3. bab 2 irigasi

13
9 BAB II POTRET PENGELOLAAN IRIGASI 1. SISTEM IRIGASI DI INDONESIA Sistem irigasi dapat diterjemahkan sebagai upaya manusia memodifikasi distribusi air, yang terdapat dalam saluran alamiah, dengan menggunakan bangunan dan saluran buatan untuk memanipulasi seluruh atau sebagian air untuk keperluan produksi tanaman pertanian (Small dan Svendsen, 1995; Sinulingga, 1997). Pengertian tersebut dengan jelas memperlihatkan adanya unsur fisik sekaligus unsur kelembagaan yang saling terkait dalam suatu sistem irigasi. Unsur fisik adalah infrastruktur yang digunakan dalam mengambil/menyalurkan air dari sumber air; sementara unsur kelembagaan adalah proses memfasilitasi dan mengendalikan pergerakan air mulai dari sumbernya hingga ke petakan lahan. Merujuk pada pengertian sistem irigasi di atas, Small dan Svendsen (1995) menguraikan tiga subsistem yang ada dalam sistem irigasi, yaitu: (1) subsistem akuisisi, yang mencakup unsur fisik dan kelembagaan yang berkaitan dengan penangkapan air dari sumbernya; (2) subsistem distribusi, yang mencakup unsur-unsur yang terkait dengan pergerakan aliran air dari sumbernya ke pinggir petakan tempat air akan digunakan; dan (3) subsistem aplikasi, yang terdiri atas unsur-unsur yang terkait dengan pengaplikasian air ke tanah

Upload: tonystark

Post on 21-Oct-2015

26 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

kuugfikgkgkg kgkgkg

TRANSCRIPT

Page 1: 3. Bab 2 Irigasi

9

BAB II

POTRET PENGELOLAAN IRIGASI

1. SISTEM IRIGASI DI INDONESIA

Sistem irigasi dapat diterjemahkan sebagai upaya manusia memodifikasi distribusi air,

yang terdapat dalam saluran alamiah, dengan menggunakan bangunan dan saluran

buatan untuk memanipulasi seluruh atau sebagian air untuk keperluan produksi

tanaman pertanian (Small dan Svendsen, 1995; Sinulingga, 1997). Pengertian tersebut

dengan jelas memperlihatkan adanya unsur fisik sekaligus unsur kelembagaan yang

saling terkait dalam suatu sistem irigasi. Unsur fisik adalah infrastruktur yang digunakan

dalam mengambil/menyalurkan air dari sumber air; sementara unsur kelembagaan

adalah proses memfasilitasi dan mengendalikan pergerakan air mulai dari sumbernya

hingga ke petakan lahan.

Merujuk pada pengertian sistem irigasi di atas, Small dan Svendsen (1995) menguraikan

tiga subsistem yang ada dalam sistem irigasi, yaitu: (1) subsistem akuisisi, yang

mencakup unsur fisik dan kelembagaan yang berkaitan dengan penangkapan air dari

sumbernya; (2) subsistem distribusi, yang mencakup unsur-unsur yang terkait dengan

pergerakan aliran air dari sumbernya ke pinggir petakan tempat air akan digunakan; dan

(3) subsistem aplikasi, yang terdiri atas unsur-unsur yang terkait dengan pengaplikasian

air ke tanah (lihat Gambar 1).

Page 2: 3. Bab 2 Irigasi

10

Gambar 1

Skema Sistem Irigasi

Sebagai sebuah sistem sosio-teknis, untuk melihat sistem irigasi, kita perlu meninjau

subsistem-subsistem yang ada di dalamnya berdasarkan fungsi-fungsi tiap

subsistemnya. Masing-masing subsistem memiliki sistem pengorganisasian tersendiri,

baik secara teknis maupun pengorganisasian para pelaku dalam pengelolaan,

pemeliharaan, dan pemanfaatannya.

Secara keseluruhan sistem irigasi teknis merupakan suatu bangunan irigasi yang dimulai

dari suatu daerah bendungan dan menyebar ke berbagai daerah pertanian melalui

saluran-saluran pembagi primer sampai kuarter. Sementara secara institusional,

pengelolaan irigasi bersifat lintas sektoral. Setidaknya terdapat dua departemen

Pintu SadapSekunder

Bendung

Pintu SadapTersier

Pintu SadapKuarter

Saluran Primer

Saluran Sekunder

Saluran Tersier

Saluran Kuarter

Petakan Sawah

TanamanSaluran

Drainase

ALOKASI BIROKRASI

ALOKASI KOMUNAL

SUBSISTEM AKUISISI

SUBSISTEM DISTRIBUSI

SUBSISTEM APLIKASI

SUMBER AIR

SKEMA SISTEM IRIGASI

Page 3: 3. Bab 2 Irigasi

11

sekaligus dua sistem, yaitu sistem irigasi dan sistem pertanian. Patut dipahami bahwa

suatu sistem irigasi hanya mempersoalkan penyaluran air (subsistem distribusi) dari

sumbernya (subsistem akuisisi) hingga ke petakan lahan pertanian (subsistem aplikasi).

Sementara proses budidaya tanaman di lahan-lahan yang memperoleh air irigasi sudah

bukan masalah sistem irigasi lagi, melainkan sistem pertanian. Secara ideal, antara dua

departemen (terutama di tingkat pelaksana lapangan) harus terjadi arus informasi yang

baik. Dengan demikian, informasi mengenai kondisi ketersediaan air dan proses

penyalurannya bisa dijadikan rujukan bagi strategi pola tanam.

Kajian mengenai sistem irigasi memerlukan kemampuan untuk memahami adanya

kaitan yang erat antara sistem irigasi dengan sistem-sistem lainnya. Sistem pertanian

tentu saja merupakan sistem terdekat dengan irigasi, sebab air irigasi ditujukan untuk

produksi pertanian. Namun, bila pembahasan sudah masuk ke wilayah keterkaitan

antara sistem irigasi dengan produksi pertanian, maka kita sudah mulai beranjak

memasuki persoalan sistem ekonomi pertanian. Sebagai contoh, kurangnya air pada

suatu irigasi ternyata dapat menyebabkan penurunan hasil bahkan kegagalan dalam

penyemaian.

Penurunan hasil atau kegagalan dalam penyemaian berarti pula gangguan yang besar

bagi pendapatan ekonomi rumah tangga petani. Apabila kemudian gangguan dengan

pola tersebut menimpa banyak petani, tentu saja akan mempengaruhi sistem

perekonomian desa. Keterkaitan ini jika terus diurut ke tingkat yang lebih besar, akan

menuju ke arah sistem ekonomi-politik (lihat Gb. 2). Tentu saja faktor-faktor input lain

bagi sistem perekonomian di luar sistem irigasi harus dipertimbangkan pula. Keterkaitan

antarsistem dari sistem irigasi dengan sistem lainnya pada akhirnya akan menunjukkan

suatu tinjauan menyeluruh mengenai pentingnya persoalan irigasi bagi kehidupan

petani.

Page 4: 3. Bab 2 Irigasi

12

Gambar 2

Kaitan Sistem Irigasi dengan Sistem Lainnya

Salah satu sistem lain yang harus diperhatikan dalam kaitannya dengan sistem irigasi

adalah sistem DAS (Daerah Aliran Sungai). Dalam perkembangannya, permintaan air

oleh pertanian beririgasi sendiri telah meningkat secara tajam, sementara ketersediaan

air cenderung semakin kecil (Martius, 1999; Darismanto, 1997; Pasandaran & Hermanto,

1997). Padahal seperti sudah disebutkan sebelumnya, keberlanjutan sistem pertanian

beririgasi sangat tergantung pada keberlanjutan ketersediaan sumber daya air

SISTEM EKONOMI POLITIK- Pembangunan Nasional

SISTEM EKONOMI PEDESAAN

- Pembangunan Ekonomi Pedesaan

SISTEM IRIGASI- Pasokan air untuk tanaman

SISTEM PERTANIAN BERIRIGASI

- Produksi pertanian

SISTEM EKONOMI PERTANIAN-Pendapatan di Sektor

Pedesaan

Operasi Sistem Irigasi

Input lainnya Input lainnya

KETERKAITAN SISTEM IRIGASI DENGAN SISTEM-SISTEM LAINNYA

(Modifikasi dari Small dan Svendsen, 1995)

Page 5: 3. Bab 2 Irigasi

13

2. KEBIJAKAN IRIGASI DI INDONESIA

Kondisi kekurangan atau ‘kelangkaan’ air irigasi disebabkan oleh berbagai faktor, yang

kemudian mendorong timbulnya berbagai permasalahan di dalam kehidupan

masyarakat, khususnya petani. Faktor kondisi alam, fisik irigasi, dan kelembagaan adalah

faktor-faktor yang secara bersama dan saling berkaitan memainkan peran besar dalam

menciptakan permasalahan tersebut. Bila ditelusuri, semua faktor itu menuju pada titik

yang sama, yaitu kebijakan pemerintah.

Harus diakui, Kebijakan-kebijakan pemerintah memang belum mampu menyelasikan

semua masalah yang ada. Untuk dapat memahami kebiajakan pemerintah yang ada saat

ini mengenai irigasi, kita perlu sedikit memahami jejek rekam kebijakan irigasi yang

terdahulu. Titik tolak kebijakan pemerintah mengenai pengembangan dan pengelolaaan

irigasi dimulai sejak era “Revolusi Hijau”. Pada masa tersebut pemerintah melakukan

pembangunan irigasi, dan transmigrasi secara besar-besaran baik di pulau Jawa dan

beberapa daerah lainnya di Luar Jawa seperti Sumatera dan Sulawesi. Kebijakan

pembangunan dan pengelolaan irigasi secara besar-besaran merupakan upaya untuk

mendukung program intensifikasi pertanian yang dicanangkan guna mendukung cita-

cita meraih swasembada pangan.

Namun demikian pada periode tersebut, kebijakan yang dimunculkan berdasarkan

administrasi pemerintahan yang terpusat, yang disebabkan karena kemampuan teknis

yang terbatas. Pada periode ini, petani hanya menjadi “objek” dari kegiatan

pembangunan dan pengelolaan irigasi, akibatnya. Akibatnya kapasitas petani dalam

mengelola irigasi juga masih sangat lemah. Pada akhir tahun 1980 sampai dengan tahun

1990 pengelolaan sumber daya air dilaksanakan dengan pendekatan suplai (supply

driven approach) mengakibatkan terabaikannnya pemeliharaan prasarana sumber daya

air serta pemanfaatan sumber daya yang tidak berwawasan lingkungan. Pendekatan ini

mengakibatkan banyaknya sarana fisik irigasi yang terbengkalai serta rusaknya kawasan

Page 6: 3. Bab 2 Irigasi

14

hulu berfungsi sebagai daerah resapan air. Masalah minimnya kapasitas petani dalam

mengelola irigasi juga masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi pemerintah.

Sejalan dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah

tentang irigasi, yang semula didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974

tentang Pengairan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan

Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001

tentang Irigasi, yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka

pola penangangan irigasi berubah dari pola penyerahan kewenangan irigasi dalam

Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI) menjadi pola Pengembangan

dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP). Undang-Undang UU No. 7 Tahun

2004 tentang Sumberdaya Air diberlakukan sebagai landasan hukum bagi pengelolaan

sumberdaya air. Undang-undang tersebut diharapkan dapat melindungi dan menjamin

akses masyarakat terutama masyarakat miskin terhadap air bersih dengan

memperhatikan pemanfaatan secara seimbangIni adalah titik balik berubahan

paradigma kebijakan pengelolaan irigasi di Indonesia

3. PROGRAM PENGELOAAN IRIGASI SECARA TERPADU DAN PARTISIPATIF

Sejalan dengan perubahan peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah

tentang irigasi, yang semula didasarkan pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974

tentang Pengairan, Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pembaharuan

Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2001

tentang Irigasi, yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang

Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, maka

pola penangangan irigasi berubah dari pola penyerahan kewenangan irigasi dalam

Pembaharuan Kebijaksanaan Pengelolaan Irigasi (PKPI) menjadi pola Pengembangan

dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif (PPSIP).

Page 7: 3. Bab 2 Irigasi

15

Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif untuk jaringan primer dan

sekunder dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah dengan mengikutsertakan

perkumpulan petani pemakai air. Keikutsertaan perkumpulan petani pemakai air

tersebut dilakukan secara partisipatif pada seluruh tahapan proses mulai dari pemikiran

awal, proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan dalam perencanaan, pelaksanaan

pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan rehabilitasi sistem irigasi.

Pemerintah Indonesia memulai program reformasi kelembagaan melalui Program Water

Resources Sector Adjustment Loan (WATSAL, Loan No 4469-IND) yang pembiayaannya

didukung oleh Bank Dunia. Uji coba pelaksanaan pembaharuan kelembagaan

pengelolaan sumber daya air dan irigasi dengan skala besar dilaksanakan pada Java

Irrigation Improvement and Water Management Project (JIWMP, Loan No. 3762-IND)

dan Indonesia Water Resources and Irrigation Reform Implementation Project (IWIRIP,

TF NO 027755). Pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif untuk

jaringan primer dan sekunder dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah

dengan mengikutsertakan perkumpulan petani pemakai air. Keikutsertaan perkumpulan

petani pemakai air tersebut dilakukan secara partisipatif pada seluruh tahapan proses

mulai dari pemikiran awal, proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan dalam

perencanaan, pelaksanaan pembangunan, peningkatan, operasi, pemeliharaan dan

rehabilitasi sistem irigasi.

Untuk menunjang pelaksanaan perubahan kebijakan tersebut diatas maka dijalankan

program WISMP mulai tahun 2006 dengan sasaran meningkatnya pelayanan kepada

masyarakat dalam pengelolaan sumber daya air melalui penyelenggaraan otonomi

daerah dan kepemerintahan sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang No.

7 tahun 2004 Tentang Sumber daya Air serta Peraturan Pemerintah nomor 20 tahun

2006 tentang Irigasi beserta rancangan produk turunannya. Program WISMP merupakan

Page 8: 3. Bab 2 Irigasi

16

program 10 tahun yang dibagi menjadi 3 tahapan. Tujuan dari program ini adalah

memfasilitasi dinas kabupaten/provinsi kepada sebuah kondisi dimana mereka dapat

bekerjasama dengan P3A/GP3A/IP3A dalam hal operasi, pemeliharaan, dan rehabilitasi

jaringan irigasi sesuai kewenangannya secara efektif dan berkelanjutan. Program WISMP

ini sudah dimulai

WISMP dilaksanakan dengan tujuan untuk mengkonsolidasikan sektor sumber daya air

yang sudah didesentralisasi dan lembaga pengelolaan irigasi partisipatif masyarakat

yang dibentuk dalam rangka reformasi WATSAP. Program ini akan dilaksanakan dalam

jangka waktu sepuluh tahun dengan menyelenggarakan proses peningkatan

kelembagaan dinas di provinsi; Jawa Barat; Jawa Tengah; DI Yogyakarta; Jawa Timur;

Aceh; Sumatera Utara; Sumatera Barat; Sumatera Selatan; Lampung; Nusa Tenggara

Timur; Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah dalam rangka mencapai penyempurnaan

pengaturan dan perencanaan di sector ini, untuk meningkatkan kemampuan

manajemen dan keberlanjutan pendanaan dari instansi-instansi yang bersangkutan,

peningkatan fisik prasarana dan sarana sumber daya air dan irigasi. Di Provinsi Jawa

Timur program WISMP dilaksanakan di tingkat Provinsi dan Kabupaten pada 15

kabupaten peserta program WISMP. Proyek ini dilaksanakan dari tahun 2006 sampai

dengan 2016 dengan tiga-tahap APL (Ajustable Program Loan) Bank Dunia. Tahap I APL

disebut WISMP I (2006 – 2010), tahap II APL disebut WISMP II (2011 2014), dan tahap III

APL disebut WISMP III ( 2014 – 2016). Proyek tahap I (WISMP I) ada 2 komponen utama,

yaitu: (1) Sector and Basin Water Resources Management Component dan (2)

Participatory Irrigation Management Component.

Dasar Hukum Kebijakan PPSIP-WISMP

Program PPSIP-WISMP Tahun Anggaran 2006 - 2009 menggunakan kebijakan

perundangan sebagai pegangan dasar untuk pelaksanaan PPSIP-WISMP, sebagai

berikut :

Page 9: 3. Bab 2 Irigasi

17

Undang Undang No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistim Perencanaan

Pembangunan Nasional.

Undang Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

Undang Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

Undang Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2006 Tentang Irigasi

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan

Pemerintahan antara Pemerintah,Pemerintah Provinsi dan Pemerintah

Kabupaten/Kota

Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2007, Tentang Organisasi Perangkat

Daerah

Peraturan Menteri PU No. 30/PRT/M/2007 Tentang Pedoman Pengembangan

dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipasif

Peraturan Menteri PU Np. 31/PRT/M/2007, Tentang Pedoman Komisi Irigasi

Peraturan Menteri PU No. 32/PRT/M/2007, Tentang Pedoman Operasi dan

Pemeriharaan Jaringan Irigasi

Peraturan Menteri PU No. 33/PRT/M/2007, Tentang Pedoman Pemberdayaan

Perkumpulan Petani Pemakai Air

Keputusan Menteri PU No. 390/PRT/2007, Tentang Penetapan Status Daerah

Irigasi Yang pengelolaannya Menjadi Wewenang dan Tanggungjawab

Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

Loan Agreement

Project Appraisal Document (PAD)

Project Management Manual (PMM)

Project Implementation Plan (PIP)