5_bab 2_kajian teoritis.docx

108
[Penyiapan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Lampung Selatan] Penyiapan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Lampung Selatan 2.1. Kajian kebijakan terkait Pengembangan Kawasan Perdesaan 2.1.1. Pentingnya Pengakuan dan Pemulihan Otonomi Desa dalam Revisi UU 32/2004 Pemerintahan desa diatur dengan UU No.5/1979. Kebijakan ini melihat desa sebagai wilayah administrative, desa tidak diakui sebagai kesatuan ‘masyarakat hukum’. Dampaknya governance system (sistem pengelolaan hidup bersama) yang sudah hidup bertahun-tahun seiring dengan lahirnya sebuah desa, di mana di dalamnya tercakup government system (sistem pemerintahan), Laporan Pendahuluan|2-1 KAJIAN TEORITIS 2

Upload: oke-taro

Post on 17-Dec-2015

15 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Bab A

2

KAJIAN TEORITIS

Penyiapan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Lampung Selatan

2.1. Kajian kebijakan terkait Pengembangan Kawasan Perdesaan2.1.1. Pentingnya Pengakuan dan Pemulihan Otonomi Desa dalam Revisi UU 32/2004Pemerintahan desa diatur dengan UU No.5/1979. Kebijakan ini melihat desa sebagai wilayah administrative, desa tidak diakui sebagai kesatuan masyarakat hukum. Dampaknya governance system (sistem pengelolaan hidup bersama) yang sudah hidup bertahun-tahun seiring dengan lahirnya sebuah desa, di mana di dalamnya tercakup government system (sistem pemerintahan), digantikan oleh sistem Pemerintahan Desa baru yang tidak dimengerti oleh komunitas setempat. Dalam UU No.32/2004, khususnya Bab XI tentang pemerintahan desa masih menampilkan Negara sebagai regulator penting atas kehidupan social politik di desa.

Berlakunya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang antara lain mencakup perubahan fungsi BPD dari badan perwakilan desa menjadi badan permusyawaratan desa membuat demokrasi di desa kembali tersumbat. Dengan itu,pemerintahan desa dikhawatirkan akan kembali menjadi sekedar kepanjangan tangan dari birokrasi pemerintah tingkat di atasnya.

Sejak berakhirnya pemerintahan Orde Baru dan dimulainya era Reformasi di Indonesia, muncul harapan baru akan hidupnya iklim demokrasi di tingkat desa dengan terbitnya UU No 22 Tahun 1999. UU tersebut menghidupkan adanya parlemen desa, yakni badan perwakilan desa (BPD) yang diharapkan bisa berfungsi sebagai kontrol terhadap kepala desa. Namun harapan tersebut tidak bertahan lama.

2.1.2. Pengaturan tentang Desa dalam UU No. 32/2004Landasan pemikiran dalam pengaturan tentang desa yang diatur dengan UU No. 32/2005 sesungguhnya masih tetap mempertahankan pokok-pokok pikiran yang termaktub dalam UU No. 22/1999, yaitu keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi, dan pemberdayaan masyarakat. Landasan tampak kontras dibanding UU No. 5/1979 yang menyatakan secara tegas untuk mengarahkan pada penyeragaman bentuk dan susunan pemerintahan desa dengan corak nasional. UU No. 5/1979 bermaksud memperkuat pemerintah desa agar makin mampu menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang makin meluas dan efektif. UU No. 5/1979 menunjuk warisan pengaturan kolonial yang tidak mengatur pemerintahan desa secara seragam dan dinilai kurang memberi dorongan kepada masyarakat untuk tumbuh ke arah kemajuan yang dinamis sebagai kendala. Akibat pengaturan kolonial tersebut bentuk dan corak pemerintahan desa masih beraneka ragam. Masing-masing daerah memiliki ciri-ciri tersendiri yang dinilai sebagai penghambatan untuk pembinaan dan pengendalian yang intensif guna peningkatan taraf hidup masyarakatnya.

UU No. 5/1979 juga menyatakan, meskipun desa diberi hak untuk menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, tetapi hak ini bukanlah hak otonomi. UU No. 5/1979 lebih merupakan instrumen sentralisasi, penyeragaman, dan pengendalian atas kehidupan masyarakat desa. Kemajuan desa haruslah digerakkan dan dikendalikan dari luar atau atas, dalam hal ini oleh pemerintah pusat, dengan target yang ditentukan, dan diselenggarakan melalui proses top-down dan sentralistis sementara Pemerintahan Desa cenderung diposisikan semata-mata sebagai instrumen program-program pemerintah pusat.

Sejak tahun 1999, dengan semangat reformasi demokratisasi dan otonomi daerah, otonomi asli desa (atau sebutan lain yang dikenal dan berakar dalam masyarakat) hendak dihidupkan kembali sejauh tidak menghambat kemajuan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal, seperti hak asasi manusia. Dalam pemilihan kepala desa, misalnya, selain menegaskan bahwa kepala daerah dipilih secara langsung, UU No. 32/2004 pasal 203 ayat (3) menyatakan, Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Hal lain tentang masa jabatan kepala desa, meskipun undang-undang menentukan masa jabatan kepala desa adalah enam tahun, penjelasan pasal 204 menyatakan bahwa masa jabatan kepala desa dalam ketentuan ini dapat dikecualikan bagi kesatuan masyarakat hukum adat yang keberadaannya masih hidup dan diakui serta ditetapkan dengan Perda. Dengan demikian sejak keruntuhan Orde Baru kita menganut paradigma pluralisme legal, sekurang-kurangnya dalam pengaturan pemerintahan daerah dan desa. Dengan paradigma ini sumber tertib hukum (sosial) tidaklah dimonopoli oleh negara. Hukum negara bukan satu-satunya sumber ketertiban yang sah, apalagi sarana rekayasa sosial yang efektif, sebagaimana lazimnya dianut dalam paradigma legalisme liberal. Dalam paradigma pluralisme legal masyarakat diandaikan juga mampu memproduksi ketertiban hukum (sosial)-nya sendiri. Maka, antarlingkaran-lingkaran tertib hukum (sosial) itu harus saling berinteraksi, bernegosiasi, dan saling mengakomodasi.

2.1.3. Perspektif Pembangunan Perdesaan Dalam Pembangunan NasionalDalam kebijakan jangka panjang nasional RI sebagaimana yang tercantum di Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN), terdapat tahapan dan arah kebijakan RPJPN 2005-2025 (UU No 17 Tahun 2005) yang menjelaskan mengenai pembangunan perdesaan, sebagai berikut:

Gambar 2.1. Tahapan dan arah kebijakan RPJPN 2005-2025 (UU No 17 Tahun 2005) mengenai pembangunan perdesaan.

Arah pembangunan perdesaan dijelaskan kembali di dalam RPJMN Tahun 2010-2014 (PERPRES No 5 Tahun 2010) sekaligus focus prioritas pembangun perdesaan yang diantaranya:1. Menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola kepemerintahan desa yang baik;2. Meningkatkan kualitas dasar sumber daya manusia perdesaan;3. Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan;4. Meningkatkan ekonomi perdesaan;5. Meningkatkan kualitas dan ketersediaan sarana dan prasarana;6. Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan; dan7. Meningkatkan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, berwawasan mitigasi bencana.

Berdasarkan RPJMN 2010-2014 terdapat pula beberapa aspek kebijakan yang berhubungan dengan kawasan perdesaan seperti Prinsip Pembangunan Perdesaan, Fokus dan Tahapan Pembangunan Perdesaan, Sasaran Pembangunan Perdesaan, Fokus Prioritas Pembangunan Perdesaan, dan Revitalisasi Pembangunan Perdesaan.

Prinsip Pembangunan Perdesaan diantaranya adalah:

Gambar 2.2. Aspek kebijakan RPJMN 2010-2014 yang berhubungan dengan kawasan perdesaan

Fokus dan tahapan pembangunan perdesaan, terbagi ke dalam:

Gambar 2.3. Fokus dan tahapan pembangunan perdesaan dalam RPJMN 2010-2014

Sasaran Pembangunan Perdesaan Dalam RPJMN Tahun 2010-2014 (PERPRES No 5 Tahun 2010) ada 5 butir, yaitu:

Gambar 2.4. Sasaran Pembangunan Perdesaan Dalam RPJMN Tahun 2010-2014Adapun arahan kebijakan dan strategi pembangunan perdesaan Tahun Anggaran 2013 yang kemudian diwujudkan dalam beberapa strategi, yaitu :

Gambar 2.5. Revitalisasi Pembangunan Perdesaan dan Pendekatan Pembangunan Perdesaan

2.1.4. Arahan Pengembangan Kawasan Perdesaan Dalam Perspektif Penataan RuangUndang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan jelas menyebutkan bahwa perhatian pada kawasan perdesaan tidak kalah penting dibandingkan perhatian pembangunan pada kawasan perkotaan. Kawasan perdesaan yang dimaksud dalam Undang-undang ini adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi.

Dalam undang-undang juga sudah jelas bahwa salah satu tujuan dari penataan ruang adalah aspek keberlanjutan (tujuan penataan ruang: terwujudnya ruang wilayah nusantara yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan) begitu juga dalam PP No. 15 tahun 2010 tentang Penataan Ruang.

Dalam UU No. 26 Tahun 2007 penataan ruang kawasan perdesaan diarahkan untuk:1. Pemberdayaan masyarakat perdesaan;2. Pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya;3. Konservasi sumber daya alam;4. Pelestarian warisan budaya lokal;5. Pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan6. Penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan

2.1.5. Kedudukan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) Dalam Pembangunan NasionalMengacu pada kebijakan dan landasan hukum yang berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan maka dibutuhkan suatu konsep pengembangan kawasan perdesaan yang merupakan amanat untuk Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum. Amanat Kebijakan tersebut yang sedang diupayakan untuk dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian-PU dengan menciptakan program perkuatan kawasan perdesaan pada konsep dan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Program tersebut di konsepkan sebagai Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) yang berkomplemen, terintegrasi dan saling menguatkan dengan konsep pembangunan kawasan perdesaan yang sudah dijalankan sebelumnya.

Berdasarkan kebijakan pembangunan perdesaan dan landasan hukum baik yang terkait pengembangan perdesaan maupun tentang penataan ruang , maka kedudukan P2KPB adalah sebagai berikut:

Rencana Aksi

Gambar 2.6. Kedudukan Program Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) Dalam Pembangunan Nasional

2.2. Profil Program P2KPB2.2.1. PendahuluanProgram-program pengentasan kemiskinan diturunkan ke desa, baik berupa pembangunan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, maupun kewirausahaan. Namun, belum mampu untuk mengurangi angka kemiskinan secara signifikan. Karena program tersebut tak fokus dan tidak berkelanjutan. Program yang berjumlah sekitar 48 proyek, tidak mampu menahan keinginan masyarakat untuk tinggal di perkotaan. Menurut Bappenas, jumlah penduduk perkotaan mencapai 50 persen tahun 2012, dan jumlah ini akan menjadi 68 persen pada 2025. Untuk membantu pengembangan pedesaan, Direktorat Jenderal Penataan Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) tahun ini mem-fokuskan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB).

Tujuan program ini untuk mewujudkan ruang kawasan perdesaan berkelanjutan melalui perbaikan ekonomi, peningkatan kualitas lingkungan hidup dan pengembangan modal sosial. Langkah itu dengan mendorong inisiatif pemerintah kabupaten ber-sama masyarakat dan swasta yang didukung pemerintah pusat dan provinsi berbasis Rencanan Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) kabupaten. Program ini ditargetkan membuat desa menarik dan dapat mem-pertahankan situsi desanya. P2KPB juga dilakukan mengacu pada tingginya perpindahan penduduk pedesaan ke kota, hilangnya lah-an pertanian, dan masih belum memadainya kemajuan di pedesaan.

Desa berkelanjutan dianggap sebagai solusi dari masih adanya ketimpangan pembangunan anta-ra kota dengan desa yang akhirnya juga berdampak pada kesenjangan kesejahteraan. Kondisi ini bisa memicu tingkat urbansasi yang tinggi. Sehingga bukan saja menimbulkan tingkat penganguran tinggi di kota, tetapi juga kehilangan atau penurunan produksi hasil pertanian. P2K-PB diharapkan membuat situasi desa seperti lahan pertanian dan kawasan lindung tidak mengalami perubahan, namun penduduknya tambah sejahtera.

Dalam program ini, ada tiga sasaran pokok P2KPB yakni bidang ekonomi, sosial budaya dan ling-kungan hidup. Untuk menjadikan kabupaten sebagai proyek P2K-PB, kabupaten harus mempun-yai RTRW. Selain itu, peraturan daerahnya juga dibuat sehingga semua program P2KPB dapat ber-jalan dengan baik. Tahap berikutnya, P2KPB akan lebih diperluas cakupan wilayahnya (kota/kabupaten) berikut programnya dengan melibatkan sektor-sektor yang terkait. Tahun 2012 tahap P2KPB menyusun konsep dan perencanaan P2KPB di tingkat pusat. Dilanjutkan tahun 2013 menyusun ren-cana aksi, termasuk di dalamnya pembentukan kelembagaan P2K-PB. Kemudian tahun 2014 dan 2015 adalah implementasi program P2KPB. Konversi lahan kini makin mengkhawatirkan, sebab tiap tahun konversi lahan mencapai 100.000 hektar. Banyak lahan pertanian (sawah) berubah menjadi non-sawah. desa berkelanjutan sebagai solusi mengatasi ketimpan-gan pembangunan antara kota dan desa (urban bias). Ketimpangan pembangunan antar desa dan kota menghasilkan ketimpangan kesejahteraan. Kondisi ini menimbulkan terjadinya urbanisasi.

Dalam kurun waktu 20 tahun, penduduk kota bertambah hampir 50 persen. Sebaliknya, setengah penduduk pedesaan saat ini berubah menjadi penduduk perkotaan. Tahun 2005 tercatat penduduk perkotaan sebesar 47,9 persen, sementara tahun 2025 diprediksi. penduduk perkotaan akan meningkat menjadi 68 persen. Sedangkan jumlah desa di In-donesia terus bertambah. Tahun 2005 sebanyak 62.570 desa, tahun 2008 sebanyak 67.477 desa, dan tahun 2011 bertambah jadi 68.878 desa. Tercatat Kawasan Strategis Perdesaan (KSK) ada 47 persen dan 53 persen KSK non-perdesaan. Jumlah migrasi dari desa ke kota mencapai 100 persen. Karena Karena kondisi desa yang tidak tertata dengan baik, potensi pokok pertaniannya cenderung menyusut. Dengan demikian, masyarakat nyaris meninggalkan desanya menuju perkotaan.

Gambar 2.7. Diagram Alir Penyusunan Grand Design P2KJPB

2.2.2. Konsep P2KPBProgram Pembangunan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) mengacu kepada arahan penataan ruang kawasan perdesaan di UU No 26 Tahun 2007 yang meliputi pemberdayaan masyarakat perdesaan; pertahanan kualitas lingkungan setempat dan wilayah yang didukungnya; konservasi sumber daya alam; pelestarian warisan budaya lokal; pertahanan kawasan lahan abadi pertanian pangan untuk ketahanan pangan; dan penjagaan keseimbangan pembangunan perdesaan-perkotaan. P2KPB dilaksanakan sesuai dengan arah kebijakan pembangunan perdesaan seperti yang tertuang di RPJMN Tahun 2010-2014 yang terdiri dari memperkuat kemandirian desa, meningkatkan ketahanan desa, dan meningkatkan daya tarik perdesaan. Dengan adanya aspek berkelanjutan yang melekat, mengharuskan pembangunan kawasan perdesaan memperhatikan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan secara bersamaan.

Gambar 2.8. Kawasan Perdesaan Masa Depan

Pengembangan kawasan perdesaan yang akan dilaksanakan dalam P2KPBmenjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten dan sebagai sistem pengembangan wilayah dimana pengembangan kawasan perdesaan harus terkait dengan pengembangan kawasan perkotaan (rural urban linkage). Dalam konteks pengembangan rural urban linkage maka pengembangan kawasan perdesaan harus dipandang sebagai lumbung pangan dan sumber energi bagi kawasan perkotaan (food and energy supply). Pengembangan kawasan perdesaan yang berkelanjutan diselenggarakan dengan pendekatan partisipatif dan pada implementasinya harus disesuaikan dengan tipologi kawasan perdesaan yang dituju. Sebagai panduan dalam penyelenggaraan P2KPB, terdapat 8 atribut pengembangan kawasan perdesaan. Terdapat penahapan fokus pelaksanaan atribut yang diselaraskan dengan fokus prioritas pembangunan perdesaan menurut RPJMN yang terdiri dari: 1)Menguatkan kapasitas dan peran desa dan tata kelola pemerintahan desa yang baik, 2)Meningkatkan kualitas dasar sumber daya manusia perdesaan, 3) Meningkatkan keberdayaan masyarakat perdesaan, 4)Meningkatkan ekonomi perdesaan, 5) Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana, 6)Meningkatkan ketahanan pangan masyarakat perdesaan, 7) Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang seimbang, berkelanjutan, dan berwawasan mitigasi bencana. Adapun atribut P2KPB adalah sebagai berikut:

Di awal penyelenggaraan P2KPB, yaitu dari tahun 2012 2016, atribut yang difokuskan adalah:

Diharapkan dengan adanya penahapan fokus atribut pengembangan kawasan perdesaan akan terjadi kesinambungan pembangunan. P2KPB turut serta mengedepankan revitalisasi pembangunan perdesaan seperti: Kegiatan pembangunan perdesaan di dalam kerangka wilayah bukan sektoral; kegiatan ekonomi dan pembangunan diarahkan untuk memaksimumkan manfaat bagi daerah lokal, pembangunan pemusatan perhatian terhadap pengembangan kapasitas; pembangunan ekologis, dan sosial kultural; partisipasi masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan, sehingga dengan langkah-langkah tersebut pelayanan dasar masyarakat dan wilayah perdesaan yang berkualitas dapat terpenuhi dan kawasan perdesaan mampu menuju kemandiriannya dan berdaya saing.

2.2.3. Kriteria LokasiKriteria lokasi terpilih P2KPB dapat dilihat dari beberapa tingkatan Lokus yaitu Kabupaten hingga kawasan perdesaan.1. KABUPATENa. RTRW Kabupaten minimal sudah mendapatkan Persetujuan Substansi Kementerian PUb. Program daerah/APBD terkait penanganan kawasan perdesaanc. Komitmen bupati dan prakarsa untuk bergabung dalam P2KPB serta adanya dinas teknis yang kompeten yang menangani;d. Terdapat kelompok masyarakat desa (kelompok tani/nelayan, dan yang sejenis);e. Terdapat program sektor f. Memenuhi syarat berdasar assessment Tim Desa Berkelanjutang. Kabupaten mengarusutamakan perlindungan dan penguatan ketahanan pangan h. Diprioritaskan pada kabupaten yang berada pada koridor MP3EIi. Diprioritaskan pada kabupaten yang memiliki program Agropolitan dan/atau Minapolitan j. Diprioritaskan kepada kabupaten di KSN (Kawasan Strategis Nasional) Non Metropolitan

2. Kawasan Perdesaan1. Kawasan perdesaan terpilih harus merupakan bagian wilayah kabupaten.a. Kawasan perdesaan tersebut sudah dalam stadia marketable plus dan/atau stadia industri pertanian, bukan kawasan perdesaan yang masih dalam tahap/stadia tertinggal atau sub-subsisten dan subsisten.

b. Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, definisi kawasan perdesaan adalah wilayah yang memiliki kegiatan utama pertanian dan sumberdaya alam lainnya. Oleh karena itu, kawasan perdesaan yang terpilih adalah kawasan yang berbasis pangan, dengan sektor unggulan pertanian dan/atau kelautan.c. Berupa kawasan strategis kabupaten, khususnya kawasan strategis kabupaten dengan sudut kepentingan ekonomi yang berbasis pangan, seperti agropolitan dan minapolitan.

2. Kriteria Lokasi Kawasan Perdesaan Dilihat Dari Kedekatan Dengan Kawasan Perkotaan

Dilihat dari letak kawasan perdesaan dengan kawasan perkotaan, terdapat beberapa macam kawasan perdesaan:a. Kawasan Perdesaan Peri Urban, dengan population growth > 4%b. Kawasan Perdesaan Urban Fringe,dengan population growth 2 - 4%c. Kawasan Perdesaan,dengan population growth < 2%

2.2.4. Stakeholder Yang TerkaitPelaksanaan P2KPB melibatkan peran beberapa stakeholder yang berhubungan satu sama lain untuk menyukseskan tujuan P2KPB, diantaranya adalah:a. Kementerian/Sektor (sebanyak kurang lebih 20 sektor)b. Kementerian Pekerjaan Umumc. Pemerintah Provinsid. Pemerintah Kabupatene. Perdesaan (Swasta, Komunitas, Warga)

1. Mekanisme Peran Stakeholder Dalam P2KPBDalam Pelaksanaan P2KPB, masing-masing stakeholder menjalankan wewenang sebagai berikut.

Gambar 2.9. Mekanisme Peran Stakeholder Dalam P2KPB

2. Mekanisme Peran Stakeholder dalam Sinkronisasi Program

20 sektor (instansi yang terkait)KementerianPekerjaan UmumPemerintahan ProvinsiPemerintahan KabupatenKawasan PerdesaanSwastaKomunitass WargaDalam Pelaksanaan P2KPB, tahap awal dan juga krusial adalah sinkronisasi program. Diharapkan terjadi koordinasi antar stakeholder, yang diwujudkan dalam bagan alir sebagai berikut :Gambar 2.10. Mekanisme Peran Stakeholder dalam Sinkronisasi Program

2.2.5. Mekanisme Penyusunan Skenario Pengembangan Kawasan Perdesaan

Telaah RTRW KabupatenTelaah Kawasan Strategis KabupatenImplementasi AtributSkenario Pengembangan Kawasan PerdesaanRencana RinciRPI2JM Kawasan PerdesaanTipologi Kawasan Perdesaan Sinkronisasi ProgramSkenario Pengembangan Kawasan Perdesaan terbagi menjadi Implementasi Atribut dan RPI2JM Kawasan Perdesaan.

Gambar 2.11. Mekanisme Penyusunan Skenario Pengembangan Kawasan Perdesaan

2.2.6. Road Map Penyelenggaraan P2KPBDi awal tahun 2013, P2KPB akan diawali dengan pelaksanaan penyusunan skenario pengembangan kawasan perdesaan. Dalam kegiatan ini diperlukan pelaksanaan kegiatan seperti penelaahan RTRW serta membutuhkan diadakannya sinkronisasi program agar skenario pengembangan kawasan perdesaan tepat dan sesuai dengan lokasi yang dituju. Berikut ini merupakan road map Penyelenggaraan P2KPB yang terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut :

Gambar 2.12. Road Map Penyelenggaraan P2KPB

2.3. Substansi mengenai Kawasan Perdesaan2.3.1. Definisi dan Hirarki DesaKata desa berasal dari bahasa sansekerta yaitu deshi yang artinya tanah kelahiran/tanah tumpah darah. Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan negara kesatuan Republik Indonesia.

Secara administratif pemerintahan adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Letak desa di Indonesia secara garis besar, terbagi atas : desa pantai, desa di dataran rendah, desa di pegunungan, dan pedalaman.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2005 tentang desa, Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memilki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak untuk mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.

Dalam naskah revisi ditegaskan tentang definisi desa yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya: "Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten/Kota". Desa sama sekali tidak rnempunyai kewenangan yang konkret sebagaimana dimiliki provinsi dan kabupaten/kota, kecuali kewenangan romantik (hak asal-usul) dan kewenangan abstrak (kewenangan yang belum dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah).

Hirarki desa ditentukan oleh macam dan jumlah kegiatan, fungsional dan fasilitas pelayanannya.1. Desa utama ( 400 KK),sebagai pusat kegiatan ekonomi,merupakan pusat utama bagi pengumpulan produksi dari desa-desa disekitarnya2. Desa madya ( 300 KK),desa ini hampir sama dengan desa utama melayani desa-desa kecil3. Desa kecil ( 200 KK),desa ini tidak mempunyai jangkauan pelayanan terhadap desa lainnya,tetapi justru dilayani oleh desa-desa yang hierarknya lebih tinggi.

2.3.2. Karakteristik DesaDaerah-daerah di Indonesia mempunyai keragaman desa yang tinggi baik dilihat dari sisi kultur maupun kondisi geografis dan basis ekonominya. BPS menentukan kriteria suatu lokasi yang ditetapkan sebagai perdesaan atau perkotaan untuk menentukan adanya keragaman wilayah. Kriteria tersebut adalah:1. Kepadatan penduduk per kilometer persegi2. Persentase rumahtangga yang mata pencaharian utamanya adalah pertanian atau nonpertanian3. Persentase rumahtangga yang memiliki telepon4. Persentase rumahtangga yang menjadi pelanggan listrik5. Fasilitas umum yang ada di desa/kelurahan, seperti fasilitas pendidikan, pasar, tempat hiburan, kompleks pertokoan dan fasilitas lain

2.3.3. Tingkat Perkembangan Desa Secara KualitatifTingkat perkembangan desa secara kualitatif dapat diklasifikasikan kedalam tiga tingkatan yaitu :1. Desa Swadaya (Tradisional),Desa yang belum mampu mandiri dalam penyelenggaraan urutan rumah tangga sendiri, administrasi desa belum terselenggara dengan baik dan LKMD (Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa) belum berfungsi dengan baik dalam mengorganisasikan dan menggerakan peran serta masyarakat dalam pembangunan sarana terpadu2. Desa Swakarsa (Transisional), Desa setingkat lebih tinggi dari Desa swadaya. Desa Swakarsa mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa sudah terselenggara dengan cukup baik dan LKMD cukup berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakan peran serta masyarakat dalam pembangunan secara terpadu.3. Desa Swasembada (berkembang), Desa setingkat lebih tinggi dari desa swakarya. Desa Swasembada adalah desa yang telah mampu menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, administrasi desa sudah terselenggara dengan baik, LKMD sudah berfungsi dalam mengorganisasikan dan menggerakan peran serta masyarakat dalam pembangunan desa secara terpadu

2.3.4. Tipologi PerdesaanMenurut Direktorat Jenderal Cipta Karya, Departemen Pekerjaan Umum, tahun 2006 membagi tiga jenis perdesaan:A. Desa TerpencilDesa terpencil dibagi menjadi beberapa tipe, yaitu:Tipe A (terpencil karena ketiadaan sarana aksesbilitas):Kawasan perdesaan yang terisolasi oleh sebab tidaktersedianya sarana aksesbilitas yang menghubungkan kawasan tersebut dengan pusat pertumbuhan.Tipe B (terpencil karena jarak):Kawasan perdesaan yang terisolasi oleh sebab secara geografis jaraknya jauh dari pusat pertumbuhan.Tipe C (terpencil karena isolasi geografis):Kawasan perdesaan yang terisolasi oleh sebab keberadaan isolasi geografis yang memisahkan kawasan tersebut dengan pusat pertumbuhan.Tipe D (terpencil karena alasan khusus):Kawasan perdesaan yang terisolasi oleh sebab khusus, misalnya pengaruh adat istiadat yang membuat desa tersebut memencilkan diri.

B. Desa TertinggalTipe A (kawasan yang prasarana dasar wilayahnya tertinggal):Kawasan perdesaan yang ketersediaan prasarana dasar wilayahnya kurang.Tipe B (kawasan perdesaan yang sarana wilayahnya tertinggal):Kawasan perdesaan yang ketersediaan prasara dasar wilayahnya tercukupi, namun ketersediaan sarana wilayahnya kurang.Tipe C (kawasan yang kehidupan masyarakatnya tertinggal):Kawasan perdesaan yang ketersediaan sarana dan prasarana dasar wilayahnya tercukupi, namun kehidupan masyarakatnya rendah.

Menurut Viner, desa tertinggal adalah suatu desa yang mempunyai prospek potensial bagus untuk menggunakan lebih banyak buruh atau lebih banyak modal atau lebih banyak sumber alam yang tersedia untuk menunjang penduduknya yang ada saat ini pada standar hidup yang cukup tinggi, atau jika tingkatan pendapatan per kapita sudah cukup tinggi, untuk menunjang tingkat hidup penduduknya yang banyak itu sehingga tidak menjadi lebih rendah.

Prinsip Pemerintahan Daerah DesentralisasiAdalah penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat atasnya kepada pemerintah daerah menjadi urusan rumah tangganya. DekonsentrasiAdalah perlimpahan wewenang dari pemerintahan atau kepala wilayah atau instansi vertikal di atasnya kepada pejabat-pejabatnya didaerah.

Tabel 2.1. Perbedaan Antara Desentralisasi Dan Dekonsentrasi

DesentralisasiDekonsentrasi

1. Bersifat otonom (Daerah)2. Mengurus Urusan Daerah3. Nama Daerah : DT I ; DT II4. Kepala DT I ; DT II5. Penyerahan wewenang dari Pemerintahan atau daerah (bukan perorangan)1. Bersifat Administratif (wilayah)2. Mengurus urusan Pemerintahan umum (tugas yang tidak didesentralisasikan)3. Propinsi, Kabupaten4. Gubernur, Bupati, Walikota5. Perlimpahan wewenang dari Pemerintah atau Kepala Wilayah (bukan pejabat perorangan)

C. Pulau-pulau kecilTipe A (pulau-pulau kecil yang terpencil):Pulau-pulau kecil yang memiliki permukiman, namun tidak tersedia sarana aksesbilitas untuk berhubungan dengan kawasan lain.Tipe B (pulau-pulau kecil yang tertinggal prasarana dasar wilayahnya):Pulau-pulau kecil yang memiliki permukiman dan ketersediaan sarana aksesbilitasnya cukup, namun ketersediaan prasarana dasar wilayahnya kurang.Tipe C (pulau-pulau kecil yang tertinggal sarana wilayahnya):Pulau-pulau kecil yang memiliki permukiman serta cukup tersedia sarana aksesbilitas dan prasana dasar wilayahnya, namun ketersediaan sarana wilayahnya kurang.

Tipologi desa atau pembagian perkembangan desa dinilai dari beberapa aspek, antara lain : infrastruktur, tingkat pendidikan, mata pencaharian, ekonomi, dan partisipasi dalam pembangunan.A. Tipologi Desa berdasarkan Keragaman AdatTipologi desa di Indonesia sangat beragam, karena pengaruh sejarah pemerintahan adat dan pengaruh modernisasi birokrasi. Sesuai dengan pemikiran dan konteks empirik yang berkembang di Indonesia, ada tiga tipe bentuk desa:1. Tipe Desa Adat atau sebagai self governing community sebagai bentuk desa asli dan tertua di Indonesia. Konsep otonomi asli sebenarnya diilhami dari pengertian Desa Adat ini. Desa adat mengatur dan mengelola dirinya sendiri dengan kekayaan yang dimiliki tanpa campur tangan negara. Desa adat tidak menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Saat ini desa Pakraman di Bali masih berbentuk desa adat yang jelas.2. Tipe Desa Administratif (local state government) adalah Daerah sebagai satuan wilayah administratif yang berposisi sebagai kepanjangan negara dan hanya menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara. Desa Administratif secara substansial tidak mempunyai otonomi dan demokrasi. Kelurahan yang berada di perkotaan merupakan contoh yang jelas dari tipe desa administratif.3. Tipe Desa Otononom atau dulu disebut sebagai Desapraja atau dapat juga disebut sebagai local self government, seperti halnya posisi dan bentuk daerah otonom di Indonesia. Secara konseptual, Desa Otonom adalah Desa yang dibentuk bersarakan asas desentralisasi sehingga mempunyai kewenangan penuh untuk mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri. Desa otonom berhak membentuk pemerintahan sendiri, mempunyai badan legislatif, berwenang membuat peraturan desa dan juga memperoleh desentralisasi keuangan dari negara.

Dalam konteks perjalanan Indonesia mencari posisi dan bentuk desa, ketiga tipe desa yang telah diuraikan dijadikan sebagai rujukan. Pertama, pemikiran para founding fathers yang termuat dalam konstitusi secara jelas mengikuti model Desa Adat, yakni mengakui (rekognisi) keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat yang jumlahnya sangat banyak dan beragam di Indonesia. Kedua, pemikiran tentang Desa Otonom atau Desapraja atau Daerah Otonom Tingkat III, yang menempatkan posisi Desa sebagai subsistem pemerintahan kabupaten, sekaligus menerima limpahan kewenangan dan alokasi dana dari kabupaten. Menurut pakar Universitas Brawijaya dan IPDN, yang melakukan desentralisasi kepada Desa bukanlah pemerintah kabupaten melainkan negara melalui pemerintah pusat. Karena itu, kedudukan Desa harus dipertegas dahulu dalam struktur ketatanegaraan melalui konstitusi, kemudian diikuti dengan penyerahan kewenangan kepada Desa beserta alokasi dana secara langsung dari APBN. Ketiga, ide dan pengarutan Desa Administratif (kelurahan) yang diterapkan pada masa Orde Baru. Di masa rezim ini, bentuk Desa dihilangkan, meski UU No 5/1974 mengenal provinsi daerah tingkat I dan kabupaten/kotamadya daerah tingkat II. UU NO 5/1979 memberi kesempatan perubahan status dari Desa-desa yang sudah urbanized di perkotaan menjadi kelurahan, yang membuat roh otonomi dan demokrasi menjadi hilang. Perubahan menjadi kelurahan memang memungkinkan perbaikan pelayanan administratif, tetapi di balik itu sangat memudahkan proses kapitalisasi, sebab status tanah kelurahan tidak lagi menjadi milik rakyat melainkan milik negara. Ketika investasi akan masuk ke ranah kelurahan, maka negara dan investor tidak lagi bernegosiasi dengan Desa dan rakyat desa. Dari tipe Desa di atas, saat ini sebenarnya berkembang menjadi lima tipe seperti tergambar dalam tabel C4. Tabel ini menggambarkan bahwa sebaiknya pengaturan desa mengakomodasi gagasan optional village dalam bentuk lima tipe tersebut.

Tabel 2.2. Tipologi Desa Berdasarkan Keragaman Adat di Indonesia

Tipe DesaDeskripsiDaerah

Ada adat, tetapi tidak ada DesaAdat sangat dominan. Desa tidak punya pengaruhPapua

Tidak ada adat, tetapi ada desaPengaruh adat sangat kecil. Desa modern sudah tumbuh kuatJawa, sebagian besar Sulawesi, Kalimantan Timur, Sebagian Sumatera

Integrasi antara Desa dan adatAdat dan desa sama-sama kuat. Terjadi kompromi keduanyaSumatera Barat

Dualisme/Konflik antara adat dengan DesaPengaruh adat jauh lebih kuat dibanding Desa. Terjadi dualisme kepemimpinan lokal. Pemerintahan Desa tidak efektifBali, Kalimantan Barat, Aceh, NTT, Maluku

Tidak ada Desa tidak ada adatKelurahan sebagai unit administratif (local state government). Tidak ada demokrasi lokalWilayah perkotaan

Namun di antara opsi yang beragam itu tampaknya ada beberapa pilihan yang bersifat optional village. Dalam optional village, karakteristik Desa meliputi : pertama, adalah integrasi fungsi pemerintahan Desa ke dalam pemerintahan adat sebagaimana terjadi di Sumatera Barat. Forum diskusi bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur tampaknya juga mengarah pada bentuk desa yang terintegrasi itu. Adapun desain kelembagaannya sebagai berikut: Secara prinsipil integrasi desa dan adat (integrated village) adalah bentuk desa otonom (local self government), dengan tetap mengakomodasi semangat dan pola self governing community Dalam integrated village, terjadi peleburan antara Desa adat dan Desa dinas menjadi sebuah institusi yang batas-batas wilayahnya jelas Nomenklatur Desa disesuaikan dengan nomenklatur lokal, seperti nagari, pakraman, lembang, negeri dan lain-lain Struktur pemeritahan integrated village mengakomodasi struktur adat yang ada. Struktur ini bukan dalam posisi dan pengertian sebagai lembaga kemasyarakatan, tetapi sebagai struktur resmi pemerintahan desa. Sebagai contoh di Sumatera Barat terdapat wali nagari sebagai kepala eksekutif, Badan Perwakilan Nagari sebagai lembaga legislatif seperti Badan Perwakilan Desa dan Kerapatan Adat Nagari (KAN) sebagai institusi asli yang menjalankan fungsi peradilan adat dan wadah permusyawaratan besar para penghulu adat, serta Majelis Adat, Syarak dan Ulama sebagai lembaga pertimbangan bagi lembaga lain yang terkait dengan adat dan agama Integrated village tidak mengenal dualisme kepemimpinan, melainkan dipimpin oleh seorang pimpinan eksekutif seperti kepala desa

Kedua, adalah integrasi masyarakat adat dalam desa. Dalam model ini, nilai, institusi, dan mekanisme yang dikenal dalam masyarakat adat diakomodasi dalam pemerintahan Desa. Ketiga, adalah koeksistensi antara masyarakat adat dengan Desa, dimana masing-masing saling berhubungan dan saling memperkuat. Dalam model ini, Desa administratif menjalankan kewenangannya tanpa harus meniadakan masyarakat adat.

B. Tipologi Perdesaan Menurut Karakteristik PemerintahanTipologi perdesaan menurut karakteristik pemerintahannya ditinjau dari segi status, kedudukan, bentuk, kemajuan, kondisi geografis, sosiologis, ekonomi, pengaruh adat serta beberapa variabel lainnya yang dapat dilihat secara lengkap pada Tabel dibawah ini.

C. Tipologi Perdesaan Menurut Karakteristik Fisik dan Sosio-EkonomiPerdesaan merupakan suatu bagian wilayah yang tidak berdiri sendiri. Suatu wilayah bisa disebut perdesaan karena mempunyai karakteristik yang tidak sama dengan perkotaan. Dalam pengembangan wilayah, kawasan perdesaan harus dipandang sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kawasan perkotaan. Pemahaman yang menyeluruh dan tidak dikotomis ini menjadi penting dan mendasar dalam penyusunan peraturan atau aturan main yang berkaitan dengan perdesaan maupun perkotaan, agar terjadi sinergi dan keseimbangan perlakuan wilayah, khususnya oleh pelaku pembangunan.

Mubyarto menyatakan pembentukan tipologi desa ditentukan berdasarkan pendekatan potensi dominan yang diolah dan dikembangkan serta telah menjadi sumber penghasilan besar masyarakat desa. Tipe desa meliputi 8 tipe, yaitu :1. Tipe Desa Nelayan : sebagian besar kehidupan penduduknya bergantung pada potensi laut2. Tipe Desa Persawahan : sebagian besar kehidupan penduduknya bergantung pada potensi pertanian sawah, baik yang berpengairan teknis, non teknis maupun tadah hujan.3. Tipe Desa Perladangan : sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi pertanian tanaman kering (ladang/tegalan) baik ditanami padi maupun palawija.4. Tipe Desa Perkebunan : sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi tanaman keras (lebih dari satu musim) dan mono kultur.5. Tipe Desa Peternakan : sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi peternakan6. Tipe Desa Kerajinan/Industri kecil sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi industri kecil dan kerajinan7. Tipe Desa Industri Sedang dan Besar sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi industri besar atau besar8. Tipe Desa Jasa dan Perdagangan sebagian besar penduduknya bergantung pada potensi perdagangan dan jasa.

Hall (1986) memperlihatkan bahwa manusia hidup dalam ruangan-ruangan dengan tipe dan ukuran tertentu yang tepat sesuai dengan kebudayaan mereka masing-masing. Di dalam aneka warna masyarakat dan kebudayaan di Indonesia dapat dilihat paling sedikit tipe-tipe sosial budaya antara lain :1. Tipe masyarakat berdasarkan sistem berkebun yang amat sederhana, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa terpencil tanpa diferensiasi dan stratifikasi.2. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokok. Sistem kemasyarakatannya berupa komuniti petani dengan diferensiasi sosial yang sedang dan yang merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar, dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat peran.3. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di ladang atau di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya, sistem dasar kemasyarakatannya berupa desa komuniti petani dengan diferensiasi dan stratifikasi sosial yang sedang.4. Tipe masyarakat pedesaan berdasarkan bercocok tanam di sawah dengan padi sebagai tanaman pokoknya, sistem dasar kemasyarakatannya berupa komuniti petani dengan diferensiasi dan stratifikasi yang agak komplek.5. Tipe masyarakat kean yang mempunyai ciri-ciri pusat pemerintahan dengan sektor perdagangan dan industri yang lemah.

Tipe masyarakat metropolitan yang mulai mengembangkan suatu sektor perdagangan dan industri yang agak berarti, tetapi yang masih didominasi oleh aktivitas kehidupan pemerintahan, dengan suatu sektor kepegawaian yang luas dan dengan kesibukan politik di tingkat daerah maupun nasional.

D. Desa BudayaDesa budaya merupakan satu jenis tipe perdesaan yang memiliki kekhasan tertentu sehingga diberikan pembahasan yang lebih mendalam secara terpisah

[Penyiapan Program Pengembangan Kawasan Perdesaan Berkelanjutan (P2KPB) di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Lampung Selatan]

Laporan Pendahuluan|2-36

Tabel 2.3. Karakteristik Pemerintahan DesaNo Tipe

ItemDesa sebagai kesatuan masyarakatDesa administratifDesa sebagai kesatuan pemerintahan lokalKelurahan

1.Status Pemerintahan komunitas (self governing community)Satuan perangkat pemerintah daerah.Satuan pemerintah lokal yang otonom. Satuan perangkat kerja pemerintah daerah.

2.KedudukanSebagai subsistem pemerintahan NKRI Subsistem pemerintahan kabupaten/kotaSubsistem pemerintahan kabupaten/kota

3.Bentuk (1)Desa adat, masyarakat adat atau perkumpulan masyarakat Desa-desa baru atau desa definitif di unit transmigrasi Desa lama yang telah mengalami kemajuan Desa maju yang mengalami perubahan status

4.Bentuk (2)TradisionalTransisional Maju Modern

5.KemajuanSwadayaSwakaryaSwasembadaSwasembada

6.Kondisi geografisWilayah pedesaan yang terpencilWilayah pedesaan baru Wilayah semakin terbukaPerkotaan

7.Kondisi sosiologisKomunalisme KomunalismeKomunalisme makin memudarIndividualisme

8.Basis ekonomiPertanian (dalam arti luas)PertanianPertanian dan nonpertanianPerdagangan, industri, jasa, dll

9.Pengaruh adat Sangat kuatTidak adaMulai memudarSudah hilang

10.Susunan asli Masih kuat Tidak ada Mulai memudar Sudah hilang

11.Sifat otonomi Otonomi asli Tidak ada Otonomi asli dan pemberian dari negaraSudah hilang

12.Pemilihan pemimpin Musyawarah adatPemilihan langsungPemilihan langsungPengangkatan

13.Hak asal usul Masih kuat Tidak ada Terbatas Sudah hilang

14.Kewenangan Asal-usul Delegatif (tugas pembantuan) dan administratif Asal-usul, atributif dan delegatif Administratif dan delegatif

15.Tugas Mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sesuai asal-usul Menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara Mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat Menjalankan tugas-tugas administratif yang diberikan negara

16.Sumber keuanganHasil pengelolaan SDA dan bantuan pemerintahHasil SDA dan bantuan pemerintah Hasil SDA, pungutan desa, dan dana alokasi desa. Dana belanja aparatur dari pemerintah kabupaten/kota dan bantuan pemerintah untuk masyarakat.

17.Payung hukum UU DesaUU PemdaUU DesaUU Pemda

Tabel 2.4. Tipologi Perdesaan Berdasarkan Fisik Dan Sosio EkonomiNO.DESAKARAKTERISTIK

GEOGRAFIS/FISIKSOSIALEKONOMIPRASARANASISTEMKELEMBAGAAN

TRANSPORTASI

1Nelayan Berada di sekitar Kepadatan Mata Pencaharian Terdapat tempat Menggunakan perahu Masih mengurus

pantai yang landaipenduduk rendahumumnya nelayanpelelangan ikanatau transportasi lautpemerintahan

Berada di sekitar Bangunan rumahMenjual ikan hasilTerdapatnyalainnyasendiri dan

pesisir pantaitinggal terpencarTangkapannyaPelabuhan Masih menggunakandipimpin oleh

Senang bergotongalat transportasi daratseorang Kepala

royong, memiliki tradisionalDesa

aturan adat

kekerabatan tinggi

2Persawahan Berada di sekitar Kepadatan Mata Pencaharian Terdapat Masih menggunakan Masih mengurus

Lahanpenduduk rendahumumnya sebagaikoperasi untukalat transportasi daratpemerintahan

Persawahan Bangunan rumahpetani sawahmenjual hasiltradisional (sepertisendiri dan

Yang umumnyatinggal terpencarSawahandong, delman, dipimpin oleh

berada di daerah Senang bergotong Terdapat tempatpedati, dll)seorang Kepala

Perbukitanroyong, memiliki lumbung sawahDesa

aturan adat

kekerabatan tinggi

3Perladangan Berada di dataran Kepadatan Mata Pencaharian Terdapat Masih menggunakan Masih mengurus

rendah di sekitarpenduduk rendahumumnya koperasi untukalat transportasi daratpemerintahan

Perladang Bangunan rumahberladang dan menjual hasiltradisional (sepertisendiri dan

tinggal terpencarSebagainyaLadangandong, delman,dipimpin oleh

Senang bergotong Terdapat pedati, dll)seorang Kepala

royong, memiliki pasar tradisionalDesa

aturan adat

kekerabatan tinggi

4Perkebunan Berada di dataran Kepadatan Mata Pencaharian Terdapat Masih menggunakan Masih mengurus

tinggi atau penduduk rendahumumnya pasar tradisionalalat transportasi darat pemerintahan

Pegunungan Bangunan rumahberkebun dan Terdapat tradisional (sepertisendiri dan

Pada dasarnyatinggal terpencarSebagainyakoperasi untukandong, delman, pedati,dipimpin oleh

daerahnya cukup Senang bergotongmenjual hasildll)seorang Kepala

subur untukroyong, memiliki hasil kebunDesa

dijadikan kebunaturan adat

kekerabatan tinggi

5Peternakan Berada di dataran Kepadatan Mata Pencaharian Terdapat Masih menggunakan Masih mengurus

rendah di sekitarpenduduk rendahumumnya koperasi alat transportasi darat pemerintahan

Peternakan Bangunan rumahberternak dan Terdapat tradisional maupunsendiri dan

tinggal terpencarSebagainyapasar tradisionalmodern (seperti dipimpin oleh

Senang bergotongandong, delman, pedati,seorang Kepala

royong, memiliki sepeda motor maupun Desa

aturan adatmobil, dll)

kekerabatan tinggi

6Industri Kecil Berada di pinggiran Jarak antar rumah Mata Pencaharian Terdapat Masih menggunakan Pemerintahan

atau Kerajinan baik dataransudah semakin umumnya koperasi alat transportasi daratberada di bawah

rendah maupunDekatsebagai pengrajin Terdapat pasar tradisional maupunKecamatan dan

dataran tinggi Kepadatan atau pekerja maupunTradisional modern (seperti andong,dipimpin oleh

penduduk sedangpengusaha setengah moderndelman, pedati, seorang Kepala

industri kecil Terdapat tempatsepeda motorDesa/Lurah

Kesehatanmaupun mobil, dll)

Seperti

posyandu atau

Puskesmas

7Industri Berada di pinggiran Jarak antar rumah Mata pencaharian Terdapat koperasi Sudah menggunakan Pemerintahan

Sedang baik dataransudah semakin Umumnya Terdapat pasaralat transportasi modernberada di bawah

dan Besarrendah maupunDekatsebagai pengrajinTradisional(seperti sepeda motorKecamatan dan

dataran tinggi Kepadatan atau pekerjamaupun modernmaupun mobil, dll)dipimpin oleh

penduduk sedangMaupun Terdapat tempatseorang Kepala

PengusahaKesehatanDesa/Lurah

industri sedangSeperti

atau besarposyandu atau

Puskesmas

8Jasa dan Berada di sekitar Jarak antar rumah Mata pencaharian Terdapat koperasi Sudah menggunakan Pemerintahan

Perdagangan, baik dataransudah semakin Umumnya Terdapat pasaralat transportasi modernberada di bawah

rendah maupun DekatSebagaiModern(seperti sepeda motorKecamatan dan

dataran tinggi Kepadatan sedangpedagang, sopir, Terdapat tempatmaupun mobil, dll)dipimpin oleh

sampai tinggitukang ojek,Kesehatanseorang Kepala

Masyarakatnyatukang becak,SepertiDesa/Lurah

sebagian memilikidokter, dllposyandu atau

sifat individualpuskesmas,

maupun rumah

Sakit

2.4. Isu Permasalahan Kawasan Perdesaan di Indonesia saat ini2.4.1. Climate Change & Global WarmingSumber daya alam dan lingkungan hidup merupakan aset yang sangat berharga bagi peningkatan kesejahteraan masyakarat apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, terutama bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Namun demikinan, potensi ini akan berkurang apabila praktik-praktik pengelolaan yang dijalankan kurang memperhatikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Meningkatnya degradasi sumber daya alam dan lingkungan hidup disebabkan karena pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang tidak berwawasan lingkungan serta kurang memperhatikan prinsip pembangunan berkelanjutan dan daya dukung wilayah menimbulkan berbagai permasalahan di wilayah perdesaan seperti tingginya lahan-lahan kritis akibat penebangan hutan yang berlebihan, tingginya resiko kerentanan petani dan pelaku usaha di perdesaan akibat ketergantungan besar kepada sumber daya alam, dan penerapan pertanian intensif yang tidak berwawasan lingkungan. Pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan dan pencemaran lingkungan dapat menyebabkan terjadinya bencana alam. Pada tahun 2008, bencana yang paling sering terjadi di perdesaan adalah banjir (15.143 desa atau 22,52% dari total jumlah desa) dan paling sedikit adalah gempa bumi disertai tsunami (54desa atau 0.08 persen dari jumlah desa). Pencemaran yang sering terjadi di perdesaan adalah pencemaran air (7.654 desa) dan paling sedikit terjadi adalah pencemaran tanah (1.110 desa) (BPS- Potensi Desa 2008).

Pada umumnya perdesaan dibangun dari penggunaan sumber daya alam lokal melalui sistem pertanian dan perkebunan. Ekspolitasi terhadap penggunaan sumber daya alam lokal dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan maupun semakin menyempitnya lahan pertanian akibat konversi lahan pertanian menjadi perumahan dan industri. Selain itu penurunan kualitas lingkungan juga terjadi akibat dari :1. Paradigma penggunaan sumber daya alam dan pembangunan infrastruktur perdesaan yang mengarah pada penurunan kualitas lingkungan perdesaan Perdesaan identik dengan sumber daya alam yang melimpah dibanding dengan perkotaan. Sumber daya alam ini dapat dipergunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan manusia. Sehingga akhirnya banyak masyarakat perkotaan yang tergantung pada pertanian di perdesaan. Namun dengan paradigma yang keliru tentang penggunaan sumber daya alam perdesaan berimplikasi pada rusaknya sumber daya alam lokal yang mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan perdesaan. Paradigma pembangunan infrastruktur yang tidak mempertimbangkan mitigasi bencana. Paradigma yang berkembang saat ini adalah pembangunan infrastruktur dan akses jalan yang baik dan layak untuk memberikan aksesibilitas yang baik bagi perdesaan. Namun seringkali hal ini berakibat pada rusaknya alam karena kebijakan terkait pembangunan infrastrukrut tidak mempertimbangkan aspek lingkungan dan mitigasi bencana yang berakibat pada pengrusakan sumber daya alam sehingga kawasan perdesaan menjadii kawasan rawan bencana2. Kurangnya pengetahuan masyarakat terkait sistem pertanian yang tidak mempertimbangkan kondisi sumber daya alamKurangnya pengetahuan masyarakat perdesaan terkait dengan sistem pertanian, teknologi pertanian yang mengakibatkan aktivitas pertanian desa yang tidak mempertimbangkan kondisi sumber daya alam. Perilaku ini mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan.3. Kurang dikembangkannya sistem mitigasi bencanaInfrastruktur perdesaan yang tidak mempertimbangkan mitigasi bencana berakibat pada penurunan kualitas lingkungan dan timbulnya bencana. 4. Adaptasi kebijakan terhadap perubahan iklim (climate change) dan pemanasan global (global warming) belum dilaksanakanPada akhirnya pembangunan infrastruktur perdesaan berkontribusi pada pemanasan lokal sehingga berimplikasi pada pemanasan global. Isu kedua yang dikembangkan adalah bagaimana usaha menjaga kualitas lingkungan seiring dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur di perdesaan dalam usaha mendukung pertumbuhan ekonomi maupun peningkatan kesejahteraan masyarakat akibat adanya pemanfaatan sumberdaya alam perdesaan.

2.4.2. Local WisdomPengelolaan sumber daya pedesaan dapat berlangsung optimal jika partisipasi aktif berbagai stakeholders bekerja dengan kerangka pendekatan inovasi. Kompleksitas persoalan sosial, ekonomi dan politik yang ditemukan di wilayah pedesaan tidak dapat lagi mengandalkan pendekatan konvensional layaknya running bussiness as usual. Inovasi dalam pengelolaan sumber daya pedesaan mutlak dibutuhkan agar berbagai formulasi penyelesaian masalah adaptif dengan dinamika perubahan. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa akar masalah dari kegagalan kebijakan pembangunan desa adalah kurang adaptifnya berbagai program pembangunan dengan konteks sosial, ekonomi, politik, dan ekosistem suatu wilayah pedesaan (lihat Green, 2006:1113; Bieri, 2009:11; Namba, 2003:1; Samal et al., 2003:157; Rosyadi dan Tobirin, 2010).

Inovasi perlu disandingkan dengan kearifan lokal karena kemampuan indigenous knowledge yang dimiliki masyarakat lokal dalam memanfaatkan sumber daya pedesaan tidak cukup kuat menghadapi berbagai intervensi pihak luar (Rositah, 2005). Memang telah diakui bahwa pengetahuan ilmiah yang diperkenalkan para teknokrat dan ilmuwan tidak sedikit membawa masalah (Awang, 2008:17), namun tidak dapat dipungkiri bahwa mengandalkan kearifan lokal tidaklah memadai untuk membawa masyarakat desa ke level kemajuan yang diharapkan. Pengembangan teknik baru atau penyempurnaan praktek lama untuk menghasilkan produktivitas tanpa merusak praktek dan nilai lokal yang kondusif bagi keberlangsungan masyarakat dan lingkungannya sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing wilayah pedesaan.

Pengakuan terhadap konteks wilayah pedesaan yang spesifik menyebabkan solusi one size fits all merupakan strategi kebijakan pembangunan yang keliru (Taylor, 2009:9). Generalisasi strategi pembangunan yang dikendalikan oleh pemerintah terbukti tidak efektif dan mengabaikan keunikan dan kearifan lokal. Dalam laporannya yang berjudul Indigenous Knowledge for Development: A Framework for Action, Bank Dunia (1998) pun mengakui bahwa pengetahuan atau kearifan lokal merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembangunan. Kearifan lokal menyediakan basis strategi pemecahan masalah bagi komunitas lokal khususnya kelompok miskin. Namun demikian, proses pembangunan di negara-negara berkembang sering kali mengabaikan peran penting kearifan lokal tersebut. Dalam konteks pengembangan sumber daya pedesaaan, politik pertanian padi yang diterapkan rejim Orde Baru telah mematikan praktek-praktek budi daya tanaman sagu, umbi-umbian dan jagung sebagai tanaman pangan yang ada di beberapa daerah. Akibatnya, pola konsumsi pangan masyarakat sangat bergantung pada beras. Sebaliknya, pengembangan berbagai komoditas pangan lainnya diabaikan oleh pemerintah. Situasi ini jelas tidak menguntungkan karena ketergantungan masyarakat terhadap beras akan dikendalikan oleh ketersediaan beras dan harga yang ditentukan oleh para pedagang.

Sekedar memberikan pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan kearifan lokal, Ellen dan Harris (dalam World Bank, 1998) mendefinisikan kearifan atau pengetahuan lokal sebagai berikut:1. Lokal, yang berakar di dalam sebuah masyarakat tertentu dan berada di dalam tradisi budaya yang luas; kearifan lokal adalah seperangkat pengalaman yang dihasilkan oleh kehidupan orang yang tinggal dalam masyarakat. Dengan memisahkan teknis dari yang non-teknis, rasional dengan non-rasional dapat menjadi problematik. Oleh karena itu, ketika diterapkan di tempat lain akan terjadi potensi resiko ketidakcocokan pengetahuan lokal.2. Pengetahuan tidak tertulis, sehingga tidak mudah untuk dikodifikasi.3. Disebarkan secara lisan, atau imitasi dan pertunjukan. Kodifikasi terhadap pengetahuan lokal bisa menyebabkan hilangnya beberapa propertinya.4. Pengalaman daripada pengetahuan teoritis. Pengalaman dan coba dan gagal, diuji di dalam ketelitian laboratorium keberlangsungan masyarakat lokal yang secara terus menerus menguatkan pengetahuan lokal.5. Dipelajari melalui pengulangan, yang merupakan ciri kegiatan tradisi yang jelas ketika sebuah pengetahuan baru bertambah. Berbagai pengulangan mendukung bertahannya dan menguatnya kearifan lokal.6. Berubah secara terus menerus, diproduksi serta direproduksi, ditemukan juga dihilangkan; meskipun sering kali dipersepsikan oleh pengamat luar sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman.

Menurut Bank Dunia (1998), dengan mempelajari kearifan lokal akan diperoleh pemahaman terhadap pengetahuan lokal dan konteks yang produktif dalam mendukung berbagai program pembangunan. Salah satu kisah sukses dari pemanfaatan kearifan lokal adalah bisnis sektor bambu yang dikembangkan oleh Pemerintah China di Provinsi Zhejiang Distrik Anji Berbagai produk mulai dari rumah bambu, kerajinan tangan, makanan, hingga pasta gigi dikembangkan dari bambu yang dikembangkan oleh masyarakat daerah Anji di China. Perlu dikatahui bahwa budi daya bambu telah menjadi tradisi lama di wilayah Anji dan menjadi basis ekonomi masyarakatnya. Dari pengembangan bambu saja ekonomi daerah Anji mengalami kemajuan yang signifikan. Hasilnya, pendapatan tahunan rumah tangga masyarakat Anji telah mencapai kisaran antara US$2,500 hingga US$10,000(sekitar Rp. 22,5 juta hingga Rp 90 juta per tahun, dengan asumsi US $1 setara dengan Rp 9.000,-). Kisah sukses ini kemudian ditiru oleh beberapa provinsi lainnya seperti Sichuan dan Hunan.2.4.3. Suistainable RuralPada umumnya, strategi keberlanjutan bertitik tumpu pada peningkatan pertumbuhan lokal, dimana masyarakat perdesaan peduli dan memperhatikan kesuksesan pertumbuhan, dan mampu mengakses sumber daya untuk tetap berjalan. Secara tidak langsung, sustainabilitas melibatkan partisipasi efektif untuk meyakinkan bahwa projek dan aktivitas diprioritaskan pada tingkatan lokal. Walaupun inisiasi keuangan lebih banyak mengandalkan jaringan departemen dan program spesifik, sustainabilitas seterusnya akan meningkat dan dan bergantung pada pemerintah lokal.

Kesuksesan strategi terletak pada sustainabilitas sosial. Komunitas sosial memegang kekayaan sosial dalam bentuk jaringan komunitas bersama yang luas, yang terbagi dalam kepercayaan dan tradisi yang berbeda dan komitmen untuk mempertahankan kehidupan bersama. Pengembangan projek dengan pendekatan partisipatif dapat menguatkan dan mempertahankan sosial kapital. Sebaliknya, penambahan pendapatan/gaji pada komunitas perdesaan hanya akan bersifat destruktif dan difisif jika grup tertentu berkompetisi untuk memperoleh akses dengan cara yang tidak umum dan tidak dapat diterima. Masyarakat perdesaan tidak homogen, dan tekanan kemiskinan tersebar luas di perdesaan. Pendekatan pembangunan partisipatif perlu dikembangkan untuk melakukan perubahan dan target khusus diperlukan pada wanita dan anak-anak.

2.4.4. Pengembangan SDM dan Pembangunan Kapisitas (Capacity Building)Kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian, baik industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun industri kerajinan serta jasa penunjang lainnya masih belum berkembang secara signifikan sehingga belum dapat mengimbangi pertambahan jumlah angkatan kerja di perdesaan. Sebagian besar kegiatan ekonomi di perdesaan masih mengandalkan produksi komoditas primer sehingga nilai tambah yang dihasilkan kecil.Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya lapangan pekerjaan tercermin dari terbatasnya alternatif lapangan kerja berkualitas baik di sektor pertanian maupun kegiatan ekonomi di luar sektor pertanian seperti industri kecil yang mengolah hasil pertanian maupun kerajinan serta jasa penunjang lainnya. Pada tahun 2007, jumlah tenaga kerja yang bekerja di perdesaan adalah 60,2 persen dari total tenaga kerja nasional, sebanyak 36,8 juta orang (61,2 persen) diantaranya bekerja di sektor pertanian (Sakernas, Agustus 2007).

Sulitnya mencari pekerjaan dengan upah yang memadai di perdesaan, menyebabkan lebih dari separuh desa atau 39.913 desa (Podes 2008) mempunyai tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri (TKI). Rendahnya kompetensi TKI (unskill worker) menyebabkan proporsi yang bekerja di sektor informal masih lebih besar daripada yang bekerja di sektor formal. Pada tahun 2007, realisasi penempatan TKI adalah sebanyak 710.100 orang. Dengan latar belakang pendidikan dan keterampilan yang rendah, banyak TKI yang bermasalah di luar negeri. Jumlah TKI bermasalah tahun 2007 adalah 12% dan meningkat menjadi 13,3% pada tahun 2008. Pada tahun 2008, terdapat 396 kasus dengan 15 jenis kasus dilaporkan ke BNP2TKI dan kasus paling banyak yang terjadi adalah putusnya komunikasi (108 kasus), gaji tidak dibayar (102 kasus), PHK sepihak (67 kasus), meninggal (46 kasus), penganiayaan (17 kasus) dan lainnya. Banyaknya kasus yang muncul tersebut juga membuka peluang terjadinya tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya lapangan pekerjaan juga tercermin dari tingginya jumlah pengangguran terbuka yangmencapai 10,9 juta orang atau 10,3% dari angkatan kerja di awal 2005. Pada saat yang sama, angka setengah pengangguran terpaksa mencapai 14,3 juta orang. Tingginya tingkat penangguran mendorong banyak masyarakat bekerja pada lapangan kerja yang kurang produktif. Hal ini pada gilirannya menyebabkan rendahnya pendapatan yang selanjutnya dapat menyebabkan jumlah penduduk perdesaan yang rentan jatuh di bawah garis kemiskinan (near poor) semakin tinggi.

Dalam hal kesempatan berusaha, kondisi yang dihadapi masyarakat adalah terbatasnya akses untuk memulai dan mengembangkan koperasi dan bentuk usaha lain, baik dalam skala mikro maupun makro. Permasalahan yang umum dihadapi dalam hal ini antara lain : sulitnya akses modal dengan suku bunga rendah, hambatan izin uaaha, kurangnya perlindungan, rendahnya kapasitas kewirausahaan, dan terbatasnya akses informasi, pasar, bahan baku, serta sulitnya memanfaatkan bantuan teknis dan teknologi.

Lebih lanjut, tidak adanya lembaga resmi yang memberikan modal dengan persyaratan yang dapat dipenuhi penduduk perdesaan. Lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, terutama perlindungan terhadap hak cipta industtri tradisional, dan hilangnya aset usaha akibat penggusuran menambah deretan pemicu minimnya kesempatan berusaha bagi mayarakat perdesaan. Usaha koperassi juga sering menghadapi kesulitan untuk menjadi badan hukum karena persyaratan yang sangat rumit, seperti : batas modal, anggota dan kegiatan usaha.

2.4.5. Aksesibilitas Prasana dan Sarana PerdesaanKondisi alam yang sangat bervariasi di Indonesia dan adanya keterbatasan penganggaran pembangunan perdesaan menyebabkan rendahnya akses masyarakat perdesaan dalam mendapatkan pelayanan sarana dan prasarana. Kondisi geografis pegunungan seperti di Papua, geografis laut di Maluku maupun beberapa daerah terpencil di perbatasan dan pulau terluar menyebabkan akses layanan masyarakat terhadap sarana dan prasarana menjadi rendah. Kondisi ini tidak ditunjang dengan kecukupan penganggaran bagi pembangunan perdesaan pada wilayah tersebut. Rendahnya akses tampak dari indikator : 1. Terbatasnya akses layanan perumahan permukiman perdesaan, serta terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak, rendahnya mutu lingkungan permukiman dan lemahnya perlindungan untuk mendapatkan dan menghuni perumahan yang layak dan sehat.Tempat tinggal yang sehat dan layak merupakan kebutuhan yang masih sulit dijangkau masyaarakat perdesaan, masalah perumahan yang kerap dihadapi adalah terbatasnya akses terhadap perumahan yang sehat dan layak huni, rendahnya mutu lingkungan permukiman serta lemahnya status hukum kepemilikan rumah. Tempat tinggal dalam lingkungan santasi yang buruk akan berpengaruh pada rendahnya tingkat kesehatan, terutama bagi ibu dan anak-anak. Kondisi ini bisa menjadi lebih buruk karena masyarakat perdesaan kurang memahami perilaku hidup sehat dalam mengelola sanitasi dan lingkungan hidup. Di daerah perdesaan, masalah ini seringkali disiasati dengan menumpang pada tempat tinggal anggota keluarga yang lebih layak.

2. Terbatasnya akses terhadap air bersih terutama air minum. Air bersih menjai masalah pula yang sering dihdapi masyakarat perdesaaan. Terbatasnya penguasaan sumber air, ketidak-terjangkauan jaringan distribusi, serta kurangnya kesadaran akan pentingnya air bersih merupakan penyebab utama dari hal ini. Selain itu, kualitas sumber air yang menurun akibat pencemaran dan penggundulan hutan serta pendangkalan semakin meminimumkan akses masyarakat perdesaan terhadap air bersih. Data Susesas (2007) menyebutkan bahwa penggunaan air dari mata air tak terlindung di perdesaan sebesar 7,79%.

3. Terbatasnya akses terhadap sarana sanitasi yang ditunjukkan oleh masih besarnya jumlah orang yang buang air besar di sembarang tempat (33 % di perdesaan) dan rumah tangga yang menggunakan tangki/septik sebagai tempat pembuangan akhir tinja sebesar 32,47% di perdesaan (Susenas 2007).

4. Terbatasnya akses terhadap prasarana transportasi yang ditunjukkan oleh banyaknya kawasan perdesaan yang masih terisolir maupun tidak terhubungkan dengan pusat pasar besar (Renstra DPU 2005-2009).5. Pasar perumahan yang ada tidak dapat dijangkau oleh masyarakat menengah ke bawah serta sekitar 14,5 Juta unit (18,22%) rumah yang ada, kualitasnya tidak layak huni (Renstra DPU 2005-2009).

6. Masih rendahnya sarana dan prasarana perdesaan untuk menunjang kehidupan sosial ekonomi masyarakat perdesaanRendahnya atau hilangnya akses masyarakat terhadap hak-hak sosial, ekonomi, politik dan budaya salahsatunya disebabkan oleh ketidakamanan yang terjadi di masyarakat. Tindak kekerasan kerap mengancam masyarakat perdesaan. Tindak kekerasan dapat muncul karena terjadinya konflik sosial, ancaman terorisme serta ancaman non-kekerasan. Ancaman non-kekerasan dapat berupa perdagangan perempuan dan anak, krisis ekonomi, dan penyebaran penyakit menular. Berbagai ancaman tersebut menyebabkan masyarakat tidak memiliki rasa aman. Hal tersebut mengakibatkan hilangnya akses masyarakat terhadao hak-hak sosial, politik, ekonomi dan budaya.

7. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatanBerbagai faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat diantaranya adalah kurang memadainya mutu kesehatan dasar, minimnya layanan kesehatan bagi ibu dan anak, masih adanya keterlambatan pemberian layanan kesehatan, serta masih rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya perilaku hidup sehat.

Sebagai gambaran bidang kesehatan, terdapat sekitar 1,67 juta jiwa anak usia 0-4 tahun yang menderita gizi buruk di tahun 2005. Jumlah ini sekitar 8% dari seluruh anak di bawah lima tahun (balita) yang mencapai 20,87 juta. Selanjutnya data BPS menunjukkan bahwa angka kematian ibu pada kurun waktu 2006 mencapai 307 jiwa per 100.000 kelahiran hidup. Selain itu hanya sekitar 72% persalinan ibu yang dibantu oleh tenaga kesehatan terlatih. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa akses masyarakat miskin di perdesaan terhadap layanan kesehatan memadai masih terbatas. Kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa tingkat pengetahuan masyarakat terhadap gizi dan kesehatan masih rendah.

Pada saat yang sama, penyakit polio mewabah di Indonesia. Hal ini utamanya disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya imunisasi terutama pada anak dan balita. Rendahnya kesadaran masyarakat tersebut umumnya dikarenakan ketidaktahuan tersedianya layanan kesehatan di unit-unit kesehatan hingga tingkat kelurahan/desa (pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas) melalui program Pos Pelayanan Terpadu atau Posyandu.

Lebih lanjut, faktor utama yang menyebabkan minimnya akses masyarakat pada layanan kesehatan memadai adalah mahalnya biaya pengobatan dan perawatan. Ditambah dengan lokasi fasilitas kesehatan yang terkadang sulit dijangkau dan kepemilikan jaminan kesehatan yang rendah.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2004 menunjukkan bahwa hanya sekitar 20,6% penduduk yang memiliki jaminan kesehatan. Pada kelompok termiskin, hanya sekitar 15% penduduk yang memiliki Kartu Sehat (KS). Masih rendahnya pemanfaatan kesehatan oleh pemegang KS juga menjadi kendala. Penyebab utamanya adalah ketidaktahuan tentang proses pembuatan dan kurang jelasnya pelayanan.

8. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikanMasyarakat perdesaan juga memiliki akses yang rendah terhadap pendidikan, baik formal maupun nonformal, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti :a) Tingginya biaya pendidikanb) Terbatasnya jumlah & mutu prasarana dan sarana penunjang pendidikanc) Terbatasnya jumlah dan guru bermutud) Terbatasnya jumlah sekolah yang layak untuk belajar mengajare) Terbatasnya jumlah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) di daerah perdesaan dan daerah terpencilf) Terbatasnya jumlah, sebaran, dan mutu kegiatan kesetaraan pendidikan dasar melalui pendidikan nonformal.

Gambaran tersebut membuktikan bahwa pembangunan pendidikan ternyata belum sepenuhnya mampu memberikan pelayanan secara merata kepada seluruh masyarakat perdesaan. Secara keseluruhan, penyebab utama terbatasnya akses masyarakat perdesaan terhadap layanan pendidikan dasar adalah tingginya beban biaya pendidikan, baik biaya langsung maupun tidak langsung. Meskipun uang Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) untuk jenjang Sekolah Dasar (SD)/ Madrasah Ibtidaiyah (MI) telah secara resmi dihapuskan, namun pada kenyataannya tetap ada pengeluaran lain di luar iuran sekolah. Hal ini menjadi salah satu faktor penghambat bagi masyarakat perdesaan yang sebagian besar miskin untuk menyekolahkan anaknya. Di samping itu, ketersediaan fasilitas pendidikan untuk SMP/MTs dan jenjang yang lebih tinggi masih sangat terbatas.

9. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan transportasi, komunikasi maupun energi.Dalam rangka menghadapi era globalisasi diperlukan peningkatan fasilitas komunikasi dan informasi yang dapat berkontribusi dalam memperlancar percepatan pembangunan di perdesaan. Peningkatan jumlah fasilitas yang ada belum signifikan, yang dapat dilihat dari ketersediaan wartel (23.088 desa), warnet (4.296 desa), kantor pos/kantor pos pembantu (3.893 desa), dan telepon umum (3.114 desa) (BPS-Podes, 2008). Pada saat ini semakin banyak bermunculan minimarket yang bergerak di perdesaan, pada tahun 2008 terdapat 5.848 desa yang memiliki mini market (Podes 2008). Dengan meningkatnya kecenderungan akan bentuk-bentuk pasar swalayan tersebut, tentunya ini merupakan tantangan bagi masyarakat, koperasi, BUM desa untuk mempunyai kemampuan mengelola pasar sejenis.

Akses terhadap sarana prasarana perdesaan masih menjadi permasalahan yang penting untuk ditangani di perdesaan. Infrastruktur yang baik menciptakan akses yang lebih murah kepada masyarakat perdesaan baik berupa akses transportasi, komunikasi maupun energi. Ketersediaan infrastruktur perdesaan berfungsi sebagai katalis bagi pembangunan yang tidak saja dapat meningkatkan akses terhadap sumberdaya, tapi juga dapat meningkatkan efektifitas intervensi pemerintah. Dengan sulitnya akses tersebut maka akan menyebabkan potensi yang ada pada wilayah perdesaan tersebut tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Jenis jalan juga mempengaruhi lalu lintas perdagangan antar satu wilayah perdesaan dengan wilayah lainnya untuk dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi suatu daerah menjadi lebih baik. Masih terdapat 11.471 desa yang masih memiliki jalan tanah (BPS-Podes, 2008). Kurangnya ketersediaan dan akses terhadap keberadaan fasilitas tersebut sangat mempengaruhi percepatan pembangunan ekonomi di perdesaan. Oleh karena itu, upaya untuk menghilangkan ketertinggalan di perdesaan juga tidak kalah penting untuk diperhatikan dan ke depan, dalam pelaksanaan pembangunan perlu diutamakan untuk wilayah perdesaan yang terpencil, tertinggal, perbatasan, termasuk pulau-pulau kecil dan terluar dengan tetap memperhatikan asas keadilan dan pemerataan. Jaringan jalan yang buruk akan menghambat kegiatan masyarakat perdesaan ke sentra-sentra ekonomi dan industri di sekitarnya, membatasi pemasaran produk yang dihasilkan, menghambat kedatangan para wisatawan jika wilayah tersebut memiliki obyek wisata yang menarik, dan mengurangi daya tarik investasi, baik yang berasal dari lokal maupun yang dari luar. Di kawasan transmigrasi juga menunjukkan terbatasnya prasarana dan sarana fisik dan ekonomi, rendahnya akses transportasi dan belum optimalnya kerja sama antarwilayah sekitar wilayah transmigrasi.

Upaya peningkatan kenyamanan dan keteraturan lingkungan dapat dilihat dari perkembangan ketersediaan fasilitas perumahan yang memadai seperti ketersediaan listrik, dan energi yang merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat perdesaaan. Belum seluruhnya wilayah perdesaan memiliki dan menikmati fasilitas-fasilitas tersebut. Pada tahun 2008 sekitar 30,79% desa belum berlistrik dan 74,19% desa sudah berlistrik (BPS-Podes, 2005 dan 2008).

10. Terbatasnya akses dan rendahnya mutu sanitasi lingkunganKetersediaan tempat pembuangan sampah sangat mempengaruhi keteraturan lingkungan di perdesaan, karena keberadaannya dapat menyelamatkan lingkungan dari bahaya pencemaran dan bahaya banjir. Sebagai contoh, banyak terjadi penimbunan sampah di sungai akibat kurang tersedianya tempat pembuangan sampah yang memadai dan masih rendahnya tingkat kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya. Pada tahun 2008 terdapat 14.948 desa yang membuang sampah di sungai, 9.891 desa yang meiliki tempat sampah kemudian diangkut, dan 58.144 desa yang memiliki tempat pembuangan sampah dalam lubang/dibakar. Ketersediaan tempat buang air besar oleh sebagian masyarakat perdesaan masih sedikit, karena kecenderungan untuk lebih memanfaatkan sungai dan kondisi alam yang ada. Pada saat yang sama, masyarakat perdesaan masih memanfaatkan sungai bukan hanya untuk buang air besar saja, tetapi juga mencuci, mandi, masak dan minum. Pada tahun 2008, terdapat 26.646 desa yang tidak memiliki jamban (dari 67.245 desa secara keseluruhan).

11. Keterbatasan dalam pemerataan sarana dan prasarana perdesaanDalam hal sarana dan prasarana perdesaan, yang menjadi masalah tidak hanya kuantitas dan kualitas persediaan sarana dan prasarana yang belum memadai, tetapi juga tingkat persebarannya antardaerah yang belum merata. Sebagai contoh, rasio elektrifikasi desa di luar Jawa. Sampai saat ini yang telah mendapat aliran listrik di Jawa mencapai 23.412 desa (93,2%) dari jumlah desa di Jawa 25.116 desa, sedangkan untuk luar Jawa jumlahnya baru mencapai 28.594 desa (69,6%) dari jumlah desa di luar Jawa (41.098 desa). Secara nasional masih terdapat 19,6% atau sebanyak 12.658 desa yang belum mendapat aliran listrik.

2.4.6. Kurangnya Dukungan Peraturan Perundangan dan KebijakanDukungan peraturan perundangan dan kebijakan yang belum optimal akan berdampak pada kesulitan dalam proses implementasi maupun sinergeitas pelaksanaan program pembangunan perdesaan. Hal ini dapat dilihat dari belum adanya Undang-Undang yang mengatur tentang pembangunan perdesaan. Beberapa indikator lain dari permasalahan ini adalah : 1. Kurangnya peraturan perundangan yang mengatur pengembangan kawasan perdesaan2. Kurang optimalnya manajemen pelaksanaan dalam pengembangan kawasan perdesaan 3. Kurangnya peranan regulator dalam pelaksanaan pengembangan kawasan perdesaan

2.4.7. Rendahnya Kapasitas Lembaga Lokal dan Kapasitas Pemerintah Desa dalam Pengembangan PerdesaanKelembagaan mencakup prosedur yang mengatur bagaimana agen (masyarakat) berinteraksi dan organisasi yang mengimplementasikan aturan-aturan tersebut untuk mencapai hasil yang diinginkan. Aturan main mencakup peraturan perundang-undangan pemerintah dan aturan perilaku sosial tak tertulis seperti norma sosial, sanksi sosial, adat istiadat dan budaya masyarakat (institusi informal). Masalah ini bukan hanya berkaitan dengan ketersediaan lembaga-lembaga di bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya tetapi juga - yang lebih penting - adalah apakah lembaga-lembaga tersebut berfungsi dengan baik ataukah tidak. Selain itu, perhatian dan penghargaan terhadap modal sosial (mutual trust, co-operativeness, networks) - yang merupakan aspek budaya yang mendukung proses pembangunan - selama ini masih rendah termasuk di kawasan transmigrasi yang dirasakan masih kurangnya peranan pemerintah daerah termasuk dukungan kelembagaan dan fasilitasinya serta partisipasi masyarakat.

Pembangunan perdesaan tidak terlepas dari upaya pengelolaan desa dan pembiayaan yang dilakukan secara efektif dan efisien dimana peran kelembagaan pemerintah desa terhadap hal tersebut masih belum optimal. Peran kepemimpinan lokal (kepemimpinan yang kuat), pelibatan organisasi berbasis masyarakat oleh pemerintah desa dan koordinasi antar keduanya belum optimal termasuk di kawasan transmigrasi terutama dalam melakukan perencanaan kegiatan pembangunan serta kegiatan pengembangan usaha masyarakat. Pembangunan kedepannya, perlu didukung dengan memadainya aturan yang jelas, tetap dan pasti (kepastian hukum) dan pelibatan aparat dan masyarakat di wilayah perdesaan termasuk di wilayah transmigrasi dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik. Kelembagaan sosial ekonomi masyarakat termasuk di dalamnya kelembagaan pertanian sebagai pendukung kegiatan ekonomi pertanian di perdesaan masih belum mantap. Sementara itu kapasitas kelembagaan dan keuangan Pemerintah Daerah untuk melaksanakan kegiatan pembangunan perdesaan yang telah menjadi urusan atau kewenangannya ternyata juga masih terbatas. Ini tercermin dari kemampuan lembaga dan organisasi dalam menyalurkan aspirasi masyarakat untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar masyarakat dalam akitivitas ekonomi. Di samping itu juga terdapat permasalahan masih terbatasnya akses, kontrol dan partisipasi perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan yang antara lain disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki, yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada kedudukan dan peran yang berbeda, tidak adil dan tidak setara. Rendahnya kapasitas lembaga masyarakat dan kapasitas Pemerintah Desa yang ditandai antara lain:1. Kurang optimumnya kolaborasi antara stakeholders dan lemahnya koordinasi lintas bidang dalam pengembangan kawasan perdesaan antar pemerintah (pusat dan daerah), masyarakat, dan swasta yang mengakibatkan tidak efisiennya pemanfaatan sumber daya pembangunan, baik karena tumpang tindihnya kegiatan maupun karena tidak terjalinnya sinergi antar kegiatan. Lemahnya koordinasi antar lembaga ini terlihat pada perencanaan dan pelaksanaan program-program Agropolitan, dan KTP2D berkenaan dengan pengelolaan yang berada pada lembaga yang terbatas fungsi koordinasi antar sektoralnya2. Ketidaksinambungan program akibat pergantian pemangku kepentingan dan kepranataan profesi sebagai regulator dan operator dirangkap oleh satu pihak menyebabkan penurunan kinerja pengembangan kawasan perdesaan.3. Mentalitas dan kurangnya motivasi di kalangan aparat pemerintah untuk membangun perdesaan berimpilkasi pada lemahnya kelembagaan dan organisasi berbasis masyarakat dalam menyalurkan aspirasi untuk perencanaan kegiatan pembangunan, serta dalam memperkuat posisi tawar dalam aktivitas ekonomi. 4. Terdapatnya keterbatasan akses, kontrol dan partisipasi kaum marjinal dan perempuan dalam kegiatan pembangunan di perdesaan disebabkan masih kuatnya pengaruh nilai-nilai sosial budaya yang patriarki.5. Lemahnya kelembagaan ekonomi dan organisasi perdesaan yang berbasis masyarakat dalam memperkuat perekonomian dan modal6. Lemahnya kapasitas Pemerintah Desa dalam menerapkan prinsip-prinsip good governance7. Rendahnya kapasitas Pemerintah Desa dalam menciptakan inisiatif-inisiatif pengembangan perekonimian desa dan pelayanan kepada masyarakat.

2.5. Best Practice Kebijakan Pembangunan Perdesaan di Beberapa Negara2.5.1. Titik Balik Pembangunan Perdesaan Korea SelatanKorea Selatan dapat menjadi acuan dalam melihat keberhasilan pembangunan perdesaan dan pertanian. Setelah berhasil memacu pertumbuhan desa melalui SaemaulUndong sejak awal 1970-an, dewasa ini negara tersebut berada dalam tahapan sebagai negara industri, dengan proporsi peran sektor pertanian dalam perekonomian negara (GDP) berkurang dari 23,30% pada tahun 1970 menjadi hanya 2,60% pada tahun 2006. Bersamaan dengan itu, proporsi penduduk yang bekerja pada sektor pertanian berkurang dari 49,50% pada tahun 1970 menjadi hanya 7,40% pada tahun 2006.

Kebijakan dan Program Pemerintah mengenai pembangunan perdesaanPada awal tahun 1950-an, Korea Selatan berada dalam keadaan yang relative sama dengan Indonesia. Setelah dijajah hampir 35 tahun (19101945) oleh Jepang, Korea Selatan harus menghadapi perang saudara dengan Korea Utara pada tahun 19501953, sehingga kehidupan masyarakat berada dalam kondisi paling rendah dengan pendapatan per kapita hanya US$57 pada tahun 1953 dan US$67 pada tahun 1962. Kehadiran Presiden Park Chung Hee pada tahun 1961 merupakan titik balik bagi pembangunan ekonomi Korea Selatan. Pada tahun 1962, Presiden Park mencanangkan rencana pembangunan lima tahunan tahap pertama (Five YearsEconomic Development Plan), dengan penekanan program pada upaya peningkatan produksi bahan pangan dan modernisasi sistem produksi pertanian serta perluasan areal pertanian. Sistem penelitian dan penyuluhan pertanian diperbaikidengan menetapkan satu organisasi RuralDevelopment Administration (RDA) sebagai payung kedua kegiatan tersebut.

Pada tahap kedua pembangunan lima tahunan ini (19671971), target yang dicanangkan lebih difokuskan pada pengembangan berbagai varietas padi berdaya hasil tinggi seperti Tongil. Pada tahap ketiga (19721976), investasi diarahkan untuk membangun industri petrokimia berskala besar serta mengembangkan mekanisasi secara besar-besaran untuk mendukung pertanian dan aktivitas lainnya. Pada masa tersebut juga dicanangkan program pencukupan kebutuhan pangan penduduk dari produksi sendiri melalui gerakan Saemaul Undong.

Saemaul Undong secara harfiah dapat diartikan sebagai Gerakan Desa Baru. Melalui gerakan ini, pemerintah menginginkan adanya perubahan pola piker masyarakat dalam menjalani kehidupan. Ada tiga prinsip dasar yang melandasi gerakan ini, yaitu self-help, cooperationand diligence. Masyarakat diajak untuk membangun kemampuan diri sendiri dan kemandirian serta kerja sama yang baik dengan lingkungan. Gerakan ini berhasil membangkitkan keinginan masyarakat untuk maju dan menghidupkan potensi yang dimiliki untuk mendukung inisiatif pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.

Gerakan Saemaul Undong difokuskan pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur (jalan, air minum, listrik, dan sarana komunikasi) di perdesaan serta penghijauan. Dalam pelaksanaan gerakan ini, menurut Lee (2008) dan Park (1998), pemerintah hanya memberikan bantuan dalam bentuk semen dan bahan bangunan lainnya. Dengan investasi pemerintah untuk semen hanya sekitar US$10 juta saat itu, gerakan ini berhasil membangun 43.631 km jalan selama tahun 197178 dan 70.000 jembatan serta memperbaiki 24.000 sumberair minum. Pendapatan per kapita penduduk meningkat tajam dari US$1.025 pada tahun 1971 menjadi US$2.961 pada tahun 1977. Gerakan Saemaul Undong tidak terbatas pada membangun secara bersama, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan masyarakat Korea akan potensi yang dimiliki, serta membangun mentalitas untuk bekerja keras bagi kehidupan yang lebih baik, baik secara individu maupun pada suatu komunitas (Lee dan Lim 2003).

Faktor Pendorong Keberhasilan Saemaul UndongBila dikaitkan dengan kerangka pikir yang dibangun pada bagian awal tulisan ini maka keberhasilan Saemaul Undong tidak terlepas dari ketepatan pemerintah dalam memilih pendekatan yang digunakan untuk melaksanakan gerakan tersebut. Secara umum, kondisi masyarakat Korea Selatan pada awal tahun 1970-an relative homogen dengan tingkat pendapatan yang rendah dan kebersamaan penduduk sebagai komunitas sangat mudah digerakkan untuk mendukung inisiatif pemerintah atau sebagai partner pemerintah dalam pembangunan.

Pada kondisi seperti tersebut, Pemerintah Korea Selatan memobilisasi berbagai kekuatan yang ada, termasuk militer, yang kemudian secara tersentralisasi menggerakkan inisiatif masyarakat secara individu dan sebagai suatu komunitas. Dengan iming-iming tingkat kehidupan yang lebih baik atau ajakan untuk menjadi kaya, masyarakat termotivasi untuk menggapai tujuan tersebut melalui kerja keras dengan contoh yang mengedepankan masyarakat atau kelompok masyarakat yang berhasil mendapatkannya. Semangat kita bisa mencapai apapun yang kita inginkan asal bekerja keras (can do spirit) menjadi moto masyarakat Korea Selatan sampai sekarang. Faktor utama yang menentukan keberhasilan Saemaul Undong adalah keberhasilan mengubah pola pikir masyarakat dalam memandang berbagai peluang yang ada di sekitarnya, baik sebagai individu maupun sebagai komunitas.

Faktor lain yang juga menentukan keberhasilan Saemaul Undong adalah dukungan konsistensi pemerintah pada berbagai lapisan, dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Ketepatan dalam memilih pimpinan di tingkat desa, yaitu pada personal yang mau mengorbankan waktu dan pikirannya bagi kemakmuran masyarakat, juga menentukan keberhasilan Saemaul Undong. Menurut Lee (2008) dan Chung (2008), pemilihan orang yang tepat sebagai pimpinan gerakan Saemaul Undong di tingkat desa menjadi penentu keberhasilan di samping dukungan secara terus-menerus dari pemerintah. Keberhasilan Saemaul Undong juga ditunjang oleh jaringan kerja yang solid pada berbagai tingkatan dan kampanye secara terus-menerus dengan mengedepankan masyarakat yang telah berhasil memberi motivasi yang permanen pada hampir sebagian besar masyarakat desa.

Saemaul Undong akan terus dikenang masyarakat Korea Selatan sebagai titik balik kebangkitan mereka, walaupun saat ini gerakan tersebut telah kehilangan momentumnya karena kondisi kehidupan masyarakat yang makin heterogen dan sudah terbentuknya karakter mereka sebagai individu atau bagian dari suatu bangsa. Saemaul Undong masih diteruskan oleh sebagian organisasi pemerintah di beberapa lokasi dengan modifikasi di sana-sini.

2.5.2. Hubungan Desa-Kota Dalam Pembangunan Perdesaan di ThailandSampai dengan tahun 2000, jumlah penduduk Thailand yang hidup di wilayah perkotaan mencapai 21,6% yang menunjukkan relatif rendahnya tingkat urbanisasi. Tidak sedikit pula penduduk yang menetap di wilayah perkotaan tetapi masih ter-registrasi sebagai penduduk desa. Hal itu didukung oleh fasilitas transportasi yang sudah sangat memadai sehingga mempermudah mobilitas penduduk. Tingkat urbanisasi tertinggi hanya terdapat di Kota Metropolitan Bangkok di mana 54,9% penduduk kota berdiam (UN, 2001 : 101). Dengan demikian, pembangunan perdesaan yang diikuti oleh kebijakan desentralisasi ekonomi dan pengendalian migrasi dari desa menuju kota Bangkok merupakan hal-hal penting yang menjadi kebijakan Pemerintah Thailand.

Salah satu tema penting dalam Rencana Pembangunan Sosial Ekonomi IX (2002 2006) adalah Restrukturisasi Manajemen menuju Pembangunan Desa dan Kota yang Berkelanjutan. Salah satu fokusnya adalah bagaimana menjamin proses urbanisasi dan pembangunan desa yang berkelanjutan untuk mengurangi kesenjangan antara wilayah perdesaan dan perkotaan (DCO, 2000: 2; DCO, 2001:5). Untuk menjamin keberlanjutan tersebut, terdapat 4 target utama, yaitu : (1) Pemberdayaan masyarakat dan pembangunan kota-kota yang memenuhi kriteria layak huni. Tekanan kebijakan pembangunan diletakkan pada aspek pemberdayaan untuk membentuk fundasi yang kokoh bagi perkembangan suatu masyarakat. Target utamanya adalah mobilisasi partisipasi dari semua stakeholders dalam upaya pembangunan masyarakat; (2) Pengentasan kemiskinan di wilayah perdesaan dan kota melalui partisipasi. Pendekatan yang digunakan bersifat holistik dan tidak hanya ditekankan pada peningkatan pendapatan. Prioritas diberikan pada pemberdayaan kaum miskin. Untuk itu diperlukan dukungan hukum dan kebijakan untuk menjamin akses kaum miskin terhadap pelayanan publik serta membuka peluang bagi mereka untuk mendayagunakan sumberdaya alam lokal dengan pola yang berkelanjutan dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku; (3) Pembentukan hubungan antara pembangunan desa dan kota. Perekonomian masyarakat desa perlu diperkuat untuk mewujudkan keadilan ekonomi yang berkelanjutan. Untuk itu bisa dikembangkan suatu klaster ekonomi yang menghubungkan wilayah desa dan kota dan dijalankan dengan memperhatikan potensi ekonomi, preferensi, dan fungsi setiap wilayah; (4) Manajemen pembangunan wilayah-fungsi-partisipasi secara terpadu. Untuk itu diperlukan langkah-langkah capacity building untuk membekali pemerintah atau organisasi administrasi lokal dengan SDM yang handal serta sistem manajemen yang efektif dalam memfasilitasi proses desentralisasi.

2.5.3. Hubungan Desa-Kota di Laos (Laos PDR)Laos merupakan negara agraris dengan hanya 23,5% penduduk yang menetap di kota. Dewasai ini, Pemerintah semakin menyadari akan arti penting desa dalam memberikan kontribusi untuk pertumbuhan ekonomi negara. Karenanya, program investasi periode 1996 2000 diprioritaskan pada pembangunan desa. Dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa, pemerintah mendorong peran pendukung dan komplementer yang harus dimainkan wilayah kota dalam upaya pembangunan desa.

Secara administratif, Laos terbagi atas beberapa propinsi, kabupaten dan kecamatan. Tetapi tidak ada pembedaan administrasi antara desa dan kota. Absennya pembedaan tersebut seringkali menyulitkan dalam menentukan intervensi yang tepat dengan kemungkinan memberikan intervensi yang sama di atas wilayah yang sebenarnya memiliki karakter yang berbeda. Belakangan pemerintah telah membuat perbedaan tersebut yang dipicu oleh dinamika urbanisasi dan pembangunan ekonomi.

Tabel 2.5. Kebijakan Pembangunan Perdesaan di LaosKebijakanTujuan

Pada tahun 1996-2000 pemerintah Laos mengeluarkan Program Investasi yang diprioritaskan pada pembangunan desauntuk meningkatkan taraf hidup masyarakat desa, pemerintah mendorong peran pendukung dan komplementer yang harus dimainkan wilayah kota dalam upaya pembangunan desa.

Untuk Program Investasi Tahun 2000 2003, Pemerintah memberi prioritas pada penguatan hubungan desa-kota dengan mengadopsi strategi pembangunan kota yang sesuaiMenjadikan kota-kota kecil tersebut sebagai wahana untuk mendukung pembangunan desa dan produksi pertanian

Pada tahun 2000 2001 lalu, pemerintah telah menyusun Draft National Urban and Rural Basic Infrastructure Development Strategy (NURBIDS) sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan hingga tahun 2020 mendatang.Mencapai pembangunan regional yang seimbang yang didasarkan pada strategi pusat pertumbuhan kota. Di sini kota dijadikan sentral pertumbuhan beberapa daerah di sekitarnya yang disebut dengan klaster.

Sejalan dengan derap pembangunan yang makin tinggi, pemerintah telah mengambil kebijakan untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur kota yang juga disponsori oleh ADB. Hal itu diikuti oleh kebijakan untuk mengembangkan pemerintah kabupaten sehingga mereka dapat mengelola fasilitas infrastruktur tersebut. Terdapat 5 badan khusus yang menangani masalah ini yang disebut sebagai Urban Development Administratio