(656977461) kelompok_1_-_studi_kasus_pertamina_-_tppi (1)

43
Case Study: “Pertamina Mempertanyakan Kemenangan Tender TPPILecture : Dr. Sulistiowati, SH., M.Hum Dwi Prasetyo Minarto 11D0602 Mintoro Wicaksono 11D0605 R. Bara Ilmarosa 11D0607 Kelas Khusus PERTAMINA VI

Upload: muhammad-hadjid

Post on 06-Dec-2015

217 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dsfafds

TRANSCRIPT

Page 1: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

Case Study: “Pertamina Mempertanyakan Kemenangan

Tender TPPI”

Lecture:

Dr. Sulistiowati, SH., M.Hum

Dwi Prasetyo Minarto – 11D0602Mintoro Wicaksono – 11D0605

R. Bara Ilmarosa – 11D0607

Kelas Khusus PERTAMINA VI

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS GADJAH MADA

JAKARTA

2012

Page 2: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

LATAR BELAKANG

Mata kuliah Business Law (BL) merupakan salah satu mata kuliah di semester-I Energy

Management program MBA Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.

Dalam mata kuliah BL, Analisa Kasus merupakan bagian dari proporsi penilaian yang

memiliki bobot 20%.

Untuk Analisa Kasus kali ini, Kelompok-1 yang terdiri dari Dwi Prasetyo Minarto, Mintoro

Andri Wicaksono dan R. Bara Ilmarosa mengambil topik bahasan tentang Kasus PT Trans

Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI) dengan judul “Pertamina Mempertanyakan

Kemenangan Tender TPPI”. Kasus mengenai kemenangan tender TPPI dalam

mensuplai solar ke PLN ini akan dianalisa dari tiga sisi pokok bahasan yaitu Wan

Prestasi (Default) TPPI terhadap Pertamina, Kepailitan dari TPPI, dan Etika Bisnis TPPI.

Diskripsi Singkat Tentang Kasus

TPPI dirintis pada tahun 1995. Namun, pada krisis moneter 1997, Tirtamas (sebagai pemilik

proyek Tuban) terbelit utang dan masuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN),

sehingga proyek TPPI terhenti. Pada 2002, Tirtamas dan BPPN sepakat merestrukturisasi

utang dengan membentuk induk usaha PT Tuban Petro yang di antaranya mengelola TPPI.

Kesepakatannya adalah 70 persen saham Tuban Petro dimiliki BPPN yang selanjutnya

menjadi PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA) dan 30 persen dikuasai PT Silakencana

Tirtalestari milik Honggo Wendratmo. Tuban Petro akhirnya memiliki 59,5 persen saham

TPPI.

Selanjutnya, Honggo menerbitkan obligasi (multiyear bond/MYB) senilai Rp 3,2 triliun

kepada BPPN. Pada saat dilakukan restrukturisasi TPPI tahun 2002, pejabat yang

terkait adalah Prof Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebagai Menko Perekonomian, Ketua

KKSK, dan Menteri Keuangan Boediono, Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi, dan

jajaran komisaris Pertamina.

Pada 2006, kilang selesai dibangun dan beroperasi. Berdasarkan data, kapasitas terpasang

kilang TPPI saat ini bisa memproduksi antara lain, 700 ribu ton per tahun untuk ethylene,

500 ribu ton per tahun paraxylene, 100 ribu ton per tahun toluene, 120 ribu ton per

Page 3: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

tahun orthoxylene, dan 300 ribu ton per tahun benzene. Selain itu, kilang TPPI juga

memproduksi

Page 4: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 3

335 ribu ton per tahun reformate, 1 juta ton per tahun lightnaphtha, 189 ribu ton per tahun

solar, dan 1,1 juta ton per tahun minyak tanah. Total produksi petrokimianya mencapai

1,7 juta ton per tahun. Sedangkan untuk produksi BBM, kilang TPPI mampu

memproduksi sebanyak 2,6 juta ton.

Pertamina kembali memasok kondensat dengan maksium empat kargo. Namun Honggo

tidak memenuhi kewajibannya ke Pertamina, yakni dengan tidak membayar empat

kargo kondensat yang sampai akhir 2009 senilai 200 juta dolar AS. Selain itu juga tidak

menyerahkan BBM yang sampai akhir 2009 tercatat 190 juta dolar AS.

Karena TPPI tidak membayar kondensat ini, maka Pertamina menghentikan pasokan

kondensat tersebut. Kemudian Men-Keu mengeluarkan surat kepada Kepala BP Migas untuk

memasok kondensat dari Senipah dari jatah pemerintah.

Saat ini TPPI memiliki utang kepada Pertamina sebesar US$548 juta (utang terdiri

dari pembelian produk low sulfur wax residu (LSWR) senilai US$257,5 juta dan

pembelian minyak mentah jenis Senipah Condensate senilai US$182,8 juta. TPPI juga

belum membayar hutang ke Pertamina selama tiga tahun, padahal Pertamina telah tiga kali

mengirimkan nota default ke TPPI), BP Migas US$180 juta, dan PT Perusahaan

Pengelolaan Aset Rp3,27 triliun.

Sejak 10 Maret 2010 silam Pertamina sudah memasukkan sengketa utang TPPI ke proses

arbitrase. Langkah arbitrase dilakukan karena TPPI dinilai sudah tidak punya itikad baik

menyelesaikan utang. Saat itu, status utang TPPI kepada Pertamina tercatat US$440

juta belum termasuk bunga dan denda. Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah

mengabulkan gugatan Pertamina. TPPI diwajibkan membayar Delayed Payment Note

(DPN) ditambah bunga terhitung sampai dengan Putusan dibacakan. Besarnya

US$114.177.624,00 selambat-lambatnya, 1 September 2011. Selain itu, biaya administrasi

arbitrasi diputuskan ditanggung 50 persen – 50 persen oleh Pertamina dan Termohon.

TPPI juga tengah digugat pailit oleh dua perusahaan Belanda, yaitu Argo Capital BV dan

Argo Global Holding karena mempunyai utang jatuh tempo US$150 juta.

Dengan kondisi TPPI seperti yang diuraikan di atas, TPPI masih berani mengikuti tender

untuk memasok BBM (solar) ke PLN, dan berdasarkan penetapan PLN, TPPI termasuk

Page 5: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 4

salah satu pemenang tender pengadaan solar sebesar 1,25 juta kiloliter per tahun yang

diadakan

Page 6: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 5

PLN. Hal inilah yang dipertanyakan oleh Pertamina. Dalam hal ini, PLN

menyarankan kepada Pertamina, agar mengajukan gugatan pailit terhadap TPPI sehingga

PLN dapat melakukan pembatalan terhadap posisi TPPI sebagai salah pemenang tender.

RUMUSAN & PEMBATASAN PERMASALAHAN

Dari deskripsi singkat mengenai kasus TPPI, maka dapat dikatakan bahwa kasus di

atas merupakan salah satu bentuk sengketa bisnis, antara Pertamina dan TPPI. Di sinilah

permasalahan itu timbul, yaitu bagaimana sengketa bisnis yang muncul dapat diselesaikan

secara arif. Perkembangan dunia usaha yang semakin universal dan global, membawa

kepada bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang homogen, menguntungkan dan

memberikan rasa aman, dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

Di Indonesia, dikenal 2 cara penyelesaian sengketa bisnis yang dapat dilakukan,

yaitu: melalui mekanisme Litigasi ataupun melalui jalur Non-Litigasi, yang dapat

digambarkan dengan grafik sebagai berikut:

Dari kasus di atas, dapat dilihat bahwa beberapa hal yang terkait dalam penyelesaian

sengketa bisnis yang tertuang di dalam diskripsi kasus tersebut adalah: wanprestasi

(default), Kepailitan dan PKPU, Mediasi – Negosiasi, dan Arbitrase Nasional. Sehingga

pada penulisan paper ini dirumuskan permasalahan sekaligus merupakan pembatasan

pembahasan dalam analisa kasus, sebagai berikut:

Page 7: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 6

1. W an P r e s ta s i ( D e f a u l t ) yang dilakukan TPPI kepada Pertamina.

a. Bagaimana langkah-langkah Pertamina dalam menanggapi wanprestasi yang

dilakukan TPPI?

b. Apakah langkah-langkah tersebut sudah efektif?

c. Bagaimana tindak lanjut dari langkah-langkah tersebut?

d. Bagaimana seharusnya Pertamina bertindak secara hukum?

2. K e pai l i t an TPPI terkait tuntutan kepailitan oleh 2 (dua) krediturnya, ditambah

dengan saran dari PLN agar Pertamina turut mengajukan gugatan kepailitan terhadap

TPPI agar pembatalan keputusan sebagai salah satu pemenang tender dapat dilakukan.

a. Bagaimana langkah yang harus dilakukan Pertamina jika ingin melakukan gugatan

kepailitan?

b. Jika dilakukan gugatan kepailitan oleh Pertamina terhadap TPPI, apakah terhitung

terlambat? Mengingat bahwa telah dilakukan gugatan yang sama terhadap TPPI

oleh Argo Capital BV dan Argo Global Holding.

c. Bagaimana status hutang dari Pertamina yang menjadi tanggung jawab TPPI?

3. E t i ka B i s n is dari TPPI dalam mengikuti tender pasokan BBM (solar) ke PLN yang

perlu dipertanyakan.

a. Apakah TPPI menerapkan etika bisnis yang sudah sesuai dengan kaidah yang

berlaku?

b. Apakah akibat dari tindakan yang dilakukan oleh TPPI terhadap bisnis

mereka sendiri?

c. Bagaimana posisi etika bisnis di dalam kasus ini?

ANALISA KASUS

Analisa kasus dari sisi Wanprestasi (default)

Wanprestasi merupakan pelanggaran hukum atau bisa dikatakan tindakan melawan hukum

(onrechmatigeedaad) bagi kreditur. Hal ini berbeda dengan keadaan memaksa (force

majeure), dimana debitur telah melakukan pelanggaran terhadap syarat perjanjian sehingga

akibat hukumnyapun juga berbeda.

Kriteria suatu pihak melakukan Wanprestasi adalah :

1. Tidak melakukan prestasi sesuai dengan yang diperjanjikan

Page 8: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 7

2. Melakukan prestasi tetapi terlambat dalam pemenuhannya

Page 9: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 8

3. Melakukan prestasi tetapi tidak sesuai dengan perjanjian (off spec)

4. Melakukan perbuatan yang dilarang bauik hokum maupun norma-norma yang berlaku

Apabila salah satu pihak melakukan Wanprestasi, sangsi yang dapat dikenakan kepada

pihak yang telah melakukan Wanprestasi tersebut dapat berupa :

1. Kewajiban membayar kerugian yang diderita oleh pihak lawan (ganti rugi),

berupa biaya, rugi & denda

2. Pembatalan perjanjian (dpt disertai ganti rugi)

3. Peralihan resiko

4. Membayar biaya perkara

Ada kalanya pihak yang dianggap melakukan Wanprestasi kemudian berusaha agar

dianggap tidak melakukan Wanprestasi. Sehingga pihak tersebut mengemukakan berbagai

dalih untuk tidak dianggap melakukan Wanprestasi. Diantaranya adalah :

1. Mengajukan kepada pihak lain bahwa anggapan Wanprestasi agar bisa

dikategorikan sebagai keadaan memaksa (force majeure)

2. Mengajukan bahwa kreditur sendiri yang lalai (exeptio non adimpleti contractus)

3. Mengajukan bahwa kreditur sendir yang telah melepaskan haknya untuk

menuntut ganti rugi (rechtsverwerking atau waiver)

Pertanyaannya adalah Bagaimanakah caranya menentukan adanya suatu Wanprestasi? Jika

dalam perjanjian tidak diatur, maka ketentuan yang berlaku dalam perjanjian adalah

ketentuan undang-undang atau hukum kebiasaan.

Dalam sistem hukum Common law, waktu merupakan esensi utama dari suatu

perjanjian (time is of the essence or particular importance). Sehingga dengan mengacu

kepada kriteria jangka waktu penyelesaian pekerjaan dalam suatu perjanjian, dapat menjadi

batasan apakah suatu pihak sudah bisa dianggap melakukan Wanprestasi atau tidak.

Namun demikian, ketika sudah terjadi Wanprestasi, perjanjian tidak serta merta batal demi

hukum, tetapi harus dimintakan pembatalannya kepada hakim (sesuai dengan pasal

1266

KUHPerdata). Dimana dalam ayat 4 disebutkan bahwa hakim masih diberi keleluasaan (atas

pemintaan tergugat) untuk memberikan waktu guna pemenuhan kewajiban, dengan jangka

waktu maksimum adalah 1 bulan.

Page 10: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 9

Di dalam kasus ini, dengan data-data yang sudah dikemukakan di depan terdapat beberapa

fakta adalah sebagai berikut :

1. PT TPPI tidak membayar 4 kargo kondensat kepada Pertamina yang sampai

dengan akhir 2009 jumlahnya adalah senilai 200 juta dolar AS.

2. Saat ini TPPI memiliki utang kepada Pertamina sebesar US$548 juta (utang

terdiri dari pembelian produk low sulfur wax residu (LSWR) senilai US$257,5 juta

dan pembelian minyak mentah jenis Senipah Condensate senilai US$182,8 juta)

3. TPPI juga belum membayar hutang ke Pertamina selama tiga tahun,

padahal Pertamina telah tiga kali mengirimkan nota default ke TPPI, BP Migas

US$180 juta, dan PT Perusahaan Pengelolaan Aset Rp3,27 triliun.

Dengan asumsi (karena keterbatasan data mengenai detail kontrak) bahwa dalam perjanjian

yang ditandatangani kedua belah pihak adalah bahwa apabila PT TPPI terlambat melakukan

pembayaran (misalkan 1 kali) atau senilai 1 kargo kondensat, atau dengan belum

dibayarkannya kondensat sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati dalam kontrak,

maka pihak PT TPPI dapat dianggap telah melakukan Wanprestasi. Ditambah lagi kondisi

di mana PT TPPI masih memilikisejumlah utang seperti pada point 2 di atas, dan

belum membayar utang selama 3 (tiga) tahun.

Pertamina telah melakukan langkah yang benar ketika sudah mengirimkan nota

default kepada PT TPPI. Terlebih adanya fakta bahwa sejak 10 Maret 2010 silam Pertamina

sudah memasukkan sengketa utang TPPI ke proses arbitrase. Langkah arbitrase tepat

dilakukan karena TPPI dinilai sudah tidak punya itikad baik untuk menyelesaikan utang. Hal

ini diperkuat dengan keputusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang telah

mengabulkan gugatan Pertamina sehingga PT TPPI diwajibkan membayar Delayed Payment

Note (DPN) ditambah bunga terhitung sampai dengan Putusan dibacakan yang

besarnya US$114.177.624,00 selambat-lambatnya, 1 September 2011.

Langkah langkah Pertmina tersebut sebenarnya sudah efektif. Namun apabila dengan adanya

putusan BANI tersebut, pihak PT TPPI belum juga menunjukkan itikad bainya untuk

melaksanakan putusan tersebut, Pertamina dapat melakukan permintaan eksekusi

kepada Pengadilan Negeri.

Fakta lain adalah TPPI juga tengah digugat pailit oleh dua perusahaan Belanda, yaitu Argo

Capital BV dan Argo Global Holding karena mempunyai utang jatuh tempo US$150 juta.

Apabila di dalam aturan pengadaan barang dan jasa diatur bahwa suatu perusahaan

yang

Page 11: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

mengikuti suatu tender masih berada dalam kondisi berperkara dengan pihak lain

dalam ranah hukum, maka keikutsertaan pihak tersebut dapat didiskualifikasi oleh

panitia pengadaan barang dan jasa (dengan asusmsi seperti ini contohnya adalah peraturan

mengenai pengadaan barang dan jasa di lingkungan Badan Pelaksana Kegiatan Hulu

Migas). Konsekuensinya adalah, PLN dapat menyatakan diskualifikasi terhadap

keikutsertaan PT TPPI dalam tender pemasokan BBM di PLN, tanpa harus menunggu hasil

gugatan pailit yang disarankan oleh PLN dilakukan oleh Pertamina, meskipun seharusnya

Pertamina juga melakukan gugatan pailit terhadap PT TPPI.

Analisa kasus dari sisi Kepailitan

Di Indonesia, hukum tentang kepailitan sudah diatur sejak tahun 1905. Hal ini terlihat dari

adanya peraturan kepailitan yang lebih dikenal dengan nama “Faillissementsverordening”

Staatbald tahun 1905 Nomor 217 jo Staatbald tahun 1906 Nomor 348 (verodening op het

failissement en de surseance van betaling), yang juga berlaku bagi golongan Cina dan

Timur Asing.

Dilatarbelakangi dengan kejadian krisis ekonomi di tahun 1997, yang memberikan dampak

yang cukup sistemik di dalam dunia bisnis, kaitannya dengan masalah utang-piutang,

pemerintah Indonesia pun segera melakukan reformasi hukum, salah satunya adalah dengan

melakukan penyempurnaan terhadap peraturan tentang Kepailitan yang termuat di

dalam aturan di atas (Staatbald tahun 1905 Nomor 217 jo Staatbald tahun 1906

Nomor 348). Berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun

1998 tentang Kepailitan dan PKPU, mempunyai tujuan dan misi untuk menyakinkan para

investor baik dari dalam maupun luar negeri terhadap kepastian hukum dalam Penyelesaian

Utang-Piutang di Indonesia, sehingga dapat meningkatkan kembali gairah investor untuk

kembali menanamkan investasinya di Indonesia.

Dalam perkembangannya, Perpu Kepailitan ini ditingkatkan statusnya menjadi Undang-

Undang yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 1998 menjadi Undang-Undang,

yang kemudian disempurnakan kembali dengan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004

tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Kehadiran Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan

Page 12: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) ditengah masyarakat khususnya para pelaku bisnis

Page 13: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

yang sedang menghadapi masalah Penyelesaian utang piutang, diharapkan dapat

menyelesaikan masalah tersebut secara cepat, adil, terbuka, dan efektif serta menjadi

pegangan bagi penyelesaian utang-piutang yang tidak saling merugikan melainkan

sebaliknya justru saling menguntungkan para pihak yaitu Kreditor dan Debitor.

Dikeluarkannya Undang-Undang Kepailitan oleh pemerintah harus dilihat bukan hanya

sebagai upaya yang bersifat reaktif semata-mata untuk menghadapi krisis moneter

yang melanda perekonomian Indonesia saat ini, tetapi juga harus dilihat sebagai

pembangunan hukum nasional dalam rangka penggantian sistem dan pranata hukum warisan

masa Kolonial Belanda menjadi hukum nasional Indonesia. Undang-Undang Nomor 37

tahun 2004 ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari

azas-azas hukum diantaranya:

a. Asas Keseimbangan yaitu dari satu pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah

terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh debitur yang tidak jujur,

dilain pihak tedapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata

dan lembaga kepailitan oleh Kreditur yang tidak berit ikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha, dalam Undang-Undang ini terdapat ketentuan yang

memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.

c. Asas Keadilan, dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa ketentuan

mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang

berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan

pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap

Debitur, dengan tidak mempedulikan Kreditur lainnya.

d. Asas Integrasi, dalam Undang-Undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum

formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum

perdata dan hukum acara perdata nasional.

Sesuai dengan aturan hukum penyelesaian masalah sengketa bisnis di Indonesia, salah

satunya adalah masalah Kepailitan , digunakanlah jalur litigasi melalui Pengadilan Niaga.

Pengadilan Niaga memeriksa dan memutus perkara-perkara perniagaan dan akan diberi

wewenang memeriksa dan memutus perkara-perkara perniagaan lainnya yang akan

ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Penetapan Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan

yang berwenang memeriksa dan memutus permohonan atau perkara kepailitan semata-mata

untuk mengefisienkan proses pemeriksaan permohonan Kepailitan dan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Page 14: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

Pengertian Kepailitan yang terkandung dalam Undang-Undang No.37 Tahun 2004

yaitu suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan

pemberesannya dilakukan oleh Kurator dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

Penyitaan dan eksekusi yang dimaksud dari pengertian tersebut merupakan penyitaan

bersama untuk menjaga agar semua Kreditor memperoleh manfaat dari Boedel Pailit, yang

dilakukan dengan jalan dibagi menurut perimbangan hak tagihan masing-masing. Dengan

demikian secara prinsip semua Kreditor mempunyai hak yang sama atas pembayaran, ini

berarti bahwa hasil harta kepailitan akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan

Kreditor.

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) merupakan pemberian kesempatan

kepada Debitor untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang dapat meliputi

pembayaran seluruhnya atau sebagian utangnya kepada Kreditor Konkuren (Kreditor yang

tidak memiliki agunan dan tidak mempunyai hak istimewa serta yang tagihannya tidak

diakui atau diakui secara bersyarat).

Dengan demikian sesungguhnya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dapat

dikatakan sebagai kesempatan atau peluang bagi perusahaan agar jangan sampai dinyatakan

pailit, sehingga dengan didampingi Pengurus yang ditunjuk oleh Pengadilan, Debitor masih

dapat menjalankan usahanya. Karena itu selama masa tenggat waktu tersebut dapat

diadakan dan diusahakan segala upaya pendekatan dan penyelesaian sengketa bisnis

antara Kreditor dan Debitor misalkan dengan Restrukturisasi utang dan apabila berhasil

dituangkan sebagai substansi perdamaian (Accord) yang merupakan sarana/upaya yang

menjadi jaminan bagi Kreditor untuk mempailitkan Debitor apabila perdamaian itu tidak

dilaksanakan atau gagal dipenuhi Debitor.

Pada prinsipnya, setiap debitor atau Kreditur yang menduga atau mengetahui dirinya

(Debitur) tidak sanggup memenuhi kewajiban pembayaran utang dapat meminta penundaan

kewajiban pembayaran utang. Permohonannya tersebut diajukan ke pengadilan dengan

harapan dapat menyelesaikan Utang-Piutang melalui Rencana Perdamaian yang telah

diajukan pihak Debitur kepada para Krediturnya.

Dalam penyelesaian Utang-Piutang melalui Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU), hak dan kewenangan debitor atas harta kekayaan tidak hilang, sehingga ia

dapat tetap menjalankan usahanya dengan didampingi oleh pengurus. Dengan adanya

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), maka dapat terjadi beberapa

kemungkinan, yaitu :

Page 15: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

a. Piutang-piutang para Kreditor akan dibayar/dapat dibayar seluruhnya oleh Debitor;

b. Pembayaran Piutang Kreditor itu dilunasi sebagian melalui pemberesan tahap demi tahap;

c. Suatu perdamaian dibawah tangan;

d. Pengesahan perdamaian apabila terjadi perdamaian yang lazim disebut

gerchtelijke accord atau dwang accord;

e. Pernyataan pailit, apabila tujuan yang hendak dicapai dengan pengunduran

pembayaran itu tidak tercapai.

Selain mekanisme Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), di dalam Undang-

undang No 37 Tahun 2004 ini juga diatur mekanisme tentang Kepailitan, seperti yang

diatur di dalam Pasal 2:

a. Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya

satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan

Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih

kreditornya.

b. Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat juga diajukan oleh

kejaksaan untuk kepentingan umum.

c. Dalam hal Debitor adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh

Bank Indonesia.

d. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring

dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, permohonan pernyataan

pailit hanya dapat diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.

e. Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun,

atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan

publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Kembali pada proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), dimana berarti

Debitur telah diberi kesempatan melakukan usaha memperbaiki kondisi keuangannya agar

dapat membayar utang-utangnya kepada Kreditur. Dengan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang, Debitur dapat mengajukan Rencana Perdamaian (Akkord) yang

merupakan suatu persetujuan antara pihak Debitur dan Para Krediturnya yang

mengikat kedua belah pihak, dimana persetujuan itu menimbulkan kewajiban bagi Debitur

untuk memenuhi dan menepati Akkord tersebut dengan melunasi tagihan-tagihan tersebut

Page 16: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

sampai Prosentase tertentu, bisa dengan cara melunasi bunganya lebih dahulu baru

kemudian utang pokok dibayar secara angsuran atau sekaligus yang telah ditetapkan dalam

Akkord.

Page 17: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

Sesungguhnya sifat dari putusan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) lebih

cepat mempunyai kekuatan hukum yang pasti, dimana putusannya bersifat final dan binding

(akhir dan mengikat) artinya atas putusan penerimaan maupun penolakan Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Pasal 235 ayat (1) Undang-Undang No.37 tahun 2004. Biasanya

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) diajukan oleh Debitur dengan didasarkan

pada 2 (dua) latar belakang, yaitu:

a. Debitur memang ingin meretrukturisasi utangnya;

Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 222 ayat (2) Undang-Undang No.37 tahun 2004,

bahwa “ Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak dapat

melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat

memohon Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan maksud untuk mengajukan

Rencana Perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang

kepada Kreditur”. Besar harapan dari Debitur agar dengan adanya proses Penundaan

Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), utang-utangnya tersebut dapat

direstrukturisasi sesuai dengan keinginan pihak Debitur dan Kreditur Konkuren.

b. Sebagai perlawanan terhadap Permohonan Pailit dari Kreditur.

Sering pula terjadi bahwa permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

(PKPU) diajukan oleh Debitur sebagai perlawanan terhadap permohonan Pailit yang

diajukan pihak Kreditur. Sebab didalam Pasal 229 ayat (3) Undang-Undang No.37 tahun

2004, jika permohonan pernyataan Pailit dan permohonan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang (PKPU) diperiksa pada saat bersamaan maka permohonan

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) harus diputuskan lebih dahulu.

Dalam kasus antara TPPI dan Pertamina, khususnya kaitannya dengan Undang-undang No.

37 Tahun 2004 ini, ada dua mekanisme yang bisa dilakukan secara litigasi (melalui lembaga

peradilan niaga), yaitu Pertamina melakukan gugatan kepailitan ataupun pihak TPPI

melakukan pengajuan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang).

Namun dalam rangka menentukan mekanisme yang sesuai dengan kasus tersebut,

harus dilihat juga aspek bisnis yang perlu diperhitungkan untuk menentukan langkah atau

mekanisme yang diambil, baik secara litigasi maupun secara non-litigasi. Aspek bisnis yang

dijadikan acuan untuk melakukan analisa terhadap pilihan mekanisme yang diambil untuk

Page 18: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

menyelesaikan sengketa bisnis tersebut adalah adanya solusi yang saling

menguntungkan

Page 19: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

bagi kedua belah pihak; di satu sisi debitor terhindar dari status pailit, sehingga masih tetap

bisa melaksanakan bisnisnya, dan di sisi lain, kreditor tetap dapat menerima pembayaran

piutangnya dari debitor yang dimaksud.

Dari kasus ini, 2 mekanisme yang terkait dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004 yaitu

Pengajuan gugatan kepailitan dan pengajuan PKPU telah dilakukan:

a. Gugatan Kepailitan dari Argo Capital dan Argo Global

Gugatan kepailitan telah dilakukan kepada TPPI oleh Argo Capital yang tercatat

memiliki tagihan sebesar US$ 90 juta; dan Argo Global yang memiliki piutang

sebesar US$ 7.5 juta di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Dengan kondisi ini, jika

pengajuan kepailitan diterima maka akan memberikan dampak implikasi kepada

Pertamina, yaitu bahwa Pertamina akan menerima pembayaran piutangnya dari TPPI

sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 Pasal

51, dimana perhitungannya diatur juga di dalam Undang-undang tersebut Pasal 136 dan

Pasal 137. Pada dasarnya ada

3 jenis golongan Kreditor, yaitu:

- Kreditor Separatis / Golongan Khusus; adalah kreditor yang dapat

mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan (Pasal 55 UU No. 37

Tahun 2004).

- Kreditor Preferen; adalah kreditor yang mempunyai hak untuk

didahulukan pembayaran piutangnya dari kreditor lainnya, sematamata

berdasarkan sifat piutangnya yang diistimewakan.

- Kreditor Konkuren; adalah kreditor-kreditor yang tidak termasuk golongan

khusus dan golongan istimewa.

Dari sisi jumlah piutang yang dimiliki oleh Pertamina dan status Pertamina

sebagai BUMN, maka dalam kasus ini, Pertamina dapat digolongkan sebagai Kreditor

Preferen, sehingga peluang untuk mendapatkan ganti rugi lebih besar dibandingkan

dengan Kreditor Konkuren. Hal ini mungkin secara azas keadilan dari sisi para Kreditor

pihak TPPI terpenuhi, namun secara riil mungkin akan tetap merugikan bagi pihak

Pertamina, karena nilai aset yang dimiliki oleh TPPI tidak sebesar jumlah utang

yang menjadi kewajiban mereka kepada Pertamina

Page 20: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 1

b. Permohonan PKPU oleh TPPI

Sesuai dengan Undang-undang No. 37 Tahun 2004, Pasal 229 ayat 4, pihak

debitor sebagai pihak yang diajukan untuk pernyataan pailit, berhak melakukan

permohonan PKPU (penundaan kewajiban pembayaran utang) kepada Pengadilan

Niaga, dimana

Page 21: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

gugatan pailit disampaikan. Hal inilah yang dilakukan oleh pihak TPPI menindaklanjuti

gugatan kepailitan yang dilakukan oleh Argo Capital dan Argo Global. Berdasarkan

pada pasal 229 ayat 3, maka permohonan PKPU yang diajukan oleh pihak TPPI harus

diputuskan terlebih dahulu. Pengajuan PKPU ini tidak akan berdampak pada status utang

TPPI terhadap Pertamina, karena sifatnya hanya sebagai jawaban terhadap gugatan

kepailitan dari Argo Global dan Argo Capital.

Berdasarkan pada kajian kasus di atas, beberapa fakta yang perlu dipertimbangkan

oleh Pertamina jika akan menindaklanjuti kasus ini melalui jalur litigasi yaitu Pengadilan

Niaga dengan pengajuan gugatan pailit terhadap TPPI adalah:

1. Penyelesaian sengketa bisnis melalui Undang-undang No. 37 Tahun 2004 ini tidak

selalu menguntungkan bagi pihak Kreditor, terutama jika nilai aset yang dimiliki oleh

Debitor tidak sebanding dengan jumlah piutang yang menjadi kewajibannya. Apalagi

jika jumlah Kreditor dari Debitor tersebut relatif banyak.

2. Proses penyelesaian sengketa bisnis melalui jalur litigasi, biasanya memakan waktu

dan biaya yang tidak sedikit, dan sedikit banyak akan berdampak pada bisnis perusahaan.

Hal ini juga secara psikologis akan menyebabkan pihak Debitor, dalam hal ini adalah

TPPI semakin kehilangan itikad baiknya untuk menjalankan bisnisnya dengan

Pertamina. Kondisi yang paling esktrim adalah akan menghalangi proses kepailitan yang

dilakukan oleh Pengadilan Niaga melalui Kuratornya. Jumlah kewajiban yang sangat

besar dari pihak TPPI terhadap Pertamina menjadi hal yang dipertaruhkan jika langkah

litigasi ini diambil oleh Pertamina.

3. Resiko tidak semua jumlah piutang akan terbayarkan melalui proses kepailitan,

harus menjadi perhatian oleh Pertamina, karena akan berdampak juga pada pemasukan

negara. Hal inilah yang menyebabkan, adanya keterlibatan dari Kementrian BUMN

dan Keuangan dalam menyelesaikan masalah ini, terlebih lagi karena pihak TPPI juga

memiliki piutang sebesar US$ 180 juta kepada BP Migas.

Pilihan lain yang juga telah dilakukan oleh Pertamina adalah melalui jalur non-litigasi,

yaitu melalui arbitrase, dalam hal ini melalui BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).

Dan sesuai dengan keputusan BANI, TPPI wajib membayar hutang sebesar US$ 104

kepada Pertamina. Langkah non-litigasi lain yang juga masih dilakukan hingga saat ini

adalah negosiasi restrukturisasi utang. Dari sini terlihat, langkah yang diambil oleh

Pertamina dengan memilih jalur non-litigasi sebagai cara penyelesaian sengketa bisnis yang

dihadapi dengan TPPI untuk dapat memperoleh haknya (pembayaran piutang)

tanpa harus

Page 22: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

mempailitkan TPPI, sudah cukup tepat, karena berpeluang terbayarnya kewajiban TPPI

kepada Pertamina melalui restrukturisasi utang.

Fakta lain yang cukup menarik adalah dicabutnya gugatan kepailitan kepada TPPI

yang disampaikan oleh Argo Capital dan Argo Global. Hal ini berdampak pada tidak

berlakunya PKPU yang dimohonkan oleh TPPI sebagai jawaban dari gugatan kepailitan

sebelumnya. Langkah ini diambil oleh Argo Global dan Argo Capital sebagai tanggapan

terhadap status mereka yang hanyalah Kreditor Konkuren, dimana statusnya masih di

bawah Pertamina sebagai Kreditor Preferen, yang berakibat pada kemungkinan tidak

terbayarnya piutang yang mereka miliki, karena nilai aset TPPI hanya dapat digunakan

untuk membayar piutang dari Pertamina, itupun mungkin hanya sebagian saja.

Dari kasus ini, terlihat bahwa permasalahan utang-piutang yang berlarut-larut dan

relatif sangat lama untuk ditangani, berdampak cukup sistemik terhadap proses bisnis yang

terkait dari para entitas yang terlibat di dalamnya, baik Pertamina, TPPI, pemerintah, dsb.

Keterlambatan dalam memutuskan langkah untuk menyelesaikan sengketa bisnis,

berdampak pada kemungkinan kerugian negara yang cukup besar. Proses litigasi

menjadi tidak lagi efektif sebagai cara penyelesaian, karena biaya yang dikeluarkan akan

jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai yang didapatkan dari proses tersebut.

Analisa kasus dari sisi Etika Bisnis

Etika Bisnis adalah merupakan suatu pemikiran atau refleksi tentang moralitas dalam

ekonomi dan bisnis. Moralitas berarti aspek baik atau buruk, terpuji atau tercela, dan

karenanya diperbolehkan atau tidak, dari perilaku manusia. Moralitas selalu berkaitan

dengan apa yang dilakukan manusia, dan kegiatan ekonomis merupakan suatu bidang

perilaku manusia yang penting.

Apa yang diharapkan dan mengapa kita harus selalu memperatikan Etika

Bisnis? Menurut K. Bertens, ada 3 (tiga) tujuan yang ingin dicapai, yaitu :

1. Menanamkan atau meningkatkan kesadaran akan adanya demensi etis dalam bisnis.

Page 23: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

Menanamkan, jika sebelumnya kesadaran itu tidak ada, meningkatkan bila kesadaran

itu sudah ada, tapi masih lemah dan ragu. Orang atau perusahaan yang selalu

memperhatikan

Page 24: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

etika bisnis diharapkan memperoleh keyakinan bahwa etika merupakan segi nyata

dari kegiatan ekonomis yang perlu diberikan perhatian serius.

2. Memperkenalkan argumentasi moral khususnya dibidang ekonomi dan bisnis, serta

membantu pebisnis/calon pebisnis dalam menyusun argumentasi moral yang tepat.

Dalam etika sebagai ilmu, bukan saja penting adanya norma-norma moral, tidak kalah

penting adalah alasan bagi berlakunya norma-norma itu. Dengan memperhatikan etika

diharapkan pelaku bisnis akan sanggup menemukan fundamental rasional untuk aspek

moral yang menyangkut ekonomi dan bisnis.

3. Membantu pebisnis/calon pebisnis, untuk menentukan sikap moral yang tepat

didalam profesinya (kelak). Hal ketiga ini memunculkan pertanyaan, apakah etika ini

menjamin seseorang akan menjadi etis juga? Jawabnya, sekurang-kurangnya meliputi

dua sisi berikut, yaitu disatu pihak, harus dikatakan : etika mengikat tetapi tidak

memaksa. Disisi lain, etika bisnis boleh diharapkan juga mempunyai dampak atas

tingkah laku pebisnis. Bila etika telah membuka mata, konsekuensi logisnya adalah

pebisnis bertingkah laku menurut yang diakui sebagai hal yang benar.

Tiga aspek pokok dari bisnis yaitu : dari sudut pandang ekonomi, hukum dan etika.

1. Sudut pandang ekonomis. Bisnis adalah kegiatan ekonomis. Yang terjadi disini

adalah adanya interaksi antara produsen/perusahaan dengan pekerja, produsen

dengan konsumen, produsen dengan produsen dalam sebuah organisasi. Kegiatan antar

manusia ini adalah bertujuan untuk mencari untung oleh karena itu menjadi kegiatan

ekonomis. Pencarian keuntungan dalam bisnis tidak bersifat sepihak, tetapi dilakukan

melalui interaksi yang melibatkan berbagai pihak. Dari sudut pandang ekonomis, good

business adalah bisnis yang bukan saja menguntungkan, tetapi juga bisnis yang

berkualitas etis.

2. Sudut pandang moral. Dalam bisnis, berorientasi pada profit, adalah sangat wajar,

akan tetapi jangan keuntungan yangdiperoleh tersebut justru merugikan pihak lain.

Tidak semua yang bisa kita lakukan boleh dilakukan juga. Kita harus menghormati

kepentingan dan hak orang lain. Pantas diperhatikan, bahwa dengan itu kita sendiri tidak

dirugikan, karena menghormati kepentingan dan hak orang lain itu juga perlu

dilakukan demi kepentingan bisnis kita sendiri.

3. Sudut pandang Hukum bisa dipastikan bahwa kegiatan bisnis juga terikat

dengan "Hukum", Hukum Dagang atau Hukum Bisnis, yang merupakan cabang penting

dari ilmu hukum modern. Dan dalam praktek hukum banyak masalah timbul dalam

hubungan

Page 25: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

bisnis, pada taraf nasional maupun international. Seperti etika, hukum juga merupakan

sudut pandang normatif, karena menetapkan apa yang harusdilakukan atau tidak boleh

dilakukan. Dari segi norma, hukum lebih jelas dan pasti daripada etika, karena

peraturan hukum dituliskan hitam atas putih dan ada sanksi tertentu bila terjadi

pelanggaran. Bahkan pada zaman kekaisaran Roma, ada pepatah terkenal: "Quid leges

sinemoribus" yang artinya : "apa artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas".

Lalu apa tolok ukur bahwa bisnis itu baik menurut tiga sudut pandang tadi? Untuk

sudut pandang ekonomis, jawaban pertanyaan ini lebih mudah, yaitu bila bisnis

memberikan profit,dan hal ini akan jelas terbaca pada laporan rugi/laba perusahaan di

akhir tahun. Dari sudut pandang hukum pun jelas, bahwa bisnis yang baik adalah yang

diperbolehkan oleh sistem hukum yang berlaku. (penyelundupan adalah bisnis yang

tidak baik). Yang lebih sulit jawabnya adalah bila bisnis dilihat dari sudut pandang

moral. Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan

bisnis. Dari sudut pandang moral, setidaknya ada 3 (tiga) tolok ukur yaitu : nurani,

Kaidah Emas, penilaian umum.

1. Hati nurani: Suatu perbuatan adalah baik, bila dilakukan susuai dengan

hati nuraninya, dan perbuatan lain buruk bila dilakukan berlawanan dengan

hati nuraninya. Kalau kita mengambil keputusan moral berdasarkan hati nurani,

keputusan yang diambil "dihadapan Tuhan" dan kita sadar dengan tindakan tersebut

memenuhi kehendak Tuhan.

2. Kaidah Emas : Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral

adalah mengukurnya denganKaidah Emas (positif), yang berbunyi : "Hendaklah

memperlakukan orang lain sebagaimana Anda sendiri ingin diperlakukan". Kenapa

begitu? Tentunya kita menginginkan diperlakukan dengan baik. Kalau begitu

saya akan berperilaku dengan baik (dari sudut pandang moral). Rumusan Kaidah

Emas secara negatif: "Jangan perlakukan orang lain, apa yang Anda sendiri tidak

inginakan dilakukan terhadap diri Anda". Saya kurang konsisten dalam tingkah laku

saya, bila saya melakukan sesuatu terhadap orang lain, yang saya tidak mau akan

dilakukan terhadap diri saya. Kalau begitu, saya berperilaku dengan cara tidak baik

(dari sudut pandang moral).

3. Penilaian Umum: Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk menentukan

baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkan kepada

masyarakat umum untuk menilai. Cara ini bisa disebut juga audit sosial.

Sebagaimana melalui audit dalam arti biasa sehat tidaknya keadaan finansial suatu

perusahaan dipastikan,

Page 26: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

demikian juga kualitas etis suatu perbuatan ditentukan oleh

penilaianmasyarakat umum.

Apa itu etika bisnis? Kata "etika" dan "etis" tidak selalu dipakai dalam arti yang sama

dan karena itu pula "etika bisnis" bisa berbeda artinya. Etika sebagai praksis berarti:

nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak dipraktekkan,

walaupun seharusnya dipraktekkan. Sedangkan etis, merupakan sifat dari tindakan

yang sesuai dengan etika.

Peranan Etika dalam Bisnis : Menurut Richard De George, bila perusahaan ingin

sukses/berhasil memerlukan 3 hal pokok yaitu :

1. Produk yang baik

2. Managemen yang baik

3. Memiliki Etika

Selama perusahaan memiliki produk yang berkualitas dan berguna untuk

masyarakat disamping itu dikelola dengan manajemen yang tepat dibidang

produksi, finansial, sumber daya manusia dan lain-lain tetapi tidak mempunyai etika,

maka kekurangan ini cepat atau lambat akan menjadi batu sandungan bagi perusahaan

tsb. Bisnis merupakan suatu unsur mutlak perlu dalam masyarakat modern. Tetapi kalau

merupakan fenomena sosial yang begitu hakiki, bisnis tidak dapat dilepaskan dari

aturan-aturan main yang selalu harus diterima dalam pergaulan sosial, termasuk

juga aturan-aturan moral. Mengapa bisnis harus berlaku etis ? Tekanan kalimat ini ada

pada kata "harus". Dengan kata lain, mengapa bisnis tidak bebas untuk berlaku etis atau

tidak? Tentu saja secara faktual, telah berulang kali terjadi hal-hal yang tidak etis

dalam kegiatan bisnis, dan hal ini tidak perlu disangkal, tetapi juga tidak perlu menjadi

fokus perhatian kita. Pertanyaannya bukan tentang kenyataan faktual, melainkan tentang

normativitas : seharusnya bagaimana dan apa yang menjadi dasar untuk keharusan itu.

Mengapa bisnis harus berlaku etis, sebetulnya sama dengan bertanya mengapa manusia

pada umumnya harus berlaku etis. Bisnis disini hanya merupakan suatu bidang

khusus dari kondisi manusia yang umum.

Jawabannya ada tiga yaitu :

Page 27: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

Tuhan melalui agama/kepercayaan yang dianut, diharapkan setiap pebisnis

akan dibimbing oleh iman kepercayaannya, dan menjadi tugas agama mengajak para

pemeluknya untuk tetap berpegang pada motivasi moral.

Kontrak Sosial, umat manusia seolah-olah pernah mengadakan kontrak

yang mewajibkan setiap anggotanya untuk berpegang pada norma-norma moral,

dan kontrak ini mengikat kita sebagai manusia, sehingga tidak ada seorangpun yang

bisa melepaskan diri daripadanya.

Keutamaan, Menurut Plato dan Aristoteles, manusia harus melakukan yang

baik, justru karena hal itu baik. Yang baik mempunyai nilai intrinsik, artinya, yang

baik adalah baik karena dirinya sendiri.Keutamaan sebagai disposisi tetap

untuk melakukan yang baik, adalah penyempurnaan tertinggi darikodrat manusia.

Manusia yang berlaku etis adalah baik begitu saja, baik secara menyeluruh,

bukanmenurut aspek tertentu saja.

Dari pembahasan teori di atas, kita coba untuk membahas praktikal etika bisnis TPPI dalam

mengikuti tender pasokan BBM (solar) ke PLN.

PT Pertamina (Persero) merasa dikangkangi PT Trans Pacific Petrochemical Indonesia

(TPPI). Betapa tidak. Sebuah perusahaan yang gagal memenuhi kontrak pasokan minyak

dengan perusahaannya, justru memenangkan tender untuk memasok solar ke PT PLN

(Persero).

Keberatan soal TPPI muncul pasca penetapan PLN bahwa TPPI termasuk salah

satu pemenang tender pengadaan solar 1,25 juta kiloliter per tahun yang diadakan PLN.

Direktur Utama PLN mengatakan Pertamina maupun TPPI adalah pemenang tender

pengadaan solar yang dilaksanakan PLN.

Akan tetapi kemenangan TPPI itu menjadi persoalan bagi Pertamina mengingat TPPI gagal

memenuhi kontraknya dengan Pertamina.

Berdasarkan kontrak bisnis, TPPI mempunyai kewajiban menyerahkan produk bahan bakar

minyak (BBM) senilai US$50 juta per enam bulan kepada Pertamina. Namun, selama 1,5

tahun terakhir ini, TPPI tidak pernah menyerahkan kewajibannya tersebut.

Artinya, kewajiban TPPI yang tertunggak sudah setara dengan US$150 juta. Lantas,

sekarang TPPI mau menjual produknya ke PLN. “Bagaimana etika bisnisnya?”.

Page 28: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

Dilain hal, apabila TPPI memenuhi kewajibannya kepada Pertamina dengan memasok

solar ke Pertamina sesuai dengan kontrak bisnis, maka TPPI tidak akan memiliki

kemampuan untuk mensuplai solar ke PLN.

Sesuai dengan teori yang telah dibahas di atas, bahwa dari sudut pandang moral orientasi

profit dalam bisnis adalah hal yang wajar, akan tetapi janganlah keuntungan yang

diperoleh itu merugikan orang lain. Dalam hal ini TPI kemungkinan akan mempaeroleh

keuntungan apabila mensuplai solar ke PLN, akan tetapi di sisi lain, dengan tidak

tersuplainya solar (yang merupakan kewajiban TPPI) ke Pertamina, Pertamina akan

menanggung kerugian. Dan hal ini sangat tidak etis dalam melakukan bisnis.

Selain itu juga untuk menjadi perusahaan yang baik diperlukan 3 (tiga) hal yaitu produk

yang baik, management yang baik serta memiliki etika. Dengan apa yang telah

dilakukan oleh TPPI, walaupun produk dari TPPI baik, akan tetapi dengan tidak

dimilikinya etika, maka TPPI akan sulit untuk menjadi perusahaan yang sukses.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dari analisa kasus dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

TPPI telah melakukan wanprestasi terhadap kontrak kerjasamanya dengan

Pertamina, antara lain ditunjukkan dengan beberapa hal: tidak melakukan

pembayaran terhadap kargo kondensat yang sudah dikirimkan oleh Pertamina,

menunggak hutang dan secara nyata terbukti tidak memiliki itikad baik untuk

menyelesaikan hutang yang telah berjalan selama 3 tahun.

Langkah yang diambil oleh Pertamina melalui jalur non-litigasi, yaitu arbitrase

dan negosiasi, dapat dipahami dan dinilai cukup tepat, karena secara bisnis, langkah ini

relatif lebih sesuai dengan azas keadilan, dari sisi kreditor dan azas kelangsungan usaha,

dari sisi debitor. Selain itu, proses jalur non-litigasi yang dilakukan Pertamina juga

mendapatkan dukungan dari Kementrian BUMN dan Keuangan.

Penyelesaian sengketa bisnis lewat jalur litigasi melalui pengadilan niaga bertolak

pada Undang-undang No. 37 Tahun 2004, terkadang tidak memberikan penyelesaian

masalah sesuai dengan azas keadilan, karena nilai piutang yang dimiliki oleh

Kreditor yang

Page 29: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

menjadi tanggung jawab Debitor lebih besar daripada nilai aset yang dimiliki oleh

Debitor tersebut.

TPPI tidak memiliki etika bisnis dalam mengikuti tender pasokan BBM (solar) ke PLN

karena masih belum memenuhi kewajibannya terlebih dahulu kepada Pertamina.

Saran

Berkaitan dengan terjadinya wanprestasi yang dilakukan TPPI kepada Pertamina,

langkah penyampaian nota default yang dilakukan oleh Pertamina sudah tepat, namun

langkah ini perlu diimbangi dengan bentuk punishment yang lebih tegas, yaitu melalui

jalur litigasi atau Pengadilan Negeri, sehingga Pertamina mendapatkan kepastian hukum

dari wanprestasi yang sudah dilakukan oleh TPPI yaitu melalui langkah eksekusi

terhadap putusan BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia).

Pertamina bersama dengan pemerintah melalui kementrian BUMN dan Keuangan,

harus memperlakukan klausul yang ketat dalam rangka restrukturisasi utang dengan

pihak TPPI untuk menghindari kerugian negara yang lebih besar dan untuk mencegah

tindakan yang tidak didasarkan pada itikad baik dan etika bisnis yang mungkin akan

dilakukan oleh TPPI.

Dalam kasus ini, penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi bukanlah langkah

yang efektif, terutama karena besarnya kewajiban dari TPPI yang bertolak belakang

dengan nilai aset yang dimiliki. Pilihan alternatif penyelesaian sengketa bisnis, harus

tetap didasarkan pada aspek bisnis itu sendiri, yaitu win-win solution dan azas

kelangsungan usaha, terutama dari pihak Kreditor, dalam hal ini adalah Pertamina.

Dari kasus ini, pembelajaran yang dapat diambil adalah, penyelesaian sengketa

bisnis yang berlarut-larut, berjalan dari tahun ke tahun tanpa ada keputusan yang jelas

terhadap langkah yang harus diambil, merupakan proses yang salah dan harus

diperbaiki. Penyelesaian sengketa harus sesegera mungkin, terutama jika litigasi

dijadikan sebagai salah satu alternatif, hal ini untuk menjamin availability nilai aset

debitor masih dapat memenuhi kewajiban utangnya.

Secara moral dan etika bisnis, TPPI harus mengundurkan diri dari rencana suplai

BBM (solar) ke PLN, dan memenuhi kewajibannya terlebih dahulu ke Pertamina sesuai

dengan kontrak bisnis yang telah disepakati.

Page 30: (656977461) Kelompok_1_-_Studi_Kasus_Pertamina_-_TPPI (1)

PERTAMINA Mempertanyakan Kemenangan Tender

Analisa Kasus –Business 2

REFERENSI

Agus Sudradjat, Kepailitan Dan Kaitannya Dengan Lembaga Perbankan, Makalah Seminar

Nasional Lembaga Kepailitan Dalam Pembaharuan Hukum Ekonomi Di Indonesia,

Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, 1996

http://id.wikipedia.org/wiki/EtikaBisnis

Kartini Mulyani, Penyelesaian Utang Piutang melalui Kepailitan atau PKPU,

(Bandung: Alumni, 2001).

Muhammad DN SH., Kajian Yuridis Terhadap Penyelesaian Utang Piutang Melalui

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Purnamasari, Irma Devita : Dasar-dasar pembuatan kontrak, Business Contract Course,

Jakarta, 2010.

Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia Jilid 8: Perwasitan, Kepailitan,

dan Penundaan Pembayaran, (Jakarta: P.T Djambatan, 1992).

Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban

Pembayaran Utang.