m/dt

Script matlab untuk tujuan di atas adalah

a = 2;

t = 1:5;

vo = 0;

v = vo + a * t

Jarak tempuh mobil juga dapat ditentukan oleh persamaan berikut

s = vot + 1/2 * a * t.^2 (1.2)

Untuk menentukan perubahan jarak tempuh tersebut, script sebelumnya mesti

ditambah satu baris lagi

1 a = 2;

2 t = 1:5;

3 vo = 0;

4 s = vo * t + 1/2 * a * t.^2

Ada hal penting yang perlu diperhatikan pada baris ke-4 di atas, yaitu

penempatan tanda titikpada t.ˆ2. Maksud dari tanda titik adalah setiap angka yang

tersimpan pada variabel t harus dikuadratkan. Jika anda lupa menempatkan tanda titik,

sehingga tertulis tˆ2, maka script tersebut tidak akan bekerja.

2.4.3. Mengenal Cara Membuat Grafik

Seringkali suatu informasi lebih mudah dianalisis setelah informasi tersebut

ditampilkan dalam bentuk grafik. Pada contoh mobil balap tadi, kita bisa menggambar

data perubahan kecepatan mobil terhadap waktu dengan menambahkan satu baris lagi

seperti ditunjukkan oleh script dibawah ini

1 a = 2;

2 t = 1:5;

3 vo = 0;

4 v = vo + a * t

5 plot(t,v,‟o‟)

Jika script tersebut di-run, akan muncul gambar 2.7. Untuk melengkapi keterangan

gambar, beberapa baris perlu ditambahkan

1 a = 2;

2 t = 1:5;

3 vo = 0;

4 v = vo + a * t;

i

5 plot(t,v,‟o‟);

6 xlabel(‟Waktu (dt)‟);

7 ylabel(‟Kecepatan (m/dt)‟)

8 title(‟Data Kecepatan vs Waktu‟)

Gambar 2.7 Data Perubahan Kecepatan terhadap Waktu

Gambar 2.8 Data Perubahan Kecepatan terhadap Waktu

2.4.4 Baris-Baris Pembuka

Ketika anda membuat script di komputer, anda mesti menyadari bahwa script

yang sedang anda buat akan memodifikasi isi memory komputer. Oleh karena itu saya

menyarankan agar sebelum kalkulasi anda bekerja, maka anda harus pastikan bahwa

memory komputer dalam keadaan bersih. Cara membersihkannya, di dalam matlab,

adalah dengan menuliskan perintah clear. Alasan yang sama diperlukan untuk

membersihkan gambar dari layar monitor. Untuk maksud ini, cukup dengan

menuliskan perintah close. Sedangkan untuk membersihkan teks atau tulisan di layar

monitor, tambahkan saja perintah clc. Saya biasa meletakkan ketiga perintah tersebut

pada baris-baris awal sebagai pembukaan bagi suatu script matlab. Inilah contohnya,

1 clear

2 close

3 clc

4

5 a = 2;

6 t = 1:5;

7 vo = 0;

8 v = vo + a * t;

9 plot(t,v,‟o‟);

10 xlabel(‟Waktu (dt)‟);

11 ylabel(‟Kecepatan (m/dt)‟)

12 title(‟Data Kecepatan vs Waktu‟)

2.4.5 Membuat 2 Grafik dalam Satu Gambar

Misalnya, sebuah gelombang dinyatakan oleh persamaan

y = A sin (2πft + θ)

dimana A = amplitudo; f = frekuensi; t = waktu; θ = sudut fase gelombang. Jika suatu

gelombang beramplitudo 1 memiliki frekuensi tunggal 5 Hz dan sudut fase-nya nol,

maka script untuk membuat grafik gelombang tersebut adalah

1 clc

2 clear

3 close

i

4

5 A = 1; % amplitudo

6 f = 5; % frekuensi

7 theta = 0; % sudut fase gelombang

8 t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001

9 y = A * sin(2*pi*f*t + theta); % persamaan gelombang

10

11 plot(t,y) % menggambar grafik persamaan gelombang

Grafik di atas muncul karena ada fungsi plot(t,y) yang diletakkan dibaris paling akhir

pada script. Modifikasi script perlu dilakukan untuk memberi penjelasan makna dari

sumbu-x dan sumbu-y serta memberikan judul grafik

Gambar 2.9 Grafik Gelombang berfrekuensi 5 Hz

1 clc

2 clear

3 close

4

5 A = 1; % amplitudo

6 f = 5; % frekuensi

7 theta = 0; % sudut fase gelombang

8 t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001

9 y = A * sin(2*pi*f*t + theta); % persamaan gelombang

10

11 plot(t,y) % menggambar grafik persamaan gelombang

12 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟); % melabel sumbu-x

13 ylabel(‟Amplitudo‟); % melabel sumbu-y

14 title(‟Gelombang berfrekuensi 5 Hz‟); % judul grafik

Untuk memperbesar font judul grafik, tambahkan kata fontsize(14) pada title(),

contohnya

title(‟\fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz‟); % judul grafik

Bila kita perlu menggambar dua buah grafik, contoh script berikut ini bisa digunakan

1 clc

2 clear

3 close

4

5 t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001

6

7 A1 = 1; % amplitudo gelombang 1

8 f1 = 5; % frekuensi gelombang 1

9 theta1 = 0; % sudut fase gelombang 1

10 y1 = A1 * sin(2*pi*f1*t + theta1); % persamaan gelombang 1

11

12 A2 = 1; % amplitudo gelombang 2

13 f2 = 3; % frekuensi gelombang 2

14 theta2 = pi/4; % sudut fase gelombang 2

15 y2 = A2 * sin(2*pi*f2*t + theta2); % persamaan gelombang 2

16

17 figure

i

Gambar 2.10 Grafik yang Dilengkapi dengan Keterangan Sumbu-x dan Sumbu-y serta

Judul

Gambar 2.11 Grafik yang Dilengkapi dengan Font Judul 14pt

18

19 subplot(2,1,1)

20 plot(t,y1) % menggambar grafik persamaan gelombang 1

21 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟);

22 ylabel(‟Amplitudo‟);

23 title(‟\fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz‟);

24

25 subplot(2,1,2)

26 plot(t,y2) % menggambar grafik persamaan gelombang 2

27 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟);

28 ylabel(‟Amplitudo‟);

29 title(‟\fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4‟);

Gambar 2.12 Dua Buah Grafik dalam Sebuah Gambar

Sekarang, jika kita ingin melihat tampilan superposisi kedua gelombang di atas, maka

script berikut ini bisa digunakan

1 clc

2 clear

3 close

4

5 t = 0:0.001:1; % t_awal = 0; t_akhir = 1; interval = 0.001

6

7 A1 = 1; % amplitudo gelombang 1

8 f1 = 5; % frekuensi gelombang 1

9 theta1 = 0; % sudut fase gelombang 1

10 y1 = A1 * sin(2*pi*f1*t + theta1); % persamaan gelombang 1

i

11

12 A2 = 1; % amplitudo gelombang 2

13 f2 = 3; % frekuensi gelombang 2

14 theta2 = pi/4; % sudut fase gelombang 2

15 y2 = A2 * sin(2*pi*f2*t + theta2); % persamaan gelombang 2

16

17 y3 = y1 + y2; % superposisi gelombang

18

19 figure

20

21 subplot(3,1,1)

22 plot(t,y1) % menggambar grafik persamaan gelombang 1

23 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟);

24 ylabel(‟Amplitudo‟);

25 title(‟\fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 5 Hz‟);

26

27 subplot(3,1,2)

28 plot(t,y2) % menggambar grafik persamaan gelombang 2

29 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟);

30 ylabel(‟Amplitudo‟);

31 title(‟\fontsize{14} Gelombang berfrekuensi 3 Hz, fase pi/4‟);

32

33 subplot(3,1,3)

34 plot(t,y3) % menggambar grafik superposisi gelombang

35 xlabel(‟Waktu, t (detik)‟);

36 ylabel(‟Amplitudo‟);

37 title(‟\fontsize{14} Superposisi gelombang 5 Hz dan 3 Hz‟);

Gambar 2.13 Tiga buah Grafik dalam Sebuah Gambar

2.4.6. Metode Finite Difference

Suatu persamaan diferensial dapat dinyatakan sebagai berikut:

( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( ) ( )

( ) ( )

atau juga dapat dituliskan dalam bentuk lain

( ) ( ) ( ) ( )

Persamaan tersebut dapat diselesaikan dengan melakukan pendekatan numerik

terhadap dan . Caranya adalah pertama, kita memilih angka integer sembarang

yaitu dimana dan membagi interval dengan ( ), hasilnya

dinamakan

( )

Dengan demikian maka titik-titik x yang merupakan sub-interval antara dan dapat

dinyatakan sebagai

( )

Pencarian solusi persamaan diferensial melalui pendekatan numerik dilakukan dengan

memanfaatkan polinomial Taylor untuk mengevaluasi dan pada dan

seperti berikut ini

i

( ) ( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

dan

( ) ( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

Jika kedua persamaan ini dijumlahkan

( ) ( ) ( ) ( )

Dari sini dapat ditentukan

( ) ( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( ) ( )

( )

Dengan cara yang sama ( ) dapat dicari sebagai berikut

( ) ( ) ( )

( )

Selanjutnya persamaan (2.30) dan (2.31) disubstitusikan ke persamaan (2.25) maka

( ) ( ) ( )

( )

( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

( ) ( ) ( )

Sebelum dilanjut, nyatakan bahwa ( ) dan ( ) serta ( )

. Maka persamaan di atas dapat ditulis sebagai berikut

(

) ( ) (

) ( ) ( )

( )

( )( ) ( ) ( )

( )

( )

( ) ( ) ( )

(

( )) ( ) ( ( )) (

( )) ( ) ( )

dimana sampai N, karena yang ingin kita cari adalah .

Sementara, satu hal yang tak boleh dilupakan yaitu dan biasanya selalu sudah

diketahui. Pada persamaan (2.24), jelas-jelas sudah diketahui bahwa dan

; keduanya dikenal sebagai syarat batas atau istilah asingnya adalah

boundary value. Topik yang sedang bahas ini juga sering disebut sebagai Masalah

Syarat Batas atau Boundary Value Problem.

Sampai disini, akan mendapatkan sistem persamaan linear yang selanjutnya

dapat dinyatakan sebagai bentuk operasi matrik

(2.33)

dimana A adalah matrik tridiagonal dengan orde N × N

[ ( )

( ) ( )

( ) ( )

( )

( ) ( )

( )

( )

( ) ( )

( ) ( )

( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ( )

( )

( ) ( )

( ) ( )

( ) ]

Sedangkan vector w dan b adalah

[

]

[ ( ) (

( ))

( )

( )

( )

( )

( ) (

( )) ]

Dalam hal ini vektor w dapat dicari dengan mudah, yaitu

(2.34)

Agar lebih jelas, mari kita lihat contoh berikut; diketahui persamaan diferensial

dinyatakan sebagai

( )

( ) ( )

Dengan metode Finite-Difference, solusi pendekatan dapat diperoleh dengan membagi

interval menjadi sub-interval, misalnya kita gunakan , sehingga

spasi diperoleh

Dari persamaan diferensial tersebut, kita dapat menentukan fungsi p, fungsi q dan

fungsi r sebagai berikut:

A=

i

( )

( )

( ) ( )

Script matlab telah dibuat untuk menyelesaikan contoh soal ini. Isi script fungsi p

yang disimpan dengan nama file p.m:

1 function u = p(x)

2

3 u = -2/x;

lalu inilah script fungsi q yang disimpan dengan nama file q.m:

1 function u = q(x)

2 u = 2./x.^2;

kemudian ini script fungsi r yang disimpan dengan nama file r.m::

1 function u = r(x)

2

3 u = sin(log(x))./x.^2;

dan terakhir, inilah script utamanya:

1 % PROGRAM - Aplikasi Metode Finite Difference (FD)

2 % Hasil FD dibandingkan dengan hasil solusi analitik

3 % yang ditampilkan dalam bentuk grafik

4 %

5 % Dibuat oleh : Supriyanto, 10 Desember 2012

6

7 clc;clear;close

8 %============= MENENTUKAN SYARAT BATAS================

9 a = 1; b = 2;

10 alpha = 1; beta = 2;

11 N = 9;

12 h = (b-a)/(N+1);

13 for k = 1:N

14 x(k) = a + k*h;

15 end

16 %============== MEMBUAT MATRIKS A ====================

17 A = zeros(N);

18 for k = 1:N

19 A(k,k) = 2 + h^2*q(x(k));

20 end

21

22 for k = 2:N

23 A(k-1,k) = -1 + (h/2) * p(x(k-1));

24 A(k,k-1) = -1 - (h/2) * p(x(k));

25 end

26 %============== MEMBUAT VEKTOR b ======================

27 b(1,1) = -h^2*r(x(1)) + (1+(h/2)*p(x(1)))*alpha;

28 for k = 2:N-1

29 b(k,1) = -h^2*r(x(k));

30 end

31 b(N,1) = -h^2*r(x(N)) + (1-(h/2)*p(x(N)))*beta;

32 %============== MENGHITUNG w ==========================

33 w = inv(A) * b;

34 %============ MEMPLOT HASIL FINITE DIFFERENCE =========

35 plot(x,w,‟*b‟)

36 xlabel(‟nilai x‟);

37 hold on

38 %========= MEMPLOT HASIL SOLUSI ANALITIK ===============

39 h = 0.1;

40 x = 1:h:2;

41 y = sol_analitik(x);

42 plot(x,y,‟sr‟);

43 ylabel(‟nilai y‟);

44 title(‟\fontsize{14} Kesesuaian Antara Solusi FD dan Solusi Analitik‟);

i

Dalam script di atas, hasil perhitungan metode FD tersimpan pada baris 33 dan di-plot

pada baris 35. Disisi lain, solusi analitik dari persamaan diferensial

( )

( ) ( )

adalah

( )

( )

dengan

( ) ( )

dan

Pada script di atas, solusi analitik akan didapat pada baris 41, dimana sol_analitik()

adalah fungsi eksternal untuk menyimpan persamaan solusi analitik di atas.

Tabel berikut ini memperlihatkan hasil perhitungan dengan pendekatan metode

FD dan hasil perhitungan dari solusi exact ( ), dilengkapi dengan selisih antara

keduanya ( ) dengan kesalahan (error) berada pada orde 10−5

. Untuk

memperkecil orde kesalahan, kita bisa menggunakan polinomial Taylor berorde

tinggi. Akan tetapi proses kalkulasi menjadi semakin banyak dan disisi lain penentuan

syarat batas lebih kompleks dibandingkan dengan pemanfaatan polinomial Taylor

yang sekarang. (Suparno, Supriyanto. 2013)

Gambar 2.14 Solusi FD dan Solusi Analitik

Tabel 2.1 Hasil perhitungan ( ) dan ( ) .