83495611 teori-belajar-sosial-bandura
TRANSCRIPT
1
BIOGRAFI
Tokoh ini dilahirkan pada tahun 1925 di Alberta, Canada. Albert menempuh
pendidikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan mencapai
gelar Ph.D setahun kemudian pada tahun 1952. Setelah menempuh pelatihan post-
doktoral di bidang klinis selama satu tahun, pada tahun 1953 Bandura bekerja di
Universitas Stanford, di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial. Ia pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanford dan pada
tahun 1974 terpilih menjadi Ketua American Psychological Association.
Albert Bandura menjabat sebagai ketua APA pada tahun 1974 dan pernah
dianugerahi penghargaan Distinguished Scientist Award pada tahun 1972.
Pada bagian selanjutnya kelompok kami akan banyak membahas tentang teori
kepribadian yang berprinsip pada belajar sosial (social learning). Teori belajar sosial
(social learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling menentukan
(reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan pengaturan
diri/berfikir (sel-regulation/cognition).
Sumbangan Bandura, Bandura membuka perspektif baru dalam aliran
behavioristik dengan menekankan pada aspek observasi dan proses internal individu. Bagi
merekayang beraliran kognitif, pandangan ahli behavioristik lainnya. Teori ini juga
didukung oleh percobaan eksperimental yang dapat dipertanggung jawabkan.
Kritik terhadap Bandura, terutama datang dari kelompok aliran behavioristik
keras, yang memandang Bandura lebih tepat untuk dimasukkan dalam kelompok aliran
kognitif dan diakui sebagai bagian dari behavioristik. Penyebab utamanya karena
pandangan Bandura yang kental aspek mentalnya.
Pada makalah ini juga berisi jurnal dan beberapa kasus berhubungan dengan
penerapan teori belajar sosial.
(http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/behaviorisme.html)
2
LATAR BELAKANG TEORI
Penelitian Bandura mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teori
belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan diperluas.
Penelitian ini meliputi studi tentang imitasi dan identifikasi, Perkuatan Sosial, Perkuatan
Diri dan Pemonitoran, serta Perubahan Tingkah Laku melalui pemodelan.
Bersama Richard Wakters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolescent
Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan dimana prinsip-
prinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepribadian sekelompok
remaja pria delinkuen dari kelas menengah, disusul dengan Social Learning and
personality development (1963), sebuah buku dimana ia dan Walters memaparkan
prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti
yang menjadi dasar bagi teori tersebut. Pada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles
of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral
berdasarkan prinsip-prinsip belajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun
1973, ”Aggression: A social learning analysis”.
Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977),
ia telah “berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis
pikiran dan tingkah laku manusia”.
Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori belajar terhadap kepribadian,
teori belajar sosial berpangkal pada dalil bahwa tingkah laku manusia sebagian besar
adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk
menjelaskan bagaimana tingkah laku berkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori
sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini
muncul, juga kurang menyadari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi
dengan perantaraan orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain,
individu-individu belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal
tertentu menjadikan orang lain model bagi dirinya.
Dalam bukunya terbutan 1941, Social larning and imitation, Miller dan Dollard
telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian
dan telah berusaha menjelaskan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya
sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi
ke dalam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut
imitasi dalam tulisan-tulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha
3
memperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar lewat
observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Miller dan Dollard.
I. PEMBAHASAN
Belajar adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan melibatkan dua unsur,
yaitu jiwa dan raga. Gerak raga yang ditujukan harus sejalan dengan proses jiwa untuk
mendapatkan perubahan. Tentu saja perubahan yang didapatkan itu bukan perubahan fisik
akibat sengatan serangga, patah tangan, patah kaki, buta mata, tuli telinga, penyakit bisul,
dan sebagainya bukanlah termasuk perubahan akibat belajar. Oleh karenanya, perubahan
sebagai hasil dari proses belajar adalah jiwa yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang.
Drs. Slameto juga merumuskan pengertian tentang belajar. Menurutnya belajar
adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan
tingkahlaku yang baru dalam keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
dalam interaksi dengan lingkungannya. (Syaiful Bahri Djamarah : 12-13).
Bagi Bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan
meramalkan perubahan tingkahlaku, prinsip itu harus memperhatikan dua fenomena
penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradikma behaviorisme. Pertama, Bandura
berpebdapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkahlakunya sendiri,
sehingga mereka bukan semata-mata bidak yang menjadi obyek pengaruh lingkungan.
Sifat kausal bukan dimiliki oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling
mempengaruhi
Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan
interaksi orang satu dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai
harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkahlaku itu diperoleh dan dipelihara.
Teori belajar sosial (sosial learning theory) dari Bandura, didasarkan pada konsep saling
menentukan (reciprocal determinism), tanpa penguatan (beyond reinforcement), dan
pengaturan diri / berfikir (self-regulation cognition).
Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai determinan resiprokal,
beyond reinforcement, dan self regulation.
1. Determinis Resiprokal
Pendekatan yang menjelaskan tingkahlaku manusia dalam bentuk interaksi
timbal-balik yang terus menerus antara determinan kognitif, begavioral, dan lingkungan.
Orang menentukan / mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol kekuatan
lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis
resiprokal adalah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi
4
pijakan Bandura dalam memahami tingkahlaku. Teori belajar sosial memaki saling–
deerminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial diberbagai
tingkat kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal sampai tingkahlaku interpersonal
serta fungsi interaktif dari organisasi dan sistem sosial.
2. Tanpa Reinforsemen
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung kepada
reinforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilah-pilih untuk
direinforse satu persatu, bias jadi orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya,
reinforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingkahlaku akan terus terjadi atau
tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk tingkahlaku. Orang dapat belajar
melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang
dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsemen yang terlibat, berarti
tingkahlaku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu pokok teori belajar mengajar.
3. Kognisi dan Regulasi diri
Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidak senangan atau ketidak
mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan
manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi
tingkahlakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana
yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan menyimpan pengalaman
(dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan
tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara
imaginative hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi
tingkahlaku yang membimbing kea rah tujuan jangka panjang.
II. STRUKTUR KEPRIBADIAN
A. SISTEM SELF (SELF SISTEM)
Tidak sepertinya Skinner yang teorinya tidak memiliki kontruks self, Bandura
yakin bahwa pengaruh yang ditimbulkan oleh self sebagai salah satu determian
tingkahlaku tidak dapat dihilangkan tanpa membahayakan penjelasan dan kekuatan
peramalan. Dengan kata lain, self diakui sebagai unsur struktural kepribadian. Saling
determinis menempatkan semua hal saling berinteraksi, di mana pusat atau pemulanya
adalah sistem self. Sistem self itu bukan unsur psikis yang mengontrol tingkahlaku, tetapi
mengacu ke struktur kognitif yang memberi pedoman mekanisme dan seperangkat fungsi-
fungsi persepsi, evaluasi, dan pengaturan tingkahlaku. Pengaruh self tidak otomatis atau
5
mengatur tingkahlaku secara otonom, tetapi self menjadi bagian dari sistem interaksi
resprokal.
B. REGULASI DIRI
Manusia mempunyai kemampuan berfikir, dan dengan kemampuan ini mereka
memanupulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan
manusia. Balikannya dalam bentuk determinis resiprokal berarti orang dapat mengatur
sebagaian dari tingkahlakunya sendiri. Menurut Bandura, akan terjadi strategi reaktif dan
proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika
tujuan hampir tercapai strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tingg. Orang
memotivasi dan membimbing tingkahlakunya sendiri melalui strategi proaktif,
menciptakan ketidakseimbangan, agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya
berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan. Ada tiga proses
yang dapat dipakai untuk melakukan pengaturan diri: memanipulasi faktor eksternal,
memonitor dan resiprokal faktor eksternal dan faktor internal itu.
1. Faktor Eksternal dalam Regulasi diri
Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dengan dua cara, pertama Faktor
eksternal memberi standar untuk mengevaluasi tingkahlaku. Faktor lingkungan
berinteraksi dengan pengaruh-pengaruh pribadi, membentuk standar evaluasi diri
seseorang, melalui orang tua dan guru anak-anak belajar baik-buruk, tingkahlaku yang
dikehendaki dan tidak dikehendaki. Melalui pengalaman berinteraksi dengan lingkungan
yang lebih luas anak kemudian mengembangkan standar yang dapat dipakai untuk
menilai prestasi diri.
Kedua, Faktor eksternal mempengaruhi regulasi diri dalam bentuk penguatan
(reinforcement). Hadiah intrinsic tidak selalu memberi kepuasan, orang membutuhkan
intensif yang berasal dari lingkungan eksternal. Standar tingkahlaku tertentu, perlu
penguatan agar tingkahlaku semacam itu menjadi pilihan untuk dilakukan lagi.
2. Faktor internal dalam Regulasi Diri
Faktor eksternal berinteraksi dengan Faktor internal dalam pengaturan diri
sendiri, Bandura mengemukaka tiga bentuk pengaruh internal (lihat Tabel 1) :
1. Observasi diri (self observation) : dilakukan berdasakan Faktor kualitas
penampilan, kuantitas penampilan, orisinalitas tingkahlaku diri, dan seterusnya.
Orang harus mampu memonitor performansinya, walaupun tidak sempurna
karena orang cenderung memilih beberapa aspek dari tingkahlakunya dan
mengabaikan tingkahlaku lainnya. Apa yag diobservasi seseorang tergantung
pada minat dan konsep dirinya.
6
2. Proses penilaian atau mengadili tingkahlaku (judgemental process) : adalah
melihat kesesuaian tingkahlaku dengan standar pribadi, membandingkan
tingkahlaku dengan norma standar pribadi, membandingkan tingkahlaku dengan
norma standar atau dengan tingkahlaku orang lain, menilai berdasarkan
pentingnya suatu aktivitas, dan memberi performasi. Standar pribadi bersumber
dari pengalaman mengamati model misalnya orang tua atau guru, dan
menginterpretasi balikan/penguatan dari performansi diri. Berdasarkan sumber
model dan performansi yang mendapat penguatan, proses kognitif menyusun
ukuran-ukuran atau norma yang sifatnya sangat pribadi, karena ukuran ini tidak
selalu sinkron dengan kenyataan. Standar pribadi ini jumlahnya terbatas. Sebagian
besar aktivitas harus dinilai dengan membandingkannya dengan ukuran eksternal,
bias berupa norma standar.
Tabel 2
Proses Regulasi Diri
Faktor
Eksternal
Faktor Internal
Self-observation Judgmental Process Self-Response
Standar
masyarakat
penguatan
Dimensi Performansi
Kualita
Keseringan
Kuantita
Orisinalita
Kebenaran Bukti
Dampak
Penyimpangan
Etika
Standar Pribadi
Sumber model
Sumber penguat
Pedoman Performansi
Norma standar
Perbandinga sosial
Perbandingan personal
Perbandingan kolektif
Menghargai Aktifitas
Sangat dihormati
Netral
Direndahkan
Atribusi performansi
Lokus pribadi
Lokus eksternal
Reaksi evaluasi diri
Positif
Negatif
Dampak terhadap
self
Dihadiahi
Dihukum
Tanpa respon self
7
Perbandingan sosial, perbandingan dengan orang lain, atau perbandingan kolektif.
Orang juga menilai seberapa besar arti penting dari aktivita itu bagi dirinya.
Akhirnya, orang uga menilai seberapa besar dirinya menjadi penyebab dari suatu
performansi, apakah kepada diri sendiri dapat dikenai atribusi (penyebab) tercapainya
performansi, yang baik, atau sebaliknya justru dikenai atibusi terjadinya kegagalan
dan performansi yang buruk
3. Reaksi-diri-afektif (self response) : akhirnya berdasarkan pengamatan dan
judgement itu, orang mengevaluasi diri sendiri positif atau negatif, dan kemudian
menghadiahi atau menghukum diri sendiri. Bisa jadi muncul reaksi afektif, karena
fungsi kognitif membuat keseimbangan yang mempengaruhi evaluasi positif atau
negatif menjadi kurang termakna secara individual.
C. EFIKASI DIRI (SELF EFFICATION)
Bagaimana orang bertingkahlaku dalam situasi tertentu tergantung kepada
resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya Faktor kognitif yang
berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak melalukan tindakan
yang memuaskan. Bandura menyebut keyakinan atau harapan dari ini sebagai efikasi diri,
dan harapan hasilnya disebut ekspektasi hasil.
1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation)
Adalah “persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi
dalam situasi tertentu.” Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri
memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharakan.
2. Ekspektasi hasil (outcome expectation) :
Adalah perkiraan atau estimasi diri bahwa tingkahlaku yang dilakukan diri
itu akan mencapai hasil tertentu.
Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau
buruk, tepat atau salah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang
dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita
menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang
efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Seseorang dokter ahli bedah,
pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu
melaksanakan operasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun
ekspektasi hasilnya bias rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada
daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotic, sterilitas dan infeksi, dan
sebagainya. Orang bisa memiliki ekspektasi hasilnya tidak realistic (apa yang
8
diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya ekspektasi
hasilnya tidak realistic (mengharap terlalu tinggi dari hasil nyata yang dapat
dicapai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistic (memperkirakan
hasil sesuai dengan kemampuan diri), orang itu akan bekerja keras dan bertahan
mengerjakan tugas sampai selesai.
D. SUMBER EFIKASI DIRI
Perubahan tingkahlaku, dalam system Bandura kuncinya adalah perubahan
ekspektasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan diri itu dapat diperoleh,
diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat
pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi sosial (sosial persuation) dan
pembangkitan emosi (Emotional Physiological states).
a. Pengalaman performansi
Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai sumber,
performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya.
Prestasi (masa lalu) yang nbagus meningkatkan ekspektasi efikasi, sedang kegagalan akan
menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-
beda, tergantung proses pencapaiannya :
1. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan memberi efikasi semakin tinggi.
2. Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi disbanding kerja kelompok, dibantu
orang lain
3. Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaiknya
mungkin.
4. Kegagalan dalam suasana emosional / stress, dampaknya tidak seburuk kalau
kondisinya optimal.
5. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak
seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum
kuat.
6. Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi.
9
Tabel 2
Strategi Pengubahan Sumber Ekspektasi Efikasi
sumber Cara Induksi
Pengalaman
Performansi
Participant modeling Meniru model yang berprestasi
Performance desensition Menghilangkan pengaruh buruk prestasi
masa lalu
Performance exposure Menonjolkan keberhasilan yang pernah
diraih
Self-instructed
performance
Melatih diri untuk melakukan yang
terbaik
Pengalaman
Vikarius
Live-modeling Mengamati model yang nyata
Symbolic modeling Mengamati model simbolik, film, komik,
cerita.
Persuasi
Verbal
Sugestion Mempengaruhi dengan kata-kata berdasar
kepercayaan
Exbortation Nasihat, peringatan yang mendesak /
memaksa
Self-instruction Memerintah diri sendiri
Interpretative-treatment Interpretasi baru memperbaiki interpretas
lama yang salah
Pembangkit-
an Emosi
Attribution Mengubah atribusi, penanggugjawab lama
yang salah
Relaxation biofeedback Relaksasi
Symbolic desensitization Menghilangkan sikap emosional dengan
modeling simbolik
Symbolic exposure Memunculkan emosi secara simbolik
b. Pengalaman Vikarius
Diperbolehkan melalui model sosial. Efikasi akan meningkat ketika mengamati
keberhasilan orang lain, sebaliknya efikasi akan menurun jika mengamati orang yang
kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figur yang diamati
berbeda dengan diri sipengamat, pengaruh vikarius tidak besar. Sebaliknya ketika
mengamati kegagalan figur yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau
mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figur yang diamati itu dalam jangka waktu
yang lama.
10
c. Persuasi Sosial
Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi
sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang
lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi
persuasi, dan sifat realistic dari apa yang dipersuasikan.
d. Keadaan Emosi
Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi di
bidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri.
Namun bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan
efikasi diri.
Perubahan tingkahlaku akan terjadi kalau sumber ekspektasi berubah.
Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi
tingkahlaku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral. Keempat sumber itu
diubah dengan berbagai strategi yang diringkas dalam tabel 2
E. EFIKASI DIRI SEBAGAI PREDIKTOR TINGKAHLAKU
Menurut Bandura, sumber pengontrol tingkahlaku adalah resiprokal antara
lingkungan, tingkahlaku, dan pribadi. Efikasi diri merupakan variable pribadi yang
penting, yang kalau digabing dengan tujuan-tujuan spesifik dan pemahaman mengenai
prestasi, akan menjadi penentu tingkahlaku mendatang yang penting, berbeda dengan
konsep-diri (Roger) yang bersifat kesatuan umun, efiaksi diri bersifat fragmental. Setiap
individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung
kepada:
1. kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu.
2. kehadiran orang lain, khususnya dalam situasi itu.
3. keadaan fisiologi dan emosional : kelelahan, kecemasan, apatis, murung.
Efikasi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dalam lingkungan yang
responsive atau tidak responsive, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi
tingkahlaku. (Tabel 3)
Tabel 3
Kombinasi Efikasi dengan Lingkungan sebagai prediktor tingkahlaku
Efikasi Lingkungan Prediksi hasil tingkahlaku
Tinggi Responsive Sukses, melaksanakan tugas yang sesuai
dengan kemampuannya
Rendah Tidak responsive Depresi, melihat orang lain sukses pada
tugas yang dianggap sulit
11
Tinggi Tidak responsive Berusaha keras mengubah lingkungan
menjadi responsive, melakukan protes,
aktivitas sosial, bahkan melaksanakan
perubahan
rendah Responsive Orang menjadi apatis, pasrah, merasa
tidak mampu
F. EFIKASI KOLEKTIF (COLLECTIVE EFFICACY)
Keyakinan masyarakat bahwa usaha mereka secara bersama-sama dapat
menghasilkan perubahan sosial tertentu, disebut efikasi kolektif. Ini bukan “jiwa
kelompok” tetapi lebih sebagai efikasi pribadi dari banyak orang yang bekerja sama.
Bandura berpendapat, orang berusaha mengontrol kehidupan dirinya bukan hanya melalui
efikasi diri individual, tetapi juga melalui efikasi kolektif. Misalnya, dalam bidang
kesehatan, orang memiliki efikasi diri yang tinggi untuk berhenti merokok atau
melakukan diet, tetapi mungkin memiliki efikasi kolektif yang rendah dalam hal
mengurangi polusi lingkungan, bahaya tempat kerja, dan penyakit infeksi. Efikasi diri dan
efikasi kolektif bersama-sama saling melengkapi untuk mengubah gaya hidup manusia.
Efikasi kolektif timbul berkaitan dengan masalah-masalah perusakan hutan, kebijakan
perdagangan internasional, perusakan ozone, kemajuan teknologi, hokum dan kejahatan,
birokrasi, perang, kelaparan, bencana alam, dan sebagainya.
G. DINAMIKA KEPRIBADIAN
Menurut Bandura, motivasi konstruk kognitif yang mempunyai dua sumber,
gambaran hasil pada masa yang akan datang (yang dapat menimbulkan motivasi
tingkahlaku saat ini), dan harapan keberhasilan didasarkan pada pengalaman menetapkan
dan mencapai tujuan-tujuan lainnya. Dengan kata lain, harapan mendapatkan
reinforsemen pada masa yang akan datang memotivasi seseorang untuk bertingkahlaku
tertentu. Juga, dengan menetapkan tujuan atau tingkat perfomansi yang diinginkan, dan
kemudian mengevaluasi performansi dirinya, orang termotivasi untuk bertindak pada
tingkat tertentu. Anak yang lemah dalam matematik, tampak meningkat performansinya
ketika mereka menetapkan dan berusaha mencapai serangkaian tujuan yang berurutan
yang memungkinkan evaluasi diri segera daripada menetapkan tujuan yang jauh dari
membutuhkan tingkahlaku diri, akan memberi intensif-diri bertahan dalam berusaha
mencapai standar yang telah ditentukan.
Bandura setuju bahwaw penguatan menjadi penyebab belajar. Namun orang
juga dapat belajar dengan penguat yang diwakilkan (vicarous reinforcement), penguat
12
yang ditunda (expectation reinforcement), atau bahkan tanpa penguat (beyond
reinforcement) :
1. Penguatan Vikarius (vicarious reinforcement): mengamati orang lain yang
mendapat penguatan, menbuat orang ikut puas dan berusaha belajar gigih agar
menjadi seperti orang itu.
2. Penguatan yang ditunda (expectation reinforcement): orang terus menerus berbuat
tanpa mendapat penguatan, karena yakin akan mendapat penguatan yang sangat
memuaskan pada masa yang akan datang.
3. Tanpa penguatan (beyond reinforcement) : belajar tanpa ada reinforsemen sama
sekali, mirip dengan konsep otonomi fungsional dari Allport.
Ekspektasi penguatan dapat dikembangkan dengan mengenali dampak dari
tingkahlaku; pengamatan terhadap praktek mengganjar dan menghukum tingkahlakunya
sendiri. Orang mengembangkan standar pribadi berdasarkan standar sosial melalui
interaksinya dengan orang tua, guru, dan teman sebayanya. Orang dapat mengganjar dan
menghukum tingkahlaku sendiri dengan menerima diri atau mengkritik diri. Penerimaan
dan kritik diri ini sangat besar perannya dalam membimbing tngkahlaku, sehingga
tingkahlaku orang menjadi tetap (konsisten), tidak terus menerus berubah akibat adanya
perubahan sosial.
Dalam penelitian ditemukan, anak-anak yang diganjar dan dipuji untuk
pencapaian yang relatif rendah akan tumbuh dan mengembangkan self-reward yang
murah disbanding anak yang standar pencapaiannya tinggi. Begitu pula anak yang
mengamati model yang diganjar pada standar pencapaian yang rendah akan menjadi
orang dewasa yang murah dalam mengganjar diri sendiri disbanding anak yang
mengamati model dengan standar ganjaran tinggi.
H. PERKEMBANGAN KEPRIBADIAN
BELAJAR MELALUI OBSERVASI
Menurut Bandura, kebanyakan belajar terjadi tanpa reinforsemen yang nyata.
Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari respon baru dengan melihat
respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa ikut melakukan hal yang dipelajari
itu, dan model yang diamati juga tidak mendapat reinforsemen dari tingkahlakunya.
Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang
mungkin diikuti dengan hubungan atau penguatan.
13
a. Peniruan (Modeling)
Inti dari belajar melalui observasi adalah modeling. Peniruan atau meniru
sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti apa yang dilakukan orang model (orang lain),
tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkahlaku yang
teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif.
Penelitian terhadap tiga kelompok anak taman kanak-kanak. Kelompok pertama
disuruh mengobservasi model orang dewasa yang bertingkah laku agresif, fisik dan
verbal, terhadap boneka karet. Kelompok kedua dimintai mengobservasi model orang
dewasa yang duduk tenang tanpa menaruh perhatian terhadap boneka karet didekatnya.
Kelompok ketiga menjadi kelompok kontrol yang tidak ditugasi mengamati dua jenis
model itu. Ketiga kelompok anak itu kemudian dibuat mengalami frustasi ringan, dan
setiap anak sendirian ditempatkan di kamar yang ada boneka karet seperti yang dipakai
penelitian. Ternyata tingkahlaku setiap kelompok cenderung mirip dengan tingkahlaku
model yang diamatinya. Kelompok pertama bertingkahlaku lebih agresif terhadap boneka
dibandingkan kelompok lain. Kelompok kedua sedikit lebih agresif disbanding kelompok
kontrol.
b. Modeling tingkahlaku baru
Melalui modeling orang dapat memperoleh tingkahlaku baru. Ini dimungkinkan
karena adanya kemampuan kognitif. Stimuli berbentuk tingkahlaku model ditranformasi
menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditranformasi menjadi simbol
verbal yang dapat diingat suatu saat nanti. Ketampilan kognitif yang bersifat simbolik ini,
membuat orang dapat mentranform apa yang dipelajarinya atau menggabung-gabung apa
yang diamatinya dalam berbagai situasi menjadi pola tingkahlaku baru.
c. Modeling mengubah tingkahlaku lama
Di samping dampak mempelajari tingkahlaku baru, modeling mempunyai dua
macam dampak terhadap tingkahlaku lama. Pertama, tingkahlaku model yang diterima
secara sosial dapat memperkuat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua,
tingkahlakumodel yang tidak diterima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah
pengamat untuk melakukan tingkahlaku yang tidak diterima secara sosial, tergantung
apakah tingkahlaku model itu diganjar atau dihukum. Kalau tingkahlaku yang tidak
dikehendaki itu justru diganjar, pengamat cenderung meniru tingkahlaku itu, sebaliknya
kalau tingkahlaku yang tidak dikehendaki itu dihukum, respon pengamat menjadi
semakin lemah.
14
d. Modeling simbolik
Dewasa ini sebagian besar modeling tingkahlaku yang berbentuk simbolik. Film
dan televise menyajikan contoh tingkahlaku yang tergantung yang mungkin
mempengaruhi pengamatnua. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkahlaku.
e. Medeling kondisioning
Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjadi kondisioning
klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modeling semacam ini banyak dipakai
untuk mempelajari respon emosional. Pengamat mengobservasi model tingkahlaku
emosional yang mendapat penguatan. Muncul respon esmosional yang sama di dalam diri
pengamat, dan respon itu ditujukan ke obyek yang ada didekatnya(kondisioning klasik)
saat dia mengamati model itu, atau yang dianggap mempunyai hubungan dengan obyek
yang menjadi sasaran emosional model yang diamati. Emosi seksual yang timbul akibat
menonton film cabul dilampiaskan ke obyek yang ada didekatnya saat itu (misalnya:
menjadi kasus pelecehan dan perkosaan anak).
I. FAKTOR-FAKTOR PENTING DALAM BELAJAR MELALUI OBSERVASI
Tentu saja, mengamati orang lain melakukan sesuatu tidak mesti berakibat
belajar, karena belajar melalui observasi memerlukan beberapa Faktor atau prakondisi.
Menurut Bandura, ada empat proses yang penting agar belajar melalui observasi dapat
terjadi, yakni:
1. Perhatian (attention process) : sebelum meniru orang lain, perhatian harus
dicurahkan ke orang itu. Perhatian ini dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan
modelnya, sifat model yang atraktif, dan arti penting tingkahlaku yang diamati bagi
si pengamat.
2. Representasi (representation process) : Tingkahlaku yang akan ditiru, harus
disimbolisasikan dalam ingatan, baik dalam bentuk verbal maupun dalam bentuk
gambaran/imajinasi. Representasi verbal memungkinkan orang mengevaluasi secara
verbal tingkahlaku yang diamati, dan menentukan mana yang dibuang dan mana
yang akan dicoba dilakukan. Representasi imajinasi memungkinkan dapat
dilakukan latihan simbolik dalam fikiran, tanpa benar-benar melakukannya secara
fisik.
3. Peniru tingkahlaku model (behavior product process) : sesudah mengamati dengan
penuh perhatian, dan memasukkannya ke dalam ingatan, orang lalu bertingkahlaku.
Mengubah dari gambaran fikiran menjadi tingkahlaku menimbulkan kebutuhan
evaluasi; “Bagaimana melakukannya”? “Apa yang harus dikerjakan?” “Apakah
sudah benar?” Berkaitan dengan kebenaran, hasil belajar melalui observasi tidak
15
dinilai berdasarkan kemiripan respon dengan tingkahlaku yang ditiru, tetapi lebih
pada tujuan belajar dan efikasi dari belajar.
4. memotivasi dan penguatan (motivation and reinforcement process) : Belajar melalui
pengmatan menjadi efektif kalau pebelajar memiliki motivasi yang tinggi untuk
dapat melakukan tingkahlaku modelnya. Observasi mungkin memudahkan orang
untuk menguasai tingkahlaku tertentu, tetapi kalau motivasi untuk itu tidak ada,
tidak bakal terjadi proses belajar. Imitasi lebih kuat terjadi pada tingkah laku model
yang diganjar, daripada tingkahlaku yang dihukum. Imitasi tetap terjadi walaupun
model tidak diganjar, sepanjang pengamat melihat model mendapat cirri-ciri positif
yang menjadi tanda dari gaya hidup yang berhasil, sehingga diyakini model
umumnya akan diganjar.
Motivasi banyak ditentukan oleh kesesuaian antara karakteristik pribadi
pengamat dengan karateristik modelnya. Cirri-ciri model seperti usia, status sosial, seks,
keramahan, dan kemampuan, penting dalam menentukan tingkat imitasi. Anak lebih
senang meniru model seusianya daripada model dewasa. Anak juga cenderung meniru
model yang standar prestasinya dalam jangkauannya, alih-alih model yang standarnya
diluar jangkauannya. Anak yang sangat dependen cenderung mengimitasi model yang
dependennya lebih ringan. Imitasi juga dipengaruhi oleh interaksi antara cirri-ciri model
dengan observerbya. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan open
(jw), gadis lebih mengimitasi ibunya.
a. Dampak Belajar
Setiap kali respon dibuat, akan diikuti dengan berbagai konsekuensi, ada yang
konsekuensinya menyenangkan, ada yang tidak menyenangkan, ada yang tidak masuk
kesadaran sehingga dampaknya sangat kecil. Penguatan – baik positif maupun negatif–
dampaknya tidak otomatis sejalan dengan konsekuensi respon. Konsekuensi dari suatu
respon mempunyai tiga fungsi:
1. Pemberi informasi: memberi informasi mengenai dampak dari tingkahlaku,
informasi ini dapat disimpan untuk dipakai membimbing tingkahlaku pada masa
yang akan datang.
2. Memotivasi tingkahlaku yang akan datang: Menyajikan data sehingga orang dapat
membayangkan secara simbolik hasil tingkahlaku yang akan datang, di mana
pemahaman mengenai apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang itu
diperoleh dari pemahaman mengenai konsekuensi suatu tingkahlaku.
16
3. Penguat tingkahlaku: Keberhasilan akan menjadi penguat sehingga tingkahlaku
menjadi berpeluang diulangi, sebaliknya kegagalan akan membuat tingkahlaku
cenderung tidak diulang.
II. APLIKASI
A. PSIKOPATOLOGI
Bandura sependapat dengan Eysenck dan Wolpe bahwa terapi tingkahlaku
dapat efektif mengurangi reaksi kecemasan. Dia tidak percaya bahwa tekanan emosional
menjadi elemen kunci penyebab reaksi takut yang berlebihan, sehingga harus dihilangkan
agar tingkahlaku dapat berubah. Menurutnya, masalah pokoknya adalah karena itu perlu
dikembangkan self-efficacy, agar terjadi perubahan tingkahlaku. Konsep determinis
resiprokal menganggap tingkahlaku dipelajari sebagai akibat dari interaksi antara pribadi-
tingkahlaku-lingkungan, termasuk tingkahlaku yang menyimpang. Tingkahlaku patologis
itu dipengaruhi oleh Faktor kognitif, proses neurofisiologis, pengalaman masa lalu yang
mendapat penguatan, dan nilai fasilitatif dari lingkungan.
1. Reaksi Depresi : Standar pribadi dan penerapan tujuan yang terlalu tinggi, membuat
orang rentan mengalami kegagalan, dan akan berakibat orang mengalami depresi.
Sesudah dalam depresi, orang cenderung menilai rendah prestasinya, sehingga
“keberhsilan” tetap dipandang sebagai kegagalan. Akibatnya terjadi kesengsaraan
yang kronis, merassa tidak berharga, tidak mempunyai tujuan, dan depresi yang
mendalam.
Penderita depresi melakukan regulsi diri-pengamat diri, proses penilaian, reaksi diri
– dengan cara yang salah performansinya, atau mangaburkan ingatan prestasinya
yang telah lalu. Mereka meremehkan (underestimate) keberhasilan sendiri,
sebaliknya melebih-lebihkan (overestimate) kegagalan yang dilakukannya. Dalam
proses penilaian, penderita depresi memasang standar yang sangat tinggi sehinggu
apapun pencapaian yang diperoleh dinilai sebagai kegagalan, bahkan ketika orang
lain memandang dia sangat berhasil, dia tetap menghina prestasinyasendiri.
Penderita menempatkan standard an tujuan terlalu tinggi di atas kesadaran efikasi
dirinya. Ketika melakukan reaksi-diri, penderita depresi mengadili dirinya secara
kasar, buruk lebih-lebih terhadap kekurangan dirinya. Mereka menghukum diri
sendiri secara berlebihan terhadap performansi diri yang kurang baik.
2. Fobia : Perasaan takut yang sangat kuat dan mendalam, sehingga berdampak buruk
terhadap kehidupan sehari-hari seseorang. Negitu mendalamnya perasaan takut itu,
sehingga obyek penyebabnya menjadi kabur, obyek itu digeneralisasikan secara
17
salah. Bandura mengemukakan bahwa media, seperti televise dan surat kabar tanpa
sengaja menciptakan fobia. Cerita seram perkosaan, kekejaman perampok,
pembunuhan berantai, meneror masyrakat sehinggan mereka (yang sebagian besar
tidak pernah mengalami hal itu) tetap merasa tidak aman walaupun pintu-pintu
rumah telah terkunci rapat-rapat. Fobia yang dipelajari dari pengamatan lingkungan,
menjadi eksis akibat efikasi diri yang rendah, orang merasa tidak mampu
menangani suatu masalah yang mengecam sehingga muncul perasaan takut yang
kronis.
3. Agresi: Menurut Bandura, agresi diperoleh melalui pengamatan, pengalaman
langsung dengan renforsemen positif dan negatif, latihan atau perintah, dan
keyakinan yang ganjil (bandingkan dengan Freud dan kawan-kawannya yang
menganggap agresi adalah dorongan bawaan). Agresi yang ekstrem menjadi
disfungsi atau selahsuai psikologis. Dari penelitian yang dilakukan Bandura,
observasi terhadap perilaku agresi akan menghasilkan respons peniruan yang
berlebih. Pengamat akan bertingkah laku lebih agresif dibanding modelnya.
B. PSIKOTERAPI
Sama halnya dengan respons emosi yang dapat diperoleh secara langsung atau
secara vicarious, menghilangkan tingkah laku (yang tidak dikehendaki) dapat dilakukan
secara langsung atau secara vicarious pula. Penakut dapat mengubah rasa takutnya
dengan melihat model yang tanpa rasa takut berinteraksi dengan hal yang ditakutkan itu.
Secara umum, terapi yang dilakukan Bandura adalah terapi kognitif sosial.
Tujuannya untuk memperbaiki regulasi self, melalui pengubahan tingkah laku dan
mempertahankan perubahan tingkah laku yang terjadi. Ada tiga tingkatan keefektifan
suatu tritmen yakni; tingkah induksi perubahan, generalisasi, dan pemeliharaan.
1. Tingkat induksi perubahan: Tritmen dikatakan efektif kalau dapat mengubah
tingkah laku. Misalnya terapi menghilangkan takut ketinggian penderi akrofobia,
sehingga dia berani naik tangga yang tinggi.
2. Tingkat Generalisasi: Tritmen yang lebih tinggi, memungkinkan terjadinya
generalisasi. Penderita akrofobia itu bukan hanya berani naik tangga, dia juga berani
naik lift, naik kapal terbang, dan membersihkan kaca gedung bertingkat.
3. Tingkat Pemeliharaan: Sering terjadi tingkah laku positif hasil terapi berubah
kembali menjadi tingkah laku negatif (khususnya pada tingkah laku habit negatif,
18
merokok, alkoholik, narkotik). Terapi mencapai tingkat efektif yang tertinggi kalau
hasil induksi dan generaslisai dapat terpelihara, tidak berubah menjadi negatif.
Bandura mengusulkan tiga macam pendekatan tritmen, yakni; latihan
penguasaan (desensitisasi modeling), modeling terbuka, dan modeling simbolik.
1. Latihan penguasaan (desensitisasi modeling); mengajari klien untuk menguasai
tingkah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takuti).
Tritmen konseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang
mendalam. Kemudian konselor meminta klien membayangkan hal yang
menakutkannya secara bertahap. Misalnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan
di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut,
mereka diminta membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian
melihat ular dikandang kebun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya
menggendong ular. Ini adalah model desensitisasi sistematik yang pada paradigma
behaviourisme desensitisasi sistematik dalam pikiran (karena itu teknik ini
terkadang disebut: modeling kognitif) tanpa memakai penguatan yang nyata.
2. Modeling terbuka (modeling partisipan); Klien melihat model nyata, biasanya
diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiatan model, dibantu oleh modelnya
meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhirnya mampu melakukan sendiri
tanpa bantuan.
3. Modeling simbolik; Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan
vikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk
mencoba/meniru tingkah laku modelnya.
Ketika hasilnya dibandingkan, desensitisasi modeling dan modeling simbolik
relatif sama kekuatannya untuk menghilangkan rasa takut. Namun yang paling berhasil
menghilangkan rasa takut adalah modeling partisipan.
III. METODOLOGI
Bandura banyak meneliti masalah dunia nyata dalam laboratorium, seperti
masalah agresi, fobia, penyembuhan dari serangan jantung, perolehan kemampuan
matematik pada anak. Tujuan pokoknya adalah untuk menyatukan kerangka konseptual
yang dapat mencakup berbagai hal yang mempengaruhi perubahan tingkah laku. Dalam
19
setiap kegiatan, keterampilan dan keyakinan diri yang menjamin pemakaian kemampuan
secara optimal dibutuhkan agar diri dapat berfungsi sukses.
Bandura mengembangkan microanalytic approach: riset yang mementingkan
asesmen yang ditil sepanjang waktu untuk mencapai keselarasan antara persepsi diri
dengan tingkah laku pada setiap tahap performasi tugas. Teknik ini cocok untuk strategi
penelitian yang melacak perubahan setiap saat, penelitian yang menganalisis proses,
bukan hasil.
A. PENERAPAN TEORI BANDURA
1. Studi tentang Pendidikan moral
Pendidikan moral sendiri begitu penting dalam kehidupan manusia dan pada
saat ini telah terjadi dekadensi moral (penurunan nilai-nilai moral) yang sangat parah
dalam kehidupan sehari-hari.
Proses perkembangan sosial dan moral siswa menurut Albert Bandura selalu
berkaitan dengan proses belajar sebab proses belajar tersebut sangat menentukan
kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma
moral agama, tradisi, hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat
siswa yang bersangkutan sehingga perkembangan sosial anak selalu dihubungkan dengan
perkembangan perilaku moral yaitu perilaku baik dan buruk menurut norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat.
2. Terorisme dan Persepsi Lama Barat
Pada dasarnya perilaku seseorang bersandar pada ukuran-ukuran moral yang dia
yakini (Albert Bandura, 2003). Menurut Bandura, seseorang tidak merasa nyaman jika
perbuatan yang dilakukannya menyalahi atau melanggar nilai-nilai kebaikan yang
diyakininya. Perasaan tidak nyaman tersebut mencegah seseorang dari perbuatan yang
diyakininya tidak baik. Lalu bagaimana kaitannya dengan pelaku teror?
Bandura menyebutkan bahwa perbuatan baik maupun jahat itu dapat
diinterpretasi secara luwes. Perbuatan membunuh bagi seorang aktivis HAM adalah
kejahatan besar, namun tidak demikian halnya bagi seorang prajurit yang sedang berada
dalam medan peperangan. Contoh nyata digambarkan oleh Bandura pada kasus sersan
York, salah seorang pejuang fenomenal dalam sejarah perang modern (Albert Bandura,
2003). Lantaran keyakinan agamanya yang kuat, sersan York tercatat sebagai penolak
20
wajib militer, tetapi segala pembelaan dirinya ditolak. Di tansi tentara, komandan
Batalionnya mengutip surat dan ayat dari Injil untuk meyakinkan dia bahwa dalam
keadaan-keadaan yang tepat agama Kristen memerintahkan untuk membunuh orang lain.
Setelah itu akhirnya sersan York menjadi seorang prajurit yang bersemangat untuk
membunuh.
Penjelasan Bandura itu menerangkan bahwa pelaku teror memiliki landasan
moral. Teror dinilai sebagai sebuah perbuatan baik bahkan mulia. Namun, jauh sebelum
memasuki pandangan itu, pelaku teror mengalami pergulatan nilai. Proses transformasi
tersebut tidak sederhana. Teror bom bunuh diri di Palestina dan Irak misalnya, adalah
potret tentang pergulatan nilai yang sangat rumit. Mereka memilih bom bunuh diri setelah
mengalami pergulatan panjang dengan kekerasan dan ketidakadilan. Jadi, perubahan
interpretasi tentang aksi teror melibatkan pengalaman dan perspektif. Di sinilah terorisme
menemukan kekuatan militansinya.
3. Hakikat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku Belajar
adalah perubahan perilaku sebagai fungsi pengalaman. Didalamnya tercakup perubahan-
perubahan afektif, motorik dan kognitif yang tidak dihasilkan oleh sebab-sebab lain.
Albert Bandura (1969) menjelaskan sistem pengendalian perilaku. Stimulus
control. Perilaku yang muncul di bawah pengendalian stimulus eksternal, seperti bersin,
bernafas dan mengedipkan mata. Outcome control. Perilaku yang dilakukan untuk
mencapai hasilnya, berorientasi pada hasil yang akan dicapai. Symbolic control. Perilaku
yang diarahkan oleh kata-kata yang dirumuskan, atau diarahkan oleh antisipasi yang
diimajinasikan dari hasil yang akan dicapai.
Beberapa ide umum tentang pengalaman belajar:
1. Keterlibatan dalam pengalaman belajar mempunyai pengaruh penting terhadap
pembelajaran.
2. Suasana yang bebas dan penuh kepercayaan akan menunjang kehendak peserta
didik untuk mau melaksanakan tugas sekalipun mengandung risiko.
3. Strategi yang mendalam dapat dipergunakan namun pengaruh penting terhadap
beberapa aspek, seperti; usia, kematangan, kepercayaan dan penghargaan terhadap
orang lain.
21
4. Pada umumnya pembelajaran berpengaruh kepada hal-hal khusus seperti
menghargai orang lain dan bersikap hati-hati kepada yang baru dikenal.
5. Terdapat banyak pengaruh yang dapat dipelajari melalui model (orang tua dan
guru) sedang peserta didik berusaha menirunya.
Gaya belajar adalah kunci untuk mengembangkan kinerja dalam pekerjaan, di
sekolah dalam situasi-situasi antara pribadi. Kepada guru diharapkan untuk menyadari
bahwa setiap orang mempunyai cara yang tertentu untuk mempelajari informasi baru agar
tercapai semaksimum mungkin. Pengalaman belajar seseorang sangat erat kaitannya
dengan gaya belajar, cara belajarnya, yang dipengaruhi oleh berbagai variabel, yaitu
faktor-faktor fisik, emosional, sosiologis dan lingkungan.
Pada awal pengalaman belajar, langkah pertama yang perlu dilakukan ialah
mengenali modalitas kita masing-masing yaitu bagaimana menyerap informasi dengan
mudah. Apakah modalitas kita visual, yaitu belajar melalui apa yang dilihat, apakah
auditorial yaitu belajar melalui apa yang didengar, apakah kinestetik, yaitu belajar melalui
gerak dan sentuhan.
Dalam mengajar, guru hendaknya mampu mengomunikasikan materi dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan berbagai metode mengajar agar setiap
anak dapat menyerap dan memahaminya untuk kemudian digunakan pada saat
diperlukan. Hal ini hanya dapat dicapai bila guru mengetahui karakteristik murid-
muridnya yang visual, yang auditorial maupun yang kinestik.
Konsepsi pengajaran tradisional yang mementingkan perkembangan intelektual
kemudian berubah. Sekolah yang modern lebih memperhatikan seluruh pribadi anak itu,
baik mengenai segi emosi, sosial, jasmani maupun segi intelektualnya. Sekolah berusaha
dengan sengaja mengembangkan semua aspek pribadi anak dengan memberikan bahan
pelajaran yang sesuai dan dengan cara penyampaian yang bervariasi.
Sebenarnya pribadi anak itu tidak dapat dipecah-pecah beberapa bagian yang
terpisah-pisah. Dalam segala tindakannya manusia itu bersikap sebagai suatu keseluruhan
yang utuh.
4. Penyebaran Tv Kekerasan Melalui Modeling
Bandura punya alasan utama bahwa kita dapat belajar mengamati oleh orang
lain. Dia menganggap pengalaman yang menjadi cara yang khas manusia berubah. Dia
menggunakan istilah pemodelan untuk menjelaskan Campbell dari dua midrange proses
22
akuisisi Tanggapan (pengamatan pihak lain respon dan pemodelan), dan ia mengklaim
bahwa pemodelan dapat memiliki banyak dampak langsung sebagai pengalaman.
Teori belajar sosial adalah teori umum dari perilaku manusia, tetapi Bandura
dan orang-orang yang berkaitan dengan komunikasi massa telah menggunakannya secara
khusus untuk menjelaskan efek media. Bandura peringatan bahwa “anak-anak dan orang
dewasa mendapatkan sikap, emosi tanggapan, dan gaya baru yang melakukan melalui
televisi modeling dan film.
Penelitian Bandura mengenai boneka Bobo merupakan demonstrasi dari belajar
observasional dan ditunjukkan bahwa anak cenderung terlibat dalam perlakuan yang
bengis terhadap boneka setelah melihat orang dewasa di televisi melakukan hal tersebut
pada boneka yang sama. Bagimanapun, anak mungkin akan melakukan peniruan bila
perilaku model mendapat penguatan. Permasalahannya, seperti diteliti oleh Otto Larson
(1968), bahwa 56% karakter dalam acara televisi anak mencapai tujuannya melalui
tindakan kekerasan.
Gambar perampas, pidana atau menggunakan kekuatan untuk mendapatkan cara
sendiri. Sosial belajar teori postulates tiga tahapan penting dalam hubungan antara sebab-
musabab televisi dan kekerasan fisik sebenarnya berbahaya lain: perhatian, ingatan, dan
motivasi.
5. Mereduksi Kecemasan Menurut Bandura
Bandura mengatakan bahwa perkiraan individu terhadap kemampuan sendiri
dalam mengatasi situasi merupakan salah satu faktor yang berguna dalam mereduksi
kecemasan. Bandura menegaskan perkiraan yang positif terhadap kemampuan diri sendiri
dalam mengatasi situasi dan perkiraan individu yang positif terhadap kemungkinan
terjadinya akibat – akibat tertentu pada situasi yang akan dihadapi akan berpengaruh
menurunkan kecemasan. Lebih lanjut Bandura menjelaskan bahwa disfungsi dan
penderitaan termasuk kecemasan yang dialami manusia disebabkan karena masalah cara
berpikirnya hal ini disebabkan karena dalam berpikirnya sering mengingat pengalaman
yang menyakitkan dan masa depan yang tidak pasti, yang diciptakan sendiri sehingga
manusia meragukan diri sendiri dan mempunyai ide menyalahkan diri sendiri. (Rahayu,
Iin Tri dkk (Fakultas Psikologi UIN Malang). Hubungan Pola Pikir Positif Dengan
Kecemasan Berbicara di Depan Umum. Jurnal Psikologi UNDIP, V0l.1, No.2, Desember
2004)
23
Teori Bandura Dalam Penerapannya Dalam Bidang Computer Anxiety Dan
Keahlian User Computing Dalam Penggunaan Teknologi Informasi
Teori kognitif sosial oleh Bandura dikembangkan dalam dua set ekspektasi
kekuatan kognitif utama yang menjadi guide perilaku. Pada seting pertama, ekspektasi
dihubungkan dengan outcome. Para individu yang dapat lebih memahami aspek perilaku,
akan percaya bahwa outcome yang lebih bernilai bila dibandingkan dengan individu
yang tidak mampu memahami konsekuensi yang menguntungkan. Kedua, oleh Bandura
(dalam Compeau dan Higgins, 1995) ekspektasi ini disebut sebagai self efficacy yang
merupakan kepercayaan individu mengenai kemampuan untuk membentuk suatu perilaku
tertentu. Adapun definisi self efficacy menurut Bandura (1986 dalam Campeau dan
Higgins, 1995) adalah “People’s judgmentsof their capabilities to organize and executee
courses of acion requird to attain designated types of performances. It is concernednot
with the skills one has but with judgements of what one can do with whatever skills one
possesses.” Dari definisi tersebut menunjukan karakteristik kunci dari konstrak self
efficacy yakni komponen skill/keahlian dan ability/kemampuan dalam hal mengorganisir
dan melaksanakan suatu tindakan.
Dalam konteks komputer, computer self efficacy menggambarkan persepsi
individu tentang kemampuannya menggunakan komputer untuk menyelesaikan tugas-
tugas seperti menggunakan paket-paket software untuk analisis data, menulis surat mail
merge dengan menggunakan word processor lebih dari pada sekedar keahlian yang
sederhana seperti memformat disket atau booting ulang komputer.
Istilah self efficacy telah merupakan suatu konstrak penting dalam psikologi
telah banyak digunakan para peneliti seperti yang dikutip oleh Compeau dan Higgins
(1995) yang dikaitkan dengan variabel-variabel lain seperti untuk mempengaruhi
keputusan perihal perilaku yang dilakukan (Bandura, dkk,1977; Betz dan Hackett,1981),
tanggapan emosional (termasuk stres dan anxiety) dalam membentuk perilaku (Bandura,
dkk1977; Stumpf,dkk, 1987), serta pencapaian kinerja aktual individu yang dihubungkan
dengan perilaku (collins, 1985;Locke, dkk, 1984;Wood dan bandura, 1989).
24
IV. PENUTUP
Evaluasi
Teori kognitif sosial Bandura mengembangkan hipotesis dan riset yang paling
banyak jumlahnya, dibanding teori kepribadian lainnya. Di antara ratusan penelitian yang
menguji asumsi-asumsi Bandura, topik yang paling luas diteliti adalah efikasi diri dan
modeling kekerasan. Ranah pendidikan dan dunia kerja memanfaatkan efikasi diri untuk
meramalkan taraf sukses seseorang pada masa yang akan datang. Penelitian modeling
yang paling penting dan banyak dikutip orang adalah menguji dampak kekerasan dan
agresi film televisi dan film bioskop. Memang hanya 10 % dari penonton film kekerasan
yang terpengaruh oleh film kekerasan, di mana mereka menjadi lebih agresif
dibandingkan kalau mereka tidak menonton film itu. Jumlah prosentase itu kalau
dikalikan dengan populasi, memberi angka yang sangat besar. Belum tentu yang 10 % itu
menjadi “Jahat” namun paling tidak mereka mempunyai peluang yang lebih besar untuk
mengekspresikan agresi yang salahsuai.
Teori kognitif sosial dikelompokkan ke dalam paradigma behavioristik, karena
hanya membahas aspek kepribadian yang ada di permukaan, tingkah laku yang tampak.
Penekanan pada tingkah laku yang dapat diamati (observable) itu, berakibat Bandura
melupakan atau mengabaikan aspek perbedaan manusia, kekuatan motivasi yang disadari
dan tidak disadari. Fungsi kognitif sebagai wakil nilai-nilai kemanusiaan, penentu tingkah
laku. Teori kognitif sosial mempelajari ekspektasi, kontrol, penguatan diri, kecemasan
dan pertahanan, dan variabel yang terlibat dengan belajar melalui pengamatan. Namun
semuanya dibiarkan dalam potongan-potongan dan tidak disatukan dalam satu sintesa
yang komprehensif. Fungsi kognitif yang menjadi sentral dari variabel pribadi, tidak
mendapat elaborasi yang cukup, sehingga cakupan proses kognitif bisa menjadi sangat
luas semua atribut pribadi.
25
V. KESIMPULAN
Teori ini dikembangkan oleh Albert Bandura seorang psikolog pendidikan dari
Stanford University, USA. Teori belajar ini dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
orang belajar dalam seting yang alami/lingkungan sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa baik tingkah laku (B), lingkungan (E) dan
kejadian-kejadian internal pada pembelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P)
adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh (interlocking).
Harapan dan nilai mempengaruhi tingkah laku. Tingkah laku sering dievaluasi,
bebas dari umpan balik lingkungan sehingga mengubah kesan-kesan personal. Tingkah
laku mengaktifkan kontingensi lingkungan. Karakteristik fisik seperti ukuran, ukuran
jenis kelamin dan atribut sosial menumbuhkan reaksi lingkungan yang berbeda.
Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.
Kontingensi yang aktif dapat merubah intensitas atau arah aktivitas.
Tingkah laku dihadirkan oleh model. Model diperhatikan oleh pelajar (ada penguatan
oleh model). Tingkah laku (kemampuan dikode dan disimpan oleh pembelajar).
Pemrosesan kode-kode simbolik
Skema hubungan segitiga antara lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah
laku, (Bandura, 1976).
Skema Proses Kognitif Pembelajar
Pembelajar mampu menunjukkan kompetensi/tingkah laku Performance/unjuk kerja
Motivasi pembelajar mengolah tingkah laku
Proses perhatian sangat penting dalam pembelajaran karena tingkah laku yang
baru (kompetensi) tidak akan diperoleh tanpa adanya perhatian pembelajar. Proses retensi
sangat penting agar pengkodean simbolik tingkah laku ke dalam visual atau kode verbal
dan penyimpanan dalam memori dapat berjalan dengan baik. Dalam hal ini rehearsal
(ulangan) memegang peranan penting.
Proses motivasi yang penting adalah penguatan dari luar, penguatan dari dirinya sendiri
dan Vicarius Reinforcement (penguatan karena imajinasi).
Lebih lanjut menurut Bandura (1982) penguasaan skill dan pengetahuan yang kompleks
tidak hanya bergantung pada proses perhatian, retensi, motor reproduksi dan motivasi,
tetapi juga sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang berasal dari diri pembelajar sendiri
26
yakni “sense of self Efficacy” dan “self–regulatory system”. Sense of self efficacy adalah
keyakinan pembelajar bahwa ia dapat menguasai pengetahuan dan keterampilan sesuai
standar yang berlaku.
Self regulatory adalah menunjuk kepada 1) struktur kognitif yang memberi referensi
tingkah laku dan hasil belajar, 2) sub proses kognitif yang merasakan, mengevaluasi, dan
pengatur tingkah laku kita (Bandura, 1978). Dalam pembelajaran sel-regulatory akan
menentukan “goal setting” dan “self evaluation” pembelajar dan merupakan dorongan
untuk meraih prestasi belajar yang tinggi dan sebaliknya.
Menurut Bandura agar pembelajar sukses instruktur/guru/dosen/guru harus
dapat menghadirkan model yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pembelajar,
mengembangkan “self of mastery”, self efficacy, dan reinforcement bagi pembelajar.
Dari uraian tentang teori belajar sosial, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Belajar merupakan interaksi segitiga yang saling berpengaruh dan mengikat antara
lingkungan, faktor-faktor personal dan tingkah laku yang meliputi proses-proses
kognitif belajar.
2. Komponen-komponen belajar terdiri dari tingkah laku, konsekuensi-konsekuensi
terhadap model dan proses-proses kognitif pembelajar.
3. Hasil belajar berupa kode-kode visual dan verbal yang mungkin dapat dimunculkan
kembali atau tidak (retrievel).
4. Dalam perencanaan pembelajaran skill yang kompleks, disamping pembelajaran-
pembelajaran komponen-komponen skill itu sendiri, perlu ditumbuhkan “sense of
efficacy” dan self regulatory” pembelajar.
5. Dalam proses pembelajaran, pembelajar sebaiknya diberi kesempatan yang cukup
untuk latihan secara mental sebelum latihan fisik, dan “reinforcement” dan hindari
punishment yang tidak perlu.