4. hasil dan pembahasan 4.1. gambaran umum...

44
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Muara Angke mempunyai luas wilayah 67 Ha, terletak di Delta Muara Angke Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara astronomis terletak pada (6°6′21″ LS, 106°46′29.8″ BT). Kawasan Muara Angke secara secara geografis berbatasan dengan: - Sebelah barat : Kali Angke - Sebelah selatan : Kali Angke - Sebelah timur : Jalan Pluit - Sebelah barat : Laut Jawa Muara angke secara umum terbagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan perumahan, kawasan pengolahan hasil perikanan tradisional, kasawan tambak ujicoba dan kasawan pelabuhan perikanan. Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW) yiatu RW 01, RW 11, dan RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional di Muara Angke yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang. Secara geografi kontur permukaan tanah kawasan Muara Angke datar dengan ketinggian dari permukaan laut antara 0–1 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter, gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini. Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara 0–1 meter, jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Di Muara Angke terdapat bagan tancap budidaya kerang hijau yang di kelola secara swadaya oleh Masyarakat Muara Angke, terutama oleh Masyarakat Blok Empang yang berada di utara kawasan ini. Jumlah bagan tancap selalu meningkat dari tahun ke tahun, dan saat ini jumlahnya kurang lebih 250 buah. 4.2. Kondisi Perairan Muara Angke 4.2.1. Kualitas Air Pada penelitian ini kondisi kualitas Perairan Muara Angke, diwakili oleh kualitas perairan Kali Angke dan kualitas perairan di lokasi budidaya kerang hijau. Adapun kualitas air di lokasi penelitian tersebut, yakni suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut (dissolved oxygen/DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen

Upload: vutram

Post on 09-Jun-2018

235 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Muara Angke mempunyai luas wilayah 67 Ha, terletak di Delta Muara Angke

Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara dan secara

astronomis terletak pada (6°6′21″ LS, 106°46′29.8″ BT). Kawasan Muara Angke

secara secara geografis berbatasan dengan:

- Sebelah barat : Kali Angke

- Sebelah selatan : Kali Angke

- Sebelah timur : Jalan Pluit

- Sebelah barat : Laut Jawa

Muara angke secara umum terbagi menjadi empat kawasan, yaitu kawasan

perumahan, kawasan pengolahan hasil perikanan tradisional, kasawan tambak ujicoba

dan kasawan pelabuhan perikanan. Muara Angke memiliki tiga rukun warga (RW)

yiatu RW 01, RW 11, dan RW 20 serta terdapat tiga perkampungan nelayan tradisional

di Muara Angke yaitu, Kampung Nias, Kampung Baru, dan Empang.

Secara geografi kontur permukaan tanah kawasan Muara Angke datar dengan

ketinggian dari permukaan laut antara 0–1 meter. Pasang surut kawasan ini mempunyai

sifat harian tunggal dan kisaran antara surut tertinggi dan terendah adalah 1,2 meter,

gerakan periodik ini walaupun kecil tetap berpengaruh pada kondisi pantai kawasan ini.

Arus laut pada kawasan ini berkecepatan 1,5 knot dengan ketinggian gelombang antara

0–1 meter, jika terjadi angin kuat gelombang dapat mencapai 1,5 sampai 2 meter. Di

Muara Angke terdapat bagan tancap budidaya kerang hijau yang di kelola secara

swadaya oleh Masyarakat Muara Angke, terutama oleh Masyarakat Blok Empang yang

berada di utara kawasan ini. Jumlah bagan tancap selalu meningkat dari tahun ke tahun,

dan saat ini jumlahnya kurang lebih 250 buah.

4.2. Kondisi Perairan Muara Angke

4.2.1. Kualitas Air

Pada penelitian ini kondisi kualitas Perairan Muara Angke, diwakili oleh kualitas

perairan Kali Angke dan kualitas perairan di lokasi budidaya kerang hijau. Adapun

kualitas air di lokasi penelitian tersebut, yakni suhu, pH, salinitas, oksigen terlarut

(dissolved oxygen/DO), kebutuhan oksigen biokimiawi (biochemical oxygen

54

demand/BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (chemical oxygen demand/COD), nurtien

(nitrat/NO3, dan ortofosfat), dan logam berat yakni merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan

timbal (Pb) serta debit Kali Angke dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13. Beberapa parameter kualitas air di Kali Angke dan lokasi budidaya keranghijau

No Parameter Kali Angke BM AirSungai

BudidayaKerang Hijau

BM AirLaut

Fisika1 Suhu (oC) 27,8 Alami 28,6 Alami2 Salinitas (‰) 0 Alami 32 Alami

3 Debit (m3/detik) 9,094 – – –Kimia1 pH 6,45 6,0–8,5 7,58 7–8,52 Oksigen terlarut (mg/l) 3,7 3,0 5,6 > 53 BOD (mg/l) 40,06 10 35,85 104 COD (mg/l) 74,03 20 176,52 205 Nitrat (mg/l) 0,066 10 0,043 0,0156 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,5 0,01 0,0087 Merkuri (mg/l) 0,086 0,001 0,043 0,0018 Kadmium (mg/l) 0,011 0,01 0,07 0,0019 Timbal (mg/l) 0,105 0,1 0,005 0,008Keterangan:BM Air sungai: Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 582 Tahun 1995BM Air laut: Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut, Kep Men LH No. 51 tahun 2004

Suhu, salinitas, pH, dan oksigen terlarut merupakan parameter kualitas air yang

secara langsung berpengaruh terhadap perairan dan secara langsung mempengaruhi

aspek biologi. Hasil pengamatan diperoleh data yang dipengaruhi oleh faktor musim,

cuaca dan lokasi. Suhu permukaan air sungai 27,8 oC dan suhu permukaan air laut

28,6oC. Variasi suhu permukaan dan variasi salinitas di perairan kawasan tropis seperti

Indonesia, umumnya, relatif tidak terlalu jauh. Pengamatan dilakukan pada Nopember

2010-Februari 2011, yang mewakili musim barat dan musim hujan, membuat tingginya

curah hujan yang cenderung tinggi sehingga run off sungai yang besar. Kondisi tersebut

membuat suhu dan salinitas cenderung lebih rendah. Effendi (2003) menyatakan

kisaran suhu yang tepat bagi organisme perairan di tropis dalam 20-30oC. Suhu perairan

tersebut masuk pada kategori normal. Kisaran suhu di lokasi penelitian masuk pada

kategori normal dan relatif mendukung kehidupan di dalamnya. Hal ini sesuai dengan

pendapat Abowei dan George (2009), suhu air di daerah tropis umumnya bervariasi

55

antara 25 oC dan 35 oC. Namun demikian apabila terjadi peningkatan suhu dan terjadi

penurunan salinitas ada kecenderungan terjadinya peningkatan toksisitas logam berat

(Ahalya et al. 2004).

Derajat keasaman (pH) pada Kali Angke 6,45 yang berarti cenderung asam,

padahal di lokasi pengambilan sampel pengaruh air laut (pasang) sangat besar. Kondisi

pH yang relatif lebih asam diduga karena adanya penguraian bahan organik yang

jumlahnya banyak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Siradz et al. (2008) yang

mengatakan bahwa pH perairan sungai dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain (i)

bahan organik atau limbah organik,mengingat meningkatnya kemasaman dipengaruhi

oleh bahan organik yang membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian, (ii)

bahan anorganik atau limbah anorganik, seperti pada air limbah industri yang bahan

anorganiknya umumnya mengandung asam mineral dalam jumlah tinggi sehingga

kemasamannya juga tinggi, (iii) basa dan garam basa dalam air, (iv) hujan asam akibat

emisi gas.

Dugaan tingginya bahan organik di Kali Angke didasarkan pada warna air yang

hitam dan bau busuk yang menyengat. Adapun rendahnya derajat keasaman disebabkan

pada penguraian bahan organik akan dihasilkan karbon dioksida, yang jika bereaksi

dengan air akan menyebabkan kondisi menjadi asam atau dengan kata lain akan

mengakibatkan pH lebih rendah. Sebenarnya dalam air terdapat mineral yang salah

satunya berasal dari air laut (pasang), namun diduga jumlah mineral tersebut masih

lebih sedikit dibanding bahan organik, sehingga air pasang tidak mengakibatkan

tingginya pH air Kali Angke.

Tingginya bahan organik dalam Kali Angke diduga selain bahan organik yang

berasal dari hulu, juga berasal dari banyaknya masyarakat sekitar (warga, pelaku

kegiatan pasar ikan dan TPI Muara Angke) yang membuang sampah hasil kegiatan

langsung ke sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga dalam sungai tersebut

akan terjadi proses penguraian bahan organik. Hal ini sejalan dengan pernyataan

Fardiaz (1992), Abowei and George (2009), Adedokun et al. (2008) dan Adeyemo et

al. (2008) yang menyatakan bahwa penguraian bahan organik yang mengandung karbon,

nitrogen, sulfur dan phospat, baik yang berasal dari karbohidrat, lemak atau protein

dalam proses aerobik dan anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida yang sifatnya

asam.

56

Derajat keasaman pada lokasi budidaya kerang hijau adalah 7,58, hal ini

memperlihatkan bahwa perairan sekitar lokasi budidaya cenderung bersifat basa, namun

nilai tersebut mendekati nilai normal. Kondisi tersebut menunjukan adanya

ketidakseimbangan CO2 di atmosfer dengan laut. Air laut yang dalam keadaan

seimbang dengan CO2 atmosfer sedikit bersifat basa dengan pH antara 8,1-8,3

(Supangat dan Muawanah). Kordi (1996) dalam Rahman (2006) dan Effendi (2003)

menyatakan pH dengan kondisi tersebut menunjukan air bersifat alkalis yang berarti

mendukung laju dekomposisi pada perairan sehingga akan menurunkan nilai oksigen

terlarut dalam air. Selain itu kisaran pH tersebut masih mendukung kehidupan yang ada

di dalamnya karena menurut Adeyemo et al. (2008), pertumbuhan organisme perairan

dapat berlangsung dengan baik pada kisaran pH 6,5–8,2.

Nilai kelarutan oksigen (dissolved oxygen) di perairan Kali Angke adalah 3,7

mg/l, sedangkan pada bagan tancap budidaya kerang hijau mencapai 5,6 mg/l. Menurut

Effendi (2003) dan Adedokun et al. (2008) pada dasarnya kandungan oksigen terlarut

dalam perairan memiliki pola fluktuasi harian dan musiman, tergantung faktor

percampuran (mixing), pergerakan (turbulensi) massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi

dan limbah (effluent) yang masuk ke suatu perairan. Tingginya masukan limbah

organik dari sungai ke dalam perairan Teluk Jakarta mengakibatkan turunnya

konsentrasi oksigen dalam air, karena oksigen terlarut tersebut dimanfaatkan untuk

penguraian bahan organik yang jumlahnya melimpah di Teluk Jakarta. Selain hal itu

adanya curah hujan yang tinggi pada musim hujan serta adanya angin musim barat

berperan meningkatkan difusi oksigen dari atmosfer baik perairan Kali Angke maupun

di sekitar lokasi budidaya kerang hijau. Kondisi ini akan mempengaruhi toksisitas

logam berat yang ada di dalamnya, karena semakin rendah kadar oksigen dalam air

umumnya akan meningkatkan daya racun logam berat (Bryan 1984; Nordberg et al.

1986; Begum et al. 2009 serta Danazumi dan Bichi 2010).

4.2.1.1. BOD

Biologycal oxygen demand (BOD) merupakan gambaran bahan organik yang

dapat diuraikan oleh mikroorganisme di perairan. Nilai BOD dapat menjadi acuan

sebagai gambaran kadar bahan organik yang dapat terdekomposisi (Davis dan Cornwell

1991; McKinneya 2004; Manahan 2005; Mukhtasor 2007) sekaligus dapat

57

dimanfaatkan untuk menilai tingkat pencemaran suatu perairan (Lee et al. 1978). Hasil

pengamatan terhadap BOD, baik di perairan Kali Angke (40.06 mg/l) maupun di sekitar

bagan tancap kerang hijau (35,85 mg/l) nilainya melebihi bakumutu (10 mg/l).

Menurut Jeffries dan Mills (1996) dalam Effendi (2003) nilai BOD perairan alami

berkisar antara 0,5–7,0 mg/l, sedangkan perairan dengan nilai BOD lebih dari 10 mg/l

merupakan perairan yang tercemar. Nilai BOD air Kali Angke yang lebih tinggi

dibanding di laut (bagan tancap) menunjukan tingginya buangan domestik, kegiatan

perkotaan dan kegiatan industri di sepanjang Kali Angke menuju Muara Angke

sehingga meningkatkan aktivitas penguraian bahan organik oleh mikroorganisme, tetapi

cenderung menurun pada lokasi bagan tancap. Perbedaan nilai BOD tersebut

disebabkan laut bersifat lebih dinamis, sehingga bahan organik yang ada di Muara

Angke tersebar ke lokasi lain, yang pada akhirnya mengakibatkan nilai BOD-nya

menurun, atau dengan kata lain menurunnya BOD tersebut disebabkan oleh adanya

daya pulih air laut. Hal ini juga ditunjukkan pada oksigen terlarut yang lebih tinggi

pada lokasi budidaya dibanding di Sungai Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat

Siradz et al. (2008) yang mengatakan bahwa nilai BOD yang tinggi secara langsung

mencerminkan tingginya kegiatan mikroorganisme di dalam air dan secara tidak

langsung memberikan petunjuk tentang kandungan bahan-bahan organik yang terlarut.

4.2.1.2. COD

Chemical oxygen demand (COD) mengambarkan total oksigen yang dibutuhkan

untuk mengoksidasi bahan organik yang relatif lebih sulit terurai oleh mikroorganisme.

Oleh karena itu maka pada COD, oksidasi terjadi pada bahan yang bersifat

biodegradable (mengalami penguraian oleh mikroorganisme) dan yang bersifat non-

biodegradable (tidak mengalami penguraian oleh mikroorganisme) (Novonty dan Olem

1994; Manahan 2005). Nilai COD mengambarkan tingginya pencemaran suatu perairan.

Nilai COD di Kali Angke hampir empat kali lebih besar dari nilai baku mutu COD,

bahkan nilai COD di perairan sekitar budidaya kerang hijau. lebih tinggi lagi, yakni

hampir sembilan kali lipat dari baku mutu yang ditentukan (20 mg/l). Kondisi ini

memperlihatkan bahwa secara umum, pencemaran yang terjadi di Teluk Jakarta sudah

sangat tinggi. Pada dasarnya perairan dengan nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi

58

kepentingan perikanan terutama untuk kegiatan budidaya, sehingga kondisi tersebut

akan menganggu kehidupan biota perairan yang hidup di dalamnya.

Tabel 13 juga memperlihatkan bahwa nilai COD di Kali Angke dua kali lipat nilai

BOD-nya, sedangkan di sekitar bagan budidaya kerang hijau nilai COD-nya lima kali

nilai BOD-nya. Hal ini memperlihatkan bahwa kandungan bahan organik yang dapat

didegradasi oleh mikroorganisme lebih tinggi dibanding bahan organik non

biodegradable. Hal ini sesuai dengan pendapat Alaerts dan Santika (1984) bahwa di

samping terdapat bahan-bahan pencemar organik yang dapat dibiodegradasi oleh

mikroorganisme terdapat juga bahan-bahan yang tidak dapat dibiodegradasi. Selain itu

juga diperkuat oleh pendapat Raja et al. (2008), yang menyatakan bahwa nilai COD

yang lebih tinggi dari nilai BOD mengindikasikan tingginya keberadaan bahan-bahan

organik yang dapat teroksidasi secara kimia terutama adalah bahan-bahan non-

biodegradable.

4.2.1.3. Nutrien

Pada penelitian ini pengukuran nutrien dilakukan dengan tujuan mendapatkan

informasi besaran nutrisi yang masuk dan diterima pada lokasi penelitian. Pada

penelitian ini nutrien yang diambil adalah nitrat dan ortofosfat. Fosfat menjadi faktor

pembatas bagi produsen di air tawar sedangkan nitrogen (nitrat) menjadi faktor

pembatas pada air laut (Odum 1996 dan Effendi 2003).

Hasil pengamatan nitrat di Kali Angke nilainya lebih rendah dari baku mutu

pada air tawar, sedangkan di bagan tancap tempat budidaya kerang hijau lebih tinggi.

Rendahnya nitrat di Kali Angke menunjukan terjadinya dominansi proses denitrifikasi

yang disebabkan oleh rendahnya ketersediaan oksigen terlarut dalam air. Berbeda

dengan Kali Angke, pada lokasi budidaya kerang hijau yang konsentrasi oksigennya

lebih tinggi, maka akan terjadi proses nitirifikasi dari ammonia menjadi nitrit dan

kemudian nitrit akan dioksidasi lagi menjadi nitrat, sehingga konsentrasi nitrat menjadi

lebih tinggi. Adanya proses nitrifikasi di wilayah lebih ke arah laut tersebut sejalan

dengan penelitian Damar (2004) sehingga di wilayah yang lebih dekat ke arah darat

nilai amoniaknya lebih tinggi dari nitrat. Namun di lain pihak, tidak selamanya nitrat

yang tinggi baik untuk ekosistem, karena hasil penelitian Burkholder et al. (1992)

59

memperlihatkan bahwa jika terjadi peningkatan nitrat di perairan, air akan menjadi lebih

toksik bagi tanaman lamun.

Fosfat merupakan nutrien yang harus ada dalam suatu ekosistem, mengingat fosfat

dan nitrat merupakan bahan esensial yang diperlukan oleh produsen di perairan

(Romimohtarto 2008). Namun demikian apabila konsentrasinya berlebih maka fosfat

juga akan menjadi faktor pembatas yang akhirnya membahayakan ekosistem perairan

tersebut. Pada kedua lokasi penelitian, ortofosfat ditemukan lebih tinggi dari baku mutu

yang ditentukan. Nilai fosfat yang tinggi diduga selain berasal dari hasil penguraian

bahan organik, diduga juga sebagai akibat masukan deterjen yang umumnya

mengandung 60 %–65 % bahan pembentuk senyawa polifosfat (Fardiaz 1992; Laws

1993; Sawyer et al. 1994; Manahan 1994). Hal ini sesuai dengan pendapat Adedokun et

al. (2008) yang menyatakan bahwa keberadaan ion posfat dalam air sungai berasal dari

pelepasan limbah pertanian ke dalam sungai dan atau penggunaan aditif posfat dalam

formulasi deterjen (Na5P3O10) yang masuk ke dalam badan air melalui produksi limbah

cair industri, domestik/perkotaan dan atau dari industri pakaian dan pencelupan warna.

Tingginya fosfat dalam perairan dapat menyebabkan penyuburan perairan

(eutrofikasi) secara umum di Teluk Jakarta. Tingginya kandungan fosfat di Teluk

Jakarta ini sejalan dengan pengamatan DPPK DKI Jakarta (2006) yang memperlihatkan

bahwa Teluk Jakarta mengalami eutrofikasi, bahkan di lokasi yang berdekatan dengan

darat dikategorikan hyper-eutrophic (Gambar 10). Hal ini sesuai dengan pendapat

Adeyemo et al. (2003), yang mengatakan bahwa kandungan fosfat dan nitrat yang tinggi

dalam perairan dapat menyebabkan eutrofokasi yakni meningkatkan pertumbuhan alga

dan menurunkan kandungan oksigen terlarut dalam air.

Gambar 10. Tingkat kesuburan perairan Teluk Jakarta (DPPK DKI Jakarta 2006).

60

4.2.1.4. Logam Berat di Air

Konsentrasi logam berat dalam suatu kawasan ekosistem perairan berkaitan

dengan limbah logam berat yang masuk pada kawasan tersebut, sehingga semakin tinggi

masukan limbah logam, cenderung semakin meningkatkan akumulasinya dalam

ekosistem perairan. Logam berat yang masuk pada suatu ekosistem perairan akan

mengalami berbagai proses yakni pengendapan, pengenceran, dispersi dan absorpsi oleh

organisme yang tinggal pada habitat kawasan ekosistem perairan tersebut (US EPA

1973; Hutagalung 1984; Dahuri 1996). Merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb)

merupakan tiga jenis logam berat yang bermanfaat dan digunakan pada kegiatan

industri tetapi memiliki sifat yang berbahaya dan beracun tidak hanya bagi organisme

perairan tetapi juga pada manusia (Baird, 1995; Volesky 1990; Darmono 2001; Fardiaz

2005; Lu 2006), oleh karenanya maka ketiga jenis logam berat tersebut diamati pada

penelitian ini. Hasil analisis logam berat kadmium (Cd), merkuri (Hg) dan timbal (Pb)

di Kali Angke dan daerah budidaya kerang hijau dapat dilihat pada Tabel 13.

4.2.1.4.1. Merkuri (Hg)

Hasil pengamatan logam Hg di Kali Angke (0,086 mg/l) dan bagan tancap

kerang hijau (0,043 mg/l) menunjukan hasil yang cukup tinggi dan melebihi baku mutu

yang ditentukan pemerintah, yakni sebesar 0,001 mg/l. Kandungan Hg di sungai lebih

tinggi dibandingkan di kawasan bagan tancap. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian

Neff (2002) bahwa Hg cenderung lebih tinggi di daerah sungai dan estuaria

dibandingkan dengan laut terbuka. Selanjutnya dikatakan bahwa merkuri juga akan

berasosiasi dengan suspended material oleh karenanya maka di lokasi bagan tancap

yang dinamika airnya relatif tenang, akan memungkinkan berasosiasinya merkuri

dengan bahan-bahan tersuspensi yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya

kandungan merkuri dalam perairan di sekitar bagan tancap. Selain itu lebih rendahnya

merkuri di sekitar lokasi budidaya kerang hijau, diduga karena Hg yang terlarut dalam

perairan diabsorpsi oleh kerang hijau yang dibudidaya di lokasi tersebut. Hal ini sesuai

dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa merkuri yang terlarut dalam

air akan diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya. Lebih rendahnya kandungan

merkuri di perairan sekitar bagan tancap ini tidak berarti bahwa perairan tersebut tidak

61

tercemar merkuri, karena dari data kandungan merkuri tetap memperlihatkan bahwa

Perairan Muara Angke secara umum tercemar logam berat merkuri.

Terdapatnya merkuri di lokasi penelitian diduga karena secara alami, merkuri di

perairan bersumber dari pelapukan batuan dan tanah yang kemudian dibawa oleh aliran

air namun jumlahnya sangat sedikit (Volesky 1990). Selain itu merkuri diduga berasal

dari kegiatan industri yang berada di sekitar Teluk Jakarta, terutama yang berada di

kawasan industri Muara Angke. Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990);

Darmono (2001) dan Alfian (2006) yang menyatakan bahwa tingginya peran Hg

sebagai bahan campuran dan utama, dalam segala bidang, terutama industri, akan

meningkatkan masukan merkuri dalam perairan. Selain hal tersebut merkuri yang

berada di lokasi penelitian juga diduga berasal dari kegiatan pertanian (pestisida) yang

terdapat di daerah hulunya. Hal ini sesuai pernyataan Baird (1995); Darmono (1995);

Effendi (2003); Volesky (1990) dan Fardiaz (2005) yang mengatakan bahwa merkuri

dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai bahan produksi pestisida.

Sumber merkuri lainnya diduga dari sampah plastik yang melimpah di Kali Angke, di

sekitar bagan tancap kerang hijau, dan di perairan Teluk Jakarta. Hal ini disebabkan

logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industri-industri kimia,

terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik

(Fardiaz 2005).

Adanya merkuri pada lokasi penelitian ini dapat memberikan dampak negatif

pada biota yang hidup di dalamnya. Namun demikian dampak dari terpaparnya suatu

biota perairan oleh merkuri berbeda-beda, tergantung dari organismenya. Hal ini sesuai

dengan hasil penelitian Neff (2002) setelah terpapar Hg selama beberapa waktu tertentu,

ikan Fundulus heteroclitus akan mengalami gangguan pada penetasan dan terganggunya

perkembangan larva Crassostrea gigas dan Mytilus edulis, namun pada Penaeus indicus

tidak menunjukan efek yang berarti setelah dipapar logam Hg. Penelitian Athena et al.

(2004) juga memperlihatkan bahwa dampak merkuri pada manusia tergantung seberapa

besar konsentrasi yang masuk ke dalam tubuh, sehingga ada yang masuk pada efek akut,

namun dapat pula masuk pada efek kronis. Dampak akut dari masuknya merkuri antara

lain adalah adanya gangguan permanen pada otak, seperti daya ingat, penglihatan,

pendengaran, gangguan respirasi dan pencernaan serta terjadi peningkatan tekanan

62

darah. Dampak kronisnya adalah nefrotoksik yang dikenal gangguan fungsi ginjal

hingga kematian.

4.2.1.4.2. Kadmium (Cd)

Berdasarkan hasil analisis logam kadmium di Kali Angke (0,011 mg/l) dan di

bagan tancap kerang hijau (0,07 mg/l). Hal ini menunjukan bahwa konsentrasi

kadmium di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yakni sebesar 0,01

mg/l untuk air sungai dan 0,008 mg/l untuk air laut, yang ditentukan pemerintah.

Berbeda dengan Hg, konsentrasi Cd di Kali Angke lebih rendah dibandingkan di

kawasan bagan tancap. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian Neff (2002) bahwa

konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan

daerah laut. Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata

0,42 ppb (Neff 2002) walaupun demikian berdasarkan hasil analisis perairan Muara

Angke dan secara umum perairan Teluk Jakarta telah tercemar logam berat kadmium.

Tingginya konsentrasi kadmium disebabkan tingginya aktivitas industri

(Nordberg et al. 1986; Volesky 1990 dan Paasivirta 2000) pada wilayah Jakarta dan

sekitarnya. Tingginya buangan sampah keramik, plastik, baterai, benda elektronik dan

penggunaan plat besi dan baja pada kapal pada wilayah Muara Angke dan Kali Angke

serta asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan diduga

menjadi sumber pencemar kadmium, hal ini sesuai pernyataan Baird, (1995); Darmono

(1995); Volesky (1990) dan Lu (2006).

Mance (1990) menyatakan masuknya Cd sebesar 0,01-0,1 mg/l pada

fitoplankton akan mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O2 ketika

membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika

konsentrasinya menjadi meningkat (Nordberg et al. 1986), bahkan apabila konsentrasi

Cd terlarut 8–85 mg/l dapat menyebabkan terjadinya toksisitas akut pada ikan estuari.

Menurut Manahan (2001) efek toksik Cd pada manusia terjadi karena tergantinya Zn

pada enzim oleh Cd sehingga timbul efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan

tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah.

Menurut Volesky (1990) efek kronis Cd akan menyebabkan proteinuria dan

terbentuknya batu ginjal dan osteomalacia. Effendi (2003) dan Lu (2006)

menambahkan efek keracunan yang dapat ditimbulkan Cd dapat berupa penyakit paru-

63

paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan

serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang. Berdasarkan hal tersebut, maka

keberadaan Cd ini di perairan sekitar bagan tancap budidaya kerang hijau pada

umumnya dan di perairan Teluk Jakarta pada khususnya perlu mendapat perhatian yang

sangat serius mengingat konsentrasi Cd walaupun tidak mematikan (akut), namun akan

menimbulkan berbagai masalah terutama terjadinya kerusakan pada berbagai organ

tubuh kerang hijau yang dipelihara di dalamnya, sehingga akan mengganggu kehidupan

kerang hijau dan biota lain yang ada di dalam perairan tersebut.

4.2.1.4.3. Timbal (Pb)

Konsentrasi Pb (plumbum) pada perairan yang belum tercemar umumnya sangat

kecil, yakni 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya menjadi lebih dari 1 μg/L pada

perairan pantai atau perairan teluk (Neff 2002). Pada penelitian ini didapatkan hasil

bahwa konsentrasi logam Pb di Kali Angke 0,105 mg/l dan di sekitar bagan tancap

kerang hijau konsentrasinya 0,05 mg/l. Nilai tersebut memperlihatkan bahwa

konsentrasi Pb di lokasi penelitian cukup tinggi dan melebihi baku mutu yang

ditetapkan pemerintah, yakni sebesar 0,1 mg/l untuk air sungai serta baku mutu untuk

air laut yang ditentukan pemerintah sebesar 0,008 mg/l. Kondisi tersebut

memperlihatkan bahwa Perairan Muara Angke telah tercemar oleh logam berat timbal,

sehingga keberadaan logam berat tersebut sangat perlu diwaspadai, karena akan

mengganggu kehidupan biota yang hidup di dalamnya.

Terdapatnya timbal dalam perairan Kali Angke dan di sekitar bagan tancap

diduga berasal dari kegiatan antropogenik, terutama dari kegiatan industri. Hal ini

sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa sejak terjadinya

revolusi industri tahun 1750 terjadi peningkatan jumlah Pb yang signifikan dan

pencemaran Pb yang sangat progresif (mengikuti logaritmik) terjadi sejak tahun 1930-

an. Namun kegiatan yang juga banyak memberikan sumbangan Pb diduga berasal dari

penggunaan bahan bakar kapal (solar) nelayan untuk kegiatan mencari ikan, untuk

pulang pergi ke lokasi bagan budidaya serta dari kegiatan transportasi di Muara Angke.

Hal ini sesuai dengan pendapat Volesky (1990) yang mengatakan bahwa pencemaran

Pb yang tinggi berasal dari pembakaran BBM dari kendaraan bermotor, karena pada

solar terdapat timah hitam (Pb) sehingga dapat memberikan sumbangan yang signifikan

64

pada perairan. Bahkan Pb bukan hanya berasal dari transportasi di laut, namun juga

berasal dari lalulintas di jalan raya, sehingga pencemaran Pb di permukaan laut dapat

terjadi dari udara sekitarnya, bahkan berasal dari lalulintas yang jaraknya lebih dari 25

km (Volesky 1990). Selain sumber tersebut, dari wawancara penulis dengan

masyarakat nelayan Muara Angke terungkap bahwa masyarakat umumnya akan

membuang aki (baterai kendaraan bermotor) yang sudah tidak terpakai lagi ke dalam

sungai atau laut. Di lain pihak, elektroda dari aki yang dibuang oleh penduduk sekitar

tersebut dapat menjadi sumber pencemar Pb. Sumber Pb lainnya diduga berasal dari cat

pelapis kayu, mengingat timah hitam merupakan bahan campuran cat yang digunakan

untuk melapisi kapal (Volesky 1990; Fardiaz 2005; Lu 2006).

Organisme perairan yang terpapar timbal akan mengalami pengaruh negatif,

seperti pada larva Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister mengakibatkan

terjadinya pertumbuhan abnormal, namun pada makro alga memberikan efek subletal

(Neff 2002). Hal ini terjadi karena logam Pb merupakan racun metabolisme umum dan

inhibitor pada enzim, dalam hal ini Pb memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel

dan dengan biomolekul seperti enzim dan hormon (Paasivirta 2000). Sutrisno (2008)

menambahkan timbal menjadi beracun karena dapat menggantikan kation-kation logam

yang aktif biologis, seperti kalsium dan zink, dari protein-proteinnya. Darmono (1995)

menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam

pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang

diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu

dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal juga dapat menyerang susunan saraf,

saluran pencernaan serta mengakibatkan terjadinya depresi.

4.2.1.5. Beban Pencemaran

Pada penelitian ini analisis beban pencemaran dilakukan untuk mengetahui

sumber, jenis dan besarnya bahan pecemaran yang masuk ke Perairan Muara Angke

pada khususnya dan ke Teluk Jakarta pada umumnya, mengingat masukan limbah yang

di buang melalui sungai akan membebani ekosistem penerimanya. Besarnya beban

pencemaran setiap hari dari Kali Angke untuk beberapa parameter perairan Teluk

Jakarta dapat dilihat pada Tabel 14.

65

Pada paparan sebelumnya dinyatakan bahwa pencemaran air di lokasi penelitian

berasal dari limbah domestik dan industri (Danazumi dan Bichi 2010). Adanya

pencemaran limbah domestik terbukti dari tingginya beban limbah BOD, nitrat dan

fosfat, sedangkan pencemaran dari limbah industri berasal terlihat dari tingginya COD

dan logam berat. Bahan pencemar dari domestik ini akan masuk ke Kali Angke serta

menyebar ke perairan Teluk Jakarta, terutama daerah bagan tancap tempat budidaya

kerang hijau yang dimiliki warga Muara Angke. Konsentrasi bahan pencemar dari

sungai yang masuk ke lokasi penelitian (Teluk Jakarta) ada beberapa parameter yang

konsentrasinya lebih tinggi dari konsentrasi di sungai. Hal ini sesuai dengan penelitian

Abowei dan George (2009) yang mengatakan bahwa kegiatan antropogenik di

sepanjang sungai dapat meningkatkan kandungan bahan-bahan pencemar terutama di

bagian muara sungai. Namun demikian parameter-parameter tersebut pada umumnya

mempunyai konsentrasi yang lebih rendah dari konsentrasi di sungai. Kondisi ini

terjadi karena nasib bahan pencemar yang masuk ke dalam perairan akan mengalami

nasib yang berbeda, namun pada umumnya menjadi rendah karena diencerkan dan

disebarkan sebagai akibat dinamika laut, diabsorpsi oleh biota air yang ada di dalamnya,

berikatan dengan bahan organik dan anorganik sehingga mengendap ke dasar perairan.

Hal ini sesuai dengan pendapat US EPA (1973) bahwa bahan pencemar yang masuk ke

dalam laut akan mengalami pengenceran dan penyebaran akibat adukan atau turbulensi

sungai dan/atau arus laut, akan mengalami pemekatan karena proses biologi, serta akan

dibawa oleh arus sungai/laut dan oleh organisme atau biota laut.

Tabel 14. Beban pencemaran dari Kali Angke yang masuk ke perairan Teluk Jakarta

No Parameter Konsentrasi (ppm) Beban (ton/hari) Beban (ton/bulan)1 BOD (mg/l) 40,06 31,4772 944,31592 COD (mg/l) 74,03 58,1692 1745,07503 Nitrat (mg/l) 0,066 0,05186 1,55584 Ortofosfat (mg/l) 0,056 0,04401 1,32015 Merkuri (mg/l) 0,086 0,06757 2,02726 Kadmium (mg/l) 0,011 0,00864 0,25937 Timbal (mg/l) 0,105 0,08250 2,4751

Beban pencemar organik pada saat dilakukan penelitian ini sangat tinggi, yakni

untuk bahan organik yang terurai oleh mikroorganisme (BOD) jumlahnya mencapai

944,3159 ton/bulan dan bahan organik yang terurai secara kimia (COD) jumlahnya

66

mencapai 1745,075 ton/bulan. Selain itu berdasarkan data sekunder, juga terlihat bahwa

beban pencemaran organik (yang dilihat dari nilai COD dan BOD) yang masuk ke

Teluk Jakarta cenderung naik setiap tahunnya. Dalam hal ini terjadi kenaikan bahan

pencemar organik dari tahun 2006 hingga awal tahun 2011, seperti yang tertera pada

Gambar 11.

Gambar 11. Nilai beban pencemaran BOD dan COD yang masuk ke Teluk Jakarta2006-2011

Gambar 12. Jumlah penduduk di DKI Jakarta dari tahun 1870-2010 (Sumber BPS2005-2011)

584,76

1450,78

1745,075

267,03

624,13

944,316

0

500

1000

1500

2000

2006 2008 2011Be

ban

Pe

nce

mar

an(t

on

/bu

lan

)

Tahun

COD

BOD

0

2,000,000

4,000,000

6,000,000

8,000,000

10,000,000

12,000,000

18

70

18

80

18

86

18

95

19

05

19

20

19

28

19

40

19

50

19

61

19

80

20

00

20

06

20

10

Jumlah penduduk

67

Gambar 13. Jumlah industri di DKI Jakarta dari tahun 2006-2010 (Sumber BPS 2005-2011)

Terjadinya peningkatan bahan pencemar organik yang masuk ke dalam perairan

diduga ada kaitannya dengan meningkatnya jumlah penduduk, yang pada akhirnya

mengakibatkan meningkatnya kegiatan antropogenik, seperti peningkatan aktivitas

penduduk dan aktivitas industri baik yang terjadi di sekitar Kali Angke maupun di

bagian hulunya. Hal ini didukung oleh data jumlah penduduk dan jumlah industri dari

tahun 2006 hingga tahun 2010 yang setiap tahunnya meningkat seperti yang terlihat

pada Gambar 12.

Selain bahan organik, bahan anorganik terutama logam berat di lokasi penelitian

juga sangat tinggi. Logam berat ini pada umumnya dimanfaatkan sebagai bahan

suplemen yang harus ada dalam industri terutama industri elektronik. Tingginya logam

berat tersebut di perairan diduga ada kaitannya dengan tingginya pertumbuhan industri

di DKI Jakarta. Dalam hal ini dari tahun ke tahun terjadi peningkatan industri seperti

yang terlihat pada Gambar 13.

4.2.2. Kualitas Sedimen

Pada penelitian ini dilihat kualitas sedimen di Kali Angke dan di lokasi budidaya

kerang hijau, adapun parameter kualitas sedimen yang diamati di sini adalah pH dan

logam berat merkuri (Hg) kadmium (Cd) dan timbal (Pb). Hasil analisis terhadap

kualitas sedimen tersebut dapat dilihat pada Tabel 15

1400

1450

1500

1550

1600

1650

1700

1750

1800

1850

1900

2006 2007 2008 2009 2010 2011

ind

ust

ri

Tahun

68

Tabel 15. Kualitas sedimen Kali Angke dan lokasi budidaya kerang hijau

No Parameter Kali Angke BudidayaKerang Hijau

Baku Mutu(level target)

1 pH 5,44 6,18 -2 Merkuri (ppm) 2,363 1,935 0,033 Kadmium (ppm) 1,169 0,962 0,84 Timbal (ppm) 1,171 2,089 85Keterangan:Baku mutu (BM) logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan,sehingga BM logam berat pada sedimen IADC (International Association of Drilling Contractors) /CEDA (Central Dredging Association) (1997) level target yang berarti jika konsentrasi kontaminanyang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yangada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan

Pada penelitian ini diukur nilai pH sedimen, karena nilai pH sedimen

mempunyai hubungan yang cukup erat dengan adsorpsi logam berat pada sedimen. pH

air dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan perairan serta dapat

mempengaruhi jenis dan toksisitas dari unsur-unsur renik seperti logam (Saeni 1989;

Voleky 1990). Senada dengan hal tersebut Nordberg et al. (1986); Novotny dan Olem

(1994) dan Volesky (1990) menyatakan bahwa toksisitas logam mengalami peningkatan

pada pH rendah.

pH sedimen di lokasi penelitian berada pada kisaran yang asam, yakni 5,44

untuk sedimen Kali Angke dan 6,18 pada sedimen di daerah budidaya kerang hijau.

Rendahnya pH pada lokasi penelitian menunjukkan tingginya bahan organik dalam

sedimen, sehingga proses dekomposisi pada sedimen juga tinggi. Pada proses

penguraian bahan organik dalam sedimen ini, akan dihasilkan karbon dioksida, dan

apabila karbon dioksida ini bereaksi dengan air sedimen (pore water), sementara di

dalam sedimen tersebut tidak ada mineral, akan menyebabkan kondisi menjadi asam

atau dengan kata lain akan mengakibatkan pH lebih rendah. Hal ini sejalan dengan

pernyataan Fardiaz (1992) bahwa pemecahan komponen molekul organik yang

mengandung karbon, nitrogen, sulfur dan phospat yang berasal dari karbohidrat, lemak

atau protein, baik secara aerobik maupun anaerobik akan menghasilkan karbon dioksida

yang sifatnya asam serta hasil penelitian Adeyemo et al. (2008) bahwa pada perairan

yang menerima bahan organic dalam jumlah banyak derajat keasaman sedimennya

relative rendah.

Nilai pH sedimen Kali Angke lebih rendah dibanding nilai pH di sekitar bagan

tancap. Kali Angke pada dasarnya merupakan kali yang sangat dipengaruhi oleh air laut,

69

melalui proses pasang surut, namun pengaruh air laut ini tidak mengakibatkan tingginya

pH sedimen. Hal ini diduga karena bahan organik yang terdapat pada perairan sungai

jauh lebih besar yang berakibat rendahnya nilai pH seperti yang dinyatakan oleh

Adeyemo et al. (2008), oleh karena itu maka air laut yang masuk ke dalam sungai

tidak mampu menetralkan suasana asam akibat proses penguraian bahan organik dalam

sedimen. pH sedimen di sekitar bagan tancap mendekali netral. Berbeda dengan

sedimen sungai, sedimen yang berada di lokasi bagan tancap yang lokasinya di laut

diduga karena laut yang mempunyai banyak mineral mempunyai kemampuan

menetralkan (buffering system) yang tinggi. Selain itu pada air laut juga terdapat

mineral yang jumlahnya tinggi, sehingga relatif mampu menyangga terjadinya

penurunan pH pada sedimen.

4.2.2.1.Logam Berat di Sedimen

Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke

perairan akan menjadi sedimen. Nordberg et al. (1986); Hutagalung (1991); Novotny

dan Olem (1994), Volesky (1990) dan Asonye et al. (2007) menyatakan bahwa logam

berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-

kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Semakin tinggi

polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan

tersebut dalam sedimen (Sanusi 2006 dan Adeyemo et al. 2008). Berdasarkan

penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa kualitas fisik dan kimia sedimen suatu

perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan.

4.2.2.1.1. Merkuri (Hg)

Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi logam berat Hg pada sedimen

Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level

limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Oleh karena itu maka konsentrasi Hg

yang ada di lokasi penelitian berpotensi untuk membahayakan lingkungan dan

organisme perairan yang hidup pada ekosistem tersebut. Pada penelitian ini terlihat

bahwa konsentrasi merkuri di sedimen lebih tinggi dibandingkan pada air Kali Angke

dan di perairan daerah budidaya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Harahap (1991)

dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) yang juga dilakukan di tempat yang relatif

70

sama. Tingginya Hg pada sedimen diduga karena Hg yang terdapat pada kolom air

bereaksi dengan partikel organik dan anorganik yang terdapat dalam perairan, dan

selanjutnya akan mengendap ke dasar perairan dan bersatu dengan sedimen. Selain itu

rendahnya pH perairan juga diduga memicu tingginya merkuri dalam sedimen baik di

Kali Angke maupun di sekitar bagan tancap. Hal ini sesuai pernyataan Sanusi (2006)

dan Asonye et al. (2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa

pH merupakan faktor yang mempengaruhi kapasitas adsorpsi sedimen terhadap Hg2+.

Rendahnya pH pada sedimen juga akan memicu peningkatan toksisitas Hg bagi

organisme yang habitatnya di lokasi penelitian.

4.2.2.1.2. Kadmium (Cd)

Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam kadmium pada sedimen

Kali Angke dan daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level

limit) yang ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Tingginya nilai Cd pada sedimen

diduga karena beberapa faktor, yakni konsentrasi kadmium yang tinggi pada kedua

lokasi penelitian, tingginya partikel organik dan anorganik yang terlihat dari keruhnya

perairan (berwarna kecoklatan), serta rendahnya nilai pH akan memicu kemungkinan

proses adsorpsi logam berat lebih tinggi seperti yang dinyatakan oleh Asonye et al.

(2007), Begum et al. (2009) serta Danazumi dan Bichi (2010) bahwa rendahnya nilai

pH dapat meningkatkan adsorpsi logam berat. Pada konsentrasi tersebut, Cd memiliki

potensi bahaya bagi biota yang hidup di Kali Angke dan kerang hijau yang dibudidaya

di bagan tancap. Sama seperti merkuri, hasil analisis logam berat Cd juga menunjukan

konsentrasi yang lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua

lokasi penelitian.

4.2.2.1.3. Timbal (Pb)

Hasil analisis logam timah hitam pada sedimen Kali Angke dan sedimen di

daerah bagan tancap kerang hijau sudah melewati baku mutu (level limit) yang

ditetapkan oleh IADC/CEDA (1997). Adapun penyebabnya, diduga faktor yang sama

mempengaruhi tingginya Hg dan Cd pada sedimen, yakni tingginya konsentrasi Pb

kedua perairan, banyaknya partikel organik dan anorganik di perairan serta rendahnya

nilai pH yang memicu kemungkinan proses adsorpsi logam berat lebih tinggi (Asonye et

71

al. 2007; Begum et al. 2009, Danazumi dan Bichi 2010 serta Olubunmi dan Olorunsola

2010). pH perairan membuat timbal mengalami proses hidrolisi menjadi Pb(OH)+

terlarut (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009; Akan et al. 2010). Sama seperti

merkuri dan kadmium, hasil analisis logam berat timah hitam juga menunjukan hasil

lebih tinggi pada sedimen dibandingkan pada kolom air di kedua lokasi.

4.2.3. Kerang Hijau

4.2.3.1. Morfologi

Jumlah contoh kerang hijau yang diambil serta hasil analisis morfologi berupa

ukuran cangkang, berat tubuh serta volume daging kerang hijau hasil budidaya di Muara

Angke dapat dilihat pada Tabel 16 dan 17. Sample kerang hijau dengan usia lebih dari

6 bulan dapat dikatakan sulit untuk didapatkan karena petani umumnya memanen

kerang hijau pada usia 4-6 bulan.

Tabel 16. Ukuran cangkang (panjang, lebar dan tebal) kerang hijau di bagan tancapkerang hijau, Muara Angke

Umur NUkuran cangkang (cm)

Panjang Lebar Tebal

1-2 bulan 240 2,03 ± 0,63 1,14 ± 0,22 0,66 ± 0,35

3-4 bulan 240 4,91 ± 1,26 2,01 ± 0,57 1,81 ± 0,57

5-6 bulan 240 8,51 ± 1,16 5,17 ± 1,60 3,46 ± 1,25

Tabel 17. Ukuran berat (total, daging dan cangkang) dan volume daging kerang hijau dibagan tancap kerang hijau, Muara Angke

Umur NBerat tubuh (g) Volume daging

(ml)Total Daging Cangkang

1-2 bulan 240 0,96 ± 0,56 0,36 ± 0,23 0,60 ± 0,35 0,37 ± 0,23

3-4 bulan 240 8,61 ± 1,65 3,38 ± 0,90 5,22 ± 1,16 3,33 ± 0,92

5-6 bulan 240 17,08 ± 0,68 7,49 ± 1,23 9,60 ± 1,41 7,51 ± 1,27

Berdasarkan hasil pengamatan tersebut diketahui bahwa panjang, lebar, dan

tebal kerang hijau serta berat tubuh dan volume daging yang didapat pada penelitian ini

(Tabel 16 dan Tabel 17) pada umumnya lebih rendah dibanding kerang hijau pada

kondisi normal, yakni dalam kondisi panjang (mm) normal, pada umur 1-2 bulan adalah

2,13 ± 1,16; pada usia 3-4 bulan adalah 7,175 ± 0,59; pada usia 5-6 bulan adalah 8,79 ±

0,52 (Seed 1976, Sivalingam 1977, Cheong dan Chen 1980, Beales dan Lindley 1982,

72

Valiky 1989, Mohamed et al. 2003). Hal ini sesuai dengan hasil pernyataan Riani

(2009) yang mengatakan bahwa pertumbuhan kerang hijau dalam beberapa tahun

terakhir relatif sangat lambat, sehingga usia panen sebelum tahun 1990 adalah tiga

bulan, namun saat ini diperlukan waktu tujuh bulan dari sejak dipasang tali nilon hingga

panen. Hal ini diduga terjadi karena ada pengaruh dari logam berat dalam lingkungan

hidupnya (Tabel 14 dan Tabel 15) yang mengakibatkan rendahnya pertumbuhan kerang

hijau. Rosell (1985) menyatakan akibat kontaminasi merkuri sebesar 100 ppb, Perna

viridis akan mengalami perlambatan kinerja fungsi tubuh. Beales dan Lindley (1982)

menambahkan laju pertumbuhan P. viridis di tempat yang tidak tercemar 9 mm/bulan,

sedangkan yang hidup di lokasi tercemar adalah 5,2 mm/bulan.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Garcia (2001) saat melakukan penelitian

pengaruh konsentrasi logam berat Cu dan Pb di lingkungan tempat hidupnya terhadap

kerang hijau Perna viridis, yang memperlihatkan bahwa logam berat Cu dan Pb dapat

menghambat aktifitas enzim glycogen synthetase dan glycogen phosphorylase yang

dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap produksi daging kerang. Adanya

hambatan terhadap kedua jenis enzim tersebut mengakibatkan menurunnya

pertumbuhan kerang hijau. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang

menyatakan bahwa kerang hijau yang tubuhnya terkontaminasi oleh logam berat akan

menyebabkan terganggunya sel-sel tubuh kerang hijau tersebut, karena sel-sel tersebut

pada umumnya mengalami degenerasi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyebab

terjadinya degenerasi sel tersebut disebabkan oleh terjadinya bioakumulasi logam berat

pada vacuola dari organel lisosom. Hal ini sesuai dengan pendapat Moore (1989) dan

Viarengo (1989) dalam Gosling (1992) yang mengatakan bahwa pencemaran logam

Cu dan Cd mengakibatkan tidak stabilnya membran organel lisosomal dalam sel yang

pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel. Selanjutnya dikatakan

bahwa logam Cu dan Cd tersebut juga akan mengganggu proses oksidasi, kerja

enzim dan keseimbang ion Ca dalam sel-sel. Oleh karena itu maka proses fisiologis di

dalam sel menjadi terganggu, dan pada akhirnya akan mempercepat terjadinya

degenerasi sel dan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan kerang hijau.

73

4.2.3.2. Logam Berat di Kerang Hijau

Hasil analisis akumulasi logam berat merkuri, kadmium dan timbal dapat dilihat

pada Tabel 18 dan 19. Tabel 18 dan 19 tersebut memperlihatkan bahwa telah terjadi

bioakumulasi logam berat yang berasal dari lingkungannya. Terjadinya bioakumulasi

logam berat dalam tubuh kerang hijau ini sangat dimungkinkan mengingat logam berat

dapat dengan mudah dan cepat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup (Baldwin et al.

1999). Selanjutnya dikatakan bahwa logam berat tersebut masuk ke dalam sel tubuh

mahluk hidup melalui lapisan lipida dari dinding sel melalui proses endositosis, melalui

sistem pemompaan dan sistem kelat organik. Oleh karenanya maka konsentrasi logam

berat yang terdapat pada kerang hijau baik yang berumur 1-2 bulan, 3-4 bulan, dan 5-6

bulan tinggi (Tabel 18 dan 19).

Tabel 18 menunjukan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau, selain

hepatopankreas, insang dan tissue daging, juga termasuk di dalamnya gonad, kelenjar

dan saluran pencernaan, otot dan organ lainnya. Logam berat yang telah terakumulasi

pada organ hepatopankreas, insang dan tissue daging (Tabel 19) termasuk logam berat

yang tidak bisa dilepaskan kembali, karena telah berikatan dengan gugus sulfidril

(Manahan 1995, Vouk 1986, Mance 1990, Paasivirta 2000). Pada organ lain terdapat

kemampuan untuk mereduksi logam berat. Logam berat yang masuk ke saluran

pencernaan akan dibuang bersamaan dengan feses. Pada darah logam berat akan di

fagositasi oleh sel darah putih. Sebenarnya dalam hepatopankreas juga terdapat

cytochrome P450 yang memiliki kemampuan untuk mengeluarkan logam berat dari

tubuh, tetapi karena jumlahnya terbatas, logam berat yang telah masuk dalam tubuh

akan disimpan dahulu, dengan cara di fagositasi oleh sel pada hepatopankreas, dan

nantinya akan dibuang (De-Faverney et al. 2001, Garza et al. 2006). Disisi lain, karena

afinitasnya yang tinggi, logam berat yang disimpan tersebut akan berikatan dengan

gugus sulfidril sehingga sukar untuk lepas, karena ikatannya bersifat irreversible (Bryan

1976).

Pada penelitian ini terlihat bahwa konsentrasi logam berat Hg, Cd dan Pb baik

yang terdapat di dalam air maupun pada sedimen berada di luar ambang batas yang

ditentukan. Logam berat mengalami peningkatan hingga bulan ke 5-6, namun demikian

konsentrasi logam berat yang relatif tinggi di Perairan Muara Angke tersebut tidak

mengakibatkan kematian masal kerang hijau. Hal ini mengandung arti bahwa

74

Tabel 18. Kandungan logam berat pada seluruh tubuh kerang hijau di bagan tancap

kerang hijau, Muara Angke

Konsentrasi 1-2 bulan 3-4 bulan 5-6 bulan

Hg (μg/g bk) 35.47 ± 7.17 205.72 ± 49.46 209.82 ± 35.58 Cd (μg/g bk) 0.07 ± 0.03 0.08 ± 0.03 0.15 ± 0.03 Pb (μg/g bk) 17.12 ± 11.72 33.51 ± 6.44 41.94 ± 1.92

Tabel 19. Kandungan logam berat pada organ kerang hijau (daging, hepatopankreas dan

insang) di bagan tancap kerang hijau, Muara Angke

UmurKandungan Hg (μg/g bk) Kandungan Cd (μg/g bk) Kandungan Pb (μg/g bk)

TD H I TD H I TD H I

1-2 bulan 1,76 12,232 6,066 0 0,034 0 0,318 5,146 1,431

3-4 bulan 2,347 71,657 11,04 0 0,053 0 0,767 8,33 2,727

5-6 bulan 4,35 88,886 23,133 0,01 0,06 0,01 1,09 15,691 2,786

Keterangan TD: Tissue Daging; H: Hepatopankreas; I: Insang/Ctenedium

Konsentrasi logam berat yang terdapat pada lingkungannya belum masuk pada

konsentrasi akut, namun demikian sudah masuk pada konsentrasi kronis. Hal ini sesuai

dengan pendapat Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) yang mengatakan bahwa

pada konsentrasi dengan toksisitas akut akan mengakibatkan kematian, yang umumnya

ditandai dengan terjadinya kematian masal. Selanjutnya dikatakan bahwa pada

konsentrasi dengan toksisitas kronis tidak mengakibatkan kematian namun pada

umumnya akan berdampak negatif terhadap berbagai organ tubuh dan dapat

mengakibatkan kecacatan bawaan pada larva kerang hijau.

Pada Tabel 18 terlihat bahwa terjadi kenaikan konsentrasi logam berat Hg, Cd

dan Pb pada tubuh kerang hijau dari usia satu hingga enam bulan. Terjadinya kenaikan

akumulasi Hg, Cd dan Pb pada kerang hijau yang semakin tua, diduga karena ketiga

logam berat yang sudah terakumulasi dalam tubuh kerang hijau bersifat irreversible

(Bryan, 1976), sehingga logam berat yang sudah terakumulasi tidak akan lepas kembali

dan dengan adanya akumulasi baru, maka logam berat tersebut akan semakin meningkat.

Oleh karenanya maka semakin tua kerang hijau, baik Hg, Cd maupun Pb yang

terakumulasi pada tubuh kerang hijau juga semakin meningkat. Hal ini juga terlihat

pada Tabel 19 yang memperlihatkan bahwa semakin tinggi usia kerang hijau, semakin

meningkat kandungan logam berat pada organ tubuh daging, hepatopankreas dan insang

kerang hijau.

75

Kondisi perairan Teluk Jakarta yang juga telah tercemar logam berat tidak

membuat mati kerang hijau yang di budidaya ini sesuai dengan hasil penelitian Riani

(2004), yang mengatakan bahwa konsentrasi logam berat masih belum mematikan,

namun logam berat tersebut terakumulasi pada organ tertentu seperti insang dan

hepatopankreas dan telah menyebabkan kerusakan pada ke dua organ tersebut. Hal ini

terbukti dari hasil analisa pada Tabel 18. Tabel 18 memperlihatkan bahwa seluruh

logam berat yang dianalisis pada penelitian ini terakumulasi pada kerang hijau. Organ

yang paling banyak mengakumulasi adalah hepatopankreas. Logam berat yang paling

tinggi terakumulasi adalah merkuri. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Riani (2004)

yang menyatakan kerang hijau mampu menyerap logam merkuri dan menyimpannya

dalam tubuhnya dengan efektif, sehingga kerang hijau direkomedasikan sebagai

biofilter logam berat terutama Hg (Riani 2006) dan bersifat sebagai vacum cleaner bagi

perairan tercemar logam berat (Riani 2009). Volesky (1990), Neff (2002) dan Ahalya et

al. (2004) menyatakan setiap organisme dapat mengakumulasi logam berat berbeda

pada tiap jaringan atau organnya. Hal ini tampak pada krustasea Nephrops norvegica

mengakumulasi merkuri di bagian insang dan hepatopankreasnya. Paasivirta (2000)

menambahkan akumulasi paling tinggi Cd pada kima (Crasostrea gigas) pada bagian

ginjal, sedangkan pada lobster dengan konsentrasi yang paling banyak ditemukan pada

organ hepatopankreas. Neff (2002) menambahkan kebanyakan organisme air

mengakumulasi logam timbal pada bagian insang dan mantel (Neff 2002). Di dalam sel,

timbal akan terkonsentrasi pada mitokondria, sehingga menyebabkan terjadinya

kerusakan dan menurunkan fungsinya. Hasil tersebut juga menggambarkan semakin

besar ukuran kerang hijau dan semakin lama umur dari kerang hijau akan semakin

memperbesar kemungkinan akumulasi logam berat pada kerang hijau yang di budidaya

tersebut. Hal ini sesuai dengan penelitian Riani (2004) yang menyatakan semakin besar

ukuran kerang hijau dan lamanya menetap kerang hijau akan meningkatkan konsentrasi

logam berat pada kerang hijau.

Kandungan logam berat pada kerang hijau ini cukup membahayakan bagi yang

mengkonsumsinya, karena semua parameter logam berat yang diukur pada penelitian ini

telah melebihi baku mutu yang telah ditentukan oleh berbagai organisasi. Untuk logam

berat merkuri, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, RI (BPOM-RI) menyatakan

konsentrasi maksimum merkuri yang diizinkan adalah 0,5 mg/kg, sedangkan FAO-

76

WHO PBB menyatakan maksimum konsentrasi adalah 0,03 ppm. Vettorazzi dalam

Darmono (2001) merekomendasikan Provisional Tolerable Weekly Intake (PTWI) total

Hg dalam makanan 5 ppb sedangkan untuk metil-merkuri sebesar 3,3 ppb. Konsentrasi

maksikum merkuri dalam makanan menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001

adalah 0,5 mg/kg. BPOM-RI menambahkan untuk logam berat kadmium dalam

makanan maksimum 2 mg/kg. The Codex Committee on Food Additive and

Contaminants (2006) menyatakan nilai maksimum kadmium pada makanan 0,4 mg/kg.

Menurut standar Uni Eropa EC No. 466/2001 konsentrasi maksimum kadmium adalah

1 mg/kg. Kandungan logam berat jenis timah hitam maksimum pada makanan

berdasarkan persyaratan BPOM-RI adalah 2 mg/kg sedangkan standar Uni Eropa EC

No. 466/2001 yaitu 1 mg/kg.

Dalam kondisi yang melebihi baku mutu tersebut, Volesky (1990), Ahalya et al.

(2004) serta Ochiai (1977) dalam Palar (2004) menyatakan logam berat, terutama Hg,

Pb dan Sn memiliki kemampuan larut dalam lemak, sehingga mampu melakukan

penetrasi pada dinding membran sel. Kondisi tersebut membuat logam berat mampu

terakumulasi pada sel, jaringan dan organ dari suatu organisme. Lebih lanjut (Ochiai

1987; Volesky 1990; Olsson 1998 dan Ahalya et al. 2004) menambahkan toksisitas

logam berat timbul karena mekanisme, proses “penyerangan” ikatan sulfida pada

gugusan biomolekul yang penting untuk proses biologi seperti struktur protein dan

enzim sehingga menimbulkan kerusakan pada stuktur yang diserang. Ikatan sulfida

berubah karena ion logam berat menggantikan ion logam yang esensial. Logam berat

yang menempel pada gugusan molekul tersebut akan memodifikasi sehingga protein

dan enzim tidak dapat bekerja sebagaimana mestinya, seperti terganggunya aktifitas

enzim. Dalam kondisi ini menyebabkan terganggunya metabolisme pada tingkat sel,

sehingga sel tersebut menjadi lisis dan akhirnya lemah serta rusak. Viarengo (1980);

Volesky (1990); Olsson 1998 dan Ahalya et al. (2004) menambahkan bahwa logam

berat akan mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan pada sel, terutama pada organel

lisosomnya. Logam berat tersebut memodifikasi proses enzim yang ada dan

mengganggu serta menggantikan ion Ca sehingga mempengaruhi oksidasi. Hal ini

sesuai dengan penelitian Gosling (1992) yang mengatakan bahwa gamet kerang genus

Mytilus yang berasal dari kawasan perairan tercemar logam berat akan mengalami

77

degenerasi atau mengalami pembengkakan sel. Kondisi ini timbul jika sel tidak dapat

mengatur keseimbangan ion dan cairan yang menyebabkan hidrasi sel.

4.2.3.3. Malformasi

Perkembangan struktur tubuh organisme secara abnormal yang disebabkan

mutasi genetik, infeksi, obat-obatan, pengaruh lingkungan dan atau interaksi dari hal

tersebut disebut deformasi atau malformasi (Encyclopædia Britannica 2011). Pada

perairan yang tercemar bahan beracun terutama logam berat akan memperbesar

kemungkinan terjadikan kejadian deformitas tersebut. Darmono (1995) menyebutkan,

logam berat dalam perairan ada dalam bentuk ion kemudian di absorpsi dan akhirnya

terakumulasi dalam hewan air, terutama bentos. Walaupun demikian, pengaruh logam

berat tersebut sifatnya jangka panjang. Contoh kejadian malformasi adalah logam berat

tributiltin yang menganggu enzim pada proses kalsifikasi cangkang (Alzieu) berupa

kecenderungan menggelembungkan cangkangnya dan terbentuknya alur pertumbuhan

seperti pelapisan yang kasar.

Tabel 20. Presentasi malformasi ditinjau dari morfologi (tebal>lebar) kerang hijau

Umur Kerang Jumlah Malformasi Persentase Malformasi

Total 720 96 13,33%

Bulan 1-2 240 4 1,67%Bulan 3-4 240 44 18,33%Bulan 5-6 240 48 20,00%

Tabel 21. Analisa kandungan logam berat per individu

Umur Kandungan logam berat per-individu

Hg (μg/ind) Pb (μg/ind) Cd (μg/ind)

1-2 bulan 1,288 0,622 0,0033-4 bulan 69,597 11,335 0,0265-6 bulan 163,511 32,684 0,119

Pada penelitian ini malformasi dilihat dari ukuran tebal lebih besar

dibandingkan lebar kerang hijau. Hasil analisis malformasi dapat dilihat pada Tabel 20.

Dari seluruh kerang hijau yang dianalisis, terdapat 12,83% yang tebalnya lebih besar

dibandingkan lebarnya. Hal ini terjadi karena menurut Ochiai (1987) ion-ion logam

berat seperti Hg, Pb dan Sn dapat larut dalam lemak dan mampu melakukan penetrasi

78

pada dinding membran sel, sehingga akhinya ion-ion logam tersebut akan terakumulasi

di dalam sel dan organ lain. Terakumulasinya ion-ion logam tersebut akan

menyebabkan terganggunya aktifitas enzim dan metabolisme dalam sel, sehingga

perkembangan sel terhambat, sel-sel menjadi lisis dan mati. Lebih jauh Viarengo

(1989); Volesky (1990) dan Ahalya et al. (2004) mengatakan bahwa sel yang telah

mengalami akumulasi logam berat akan melakukan transformasi, sehingga cepat atau

lambat akan menyebabkan mutasi genetik pada sel, dan pada akhirnya mengakibatkan

terjadinya malformasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Gosling (1992) yang

mengatakan bahwa tindak lanjut dari proses bioakumulasi logam berat yang toksik

dalam tubuh kerang hijau M. edulis akan mengalami biotransformasi dalam sel-sel,

sehingga menyebabkan terjadinya mutasi gen-gen. Selain Gosling (1992), Viarengo et

al. (1981) juga mengatakan bahwa contoh biota yang melakukan proses transformasi

tersebut sehingga mengalami malformasi adalah kerang genus Mytilus. Berdasarkan hal

tersebut, maka sangat wajar jika kerang hijau yang diteliti oleh penulis, yakni yang

hidup di Perairan Muara Angke dengan lingkungan hidupnya yang tercemar logam

berat dan tubuhnya terkontaminasi logam berat, mengalami malformasi.

Terjadinya malformasi pada kerang hijau yang diteliti di sini diduga terjadi

karena logam berat yang terdapat pada embrio kerang hijau tersebut akan mengganggu

pembelahan sel. Hal ini terjadi karena setelah terjadi pembuahan sel telur oleh sperma

selanjutnya akan terjadi pembelahan sel, padahal pembelahan sel merupakan satu fase

yang sangat sensitif terhadap terjadinya perubahan, mengingat terjadinya perubahan

pada saat terjadinya pembelahan sel-sel pada stadium metaphase dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan susunan kromosom. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian De-

Faverney et al. (2001) bahwa logam berat seperti merkuri akan mengakibatkan

terjadinya kerusakan pada DNA, serta akan mempengaruhi transkripsi DNA (Liu 2010).

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dixon (1982) pada kerang biru (M. edulis) yang

mendapatkan bahwa akibat pencemaran logam yang berkepanjangan dapat

menyebabkan perubahan susunan gen-gen pada kromosom dan bahkan akan

menyebabkan abrasi kromosom, sehingga mengakibatkan terjadinya malformasi pada

kerang biru tersebut. Hal yang serupa juga dinyatakan oleh Ercal et al. (2001) yang

mengatakan bahwa logam berat toksik seperti Pb, Cd dan Hg dapat mengakibatkan

teroksidasinya asam nukleat pada DNA yang akan mengakibatkan gangguan pada

79

perbaikan DNA, dan pada akhirnya menyebabkan terjadinya mutasi gen, terjadinya

kanker dan teratogenik. Menurut Fichet et al. (1998) pada organisme tingkat tinggi

serta pada larva moluska, adanya sel-sel yang mengalami mutagen tersebut

diekspresikan pada fenotif dalam bentuk tubuh yang tidak sempurna (malformasi).

Adapun terjadinya kerusakan permanen dan mutasi pada DNA tersebut, salah satunya

dapat diakibatkan karena Pb mengikat nucleus, dan menghambat kegiatan nucleus

tersebut (Garza et al. 2006). Oleh karenanya maka pencemaran logam berat terutama

Pb dan Cd dapat mengakibatkan terjadinya malformasi pada kerang hijau. Ditinjau dari

umurnya, terdapat kecenderungan semakin lama umur kerang hijau, maka malformasi

yang terjadi juga lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan akumulasi logam berat yang

semakin besar, seiring dengan bertambahnya umur kerang hijau.

Pada Tabel 20 terlihat bahwa semakin tua kerang hijau semakin banyak yang

mengalami malformasi, dan terkesan malformasinya semakin terlihat dengan jelas

(Gambar 14). Hal ini diduga ada kaitannya dengan konsentrasi logam berat yang

terakumulasi pada kerang hijau, yakni semakin tinggi akumulasi logam berat pada

kerang hijau, semakin tinggi prosentase malformasi pada kerang hijau (Tabel 18, 19 dan

21). Adapun hubungan antara konsentrasi logam berat yang terakumulasi dalam tubuh

dan terjadinya malformasi ini diduga lebih disebabkan oleh logam berat Pb dan Cd,

mengingat Pb dan Cd merupakan logam yang mempunyai sifat mirip Ca, dan dapat

mensubtitusi Ca (Heath 1987 dan Volesky 1990). Pada kerang hijau, Ca paling banyak

terdapat pada cangkang, padahal cangkang merupakan pelindung tubuh yang

berhubungan langsung dengan lingkungan. Di lain pihak lingkungan yang ditempati

kerang hijau adalah lingkungan yang tercemar logam berat, oleh karenanya diduga

semakin bertambah umur kerang hijau akan semakin tinggi akumulasi Pb dan Cd pada

cangkangnya, sehingga akan semakin memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan

bentuk cangkang, sehingga pada umur yang lebih tua malformasi semakin terlihat

dengan jelas dan presentase kerang yang lebih tua yang mengalami malformasi semakin

tinggi.

80

(b)

Keterangan (a) kerang normal (valiky 1989);

umur 3-4 bulan; (d) sample kerang umur 5

Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau

4.2.4. Pemodelan Akumulasi Logam Berat

Pemodelan yang disusun

pencemaran dan sub-model akumulasi

model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau

di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan

penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh

pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa

perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem

(lingkungan). Peubah penting diturunkan

identifikasi sistem ditunjukan

Dalam suatu sistem terdapat masukan (

Input terbagi menjadi tiga,

Input lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI

Jakarta). Input terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni

peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi

(a)

(c)

kerang normal (valiky 1989); (b) sample kerang umur 1-2 bulan;

sample kerang umur 5-6 bulan

Gambar 14. Malformasi pada kerang hijau

Akumulasi Logam Berat

Pemodelan yang disusun pada penelitian ini, dibangun oleh sub model beban

model akumulasi logam berat pada kerang hijau. Kedua sub

model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau

di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan

penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh

pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa

perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem

(lingkungan). Peubah penting diturunkan berdasarkan formulasi masalah dan

entifikasi sistem ditunjukan oleh diagram input-output (Gambar 9).

Dalam suatu sistem terdapat masukan (input) yang memiliki luaran (

terbagi menjadi tiga, input lingkungan, input terkontrol dan input

lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI

terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni

peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi

(d)

2 bulan; (c) sample kerang

ini, dibangun oleh sub model beban

pada kerang hijau. Kedua sub-

model tersebut diintegrasikan menjadi model akumulasi logam berat pada kerang hijau

di Teluk Jakarta. Pemodelan sistem secara dinamis ini dibuat berdasarkan

penyederhanaan dari kondisi tercemarnya perairan Teluk Jakarta oleh logam berat dan

pengaruhnya pada biota yang hidup di perairan ini. Penyederhanaan tersebut berupa

perumusan informasi dan hubungan peubah penting secara tepat dalam suatu sistem

berdasarkan formulasi masalah dan

) yang memiliki luaran (output).

tidak terkontrol.

lingkungan berupa kebijakan terkait pencemaran pada lokasi penelitian (DKI

terkontrol merupakan masukan yang dapat dikendalikan, yakni

peruntukan lahan, teknologi pengolahan limbah, kesadaran masyarakat, dan persepsi

81

masyarakat. Masukan terakhir pada sistem adalah input tak terkontol yang merupakan

masukan yang sulit untuk dikendalikan yakni limbah, debit air, iklim dan jumlah

penduduk. Ketiga input tersebut akan menghasikan luaran (output) yang diharapkan

dan dapat pula tidak diharapkan. Adanya manajemen pengendalian, diharapkan output

tersebut dapat dikonversi menjadi luaran yang dapat dikendalikan. Luaran yang

diharapkan dari pemodelan ini adalah beban pencemaran menurun, kualitas air

memenuhi baku mutu, bioakumulasi minimal dan tidak ada malformasi kerang,

sehingga atas dasar komponen yang dirunut menjadi variabel tersebut, pemodelan

sistem dinamik akumulasi logam berat pada kerang hijau di Teluk Jakarta dibuat.

Pada pembuatan model ini dibuat beberapa asumsi seperti kondisi perairan

homogen, yang paling berpengaruh pada pertumbuhan dan malformasi adalah logam

berat yang mempunyai toksisitas tinggi yakni Hg, Cd dan Pb. Asumsi lain yang

digunakan di sini adalah pengaruh bahan pencemar lain selain logam berat adalah kecil.

4.2.4.1. Sub Model Beban Pencemaran

Sub model ini merupakan bagian dari pemodelan akumulasi logam berat untuk

mengetahui variabel jumlah total limbah yang masuk dari muara sungai menuju Teluk

Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada

Gambar 15, selanjutnya diagram stock flow submodel beban pencemaran dapat dilihat

pada Gambar 16.

konsentrasibahan

pencemar

debit airmuara sungai

total bebanpencemaran

kapasitasasimilasi

+

+

+

-

rasio bebanpencemaran dan

kapasitas asimilasi

limbahdomestik

limbahindustri

++

Gambar 15. Diagram sebab akibat (causal loop) submodel beban pencemaran

82

Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa sub

model beban pencemaran yang menjadi sumber pencemar adalah kegiatan industri dan

kegiatan domestik, dampaknya adalah peningkatan limbah cair sehingga menurunkan

kualitas ekosistem badan air penerimanya, dalam hal ini adalah penurunan kapasitas

asimilasi. Pencemaran lingkungan perairan Teluk Jakarta dipengaruhi oleh pencemaran

akibat dibuangnya sampah dan pencemaran limbah tanpa pengolahan terlebih dahulu ke

sungai yang berimplikasi pada kualitas lingkungan, yakni terjadinya pencemaran pada

badan air penerimanya yaitu ekosistem perairan Teluk Jakarta. Disamping hal tersebut

dapat dikatakan bahwa terjadinya pencemaran bersumber dari ketidakmampuan pihak-

pihak yang menghasilkan limbah cair untuk membersihkan air limbahnya, yang diduga

karena mahalnya biaya pembuatan instalasi pengolah limbah (IPAL) dan mahalnya serta

sulitnya dalam hal pengoperasian.

Gambar 16. Diagram stock flow submodel beban pencemaran

Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat

tujuh variabel yang paling berpengaruh terhadap sub model pencemaran beban

bebanCODrii lbebanCOD

KACOD

debit

KonsCODperTh

KABOD

bebanBODriil

bebanBOD

KANO3

KonsBODperTh

bebanNO3

KonsPO4perThbebanPO4

KonsNO3perTh

KAPO4 bebanPO4rii l

bebanNO3rii l

bebanHgKonsHgPerTh

bebanHgRiilKAHg

bebanCdKonsCdPerTh

bebanCdRiilKACd

bebanPb KonsPbPerTh

bebanPbRiilKAPb

pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta,

3)NO3, 4) PO4, 5) logam

logam berat timah hitam (Pb)

yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar

4.2.4.2. Simulasi Sub Model Beban Pencemaran

Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun

terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap

permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri

antara lain : 1) beban masukan

logam berat ke Teluk Jakarta

logam berat pada kerang hijau

tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.

Sub model beban pencemaran

Gambar 17. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari

Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada

beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban

NO3- dan beban PO4

3-.

pencemaran perairan yang masuk ke Teluk Jakarta, antara lain : 1)

logam berat merkuri (Hg), 6) logam berat kadmium (Cd)

(Pb). Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan

yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar

Sub Model Beban Pencemaran

Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui bahwa

terdapat lima faktor yang paling berpengaruh terhadap model kebijakan pengelolaan

permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri

ban masukan bahan organik ke Teluk Jakarta, 2)

logam berat ke Teluk Jakarta, 3) akumulasi logam berat pada sedimen dan

logam berat pada kerang hijau serta 5) kapasitas asimilasi. Kondisi (state

tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.

beban pencemaran di masa datang disajikan pada Gambar 17

Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari BOD, COD, NO

Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada

beban pencemaran limbah organic yang terlihat dari beban BOD, beban

. Beban BOD dari tahun 2011 sebesar 3715,53 ton

83

antara lain : 1) COD, 2) BOD,

admium (Cd) dan 7)

. Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan

yang dapat terjadi pada setiap variabel yang diteliti, tersaji pada Gambar 16.

diketahui bahwa

model kebijakan pengelolaan

permukiman berkelanjutan yang berbasis instalasi pengelolaan air limbah mandiri

, 2) beban masukan

dan 4) akumulasi

state) faktor-faktor

tersebut di masa yang akan datang, dapat disusun pada simulasi yang mungkin terjadi.

7.

OD, NO3 dan PO4

Gambar simulasi di atas memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada

OD, beban COD, beban

3715,53 ton/tahun

84

menjadi 11784,8 ton/tahun

menjadi 30546,01 ton/tahun

beban COD, yang juga terus

2011 sebesar 33511,61 ton/tahun

menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada

NO3 yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun

2015 dan menjadi 20,22 ton/tahun pada tahu

NO3, ternyata PO4 pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar

8,33 ton/tahun menjadi 10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun

pada tahun 2020. Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan

posfat, mengingat menurut Odum

perbandingannya di luar dari 16:1 akan menjadi fa

tingginya fosfor dapat mengakibatk

memfiksasi nitrogen dari udara bebas.

Gambar 18. Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)

Pada simulasi Beban masukan

memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada

organic yang terlihat dari beban

2011 sebesar 1,46 ton/tahun

tahun pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat

ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada

juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini

33511,61 ton/tahun, menjadi 36351,36 ton/tahun pada tahun

menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada

yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun

20,22 ton/tahun pada tahun 2020. Seperti halnya BOD, COD dan

pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar

10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun

Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan

posfat, mengingat menurut Odum (1996) imbangan antara nitrogen dan p

ar dari 16:1 akan menjadi faktor pembatas. Dalam hal ini

tingginya fosfor dapat mengakibatkan terjadinya blooming plankton

memfiksasi nitrogen dari udara bebas.

Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)

Beban masukan logam berat Hg, Cd, Pb ke Teluk Jakarta

memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada beban pencemaran limbah

organic yang terlihat dari beban logam berat Hg, Cd dan Pb. Beban

ton/tahun menjadi 1,66 ton/tahun pada tahun 2015,

kemudian cenderung terus meningkat

Demikian halnya yang terjadi pada

dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun

pada tahun 2015, dan

menjadi 39893,14 ton/tahun pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga terjadi pada

yakni sebesar 21,67 ton/tahun pada tahun 2011, menjadi 20,7 ton/tahun pada tahun

n 2020. Seperti halnya BOD, COD dan

pun mengalami kondisi yang sama yakni pada tahun 2011 sebesar

10,5 ton/tahun pada tahun 2015 serta menjadi 13,22 ton/tahun

Kondisi tersebut sangat membahayakan, terutama beban nitrat dan

imbangan antara nitrogen dan posfor jika

. Dalam hal ini

plankton yang dapat

Beban masukan ke Teluk Jakarta ditinjau dari logam berat (Hg, Cd, Pb)

ke Teluk Jakarta

beban pencemaran limbah

. Beban Hg pada tahun

2015, kemudian

85

cenderung terus meningkat menjadi 1,91 ton/tahun pada tahun 2020. Demikian halnya

yang terjadi pada beban logam berat Cd, yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun,

dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 0,15 ton/tahun, menjadi 0,58 ton/tahun pada

tahun 2015, dan sangat meningkat tajam menjadi 2,68 ton/tahun pada tahun 2020.

Kondisi yang sama juga terjadi pada logam berat Pb yakni sebesar 1,9 ton/tahun pada

tahun 2011, menjadi 2,01 ton/tahun pada tahun 2015 dan menjadi 2,22 ton/tahun pada

tahun 2020 (Gambar 18).

4.2.4.3.Sub Model Akumulasi Logam Berat pada Sedimen dan Kerang Hijau

Sub model yang kedua bertujuan untuk mengetahui variabel akumulasi limbah

logam berat yang terakumulasi pada sedimen dan pada kerang hijau di perairan Teluk

Jakarta. Pengaruh variabel tersebut digambarkan dalam diagram sebab akibat pada

Gambar 19. Berdasarkan diagram sebab akibat (causal loop) di atas diketahui bahwa

sumber utama sub model akumulasi logam berat pada sedimen dan kerang hijau adalah

konsentrasi logam berat yang ada di perairan laut Teluk Jakarta yang berasal dari

kegiatan industri dan kegiatan domestik, karena sifat kesetimbangan dampaknya

terakumulasinya logam berat pada sedimen dan kemampuan penyerapan kerang hijau

terhadap pencemar yang sangat baik mengakibatkan akumulasi logam berat pada organ

tubuhnya.

Akumulasilogam beratdi sedimen

Akumulasilogam berat dikerang hijau

Akumulasilogam beratdi kolom air

konsentrasipencemar

logam berat

+

+ +

+

+

+

Gambar 19. Diagram sebab akibat submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan

kerang hijau

Simulasi model dilakukan melalui kajian data yang disusun, diketahui terdapat

variabel yang paling berpengaruh terhadap akumulasi logam berat pada sedimen dan

pada kerang hijau, antara lain : 1) logam berat merkuri (Hg) 2) logam berat cadmium

86

(Cd) 3) logam berat timbal (Pb) yang ada di air, sedimen dan pada kerang hijau.

Adapun simulasi untuk memperkirakan kemungkinan yang dapat terjadi pada setiap

variabel yang diteliti, selengkapnya tersaji pada Gambar 20.

Gambar 20. Diagram stock flow submodel akumulasi logam berat pada sedimen dan

kerang hijau

4.2.4.4. Simulasi Sub Model Akumulasi pada Sedimen dan Kerang Hijau

Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada sedimen di Teluk Jakarta

memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat Hg, Cd,

Pb. Akumulasi logam berat Hg pada sedimen, yakni pada tahun 2011 sebesar 1,45 ppm

menjadi 2,57 ppm pada tahun 2015, kemudian cenderung terus meningkat menjadi 4,3

ppm pada tahun 2020. Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd,

yang juga terus meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar

1,41 ppm, meningkat sangat tajam menjadi 5,23 ppm pada tahun 2015, dan sangat

meningkat tajam lagi menjadi 19,66 ppm pada tahun 2020. Kondisi yang sama juga

terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada sedimen yakni sebesar 0,57 ppm pada tahun

2011, menjadi 0,98 ppm pada tahun 2015 dan meningkat tajam menjadi 1,71 ppm pada

tahun 2020 (Gambar 21).

Pada simulasi akumulasi logam berat Hg, Cd, Pb pada kerang hijau di Teluk

Jakarta memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan tajam pada akumulasi logam berat

Hg, Cd, Pb pada kerang hijau. Akumulasi logam berat Hg pada kerang hijau, yakni

pada tahun 2011 sebesar 138,24 μg/g bk menjadi 206,03 μg/g bk pada tahun 2015,

AkumHgSedAkumCdSed

AkumPbSed

AkumHgKH AkumCdKH AkumPbKH

debit

bebanHgKonsHgPerTh

bebanHgRiilKAHg

bebanCdKonsCdPerTh

bebanCdRiilKACd

bebanPb KonsPbPerTh

bebanPbRiilKAPb

kemudian cenderung terus meningkat menjadi

Demikian halnya yang terjadi pada

meningkat dari tahun ke tahun, dalam hal ini

meningkat sangat tajam men

tajam lagi menjadi 24.94 μg/g bk pada tahun 2020.

Gambar

Gambar 22

kemudian cenderung terus meningkat menjadi 263.9 μg/g bk pada tahun

Demikian halnya yang terjadi pada akumulasi logam berat Cd, yang

dari tahun ke tahun, dalam hal ini pada tahun 2011 sebesar 9.68 μg/g bk ,

ingkat sangat tajam menjadi 18.65 μg/g bk pada tahun 2015, dan sangat meningkat

tajam lagi menjadi 24.94 μg/g bk pada tahun 2020.

Gambar 21. Akumulasi logam berat pada sedimen

2. Akumulasi logam berat pada kerang hijau

87

pada tahun 2020.

yang juga terus

sar 9.68 μg/g bk ,

dan sangat meningkat

88

Kondisi yang sama juga terjadi pada akumulasi logam berat Pb pada kerang hijau

yakni walau tidak besar tapi terjadi peningkatan dari tahun ke tahun yakni sebesar 1.37

μg/g bk pada tahun 2011, menjadi 1.71 μg/g bk pada tahun 2015 dan meningkat tajam

menjadi 2.53 μg/g bk pada tahun 2020 (Gambar 22). Terjadinya peningkatan

akumulasi yang relative rendah dari logam berat Pb pada kerang hijau diduga karena

kelarutan Pb dalam air yang sangat rendah (Volesky, 1990).

4.2.5. Validasi Model

Model merupakan salah satu cara untuk menggambarkan perilaku sistem nyata

dengan cara menyederhanakan fakta sehingga perilaku sistem dapat dipahami lebih

mudah, walaupun demikian model tidak akan sama dengan sistem nyata sehingga

dibutuhkan validasi yang bertujuan menggambarkan hasil model dengan hasil data yang

mewakili sistem nyata. Eriyatno (2003) menyatakan validasi model bertujuan

mengetahui apakah model yang dibuat sesuai dan dapat mewakili realitas sistem nyata.

Dalam sistem dinamik, proses validasi model dibagi menjadi dua kriteria validasi, yakni

validasi struktur dan validasi perilaku model (output model).

Validasi struktur model merupakan proses validasi utama dalam berpikir sistem.

Untuk melakukan perancangan dan justifikasi seorang pembuat model dituntut untuk

mengumpulkan informasi sebanyak mungkin atas sistem yang menjadi obyek penelitian.

Informasi ini dapat berupa pengalaman dan pengetahuan dari orang yang memahami

mekanisme kerja pada sistem atau berasal dari studi literatur. Pada proses ini bertujuan

untuk melihat sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata, karena

pada uji kesesuaian struktur dilakukan untuk menguji apakah struktur model tidak

berlawanan dengan pengetahuan yang ada tentang struktur dari sistem nyata dan

apakah struktur utama dari sistem nyata telah dimodelkan (Sushil, 1993). Hal ini akan

meningkatkan tingkat kepercayaan atas ketepatan dari struktur model. Validasi perilaku

model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat

digunakan: 1) Absolute mean error (AME) adalah penyimpangan (selisih) antara nilai

rata-rata (mean) hasil simulasi terhadap nilai aktual dan 2) Absolute variation error

(AVE) adalah penyimpangan nilai variasi (variance) simulasi terhadap aktual.

Berdasarkan validasi yang telah dilakukan, nilai AME dan AVE dari seluruh

konsentrasi pencemar hasil riil dan model kurang dari 10%. Menurut Barlas (1996) dan

89

Muhammadi et al. (2001) batas penyimpangan yang diizinkan untuk pemodelan sistem

dinamik <10%, hal tersebut menunjukan bahwa model akumulasi pemodelan di perairan

Teluk Jakarta mampu mensimulasikan perubahan yang terjadi.

Tabel 22. Data validasi model pencemaran perairan Teluk Jakarta ditinjau dari

konsentrasi pencemar

TahunBOD COD NO3 PO4

riil model riil model riil model riil model

2006 73.564 77.179 120.815 115.18 0.043 0.05 0.7 0.8

2007 130.52 133.33 72.77 90.74 0.073 0.07 1.466 1.31

2008 147.42 146.89 118.75 125.59 0.03 0.04 1.178 1.33

2009 138.72 140.45 58.57 60.71 0.08 0.06 0.328 0.36

2010 156.28 154 164.72 133.1 0.068 0.07 0.89 0.79

2011 135.85 167.56 176.52 185.78 0.043 0.07 0.01 0.42

Rata-rata 130.73 136.57 118.691 118.52 0.0562 0.06 0.762 0.835

AME 2.623144747 2.025822478 2.14372448 8.858433424

varian 2306.1 984.71 2238.13 1782.3 0.0004 0.0002 0.289 0.1744

AVE 1.341927514 0.255775069 1.528541667 0.65497722

Tahun Hg Cd Pb

riil model riil model riil model

2006 0.0595 0.06 0.01 0.02 0.0922 0.09

2007 0.062 0.06 0.02 0.02 0.0928 0.09

2008 0.0648 0.07 0.0211 0.03 0.0934 0.09

2009 0.0678 0.07 0.0236 0.03 0.0939 0.09

2010 0.071 0.07 0.0375 0.04 0.0945 0.09

2011 0.073 0.07 0.045 0.05 0.005 0.09

Rata-rata 0.0534 0.061 0.0246 0.0317 0.0798 0.09

AME 7.010653241 4.332385 3.749295952

varian 0.0004 8E-05 0.000613 0.000137 0.0008 2E-34

AVE 4.261516157 3.48495276 3.96429E+30

4.2.6. Penyusunan Skenario Beban Pencemaran Perairan Teluk Jakarta dan

Akumulasi Logam Berat

Berdasarkan alternatif keadaan yang teridentifikasi pada faktor yang berpengaruh

langsung dalam model, didapatkan tiga skenario yaitu (1) skenario pesimis, (2) skenario

moderat, dan (3) skenario optimis. Skenario optimis dan moderat dibangun berdasarkan

keadaan (state) faktor kunci, pembangunan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL)

sudah berjalan dengan skala “cukup baik” untuk skenario moderat dan skala “baik”

90

untuk skenario optimis dalam pengendalian beban pencemaran di Teluk Jakarta dan

akumulasi logam berat. Skenario optimis dan skenario moderat merupakan keadaan

masa depan yang mungkin terjadi yang diperhitungkan dengan penuh pertimbangan

sesuai dengan keadaan dan kemampuan sumberdaya yang dimiliki.

Skenario pesimis dibangun atas dasar kondisi saat ini (existing condition), dengan

pengertian bahwa walaupun sudah memiliki usaha pengelolaan namun belum

mengutamakan faktor-faktor penting yang seharusnya terlebih dahulu dilakukan

sehingga tidak memiliki prospek pengendalian pencemaran Teluk Jakarta yang

berpandangan jauh ke depan.

Asumsi yang di gunakan adalah tingkat efektivitas baik di pemukiman dan

industri IPAL akan mengurangi 70-90% limbah yang keluar dari kegiatan tersebut.

Terdapat 1866 perusahaan sedang dan besar dengan tingkat pertumbuhan 4.02% setiap

tahun (BPS DKI Jakarta 2011) di Jakarta yang di duga menghasilkan logam berat belum

ada yang memiliki IPAL, begitu juga dengan di pemukiman. Rata-rata, limbah yang

dihasilkan hanya di endapkan dan langsung di buang menuju badan perairan. Asumsi

adanya pertumbuhan IPAL 1 % pertahun akan mengurangi limbah yang di buang ke

Teluk Jakarta sebesar 1%.

Skenario yang di gunakan terdiri dari

1. Skenario pesimis (pertumbuhan IPAL 1% yang mengurangi limbah sebesar 1%

serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta

sebesar 1%),

2. Skenario moderat (pertumbuhan IPAL 4% yang mengurangi limbah sebesar 4%

serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta

sebesar 4%)

3. Skenario optimis (pertumbuhan IPAL 7% yang mengurangi limbah sebesar 7%

serta meningkatkan kemampuan kapasitas asimilasi perairan Teluk Jakarta

sebesar 7%)

Berdasarkan simulasi pada kedua submodel yang membangun pemodelan

akumulasi pencemar di Teluk Jakarta, terjadi perbedaan yang mencolok diantara ketiga

skenario yang digunakan. Skenario ke-3 (skenario pesimis) memberikan tingkat

pencemaran serta akumulasi yang sangat tinggi dibandingkan dengan kedua skenario

lainnya yakni skenario moderat (ke

pada Gambar 23-35

Gambar 23. Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Gambar 24. Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk

Keterangan1. Kondisi non skrenario

Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

lainnya yakni skenario moderat (ke-2) dan optimis (ke-3). Hasil skenario

Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi beban pencemaran BOD perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Kondisi non skrenario

oderat

91

skenario dapat dilihat

Prediksi beban pencemaran COD perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

sampai tahun 2020

92

Gambar 25. Prediksi beban pencemaran NO

Gambar 26. Prediksi beban pencemaran PO

Gambar 27. Prediksi beban pencemaran

Prediksi beban pencemaran NO3 perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi beban pencemaran PO4 perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi beban pencemaran Hg perairan Teluk Jakarta sampai tahun

perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

Gambar 28. Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Gambar 29. Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Keterangan1. Kondisi non skrenario

Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun

1. Kondisi non skrenario

3. Skenario moderat

93

Prediksi beban pencemaran Cd perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

Prediksi beban pencemaran Pb perairan Teluk Jakarta sampai tahun 2020

94

Gambar 30. Prediksi akumulasi

Gambar 31. Prediksi

Keterangan1. Kondisi non skrenario

Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

akumulasi Hg di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi akumulasi Hg di kerang hijau sampai tahun

1. Kondisi non skrenario

2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020

sampai tahun 2020

Gambar 32. Prediksi akumulasi Cd di s

Gambar 33. Prediksi akumulasi

Keterangan1. Kondisi non skrenario

Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

Prediksi akumulasi Cd di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi akumulasi Cd di kerang hijau sampai tahun

1. Kondisi non skrenario

2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

95

edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020

di kerang hijau sampai tahun 2020

96

Gambar 34. Prediksi akumulasi Pb di

Gambar 35. Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun

Keterangan1. Kondisi non skrenario

Skenario2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

Prediksi akumulasi Pb di sedimen Teluk Jakarta sampai tahun

Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun

1. Kondisi non skrenario

2. Skenario pesimis3. Skenario moderat4. Skenario optimis

edimen Teluk Jakarta sampai tahun 2020

Prediksi akumulasi Pb di kerang hijau sampai tahun 2020