37-339-1-pb
TRANSCRIPT
13
Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia
Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo
Abstraksi
Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porter’s analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut.
Keywords: industri rokok ktretek, five force Porter’s analisys
PENDAHULUAN
Sebagai salah satu sumber
penerimaan negara, cukai mempunyai
kontribusi yang sangat penting dalam
APBN khususnya dalam kelompok
Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan
cukai dipungut dari tiga jenis barang
yaitu etil alkohol, minuman yang
mengandung etil alkohol, dan hasil
tembakau. Pada tahun 1990/1991,
penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8
triliun atau memberikan kontribusi
sekitar 4 persen dari penerimaan dalam
negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun
anggaran 1999/2000 jumlah tersebut
telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun
atau menyumbang sebesar 7,3 persen
dari penerimaan dalam negeri. Pada
tahun 2003, penerimaan cukai
ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau
sebesar 8,3 persen dari penerimaan
dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi
penerimaan cukai terhadap penerimaan
dalam negeri selama kurang dari 10
tahun telah meningkat lebih dari 100%.
Dari penerimaan cukai tersebut,
95% berasal dari cukai hasil tembakau
14
yang diperoleh dari jenis hasil tembakau
(JHT) berupa rokok sigaret kretek
mesin, rokok sigaret tangan, dan rokok
sigaret putih mesin yang dihasilkan oleh
industri rokok (Wibowo, 2003).
Meskipun demikian menurut Direktur
Industri Minuman dan Tembakau Ditjen
Industri Agro dan Kimia Departemen
Perindustrian (Deperrin), Imam
Haryono, produksi pengguna cukai
hanya diraih sebesar 95 juta batang
sampai Juni 2006. Jika dibandingkan
periode yang sama tahun lalu turun
sebesar 12% dari 108 miliar batang.
Belakangan kinerja produksi industri
rokok nasional memang kurang
menggembirakan. Meski tahun lalu
volume produksi rokok kretek tumbuh
11,5%, dari 175,9 miliar batang ke
196,2 miliar batang, untuk 2005
diperkirakan bakal stagnan. Sementara
itu, rokok putih nasibnya malah lebih
buruk lagi, karena sejak 2002 volume
produksinya terus merosot. Jika tahun
lalu volume produksinya turun hampir
2%, pada 2005 diperkirakan berlanjut
bahkan sampai 8% (Warta Ekonomi,
2005).
Dari sisi penguasaan pasar,
selama 2004 rokok kretek jelas masih
perkasa dengan merebut pangsa hampir
92%. Sisanya, dinikmati oleh rokok
putih. Pada kelompok rokok kretek ini,
pasar terbesar selama bertahun-tahun
masih dikuasai oleh Gudang Garam
dengan penguasaan pangsa 30,3%, atau
setara 64,7 miliar batang. Peringkat
kedua kini ditempati oleh Sampoerna,
yang menggeser Djarum (39 miliar
batang, atau setara 18,2%). Sementara
jarak dengan peringkat ke-4, Bentoel,
15
memang terlalu jauh. Saat ini Bentoel
baru memproduksi 4,1 miliar batang,
atau setara 1,9% (Warta Ekonomi,
2005).
Industri rokok Indonesia
agaknya masih akan mengandalkan
pasar domestik. Itu sebabnya, meski
sejumlah produsen sudah melakukan
ekspor, angkanya belum terlalu
signifikan. Dalam kurun waktu delapan
tahun terakhir, ekspor rokok terbesar
terjadi pada 2004 dengan nilai
US$185,9 juta—meski secara umum
nilainya cenderung berfluktuasi.
Penyebabnya, antara lain, kekhawatiran
konsumen di negara-negara Eropa dan
Amerika terhadap tingginya kandungan
tar dan nikotin pada rokok kretek. Di
pasar domestik, kekuatan industri
tercermin dari sumbangannya terhadap
target penerimaan cukai pemerintah,
yang sejak 1997 hingga 2004 terus
tumbuh secara signifikan. Tahun lalu
kontribusi cukai rokok terhadap pos
penerimaan di APBN mencapai Rp28,8
triliun, sementara pada 2005 ini
ditargetkan menjadi Rp30 triliun.
Sekadar gambaran, pada 2004,
konsumen rokok terbesar di dunia
masih Cina dengan 1.798 miliar batang,
disusul oleh Rusia yang cuma 20%-nya,
AS, Jepang, dan Indonesia yang
menempati peringkat ke-5. Akan tetapi,
jika dilihat dari sisi peningkatan
konsumsi rokoknya, menurut data
World Health Organization (WHO),
selama kurun waktu 1990-2001,
Pakistan-lah yang menempati peringkat
teratas dengan tingkat pertumbuhan
65%. Peringkat kedua ditempati oleh
Turki, lalu Bulgaria, dan Indonesia di
posisi keempat (Warta Ekonomi, 2005).
PERKEMBANGAN INDUSTRI
ROKOK
Berdasarkan data Statistik
Industri Besar dan Sedang (BPS), pada
tahun 1981 industri rokok hanya
dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu
industri rokok kretek dengan kode
31420 dan industri rokok putih dengan
kode 31430. Mulai tahun 1990, industri
rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi
menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok
kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret
Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret
Kretek Mesin (SKM), serta industri
rokok lainnya (31440) yang terdiri dari
rokok klembag menyan, rokok klobot,
dan cerutu (Wibowo, 2003).
Dilihat dari jumlah perusahaan
secara total, pada periode tahun 1981-
2002 industri rokok cukup dinamis. Hal
ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan
16
yang bergerak pada industri rokok
kurun waktu tersebut telah mencapai
201 perusahaan. Tahun berikutnya
jumlah perusahaan mengalami
penurunan sampai dengan tahun 1990
yang merupakan pada titik terendah,
dengan jumlah perusahaan sebanyak
170. Pada tahun 1990, industri rokok
mulai bangkit kembali, dan terus
berkembang hingga sampai tahun 1995
dengan jumlah perusahaan mencapai
244 perusahaan. Tahun 1996, industri
rokok kembali lesu, sehingga hanya 228
perusahaan. Setelah tahun 2000, industri
rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari
jumlah perusahaan yang jumlahnya
berkisar 244 sampai dengan 247
perusahaan. Dari total industri rokok
tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari
industri rokok kretek (31420), sebesar
4,1 persen merupakan industri rokok
putih (31430), dan sebesar 11,3 persen
dari industri rokok lainnya (31440).
Dilihat dari pertumbuhan, secara total
industri rokok tumbuh rata-rata 3,2
persen per tahun. Perusahaan rokok
kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64
persen per tahun, industri rokok putih
(31430) tumbuh sebesar – 1,01 persen
per tahun, serta industri rokok lainnya
(31440) tumbuh sebesar – 1,98 per
tahun (Wibowo, 2003).
17
Pertumbuhan ekonomi yang lamban
bahkan sempat minus di masa krisis
moneter ternyata tidak mempengaruhi
industri rokok di Indonesia. Padahal
industri rokok di Indonesia mengalami
banyak tantangan karena imbas krisis
yang berkepanjangan. Daya beli
masyarakat menurun, tarif cukai
merambat naik, upah buruh mengalami
penyesuaian sesuai dengan tuntutan
biaya hidup yang semakin tinggi.
Tabel di bawah ini menunjukkan
perkembangan industri rokok di
Indonesia dari tahun 1996 – 2001 yang
terdiri dari rokok kretek, rokok putih,
dan klobot/klembak. Pada tabel terlihat
bahwa perkembangan produksi rokok
mengalami kenaikan dari tahun 1996
hingga pada puncaknya pada tahun
1998. Pada tahun 1999 produksi rokok
secara total mengalami penurunan
(Sumarno, 2002).
Perkembangan industri rokok di
Indonesia mulai kurun waktu tahun
1981 sampai tahun 2002, secara rata-
rata berdasarkan jenis hasil tembakau
(JHT) paling tinggi adalah Sigaret
Kretek Mesin (SKM), dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 11,08 persen.
Pertumbuhan tertinggi berikutnya
adalah Sigaret Putih Mesin (SPM),
dengan pertumbuhan 6,70 persen,
diikuti oleh Sigaret Kretek Tangan
(SKT) sebesar 4,19 persen, dan rokok
Klobot (KLB) sebesar 3,04 persen.
Rokok Klembak (KLM) secara rata-
rata, pertumbuhannya mengalami
penurunan sebesar 2,39 persen
(Wibowo, 2003).
Dilihat dari total produksi secara
keseluruhan JHT, produksi rokok
mencapai puncaknya pada tahun 1998
dengan total produksi sebanyak 269,85
miliar batang dengan nilai sebesar Rp.
22, 09 Triliun. Setelah tahun tersebut,
18
total kemudian mengalami penurunan,
tahun 1999 sebesar 254,17 miliar batang
dengan nilai sebesar Rp. 30,32 Triliun.
Walaupun secara produksi sampai tahun
2001 terus mengalami penurunan, tetapi
secara nilai pada tahun 2001 masih
menunjukkan peningkatan dengan nilai
sebesar Rp. 54,79 Triliun. Berdasarkan
estimasi BPS, produksi rokok tahun
2002 sebesar 207,6 miliar batang,
dengan nilai produksi sebesar Rp. 51,90
Triliun (Wibowo, 2003).
Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok per JHT
Tabel 3. Perkembangan Produksi Rokok per JHT
19
Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Nilai Rokok
TENAGA KERJA DI INDUSTRI
ROKOK
Tenaga kerja industri rokok
sebagian besar merupakan tenaga kerja
industri rokok kretek yang terdiri dari
SKM dan SKT. Dilihat dari penyerapan
tenaga kerja, industri rokok kretek
menyerap 96,45% dari total tenaga kerja
industri rokok. Urutan kedua adalah
industri rokok putih (31430) yang
merupakan penghasil rokok putih
(SPM) sebesar 2,09%, dan industri
rokok lainnya sebesar 1,46%.
Dilihat dari pertumbuhan
penyerapan tenaga kerja, secara
keseluruhan penyerapan tenaga kerja
industri rokok tumbuh sebesar 2,69%
per tahun. Untuk industri rokok kretek,
rata-rata pertumbuhan tenaga kerja
sebesar 2,77% per tahun. Pada industri
rokok putih rata-rata pertumbuhan
tenaga kerja sebesar -1,03% per tahun,
dan industri rokok lainnya rata-rata
sebesar 0,54% (Wibowo, 2003).
Gambar 4. Perkembangan Pekerja Industri Rokok
20
EKSPOR-IMPOR ROKOK DI
INDONESIA
Produksi rokok kretek di
Indonesia tidak hanya menjadi
konsumsi masyarakat Indonesia saja,
tetapi sudah diekspor ke mancanegara.
Pada Tabel 4 dapat dilihat
perkembangan ekspor rokok di
Indonesia dari tahun 1996 – 2001
(sampai bulan Juni). Pada tahun 1997
volume ekspor rokok mencapai
puncaknya tetapi dalam US$ yang
terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor
rokok khususnya rokok kretek
Indonesia sudah mencapai berbagai
negara tujuan. Negara yang paling besar
menjadi tujuan ekspor rokok kretek
Indonesia adalah Malaysia dengan
volume 5.041.217 kg dengan nilai US$
61.184.464. dan beberapa negara di
kawasan Asia, di antaranya adalah
Thailand, Kamboja dan Jordan
(Sumarno, 2002).
Tabel 4. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia, 1996-2001
Gambar 5. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia
20
21
Bila dibandingkan dengan ekspor,
volume impor rokok Indonesia relatif
lebih kecil. Volume impor tertinggi
terjadi pada tahun 2000 yang mencapai
562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7
juta (Sumarno, 2002).
Tabel 5. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 – 2000.
Gambar 6. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 – 2000
FIVE COMPETITIVE FORCES
ANALYSIS
Untuk menganalisis lima
kekuatan kompetitif digunakan buku
dari Porter yaitu Competitive Strategy,
buku dari Thompson et al.¸ dan artikel
dari Purdue University. Struktur
ekonomi suatu industri tidak datang
begitu saja. Itu yang terjadi di industri
rokok. Kompleksitas yang ada adalah
hasil dari tren sosial yang telah berjalan
lama dan dipengaruhi oleh kekuatan
kompetitif. Lima kekuatan yang
mempengaruhi struktur industri adalah:
1. Bargaining power of suppliers
2. Bargaining power of buyers
3. Threat of new entrants
4. Threat of substitutes
5. Rivalry among competitors
Dalam gambar adalah sebagai berikut:
22
Gambar 7. Porter’s Five Competitive Forces
Lima kekuatan tersebut menentukan
potensi keuntungan didalam sebuah
industri dengan mempengaruhi harga,
biaya, dan investasi yang dibutuhkan
dalam bisnis. Faktor penentu
fundamental dari profitabilitas suatu
perusahaan adalah daya tarik industri.
Strategi bersaing harus mencerminkan
pemahaman yang komprehensif
mengenai rule of the game dari sebuah
persaingan yang menentukan daya tarik
industri. Tujuan akhir dari sebuah
persaingan adalah menghadapi dan
mengubah aturan main persaingan
sesuai dengan kepentingan perusahaan.
Dalam industri manapun, apakah
domestik atau internasional, apakah
menghasilkan barang atau jasa, aturan
persaingan tercakup dalam lima faktor
persaingan: masuknya pendatang baru,
ancaman produk substitusi, daya tawar-
menawar pembeli, daya tawar-menawar
pemasok dan persaingan diantara
perusahaan yang ada dalam industri
tersebut. Kemampuan kolektif dari
kelima faktor persaingan ini akan
menentukan kemampuan perusahaan
dalam suatu industri untuk memperoleh,
secara rata – rata, tingkat pengembalian
investasi yang melebihi biaya
modalnya. Kekuatan kolektif kelima
faktor persaingan ini berbeda pada
Pendatang baru
Potensial
Para Pesaing Industri
Persaingan diantara Perusahaan yang ada
Produk Pengganti
Pemasok Pembeli
Ancaman pendatang baru
Ancaman produk atau jasa substitusi
Daya tawar menawar pemasok
Daya tawar menawar pembeli
23
masing – masing industri, dan dapat
berubah dengan berubahnya industri
bersangkutan.
Dalam studi empiris mengenai
struktur industri, biasa digunakan dua
indikator konsentrasi perusahaan, yaitu
rasio konsentrasi dan Indeks
Herfindahl-Hirschman (IHH). Rasio
konsentrasi perusahaan tertentu
menunjukkan pangsa penjualan
perusahaan tersebut terhadap total
penjualan industri. Struktur industri
rokok kretek diamati dengan
menggunakan metode CR4, CR8,
maupun indeks Herfindahl (Sumarno,
2002).
Tabel 6. Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia
Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata
konsentrasi industri rokok kretek di
Indonesia adalah 77,56% untuk metode
CR4 dan 88,15% untuk metode CR8.
Dari hasil tersebut, industri rokok kretek
di Indonesia dapat dikategorikan
sebagai struktur oligopoli (Sumarno,
2002) dan dengan tingkat konsentrasi
tinggi. Artinya 4 perusahaan menguasai
72% pangsa pasar rokok di Indonesia.
Laporan Gabungan Perserikatan
Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI)
menunjukkan dominasi 4 perusahaan
rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT
HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan
PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada
tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek
terbesar dalam negeri memproduksi
164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri
dari rokok kretek yang digulung dengan
tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar
batang, rokok kretek yang dihasilkan
dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar
batang dan rokok klobot 253 juta
batang.
1. Kekuatan Pemasok
Semua bisnis memerlukan input
baik tenaga kerja, raw materials, dan
jasa. Biaya input ini memiliki dampak
yang signifikan terhadap keuntungan
perusahaan. Pemasok cenderung ingin
menjual dengan harga tertinggi. Jika
kekuatan mereka lemah, perusahaan
24
dapat menegosiasi harga. Jika kekuatan
pemasok kuat, perusahaan cenderung
hanya dapat menerimanya. Pemasok
memiliki kekuatan yang sangat kuat
apabila barang yang mereka pasok
hanya dapat didapatkan dari mereka,
barang unik, perusahaan bukan
termasuk pelanggan terbesar pemasok,
pemasok dapat menjual langsung
barang ke konsumen perusahaan, sulit
berpindah ke pemasok lain, dan
perusahaan tidak memiliki pemahaman
penuh akan pasar pemasok (Ehmke, et
al.).
Untuk mengurangi kekuatan
pemasok langkah-langkah yang dapat
dilakukan antara lain melakukan
partnership dengan pemasok.
Kerjasama yang dapat dilakukan antara
lain mengurangi biaya persediaan,
meningkatkan nilai barang yang
dipasok, dan meningkatkan kecepatan
adopsi teknologi. Cara lain yang dapat
dilakukan adalah bergabung dengan
pembeli lain sehingga membuat
pemasok tunduk kepada aliansi
pembeli. Selain itu bisa juga dengan
melakukan backward integration.
Bahan baku utama dari rokok
adalah cengkeh. Bahan baku ini
sangatlah vital bagi industri rokok,
sehingga para petani cengkeh harusnya
memiiki bargaining power yang tinggi
terhadap industri rokok, karena tanpa
cengkeh, mereka tidak bisa berproduksi.
Oleh karena itu, akar penyebab gejolak
harga cengkeh ialah perubahan
kebijakan tataniaga yang menimbulkan
perubahan mendasar pada struktur pasar
cengkeh. Pertama, pencabutan hak
monopsonistik dan monopolistik Badan
Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC)
serta liberalisasi perdagangan cengkeh
pada akhir tahun 1998 (kesepakatan
dengan IMF). Kebijakan ini mendorong
meningkatnya impor cengkeh Indonesia
dari sebelumnya tidak ada menjadi
sekitar 20.000 ton/tahun atau sekitar 70
persen dari volume perdagangan dunia.
Akibatnya harga dunia langsung
melonjak tajam dari US $ 0,99/kg tahun
1997 menjadi US $ 7,8/kg pada awal
tahun 2002 sehingga harga cengkeh
dalam negeri sempat mencapai Rp.
80.000/kg. Kedua, pembatasan
importir cengkeh hanya oleh importir
produsen dan importir terbatas
(Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan No. 528/ MPP/Kep/7/2003
tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari,
kebijakan ini memberikan hak
oligopsonistik kepada pabrik rokok
sehingga mampu mengendalikan harga
cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya
25
seperti BPPC pada periode tahun 1990 –
1998. Dengan rasional untuk meraih
laba sebesar-besarnya, pabrik rokok
menghentikan impor cengkeh yang
menjadi hak eksklusifnya, sehingga
harga cengkeh dunia anjlok dan
bertahan sekitar US $ 1,8/kg, yang
berarti sepadan dengan harga di tingkat
petani Rp. 15.000/kg pada akhir-akhir
ini. Dunia perdagangan komoditi
cengkeh mengalami kemelut. Di pasar
domestik, pabrikan rokok melakukan
pembelian langsung dari petani melalui
agen-agen jauh sebelum musim panen
sehingga pedagang perantara tersingkir.
Dengan begitu pabrikan rokok leluasa
menekan harga cengkeh hingga tingkat
minimal yakni hanya cukup menutup
ongkos panen seperti yang terjadi saat
ini. Harga cengkeh yang amat rendah
selama dua tahun terakhir merupakan
hasil dari praktek persaingan tidak sehat
akibat praktek eksploitasi oleh pabrikan
rokok. Akar masalahnya ialah kekuasan
pabrikan rokok dikukuhkan melalui
kebijakan pemerintah
2. Kekuatan Pembeli
Kekuatan pembeli
mendeskripsikan efek konsumen
terhadap keuntungan perusahaan.
Pembeli memiliki kekuatan jika mereka
pembeli besar dan membeli sebagian
besar produksi perusahaan. Pembeli jika
bergabung juga dapat memiliki
kekuatan yang besar. Pembeli juga
memiliki kekuatan yang berbeda-beda
tergantung ukuran. Pembeli akan
memiliki kekuatan lebih jika industri
memiliki banyak perusahaan kecil yang
memasok produk dan pembeli
berjumlah sedikit, produk perusahaan
adalah pengeluaran besar bagi pembeli,
pembeli dapat memiliki akses dan
mengevaluasi informasi pasar, produk
perusahaan tidak unik dan dapat dibeli
dari pemasok lain, pembeli dapat
membuat produk itu sendiri, dan
pembeli dapat berganti produk dengan
mudah. Untuk mengurangi kekuatan
pembeli, perusahaan harus
meningkatkan loyalitas pembeli.
Dalam industri rokok daya tawar
pembeli relatif kecil, hal tersebut
disebabkan karena: (1) konsumen rokok
bukan merupakan pembeli yang akan
melakukan pembelian dalam jumlah
yang besar tetapi lebih cenderung
merupakan pembelian secara individual,
(2) nilai pembelian relatif kecil, (3)
produk rokok merupakan produk yang
langsung dikonsumsi oleh konsumen
akhir, bukan merupakan bahan baku
26
untuk industri lainnya. Hal – hal seperti
kecilnya switching cost, ancaman
pembeli untuk melakukan integrasi,
sifat produk rokok yang standar dan
kelengkapan informasi yang dimiliki
oleh pembeli menjadi kurang relevan
untuk menjadi faktor – faktor yang
mempengaruhi kekuatan tawar
menawar pembeli.
3. Ancaman Pendatang Baru
Kesuksesan suatu perusahaan
pasti menarik pesaing baru untuk masuk
ke industri tersebut. Menganalisis
ancaman pendatang baru adalah
memeriksa hambatan masuk dan reaksi
yang diharapkan dari perusahaan lama
terhadap kompetitor baru. Hambatan
masuk antara lain biaya dan aspek
hukum untuk memasuki suatu industri.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
ancaman pendatang baru antara lain
proses industri tidak dilindungi
pemerintah atau paten, pembeli
memiliki loyalitas yang rendah, biaya
mendirikan perusahaan baru sangat
rendah, produk yang ada tidak unik,
biaya berpindah rendah, proses produksi
mudah dipelajari, akses ke input mudah,
akses ke konsumen mudah, dan
economies of scale yang minimal.
Untuk mengurangi ancaman pendatang
baru perusahaan, terutama perusahaan
rokok, harus meningkatkan citra
perusahaan atau merek, menggunakan
paten, dan menciptakan aliansi dengan
produk-produk tertentu. Menentukan
harga dan keuntungan secara wajar juga
dapat mengurangi ancaman pendatang
baru.
Para pemain – pemain lama
yang meliputi Gudang Garam, Djarum,
Sampoerna dan Bentoel sudah
mempunyai share yang besar dengan
skala produksi mencapai jutaan hingga
miliaran batang per tahun. Dengan
kapasitas produksi yang besar serta
pencapaian sebuah learning curve
masing – masing perusahaan sudah
mencapai economics of scale dengan
kapasitasnya masing – masing. Dengan
demikian sulit bagi para pendatang baru
untuk mengancam empat perusahaan
besar industri rokok di Indonesia saat
ini. Hal ini diperkuat dengan tingkat
loyalitas pembeli yang cukup kuat pada
rokok merek tertentu.
4. Ancaman Produk Substitusi
Produk industri tertentu dapat
digantikan produk dari industri lain.
Substitusi dapat datang dari berbagai
perusahaan. Misalnya permen dapat
menggantikan rokok. Faktor-faktor
27
yang mempengaruhi ancaman produk
substitusi antara lain produk perusahaan
tidak memberikan manfaat yang nyata
dibandingkan produk lain, mudah bagi
konsumen untuk berpindah, dan
loyalitas yang rendah dari konsumen.
Untuk mengurangi ancaman produk
substitusi produsen dapat meningkatkan
hubungan dengan konsumen dan
mengetahui keinginan konsumen. Salah
satu cara yang ditempuh oleh para
produsen rokok adalah dengan beriklan.
Diferensiasi juga dapat ditempuh.
Hingga saat ini dalam industri rokok,
belum ditemukan produk dari industri
lain yang mempunyai karakteristik
produk dan fungsi produk yang bisa
mensubstitusikan rokok. Kalaupun
produk rokok tradisonal serta cerutu
dimasukkan sebagai produk substitusi,
keberadaannya tidak begitu
mempengaruhi sebuah industri rokok.
Produk rokok karakteristiknya cukup
unik, sehingga peluang muncul produk
substitusi cukup terbatas. Mengenali
produk – produk substitusi adalah
persoalan mencari produk lain yang
dapat menjalankan fungsi yang sama
seperti produk dalam industri.
Kadangkala melakukan hal ini
merupakan hal yang pelik, dan tugas
yang membawa analis kepada bisnis –
bisnis yang seolah – olah sangat jauh
terpisah dari industrinya.
5. Rivalitas antar Pesaing yang Ada
Persaingan bisa jadi adalah
kekuatan terkuat dari lima kekuatan
kompetitif Porter tetapi hal ini juga
melihat struktur industri yang ada. Jika
persaingan lemah maka perusahaan
dapat dengan mudah meningkatkan
harga dan mendapatkan lebih banyak
profit. Jika kompetisi cukup intens
maka perusahaan perlu untuk
meningkatkan kualitas produk untuk
menjaga konsumen yang telah mereka
miliki. Persaingan terjadi dikarenakan
sebuah perusahaan berusaha menjadi
pemimpin pasar, pertumbuhan pasar
cukup lambat, tingginya biaya tetap
produksi, produk mudah rusak dan
harus segera laku, produk tidak unik
atau homogen, konsumen dapat mudah
berpindah, dan tingginya biaya untuk
keluar dari industri. Untuk
menguranginya perusahaan dapat
menggunakan beberapa taktik.
Diantaranya adalah memberikan
diferensiasi pada produk dan atau fokus
pada satu segmen konsumen tertentu.
Untuk industri rokok pangsa pasar
masing dikuasai oleh Gudang Garam,
disusul oleh HM Sampoerna, Djarum
28
dan Bentoel, baru disusul oleh produk –
produk rokok lainnya. Pangsa pasar
rokok putih terlihat masih relatif kecil
dibandingkan rokok kretek. Ketiadaan
switching cost tidak menyebabkan
persaingan kemudian menjadi
meningkat, karena faktor cita rasa dan
selera masih menjadi faktor utama
mengkonsumsi rokok. Pertumbuhan
industri memang lambat, karena citra
rokok sebagai produk terlarang untuk
dikonsumsi. Banyak peraturan –
peraturan pemerintah atau dunia yang
menghambat perkembangan industri
rokok. Tetapi hal ini ternyata tidak
kemudian menyurutkan masyarakat
untuk mengkonsumsi rokok. Oleh
karena itu tidak menyebabkan
persaingan menjadi tajam untuk
memperebutkan pangsa pasar yang
semakin sedikit atau sangat terbatas
hingga mendorong untuk melakukan
perang harga.
DAFTAR PUSTAKA
Emhke, et al. Industry Analysis: The
Five Forces. PURDUE
University.
Sumarno, S.B., dan Mudradjad
Kuncoro. Struktur, Kinerja, dan
Kluster Industri Rokok Kretek:
Indonesia, 1996 – 1999. Jurnal
Ekonomi dan Bisnis Indonesia,
Universitas Gadjah Mada, 2002.
Warta Ekonomi. Edisi April 2005.
Wibowo, Tri. Potret Industri Rokok di
Indonesia. Kajian Ekonomi dan
Keuangan, Vol. 7, No. 2., 2003.