4. hasil dan pembahasan - repository.ipb.ac.id · untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan...
TRANSCRIPT
17
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Kota Bogor
Kedudukan geografis Kota Bogor berada di tengah wilayah Kabupaten
Bogor yang berjarak sekitar 60 km dari Ibu Kota Jakarta, sehingga merupakan
potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa,
pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi,
dan pariwisata. Wilayah Kota Bogor seluas 11 850 Km2 terdiri dari 6 kecamatan
dan 68 kelurahan. Kemudian secara administratif Kota Bogor dikelilingi oleh
wilayah Kabupaten Bogor. Batas wilayah Kota Bogor sebelah utara berbatasan
dengan Kecamatan Kemang, Kecamatan Bojong Gede dan Kecamatan Sukaraja.
Sebelah timurnya berbatasan dengan Kecamatan Sukaraja dan Kecamatan Ciawi,
kemudian sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Dramaga dan Kecamatan
Ciomas. Sebelah selatannya berbatasan dengan Kecamatan Cijeruk dan Caringin.
Penduduk Kota Bogor pada tahun 2012 terdapat sebanyak 1 004 831 orang yang
terdiri dari 510 884 orang laki-laki dan sebanyak 493 947 perempuan. Kepadatan
penduduk di Kota Bogor mencapai 8.480 orang per km2 (Pemkot Bogor 2012).
Sumber : BAPPEDA Kota Bogor, 2012
Gambar 1 Peta Wilayah Administrasi Kota Bogor
4.2. Deskripsi Geometrik Ruas Jalan Sampel
Pencacahan kendaraan dilakukan di 7 titik jalan arteri Kota Bogor. Ketujuh
titik tersebut yaitu: a) Jl. Padjajaran #1 tepatnya di depan RS. PMI; b) Jl. Padjajaran
# 2, tepatnya di depan SPBU Bantar Jati; c) Jl. Jalak Harupat, di depan Lapangan
Sempur; d) Jl. Veteran, tepatnya di depan pintu masuk Balai Kehutanan; dan e) di
Jalan Raya Tajur; f) Jalan KH. Sholeh Iskandar; g) Jalan Pahlawan. Adapun
deskripsi singkat dari geometrik setiap ruas jalan tersebut yaitu sebagai berikut:
18
a) Jalan Pajajaran # 1
Gambar 2 Lokasi pengamatan Jalan Pajajaran #1 depan RS. PMI,
Baranangsiang (Sumber: maps.google.com)[diakses 9 Juli 2014]
Titik pengamatan ini tepatnya berada di depan RS. PMI (Gambar 2). Tipe
jalan Pajajaran merupakan jalan terbagi atau kategori D, sehingga memiliki
dua ruas yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke Utara
yaitu 7,8 m sedangkan lebar ruas jalan yang mengarah ke Selatan yaitu 6,8
m dengan lebar keseluruhan yaitu 14,6 m. Dua ruas tersebut dipisahkan oleh
trotoar pembatas, dan memiliki bahu jalan yang sempit, yakni sekitar 50 cm.
Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar sebagai jalur
bagi pejalan kaki. Adanya pagar di sisi trotoar samping jalan telah menekan
aktivitas pejalan kaki dan kaki lima di bahu jalan, sehingga relatif tidak ada
hambatan bagi laju kendaraan.
b) Jalan Pajajaran # 2
Titik pengamatan ini tepatnya berada di depan SPBU Bantar Jati (Gambar
3). Tipe jalan Pajajaran merupakan jalan terbagi atau kategori D, sehingga
memiliki dua ruas yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah
ke Utara yaitu 5 m dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Selatan yaitu 4.9
m dengan lebar keseluruhan yaitu 9.9 m. Dua ruas tersebut dipisahkan oleh
trotoar pembatas dan hampir tidak memiliki bahu jalan. Di sisi kiri dan luar
jalan ini dilengkapi dengan trotoar untuk pejalan kaki, namun bahu jalan
relatif sempit dan lebar trotoar tidak lebih dari satu meter.
Gambar 3 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di jalan Pajajaran, depan RS.
Azra (Sumber: maps.google.com) )[diakses 9 Juli 2014]
19
c) Jalan Jalak Harupat
Gambar 4 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di jalan Jalak Harupat, depan
Lap. Sempur (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014]
Titik pengamatan ini tepatnya di depan Lapangan Sempur (Gambar 4). Tipe
jalan Jalak Harupat merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD,
yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang mengarah ke barat yaitu 4.7 m
dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Timur yaitu 4.2 m dengan lebar
keseluruhan yaitu 8.9 m. Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar
dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah
dilengkapi dengan trotoar (1 – 2 m) di sisi Selatan jalan sebagai sarana bagi
pejalan kaki. Lebar trotoar yang lebih dari satu meter memberi cukup ruang
untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Pada titik
pengamatan ini memungkinkan lebih banyak hambatan bagi laju kendaraan
terutama pada waktu akhir pekan.
d) Jalan Veteran
Titik pengamatan ini berada di jalan Veteran, tepatnya di depan pintu masuk
Balai Kehutanan (Gambar 5). Tipe jalan ini merupakan jalan yang tidak
terbagi atau kategori UD yang berlawanan arah. Lebar ruas jalan yang
mengarah ke Barat yaitu 4.5 m dan lebar ruas jalan yang mengarah ke Timur
yaitu 4.4 m dengan lebar keseluruhan yaitu 8.9 m. Ruas jalan tersebut tidak
dipisahkan oleh trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri
jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar sebagai sarana bagi pejalan kaki.
Trotoar memberikan ruang untuk aktivitas pejalan kaki di pinggir jalan.
Gambar 5 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Veteran, depan gerbang
Balai Kehutanan (Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014]
20
e) Jalan Raya Tajur
Gambar 6 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Raya Tajur
(Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014]
Titik pengamatan ini berada di jalan Raya Tajur, di sekitar Terminal Tas
(Gambar 6). Tipe jalan ini merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori
UD yang berlawanan arah. Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh trotoar
dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah
dilengkapi dengan trotoar (sekitar 1 m) di sisi kanan-kiri jalan sebagai
sarana bagi pejalan kaki. Lebar trotoar yang ada memberikan cukup ruang
untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Dengan kondisi
demikian, pada titik Jalan Raya Tajur memungkinkan terjadi lebih banyak
hambatan bagi laju kendaraan.
f) Jalan KH. Sholeh Iskandar
Tipe jalan KH. Sholeh Iskandar merupakan jalan terbagi atau kategori D
(Gambar 7), sehingga terbagi menjadi dua ruas yang berlawanan arah. Dua
ruas tersebut dipisahkan oleh trotoar pembatas, dan memiliki bahu jalan
yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini telah dilengkapi dengan trotoar
sebagai jalur bagi pejalan kaki. Bahu jalan yang relatif sempit dan adanya
pagar di sisi trotoar samping jalan ditambah pula banyaknya toko-toko serta
beberapa mall berakibat pada besarnya hambatan bagi laju kendaraan dari
aktivitas kendaraan keluar masuk toko-toko atau mall juga oleh akitivitas
pejalan kaki dan pedagang kaki lima.
Gambar 7 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan KH. Sholeh Iskandar
(Sumber: maps.google.com) [diakses 20 Juli 2014]
21
g) Jalan Pahlawan
Gambar 8 Lokasi pengamatan arus lalu lintas di Jalan Pahlawan
(Sumber: maps.google.com) [diakses 9 Juli 2014]
Tipe jalan Pahlawan merupakan jalan yang tidak terbagi atau kategori UD
yang berlawanan arah (Gambar 8). Ruas jalan tersebut tidak dipisahkan oleh
trotoar dan memiliki bahu jalan yang sempit. Di sisi kiri atau luar jalan ini
telah dilengkapi dengan trotoar (sekitar 1 m) di sisi kanan-kiri jalan sebagai
sarana bagi pejalan kaki. Lebar trotoar yang ada memberikan cukup ruang
untuk aktivitas pejalan kaki di samping kanan dan kiri jalan. Dengan kondisi
begitu, pada titik pengamatan ini memungkinkan lebih banyak hambatan
bagi laju kendaraan.
4.3. Kecenderungan Peningkatan Jumlah Kendaraan di Kota Bogor
Pada Tabel 9 disajikan data jumlah kendaraan di Kota Bogor dari berbagai
jenis kendaraan dari tahun 2008 – 2013. Kajian melihat kencendrungan peningkatan
jumlah pertumbuhan kendaraan dilakukan dengan menggunakan data sekunder
yang diperoleh dari instansi yang menyediakan data terkait.
Tabel 9 Data jumlah kendaraan tahun 2008 – 2013
Jenis Kendaraan Bermotor Banyaknya kendaraan
2008 2009 2010 2011 2012 2013
Sedan, Jeep, Minibus (Pribadi) 32 620 34 460 37 675 45 383 46 871 51 229
Sedan, Jeep, Minibus (Umum) 3 433 3 627 3 965 4 776 3 228 4 028
Sedan, Jeep, Minibus (Pemerintah, TNI, POLRI) 321 339 371 447 429 478
Bus, Mikro Bus (Pribadi) 260 257 244 293 214 237
Bus, Mikro Bus (Umum) 335 331 314 377 285 312
Bus, Mikro Bus (Pemerintah, TNI, POLRI) 53 53 50 60 46 40
Truk, Light Truk, Pick Up (Pribadi) 7 657 7 541 8 043 9 754 9 533 10 295
Truk, Light Truk, Pick Up (Umum) 115 113 120 146 200 200
Truk, Light Truk, Pick Up (Pemerintah, TNI, POLRI) 168 166 177 215 205 223
Sepeda Motor (Pribadi) 106543 119564 147059 202269 159071 20329
Sepeda Motor (Umum) - - - - - -
Sepeda Motor (Pemerintah, TNI, POLRI) 570 640 787 1 088 812 1 069
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat Wilayah Kota Bogor
Pada Gambar 9 menunjukkan bahwa peningkatan kendaraan dari tahun ke
tahun cenderung meningkat (tumbuh positif). Akan tetapi terjadi penurunan jumlah
kendaraan yang terdata di Dinas Pendapatan Provinsi Jawa Barat Wilayah Kota
Bogor pada tahun 2012.
22
Gambar 9 Pertumbuhan kendaraan tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013)
Peningkatan yang cukup tinggi terjadi pada tahun 2008-2011, yakni sebesar
112 733 kendaraan, sedangkan dari 2011-2013 terjadi peningkatan yang tidak
begitu signifikan karena didalamnya sempat terjadi penurunan pada 2011-2012.
Gambar 10 Peningkatan mobil besar tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013)
Pertumbuhan kendaraan roda dua yang disajikan pada Gambar 11 menun-
jukkan pola yang serupa dengan peningkatan kendaraan secara keseluruhan pada
gambar 10 di atas. Pertumbuhan kendaraan bermotor (roda dua) cenderung terus
menigkat dari tahun ke tahun meskipun sempat mengalami lag pada tahun 2011-
2012, akan tetapi setelah itu kembali mengalami peningkatan yang cukup tinggi.
Dilihat dari kepemilikan sepeda motor, sepeda motor milik pribadi cenderung
mengalami peningkatan lebih tinggi dibandingkan sepeda motor milik pemerintah.
TNI atau Polri. Menurut data tersebut, lebih banyak masyarakat yang memiliki
sepeda motor.
201320122011201020092008
275000
250000
225000
200000
175000
150000
Tahun
pe
nin
gka
tan
ke
nd
ara
an
Trend peningkatan Kendaraan Tahun 2008-2012Trend Peningkatan Kendaraan 2008-2013
23
Gambar 11 Peningkatan jumlah motor tahun 2008-2013 (Sumber: Data diolah 2013)
Berdasarkan data jumlah kendaraan di Kota Bogor, terlihat bahwa adanya
kecenderungan peningkatan jumlah kendaraan di semua jenis kendaraan. Semakin
tahun jumlah kendaraan di Kota Bogor semakin meningkat. Banyaknya jumlah
kendaraan dapat berimplikasi langsung terhadap tingkat pelayanan jalan di Kota
Bogor. Jalan di Kota Bogor akan semakin padat karena meningkatnya arus
kendaraan yang melewati Kota Bogor. Hal ini akan menyebabkan permasalahan
ketika kapasitas jalan tidak bisa mengimbangi volume kendaraan. Apabila mening-
katnya jumlah kendaraan tidak diimbangi dengan penyesuaian tingkat pelayanan
jalan maka akan terjadi the tragedy of the common dari pemanfaatan jalan.
Jalan sebagai sumberdaya bersama memang sangat sensitif terhadap hak asasi
pengguna jalan. Hak pengguna jalan dapat saja di ambil atau berkurang yang di
akibatkan oleh pengguna jalan lain karena kapasitas jalan sudah tidak sesuai dengan
volume kendaraan. Kemacetan menjadi salah satu dampak adanya eksternalitas
negatif dari penggunaan sumberdaya secara bersama-sama.
4.4. Analisis Tingkat Kelayakan Jalan
4.4.1. Tingkat Pelayanan Jalan
Nilai tingkat pelayanan jalan atau Degree of Saturation (DS) atau V/C ratio
menjawab apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak,
nilai tersebut juga digunakan sebagai ukuran dalam penanganan masalah jalan dan
lalu lintas. Pada dasarnya, semakin besar hasil perbandingan antara keduanya, maka
kinerja jalan semakin rendah. Sebaliknya, semakin kecil hasil perbandingan
tersebut, maka tingkat kinerja jalan akan semakin baik. Berdasarakan perhitungan
dan analisis pada Tabel 10 yang dimulai dari identifikasi geometri jalan, analisis
volume lalu lintas, analisis hambatan samping dan analisis kapasitas jalan, maka
dapat ditentukan tingkat pelayanan jalan di Kota Bogor.
24
Tabel 10 Standar tingkat pelayanan (Level of Service, LoS) jalan
Tingkat
Pelayanan Karakteristik V/C
A Kondisi arus bebas, berkendara dalam kecepatan
tinggi, volume lalu lintas rendah 0.0 – 0.20
B Arus stabil, kecepatan mulai dibatasi oleh kondisi
lalu lintas 0.21 – 0.44
C Arus stabil, kecepatan dan gerak kendaraan diken-
dalikan oleh kondisi lalu lintas 0.45 – 0.75
D Arus mendekati tidak stabil, kecepatan masih
dapat dikendalikan, V/C masih dapat ditolerir 0.76 – 0.84
E Arus tidak stabil, kecepatan kadang terhenti, per-
mintaan (kebutuhan) jalan mendekati kapasitasnya 0.85 – 1.00
F Arus dipaksakan rendah, volume kendaraan di atas
kapasitas jalan, terjadi antrian panjang (macet) ≥ 1.00 Sumber : AASHO, policy on design of urban highway aretrial streets (1973)
Menurut Tamin (2000) menyatakan nilai VCR atau tingkat pelayanan jalan
digunakan untuk menentukan rekomendasi bagi bentuk penanganan ruas jalan
serta persimpangan dalam suatu wilayah pengaruh. Jenis penanganannya
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Jika nilai DS berada pada 0.6-0.8. Jenis penanganannya adalah
manajemen lalu lintas yag ditekankan pada pemanfaatan fasilitas
jalan yang ada seperti pemanfaatan lebar jalan secara efektif, bisa juga
berupa peningkatan kelengkapan marka dan rambu jalan, pemisahan arus,
pengendalian parkir dan kaki lima serta pengaturan belok.
2. Jika nilai DS sama dengan 0.8. Jenis penanganannnya adalah peningkatan
ruas jalan berupa pelebaran dan penambahan lajur jalan sehingga dapat
ditingkatkan kapasitas ruas jalannya dengan signifikan.
3. Jika nilai DS lebih dari 0.8. Nilai DS yang sudah jauh melebihi 0.8 maka
pilihan terakhir adalah pembangunan jalan baru, jalan lingkar atau jalan
utama alternatif yang dapat memecah kepadatan lalu lintas pada jalan
lama. Upaya ini ditempuh sebab penambahan lebar jalan dan penam-
bahan lajur sudah tidak memungkinkan lagi kerena keterbatasan lahan
dan kondisi lalu lintas yang sangat padat.
Volume kendaraan yang terus meningkat tiap tahunnya akan berakibat pada
semakin rendahnya tingkat pelayanan jalan apabila ruas jalan yang tersedia tidak
mengalami penambahan secara signifikan. Semakin rendahnya tingkat pelayanan
jalan dan meningkatnya volume kendaraan dapat menimbulkan eksternalitas bagi
pengguna jalan seperti kualitas jalan yang semakin berkurang akan menimbulkan
ketidaknyamanan bagi pengguna jalan, timbulnya kemacetan yang menambah
waktu tempuh perjalanan dan kerugian ekonomi lainnya, kondisi lingkungan yang
semakin tidak ramah akibat volume kendaraan yang meningkat. Perlu adanya solusi
untuk mengatasi masalah tersebut agar dapat mengurangi dampak eksternalitas
negatif yang timbul. Solusi dapat dilihat dari dua sisi, pertama dari volume
kendaraan seperti adanya kebijakan pembatasan volume kendaraan yang masuk
daerah Kota Bogor. Kedua, dari pelayanan jalan seperti penambahan lebar jalan,
25
panjang jalan, kualitas jalan dan perbaikan sistem lalu lintas. Jika keduanya masih
belum dapat dilakukan secara maksimal, perlu adanya transportasi massal yang
berkualitas bagus, nyaman, dan harga yang terjangkau sehingga dapat mengurangi
penggunaan kendaraan pribadi baik motor atau mobil di jalan.
4.4.2. Kapasitas Jalan dan Derajat Kejenuhan
Pencacahan dilakukan dalam dua tahap, yakni observasi kondisi transportasi
untuk mengetahui periode yang mana terjadi volume kendaraan terpadat dan
pencacahan tersebut dilakukan pada rentang waktu volume kendaraan terpadat
tersebut. Hasil pencacahan kendaraan di masing-masing jalan dikonversikan ke
dalam satuan kapasitas sejenis yaitu “smp/jam” (satuan mobil penumpang per jam)
dengan nilai ekuivalensi untuk mobil penumpang 1, mobil besar 1.2, dan sepeda
motor 0.25. Hasil setelah dijadikan kedalam satuan smp/jam, kemudian dijumlah
sehingga didapat jumlah arus dalam satu jam selama satu minggu di masing-masing
lokasi yang ditunjukkan pada Tabel 11. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan
volume kendaraan saat flow, yakni volume kendaraan dalam 1 jam.
Tabel 11 Volume kendaraan rata-rata (smp/jam) di setiap lokasi sampling
Sumber : Data primer, 2013
Volume kendaraan yang digunakan untuk menghitung kapasitas pada tiap
lokasi ialah volume rata-rata yang terjadi dalam seminggu pencacahan kendaraan.
Volume rata-rata tersebut digunakan dalam perhitungan menggunakan Manual
Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) menghasilkan kapasistas jalan masing-masing
ruas. Kapasitas jalan dan derajat kejenuhan diamati pada 7 titik yang menjadi
sampling disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Kapasitas jalan dan derajat kejenuhan masing-masing ruas jalan
Sumber : Data diolah 2013
Nama jalan Nilai smp per jam
Jl. Pajajaran #1 4 367.2
Jl. Pajajaran #2 2 135.6
Jl. Jalak Harupat 3 810.4
Jl. Veteran 2 630.8
Jalan Raya Tajur 2 871.0
Jalan KH. Sholeh Iskandar 5 825.0
Jalan Pahlawan 2 227.0
Nama Jalan
Rata-
rata V
(smp)
Co
(smp) Fcw Fcsp Fcsf Fccs C DS LoS
Pajajaran #1 4 367.2 6 600 1.00 1.00 0.91 0.94 5 645.64 0.77 D
Pajajaran #2 2 135.6 6 600 0.92 1.00 0.81 0.94 4 623.22 0.46 C
Jalak Harupat 3 810.4 6 000 0.92 0.94 0.93 0.94 4 536.05 0.84 E
Veteran 2 630.8 6 000 0.91 1.00 0.93 0.94 4 773.13 0.55 C
Raya Tajur 2 871.0 6 600 0.91 1.00 0.94 0.94 5 306.90 0.54 C
Soleh Iskandar 5 825.0 6 600 1.08 1.00 0.97 0.94 6 499.31 0.89 E
Pahlawan 2 227.0 6 000 0.91 1.00 0.87 0.94 4 465.19 0.49 C
26
Kapasitas jalan dan level pelayanan jalan (LoS) pada ketujuh titik yang
diamati memiliki nilai yang berbeda (Tabel 12). Kapasitas jalan dikatakan optimum
jika berada pada LoS sama dengan D, yakni ketika arus lalu lintas mendekati tidak
stabil, kecepatan masih dapat dikendalikan, dan V/C masih dapat ditoleransi. Pada
tabel 12 terlihat bahwa terdapat 4 titik jalan yang berada pada kondisi LoS C, yaitu
Jalan Pajajaran # 2, Jalan Veteran, Jl. Raya Tajur, dan Jalan Pahlawan. Karakteristik
pelayanan jalan pada LoS C yaitu arus kendaraan stabil, kecepatan dan gerak
kendaraan dikendalikan oleh kondisi lalu lintas. Terdapat 1 titik jalan arteri berada
pada kondisi optimum yaitu jalan Pajajaran (LoS = D) dimana arus kendaraan
mendekati tidak stabil, kecepatan masih dapat dikendalikan, dan tingkat pelayanan
jalan masih dapat ditoleransi. Terdapat 2 titik jalan pada kondisi LoS E, yaitu Jalan
Jalak Harupat dan Jalan KH. Sholeh Iskandar. Karakteristik LoS E yaitu di mana
arus kendaraan tidak stabil, kecepatan kendaraan kadang terhenti, serta permintaan
(kebutuhan) jalan mendekati kapasitasnya.
Hasil LoS menunjukkan bahwa tidak semua jalan berada pada level optimal
(LoS = D), diantaranya ada masuk pada level C dan level pelayanan E (Tabel 13).
Jalan-jalan yang masuk pada level C yaitu Jalan Pajajaran #2, Jalan Veteran, Jalan
Raya Tajur, dan Jalan Pahlawan masing-masing memiliki volume kendaraan 2
135.6 smp/jam, 2 630.8 smp/jam, 2 871 smp/jam, dan 2 227 smp/jam. Jalan-jalan
tersebut dapat berubah menjadi lebih buruk, yaitu pada level D (optimal) ketika
volume kendaraannya meningkat minimal menjadi 3 513,6 smp/jam (Jl. Pajajaran
#2), 3 627.6 smp/jam Jl. Veteran), 3 627.6 smp/jam (Jl. Raya Tajur), dan 3 276.5
smp/jam (Jl. Pahlawan).
Tabel 13 Volume kendaraan optimal ketika kapasitas jalan tetap
Nama Jalan V Rata-rata
(smp/jam) C (smp) LoS
V Optimal (level D)
Batas Bawah Batas Atas
Pajajaran #1 4 367.2 5 645.64 D 4 290.7 4 742.3
Pajajaran #2 2 135.6 4 623.22 C 3 513.6 3 883.5
Jalak Harupat 3 810.4 4 536.05 E 3 447.4 3 809.0
Veteran 2 630.8 4 773.13 C 3 627.6 4 009.4
Raya Tajur 2 871.0 5 306.90 C 4 033.2 4 457.8
Sholeh Iskandar 5 825.0 6 499.31 E 4 939.5 5 459.4
Pahlawan 2 227.0 4 465.19 C 3 393.5 3 750.8
Sumber: Data diolah 2013
Pada Jalan Pajajaran #2, jika terjadi penambahan volume kendaraan maka
jumlah yang masih bisa ditoleransi yaitu sebesar 1 378 smp/jam (3 513.6–2 135.6
smp/jam) sehingga tingkat pelayanannya jalan menjadi level D (batas bawah
optimal) dan mencapai batas atas optimal ketika volume kendaraan sudah mencapai
3 883.5 smp/jam. Begitu pula pada Jalan Veteran, jika terjadi toleransi penambahan
volume maka volume kendaraan masih bisa bertambah sebesar 996.8 smp/jam,
sehingga level tingkat pelayanan jalan berubah semakin menurun dari level C
menjadi level D (optimal). Pada jalan Raya Tajur, level tingkat pelayanan jalan akan
berubah menjadi level D (optimal) ketika volume kendaraan bertambah sebesar
756.6 smp/jam, selanjutnya akan mencapai batas atas optimal ketika volume
kendaraan sudah mencapai 4 009.4 smp/jam. Kemudian nilai toleransi perubahan
volume kendaraan pada Jalan Pahlawan adalah sebesar 1 049.5 smp/jam, sehingga
level tingkat pelayanan jalan berubah pada batas optimal, yakni menjadi level D.
27
Jalan yang masih dalam kondisi level D atau optimal adalah Jalan Pajajaran
#1 dimana memiliki volume kendaraan sebesar 4 367.2 smp/jam yang berada pada
selang batas bawah dan batas atas volume optimal untuk Jalan Pajajaran #1, yaitu
4 290.7 – 4 742.3 smp/jam. Jalan Pajajaran #1 akan berada pada batas atas optimal
ketika volume kendaraan bertambah 375.1 smp/jam, sedangkan akan berubah
menjadi level jalan yang lebih baik ketika volume kendaraan berkurang minimal >
77.5 smp/jam. Jalan yang sudah melebihi batas optimal adalah Jalan Jalak Harupat
dan Jalan Sholeh Iskandar dimana berada pada level E. Jalan Jalak Harupat akan
berada pada tingkat pelayanan jalan optimal atau level D jika volume kendaraan
pada jalan tersebut dikurangi sebesar 41.5 smp/jam dimana mencapai batas atas
level optimal sebesar 3 768.9 smp/jam dan akan mencapai batas bawah level
optimum jika volume kendaraan dikurangi sebesar 400.5 smp/jam. Kemudian Jalan
Sholeh iskandar dimana volume kendaraan pada jalan tersebut sudah berada pada
level E. Jalan Sholeh Iskandar akan berada pada tingkat pelayanan jalan optimal
jika volume kendaraan pada jalan tersebut dikurangi sebesar 834.6 smp/jam yang
merupakan batas bawah level optimal sebesar 4 990.4 smp/jam dan akan mencapai
batas atas level optimum jika volume kendaraan dikurangi sebesar 309.3 smp/jam.
Menurut Hardin (1968) Pemanfaatan jalan sebagai barang publik oleh
seseorang akan mengurangi kemampuan orang lain untuk memanfaatkanya yang
disebut tragedi kepemilikan bersama. Analisis kapasitas jalan ini menjadi sebuah
indikator bagi pemanfaatan jalan sebagai salah satu dari common pool resource.
Dari data analisis yang ada, kapasitas jalan dari 7 titik jalan arteri di Kota Bogor
yang di amati menunjukkan arus volume kendaraan yang melewati jalan tersebut
pada rata-rata belum melebihi dari kapasitas dasar jalan yang ada. Namun demikian
kenyamanan pengguna jalan akan berkurang seiring dengan semakin menurunya
level derajat kejenuhan dari tiap titik jalan. Sebagai contoh titik Jalan Jalak Harupat
yang memiliki arus volume kendaraan rata-rata 3 810.4 smp/jam dan kapasitas jalan
sebesar 4 486.74 smp/jam sehingga derajat kejenuhan di Jalan Jalak Harupat berada
pada level E. Kemudian pula hal yang sama terjadi pada Jalan Sholeh Iskandar yang
memiliki kapasitas jalan 6 990.4 smp/jam dan arus volume kendaraan 5 825 smp
per jam sehingga level pelayanan jalan berada pada level E. Walaupun kapasitas
dasar Jalan Jalak Harupat dan Jalan Sholeh Iskandar dapat dikatakan masih dapat
menampung arus kendaraan yang ada saat ini yaitu sebesar 6 000 smp/jam dan 6
600 smp/jam, namun kondisi jalan sudah dapat dikatakan tidak nyaman karena arus
kendaraan tidak stabil dan mendekati kapasitas jalan. Tidak dapat menutup
kemungkinan keadaan kapasitas jalan sudah tidak dapat menampung arus
kendaraan yang melewati jalan tersebut ketika bertambahnya volume kendaraan
tidak di imbangi dengan penambahan lebar atau panjang jalan. Jika hal demikian
terjadi maka akan timbul eksternalitas negatif sehingga tragedi kepemilikan
bersama dari pemanfaatan jalan akan terjadi.
Jalan merupakan sumberdaya yang dikategorikan milik bersama (public
goods) yang dapat digunakan oleh siapa saja. Akan tetapi seringkali jalan
digunakan secara tidak tertib sehingga mengurangi nilai kegunaan bagi pengguna
jalan. Setiap orang ingin menggunakan jalan secara berlebihan Setiap individu
berupaya untuk tiba di tempat tujuannya dengan kendaraannya secepat
mungkin dengan melalui rute-rute tercepat. Pada awalnya, setiap tambahan
pengguna jalan seperti kendaraan tidak memperlambat lalu lintas. Hal tersebut
karena kemungkinan kapasitas jalan yang dilewati masih bisa menampung
28
volume kendaraan yang ada. Namun demikian, jika terjadi fase di mana kapasitas
jalan sudah tidak dapat menampung volume kendaraan karena terdapat terlalu
banyak kendaraan yang melintas sehingga lalu lintas terganggu dan mengurangi
kenyamanan pengguna jalan maka terjadi masalah penggunaan sumberdaya
atau the tragedy of the common.
Perlu adanya berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini, sebelum semakin
menurun tingkat pelayanan jalan seiring dengan peningkatan volume kendaraaan
tiap tahunya, tindakan pencegahan harus di upayakan agar meminimalisir
timbulnya eksternalitas negatif. Berbagai solusi diantaranya pengendalian volume
kendaraan yang melintasi jalan baik angkutan umum maupun berbagai jenis
kendaraan pribadi, peningkatan dan perbaikan kapasitas jalan seperti pada faktor
penyesuaian lebar jalan, faktor pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan
samping dan bahu jalan sehingga dapat mengimbangi besarnya volume kendaraan
yang terus meningkat, ketegasan aparatur pemerintah terhadap peraturan mengenai
penggunaan jalan umum sebagai sumber daya kepemilikan bersama.
4.4.3. Proyeksi volume kendaraan dan perubahan tingkat pelayanan jalan
Tingkat pelayanan jalan yang telah diuraikan di atas akan terus mengalami
perbahan di setiap tahun. Perubahan tingkat pelayanan jalan dipengaruhi oleh
perubahan volume kendaraan (V) dan kapasitas jalan (C). Volume kendaraan yang
terus meningkat berakibat pada tingkat pelayanan jalan (VCR) yang semakin
rendah. Berdasarkan data Tabel 14, trend laju pertumbuhan kendaraan cendrung
meningkat yang berdampak pula pada meningkatnya volume kendaraan tiap tahun.
Tabel 14 Proyeksi jumlah volume kendaraan pada 7 titik jalan arteri di Kota Bogor
tahun 2014 – 2017
No. Lokasi Pengamatan
Smp/jam
2014 2015 2016 2017
1 Jl. Pajajaran #1 4 715.3 5 059.7 5 404.1 5 748.4
2 Jl. Pajajaran #2 2 305.7 2 474.1 2 642.4 2 810.8
3 Jl. Jalak Harupat 4 114.0 4 414.4 4 714.9 5 015.3
4 Jl. Veteran 2 840.4 3 047.9 3 255.3 3 462.7
5 Jl. Raya Tajur 3 099.9 3 326.2 3 552.6 3 779.0
6 Jl. KH. Sholeh Iskandar 6 289.0 6 748.2 7 207.5 7 666.8
7 Jl. Pahlawan 2 404.9 2 580.6 2 756.2 2 931.8
Sumber: Data diolah 2013
Hasil proyeksi peningkatan volume kendaraan menunjukkan bahwa di Jalan
KH. Sholeh Iskandar terjadi peningkatan volume kendaraan yang tertinggi di antara
titik jalan lainnya, yaitu pada tahun 2014 sebesar 6 222.7 smp/jam dan di tahun
2017 menjadi 7 586.2 smp/jam artinya terjadi perubahan sebesar 1 363.5 smp/jam
selama 4 tahun ke depan. Sedangkan peningkatan yang cukup kecil atau lambat
terjadi di Jalan Pajajaran # 2, di mana pada tahun 2014 sebesar 2 281.4 smp per jam
dan pada tahun 2017 menjadi 2 781.3 smp per jam, yang artinya terjadi perubahan
sebesar 499.9 smp/jam selama 4 tahun ke depan. Saat ini, setelah masa pengambilan
sampel, pemerintah Kota Bogor bersama Pemerintah Pusat telah membangun jalan
tol fly over di atas sebagian jalan tersebut sehingga mengurangi beban jalannya.
29
Proyeksi perubahan volume kendaraan (Tabel 14) dapat digunakan untuk
memproyeksi tingkat pelayanan jalan dengan asumsi tidak terjadi perubahan
kondisi geometrik jalan (Tabel 15). Kemudian proyeksi derajat kejenuhan jalan dari
tahun 2014 hingga 2017 dapat dikategorikan dalam nilai Level of Service yang
disajikan pada Tabel 16. Penilaian tersebut dimaksudkan untuk mempermudah
identifikasi kondisi pelayanan di setiap ruas jalan yang menjadi sampel penelitian.
Tabel 15 Proyeksi derajat kejenuhan (DS) jalan pada tahun 2014-2017
Lokasi 2014 2015 2016 2017
Jl. Pajajaran #1 0.84 0.90 0.96 1.02
Jl. Pajajaran #2 0.50 0.54 0.57 0.61
Jl. Jalak Harupat 0.92 0.98 1.05 1.12
Jl. Veteran 0.60 0.64 0.68 0.73
Jl. Raya Tajur 0.65 0.70 0.74 0.79
Jl. Soleh Iskandar 0.96 1.03 1.10 1.17 Jl Pahlawan 0.56 0.60 0.64 0.68
Sumber : Data diolah 2013
Tabel 16 Proyeksi Level of Service tiap lokasi pada tahun 2014-2017
2014 2015 2016 2017
Jl. Pajajaran #1 D D E E
Jl. Pajajaran #2 C C C C
Jl. Jalak Harupat E E E F
Jl. Veteran C C C C
Jl. Raya Tajur C C C C
Jl. Soleh Iskandar E E F F
Jl. Pahlawan C C C C
Sumber : Data diolah 2013
Tabel 15 dan Tabel 16 menunjukkan perubahan LoS yang terjadi dari pada
tahun 2014-2017 yang berpatokan dari tahun 2013 dengan asumsi kapasitas jalan
tetap. Jalan Pajajaran #1 akan terjadi perubahan level sebanyak 2 kali perubahan
pada selang tahun 2014 hingga 2017. Perubahan tingkat pelayanan pertama pada
tahun 2015 dan kemudian pada tahun 2017, dari sebelumnya di tahun 2013 berada
pada level D dan pada tahun 2015 menjadi E lalu pada tahun 2017 kembali berubah
semakin memburuk menjadi level F. Sedangkan di lokasi lain hanya terjadi
perubahan 1 kali, yaitu Jalan Jalak Harupat dari E menjadi F, kemudian Jalan Raya
Tajur dari C menjadi D, dan Jalan Sholeh Iskandar mengalami perubahan dari E
menjadi status level F pada tahun 2015. Sedangkan di Jalan Pajajaran #2, Jalan
Veteran, dan Jalan Pahlawan tidak mengalami perubahan level status pelayanan
jalan hingga tahun 2017.
Secara umum, proyeksi tingkat pelayanan jalan untuk ketujuh titik jalan yang
diamati menunjukkan tren yang semakin buruk sebagai akibat peningkatan jumlah
kendaraan yang akan melewati jalan tiap tahunnya dan meningkatnya derajat
kejenuhan di tiap jalan arteri setiap tahun. Proyeksi perubahan volume kendaraan
dan juga tingkat pelayanan di atas dapat dijadikan dasar penentuan kebijakan untuk
menentukan prioritas perbaikan yang harus dilakukan terhadap titik jalan arteri agar
30
tidak terjadi the tragedy of the common. Upaya pencegahan yang dilakukan akan
mengurangi kerugian-kerugian yang dapat terjadi lebih besar dan lebih luas.
Perlu adanya berbagai solusi untuk mengatasi masalah ini, sebelum semakin
menurun tingkat pelayanan jalan seiring dengan peningkatan volume kendaraan
tiap tahunnya, tindakan pencegahan harus diupayakan agar meminimalisasi
timbulnya eksternalitas negatif. Berbagai solusi diantaranya pengendalian volume
kendaraan yang melintasi jalan baik angkutan umum maupun berbagai jenis
kendaraan pribadi, peningkatan dan perbaikan kapasitas jalan seperti pada faktor
penyesuaian lebar jalan, faktor pemisah arah, faktor penyesuaian hambatan
samping dan bahu jalan sehingga dapat mengimbangi besarnya volume kendaraan
yang terus meningkat.
4.4.4. Proyeksi kapasitas jalan yang harus disediakan apabila pertumbuhan jumlah
kendaraan tidak dibatasi
Terdapat dua cara dalam menanggulangi menurunya tingkat pelayanan jalan
atau derajat kejenuhan yang semakin buruk. Pertama, dengan pendekatan leviatan,
yakni mengendalikan akses dan membatasi penggunaan SDA secara ketat dengan
menggunakan kekuatan pihak ketiga. Dalam konteks ini, pendekatan Leviatan
berupa pengendalian jumlah volume kendaraan yang melintasi jalan agar tidak
melebihi dari kapasitas jalan atau masih berada pada tingkat pelayanan jalan yang
ideal. Kedua, juga melibatkan partisipasi pemerintah tetapi dengan pendekatan
yang berbeda yaitu menyediakan kapasitas jalan yang sesuai dengan arus volume
kendaraan yang ada sehingga tingkat pelayanan jalan tidak semakin memburuk.
Pelaksanaan alternatif pertama melalui pembuatan regulasi pembatasan kendaraan
bermotor yang melintasi jalan atau rekayasa lalu lintas yang dirancang serta
dikontrol oleh pihak pemerintah daerah. Selain itu, pengendalian jumlah volume
kendaraan dapat dilakukan dengan pengadaan sarana transportasi umum yang
bersifat massal seperti bus, trem, dan kereta yang nyaman agar pengguna kendaraan
pribadi berkurang. Alternatif kedua dapat dilaksanakan berupa pembangunan atau
pengembangan infrastruktur jalan.
Pendekatan solusi terhadap masalah kemacetan di Kota Bogor yang dipilih
dalam tesis ini yaitu dengan alternatif kedua. Kebijakan tersebut dipilih mengingat
bahwa jumlah kendaraan cenderung akan terus bertambah dan kepemilikannya
merupakan hak warga negara yang tidak bisa dibatasi. Selain itu, alternatif solusi
pertama hanya dapat berjalan dengan beberapa asumsi, yaitu: 1) terdapat informasi
mengenai potensi sumberdaya alam secara akurat, 2) ada kemampuan melakukan
pengawasan, 3) kehandalan pihak berwenang dalam pemberian sanksi, 4) biaya
administrasi sama dengan nol atau gratis, dan 5) adanya informasi tentang siapa
pengguna sumberdaya alam dan lingkungan yang bekerjasama atau tidak bekerja-
sama. Informasi yang akurat tentang infrastruktur transportasi di Kota Bogor masih
sulit diperoleh. Pengawasan pemerintah Kota Bogor terhadap penggunaan jalan
sebagai infrastruktur transportasi masih rendah. Pemberian sanksi kepada pelanggar
belum tegas dan rawan praktik korupsi. Hingga saat ini biaya administrasi jalan
arteri memang gratis karena anggaran perawatan jalan berasal dari anggaran belanja
pemerintah daerah ataupun pusat, sesuai kewenang7uannya. Proyeksi yang dibuat
akan melihat seberapa besar kapasitas jalan yang seharusnya agar tingkat pelayanan
jalan ideal dengan asumsi tingkat pertumbuhan volume kendaraan yang tidak
dibatasi (Tabel 17).
31
Tabel 17 Proyeksi kapasitas jalan pada 7 titik jalan arteri Kota Bogor sampai 2017
No Lokasi Tahun V
(smp/jam)
C Aktual
(smp/jam)
LoS C Ideal LoS
1 Jalan
Pajajaran #1
2014 4 852.4 5 645.64 E 5 613.5 - 6 204.4 D
2015 5 337.7 E 6 023.5 - 6 657.5 D
2016 5 822.9 F 5 433.4 - 7 110.6 D
2017 6 308.2 F 6 843.4 - 7 563.7 D
2 Jalan
Pajajaran #2
2014 2 372.7 4 623.22 C -
2015 2 610.0 C -
2016 2 847.2 C -
2017 3 084.5 C -
3 Jalak
Harupat
2014 4 233.5 4 536.05 E 4 897.6 - 5 413.1 D
2015 4 656.9 F 5 255.3 - 5 808.5 D
2016 5 080.3 F 5 613.0 - 6 203.8 D
2017 5 503.7 F 5 970.6 - 6 599.1 D
4 Jalan
Veteran
2014 2 923.0 4 773.13 C -
2015 3 215.3 C -
2016 3 507.6 C -
2017 3 799.9 D -
5 Jalan Raya
Tajur
2014 3 189.9 5 306.90 C -
2015 3 509.0 C -
2016 3 828.0 D -
2017 4 147.0 E 4 498.8 - 4 972.4 D
6 Jalan KH.
Sholeh
Iskandar
2014 6 471.7 6 499.31 E 7 486.8 - 8 274.9 D
2015 7 118.9 F 8 033.6 - 8 879.3 D
2016 7 766.2 F 8 580.4 - 9 483.6 D
2017 8 413.4 F 9127.1 - 10087.9 D
7 Jalan
Pahlawan
2014 2 474.8 4 465.19 C -
2015 2 722.3 C -
2016 2 969.8 C -
2017 3 217.3 D -
Sumber: Data diolah 2013
Berdasarkan Tabel 17 terlihat dari ketujuh titik jalan arteri yang diamati
terdapat titik jalan yang diproyeksikan harus menambah kapasitas jalan jika volume
kendaraan tidak dibatasi. Salah satu titik jalan yang kapasitas jalan masih pada level
C walaupun volume kendaraan terus meningkat tiap tahunnya adalah Jalan
Pajajaran #2 di mana volume kendaraan meningkat 499.9 smp/jam selama tahun
2014 – 2017. Dengan meningkatnya volume kendaraan dari proyeksi tahun 2014 –
2017 tidak membuat tingkat pelayanan di Jalan Pajajaran #2 berubah. Hal ini
dikarenakan kapasitas jalan di titik tersebut tergolong masih berada pada level di
bawah batas optimum, yaitu 4 623.2 smp/jam dan kapasitas dasar jalan yang besar
dibanding kapasaitas dasar jalan lainya serta volume kendaraan yang melintas pada
jalan tersebut yang tergolong rendah yaitu rata – rata 2 447.8 smp/jam (rata-rata
volume tahun 2013-2017).
32
Pada titik Jalan Pajajaran#1 proyeksi volume kendaraan akan meningkat
sebesar 1 022.2 smp/jam selama tahun 2014 - 2017. Hal ini membuat kapasitas jalan
yang ada mengalami penurunan level atau tingkat pelayanan jalan dari LoS sama
dengan D mengalami penurunan bertahap pada tahun 2015 menjadi LoS sama
dengan E dan tahun 2017 menjadi LoS sama dengan F. Dengan demikian
pemerintah perlu menyediakan atau menambah kapasitas jalan pada titik Jalan
Pajajaran#1 rata-rata minimal 375.1 smp/jam per tahun sehingga tingkat pelayanan
jalan berada level D di mana tingkat pelayanan jalan masih dikatakan baik atau
optimum. Kemudian pada titik jalan Jalak Harupat, seiring meningkatnya proyeksi
volume kendaraan membuat tingkat pelayanan jalan pada titik ini mengalami
penurunan dari LoS = E pada tahun 2013 menjadi LoS = F pada tahun 2016. Untuk
tetap menjaga LoS pelayanan jalan pada batas optimum diperlukan peningkatan
kapasitas jalan rata-rata minimal 284.2 smp/jam per tahun agar tingkat pelayanan
pada titik ini berada pada level D atau batas optimum. Titik jalan arteri yang juga
mengalami perubahan adalah Jalan Sholeh Iskandar. Seiring meningkatnya volume
kendaraan pada Jalan Sholeh Iskandar membuat tingkat pelayanan jalan sudah akan
berubah menjadi LoS = F pada tahun 2015 dan untuk meningkatkan tingkat
pelayanan Jalan Soleh Iskandar agar tetap level D pada tahun 2014-2017 diperlukan
peningkatan kapasitas jalan rata-rata minimal 493.0 smp/jam per tahun.
Adanya perubahan level tingkat pelayanan jalan yang cukup signifikan pada
tiga titik jalan yang di amati yaitu Jalan Pajajaran#1, Jalan Jarak Harupat, dan Jalan
Sholeh Iskandar membuat jalan sebagai common pool resources terjadi tragedi
kepemilikan bersama karena peningkatan volume kendaraan yang melintasi titik
tersebut sedangkan kapasitas jalan pada ketiga jalan tersebut belum mengalami
penambahan yang signifikan. Menurut Widiastuti (2012) jalan merupakan sumber
daya buatan manusia (man-made) yang bisa digunakan oleh banyak orang dan dapat
digolongkan sebagai barang publik. Semakin sering dan banyak yang
menggunakan, maka akan mengurangi kesempatan orang lain untuk meman-
faatkannya. Penggunaan oleh banyak orang suatu sumber daya menimbulkan
berbagai eksternalitas negatif seperti kerusakan dan penurunan nilai kemanfaatan
jalan tersebut. Kerusakan tersebut tidak dapat dihindari karena hal tersebut sudah
merupakan provision (ketetapan).
4.4.5. Dampak Kemacetan Terhadap Kerugian Pengguna Jalan
Kemacetan lalu lintas dapat diartikan jika arus lalu lintas mendekati kapasitas,
kemacetan mulai terjadi dimana kemacetan semakin meningkat apabila arus begitu
besarnya sehingga kendaraan sangat berdekatan satu sama lain, kemacetan total
terjadi apabila kendaraaan harus berhenti atau bergerak sangat lambat (Tamin
2000). Ada beberapa penyebab kemacetan diantaranya kecelakaan lalu lintas, ada
area pekerjaan jalan, cuaca buruk, alat pengatur lalu lintas yang kurang memadai,
dan fluktuasi pada arus normal.
Kemacetan lalu lintas telah menjadi fenomena umum di daerah perkotaan.
Beberapa faktor spesifik seperti jumlah penduduk, urbanisasi, penambahan
pemilikan kendaraan, dan penambahan jumlah perjalanan juga turut menambah
masalah kemacetan lalu lintas. Perkembangan Kota Bogor menyebabkan lebih
banyak penduduk yang datang dan menetap, selanjutnya mobilitas penduduk yang
terjadi akan meningkatkan kebutuhan angkutan umum.
33
Berdasarkan pengamatan kami di sepanjang tujuh titik jalan yang di amati,
terdapat beberapa faktor penyebab timbulnya kemacetan diantaranya pertama
kondisi lalu lintas yang terdiri dari berbagai jenis kendaraan sehingga bercampur-
nya berbagai moda transportasi membuat menambah besar volume kendaraan yang
melintas. Salah satu contoh di Jalan Pajajaran #1 di mana jenis jalan daerah ini
merupakan jalan utama yang menghubungkan daerah Kota Bogor dengan daerah
Cibinong dan Cipanas sehingga kondisi lalu lintas bercampur dengan berbagai
moda transportasi. Dengan bertambahnya volume kendaraan yang tidak diimbangi
dengan penambahan kapasitas jalan maka akan berpengaruh terhadap tingkat
pelayanan jalan. Kedua, perilaku pengguna jalan yang kurang disiplin sehingga
dapat menimbulkan antrian kendaraan yang menyebabkan kemacetan. Perilaku
pengguna jalan tersebut seperti kendaraan yang berpindah jalur secara sembarangan
dimana dapat menimbulkan antrian atau tundaan, perilaku kendaraan yang bergerak
zig zag yang dapat membahayakan pengendara lainnya. Perilaku tersebut sering
dilakukan oleh moda transportasi angkutan umum dan sepeda motor. Kemudian
banyaknya kendaraan yang berhenti dimana sering dilakukan oleh supir angkutan
umum yang menaikkan atau menurunan penumpang seenaknya. Kendaraan yang
berhenti sembarangan ini membuat titik kemacetan.
Sesuai dengan peningkatan pendapatan penduduk, pemilikan kendaraan dan
jumlah perjalanan juga akan meningkat sehingga menghasilkan lebih banyak
kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan transportasi. Faktor-faktor ini turut pula
mempercepat peningkatan kemacetan lalu lintas di Kota Bogor. Kemacetan
merupakan salah satu indikasi dari ketidakaturan pemanfaatan atau aturan atas
suatu barang publik yang menjadi kebutuhan masyarakat banyak, Keberadaan suatu
barang publik dimana setiap orang berhak untuk menggunakan atau mengambil
manfaatnya tanpa bisa dilarang oleh pengguna lainnya. Akhirnya kondisi ini dapat
menyebabkan the tragedy of the common yaitu penurunan manfaat dari suatu
barang publik yang harus ditanggung oleh semuanya akibat dari pemanfaatan
seseorang atau kelompok terhadap barang publik tersebut.
Dampak kemacetan yang juga signifikan terlihat pada penggunaan bahan
bakar, yaitu semakin borosnya bahan bakar kendaraan (BBM) dan semakin
besarnya tingkat emisi karbon yang dikeluarkan oleh kendaraan tersebut.
Peningkatan konsumsi bahan bakar berbanding lurus dengan penambahan waktu
perjalanan. Penambahan waktu perjalanan akan menambah konsumsi bahan bakar.
Dengan terjadinya kemacetan mengindikasikan terjadi penambahan waktu tempuh
perjalanan sehingga mengakibatkan peningkatan konsumsi BBM yang dibutuhkan.
Hampir seluruh responden setuju bahwa kemacetan akan membuat konsumsi bahan
bakar minyak pada kendaraan mereka menjadi lebih boros. Para sopir angkutan
umum mengeluhkan pendapatan mereka yang berkurang karena sering terjebak
kemacetan. Sebanyak 30 orang sopir angkutan umum trayek 03 jurusan Bubulak –
Baranangsiang yang dipilih sebagai responden. Berdasarkan hasil wawancara,
semua responden (100%) menyatakan mereka harus menambah uang bensin agar
beroperasi seperti biasanya atau mereka harus mengurangi jumlah operasional rit
kendaraan dari 6 rit pada kondisi normal, namun karena terjadi kemacetan menjadi
hanya 5 rit dalam sehari.
34
4.5. Kerugian Ekonomi
Data yang diperoleh dari 30 responden sopir angkot mengenai rata-rata durasi
kemacetan yang dialami pengguna jalan adalah 28 menit untuk trayek Bubulak-
Baranangsiang. Berikut hasil perhitungan kerugian ekonomi (berkurangnya
pendapatan) karena adanya kemacetan dengan sampel 30 responden dari 382 sopir
angkot yang ditunjukkan pada Tabel 18.
Tabel 18 Perhitungan kerugian ekonomi sopir angkot trayek Baranangsiang –
Bubulak
kerugian bensin akibat kemacetan
normal macet selisih
rata-rata rit/hari 6 5 1
rata-rata pengeluaran bensin per rit 19 200 24 800 5 600
kerugian per hari ketika macet 5 600 x 5 rit = 28 000
kerugian waktu di konversi ke dalam rit akibat macet
kerugian per hari ketika macet 22 500 x 1 rit = 22 500
total kerugian ekonomi (pengeluaran BBM dan
waktu) per hari /sopir angkot (Rp) 28 000 + 22 500 = 50 500
kerugian perbulan/sopir angkot (Rp) 1 515 000
kerugian pertahun/sopir angkot (Rp) 18 180 000
kerugian perhari seluruh sopir angkot (Rp) 19 291 000
kerugian perbulan seluruh angkot (Rp) 578 730 000
kerugian pertahun seluruh angkot (Rp) 6 944 760 000 Sumber: Data diolah (2013), Keterangan: total banyaknya sopir angkot trayek 03 = 382
Hasil perhitungan pengeluaran sopir angkot untuk pembelian BBM dengan
rumus perhitungan rata-rata, terlihat adanya selisih yang menunjukkan perbedaan
antara kondisi normal dan macet. Kemacetan mengakibatkan konsumsi terhadap
bahan bakar minyak semakin meningkat. Selain itu, dampak kemacetan pun
membuat terbuangnya waktu karena terhambat saat melakukan perjalanan.
Kerugian rata-rata bensin per rit perjalanan yang diakibatkan dari kemacetan
sebesar Rp 5 600.00, sehingga rata-rata kerugian BBM yang harus dikeluarkan
dalam satu hari ketika macet (sebanyak 5 rit) yaitu sebesar Rp 28 000.00.
Kerugian di sisi lain adalah dari segi waktu. Rata-rata banyaknya rit yang bisa
ditempuh pada kondisi normal adalah 6 rit/hari, akan tetapi karena kondisi tidak
normal berakibat pada berkurangnya banyaknya rit yang bisa ditempuh oleh sopir
angkot menjadi 5 rit/ hari, artinya sopir angkot mengalami kerugian sebanyak 1 rit
perjalanan. Rata-rata kerugian 1 rit perjalanan per hari ketika macet tersebut sebesar
Rp 22 500.00. Sehingga total rata kerugian ekonomi yang hanya diukur dari
pengeluaran BBM dan waktu terbuang adalah sebesar Rp. 50 500.00/hari. Total
kerugian perhari tersebut jika dikalikan dengan jumlah seluruh angkot trayek
Bubulak – Baranangsiang sebesar Rp 19 291 000. Besarnya kerugian perbulan per
sopir angkot adalah sebesar Rp 1 515 000, jika dikalikan dengan seluruh supir
angkot maka kerugian sebesar Rp 578 730 000. Angka kerugian per tahun per sopir
angkot cukup besar yaitu Rp 18 180 000 dan jika dikalikan dengan seluruh sopir
angkot pada trayek angkot dari Bubulak – Baranangsiang maka nilai kerugian
ekonomi mencapai Rp 6 944 760 000. Perhitungan kerugian ekonomi di atas hanya
35
dihitung dari satu trayek angkot, kemudian perhitungannya pun hanya untuk dilihat
dari aspek bertambahnya BBM dan kerugian waktu akibat kemacetan. Hal tersebut
menguatkan bahwa apabila perhitungan dilakukan untuk seluruh trayek angkot di
Kota Bogor dan dengan beberapa aspek lainnya, maka terjadi kerugian nominal
yang sangat besar ditambah kerugian dari sisi lainnya.
4.6. Perhitungan Emisi Karbon
Dampak lain yang bisa diperoleh selain kerugian pendapatan
pengemudi terhadap adanya kemacetan lalu lintas adalah semakin menurunnya
kualitas lingkungan akibat adanya peningkatan pencemaran lingkungan akibat
pembuangan gas emisi kendaraan. Dengan adanya kemacetan maka peng-
gunaan bahan bakar minyak semakin meningkat sehingga polusi udara dari
emisi gas kendaraan juga akan semakin meningkat. Salah satu unsur gas
buangan hasil pembakaran mesin kendaraan bermotor adalah karbon monoksida
(CO). Gas CO merupakan gas yang berbahaya bagi kesehatan tubuh manusia
pada jangka pendek dan jangka panjang. Perhitungan beban emisi karbon
dihitung melalui pendekatan penggunaan konsumsi bahan bakar minyak.
Perhitungannya dengan faktor emisi dikalikan dengan rata-rata penggunaan
BBM perbulan dan dikalikan dengan jumlah angkot.
Faktor emisi yang digunakan pada perhitungan estimasi karbon (CO),
terlebih dahulu dikonversi dari kg/ton menjadi g/liter agar dapat disesuaikan
dengan satuan bensin dalam liter (Tabel 19). Cara ini untuk memudahkan
dalam perhitungan emisi karbon yang dikeluarkan dari operasional angkot.
Tabel 19 Konversi Faktor Emisi CO bahan bakar menjadi (g/liter)
bahan bakar CO (kg/ton) CO(g/liter)
bensin (kg/ton) 377 279
Solar (kg/ton) 43.5 37
Sumber : Kementrian Lingkungan Hidup, 2007
Estimasi emisi karbon yang dihasilkan angkot trayek 03 selama satu
bulan pada kondisi lancar sebesar 56.59 liter (Tabel 20). Sedangkan estimasi
emisi karbon pada kondisi macet sebesar 61.07 liter (Tabel 21).
Tabel 20 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi lancar
Jumlah konsumsi bensin total (ltr)
ltr/rit 2.95 ltr 2.95
ltr/hari 2.95 ltr x 6 rit 17.7
ltr/bln 2.95 ltr x 6 rit x 30 hari 531
Jumlah emisi total (ltr)
tiap angkot/bln 531 ltr x 279 x 0,000001 0.1482
semua angkot/bln 531 ltr x 279 x 0,000001 x 382 56.59
Keterangan: jumlah angkot trayek 03 sebanyak 382 unit
Berdasarkan tabel di atas, adanya kemacetan semakin menurunkan kualitas
lingkungan karena semakin meningkatnya emisi karbon di udara. Emisi karbon
yang dihasilkan ketika kondisi macet lebih besar 4.48 ton dibandingkan kondisi
36
lancar. Perhitungan di atas hanya dilakukan pada mobil kendaraan jenis angkot
trayek 03. Hal ini akan lebih berdampak lagi jika ada 100 bahkan 500 angkot yang
beroperasi tiap harinya. Belum lagi jika jenis kendaraan lain dihitung pengeluaran
bahan bakar minyak saat kondisi macet akan semakin meningkatnya pencemaran
udara di lingkungan.
Tabel 21 Estimasi emisi karbon (CO) pada kondisi macet
Jumlah konsumsi bensin total (ltr)
ltr/rit 3.82 ltr 3.82
ltr/hari 3.82 ltr x 5 rit 19.1
ltr/bln 3.82 ltr x 5 rit x 30 hari 573
Jumlah emisi total (ton)
tiap angkot/bln 537 ltr x 279 x 0,000001 0.1599
semua angkot/bln 573 ltr x 279 x 0,000001 x 382 61.0692
Sumber: Data diolah (2013)
Terjadinya kemacetan lalu lintas juga berdampak pada kenyamanan
pengguna jalan. Para pengguna jalan dirugikan dari berbagai segi, baik dari segi
waktu tempuh yang lebih panjang dan dari segi biaya yang bertambah bila terjadi
kemacetan. Opportunity cost lain yang harus ditanggung pengguna jalan adalah
kelelahan akibat kemacetan yang berakibat pada emosi yang tidak stabil. Ini dapat
memicu kecelakaan lalu lintas yang seharusnya tidak terjadi bila kemacetan dapat
diatasi. Kesehatan pun yang tak luput dari akibat kemacetan ini karena
meningkatnya polusi kendaraan akibat kendaraan yang tersendat karena macet
sehingga dapat mengganggu kesehatan pengguna jalan seperti supir dan pejalan
kaki. Kemacetan lalu lintas ini berdampak secara menyeluruh ke berbagai aspek
baik ekonomi, sosial dan lingkungan sehingga perlu adanya solusi dari pemerintah
khususnya agar dapat menanggulangi kemacetan lalu lintas
Kemacetan lalu lintas menjadi salah satu dampak yang timbul karena kondisi
jalan yang sudah menurun baik kapasitas jalan maupun tingkat pelayanan jalan.
Kapasitas jalan yang tidak bertambah tidak di imbangi dengan arus dan volume
kendaraan yang terus bertambah sehingga dapat menyebabkan ketidakmampuan
suatu jalan untuk menampung volume kendaraan yang ada. Jika sudah mencapai
kondisi demikian maka kemacetan lalu lintas sudah tidak bisa dihindarkan lagi.
Meningkatnya volume kendaraan menyebabkan pula tingkat pelayanan jalan yang
semakin memburuk seperti kualitas jalan memburuk sehingga menjadi penyebab
terjadinya kemacetan lalu lintas. Kerugian ekonomi akibat kemacetan lalu lintas
adalah salah satu indikasi pula terjadinya the tragedy of the common dalam
pemanfaatan jalan. Jalan sebagai salah satu barang publik rentan sekali terjadinya
tragedi kepemilikan bersama karena setiap orang dapat memanfaatkan sumber daya
tersebut tanpa terkecuali. Sehingga semakin sering dan banyak yang menggunakan
maka akan mengurangi kesempatan orang lain untuk memanfaatkanya.
Perlu adanya solusi dalam mengatasi terjadinya kemacetan lalu lintas
sehingga dapat mengurangi terjadinya the tragedy of the common. Menurut James
(1992) ada beberapa metode dalam mengatasi kemacetan lalu lintas diantaranya
pembatasan kepemilikan kendaraan pribadi, pembatasan area baik ruas jalan atau
parkir dengan adanya ijin area jika memasuki suatu kawasan dan prioritas angkutan
publik dengan meningkatkan jumlah dan kualitas layanan sehingga pengguna jalan