37-339-1-pb

16
13 Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo Abstraksi Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porter’s analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut. Keywords: industri rokok ktretek, five force Porter’s analisys PENDAHULUAN Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, cukai mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam APBN khususnya dalam kelompok Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan cukai dipungut dari tiga jenis barang yaitu etil alkohol, minuman yang mengandung etil alkohol, dan hasil tembakau. Pada tahun 1990/1991, penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8 triliun atau memberikan kontribusi sekitar 4 persen dari penerimaan dalam negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun anggaran 1999/2000 jumlah tersebut telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun atau menyumbang sebesar 7,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Pada tahun 2003, penerimaan cukai ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau sebesar 8,3 persen dari penerimaan dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan dalam negeri selama kurang dari 10 tahun telah meningkat lebih dari 100%. Dari penerimaan cukai tersebut, 95% berasal dari cukai hasil tembakau

Upload: muhammad-bisri-syamsuri-bisri

Post on 14-Dec-2014

7 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 37-339-1-PB

13

Analisis Industri Rokok Kretek di Indonesia

Murry Harmawan Saputra Universitas Muhammadiyah Purworejo

Abstraksi

Industri rokok merupakan salah satu industri yang mengalami pasang surut namun tetap exis di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang lamban bahkan sempat minus di masa krisis moneter ternyata tidak mempengaruhi industri rokok di Indonesia. Padahal industri rokok di Indonesia mengalami banyak tantangan karena imbas krisis yang berkepanjangan. Daya beli masyarakat menurun, tarif cukai merambat naik, upah buruh mengalami penyesuaian sesuai dengan tuntutan biaya hidup yang semakin tinggi. Artikel ini memberikan paparan mengenai analisis persaingan dalam industri rokok kretek di Indonesia dengan menggunakan five force Porter’s analysis. Dalam industri domestik maupun internasional, baik menghasilkan barang ataupun jasa, analisis persaingan tercakup dalam lima faktor persaingan: masuknya pendatang baru, ancaman produk substitusi, daya tawar-menawar pembeli, daya tawar-menawar pemasok dan persaingan diantara perusahaan yang ada dalam industri tersebut.

Keywords: industri rokok ktretek, five force Porter’s analisys

PENDAHULUAN

Sebagai salah satu sumber

penerimaan negara, cukai mempunyai

kontribusi yang sangat penting dalam

APBN khususnya dalam kelompok

Penerimaan Dalam Negeri. Penerimaan

cukai dipungut dari tiga jenis barang

yaitu etil alkohol, minuman yang

mengandung etil alkohol, dan hasil

tembakau. Pada tahun 1990/1991,

penerimaan cukai hanya sebesar Rp 1,8

triliun atau memberikan kontribusi

sekitar 4 persen dari penerimaan dalam

negeri (Wibowo, 2003). Pada tahun

anggaran 1999/2000 jumlah tersebut

telah meningkat menjadi Rp 10,4 triliun

atau menyumbang sebesar 7,3 persen

dari penerimaan dalam negeri. Pada

tahun 2003, penerimaan cukai

ditetapkan sebesar Rp 27,9 triliun atau

sebesar 8,3 persen dari penerimaan

dalam negeri. Hal ini berarti kontribusi

penerimaan cukai terhadap penerimaan

dalam negeri selama kurang dari 10

tahun telah meningkat lebih dari 100%.

Dari penerimaan cukai tersebut,

95% berasal dari cukai hasil tembakau

Page 2: 37-339-1-PB

14

yang diperoleh dari jenis hasil tembakau

(JHT) berupa rokok sigaret kretek

mesin, rokok sigaret tangan, dan rokok

sigaret putih mesin yang dihasilkan oleh

industri rokok (Wibowo, 2003).

Meskipun demikian menurut Direktur

Industri Minuman dan Tembakau Ditjen

Industri Agro dan Kimia Departemen

Perindustrian (Deperrin), Imam

Haryono, produksi pengguna cukai

hanya diraih sebesar 95 juta batang

sampai Juni 2006. Jika dibandingkan

periode yang sama tahun lalu turun

sebesar 12% dari 108 miliar batang.

Belakangan kinerja produksi industri

rokok nasional memang kurang

menggembirakan. Meski tahun lalu

volume produksi rokok kretek tumbuh

11,5%, dari 175,9 miliar batang ke

196,2 miliar batang, untuk 2005

diperkirakan bakal stagnan. Sementara

itu, rokok putih nasibnya malah lebih

buruk lagi, karena sejak 2002 volume

produksinya terus merosot. Jika tahun

lalu volume produksinya turun hampir

2%, pada 2005 diperkirakan berlanjut

bahkan sampai 8% (Warta Ekonomi,

2005).

Dari sisi penguasaan pasar,

selama 2004 rokok kretek jelas masih

perkasa dengan merebut pangsa hampir

92%. Sisanya, dinikmati oleh rokok

putih. Pada kelompok rokok kretek ini,

pasar terbesar selama bertahun-tahun

masih dikuasai oleh Gudang Garam

dengan penguasaan pangsa 30,3%, atau

setara 64,7 miliar batang. Peringkat

kedua kini ditempati oleh Sampoerna,

yang menggeser Djarum (39 miliar

batang, atau setara 18,2%). Sementara

jarak dengan peringkat ke-4, Bentoel,

Page 3: 37-339-1-PB

15

memang terlalu jauh. Saat ini Bentoel

baru memproduksi 4,1 miliar batang,

atau setara 1,9% (Warta Ekonomi,

2005).

Industri rokok Indonesia

agaknya masih akan mengandalkan

pasar domestik. Itu sebabnya, meski

sejumlah produsen sudah melakukan

ekspor, angkanya belum terlalu

signifikan. Dalam kurun waktu delapan

tahun terakhir, ekspor rokok terbesar

terjadi pada 2004 dengan nilai

US$185,9 juta—meski secara umum

nilainya cenderung berfluktuasi.

Penyebabnya, antara lain, kekhawatiran

konsumen di negara-negara Eropa dan

Amerika terhadap tingginya kandungan

tar dan nikotin pada rokok kretek. Di

pasar domestik, kekuatan industri

tercermin dari sumbangannya terhadap

target penerimaan cukai pemerintah,

yang sejak 1997 hingga 2004 terus

tumbuh secara signifikan. Tahun lalu

kontribusi cukai rokok terhadap pos

penerimaan di APBN mencapai Rp28,8

triliun, sementara pada 2005 ini

ditargetkan menjadi Rp30 triliun.

Sekadar gambaran, pada 2004,

konsumen rokok terbesar di dunia

masih Cina dengan 1.798 miliar batang,

disusul oleh Rusia yang cuma 20%-nya,

AS, Jepang, dan Indonesia yang

menempati peringkat ke-5. Akan tetapi,

jika dilihat dari sisi peningkatan

konsumsi rokoknya, menurut data

World Health Organization (WHO),

selama kurun waktu 1990-2001,

Pakistan-lah yang menempati peringkat

teratas dengan tingkat pertumbuhan

65%. Peringkat kedua ditempati oleh

Turki, lalu Bulgaria, dan Indonesia di

posisi keempat (Warta Ekonomi, 2005).

PERKEMBANGAN INDUSTRI

ROKOK

Berdasarkan data Statistik

Industri Besar dan Sedang (BPS), pada

tahun 1981 industri rokok hanya

dikelompokkan menjadi 2 bagian, yaitu

industri rokok kretek dengan kode

31420 dan industri rokok putih dengan

kode 31430. Mulai tahun 1990, industri

rokok kretek dirinci lebih spesifik lagi

menjadi 2 bagian, yaitu industri rokok

kretek (31420) yang terdiri dari Sigaret

Kretek Tangan (SKT) dan Sigaret

Kretek Mesin (SKM), serta industri

rokok lainnya (31440) yang terdiri dari

rokok klembag menyan, rokok klobot,

dan cerutu (Wibowo, 2003).

Dilihat dari jumlah perusahaan

secara total, pada periode tahun 1981-

2002 industri rokok cukup dinamis. Hal

ini ditunjukkan oleh jumlah perusahaan

Page 4: 37-339-1-PB

16

yang bergerak pada industri rokok

kurun waktu tersebut telah mencapai

201 perusahaan. Tahun berikutnya

jumlah perusahaan mengalami

penurunan sampai dengan tahun 1990

yang merupakan pada titik terendah,

dengan jumlah perusahaan sebanyak

170. Pada tahun 1990, industri rokok

mulai bangkit kembali, dan terus

berkembang hingga sampai tahun 1995

dengan jumlah perusahaan mencapai

244 perusahaan. Tahun 1996, industri

rokok kembali lesu, sehingga hanya 228

perusahaan. Setelah tahun 2000, industri

rokok relatif stabil, hal ini terlihat dari

jumlah perusahaan yang jumlahnya

berkisar 244 sampai dengan 247

perusahaan. Dari total industri rokok

tersebut, sebesar 84,6 persen terdiri dari

industri rokok kretek (31420), sebesar

4,1 persen merupakan industri rokok

putih (31430), dan sebesar 11,3 persen

dari industri rokok lainnya (31440).

Dilihat dari pertumbuhan, secara total

industri rokok tumbuh rata-rata 3,2

persen per tahun. Perusahaan rokok

kretek (31420) tumbuh sebesar 4,64

persen per tahun, industri rokok putih

(31430) tumbuh sebesar – 1,01 persen

per tahun, serta industri rokok lainnya

(31440) tumbuh sebesar – 1,98 per

tahun (Wibowo, 2003).

Page 5: 37-339-1-PB

17

Pertumbuhan ekonomi yang lamban

bahkan sempat minus di masa krisis

moneter ternyata tidak mempengaruhi

industri rokok di Indonesia. Padahal

industri rokok di Indonesia mengalami

banyak tantangan karena imbas krisis

yang berkepanjangan. Daya beli

masyarakat menurun, tarif cukai

merambat naik, upah buruh mengalami

penyesuaian sesuai dengan tuntutan

biaya hidup yang semakin tinggi.

Tabel di bawah ini menunjukkan

perkembangan industri rokok di

Indonesia dari tahun 1996 – 2001 yang

terdiri dari rokok kretek, rokok putih,

dan klobot/klembak. Pada tabel terlihat

bahwa perkembangan produksi rokok

mengalami kenaikan dari tahun 1996

hingga pada puncaknya pada tahun

1998. Pada tahun 1999 produksi rokok

secara total mengalami penurunan

(Sumarno, 2002).

Perkembangan industri rokok di

Indonesia mulai kurun waktu tahun

1981 sampai tahun 2002, secara rata-

rata berdasarkan jenis hasil tembakau

(JHT) paling tinggi adalah Sigaret

Kretek Mesin (SKM), dengan rata-rata

pertumbuhan sebesar 11,08 persen.

Pertumbuhan tertinggi berikutnya

adalah Sigaret Putih Mesin (SPM),

dengan pertumbuhan 6,70 persen,

diikuti oleh Sigaret Kretek Tangan

(SKT) sebesar 4,19 persen, dan rokok

Klobot (KLB) sebesar 3,04 persen.

Rokok Klembak (KLM) secara rata-

rata, pertumbuhannya mengalami

penurunan sebesar 2,39 persen

(Wibowo, 2003).

Dilihat dari total produksi secara

keseluruhan JHT, produksi rokok

mencapai puncaknya pada tahun 1998

dengan total produksi sebanyak 269,85

miliar batang dengan nilai sebesar Rp.

22, 09 Triliun. Setelah tahun tersebut,

Page 6: 37-339-1-PB

18

total kemudian mengalami penurunan,

tahun 1999 sebesar 254,17 miliar batang

dengan nilai sebesar Rp. 30,32 Triliun.

Walaupun secara produksi sampai tahun

2001 terus mengalami penurunan, tetapi

secara nilai pada tahun 2001 masih

menunjukkan peningkatan dengan nilai

sebesar Rp. 54,79 Triliun. Berdasarkan

estimasi BPS, produksi rokok tahun

2002 sebesar 207,6 miliar batang,

dengan nilai produksi sebesar Rp. 51,90

Triliun (Wibowo, 2003).

Gambar 2. Perkembangan Produksi Rokok per JHT

Tabel 3. Perkembangan Produksi Rokok per JHT

Page 7: 37-339-1-PB

19

Gambar 3. Perkembangan Produksi dan Nilai Rokok

TENAGA KERJA DI INDUSTRI

ROKOK

Tenaga kerja industri rokok

sebagian besar merupakan tenaga kerja

industri rokok kretek yang terdiri dari

SKM dan SKT. Dilihat dari penyerapan

tenaga kerja, industri rokok kretek

menyerap 96,45% dari total tenaga kerja

industri rokok. Urutan kedua adalah

industri rokok putih (31430) yang

merupakan penghasil rokok putih

(SPM) sebesar 2,09%, dan industri

rokok lainnya sebesar 1,46%.

Dilihat dari pertumbuhan

penyerapan tenaga kerja, secara

keseluruhan penyerapan tenaga kerja

industri rokok tumbuh sebesar 2,69%

per tahun. Untuk industri rokok kretek,

rata-rata pertumbuhan tenaga kerja

sebesar 2,77% per tahun. Pada industri

rokok putih rata-rata pertumbuhan

tenaga kerja sebesar -1,03% per tahun,

dan industri rokok lainnya rata-rata

sebesar 0,54% (Wibowo, 2003).

Gambar 4. Perkembangan Pekerja Industri Rokok

Page 8: 37-339-1-PB

20

EKSPOR-IMPOR ROKOK DI

INDONESIA

Produksi rokok kretek di

Indonesia tidak hanya menjadi

konsumsi masyarakat Indonesia saja,

tetapi sudah diekspor ke mancanegara.

Pada Tabel 4 dapat dilihat

perkembangan ekspor rokok di

Indonesia dari tahun 1996 – 2001

(sampai bulan Juni). Pada tahun 1997

volume ekspor rokok mencapai

puncaknya tetapi dalam US$ yang

terbesar adalah pada tahun 2000. Ekspor

rokok khususnya rokok kretek

Indonesia sudah mencapai berbagai

negara tujuan. Negara yang paling besar

menjadi tujuan ekspor rokok kretek

Indonesia adalah Malaysia dengan

volume 5.041.217 kg dengan nilai US$

61.184.464. dan beberapa negara di

kawasan Asia, di antaranya adalah

Thailand, Kamboja dan Jordan

(Sumarno, 2002).

Tabel 4. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia, 1996-2001

Gambar 5. Perkembangan Ekspor Rokok Indonesia

20

Page 9: 37-339-1-PB

21

Bila dibandingkan dengan ekspor,

volume impor rokok Indonesia relatif

lebih kecil. Volume impor tertinggi

terjadi pada tahun 2000 yang mencapai

562 ton dengan nilai sebesar US$ 1,7

juta (Sumarno, 2002).

Tabel 5. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 – 2000.

Gambar 6. Perkembangan Impor Rokok Indonesia 1996 – 2000

FIVE COMPETITIVE FORCES

ANALYSIS

Untuk menganalisis lima

kekuatan kompetitif digunakan buku

dari Porter yaitu Competitive Strategy,

buku dari Thompson et al.¸ dan artikel

dari Purdue University. Struktur

ekonomi suatu industri tidak datang

begitu saja. Itu yang terjadi di industri

rokok. Kompleksitas yang ada adalah

hasil dari tren sosial yang telah berjalan

lama dan dipengaruhi oleh kekuatan

kompetitif. Lima kekuatan yang

mempengaruhi struktur industri adalah:

1. Bargaining power of suppliers

2. Bargaining power of buyers

3. Threat of new entrants

4. Threat of substitutes

5. Rivalry among competitors

Dalam gambar adalah sebagai berikut:

Page 10: 37-339-1-PB

22

Gambar 7. Porter’s Five Competitive Forces

Lima kekuatan tersebut menentukan

potensi keuntungan didalam sebuah

industri dengan mempengaruhi harga,

biaya, dan investasi yang dibutuhkan

dalam bisnis. Faktor penentu

fundamental dari profitabilitas suatu

perusahaan adalah daya tarik industri.

Strategi bersaing harus mencerminkan

pemahaman yang komprehensif

mengenai rule of the game dari sebuah

persaingan yang menentukan daya tarik

industri. Tujuan akhir dari sebuah

persaingan adalah menghadapi dan

mengubah aturan main persaingan

sesuai dengan kepentingan perusahaan.

Dalam industri manapun, apakah

domestik atau internasional, apakah

menghasilkan barang atau jasa, aturan

persaingan tercakup dalam lima faktor

persaingan: masuknya pendatang baru,

ancaman produk substitusi, daya tawar-

menawar pembeli, daya tawar-menawar

pemasok dan persaingan diantara

perusahaan yang ada dalam industri

tersebut. Kemampuan kolektif dari

kelima faktor persaingan ini akan

menentukan kemampuan perusahaan

dalam suatu industri untuk memperoleh,

secara rata – rata, tingkat pengembalian

investasi yang melebihi biaya

modalnya. Kekuatan kolektif kelima

faktor persaingan ini berbeda pada

Pendatang baru

Potensial

Para Pesaing Industri

Persaingan diantara Perusahaan yang ada

Produk Pengganti

Pemasok Pembeli

Ancaman pendatang baru

Ancaman produk atau jasa substitusi

Daya tawar menawar pemasok

Daya tawar menawar pembeli

Page 11: 37-339-1-PB

23

masing – masing industri, dan dapat

berubah dengan berubahnya industri

bersangkutan.

Dalam studi empiris mengenai

struktur industri, biasa digunakan dua

indikator konsentrasi perusahaan, yaitu

rasio konsentrasi dan Indeks

Herfindahl-Hirschman (IHH). Rasio

konsentrasi perusahaan tertentu

menunjukkan pangsa penjualan

perusahaan tersebut terhadap total

penjualan industri. Struktur industri

rokok kretek diamati dengan

menggunakan metode CR4, CR8,

maupun indeks Herfindahl (Sumarno,

2002).

Tabel 6. Konsentrasi Industri Rokok Kretek di Indonesia

Dari hasil perhitungan ternyata rata-rata

konsentrasi industri rokok kretek di

Indonesia adalah 77,56% untuk metode

CR4 dan 88,15% untuk metode CR8.

Dari hasil tersebut, industri rokok kretek

di Indonesia dapat dikategorikan

sebagai struktur oligopoli (Sumarno,

2002) dan dengan tingkat konsentrasi

tinggi. Artinya 4 perusahaan menguasai

72% pangsa pasar rokok di Indonesia.

Laporan Gabungan Perserikatan

Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI)

menunjukkan dominasi 4 perusahaan

rokok PT Gudang Garam, Tbk., PT

HM. Sampoerna, Tbk., PT Djarum dan

PT Bentoel. Menurut GAPPRI pada

tahun 1998, 22 pabrik rokok kretek

terbesar dalam negeri memproduksi

164,1 miliar batang rokok kretek, terdiri

dari rokok kretek yang digulung dengan

tangan (SKT) sebesar 54,8 miliar

batang, rokok kretek yang dihasilkan

dengan mesin (SKM) sebesar 109 miliar

batang dan rokok klobot 253 juta

batang.

1. Kekuatan Pemasok

Semua bisnis memerlukan input

baik tenaga kerja, raw materials, dan

jasa. Biaya input ini memiliki dampak

yang signifikan terhadap keuntungan

perusahaan. Pemasok cenderung ingin

menjual dengan harga tertinggi. Jika

kekuatan mereka lemah, perusahaan

Page 12: 37-339-1-PB

24

dapat menegosiasi harga. Jika kekuatan

pemasok kuat, perusahaan cenderung

hanya dapat menerimanya. Pemasok

memiliki kekuatan yang sangat kuat

apabila barang yang mereka pasok

hanya dapat didapatkan dari mereka,

barang unik, perusahaan bukan

termasuk pelanggan terbesar pemasok,

pemasok dapat menjual langsung

barang ke konsumen perusahaan, sulit

berpindah ke pemasok lain, dan

perusahaan tidak memiliki pemahaman

penuh akan pasar pemasok (Ehmke, et

al.).

Untuk mengurangi kekuatan

pemasok langkah-langkah yang dapat

dilakukan antara lain melakukan

partnership dengan pemasok.

Kerjasama yang dapat dilakukan antara

lain mengurangi biaya persediaan,

meningkatkan nilai barang yang

dipasok, dan meningkatkan kecepatan

adopsi teknologi. Cara lain yang dapat

dilakukan adalah bergabung dengan

pembeli lain sehingga membuat

pemasok tunduk kepada aliansi

pembeli. Selain itu bisa juga dengan

melakukan backward integration.

Bahan baku utama dari rokok

adalah cengkeh. Bahan baku ini

sangatlah vital bagi industri rokok,

sehingga para petani cengkeh harusnya

memiiki bargaining power yang tinggi

terhadap industri rokok, karena tanpa

cengkeh, mereka tidak bisa berproduksi.

Oleh karena itu, akar penyebab gejolak

harga cengkeh ialah perubahan

kebijakan tataniaga yang menimbulkan

perubahan mendasar pada struktur pasar

cengkeh. Pertama, pencabutan hak

monopsonistik dan monopolistik Badan

Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC)

serta liberalisasi perdagangan cengkeh

pada akhir tahun 1998 (kesepakatan

dengan IMF). Kebijakan ini mendorong

meningkatnya impor cengkeh Indonesia

dari sebelumnya tidak ada menjadi

sekitar 20.000 ton/tahun atau sekitar 70

persen dari volume perdagangan dunia.

Akibatnya harga dunia langsung

melonjak tajam dari US $ 0,99/kg tahun

1997 menjadi US $ 7,8/kg pada awal

tahun 2002 sehingga harga cengkeh

dalam negeri sempat mencapai Rp.

80.000/kg. Kedua, pembatasan

importir cengkeh hanya oleh importir

produsen dan importir terbatas

(Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan No. 528/ MPP/Kep/7/2003

tanggal 5 Juli 2002). Tanpa disadari,

kebijakan ini memberikan hak

oligopsonistik kepada pabrik rokok

sehingga mampu mengendalikan harga

cengkeh di tingkat petani, tak ubahnya

Page 13: 37-339-1-PB

25

seperti BPPC pada periode tahun 1990 –

1998. Dengan rasional untuk meraih

laba sebesar-besarnya, pabrik rokok

menghentikan impor cengkeh yang

menjadi hak eksklusifnya, sehingga

harga cengkeh dunia anjlok dan

bertahan sekitar US $ 1,8/kg, yang

berarti sepadan dengan harga di tingkat

petani Rp. 15.000/kg pada akhir-akhir

ini. Dunia perdagangan komoditi

cengkeh mengalami kemelut. Di pasar

domestik, pabrikan rokok melakukan

pembelian langsung dari petani melalui

agen-agen jauh sebelum musim panen

sehingga pedagang perantara tersingkir.

Dengan begitu pabrikan rokok leluasa

menekan harga cengkeh hingga tingkat

minimal yakni hanya cukup menutup

ongkos panen seperti yang terjadi saat

ini. Harga cengkeh yang amat rendah

selama dua tahun terakhir merupakan

hasil dari praktek persaingan tidak sehat

akibat praktek eksploitasi oleh pabrikan

rokok. Akar masalahnya ialah kekuasan

pabrikan rokok dikukuhkan melalui

kebijakan pemerintah

2. Kekuatan Pembeli

Kekuatan pembeli

mendeskripsikan efek konsumen

terhadap keuntungan perusahaan.

Pembeli memiliki kekuatan jika mereka

pembeli besar dan membeli sebagian

besar produksi perusahaan. Pembeli jika

bergabung juga dapat memiliki

kekuatan yang besar. Pembeli juga

memiliki kekuatan yang berbeda-beda

tergantung ukuran. Pembeli akan

memiliki kekuatan lebih jika industri

memiliki banyak perusahaan kecil yang

memasok produk dan pembeli

berjumlah sedikit, produk perusahaan

adalah pengeluaran besar bagi pembeli,

pembeli dapat memiliki akses dan

mengevaluasi informasi pasar, produk

perusahaan tidak unik dan dapat dibeli

dari pemasok lain, pembeli dapat

membuat produk itu sendiri, dan

pembeli dapat berganti produk dengan

mudah. Untuk mengurangi kekuatan

pembeli, perusahaan harus

meningkatkan loyalitas pembeli.

Dalam industri rokok daya tawar

pembeli relatif kecil, hal tersebut

disebabkan karena: (1) konsumen rokok

bukan merupakan pembeli yang akan

melakukan pembelian dalam jumlah

yang besar tetapi lebih cenderung

merupakan pembelian secara individual,

(2) nilai pembelian relatif kecil, (3)

produk rokok merupakan produk yang

langsung dikonsumsi oleh konsumen

akhir, bukan merupakan bahan baku

Page 14: 37-339-1-PB

26

untuk industri lainnya. Hal – hal seperti

kecilnya switching cost, ancaman

pembeli untuk melakukan integrasi,

sifat produk rokok yang standar dan

kelengkapan informasi yang dimiliki

oleh pembeli menjadi kurang relevan

untuk menjadi faktor – faktor yang

mempengaruhi kekuatan tawar

menawar pembeli.

3. Ancaman Pendatang Baru

Kesuksesan suatu perusahaan

pasti menarik pesaing baru untuk masuk

ke industri tersebut. Menganalisis

ancaman pendatang baru adalah

memeriksa hambatan masuk dan reaksi

yang diharapkan dari perusahaan lama

terhadap kompetitor baru. Hambatan

masuk antara lain biaya dan aspek

hukum untuk memasuki suatu industri.

Faktor-faktor yang mempengaruhi

ancaman pendatang baru antara lain

proses industri tidak dilindungi

pemerintah atau paten, pembeli

memiliki loyalitas yang rendah, biaya

mendirikan perusahaan baru sangat

rendah, produk yang ada tidak unik,

biaya berpindah rendah, proses produksi

mudah dipelajari, akses ke input mudah,

akses ke konsumen mudah, dan

economies of scale yang minimal.

Untuk mengurangi ancaman pendatang

baru perusahaan, terutama perusahaan

rokok, harus meningkatkan citra

perusahaan atau merek, menggunakan

paten, dan menciptakan aliansi dengan

produk-produk tertentu. Menentukan

harga dan keuntungan secara wajar juga

dapat mengurangi ancaman pendatang

baru.

Para pemain – pemain lama

yang meliputi Gudang Garam, Djarum,

Sampoerna dan Bentoel sudah

mempunyai share yang besar dengan

skala produksi mencapai jutaan hingga

miliaran batang per tahun. Dengan

kapasitas produksi yang besar serta

pencapaian sebuah learning curve

masing – masing perusahaan sudah

mencapai economics of scale dengan

kapasitasnya masing – masing. Dengan

demikian sulit bagi para pendatang baru

untuk mengancam empat perusahaan

besar industri rokok di Indonesia saat

ini. Hal ini diperkuat dengan tingkat

loyalitas pembeli yang cukup kuat pada

rokok merek tertentu.

4. Ancaman Produk Substitusi

Produk industri tertentu dapat

digantikan produk dari industri lain.

Substitusi dapat datang dari berbagai

perusahaan. Misalnya permen dapat

menggantikan rokok. Faktor-faktor

Page 15: 37-339-1-PB

27

yang mempengaruhi ancaman produk

substitusi antara lain produk perusahaan

tidak memberikan manfaat yang nyata

dibandingkan produk lain, mudah bagi

konsumen untuk berpindah, dan

loyalitas yang rendah dari konsumen.

Untuk mengurangi ancaman produk

substitusi produsen dapat meningkatkan

hubungan dengan konsumen dan

mengetahui keinginan konsumen. Salah

satu cara yang ditempuh oleh para

produsen rokok adalah dengan beriklan.

Diferensiasi juga dapat ditempuh.

Hingga saat ini dalam industri rokok,

belum ditemukan produk dari industri

lain yang mempunyai karakteristik

produk dan fungsi produk yang bisa

mensubstitusikan rokok. Kalaupun

produk rokok tradisonal serta cerutu

dimasukkan sebagai produk substitusi,

keberadaannya tidak begitu

mempengaruhi sebuah industri rokok.

Produk rokok karakteristiknya cukup

unik, sehingga peluang muncul produk

substitusi cukup terbatas. Mengenali

produk – produk substitusi adalah

persoalan mencari produk lain yang

dapat menjalankan fungsi yang sama

seperti produk dalam industri.

Kadangkala melakukan hal ini

merupakan hal yang pelik, dan tugas

yang membawa analis kepada bisnis –

bisnis yang seolah – olah sangat jauh

terpisah dari industrinya.

5. Rivalitas antar Pesaing yang Ada

Persaingan bisa jadi adalah

kekuatan terkuat dari lima kekuatan

kompetitif Porter tetapi hal ini juga

melihat struktur industri yang ada. Jika

persaingan lemah maka perusahaan

dapat dengan mudah meningkatkan

harga dan mendapatkan lebih banyak

profit. Jika kompetisi cukup intens

maka perusahaan perlu untuk

meningkatkan kualitas produk untuk

menjaga konsumen yang telah mereka

miliki. Persaingan terjadi dikarenakan

sebuah perusahaan berusaha menjadi

pemimpin pasar, pertumbuhan pasar

cukup lambat, tingginya biaya tetap

produksi, produk mudah rusak dan

harus segera laku, produk tidak unik

atau homogen, konsumen dapat mudah

berpindah, dan tingginya biaya untuk

keluar dari industri. Untuk

menguranginya perusahaan dapat

menggunakan beberapa taktik.

Diantaranya adalah memberikan

diferensiasi pada produk dan atau fokus

pada satu segmen konsumen tertentu.

Untuk industri rokok pangsa pasar

masing dikuasai oleh Gudang Garam,

disusul oleh HM Sampoerna, Djarum

Page 16: 37-339-1-PB

28

dan Bentoel, baru disusul oleh produk –

produk rokok lainnya. Pangsa pasar

rokok putih terlihat masih relatif kecil

dibandingkan rokok kretek. Ketiadaan

switching cost tidak menyebabkan

persaingan kemudian menjadi

meningkat, karena faktor cita rasa dan

selera masih menjadi faktor utama

mengkonsumsi rokok. Pertumbuhan

industri memang lambat, karena citra

rokok sebagai produk terlarang untuk

dikonsumsi. Banyak peraturan –

peraturan pemerintah atau dunia yang

menghambat perkembangan industri

rokok. Tetapi hal ini ternyata tidak

kemudian menyurutkan masyarakat

untuk mengkonsumsi rokok. Oleh

karena itu tidak menyebabkan

persaingan menjadi tajam untuk

memperebutkan pangsa pasar yang

semakin sedikit atau sangat terbatas

hingga mendorong untuk melakukan

perang harga.

DAFTAR PUSTAKA

Emhke, et al. Industry Analysis: The

Five Forces. PURDUE

University.

Sumarno, S.B., dan Mudradjad

Kuncoro. Struktur, Kinerja, dan

Kluster Industri Rokok Kretek:

Indonesia, 1996 – 1999. Jurnal

Ekonomi dan Bisnis Indonesia,

Universitas Gadjah Mada, 2002.

Warta Ekonomi. Edisi April 2005.

Wibowo, Tri. Potret Industri Rokok di

Indonesia. Kajian Ekonomi dan

Keuangan, Vol. 7, No. 2., 2003.