6 cara berkomunikasi yang baik menurut al

22
6 Cara Berkomunikasi yang Baik menurut Al-Quran Etika, kaidah, prinsip, metode, teknik, tips, atau cara komunikasi menurut Al-Quran (Komunikasi Islam). KOMUNIKASI dipahami sebagai penyampain pesan (ide/gagasan/pemikiran, informasi, ajakan) kepada orang lain secara lisan, tulisan, langsung-tidak langsung, juga melalui media. Berikut ini Cara Berkomunikasi yang Baik Menurut Al- Quran atau "Komunikasi Islam". Etika, kaidah, atau prinsip komunikasi berikut ini juga berlaku kapan dan di mana saja, disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Berlaku juga buat para da'i, penceramah, guru, dan... pokonya semua Muslim dan Muslimah. Istilah atau "konteks" komunikasi dalam Al-Quran antara lain ditemukan dalam lafazh "Qaulan" (perkataan). Ada 6 istilah Qaulan yang menjadi panduan Islami dalam berkomunikasi: 1. Qaulan Sadida (QS. An-Nisa:9) 2. Qaulan Baligha ( QS. An-Nisa’: 63) 3. Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32) 4. Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23) 5. Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44) 6. Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28).

Upload: vividewa

Post on 17-Feb-2016

33 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

hebat

TRANSCRIPT

Page 1: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

6 Cara Berkomunikasi yang Baik menurut Al-Quran

Etika, kaidah, prinsip, metode, teknik, tips, atau cara komunikasi menurut Al-Quran

(Komunikasi Islam).

KOMUNIKASI dipahami sebagai penyampain pesan (ide/gagasan/pemikiran, informasi,

ajakan) kepada orang lain secara lisan, tulisan, langsung-tidak langsung, juga melalui media.

Berikut ini Cara Berkomunikasi yang Baik Menurut Al-Quran atau "Komunikasi Islam".

Etika, kaidah, atau prinsip komunikasi berikut ini juga berlaku kapan dan di mana saja,

disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Berlaku juga buat para da'i, penceramah, guru, dan...

pokonya semua Muslim dan Muslimah.

Istilah atau "konteks" komunikasi dalam Al-Quran antara lain ditemukan dalam lafazh

"Qaulan" (perkataan). Ada 6 istilah Qaulan yang menjadi panduan Islami dalam

berkomunikasi:

1. Qaulan Sadida (QS. An-Nisa:9)

2. Qaulan Baligha ( QS. An-Nisa’: 63)

3. Qaulan Ma’rufa ( QS. Al-Baqarah: 235; QS. An- Nisa’: 5& 8; QS. Al-Ahzab: 32)

4. Qaulan Karima ( QS. Al-Isra’: 23)

5. Qaulan Layina ( QS. Thaha: 44)

6. Qaulan Maisura ( QS. Al-Isra’: 28).

Keenamnya mendukung ayat yang menjadi prinsip dasar komunikasi dalam Islam: “Dan

berkatalah kamu kepada semua manusia dengan cara yang baik (husna)” (QS. Al-

Baqarah:83).

Qaulan Sadida: Perkataan yang Benar

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang

mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.

Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka

mengucapkan Qaulan Sadida –perkataan yang benar” (QS. An-Nisa:9)

Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, as-sadid yaitu perkataan yang bijaksana dan perkataan

yang benar.

Page 2: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Dalam beromunikasi (berbicara) harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran,

faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau memanipulasi

fakta.  “Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta” (QS. Al-Hajj:30). “Katakanlah kebenaran

walaupun pahit rasanya” (HR Ibnu Hibban).

Qaulan Baligha – Berdampak, Efektif

“Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka.

karena itu berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah

kepada mereka Qaulan Baligha –perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.“ (QS An-

Nissa :63).

Dalam Tafsir al-Maraghi diterangkan, Qoulan Balighan yaitu “perkataan yang bekasnya

hendak kamu tanamkan di dalam jiwa mereka”. 

Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya

menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung

ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele.

Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah

disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang

dimengerti oleh mereka.

“Berbicaralah kepada manusia sesuai dengan kadar akal (intelektualitas) mereka” (H.R.

Muslim).

”Tidak kami utus seorang rasul kecuali ia harus menjelaskan dengann bahasa

kaumnya” (QS.Ibrahim:4)

Qaulan Ma’rufa: Kata-Kata yang Baik

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta

(mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.

berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka

Qaulan Ma’rufa –kata-kata yang baik.” (QS An-Nissa :5)

Page 3: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

“Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim dan orang miskin, Maka

berilah mereka dari harta itu (sekadarnya) dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Ma’rufa

–perkataan yang baik” (QS An-Nissa :8).

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu

Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa

kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji

kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan (kepada mereka)

Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik…” (QS. Al-Baqarah:235).

“Qulan Ma’rufa –perkataan yang baik– dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang

diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Maha Kaya lagi

Maha Penyantun.” (QS. Al-Baqarah: 263).

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.

Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada

penyakit dalam hatinya] dan ucapkanlah Qaulan Ma’rufa –perkataan yang baik.” (QS. Al-

Ahzab: 32).

Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan

sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa

juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).

Dalam Tafsir Al-Qurtubi dijelaskan, Qaulan Ma’rufa yaitu melembutkan kata-kata dan

menepati janji. 

Qaulan Karima – Ucapan yang Mulia

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan

hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orangtuamu dengan sebaik-baiknya. Jika salah

seorang di antara keduanya atau kedua duanya sampai berumur lanjut dalam

pemeliharaanmu, seklai kali janganlah kamu mengatakan kepada kedanya perkatan ‘ah’ dan

kamu janganlah membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka Qaulan Karima –

ucapan yang mulia” (QS. Al-Isra: 23).

Page 4: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan

mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut

perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang

membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati mereka.

Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau

orang yang harus kita hormati. Qaulan Karima adalah "kata-kata yang hormat, sopan, lemah

lembut di hadapan mereka" (Ibnu Katsir).

Qulan Layina - Lemah-Lembut

“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan Qulan Layina –kata-kata yang lemah-

lembut…” (QS. Thaha: 44).

Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar,

dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati.Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan,

yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus terang atau

lugas, apalagi kasar.

Ayat di atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-

lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang

diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan

komunikasi kita.

Menurut Tafsir Al-Qurtubi, ayat ini merekomendasikan untuk memberi peringatan dan

melarang sesuatu yang munkar dengan cara yang simpatik melalui ungkapan atau kata-kata

yang baik dan hendaknya hal itu dilakukan dengan menggunakan perkataan yang lemah

lembut, lebih-lebih jika hal itu dilakukan terhadap penguasa atau orang-orang yang

berpangkat.

Qaulan Maysura – Mudah Dipahami

”Dan jika kamu berpaling dari mereka untuk memperoleh rahmat dari Tuhannya yang kamu

harapkan, maka katakanlah kepada mereka Qaulan Maysura –ucapan yang mudah” (QS.

Al-Isra: 28).

Qaulan Maysura (Maisuran) bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah

Page 5: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang

menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan.

Menurut Tafsir Ibnu Katsir,  Qaulan Maysura adalah ucapan-ucapan yang pantas, halus, dan

lembut. Menurut Tafsir Al-Azhar, ia adalah kata-kata yang menyenangkan. Karena kadang-

kadang kata-kata yang halus dan berbudi lagi membuat orang senang dan lega, lebih berharga

daripada uang berbilang. (Disusun dari berbagai sumber, www.risalahislam.com).*

Tafsir : qs at-tahrim ayat 6

Tafsir Ibnu Katsir

Mengenai firman Allah subhanahu wa ta’ala, “Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api

Neraka”, Mujahid (Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran

dari Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan

berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan Qatadah

mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat kepada Allah dan

mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau menjalankan perintah Allah

kepada mereka dan perintahkan mereka untuk menjalankannya, serta membantu mereka

dalam menjalankannya. Jika engkau melihat mereka berbuat maksiat kepada Allah,

peringatkan dan cegahlah mereka.”

Demikian itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana

mereka mengatakan : “Setiap muslim berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat

dan budaknya, berbagai hal berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada

mereka dan apa yang dilarang-Nya.”

Tafsir dari Departemen Agama Pemerintah Indonesia

Dalam ayat ini firman Allah ditujukan kepada orang-orang yang percaya kepada Allah dan

rasul-rasul-Nya, yaitu memerintahkan supaya mereka, menjaga dirinya dari api neraka yang

bahan bakarnya terdiri dari manusia dan batu, dengan taat dan patuh melaksanakan perintah

Allah, dan mengajarkan kepada keluarganya supaya taat dan patuh kepada perintah Allah

untuk menyelamatkan mereka dari api neraka.

Di antara cara menyelamatkan diri dari api neraka itu ialah mendirikan salat dan bersabar,

sebagaimana firman Allah SWT.

Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu

mengerjakannya (Q.S Taha: 132).

dan dijelaskan pula dengan firman-Nya:

Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat. (Q.S Asy Syu’ara’: 214).

Page 6: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Diriwayatkan bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami

sudah menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW.

menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan

perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu melakukannya.

Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu dijaga oleh malaikat yang

kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan belas malaikat, mereka dikuasakan

mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang

diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan

Allah.

________________________________________

Dari uraian diatas, dapat kita ambil poin-poin penting yang dapat kita jadikan pegangan

dalam membina diri sendiri dan orang lain :

1. Niat yang lurus, semata-mata demi meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala, melaksanakan

syari’ah islam dan melaksanakan da’wah.

• Sebagaimana hadits dari Umar, “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung pada niatnya.

Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan”

(Muttafaqun ‘alaih).

2. Proses pembinaan dimulai dari diri sendiri.

• Hal ini tersurat dengan jelas dalam At Tahrim yaitu “Peliharalah dirimu dan keluargamu

dari api neraka”. Disini dikatakan “peliharalah dirimu” terlebih dahulu baru setelah itu

dikatakan “keluargamu”.

• Sebagaimana apa yang dikatakan oleh Mujahid : ”Bertaqwalah kepada Allah dan

berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Disini Mujahid

mengatakan bahwa kita diharuskan bertaqwa kepada Allah terlebih dahulu, baru setelah itu

kita berpesan kepada keluarga kita untuk bertaqwa kepada Allah.

3. Bekal ‘ilmu adalah yang utama

• Sebagaimana yang dikatakan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, “Setiap muslim

berkewajiban mengajari keluarganya…”, dari kata “mengajari” jelas sekali tersirat bahwa

posisi setiap muslim yang “mengajari” haruslah berilmu, sehingga ia bisa menyempurnakan

kekurangan orang lain yang ia ajari.

• Dan dari hadits, ketika Umar bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallaam,

maka Rasulullah menjawab : “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang

mengerjakannya dan perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan

kepadamu melakukannya.” Dari ini dapat kita ambil pelajaran bahwa untuk melarang dan

Page 7: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

memerintahkan orang lain berdasarkan syariat, maka kita harus terlebih dahulu paham apa

saja larangan dan perintah itu. Dan hal ini adalah salah satu hal yang menguatkan pentingnya

menuntut ‘ilmu.

4. Taqwa adalah kunci dalam memelihara diri kita sendiri dan keluarga kita dari api neraka.

Dalam tafsir Ibnu Katsir dari surat Al Baqarah ayat 2, pada bagian “hudal lil muttaqiin”,

disini dijelaskan definisi taqwa sebagai berikut :

• Menurut suatu riwayat, Umar ibnul Khatthab r.a pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka’ab

tentang makna taqwa, maka Ubay ibnu Ka’ab balik bertanya, “Pernahkah engkau menempuh

jalan yang beronak duri?”. Umar menjawab, “Ya, pernah”. Ubay ibnu Ka’ab bertanya lagi,

“Kemudian apa yang kamu lakukan?”. Umar menjawab “Aku bertahan dan berusaha sekuat

tenaga untuk melampauinya.” Ubay ibnu Ka’ab berkata, “Itulah yang namanya taqwa.”

• Pengertian ini disimpulkan oleh Ibnul Mu’taz melalui bait-bait syairnya, yaitu :

“Lepaskanlah semua dosa, baik yang kecil maupun yang besar , itulah namanya taqwa.

Berlakulah seperti orang yang berjalan di atas jalan yang beronak duri, selalu waspada

menghindari duri-duri yang dilihatnya. Dan jangan sekali-kali meremehkan sesuatu yang

kecil (dosa kecil), sesungguhnya bukit itu terdiri atas batu-batu kerikil yang kecil-kecil.”

5. Proses pembinaan selanjutnya dimulai dari orang-orang dekat, dimulai dari keluarga

sampai teman-teman dekat.

• Berdasarkan ayat Al Qur’an : “Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang

terdekat. “(Q.S Asy Syu’ara’: 214)

• Berdasarkan perkataan Mujahid : “dan berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa

kepada Allah.”

• Berdasarkan perkataan Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan : “Setiap muslim

berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya.”

6. Kesabaran memegang peranan penting.

• Berdasarkan tafsir DEPAG yang menyebutkan ayat berikut : “Dan perintahkanlah kepada

keluargamu mendirikan salat dan bersabarlah kamu mengerjakannya” (Q.S Taha: 132).

• Pembinaan seperti ini adalah amal shalih, dan setiap amal shalih adalah perwujudan dari

iman. Hal ini dapat kita simpulkan berdasarkan kesimpulan dari syaikh Al Utsaimin bahwa

iman adalah : “Ikrar dengan hati, pengucapan dengan lisan, pengamalan dengan anggota

badan.” Dan hal yang tak bisa lepas dari keimanan adalah kesabaran (keimanan adalah

kesabaran), hal ini sebagaimana tak bisa lepasnya haji dari wukuf (haji adalah wukuf di

arafah).

Wallahu a’lam.

Page 8: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Objek Pendidikan Perspektif Al-Qur’an

Published by mifdlol on January 26, 2013 | Leave a response

Oleh: Ahmad Mifdlol Muthohar

(Ditulis pada tahun 2012)

 

Pendahuluan

Al-Qur’an adalah kitab pedoman seluruh umat Islam di dunia. Al-Qur’an menyajikan semua

hal yang terkait dengan kehidupan umat Islam, walaupun sebagiannya hanya bersifat global.

Semua tema yang disajikan oleh Al-Qur’an tentu dalam rangka untuk menunjukkan jalan

yang lurus, agar manusia tidak tersesat. Dengan demikian Al-Qur’an sesungguhnya

merupakan kitab pendidikan yang bersumber dari Sang Pencipta manusia.

Oleh karena Al-Qur’an merupankan kitab pendidikan, maka tidak mengherankan jika banyak

tema pendidikan yang disinggung oleh Al-Qur’an, salah satunya adalah tentang objek

pendidikan.

Objek pendidikan dalam Al-Qur’an setidak-tidaknya dapat dilihat dalam beberapa ayat

sebagai berikut: Surat An-Nisa’: 170, surat At-Tahrim: 6, surat Asy-Syu’ara’: 214-216 dan

surat Nuh: 1-4.

 

Surat An-Nisa’: 170

في ما ه لل فإن تكفروا وإن لكم خيرا فآمنوا كم رب من بالحق سول الر جاءكم قد اس الن ها أي يا

: النساء ( حكيما عليما ه الل وكان واألرض ماوات )170الس

Artinya:

“Wahai manusia, sesungguhnya telah datang Rasul (Muhammad) itu kepadamu dengan

(membawa) kebenaran dari Tuhan (Pembimbing dan Pemelihara) kamu, maka berimanlah

kamu, itulah yang lebih baik bagimu. dan jika kamu kafir, (maka kekafiran itu tidak

merugikan Allah sedikitpun), karena sesungguhnya apa yang di langit dan di bumi itu adalah

kepunyaan Allah dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa’:

170)

Setelah Allah s.w.t. mengkritik ahlul kitab -Yahudi dan Nashrani- dan membantah tuduhan-

tuduhan mereka dalam ayat-ayat sebelumnya, maka dalam ayat 170 ini Allah s.w.t.

menasehati seluruh umat manusia dan memerintahkan mereka agar beriman, karena argument

yang ada telah jelas. Tidak ada alasan lagi untuk berpaling darinya. Sebagaimana diketahui,

bahwa kaum yahudi dahulu kala senantiasa menunggu-nunggu datangnya al-masih (Isa) dan

seorang Nabi, yaitu Nabi Muhammad s.a.w. Bahkan mereka mengirimkan para pendeta dan

Page 9: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

ahli imu merka untuk bertanya pada Nabi Yahya a.s., apakah ia merupakan al-masih yang

disebut dalam Taurat, ataukah Nabi akhir zaman. Namun Yahya menjawab “tidak”. Dengan

turunnya ayat di atas, sesungguhnya pertanyaan-pertanyaan kaum Yahudi telah terjawab,

bahwa yang mereka nantikan selama ini sebagaimana disebutkan dalam Taurat dan Injil,

adalah Nabi Muhammad s.a.w. yang telah hadir di hadapan mereka. Oleh karenanya,

seharusnya mereka beriman padanya, karena iman itulah yang akan menyucikan mereka dari

segala kotoran dan najis, dan keimanan itulah yang akan membawa mereka kepada

kebahagiaan abadi.[1]

Walaupun ayat di atas sebab turunnya adalah terkait dengan kaum Yahudi, namun bahasa

yang digunakan oleh Allah s.w.t. adalah bahasa yang bersifat umum, yaitu “Ya-ayyuhan-

nasu” yang artinya “wahai sekalian manusia’. Para ulama menyebutkan bahwa kasus seperti

ini sering terjadi, dan kemudian mereka mengambil suatu kaedah sebagai berikut:

بب الس بخصوص ال فظ الل بعموم العبرةArtinya:2b10be20

“Standar/kriteria (sesuatu) itu adalah umumnya lafadz (bahasa), bukan khususnya sebab.”

 

Sebagaimana diketahui, memang ayat tersebut untuk kaum Yahudi secara asbabun-nuzulnya

(sebab turunnya ayat), namun yang menjadi pathokan adalah bahasa yang digunakan Allah

s.w.t. yang bersifat umum, yaitu “wahai sekalian manusia”.

Menurut Quraish Shihab, kehadiran Rasul s.a.w. yang dinyatakan dengan kata-kata, “datang

kepada kamu” dan juga pernyataan bahwa yang beliau bawa adalah tuntunan dari “Tuhan

(Pembimbing dan Pemelihara) kamu”, itu dimaksudkan sebagai rangsangan kepada mitra

bicara (kamu) agar menerima siapa yang datang dan menerima apa yang dibawanya.

Karenanya, wajib bagi yang didatangi untuk menyambutnya dengan gembira.[2]

Dengan demikian, sesungguhnya ayat ini berkaitan dengan objek pendidikan secara global,

yaitu seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Artinya menjadi kewajiban setiap muslim

untuk memiliki misi mendidik seluruh umat manusia. Hal ini sesuai dengan pernyataan Allah

dalam surat Ali Imran: 110, bahwasanya umat Islam adalah khaira ummah atau umat yang

terbaik.

 

Surat At-Tahrim: 6

ال شداد غالظ مالئكة عليها والحجارة اس الن وقودها نارا وأهليكم أنفسكم قوا آمنوا ذين ال ها أي يا

: التحريم ( يؤمرون ما ويفعلون أمرهم ما ه الل )6يعصون

Artinya:

Page 10: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang

bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras,

dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan

selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim: 6)

 

Dalam ayat tersebut jelaslah bahwa umat Islam diperintahkan agar sebagian dari mereka

memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dan menjauhkan

mereka dari apa neraka. Al-Maraghi menjelaskan bahwa proses penjagaan tersebut melalui

nasehat dan pengajaran. Hal ini senada dengan yang terdapat dalam surat Thaha: 132 berikut

ini:[3]

“Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah kamu

dalam mengajarkannya.” (QS. Thaha: 132)

 

Kemudian ada riwayat dari Umar yang semakin memperjelas ayat di atas. Ketika turun ayat

tersebut, Umar berkata, “Wahai Rasulullah, kita dapat menjaga diri kita sendiri, tetapi

bagaimana kita menjaga keluarga kita?” lalu Rasulullah menjawab, “Kamu larang mereka

mengerjakan apa yang dilarang Allah untukmu dan kamu perintahkan mereka, apa yang

diperintahkan Allah kepadamu. Itulah penjagaan antara diri mereka dengan neraka.

Al-Maraghi juga menjelaskan tentang riwayat dari Ali bin Abi thalib tentang ayat tersebut.

Kata Ali, “Ajarilah dirimu dan keluargamu tentang kebaikan dan didiklah mereka.”

Sedangkan keluarga di sini maksudnya adalah isteri, anak dan hamba sahaya.[4]

Di dalam ayat ini, menurut Al-Maraghi ada isyarat kewajiban seorang suami mempelajari

fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan kemudian mengajarkannya kepada

mereka.[5] Karenanya, Adh-Dhahhak dan Muqatil secara terang-terangan mengatakan,

sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, bahwa wajib bagi seorang muslim untuk mengajarkan

kewajiban-kewajiban yang diperintahkan Allah dan larangan-larangan yang dicegah Allah,

kepada keluarganya, yang meliputi kerabat dan hamba sahaya.[6]

Jadi dalam surat At-tahrim: 6 ini, objek pendidikan tidak lagi disebutkan oleh Allah s.w.t.

secara global sebagaimana yang terdapat dalam surat An-Nisa’ sebelumnya. Objek

pendidikan dalam ayat ini lebih spesifik lagi, yaitu keluarga, dan keluarga itu adalah anak,

isteri dan hamba sahaya.

 

Surat Asy-Syu’ara’: 214-216

Page 11: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

. . بريء ي إن فقل عصوك فإن المؤمنين من بعك ات لمن جناحك واخفض األقربين عشيرتك وأنذر

: الشعراء ( تعملون )216-214مما

Artinya:

“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.  Dan rendahkanlah dirimu

terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. Jika mereka

mendurhakaimu maka Katakanlah, ‘Sesungguhnya Aku tidak bertanggung jawab terhadap

apa yang kamu kerjakan’” (QS. Asy-Syu’ara’: 214-216)

 

Dalam ayat ini, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Muhammad s.a.w. untuk member

peringatan kepada kaum kerabantnya yang terdekat dan agar bergaul dengan orang-orang

mukmin dengan lemah lembut. Imam Bukhari  dan Imam Muslim menyebutkan riwayat dari

Ibnu Abbas r.a.,[7] bahwa ketika Allah menurunkan ayat di atas, Nabi s.a.w. naik ke bukit

Shafa lalu berseru, “Wahai orang-orang, sudah pagi.” Lalu orang-orang berkumpul

kepadanya, ada yang datang sendiri dan ada yang mengutus utusannya. Kemudian Rasulullah

s.a.w. berpidato, “Wahai Bani Abdul Muththalib, wahai Bani Fihr, wahai Bani Lu’ay, apa

pendapat kalian jika aku memberitahu kalian bahwa di kaki bukit ini ada seekor kuda yang

hendak menyerang kalian, apakah kalian mempercayai aku?” Mereka menjawab, “Ya, kami

mempercayai anda.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku memperingatkan kalian akan azab

yang sangat keras.” Abu Lahab berkata, “Celakalah kamu untuk selama-lamanya! Apakah

hanya untuk ini kamu memanggil kami?” Maka Allah ta’ala menurunkan surat Al-Lahab, di

antaranya sebagai berikut:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab, dan sesungguhnya dia akan binasa.” (Al-Lahab: 1)

Menurut Al-Maraghi, pemberian peringatan dalam surat Asy-Syu’ara’: 214 di atas, sifatnya

adalah pemberian peringatan secara khusus, dan ini merupakan bagian dari peringatan yang

bersifat umum, yang untuk itulah Rasulullah s.a.w. diutus. Sebagaimana firman Allah s.w.t.:

[8]

“Dan agar kamu member peringatan kepada (penduduk) Ummul qura (Makkah) dan orang-

orang yang berada di lingkungannya.” (QS. Al-An’am: 92)

Al-Maraghi juga menambahkan, bahwa kedekatan nasab atau keturunan tidak memberi

manfaat sama sekali seandainya jalan keimanan yang ditempuh berbeda. Dalam kisah ayat di

atas terdapat dalil pembolehan interaksi antara mukmin dan kafir, serta memberinya petunjuk

dan nasehat.[9]

Lalu dua ayat selanjutnya -ayat 215 dan 216- menerangkan tentang perintah agar rasulullah

s.a.w. bersikap lemah lembut terhadap pengikutnya, karena itulah yang lebih tepat buat Nabi,

Page 12: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

lebih menarik hati pengikutnya, membuat kecintaan mereka pada Nabi, serta lebih

mendatangkan pertolongan dan keikhlasan mereka dalam berjuang bersama Nabi s.a.w..

Namun demikian, seandainya kaum keluarga yang diberi peringatan oleh Rasulullah s.a.w.

itu mendurhakai Rasul s.a.w., maka hal itu tidak akan mendatangkan kemudharatan

sedikitpun pada Rasul. Rasul juga tidak berdosa karena apa yang mereka lakukan. Seolah-

olah Allah s.w.t. mengatakan pada Nabi-Nya, Katakanlah kepada mereka, sesungguhnya aku

berlepas diri dari kalian dan dari perbuatan kalian menyeru tuhan yang lain bersama Allah

ta’ala. Sesungguhnya kalian akan mendapat balasan atas dosa kalian pada hari di mana harta

dan anak lelaki tidak berguna, kecuali orang yang dating kepada Allah dengan hati yang

bersih dari segala dosa.[10]

 

Surat Nuh: 1-4

. نذير لكم ي إن قوم يا قال أليم عذاب يأتيهم أن قبل من قومك أنذر أن قومه إلى نوحا أرسلنا ا إن

. أجل. إن مسمى أجل إلى ويؤخركم ذنوبكم من لكم يغفر وأطيعون قوه وات ه الل اعبدوا أن مبين

: نوح ( تعلمون كنتم لو ر يؤخ ال جاء إذا ه )4- 1الل

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya (dengan memerintahkan),

‘Berilah kaummu peringatan sebelum datang kepadanya azab yang pedih’. Nuh berkata:

‘Hai kaumku, Sesungguhnya Aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada

kamu. (Yaitu) sembahlah olehmu Allah, bertakwalah kepada-Nya dan taatlah kepadaku.

Niscaya Allah akan mengampuni sebagian dosa-dosamu dan menangguhkan kamu

(memanjangkan umurmu) sampai kepada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan

Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan, kalau kamu Mengetahui’.” (QS. Nuh:

1-4)

Dalam rangkaian ayat di atas, Allah memberitahukan bahwa Dia pernah mengutus Nuh

kepada kaumnya dan memerintahkan kepadanya agar dia memperingatkan kepada mereka

mengenai azab Allah yang akan menimpa mereka itu. Kata Nuh kepada kaumnya, “Wahai

kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan kepadamu. Kamu haruslah

menyembah Allah dan mentaati-Nya. Jika kamu lakukan yang demikian, tentu Allah akan

mengampuni dosa-dosamu, memanjangkan umurmu dan melepaskan darimu siksa-Nya.

Siksa Allah itu bila datang tidak dapat ditolak dan dihindarkan, karena Dialah Yang Maha

Agung lagi Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Maha Mulia yang tunduk kepada

kemuliaan-Nya seluruh makhluk.[11]

Page 13: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Menurut Al-Maraghi, para ulama menyimpulkan bahwa ketaatan, kebaktian dan silaturrahim

itu benar-benar dapat memanjangkan umur. Hal itu dikarenakan ketakwaan dan ketaatan itu

menyebabkan kesucian ruh dan kebersihan raga, sehingga pada akhirnya dapat

memanjangkan umur. Dengan demikian, keamanan dapat terjamin, keutamaan tercapai dan

keuntungan materi terwujud.[12]

Kata-kata dalam ayat keempat surat Nuh di atas tidaklah saling bertentangan. Walaupun

Allah mengatakan akan menangguhkan umur (memanjangkan umur) jika mereka beriman,

tapi hal itu tidak bertentangan dengan kalimat setelahnya bahwa apabila ajal telah datang,

maka tidak dapat ditangguhkan. Penjelasannya adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Az-

Zamakhsyari, bahwa Allah s.w.t. misalnya menntukan batas usia normal kaum Nuh jika

mereka beriman itu adalah 1000 tahun. Akan tetapi jika mereka tetap kafir, maka umurnya

hanya sampai permulaan 900 tahun. Oleh karenanya Allah memerintahkan mereka agar

beriman, sehingga mereka tetap ditangguhkan usianya hingga usia normal terpanjang, yaitu

1000 tahun tadi.[13]

Dalam surat Nuh di atas, Allah s.w.t. memerintahkan Nabi Nuh untuk memberikan pelajaran

keimanan dan mendidik kaumnya agar mereka tidak dihukum oleh Allah s.w.t. Oleh

karenanya, objek pendidikan dalam surat ini adalah sebuah kaum atau sebuah bangsa, yang

dalam hal ini diwakili oleh bangsa Nabi Nuh a.s..

Penutup

Dengan demikian, dari empat rangkaian ayat yang disebutkan di atas, dapat disimpulkan

bahwasanya ketika Allah s.w.t. berbicara tentang objek pendidikan, maka objek pendidikan

itu sesungguhnya meliputi seluruh umat manusia. Kemudian Allah s.w.t. menguraikan satu

per satu objek pendidikan yang harus dilakukan, khususnya oleh umat Islam yang mentaati-

Nya. Pada urutan pertama, mereka adalah keluarga kita sendiri, yakni isteri, anak dan hamba

sahaya, walaupun untuk saat ini sudah tidak ada lagi hamba sahaya. Kemudian urutan kedua

adalah kaum kerabat atau famili kita, yang meliputi orang-orang yang secara hubungan darah

masih dekat dengan kita, selain isteri dan anak. Dan urutan terakhir dari objek pendidikan

adalah bangsa kita, yang membersamai kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Jika mereka semua mampu kita didik sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah

s.w.t., maka Allah s.w.t. akan memanjangkan usia kita dan memberikan banyak keberkahan

buat kita.

 

Daftar Pustaka

Page 14: 6 Cara Berkomunikasi Yang Baik Menurut Al

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Kairo,  Syirkah Maktabah wa Mathba’ah

Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966.

 

Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad (w. 538 H), Al-

Kasysyaf ‘an Haqaiqi Ghawaamidhi at-Tanziil wa ‘Uyuuni al-Aqaawiil fi Wujuuhi at-

Ta’wiil, Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995, cet. I.

 

Ibnu Katsir, Imam, Tafsir al-Qur’aani al-‘Adziimi, Beirut, Dar al-Fikr, 1992.

 

Shihab, M. Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta, Lentera Hati, 2001, cet. I.

[1]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi (Kairo:  Syirkah Maktabah wa

Mathba’ah Mushthafa Al-Baby Al-Halaby wa Auladuhu bi Mishra, 1966), juz 6, hlm. 26-27.

[2]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati, 2001), cet. I, vol. 2, hlm.

644.

 

[3]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir …, juz 29, hlm. 162.

[4]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm. 162.

[5]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm. 162.

[6]Imam Ibnu Katsir Al-Qurasyi ad-Dimasyqi, Tafsir al-Qur’aani al-‘Adziimi (Beirut: Dar al-

Fikr, 1992), vol. 4, hlm. 470.

[7]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 109.

[8]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 110.

[9]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 111.

[10]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 19, hlm. 111.

[11]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm 78.

[12]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir…, juz 29, hlm 80.

[13]Az-Zamakhsyari, Abu al-Qasim Jarullah Mahmud bin Umar bin Muhammad (w. 538 H),

Al-Kasysyaf ‘an Haqaiqi Ghawaamidhi at-Tanziil wa ‘Uyuuni al-Aqaawiil fi Wujuuhi at-

Ta’wiil (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1995), cet. I, vol. 4 , hlm. 603

https://archive.org/details/4.25TafsirAlMishbahMetroTV1429HSuratAnNisaaAyat1