40233436 referat fraktur dan dislok
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini
(2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah
karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini, selain menyebabkan fraktur, menurut
WHO, juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar
korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah terputusnya hubungan/kontinuitas struktur tulang atau tulang rawan
bisa komplet atau inkomplet atau diskontinuitas tulang yang disebabkan oleh gaya yang
melebihi elastisitas tulang. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis,
yang menyebabkan fraktur yang patologis.
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi
yang sering terjadi pada olahragawan adalah dislokasi sendi bahu dan sendi pinggul (paha).
Karena terpeleset dari tempatnya, maka sendi itupun menjadi macet. Selain macet, juga terasa
nyeri. Sebuah sendi yang pernah mengalami dislokasi, ligamen-ligamennya biasanya menjadi
kendor. Akibatnya, sendi itu akan gampang dislokasi lagi.
1
BAB II
FRAKTUR
II.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI
Pada anak-anak antara epifisis dan metafisis terdapat lempeng epifisis sebagai daerah
pertumbuhan kongenital. Lempeng epifisis ini akan menghilang pada dewasa, sehingga
epifisis dan metafisis ini akan menyatu pada saat itulah pertumbuhan memanjang tulang akan
berhenti.
Tulang panjang terdiri dari : epifisis, metafisis dan diafisis. Epifisis merupakan bagian paling
atas dari tulang panjang, metafisis merupakan bagian yang lebih lebar dari ujung tulang
panjang, yang berdekatan dengan diskus epifisialis, sedangkan diafisis merupakan bagian
tulang panjang yang di bentuk dari pusat osifikasi primer.
Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-
sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang
panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari
pembuluh darah inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu
tulang yang patah.
II.2 DEFINISI
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah
dapat berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan
2
patah tulang radius dan ulna, dan dapat berupa trauma tidak langsung, misalnya jatuh
bertumpu pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah.
Akibat trauma pada tulang bergantung pada jenis trauma, kekuatan dan arahnya. Trauma
tajam yang langsung atau trauma tumpul yang kuat dapat menyebabkan tulang patah dengan
luka terbuka sampai ke tulang yang disebut patah tulang terbuka. Patah tulang di dekat sendi
atau mengenai sendi dapat menyebabkan patah tulang disertai luksasi sendi yang disebut
fraktur dislokasi.
II.3 KLASIFIKASI
Fraktur menurut ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar dibagi
menjadi dua, yaitu fraktur tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur tertutup jika kulit diatas
tulang yang fraktur masih utuh, tetapi apabila kulit diatasnya tertembus maka disebut fraktur
terbuka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi tiga derajat yang ditentukan oleh berat
ringannya luka dan berta ringannya patah tulang.
Derajat Luka Fraktur
I Laserasi <2 cm Sederhana, dislokasi fragmen minimal
II Laserasi >2 cm, kontusi otot
disekitarnya
Dislokasi fragmen jelas
III Luka lebar, rusak hebat, atau
hilangnya jaringan di sekitarnya
Kominutif, segmental, fragmen tulang ada
yang hilang
Klasifikasi Fraktur terbuka menurut Gustillo dan Anderson ( 1976 )
Tipe Batasan
I Luka bersih dengan panjang luka < 1 cm
II Panjang luka > 1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang berat
3
III Kerusakan jaringan lunak yang berat dan luas, fraktur segmental terbuka,
trauma amputasi, luka tembak dengan kecepatan tinggi, fraktur terbuka di
pertanian, fraktur yang perlu repair vaskuler dan fraktur yang lebih dari 8
jam setelah kejadian.
Klasifikasi lanjut fraktur terbuka tipe III (Gustillo dan Anderson, 1976) oleh Gustillo,
Mendoza dan Williams (1984):
Tipe Batasan
IIIA Periosteum masih membungkus fragmen fraktur dengan kerusakan jaringan
lunak yang luas
IIIB Kehilangan jaringan lunak yang luas, kontaminasi berat, periosteal striping
atau terjadi bone expose
IIIC Disertai kerusakan arteri yang memerlukan repair tanpa melihat tingkat
kerusakan jaringan lunak.
4
Klasifikasi salter haris untuk patah tulang yang mengenai lempeng epifisis distal tibia dibagi
menjadi lima tipe :
Tipe 1 : Epifisis dan cakram epifisis lepas dari metafisis tetapi periosteumnya masih utuh.
Tipe 2 : Periost robek di satu sisi sehingga epifisis dan cakram epifisis lepas sama sekali dari
metafisis.
Tipe 3 : Patah tulang cakram epifisis yang melalui sendi
Tipe 4 : Terdapat fragmen patah tulang yang garis patahnya tegak lurus cakram epifisis
Tipe 5 : Terdapat kompresi pada sebagian cakram epifisis yang menyebabkan kematian dari
sebagian cakram tersebut.
Menurut Penyebab terjadinya
Faktur Traumatik : direct atau indirect
Fraktur Fatik atau Stress
Trauma berulang, kronis, misal: fr. Fibula pd olahragawan
Fraktur patologis : biasanya terjadi secara spontan
Menurut hubungan dg jaringan ikat sekitarnya
Fraktur Simple : fraktur tertutup
Fraktur Terbuka : bone expose
Fraktur Komplikasi : kerusakan pembuluh darah, saraf, organ visera
Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995 : 238-239) fraktur
diklasifikasikan menjadi :
5
1. Berdasarkan garis patah tulang
a. Greenstick, yaitu fraktur dimana satu sisi tulang retak dan sisi lainnya bengkok.
b. Transversal, yaitu fraktur yang memotong lurus pada tulang.
c. Spiral, yaitu fraktur yang mengelilingi tungkai/lengan tulang.
d. Obliq, yaitu fraktur yang garis patahnya miring membentuk sudut melintasi tula
2. Berdasarkan bentuk patah tulang
a. Complet, yaitu garis fraktur menyilang atau memotong seluruh tulang dan fragmen tulang
biasanya tergeser.
b. Incomplet, meliputi hanya sebagian retakan pada sebelah sisi tulang.
c. Fraktur kompresi, yaitu fraktur dimana tulang terdorong ke arah permukaan tulang lain.
d. Avulsi, yaitu fragmen tulang tertarik oleh ligamen.
e. Communited (Segmental), fraktur dimana tulang terpecah menjadi beberapa bagian.
f. Simple, fraktur dimana tulang patah dan kulit utuh.
g. Fraktur dengan perubahan posisi, yaitu ujung tulang yang patah berjauhan dari tempat
yang patah.
6
h. Fraktur tanpa perubahan posisi, yaitu tulang patah, posisi pada tempatnya yang normal.
i. Fraktur Complikata, yaitu tulang yang patah menusuk kulit dan tulang terlihat.
II.4 ETIOLOGI
Fraktur terjadi bila ada suatu trauma yang mengenai tulang, dimana trauma tersebut
kekuatannya melebihi kekuatan tulang. 2 faktor mempengaruhi terjadinya fraktur
Ekstrinsik meliputi kecepatan dan durasi trauma yang mengenai tulang, arah dan
kekuatan trauma.
Intrinsik meliputi kapasitas tulang mengasorbsi energi trauma, kelenturan, kekuatan,
dan densitas tulang.
Trauma langsung akibat benturan akan menimbulkan garis fraktur transversal dan
kerusakan jaringan lunak. Benturan yang lebih keras disertai dengan penghimpitan tulang
akan mengakibatkan garis fraktur kominutif diikuti dengan kerusakan jaringan lunak yang
lebih luas.
7
Trauma tidak langsung mengakibatkan fraktur terletak jauh dari titik trauma dan
jaringan sekitar fraktur tidak mengalami kerusakan berat. Pada olahragawan, penari dan
tentara dapat pula terjadi fraktur pada tibia, fibula atau metatarsal yang disebabkan oleh
karena trauma yang berulang.
Selain trauma, adanya proses patologi pada tulang seperti. tumor atau pada penyakit
Paget dengan energi yang minimal saja akan mengakibatkan fraktur. Sedang pada orang
normal hal tersebut belum tentu menimbulkan fraktur.
II.5 PATOFISIOLOGI FRAKTUR
Trauma yang terjadi pada tulang dapat menyebabkan seseorang mempunyai
keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan berat badan. Fraktur yang terjadi dapat berupa
fraktur tertutup ataupun fraktur terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
lunak disekitarnya sedangkan fraktur terbuka biasanya disertai kerusakan jarigan lunak
seperti otot, tendon, ligamen, dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat atau berlebihan dapat mengakibatkan fraktur terbuka karena dapat
menyebabkan fragmen tulang keluar menembus kulit sehingga akan menjadikan luka terbuka
dan akan menyebabkan peradangan dan memungkinkan untuk terjadinya infeksi.
Keluarnya darah dari luka terbuka dapat mempercepat pertumbuhan bakteri. Tertariknya
segmen tulang disebabkan karena adanya kejang otot pada daerah fraktur menyebabkan
disposisi pada tulang, sebab tulang berada pada posisi yang kaku.
8
II.6 MANIFESTASI KLINIS
Menurut Blach (1989) manifestasi klinik fraktur adalah :
1. Nyeri
Nyeri kontinue/terus-menerus dan meningkat semakin berat sampai fragmen tulang tidak
bisa digerakkan.
2. Gangguan fungsi
Setelah terjadi fraktur ada bagian yang tidak dapat digunakan dan cenderung
menunjukkan pergerakan abnormal, ekstremitas tidak berfungsi secara teratur karena
fungsi normal otot tergantung pada integritas tulang yang mana tulang tersebut saling
berdekatan.
3. Deformitas/kelainan bentuk
Perubahan tulang pada fragmen disebabkan oleh deformitas tulang yang diketahui ketika
dibandingkan dengan daerah yang tidak luka.
4. Pemendekan
Pada fraktur tulang panjang terjadi pemendekan yang nyata pada ekstremitas yang
disebabkan oleh kontraksi otot yang berdempet di atas dan di bawah lokasi fraktur.
5. Krepitasi
Suara detik tulang yang dapat didengar atau dirasakan ketika fraktur digerakkan.
6. Bengkak dan perubahan warna
Hal ini disebabkan oleh trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
9
II.7 DIAGNOSIS
Riwayat
Anamnesis dilakukan untuk menggali riwayat mekanisme cedera (posisi kejadian) dan
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan cedera tersebut. riwayat cedera atau fraktur
sebelumnya, riwayat sosial ekonomi, pekerjaan, obat-obatan yang dia konsumsi, merokok,
riwayat alergi dan riwayat osteoporosis serta penyakit lain.
Pemeriksaan Fisik
a. Inspeksi / Look
Deformitas : angulasi, rotasi, pemendekan, pemanjangan, bengkak
Pada fraktur terbuka : klasifikasi Gustilo
b. Palpasi / Feel ( nyeri tekan (tenderness), Krepitasi)
Status neurologis dan vaskuler di bagian distalnya perlu diperiksa. Lakukan palpasi pada
daerah ekstremitas tempat fraktur tersebut, meliputi persendian diatas dan dibawah cedera,
daerah yang mengalami nyeri, efusi, dan krepitasi
Neurovaskularisasi bagian distal fraktur meliputi : pulsasi aretri, warna kulit, pengembalian
cairan kapler (Capillary refill test) sensasi
c. Gerakan / Moving
Dinilai apakah adanya keterbatasan pada pergerakan sendi yang berdekatan dengan lokasi
fraktur.
d. Pemeriksaan trauma di tempat lain : kepala, toraks, abdomen, pelvis
Sedangkan pada pasien dengan politrauma, pemeriksaan awal dilakukan menurut protokol
ATLS. Langkah pertama adalah menilai airway, breathing, dan circulation. Perlindungan
10
pada vertebra dilakukan sampai cedera vertebra dapat disingkirkan dengan pemeriksaan
klinis dan radiologis. Saat pasien stabil, maka dilakukan secondary survey.
Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah rutin, faktor pembekuan darah, golongan darah, cross-test, dan
urinalisa.
Radiologis untuk lokasi fraktur harus menurut rule of two, terdiri dari :
I. 2 gambaran, anteroposterior (AP) dan lateral
II. Memuat dua sendi di proksimal dan distal fraktur
III. Memuat gambaran foto dua ekstremitas, yaitu ekstremitas yang cedera dan yang
tidak terkena cedera (pada anak) ; dan dua kali, yaitu sebelum tindakan dan
sesudah tindakan.
Pergeseran fragmen Tulang ada 4 :
1. Alignment : perubahan arah axis longitudinal, bisa membentuk sudut
2. Panjang : dapat terjadi pemendekan (shortening)
3. Aposisi : hububgan ujung fragmen satu dengan lainnya
4. Rotasi : terjadi perputaran terhadap fragmen proksimal
II.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan fraktur terdiri dari 4R yaitu recognition berupa diagnosis dan
penilaian fraktur, reduction, retention dengan imobilisasi, dan rehabilitation yaitu
mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin
Penatalaksanaan awal fraktur meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik sebelum maupun sesudah
11
reposisi dan imobilisasi. Pada pasien dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi
awal fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil. Sedangkan penatalaksanaan
definitif fraktur adalah dengan menggunakan gips atau dilakukan operasi dengan ORIF
maupun OREF.
Tujuan pengobatan fraktur :
a. REPOSISI dengan tujuan mengembalikan fragmen keposisi anatomi. Tehnik reposisi
terdiri dari reposisi tertutup dan terbuka. Reposisi tertutup dapat dilakukan dengan fiksasi
eksterna atau traksi kulit dan skeletal. Cara lain yaitu dengan reposisi terbuka yang dilakukan
padapasien yang telah mengalami gagal reposisi tertutup, fragmen bergeser, mobilisasi dini,
fraktur multiple, dan fraktur patologis.
b. IMOBILISASI / FIKSASI dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen post reposisi
sampai Union. Indikasi dilakukannya fiksasi yaitu pada pemendekan (shortening), fraktur
unstabel serta kerusakan hebat pada kulit dan jaringan sekitar
Jenis Fiksasi :
Ekternal / OREF (Open Reduction External Fixation)
Gips ( plester cast)
Traksi
Jenis traksi :
Traksi Gravitasi : U- Slab pada fraktur humerus
12
Skin traksi
Tujuan menarik otot dari jaringan sekitar fraktur sehingga fragmen akan kembali ke
posisi semula. Beban maksimal 4-5 kg karena bila kelebihan kulit akan lepas
Sekeletal traksi : K-wire, Steinmann pin atau Denham pin.
Traksi ini dipasang pada distal tuberositas tibia (trauma sendi koksea, femur, lutut), pada
tibia atau kalkaneus ( fraktur kruris). Adapun komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan
traksi yaitu gangguan sirkulasi darah pada beban > 12 kg, trauma saraf peroneus (kruris) ,
sindroma kompartemen, infeksi tempat masuknya pin
Indikasi OREF :
Fraktur terbuka derajat III
Fraktur dengan kerusakan jaringan lunak yang luas
fraktur dengan gangguan neurovaskuler
Fraktur Kominutif
Fraktur Pelvis
13
Fraktur infeksi yang kontraindikasi dengan ORIF
Non Union
Trauma multiple
Internal / ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
ORIF ini dapat menggunakan K-wire, plating, screw, k-nail. Keuntungan cara ini adalah
reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
Indikasi ORIF :
a. Fraktur yang tak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis tinggi, misalnya fraktur talus
dan fraktur collum femur.
b. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup. Misalnya fraktur avulse dan fraktur dislokasi.
c. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan. Misalnya fraktur Monteggia,
fraktur Galeazzi, fraktur antebrachii, dan fraktur pergelangan kaki.
d. Fraktur yang berdasarkan pengalaman memberi hasil yang lebih baik dengan operasi,
misalnya : fraktur femur.
14
c. UNION
d. REHABILITASI
II.9 PENYEMBUHAN FRAKTUR
Proses penyembuhan fraktur pada tulang kortikal terdiri atas lima fase, yaitu :
1. Fase hematoma
Apabila terjadi fraktur pada tulang panjang, maka pembuluh darah kecil yang melewati
kanalikuli dalam sistem Haversian mengalami robekan pada daerah fraktur dan akan
membentuk hematoma diantara kedua sisi fraktur. Hematoma yang besar diliputi oleh
periosteum. Periosteum akan terdorong dan dapat mengalami robekan akibat tekanan
hematoma yang terjadi sehingga dapat terjadi ekstravasasi darah ke dalam jaringan lunak.
Osteosit dengan lakunanya yang terletak beberapa milimeter dari daerah fraktur akan
kehilangan darah dan mati, yang akan menimbulkan suatu daerah cincin avaskuler tulang
yang mati pada sisi-sisi fraktur segera setelah trauma.
2. Fase proliferasi seluler subperiosteal dan endosteal
Pada fase ini terjadi reaksi jaringan lunak sekitar fraktur sebagai suatu reaksi penyembuhan.
Penyembuhan fraktur terjadi karena adanya sel-sel osteogenik yang berproliferasi dari
periosteum untuk membentuk kalus eksterna serta pada daerah endosteum membentuk kalus
interna sebagai aktifitas seluler dalam kanalis medularis. Apabila terjadi robekan yang hebat
pada periosteum, maka penyembuhan sel berasal dari diferensiasi sel-sel mesenkimal yang
tidak berdiferensiasi ke dalam jaringan lunak. Pada tahap awal dari penyembuhan fraktur ini
terjadi pertambahan jumlah dari sel-sel osteogenik yang memberi pertumbuhan yang cepat
15
pada jaringan osteogenik yang sifatnya lebih cepat dari tumor ganas. Pembentukan jaringan
seluler tidak terbentuk dari organisasi pembekuan hematoma suatu daerah fraktur. Setelah
beberapa minggu, kalus dari fraktur akan membentuk suatu massa yang meliputi jaringan
osteogenik. Pada pemeriksaan radiologis kalus belum mengandung tulang sehingga
merupakan suatu daerah radiolusen.
3. Fase pembentukan kalus (fase union secara klinis)
Setelah pembentukan jaringan seluler yang bertumbuh dari setiap fragmen sel dasar yang
berasal dari osteoblas dan kemudian pada kondroblas membentuk tulang rawan. Tempat
osteoblast diduduki oleh matriks interseluler kolagen dan perlengketan polisakarida oleh
garam-garam kalsium membentuk suatu tulang yang imatur. Bentuk tulang ini disebut
sebagai woven bone. Pada pemeriksaan radiologi kalus atau woven bone sudah terlihat dan
merupakan indikasi radiologik pertama terjadinya penyembuhan fraktur.
4. Fase konsolidasi (fase union secara radiologik)
Woven bone akan membentuk kalus primer dan secara perlahan-lahan diubah menjadi tulang
yang lebih matang oleh aktivitas osteoblas yang menjadi struktur lamelar dan kelebihan kalus
akan diresorpsi secara bertahap.
5. Fase remodeling
Bilamana union telah lengkap, maka tulang yang baru membentuk bagian yang menyerupai
bulbus yang meliputi tulang tetapi tanpa kanalis medularis. Pada fase remodeling ini,
perlahan-lahan terjadi resorpsi secara osteoklastik dan tetap terjadi proses osteoblastik pada
tulang dan kalus eksterna secara perlahan-lahan menghilang. Kalus intermediat berubah
16
menjadi tulang yang kompak dan berisi sistem Haversian dan kalus bagian dalam akan
mengalami peronggaan untuk membentuk ruang sumsum.
17
II.10 KOMPLIKASI FRAKTUR
Komplikasi fraktur dapat diakibatkan oleh trauma itu sendiri atau akibat penanganan fraktur
yang disebut komplikasi iatrogenik
a. Komplikasi umum
Syok karena perdarahan ataupun oleh karena nyeri, koagulopati diffus dan gangguan fungsi
pernafasan.
Ketiga macam komplikasi tersebut diatas dapat terjadi dalam 24 jam pertama pasca trauma
dan setelah beberapa hari atau minggu akan terjadi gangguan metabolisme, berupa
peningkatan katabolisme. Komplikasi umum lain dapat berupa emboli lemak, trombosis vena
dalam (DVT), tetanus atau gas gangren
b. Komplikasi Lokal
Komplikasi dini
Komplikasi dini adalah kejadian komplikasi dalam satu minggu pasca trauma, sedangkan
apabila kejadiannya sesudah satu minggu pasca trauma disebut komplikasi lanjut.
Pada Tulang
1. Infeksi, terutama pada fraktur terbuka.
2. Osteomielitis dapat diakibatkan oleh fraktur terbuka atau tindakan operasi pada
fraktur tertutup. Keadaan ini dapat menimbulkan delayed union atau bahkan non
union
18
Komplikasi sendi dan tulang dapat berupa artritis supuratif yang sering terjadi pada fraktur
terbuka atau pasca operasi yang melibatkan sendi sehingga terjadi kerusakan kartilago sendi
dan berakhir dengan degenerasi
Pada Jaringan lunak
1. Lepuh , Kulit yang melepuh adalah akibat dari elevasi kulit superfisial karena edema.
Terapinya adalah dengan menutup kasa steril kering dan melakukan pemasangan
elastik
2. Dekubitus.. terjadi akibat penekanan jaringan lunak tulang oleh gips. Oleh karena itu
perlu diberikan bantalan yang tebal pada daerah-daerah yang menonjol
Pada Otot
Terputusnya serabut otot yang mengakibatkan gerakan aktif otot tersebut terganggu. Hal ini
terjadi karena serabut otot yang robek melekat pada serabut yang utuh, kapsul sendi dan
tulang. Kehancuran otot akibat trauma dan terjepit dalam waktu cukup lama akan
menimbulkan sindroma crush atau trombus (Apley & Solomon,1993).
Pada pembuluh darah
Pada robekan arteri inkomplit akan terjadi perdarahan terus menerus. Sedangkan pada
robekan yang komplit ujung pembuluh darah mengalami retraksi dan perdarahan berhenti
spontan.
Pada jaringan distal dari lesi akan mengalami iskemi bahkan nekrosis. Trauma atau
manipulasi sewaktu melakukan reposisi dapat menimbulkan tarikan mendadak pada
pembuluh darah sehingga dapat menimbulkan spasme. Lapisan intima pembuluh darah
tersebut terlepas dan terjadi trombus. Pada kompresi arteri yang lama seperti pemasangan
19
torniquet dapat terjadi sindrome crush. Pembuluh vena yang putus perlu dilakukan repair
untuk mencegah kongesti bagian distal lesi (Apley & Solomon, 1993).
Sindroma kompartemen terjadi akibat tekanan intra kompartemen otot pada tungkai atas
maupun tungkai bawah sehingga terjadi penekanan neurovaskuler sekitarnya. Fenomena ini
disebut Iskhemi Volkmann. Ini dapat terjadi pada pemasangan gips yang terlalu ketat
sehingga dapat menggangu aliran darah dan terjadi edema dalam otot.
Apabila iskhemi dalam 6 jam pertama tidak mendapat tindakan dapat menimbulkan
kematian/nekrosis otot yang nantinya akan diganti dengan jaringan fibrus yang secara
periahan-lahan menjadi pendek dan disebut dengan kontraktur volkmann. Gejala klinisnya
adalah 5 P yaitu Pain (nyeri), Parestesia, Pallor (pucat), Pulseness (denyut nadi hilang) dan
Paralisis
Pada saraf
Berupa kompresi, neuropraksi, neurometsis (saraf putus), aksonometsis (kerusakan akson).
Setiap trauma terbuka dilakukan eksplorasi dan identifikasi nervus (Apley & Solomon,1993).
Komplikasi lanjut
Pada tulang dapat berupa malunion, delayed union atau non union. Pada pemeriksaan terlihat
deformitas berupa angulasi, rotasi, perpendekan atau perpanjangan.
Delayed union
Proses penyembuhan lambat dari waktu yang dibutuhkan secara normal. Pada pemeriksaan
radiografi, tidak akan terlihat bayangan sklerosis pada ujung-ujung fraktur,
20
Terapi konservatif selama 6 bulan bila gagal dilakukan Osteotomi. Bila lebih 20 minggu
dilakukan cancellus grafting (12-16 minggu)
Non union
Dimana secara klinis dan radiologis tidak terjadi penyambungan.
Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan fraktur dan diantara
fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih mempunyai potensi untuk union dengan
melakukan koreksi fiksasi dan bone grafting.
Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis) terdapat jaringan
sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang berisi cairan, proses union tidak
akan dicapai walaupun dilakukan imobilisasi lama.
Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi periosteum yang luas,
hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur, waktu imobilisasi yang tidak memadai,
implant atau gips yang tidak memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang
(fraktur patologis)
Mal union
Penyambungan fraktur tidak normal sehingga menimbukan deformitas. Tindakan refraktur
atau osteotomi koreksi .
Osteomielitis
Osteomielitis kronis dapat terjadi pada fraktur terbuka atau tindakan operasi pada fraktur
tertutup sehingga dapat menimbulkan delayed union sampai non union (infected non union).
21
Imobilisasi anggota gerak yang mengalami osteomielitis mengakibatkan terjadinya atropi
tulang berupa osteoporosis dan atropi otot
Kekakuan sendi
Kekakuan sendi baik sementara atau menetap dapat diakibatkan imobilisasi lama, sehingga
terjadi perlengketan peri artikuler, perlengketan intraartikuler, perlengketan antara otot dan
tendon. Pencegahannya berupa memperpendek waktu imobilisasi dan melakukan latihan aktif
dan pasif pada sendi. Pembebasan periengketan secara pembedahan hanya dilakukan pada
penderita dengan kekakuan sendi menetap (Apley & Solomon,1993).
22
BAB III
DISLOKASI
III.1 DEFINISI
Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi ini dapat
hanya komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang
dari tempat yang seharusnya (dari mangkuk sendi). Seseorang yang tidak dapat mengatupkan
mulutnya kembali sehabis membuka mulutnya adalah karena sendi rahangnya terlepas dari
tempatnya. Dengan kata lain: sendi rahangnya telah mengalami dislokasi.
Dislokasi sendi adalah suatu keadaan dimana permukaan sendi tulang yang membentuk sendi
tidak lagi dalam posisi anatomis. Secara kasar adalah tulang terlepas dari persendian.
Subluksasi adalah dislokasi parsial permukaan persendian. Kadang luksasi disertai dengan
fraktur luksasi / dislokasi, misalnya fraktur panggul dengan fraktur pinggir acetabulum.
Dislokasi disertai dengan kerusakan simpai sendi atau ligament sendi. Bila kerusakan tersebut
tidak sembuh dengan baik, luksasi muda terulang kembali seperti sendi bahu. Pada sendi
panggul perdarahan dicaput femur mungkin terganggu karena kerusakan pada trauma luksasi
sehingga terjadi nekrosis avasculer.
23
III.2 KLASIFIKASI
• Dislokasi congenital.
Terjadi sejak lahir akibat kesalahan pertumbuhan yang paling sering terjadi pada panggul.
Dislokasi panggul cogenital merupakan suatu keadaan dimana caput femoris posisisnya
dalam acetabulum tidak normal sejak lahir. Caput femoris biasanya kecil dan sering kali
terletak diluar superior dan lateral acetabulum. Perkembangan panggul normal yang harmonis
membutuhkan hubungan antara caput femoris dan acetabulum. Disosiasi jangka panjang
dapat menyebabkan perkembangan yang tak memadai baik caput femoris maupun
acetabulum sehingga akhirnya menyebabkan cacat.
• Dislokasi traumatik
Dislokasi traumatik adalah suatu kedaruratan ortopedi, yang memerlukan pertolongan segera,
karena struktur sendi yang terlibat pasokan darah dan saraf rusak susunannya dan mengalami
stres. Bila tidak ditangani segera dapat terjadinekrosis avasculer ( kematian jaringan akibat
anoksia dan hilangnya pasokan darah ) dan paralylisis saraf.
Trauma sendi dapat berupa :
- Kontusio sendi biasa terjadi oleh benturan.
- Joint srain oleh trauma kecil yang berulang ( otot tertarik akibat penggunaan yang
berlebihan, peregangan berlebihan dan atau stres yang berlebihan ).
- Joint sprain / keseleo ada robekan mikroskopis dari ligament atau kapsul sendi yang tidak
mengganggu stabilitas akibat gerakan memutar.
- Ruptur ligament
24
- Dislokasi.
• Dislokasi spontan atau patologik
Terjadi akibat penyakit struktur sendi dan jaringan sekitar sendi.
III.3 DIAGNOSIS
a. Anamnesis
Pada anamnesis kita dapat menanyakan adanya trauma, mekanisme trauma yang sesuai,
misalnya trauma ekstensi dan eksorotasi pada dislokasi anterior sendi bahu., ada rasa sendi
keluar, bila trauma minimal hal ini dapat terjadi pada dislokasi rekuren atau habitual.
b. Pemeriksaan klinis.
- Deformitas : hilangnya tonjolan tulang normal, misalnya deltoid yang rata pada
dislokasi bahu, perubahan panjang ekstremitas, kedudukan yang khas pada dislokasi tertentu,
misalnya dislokasi posterior sendi panggul kedudukan sendi panggul endorotasi, fleksi
dan abduksi.
- Nyeri
- Funtio laesa gerak terbatas.
• Dislokasi traumatic
Semua lingkup gerak dicatat, mulai dari posisi nol atau netral. Posisi netral bukan merupakan
posisi faali atau posisi istirahat yang penting bila dilakukan immobilisasi. Posisi netral
disebut juga posisi Zero atau posisi 0 , adalah posisi yang menjadi dasar nol atau mencatat
25
gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi dan rotasi. Posisi netral untuk sendi bahu dan paha
adalah posisi bahu atau paha searah dengan sumbu tubuh dan untuk sendi siku, lutut dan
pergelangan tangan adalah sendi lurus. Untuk sendi pergelangan kaki posisi netral adalah
kaki tegak lurus atas tungkai bawah.
• Dislokasi congenital panggul
Semua anak yang baru lahir sebaiknya diperiksa kemungkinan ada dislikasi panggul
congenital beberapa hari setelah kelahiran. Bayi ditidurkan dengan kedua kaki dipleksikan
dengan menekan secara lembut pada lutut kearah meja periksa, sedangkan lutut dan pahanya
diabduksikan secara manual pada saat yang bersamaan bagian proksimal paha ditekan keatas
dan medial. Tekanan pada lutut pada lutut yang arahnya kebawah pada pada awal tindakan
ini, dapat menyebabkan dislokasi total pada panggul yang mengalami gangguan. Pada waktu
paha diabduksikan seperti tersebut diatas panggul tersa tereduksi secara spontan disertai
bunyi “ KLIK “ kemudian dengan adduksi panggul dapat dirasakan dislokasinya. Ketidak
stabilan panggul yang dapat diperagakan dengan tes provokasi ini disebut “ tanda ortolani
positif “
c. Pemeriksaan radiologis.
Untuk memastikan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur, pada dislokasi lama
pemeriksaan radiologis lebih penting oleh karena nyeri dan spasme otot telah menghilang.
26
III.4 PENATALAKSANAAN
Sendi yang terkena harus diimobilisasi saat pasien dipindahkan. Tindakan reposisi :
1. Reposisi segera.
2. Dislokasi sendi kecil dapat direposisi ditempat kejadian tanpa anasthesi, misalnya dislokasi
siku, dislokasi bahu dan dislokasi jari.
3. Dislokasi bahu, siku atau jari dapat direposisi dengan anasthesi lokal
dan obat – obat penenang misalnya Valium. Jangan dipilih cara reposisi yang
traumatis yang bila dilakukan tanpa relaksasi maksimal dapat menimbulkan
fraktur.
4. Dislokasi sendi dasar misalnya dislokasi sendi panggul memerlukan anasthesi
umum. Dislokasi setelah reposisi, sendi diimobilisasi dengan pembalut, bidai,
gips ata traksi dan dijaga agar tetap dalamposisi stabil, beberapa hari beberapa
minggu setelah reduksi gerakan aktif lembut tiga sampai empat kali sehari
dapat mengembalikan kisaran sendi, sendi tetap disangga saat latihan.
5. Perhatian perawatan.
Tanda-tanda Dislokasi beserta penatalaksanaannya:
a) Dislokasi sendi rahang
Terjadi karena menguap atau tertawa terlalu lebar, terkena pukulan keras ketika rahang
sedang terbuka.
27
Penatalakasanaan :
• Rahang ditekan kebawah dengan mempergunakan ibu jari yang sudah dilindungi balutan
• Ibu jari tersebut diletakkan pada geraham paling belakang
• Tekanan tersebut harus mantap tetapi pelan-pelan bersamaan dengan penekanan jari-jari
yang lain mengangkat dagu penderita keatas
• Tindakan dikatakan berhasil bila rahang tersebut menutup dengan cepat dan keras
• Untuk beberapa saat penderita tidak boleh membuka mulut lebar
b) Dislokasi sendi bahu
Tanda-tanda korban yang mengalami Dislokasi sendi bahu yaitu:
• Sendi bahu tidak dapat digerakakkan
• Korban mengendong tangan yang sakit dengan yang lain
• Korban tidak bisa memegang bahu yang berlawanan
• Kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya
Penatalaksanaan:
a. Teknik Hennipen
Secara perlahan dielevasikan sehingga bongkol sendi masuk kedalam mangkok sendi. Pasien
duduk atau tidur dengan posisi 450 , siku pasien ditahan oleh tangan kanan penolong dan
tangan kiri penolong melakukan rotasi arah keluar (eksterna) sampai 900 dengan lembut dan
perlahan, jika korban merasa nyeri, rotasi eksterna sementara dihentikan sampai terjadi
relaksasi otot, kemudian dilanjutkan. Sesudah relaksasi eksterna mencapai 900 maka reposisi
akan terjadi, jika reposisi tidak terjadi, maka
28
b. Teknik Stimson
Pasien tidur tengkurap, kemudian tangan yang dislokasi digantung tempat tidur diberi beban
10-15 pound selama 30 menit biasanya akan terjadi reposisi jika tidak berhasil dapat ditolong
dengan pergerakan rotasi dan kemudian interna
c) Dislokasi sendi panggul
Tanda-tanda klinis terjadinya dislokasi panggul:
• Kaki pendek dibandingkan dengan kaki yang tidak mengalami dislokasi
• Kaput femur dapat diraba pada tanggul
• Setiap usaha menggerakkan pinggul akan mendatangkan rasa nyeri
29
BAB IV
KESIMPULAN
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur menurut ada tidaknya
hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar dibagi menjadi dua, yaitu fraktur tertutup
dan fraktur terbuka. Menurut Mansjoer (2000 : 346-347) dan menurut Appley Solomon (1995
: 238-239) fraktur diklasifikasikan Berdasarkan garis patah tulang yaitu greenstick,
transversal, spiral, dan obliq. Berdasarkan bentuk patah tulang yaitu complet, incomplet,
avulsi, comminuted, simple, dan complikata. Penyebab fraktur ini dapat berupa trauma
langsung, tak langsung, maupun penyakit yang menyertai. Untuk mendiagnosis suatu fraktur,
harus dilakukan anamnesis trauma, pemeriksaan fisik yang terdiri dari look, feel dan move,
serta pemeriksaan penunjang X-ray. Penatalaksaan dari fraktur yaitu dengan reposisi, fiksasi,
union dan rehabilitasi. Terdapat berbagai komplikasi yagn didapatkan bila penanganan
fraktur ini tidak adekuat diantaranya yaitu malunion, delayed union maupun nonunion.
\
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Apley, A.Graham. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem APLEY. Ed.7. Jakarta :
Widya Medika.1995
2. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Kumpulan
Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa Aksara.1995.
3. Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : PT. Yarsif Watampone.
2007
4. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC.2004.
5. Schwartz, Shires, Spencer. Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6. Jakarta :
EGC.2000.
6. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta: EGC 1994.
7. http://orthoinfo.aaos.org
8. www.bedahugm.com
9. www.emedicine.com
10. www.wikipedia.com
31