89493724 patofisiologi lupus

10
PATOFISIOLOGI Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut : Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD 4 + , mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi. Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat pada skema di bawah ini. Genetically susceptible individual Complement Additional unidentified Genes Enviromental

Upload: nurhafizahimfista

Post on 25-Oct-2015

40 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

hhh

TRANSCRIPT

Page 1: 89493724 Patofisiologi Lupus

PATOFISIOLOGI

Patofiologi penyakit SLE dihipotesiskan sebagai berikut :

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai

predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T

CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya

muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang

memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Ujud pemicu ini masih belum

jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk didalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan

berbagai macam infeksi.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang terutama

terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon.

Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan

atau kompleks protein RNA yang disebut partikel ribonukleoprotein (RNA). Ciri khas

autoantigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral

semua jenis sel.

Antibodi ini secara bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan

antigennya yang spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu. Dapat berupa

gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemprosesan kompleks imun

dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini

memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.

Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai maca organ dengan akibat terjadinya

fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang

menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang

menyebabkan timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti

ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya.

Bagian yang penting dalam patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi

yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

Secara skematis, hipotesis mengenai patofisiologi SLE dapat dilihat pada skema di

bawah ini.

Genetically susceptible individual

Complement

Additional unidentified

Genes

Enviromental

Page 2: 89493724 Patofisiologi Lupus

E. MANIFESTASI KLINIS

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul

mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun

dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.

Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbasi. Remisinya mungkin berlangsung

bertahun-tahun.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak

dengan sinar matahari, infeksi virus/ bakteri, obat misalnya golongan sulfa, penghentian

kehamilan dan trauma fisis/psikis. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas

seperti demam, malaise, kelemahan, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, dan

iritabilitas. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

Page 3: 89493724 Patofisiologi Lupus

a. Gejala Muskuloskeletal

Gejala yang sering pada SLE ialah gejala muskuloskeletal, berupa artritis atau

artralgia (93 %) dan acapkali mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering

terkenal ialah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan,

metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembengkakan dan nyeri mungkin

juga terdapat efusi sendi yang biasanya termasuk kelas I (non-inflamasi) ; kadang-kadang

termasuk kelas II (inflamasi). Kaku pagi hari jarang ditemukan. Mungkin juga terdapat

nyeri otot dan miositis. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas,

kontraktur atau reumatoid. Nekrosis avaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan

terutama ditemukan pada pasien yang mendapat pengobatan dengan steroid dosis tinggi.

Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

b. Gejala mukokutan

Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus SLE. Lesi

kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid dan

livido retikularis.

Ruam kulit yang dianggap khas dan banyak menolong dalam mengarahkan

diagnosis SLE ialah ruam kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema

yang agak edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,

kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari

dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas (photo-hypersensitivity).

Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.

Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi.

Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup sisik keratin

disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk

sikatriks.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai

yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.

Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat menjadi hemoragik), ekimosis,

petekie dan purpura.

Page 4: 89493724 Patofisiologi Lupus

Kadang-kadang terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan

antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit

tenang secara klinis dan serologis.

Alopesia dapat pulih kembali jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput

lendir paling sering pada palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan

spontan kalau penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak

mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian lagi akan

membaik jika penyakit mereda.

c. Ginjal

Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah

proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik dan kegagalan ginjal jarang

terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.

Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit SLE difus

dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE difus merupakan

kelauanan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi

serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa

lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan

serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis

kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab

kematian SLE kronik.

d. Kardiovaskular

Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi perikard),

iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).

e. Paru

Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang bilateral.

Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang

dengan pemberian terapi yang adekuat.

Page 5: 89493724 Patofisiologi Lupus

Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-faktor lain

seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah disingkirkan.

f. Saluran Pencernaan

Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual (muntah

jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat

pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau

arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus.

Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.

g. Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai

ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/ kembali normal.

h. Kelenjer Getah Bening

Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya berupa

limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Limfadenopati difus ini kadang-

kadang disangka sebagai limfoma.

i. Kelenjer Parotis

Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.

j. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya

bersifat sementara.

k. Susunan Saraf Pusat

Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik

dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala

aktif SLE pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi

Page 6: 89493724 Patofisiologi Lupus

disamping gejala khas kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan

tidak sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.

Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat

dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara keduanya baru dapat

diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis

penyakit SLE membaik jika dosis steroid dinaikkan, sedangkan psikosis steroid

sebaliknya.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang

mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia karena mielitis

transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya.

Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas Faktor-

faktor yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di pleksus

koroideus.

l. Mata

Kelainan mata dapat berupa konjungtivitis, edema periorbital, perdarahan subkonjungtival,

uveitis dan adanya badan sitoid di retina.

Patogenesis Lupus Eritematosus

Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear ( ANA dan

anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti

oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan,

termasuk kulit dan ginjal (7).

Ada tiga faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus,

yaitu : faktor genetik, lingkungan, dan kelainan pada sistem imun (6,8).

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus, dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot (6,7,8). Studi

lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human

Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major

Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi spesifik (6,8). Penderita

lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau

C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh

sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi jaringan.

Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel apoptosis, sehingga

komponen nuklear akan menimbulkan respon imun (6).

Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi

ultra violet, tembakau, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity

dan hilangnya toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar

Page 7: 89493724 Patofisiologi Lupus

UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan memegang

peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel DNA, serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya

kelainan pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok

yang menunjukkan bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus,

berhubungan dengan zat yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik

aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus.

Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis keratinosit. Faktor

lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat ditemukan pada

penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel

permukaan dan apoptosis. (8)

Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor imunologis.

Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari

patogenesis lupus eritematosus sistemik (6,8). Beberapa autoantibodi ini secara

langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA), yang berperan

dalam membentuk kompleks imun yang kemudian merusak jaringan (8).

2.7 Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum

Penyakit Lupus Eritematosus Sistemik atau lebih dikenal dengan istilah

”lupus”, memiliki manifestasi klinis yang bervariasi, dan melibatkan multiorgan

(2,5,9) yaitu sekitar 80% melibatkan persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50%

melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar 10-30% melibatkan trombosis

arteri dan vena (10).

2.7.1 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit

Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam

diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan

ekstremitas yang menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal

maupun nyeri. Pada kepala dapat menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam

malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu pada wajah. Ruam-ruam tersebut

dipicu oleh paparan cahaya matahari.(6,11,12).. Lesi-lesi tersebut penyebarannya

bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak beraturan.

Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah

pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan

dan seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena

penggunaan terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan

meninggalkan jaringan yang atropi dan jaringan parut (6).

Gambar 2.1. Lesi awal DLE Gambar 2.2. Butterfly Rash

Gambar 2.3.Jaringan atropi Gambar 2.4. Jaringan parut

Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia Gambar 2.6. Eritematosa pada jari

2.7.2 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat

Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa

sindrom neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari

ringan (seperti sakit kepala) sampai berat (seperti stroke).

Manifestasi utama dari Lupus SSP :

1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)

2. Sakit kepala

3. Seizure

Page 8: 89493724 Patofisiologi Lupus

4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)

5. Meningitis aseptik

6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian – bagian otak yang berbeda)

7. Periperal neuropathy ( contoh : hilang rasa,rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan

kaki)

8. Gangguan pergerakan

9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)

10. visual alternation

11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)

Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu

sindrom klinis utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan

inflamasi pada pembuluh darah otak karena aktivitas lupus, dan merupakan satu dari

dua sindrom spesifik lupus SSP yang dibuat oleh American College of Rheumatology.

Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit (lebih dari 80% kejadian timbul saat

lima tahun pertama dari perjalanan penyakit), yang ditemukan pada 10% pasien

lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis like stiffness pada

leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah infark

singel atau multipel.

Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi

antiphospholipid sebagai bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan

darah, yang dapat menghambat pembuluh darah yang mensuplai otak. Bekuan darah

pada otak ( disebut kejadian thromboembolic) dapat terjadi tiba-tiba dan biasanya

tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau tidak dapat bersuara.

Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45-

50% pasien lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus

SSP aktif yang disertai pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu

menyebutkan sakit kepala migrain sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP.

Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan

komplikasi yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau

kelemahan dan bervariasi mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai

terjadinya paraplegia.

Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana

SSO merupakan bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak

disadari, seperti pengaturan detak jantung, bernafas, berkeringat,dll. Manifestasi

gangguan SSO contohnya pada terjadinya gangguan kognitif, livedo reticularis ( a

mottled skin rash), rasa geli, hilang rasa pada ekstremitas. Pasien lupus yang

mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa kebingungan,

kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran, dan gangguan memori. Gejala gangguan

kognitif adalah intermiten.

Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu

ketika pasien lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi

meninggalkan jaringan parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik

atau mental yang permanen atau bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan

kerusakan permanen pada SSP (13).

2.7.3 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal

Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira

Page 9: 89493724 Patofisiologi Lupus

50% pasien dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik

sampai terjadinya hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal

yang progresif. Manifestasi lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus,

tetapi sering ditemukan variasi derajat proteinuria, darah dalam urin dan abnormalitas

sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada stadium lanjut dapat menjadi komplikasi

yang serius sehingga menyebabkan kematian (14,15).

2.7.4 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata

Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek

eksternal, contohnya pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan

ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti berpasir/ gritty, dan refleks berair/ watering

yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal seperti pada Sjogren’s sindrome atau

sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar saliva. Selain itu kelainan

dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata/ kelopak mata seiring perubahan

jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang

melibatkan konjungtiva dan episklera, meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu

dapat dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea.

Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi

pembuluh darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat

kehilangan daya lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit

berwarna putih dan adanya cotton wool spots ( potongan kecil berwarna putih pada

retina) yang timbul karena pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini

dapat ditemukan walau disertai gejala lain.

Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ

lain akibat lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi

cairan dan menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada

kelopak mata dapat menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hipertension, dapat

menyebabkan retinopati hipertensi, yang bermanifestasi seperti microangiopathy.

Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan

tekanan cairan serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudo tumor/ tumor

intrakranial, dan menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema).

Perubahan ini tidak menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati

dapat menyebabkan kebutaan.

Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada

mata. Pankreatitis akut dapat menyebabkan Purtscher’s retinopathy, adanya cotton

wool spots. Penglihatan terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali (16).

2.7.5 Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal

Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling

mengganggu dan dapat melemahkan pasien. Secara umum, perkiraan persentase

keterlibatan saluran gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%,

sakit abdomen 40-60%, dysphagia 5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10% (17).

Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi dapat pula menyebabkan

beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian, yaitu seperti hemoragi,

perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali

dan penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak

mengarah pada hepatitis atau cirrhosis (17).

Page 10: 89493724 Patofisiologi Lupus

Patofisiologi SLE (Sistemisc Lupus Erythematosus)

Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi

yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,

hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan

lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid,

isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah

alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang

abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan

menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang

kembali.

1. Sistem muskuloskeletal

Artralgia, artritis (sinovitis), pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak,

rasa kaku pada pagi hari.

2. Sistem integumen

Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal

hidung serta pipi.

Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.

3. Sistem kardiak

Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.

4. Sistem pernafasan

Pleuritis atau efusi pleura.

5. Sistem vaskuler

Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler, eritematous dan purpura

di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral

tangan dan berlanjut nekrosis.

6. Sistem perkemihan

Glomerulus renal yang biasanya terkena.

7. Sistem saraf

Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit

neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.

http://nursingbegin.com/askep-sle/14:47