3. artikel tesis
TRANSCRIPT
1
A. LATAR BELAKANG MASALAH PENELITIAN
Sebuah kebiasaan yang lahir dari individu dan masyarakat dapat
membentuk tatanan kelakuan. Tatanan kelakukan yang dilakukan secara terus
menerus akan menjadi budaya. Meleburnya ketiga hal tersebut (kebiasaan,
kelakuan, dan budaya) melahirkan satu tatanan lagi yang disebut dengan
kesepakatan.
Berbagai bentuk kebiasaan masyarakat, secara mudah, dapat ditemukan
dalam kehidupannya sehari-hari, baik yang dilakukan oleh individu maupun
kelompok. Hal ini dilakukan oleh masyarakat terkait dengan perannya sebagai
makhluk sosial. Salah satu bentuk kebiasaan masyarakat tersebut adalah kebiasaan
berbahasa dan berkomunikasi. Berbahasa dan berkomunikasi merupakan dua
aktivitas yang saling berkaitan.
Berkaitan dengan aktivitas berbahasa dan berkomunikasi tersebut, linguis
menyatakan, jika seorang, dua orang, atau beberapa orang berkomunikasi
(melakukan aktivitas pertuturan), mereka secara langsung dan sengaja telah
membawa suatu misi atau pesan yang signifikan. Mereka telah mempertukarkan
tanda-tanda untuk membagi makna-makna. Masinambow (2002:11) menganggap
kebudayaan itu sendiri sebuah sistem tanda (semiotik) sehingga untuk
menjelaskan konsep-konsep tanda dalam bahasa akan sangat tepat jika dikaji
dengan semiotik.
Munculnya semiotik tidak terlepas dari ide dan pengaruh dua tokoh,
Saussure dan Peirce, yang mana kajiannya adalah menitikberatkan pada studi
tentang tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengannya. Saussure
mengemukakan bahwa bahasa adalah sistem tanda sehingga kajiannya lebih
kepada telaah linguistik dari perspektif linguistik, sedangkan Peirce lebih banyak
memfokuskan perhatiannya untuk mengkaji tanda di luar tanda-tanda kebahasaan.
Tanda-tanda bahasa merupakan salah satu fenomena linguistik. Fairclough
(1989:25) menjelaskan bahwa fenomena linguistik itu bersifat sosial yang di mana
pun orang berbicara atau mendengar atau menulis atau membaca, mereka
melakukannya dengan cara-cara yang tergantung pada kondisi sosial dan juga
mempunyai efek sosial. Salah satu cara berbahasa yang seringkali digunakan oleh
2
penuturnya dalam mempertukarkan pesan dan tanda-tanda bahasa adalah model
tuturan mitos.
Dari sudut pandang bahasa, Barthes (2003:122) mengartikan mitos
sebagai satu jenis tuturan. Barthes juga menjelaskan bahwa mitos termasuk
sebuah sistem komunikasi yang dengan demikian merupakan sebuah pesan yang
kemudian tak mungkin dapat menjadi sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah
ide. Mitos adalah sebuah model penandaan, yakni sebuah bentuk.
Dalam pengkajian tanda (semiotik), secara umum mitos diartikan sebagai
bentuk bahasa yang mengandung peristiwa sosial yang hidup. Mitos mengandung
sebuah pesan yang diyakini oleh masyarakat tertentu dan muncul ke permukaan
melalui proses pengulangan.
Lain ladang, lain pula ilalangnya. Ungkapan ini dirasa pantas untuk
mengetahui mitos-mitos yang ada pada setiap masyarakat di dunia. Bahkan,
bentuk dan tuturan mitos dalam suatu masyarakat tertentu, dimiliki pula oleh
masyarakat di tempat lainnya (lain ladang, terkadang sama pula ilalangnya).
Dalam masyarakat Cina, mitos yang paling dikenal adalah mitos tentang
Lao Tzu1 yang dituturkan oleh Lin (2003:9) bahwa Lao Tzu selalu menunggang
kerbau (sakti), kerbau itu juga digunakan untuk mengembara ke Barat.
Masyarakat Finlandia meyakini bahwa kucing hitam akan membawa jiwa
manusia ke alam baka, seperti yang dituturkan berikut hormati kucing hitam
karena ia akan menjiwamu menuju pelukan Tuhan (Mitos Black Cat, 2008).
Di Indonesia, mitos juga muncul dalam beragam bentuk, seperti, tabu,
pemali, kepercayaan, dan cerita-cerita tertentu. Semua mitos itu dituturkan oleh
masyarakat melalui tuturan mitos. Sebagai contoh, mitos wanita hamil yang
hampir oleh masyarakat Indonesia menuturkannya, seperti yang telah penulis alih
bahasakan ke dalam bahasa Indonesia berikut:
1 Seorang filosofis kontemporer Konghucu yang hidup pada abad keenam S.M. Pemikirannya
tentang Jalan Tao (sebuah bentuk keyakinan) saat itu sangat memengaruhi masyarakat Cina
(Konghucu). Jalan Tao (Taoisme) adalah suatu kearifan yang meliputi totalitas dunia. Kepercayaan
ini melibatkan roh pasif, menyangkut pencarian keabadian harfiah yaitu berupaya mencari pulau
orang-orang yang diberkahi sebelum ajal, atau dengan menemukan dan meminum obat mujarab
yang akan memberi kehidupan tanpa akhir kepada tubuh fisik.
3
1. Jika ia makan buah pisang kembar (yang berdempet), ia akan melahirkan
anak yang kembar.
2. Makan makanan yang pedas akan membuat janin kepanasan2.
3. Tidak boleh duduk di depan pintu. Hal itu akan menyulitkan proses
persalinan saat melahirkan.
4. Menahan selera makan saat hamil tua akan membuat bayi yang dilahirkan
mengiler, dan banyak lagi.
Tuturan mitos sangat penting dikaji untuk menjelaskan tanda-tanda bahasa
yang termuat di dalamnya. Tanda-tanda itu pula memuat fungsi dan makna yang
dapat menjelaskan mengapa masyarakat Kenagarian Toboh Gadang bermitos,
mengapa tokoh-tokoh tertentu disebut-sebut sehingga ia menjadi tuturan mitos
tokoh, dan sebagainya.
Selain itu, tuturan mitos dikaji untuk mengetahui tokoh-tokoh yang
diasumsikan berhubungan dengan peristiwa sejarah yang pernah terjadi di
Kenagarian Toboh Gadang sehingga nama-nama tokoh tersebut sering disebut-
sebut andilnya, kelebihan-kelebihannya, peran-perannya dalam masyarakat,
sifatnya yang tak dimiliki oleh tokoh lainnya, dan sebagainya.
Tokoh-tokoh yang dimaksudkan tersebut adalah tokoh yang sering
dituturkan oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang memiliki jasa, cerita, dan
dikenal berpengaruh dalam hal agama (dalam hal ini adalah agama Islam), di
antaranya adalah Syekh Burhanuddin, Ungku Saliah, Bagindo Gerai (Tuangku
Bagindo), Buya Kiambang, Syekh Malalo, dan Buya Mato Aia.
Hal penting lainnya dari penelitian ini adalah penulis mengamati bahwa
tuturan mitos tokoh agama tersebut sering diceritakan oleh tetua masyarakat
Kenagarian Toboh Gadang kepada anak dan cucunya dalam kaitannya
mengenalkan sejarah, menasihati anak, menokohkan seseorang, dan sebagainya.
Hal itu menyebabkan kaum muda kenagarian tersebut juga mengenal tokoh-tokoh
yang disebutkan, dan tuturan itu adalah fenomena berbahasa yang dapat
memotivasi diri dan juga orang-orang sekitar untuk bersikap baik dalam
kehidupan bermasyarakat.
2 Pernyataan ini juga disampaikan pada iklan susu untuk ibu hamil (lactamil) tahun 2009.
4
B. RUMUSAN MASALAH PENELITIAN
Masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini yaitu masalah tuturan
kebahasaan (tuturan mitos) yang secara umum melibatkan kajian semiotik dan
didukung oleh kajiaan beserta pendekatan lainnya. Sehubungan dengan itu,
penelitian ini dibatasi pembahasannya pada masalah pokok yang dirumuskan
sebagai berikut,
1. Bagaimanakah bentuk tanda bahasa yang terdapat dalam tuturan mitos
tokoh agama yang terdapat pada masyarakat Kenagarian Toboh Gadang?
2. Apa sajakah makna tanda bahasa yang tercakup dalam tuturan mitos tokoh
agama tersebut?
3. Apa fungsi tuturan mitos tokoh agama yang digunakan oleh masyarakat
Kenagarian Toboh Gadang?
4. Bagaimanakah nilai yang terkandung dari tuturan mitos tokoh agama itu
dalam kaitannya dengan kebudayaan mentalitas masyarakat Kenagarian
Toboh Gadang?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum penelitian ini adalah melihat fenomena tuturan mitos tokoh
gama dalam bahasa Minangkabau di Kenagarian Toboh Gadang. Adapun tujuan
khusus penelitian ini adalah,
1. Menjelaskan bentuk tanda bahasa yang terdapat dalam tuturan mitos tokoh
agama yang terdapat pada masyarakat Kenagarian Toboh Gadang.
2. Menjelaskan makna tanda bahasa yang tercakup dalam tuturan mitos
tokoh agama tersebut.
3. Menjelaskan fungsi bahasa dalam tuturan mitos tokoh agama yang
digunakan oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang.
4. Memaparkan nilai-nilai yang terbentuk dari tuturan mitos tokoh agama itu
dalam kaitannya dengan kebudayaan mentalitas masyarakat Kenagarian
Toboh Gadang.
5
D. MANFAAT PENELITIAN
Penulis mengharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan perbandingan
atau acuan bagi penelitian berikutnya. Tidak tertutup kemungkinan pula, bagi
peneliti lain nantinya, untuk melanjutkan penelitan ini dengan cakupan yang lebih
luas.
Manfaat lain dari penelitian ini adalah mengenalkan pada masyarakat,
khususnya masyarakat Minangkabau bahwa secara umum masyarakat
Minangkabau memiliki tuturan-tuturan mitos yang di antaranya adalah tuturan
mitos tokoh agama. Selain itu, penulis berharap penelitan ini dapat memberikan
pemahaman kepada pembaca tentang bagaimana penggunaan tuturan mitos tokoh
agama tersebut dalam kaitannya sebagai bagian dari tuturan yang tumbuh dan
berkembang di tengah-tengah masyarakat.
E. KERANGKA TEORI
E.1 Semiotik dan Semiologi
Semiotik atau semiotika dan semiologi berakar dari studi klasik dan
skolastik atau seni logika, retorika, dan poetika. Akar namanya adalah semeion.
Tampaknya diturunkan oleh kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan
perhatiannya pada simptomatologi dan diagnostik inferensial (Sinha dalam
Kurniawan, 2001:49).
Antara semiotik dan semiologi sebenarnya tidak ada perbedaan mendasar.
Kalaupun ada, perbedaan itu lebih mengacu pada orientasinya. Penggunaan
semiotika mengacu kepada Peirce yang bekembang di Amerika, sedangkan
semiologi menunjukkan istilah yang disampaikan oleh Saussure yang berkembang
di Eropa. Dua terminologi tersebut menitikberatkan kajiannya pada studi tentang
tanda dan segala yang berkaitan dengannya. Kecenderungan Peirce adalah
meneruskan tradisi skolastik yang mengarah pada inferensi (pemikiran logis) dan
Saussure menekankan pada linguistik.
Semiologi menurut Saussure didasarkan pada anggapan bahwa selama
perbuatan dan tingkah laku manusia membawa makna atau selama berfungsi
sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan konvensi yang
6
memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda dan ada sistem. Selanjutnya, kajian
Saussure lebih pada strukturalisme yang dikenal dengan one to one corespondent,
oposisi biner, positivisme. Konsep tentang penanda dan petanda merupakan
rumusan Saussure. Saussure cenderung mempersoalkan struktur dalam tanda-
tanda dengan menunjukkan proses penandaan itu pada sistem diadik, yakni
penanda dan petanda, contohnya, bunga sebagai tulisan, tanda, coretan (signifier),
sedangkan konsep yang ada pada bunga, yang terdiri atas mahkota, tangkai, putik
dan lain-lain merupakan petanda (signified).
Peirce yang ahli filsafat dan logika menyatakan penalaran manusia
senantiasa dilakukan lewat tanda. Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat
tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan semiotika dan semiotika dapat
diterapkan pada segala macam tanda. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah
semiotika lebih populer daripada semiologi. Kajian Peirce lebih kepada
pragmatisme dan memfokuskan perhatiannya pada tanda di luar tanda-tanda
kebahasaan.
Peirce tidak hanya berfokus pada studi bahasa, tetapi juga studi-studi
simbol di luar bahasa, misalnya code visual. Pemikiran Pierce ini menjadi tonggak
studi lebih lanjut menyangkut simbol dan budaya. Elaborasi lebih lanjut tentang
kode dan budaya lalu dilakukan Roland Barthes dan Umberto Eco. Dalam
penandaannya, Pierce terkenal dengan triadik, yakni representamen, objek dan
interpretan.
Namun demikian, sejak kemunculan Saussure dan Peirce maka semiologi
menitikberatkan kajiannya pada studi tentang tanda dan segala sesuatu yang
berkaitannya. Sementara itu, bagi Barthes, semiologi hendak mempelajari
bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things).
Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan
mengomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-ojek itu
tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak
berkomunikasi, tetapi juga mengonstitusi sistem terstruktur dari tanda. Barthes
melihat signifikasi sebagai sebuah proses yang total dengan suatu susunan yang
terstruktur.
7
Signifikasi itu tak terbatas pada bahasa, tetapi terdapat pula pada hal yang
bukan bahasa. Pada akhirnya, Barthes menganggap kehidupan sosial sendiri
merupakan suatu bentuk dari signifikasi. Dengan kata lain, menurut Kurniawan
(2001:53) kehidupan sosial, apa pun bentuknya, merupakan suatu sistem tanda
tersendiri pula.
Pengkajian yang akan dilakukan terhadap analisis tuturan mitos tokoh ini
adalah dengan menggunakan teori semiotik yang dikembangkan Roland Barthes.
Teori semiotik Barthes dikembangkan dari teori penanda-petanda yang dicetuskan
Ferdinand de Saussure. Salah satu teori Saussure yang dikembangkan Barthes
adalah signifikansi.
Teori tersebut membicarakan dikotomi signifiant3 (penanda) dan signifie
(petanda). Menurut Saussure, bahasa sebagai sebuah sistem tanda terdiri atas dua
aspek yang tidak terpisahkan. Signifiant adalah aspek formal atau bunyi; sebuah
citra akustis, sedangkan signifie4 adalah aspek makna atau konsep.
Kesatuan di antara keduanya disebut tanda. Relasi tersebut menunjukkan
bahwa jika citra akustis berubah, berubah pula konsepnya, demikian juga
sebaliknya. Berikut ini adalah ilustrasi model tanda oleh Saussure yang dikenal
dengan Saussure’s dyadic sign model „model dualisme tanda Saussure‟.
SIGN
(TANDA)
SIGNIFIANT (PENANDA)
aspek formal/bunyi/citra
SIGNIFIE (PETANDA)
Aspek makna/konsep Model dualisme tanda Saussure
Model tersebut selanjutnya dikembangkan oleh Barthes dengan menjelaskan
bahwa tanda sebagai suatu sistem yang terdiri atas E (Ekspresi), R
(Relation/berhubungan) dan C (Content/isi): ERC. Agar lebih jelas, penulis akan
menggunakan istilah Penanda (Pn) untuk E dan Petanda (Pt) untuk C. Penggunaan
istilah ini mengacu pada penjelasan Kurniawan (2001:67).
3 Signifiant adalah istilah yang digunakan oleh Saussure untuk menyebut penanda yang oleh
Barthes disebut signifier. 4 Signifie adalah istilah yang digunakan oleh Saussure untuk menyebut petanda yang oleh Barthes
disebut signified.
8
Suatu sistem tanda pertama dapat menjadi sebuah unsur sistem tanda yang
lebih komprehensif. Kalau pengembangannya dari salah satu isi, tanda pertama
akan menjadi sistem tanda kedua, seperti yang terlihat dalam model berikut.
Pn Pt Pn Pt
Pn Pt Pn Pt
Model Tanda Barthes
Jadi, dapat dikatakan bahwa sistem konotasi adalah sebuah sistem yang
bidang penandanya adalah dirinya yang dikonstitusi oleh sebuah sistem
penandaan. Penanda konotasi (konotator) dibangun dari tanda-tanda dari sistem
denotasi. Menurut Kurniawan (2001:68) konotasi dan metabahasa cermin
berlawanan satu sama lain.
Metabahasa operasi-operasi tanda yang membentuk mayoritas bahasa-
bahasa ilmiah sangat berperan untuk menetapkan sistem riil dan dipahami sebagai
petanda, sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang utamanya bersifat
sosial dalam hal pesan literal memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah
tatanan atau ideologis umum. Model tanda di atas kemudian disederhanakan,
seperti yang terlihat pada bagan di bawah ini.
1. Penanda 2. Petanda
3. Tanda
I. PENANDA
II. PETANDA
III. TANDA
Penyederhanaan Model Tanda Barthes (2003:129)
Pada bagan tersebut tampak bahwa proses signifikansi terjadi dalam dua
tahap. Pada tahap pertama tanda terdiri atas penanda dan petanda. Contoh, kursi
(penanda); kayu (petanda). Selanjutnya, pada pemaknaan tingkat kedua penanda
dan petanda tersebut menyatu menjadi tanda (tahap1). Selanjutnya, tanda
dipandang sebagai PENANDA. Pada tahap ini terjadi kekosongan petanda.
Denotasi
Konotasi Metabahasa
Objek bahasa
2.Denotasi
1.Konotasi Metabahasa
Objek Bahasa
9
Petanda yang kosong ini menjadi potensial dan terbuka untuk
berkembangnya proses pemaknaan. PENANDA yang sudah ada dimaknai lagi
sehingga menghasilkan PETANDA. Penggabungan selanjutnya adalah PENANDA
dan PETANDA yang menjadi TANDA (tahap 2). Dari hal tersebut, terjadilah
pergeseran makna dari denotasi ke konotasi. Bahasa berada pada tingkatan
pertama dan sastra berada pada tingkatan kedua.
Untuk menghasilkan pemaknaan yang mendalam, digunakan juga konsep
pemaknaan hermeneutik. Secara etimologi, Ricoeur (2002:43) menjelaskan kata
hermeneutika berasal dari bahasa Yunani, yaitu hermeneuein yang berarti
“menafsirkan”. Ia juga mendefinisikan, “hermeneutika adalah ilmu yang mengkaji
interpretasi teks” (Ricoeur, 2002:52). Dalam penelitian ini, penulis bertindak
sebagai interpreter teks lisan untuk menggali dan menafsirkan makna seobjektif
mungkin berdasarkan kondisi dan peristiwa sosial yang muncul dari tuturan mitos
tokoh agama.
Konsep hermeneutika dalam penelitian ini adalah penafsiran makna atau
pesan dari tuturan mitos tokoh agama, khususnya pada makna konotasi. Konsep
hermeneutika beroperasi ketika makna dan pesan dalam tuturan ditafsirkan sesuai
dengan pemahaman peneliti.
E.2. Mitos
Barthes menyebutkan mitos adalah satu jenis tuturan (2003:122). Sebagai
sebuah tuturan, tentulah ia merupakan sebuah rentetat bahasa. Bahasa berperan
penting dalam komunikasi. Dalam kaitannya dengan komunikasi, Barthes juga
mendeskripsikan bahwa mitos termasuk sebuah sistem komunikasi yang dengan
demikian dia adalah sebuah pesan yang kemudian tak mungkin dapat menjadi
sebuah objek, sebuah konsep, atau sebuah ide, karena mitos adalah sebuah mode
penandaan, yakni sebuah bentuk.
Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial, Gunawan (1981:107)
menyebutkan bahwa mitos sendiri merupakan peristiwa sosial yang hidup yang
hanya dapat dipahami dalam konteks manusia sungguh-sungguh dan di tempat
yang sungguh-sungguh. Hal tersebut seiringan pula dengan apa yang dijelaskan
10
oleh Barthes dalam Hasanudin (2001:40) bahwa persoalan mitos adalah persoalan
setiap kelompok masyarakat.
Mitos akan selalu hidup di dalam suatu kelompok masyarakat tertentu dan
akan memberi pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan masyarakat
tersebut. Ini mengisyaratkan bahwa bentuk mitos yang ada dalam kelompok
masyarkat berbeda-beda. Walaupun demikian, dapat dipastikan bahwa mitos
memiliki sifat mudah berubah, dan mungkin tak bisa dikekang (Culller, 2003:55).
Sebuah mitos, secara individual, selalu dikisahkan dalam suatu waktu: ia
menunjuk pada kejadian-kejadian yang dipercaya begitu saja pernah terjadi di
waktu lampau. Namun, pola spesifik atau strukturnya dikatakan sebagai sesuatu
yang kekal dan ahistoris: ia merangkum mode penjelasan tentang kekinian dengan
apa yang terjadi di masa lalu dan sekaligus masa depan. Maka, setiap kali mitos
dikisahkan kembali, ia menggabungkan elemen-elemen langue dan parole-nya,
Dalam kaitannya dengan keyakinan, Hasanudin (2001:40) menyebutkan
bahwa mitos bukanlah persoalan betul salah, melainkan keberadaan dan
kegunaannya sebagai pembentuk integritas sosial suatu masyarakat. Jika mitos ini
tumbuh dan berkembang hal ini oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai suatu
kebenaran. Hal tersebut diperjelas pula oleh Junus (1981:84), bahwa kehidupan
manusia, dengan sendirinya hubungan antarmanusia, dikuasai mitos-mitos, dan
sikap seseorang terhadap sesuatu ditentukan oleh mitos yang ada di dalam dirinya.
Dari berbagai hal yang dijelaskan tersebut, dapat diketahui bahwa selain
berbentuk bahasa dan pemindahan kode-kode, mitos juga berarti suatu yang
diyakini secara umum oleh kelompok masyarakat tertentu yang kemudian
memberi pengaruh terhadap pola tingkah laku dan pandangan hidup mereka, serta
hidup dan matinya sebuah mitos ditentukan oleh masyarakat.
Namun demikian, untuk menentukan sebuah tuturan apakah termasuk
mitos atau bukan, diperlukan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Ketentuan yang
dimaksud berbanding lurus dengan pengertian-pengertian sebagaimana disebutkan
di atas sehingga untuk menentukan sebuah tuturan termasuk mitos atau bukan,
penulis akan mengujinya dengan ketentuan berikut:
11
1. Tuturan tersebut termasuk sebuah sistem komunikasi.
2. Tuturan tersebut mengandung sebuah pesan dan mengandung
imajinasi dalam pikiran penutur.
3. Tuturan tersebut efektif sebagai alat komunikasi masa yang mana ia
mendorong perbuatan.
4. Tuturan tersebut mengandung kode-kode sosial, budaya, dan ideologi.
5. Tuturan yang mengandung peristiwa sosial yang hidup atau penggalan
cerita.
6. Tuturan tersebut hanya dapat dipahami dalam konteks manusia
sungguh-sungguh dan di tempat yang sungguh-sungguh.
7. Tuturan itu merupakan persoalan setiap kelompok masyarakat.
8. Tuturan itu tidak dilihat persoalan betul salah, tetapi persoalan
keberadaan dan kegunaannya sebagai pembentuk integritas sosial
suatu masyarakat.
9. Tuturan itu muncul ke permukaan melalui proses pengulangan.
10. Tuturan itu diyakini oleh masyarakat dan memberi pengaruh terhadap
pola tingkah laku dan pandangan hidup penuturnya.
E.2.1 Bentuk dan Jenis mitos
Secara utuh, penulis belum menemukan referensi tentang pembahasan
bentuk atau jenis mitos. Hal ini di satu sisi membuat penulis bingung. Namun, di
sisi lain membuat penulis berani memformulasikan sendiri atau menawarkan
rumusan tentang bentuk atau jenis mitos berdasarkan referensi yang telah
ditemukan. Seperti halnya Barthes (2003) menyebutkan bahwa tuturan jenis mitos
dapat berupa mode oral, mode penulisan, mode representasi. Turunan ini dapat
berupa wacana tertulis, fotografi, laporan, film, olahraga, pertunjukan, atau apa
pun yang dapat memberikan dukungan kepada tuturan mitos.
Artinya berdasarkan jenis tuturannya, mitos dapat dibedakan menjadi tiga
hal yaitu mitos mode oral, mode tulisan, dan mode representasi. Dan berdasarkan
bentuknya terdiri atas mitos wacana tertulis, mitos fotografi, mitos laporan, mitos
film, mitos olahraga, dan mitos pertunjukan.
12
Masih dalam bukunya berjudul mythologies, Barthes juga menyebutkan
terdapatnya mitos masa kini (kontemporer/modern). Hal ini dapat
diinterpretasikan bahwa ada pula mitos masa lalu (kuno/klasik) sehingga dapat
dikatakan pengkategorian itu berdasarkan sifatnya.
Berdasarkan mitos-mitos yang telah ada, penulis dapat melihat
pengategorian selanjutnya yaitu berdasarkan tujuan, kejadian, yang dibicarakan,
dan pelaku mitos. Jika pun ada mitos-mitos lainnya hal ini mungkin menjadi
wewenang yang lain untuk mengategorikannya. Pengategorian tersebut terlihat
dalam tabel berikut,
Mitos (Roland Barthes)
Jenis tuturan Bentuk Sifat
1. model oral
2. model penulisan
3. model representasi
1. wacana tertulis
2. fotografi
3. laporan
4. film
5. olahraga
6. pertunjukan
1. kontemporer/modern
2. kuno/klasik
Pengategorian mitos Roland Barthes
Berdasarkan kajian sementara yang telah dilakukan, tampaknya bentuk tuturan
mitos berkaitan atau berhubungan dengan manusia, pekerjaan, tokoh, dan kejadian
sehingga dapat diklasifikasikan sebagaimana tabel berikut,
Tujuan
(manusia)
Tujuan
(pekerjaan)
Pelaku dalam
Mitos (Tokoh) Kejadian
1. laki-laki
2. perempuan
3. anak-anak
4. remaja
5. dewasa
6. tua
7. umum
(semua)
1. pedagang
2. petani
3. siswa
4. mahasiswa
1. manusia
2. hewan
3. tumbuhan
4. makhluk
halus
1. kehamilan
2. kelahiran
3. perkawinan
4. kematian
Pangategorian mitos berdasarkan kajian sementara
Berdasarkan tabel tawaran di atas, penulis akan mengkaji tuturan mitos
tokoh. Dalam KBBI (2007) dinyatakan bahwa tokoh berarti rupa (wujud dan
13
keadaan), macam atau jenis. Jika seseorang, ia seorang yang dapat dijadikan
contoh dan dapat diteladani sifat baiknya. Jika tidak, ia adalah sesuatu yang
diungkapkan satu segi wataknya. Apa yang dilakukannya menimbulkan kejutan.
Tokoh manusia seperti terlihat dalam tabel di atas diasumsikan memiliki varian-
varian lagi yang akan diketahui setelah memperoleh data di lapangan.
Selanjutnya, berhubung teori semiotik Roland Barthes tidak mengkaji
bentuk tuturan mitos secara komprehensif (hanya sampai pada tahap penada dan
petanda), penulis menggunakan pendekatan tindak tutur yang telah dimodifikasi
oleh Austin (1962) dan Wijana (1996).
Kajian ini digunakan terutama dalam konteks tuturan mitos yang ada. Hal
ini dilakukan agar bentuk tuturan mitos dapat terungkap sebagaimana kajian
kebahasaan. Adapun bentuk-bentuk tuturan tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Tuturan Langsung dan Tidak Langsung
Wijana (1996:30) menyatakan secara formal, berdasarkan modusnya,
kalimat dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya
(interogratif), dan kalimat perintah (imperatif). Secara konvensional kalimat
berita digunakan untuk memberitakan sesuatu (informasi), kalimat tanya
untuk menanyakan sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah,
ajakan, permintaan, atau permohonan.
Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk mengatakan
sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk menyuruh,
mengajak, memohon, dan sebagainya tindak tutur yang terbentuk adalah
tindak tutur langsung (direct speech act).
Tindak tutur tidak langsung (indirect speech act) ialah tindak tutur
untuk memerintah seseorang melakukan sesuatu secara tidak langsung.
Tindakan ini dilakukan dengan memanfaatkan kalimat berita atau kalimat
tanya agar orang yang diperintah tidak merasa dirinya diperintah.
2. Tuturan Literal dan Tidak Literal
Wijana (1996:32) menyatakan bahwa tindak tutur literal (literal speech
act) adalah tindak tutur yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang
menyusunnya, sedangkan tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act)
14
adalah tindak tutur yang maksudnya tidak sama atau berlawanan dengan
makna kata-kata yang menyusunnya untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari
contoh berikut:
3. Tuturan Konstatif dan Performatif
Menurut Austin dalam Wijana (1996:23) dalam mengutarakan tuturan,
seseorang dapat melakukan sesuatu selain mengatakan sesuatu. Berbahasa
tidak hanya mengatakan aktivitas sesuatu, tetapi juga dapat mengatakan
sekaligus melakukan sesuatu.
Tuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative
utterance). Tuturan ini digunakan untuk menggambarkan atau menyampaikan
peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya. Sifat dari tuturan konstatif adalah
memperhatikan betul atau tidak betul (Kridalaksana, 1984:201). Austin (dalam
Wijana,1996:27) menyatakan bahwa tuturan konstatif dapat dievaluasi dari
segi benar dan salah.
Tuturan performatif adalah tuturan tersebut memperlihatkan sesuatu
perbuatan telah diselesaikan oleh penutur. Dengan mengungkap sebuah
tuturan performatif, berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga
misalnya, dalam tuturan saya mohon maaf atas keterlambatan saya, pembicara
menuturkannya sekaligus menyelesaikan perbuatan memofon maaf .
Tuturan performatif tidak dievaluasi sebagai benar atau salah, tetapi
sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I promise that I shall be there (Saya
berjanji bahwa saya akan hadir di sana) dan performatif primer atau tuturan
primer I shall be there (Saya akan hadir di sana) Geoffrey Leech (dalam
Chaer, 1995: 280).
Berkaitan dengan analisis bentuk tuturan mitos dalam penelitian ini,
penulis menggunakan bentuk-bentuk tuturan di atas, di antaranya tuturan
langsung, tidak langsung, tuturan literal, tuturan tidak literal, tuturan konstatif,
serta tuturan performtif. Dengan mengacu pada bentuk-bentuk tuturan tersebu,
diharapkan tujuan penelitian dalam mengungkap bentuk tuturan dapat dicapai.
15
E.2.2 Fungsi Tuturan Mitos
Berkaitan dengan fungsi mitos, kajian fungsi yang digunakan adalah
kajian fungsi bahasa dalam tindak tutur. Hal ini dikarenakan tuturan mitos tokoh
agama merupakan bagian dari tuturan bahasa. Pengkajian fungsi bahasa dalam
tindak tutur telah banyak dipaparkan oleh beberapa tokoh.
Halliday (1985:15) memberikan konsep fungsi bahasa yaitu sebagai cara
orang melakukan sesuatu dengan bahasa, yaitu dengan cara bertutur atau menulis,
mendengarkan dan membaca, dan mereka berharap dapat mencapai banyak
sasaran dan tujuan. Hal tersebut dapat dimaknai sebagaimana aliran filsafat bahasa
dan psikolinguistik yang melihat fungsi bahasa sebagai sarana untuk
menyampaikan pikiran, perasaan, dan emosi, sedangkan aliran sosiolinguistik
melihat fungsi bahasa sebagai sarana perubahan masyarakat.
Aliran-aliran yang dijelaskan tersebut adalah hal yang berbeda. Namun,
perbedaan yang ada tidaklah untuk diperdebatkan. Hal itu dapat dianggap sebagai
kebervariasian konsep untuk memperkaya khazanah konsep fungsi bahasa.
Dalam pembahasan fungsi tuturan, digunakan rumusan tuturan Halliday
yang terdiri atas tujuh fungsi. Di antaranya. 1) fungsi instrumental, 2) fungsi
representasi, 3) fungsi interaksi, 4) fungsi personal, 5) fungsi heuristik, 6) fungsi
regulasi, dan 7) fungsi imajinatif.
Fungsi instrumental adalah bahasa digunakan untuk memanipulasi
lingkungan atau untuk melakukan sesuatu. Melalui fungsi representasi, bahasa
digunakan untuk membuat pernyataan, menyampaikan fakta dan pengetahuan,
serta membuat mendeskripsikan suatu realitas. Fungsi interaksi adalah bahasa
digunakan untuk memelihara hubungan sosial.
Dalam fungsi personal, diwujudkan ekspresi perasaan, emosi, dan
kepribadian. Melalui fungsi heuristik bahasa digunakan untuk memperoleh
pengetahuan dan mempelajari lingkungan. Lingkungan yang dimaksudkan adalah
keadaan sekitar yang berkaitan dengan pertuturan di masyarakat Toboh Gadang.
Adapun fungsi tuturan yang dapat memengaruhi lawan bicara atau
kelompok lainnya adalah fungsi regulasi. Terkait dengan fungsi imajinatif bahasa,
16
bahasa digunakan untuk menciptakan sistem imajinasi suatu gagasan melalui
bahasa.
E.3 Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Jika sesuatu itu bernilai, berarti sesuatu itu berharga atau
berguna bagi kehidupan manusia. Untuk memahami bahwa nilai itu ada, berikut
ini penulis kemukakan beberapa pengertian tentang nilai.
1. Lorens Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan
beberapa pengertian nilai. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Nilai dalam bahasa Inggris value, dalam bahasa Latin valere yang
berarti berguna, mampu akan, berdaya, berlaku, dan kuat.
b. Nilai ditinjau dari segi harkat adalah kualitas suatu hal yang
menjadikan hal itu dapat disukai, diinginkan, berguna, atau dapat
menjadi objek kepentingan.
c. Nilai ditinjau dari segi keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai
tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan.
2. Nilai adalah the adreess of yes sesuatu atau alamat yang ditujukan dengan
kata “ya” (Bertens, 2004). Dengan kata lain nilai adalah sesuatu yang kita
iyakan atau sesuatu yang kita setujui, sedangkan sesuatu yang tidak kita
setujui seperti sakit, penderitaan atau kecelakaan adalah non nilai atau
disvalue. Sesuatu yang kita iyakan selalu bersifat positif atau kita sebut
nilai positif dan yang tidak kita setujui dikenal dengan istilah nilai negatif.
3. Beberapa pengertian yang lainnya tentang nilai dari para ahli dikemukakan
oleh Mulyana (2004: 9) sebagai berikut,
a. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar
pilihannya. Definisi ini dilandasi oleh pendekatan psikologis karena itu
tindakan dan perbuatannya seperti keputusan benar-salah, baik-buruk,
indah-tidak indah, adalah hasil proses psikologis. Termasuk kedalam
wilayah ini seperti hasrat, sikap, keinginan, kebutuhan dan motif.
17
b. Nilai adalah patokan normatif yang memengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif
(Kuperman, 1983). Penekanan utama definisi ini pada faktor eksternal
yang memengaruhi perilaku manusia. Pendekatan yang melandasi
definisi ini adalah pendekatan sosiolgis. Penegakan norma sebagai
tekanan utama dan terpenting dalam kehidupan sosial akan membuat
seseorang menjadi tenang dan membebaskan dirinya dari tuduhan yang
tidak baik.
c. Nilai adalah konsepsi (tersurat atau tersirat, yang sifatnya
membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang
diinginkan, yang memengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan
antara dan tujuan akhir.
Dari pengertian yang telah dijelaskan di atas, didapatkan pengertian nilai
yang penulis kaitkan dengan nilai tuturan mitos. Nilai tuturan mitos yang penulis
maksudkan adalah tuturan tentang sesuatu yang disetujui oleh penuturnya yang
mana tuturan tersebut berarti, berguna, disukai, dan diinginkan untuk menjadi
objek kepentingan sesuatu kebaikan. Tuturan tersebut juga memuat keyakinan,
membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya, memengaruhi manusia dalam
menentukan pilihannya, dan dapat membedakan individu atau ciri-ciri kelompok,
serta yang memengaruhi tindakan.
Ciri-ciri nilai menurut Bertens (2004) adalah, pertama, berkaitan dengan
subjek, dan kedua, nilai tampil dalam suatu konteks praktis ketika subjek ingin
membuat sesuatu. Ketiga, nilai menyangkut sifat-sifat yang ditambahkan subjek
pada sifat-sifat yang dimilki objek.
Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (dalam Bertens, 2004) adalah
Sebagai berikut.
1. Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang
bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek
yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah
nilai, tetapi kita tidak bisa mengindra kejujuran itu. Yang dapat kita indra
adalah kejujuran itu.
18
2. Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita,
dan suatu keharusan sehingga nilai nemiliki sifat ideal. Nilai diwujudkan
dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya,
nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang
mencerminkan nilai keadilan.
3. Nilai berfungsi sebagai daya dorong atau motivator dan manusia adalah
pendukung nilai. Manusia bertindak karena didorong oleh nilai yang
diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua
orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan.
Dengan mengacu kepada pengertian dan ciri-ciri yang ada, tuturan mitos
merupakan salah satu bentuk tuturan yang dapat dilacak nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Penentuan nilai ini dilihat berdasarkan kemunculan data
dalam tuturan mitos.
Sebagaiaman pengertian yang telah penulis rangkum dari beberapa
pengertian di atas, dapat ditentukan nilai tuturan mitos. Nilai tuturan mitos adalah
tuturan tentang mitos yang disetujui oleh penuturnya yang mana tuturan mitos
tersebut berarti, berguna, disukai, dan diinginkan untuk menjadi objek
kepentingan sesuatu kebaikan.
F. METODE PENELITIAN
F.1 Jenis dan Tahapan Penelitian
Berdasarkan fokus data yang dikumpulkan, analisis yang dilakukan, dan
model laporan yang dituliskan, dipilihlah jenis penelitian yang sesuai dengan
ketentuan tersebut. Jenis penelitian yang dimaksud adalah penelitian kualitatif
(Danim, 2002).
F.2 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis metode dan teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode yang menurut Sudaryanto (1992 )5 cukup operasional dan fungsional bagi
5 Sudaryanto, Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik. Cetakan ke-3,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1992).
19
praktik penanganan bahasa. Metode tersebut terdiri atas metode pengumpulan,
analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Dengan mengacu pada penjelasan
Sudaryanto lebih lanjut (1993)6, penelitian ini menggunakan metode simak atau
penyimakan yaitu menyimak pemakaian bahasa guna mendapatkan data-data
lingual (tuturan) yang terdiri atas dua bentuk penyimakan yaitu Simak Libat
Cakap (SLC) dan Simak Bebas Libat Cakap (SLBC).
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode SLC. Penentuan
metode ini dikarenakan peneliti melibatkan diri dalam aktivitas pengambilan data
tuturan mitos tokoh. Perlibatan tersebut menggunakan teknik pancing yaitu teknik
berbicara yang digunakan saat berhadapan dengan informan agar data-data yang
dibutuhkan disampaikan (muncul) dari informan secara alami.
Selanjutnya, digunakan pula teknik rekam dan teknik catat agar data yang
diperoleh tidak rusak atau hilang. Teknik rekam dan catat dilakukan juga agar
data-data yang diperoleh dapat tersimpan dengan baik sehingga dapat
dipertanggungjawabkan sebagaimana mestinya.
F.3 Metode dan Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan dalam menganalisis data adalah metode padan.
Menurut Sudaryanto (1993:13) metode padan adalah metode yang alat
penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang
bersangkutan Alat penentu tersebut kemudian dijelaskan terdiri atas referen
(metode padan referensial), organ wicara (metode padan fonetis artikulatoris),
language lain (metode padan translasional), tulisan (metode padan ortografis), dan
mitra wicara (metode padan pragmatis).
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode padan translasional,
padan refererensial, dan padan pragmatis. Metode padan translasioanl penulis
gunakan karena alat penentu yang penulis kaji adalah bahasa Minangkabau
subdialek Sintuak Toboh Gadang -Padang Pariaman. Sementara penganalisisan
mendalam akan digunakan bahasa Indonesia. Metode padan referensial digunakan
6 Sudaryanto, Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, (Yogyakarta: Duta Wacana University
Press, 1993).
20
untuk melihat tanda-tanda yang ada dan mengacu kepada referen tertentu pada
tuturan mitos tokoh.
Metode padan pragmatis digunakan untuk melihat akibat tertentu yang
dimunculkan dari tuturan mitos tokoh. Teknik yang penulis gunakan dalam
penerapan metode-metode tersebut terdiri atas teknik dasar pilah unsur penentu
(PUP) yang mana daya pilahnya bersifat mental dan teknik lanjutan hubung
banding (HB) yang terdiri atas menyamakan dan membedakan unsur-unsur dari
kebahasaan tuturan mitos tokoh yang didapatkan.
F.4 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Dalam penyajian data, metode yang digunakan adalah metode formal dan
informal. Metode formal adalah penyajian hasil analisis data dengan
menggunakan perumusan tanda dan lambang (menurut penulis, termasuk di
dalamnya tabel, gambar, dan diagram), sedangkan metode informal adalah
perumusan hasi analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa. Metode
informal juga mengupayakan intepretasi yang mendalam berupa pendiskripsian
secara sistematis, faktual, dan akurat.
Kedua metode tersebut penulis pilih karena memuat pembahasan atas
sifat-sifat dan hubungan fenomena-fenomena yang diteliti, yaitu dengan
mengaplikasikan teori yang digunakan.
F.5 Subjek Penelitian
Untuk mendapatkan data yang sahih, peneliti menenukan subjek
penelitian. Subjek penelitian dalam hal ini adalah penutur asli Kenagarian Toboh
Gadang. Sudaryanto juga menjelaskan bahwa pengertian penutur asli dapat
dirumuskan sebagai penutur yang menguasai benar-benar penggunaan bahasa
yang bersangkutan. Jadi, penutur asli tidak hanya dikaitkan dengan suku atau
bangsa asli, tetapi juga dikaitkan dengan penguasaan terhadap bahasa
bersangkutan (1990 a:35).
Spesifikasi informan terdiri atas laki-laki dan perempuan. Adapun batasan
usia, akan dikaitkan dengan siapa yang paling mengetahui atau mengerti tentang
21
tokoh agama yang dimaksudkan. Contoh, jika tokoh yang dituturkan adalah Syekh
Burhanuddin, peneliti akan menentukan informan yang sering berkunjung ke
makam Syekh Burhanuddin. Tidak hanya itu, penutur tersebut juga mengetahui
cerita-cerita yang berkaitan dengan Syekh Burhanuddin.
F.7 Data dan Sumber Data Penelitian
Data adalah objek penelitian (gegendstand) plus segmen atau plus
potongan atau unsur sisanya. Unsur sisa atau potongan sisa yang segmental itu
disebut konteks. Dengan demikian, Sudaryanto (1990 a) mengonsepkan data (D)
adalah Objek penelitian (Op) plus Konteks (K) atau D = Op + K. Berdasarkan
rumusan tersebut, yang menjadi data (D) dalam penelitian ini adalah tuturan mitos
tokoh agama (Op) yang bersumber dari tuturan lisan (K. linguistik), yang
digunakan oleh masyarakat (K. penutur) Kenagarian Toboh Gandang-Kecamatan
Sintuak Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman (K. wilayah, sosial,
ideologi, dan budaya).
F.7 Tempat dan Jadwal Penelitian
Tempat penelitian adalah Kenagarian Toboh Gadang, Kecamatan Sintuak
Toboh Gadang , Kabupaten Padang Pariaman. Secara umum, terdapat dua puluh
korong7 di Kenagarian Toboh Gadang. Namun demikian, titik pengamatan dalam
penelitian tidak dipusatkan kepada satu korong saja. Hal ini dikarenakan, kadang-
kadang, masing-masing korong tersebut memiliki tuturan mitos tokoh agama yang
serupa. Hal tersebut membuat kemunculan data yang dibutuhkan akan sama. Oleh
karena itu, peneliti akan mengambil data-data yang mewakili saja.
Penentuan tempat penelitian tersebut tidak menutup kemungkinan peneliti
mengadakan survei di nagari atau korong lain pula. Terlebih jika tuturan mitos
7 Dalam pembahasan Undang-Undang Nagari, Navis (1984) dalam bukunya Alam Terkembang
Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau menjelaskan delapan syarat pembentukan nagari
salah satunya adalah bakorong-bakampuang. Bakorong-bakampuang maksudnya setiap nagari
mempunyai batas tertentu yang dibentuk alam atau dibangun berbentuk parit atau pohon aur
berduri, maupun di luar lingkaran sebagai perkampungan, sebagai satelit atau hinterland. Setiap
wilayah perkampungan di lingkaran pusat disebut sebagai korong, sedangakan wilayah wilayah
perkampungan di luar dinamakan dengan sesuai dengan kondisinya, yakni koto, dusun, dan
taratak yang disebut kampuang.
22
tokoh tersebut memiliki situs-situs seperti asal mula tokoh agama tersebut berada,
tempat dikuburkannya tokoh tersebut, tempat yang lebih dikenalnya tokoh
tersebut, dan sebagainya. Sebagai contoh, pada tuturan mitos Syekh Burhanuddin,
peneliti juga akan membandingkan data yang didapat oleh informan yang
berdomisi dekat pemakaman Syekh Burhanuddin yang terletak di Kenagarian
Ulakan Tapakis. Jadwal penelitian ini berlangsung sejak bulan Maret 2010 sampai
dengan Februari 2011.
G. SIMPULAN
Berdasarkan analisis terhadap 28 data yang telah dikelompokkan,
diperolehlah simpulan bahwa bentuk tuturan mitos tokoh agama yang digunakan
oleh masyarakat Kenagarian Toboh Gadang merupakan tuturan oral atau lisan,
tuturan mitos tokoh ini bersifat klasik dengan pelaku atau tokoh dalam mitos
adalah manusia, yaitu laki-laki. Pertuturan tokoh tersebut sering dikaitkan dalam
hal keagamaan.
Bentuk tuturan mitos Tokoh Agama di Kenagarian Sintuak Toboh Gadang
terdiri atas tuturan langsung, tuturan literal, tuturan tidak literal, tuturan konstatif,
dan tuturan performatif.
Adapun makna yang terbentuk dari tuturan mitos, tuturan mitos tokoh
agama tersebut terdiri atas makna denotatif, konotatif, makna tingkat 1 (penanda,
petanda, tanda), dan makna tingkat 2 (PENANDA, PETANDA, TANDA). Denotasi
diwujudkan pada makna yang objektif, tetap, serta berkaitan dengan sosok acuan.
Pemaknaan konotasi diwujudkan sebagai makna yang subjektif dan bervariasi.
Makna tingkat 1 dan makna tingkat 2 berkaitan dengan makna konotasi yang
membuka kemungkinan interpretasi yang luas dan berkaitan dengan apa yang
diceritakan oleh penuturnya. Hal tersebut juga membongkar makna yang
terselubung.
Kemunculan tuturan mitos tokoh di Kenagarian Toboh Gadang tidak
terlepas dari berbagai fungsi yang termuat di dalamnya. Fungsi tersebut adalah
fungsi intrumental, fungsi representasi, fungsi interaksi, fungsi personal, fungsi
heuristik, fungsi regulasi, dan fungsi imajinatif. Hal ini dapat dinyatakan bahwa
23
semua fungsi tuturan berdasarkan pemikiran Halliday ditemukan dalam tuturan
mitos.
Nilai yang tercakup dalam tuturan mitos meliputi nilai ketaatan, nilai
kepatuhan, nilai berusaha, nilai keberanian, nilia kehematan, nilai keadilan, niai
perhatian, nilai kejujuran, dan nilai sosial.
H. SARAN
Mengingat lebih bervariasinya tuturan mitos di Kenagarian Toboh
Gadang, kebervariasian itu dapat menjadikan kajian yang menarik untuk ditelaah
lebih lanjut. Seperti halnya tuturan mitos tentang hantu atau makhluk halus,
tuturan mitos kejadian (kehamilan, kelahiran, perkawinan, dan kematian), tuturan
mitos yang dikhususkan untuk laki-laki, perempuan, atau kedua-duanya, tuturan
mitos yang dilihat dari pekerjaannya (tuturan mitos petani dan pedagang), dan
banyak tuturan mitos lainnya.
Penulis menyarankan kepada akademis linguistik untuk dapat
melanjutkan kajian tuturan mitos ini kepada kajian yang lebih bervariasi dan
mendalam. Kepada masyarakat dan para akademis nonlinguistik, penulis
menyarankan untuk tidak menganggap rendah, udik, atau kampungan atas sebuah
tuturan mitos. Karena tanpa disadari, setiap manusia dipengaruhi oleh mitos-mitos
yang berada di sekitarnya. Tanpa disadari pula semakin kuno atau modern
seseorang, semakin kuno dan modern pula mitos yang mengikuti mereka.
Meski terdapat banyak kekurangan dalam penulisan tesis ini, penulis
berharap agar penelitian dan penulisan ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti
selanjutnya. Demikian pula untuk calon peneliti selanjutnya, semoga dapat
berinovasi terhadap tuturan mitos sehingga menemukan kajian yang lebih
bervariasi dan lebih komprehensif. Akhirnya, penulis pun berharap semoga tulisan
ini memberikan banyak manfaat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Alattas, Syed Hussien. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu,
dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial. Jakarta: LP3ES.
Amir MS. 2001. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang Minang.
Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar
Harapan.
Ayub, Asni dkk. 1993. Tata Bahasa Minangkabau. Jakarta: Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
Bagus, Lorens. 2002, Kamus Filsafat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bartens, K. 2004. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Bawa, I Wayan dkk. 2004. Bahasa dalam Perspektif Kebudayaan. Bali: Penerbit
Universitas Udayana.
Barthes, Roland. 2003. Mythologies, atau Mitologi Roland Barthes, terj. Chistian
Ly. Jakarta: Dian Aksara Press.
Bonvillain, Nancy. 1997. Language, Culture, and Communication: The Meaning
of Messages. 2nd ed. New Jersey: Prentice Hall.
Bulaeng, Andi. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer. Yogyakarta:
Panerbit ANDI.
Culler, Jonathan. 2002. Barthes: A Very Short Introduction, atau Seri Pengantar
Singkat Barthes, terj. Ruslani. Yogyakarta: Jendela.
Danim, Sudarwan. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia.
Dananjaja, James. 1986. Folklor Indonesia. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Eco, Umberto. 1984. Semiotics and the Philosophy of Language. London:
Macmillan.
Editor Tim, 2008. Kumpulan Makalah Semiotika Budaya Etnik. kerja Sama
Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra USU LPMM USU dan Balai
Bahasa Medan.
Endah, Syamsudin St. Datuk. 1985. Kaba Cindua Mato. Cetakan ke-10.
Bukitinggi: CV Balai Buku Indonesia.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power, atau Language and Power:
Relasi Bahasa, Kekuasaan, dan Ideologi, terj. Indah Rohmani. Malang:
Boyan Publishing.
Fathurahman, Oman. 2008. Tarekat Syattariyah di Minangkabau. Jakarta:
Prenada Media Group.
Freud, Sigmund. 1918. Totem and Taboo (Resemblances between Psychic Live of
Savages and Neurotorics), atau Totem dan Tabu, terj. Kurniawan Adi
Saputro. Yogyakarta: Jendela Grafika.
Gunawan, Samuel. 1981. Antropologi Budaya: Suatu Perspektif Kontemporer.
Cetakan ke-2. Jakarta: Erlangga.
Gusdar. 2009. ”Mitos Bangsa Terpilih”. [diakses tanggal 24 Februari 2010 pukul
10.38] terdapat di: http://dpm.web.id/akademis/tugas/mitos-dan-realitas-
terhadap-sistem-kelas-di-amerika-serikat-119.
Hamas, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta:
Granit.
25
Halliday, M.A.K. and Ruqaiya Hasan. 1985. Language, Context, and Text:
Aspects of Language in A Social-Semiotic Perspective. Australia: Deakin
University.
Hasanudin WS. 2001. “Mitos Legitimasi Kekuasaan dalam Kesusatraan Klasik
Minangkbau Kaba Cindua Mato: Tinjauan Semiotika Budaya dan
Ideologi,” Jurnal Humanlis Vol. IV No.1 Th. 2001, hal. 39—60.
Junus, Umar. 1981. Mitos dan Komunikasi. Jakarta: Sinar Harapan.
Keraf, Gorys. 1994. Komposisi. Cetakan ke-4. Ende: Nusa Indah.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunanan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimukti. 2007. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia.
Cetakan ke-4. Jakarta: PT Gramedia Pustakan Utama.
Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. New York: Oxford University
Press.
Kuntowijoyo. 2002. Selamat Tinggal Mitos Selamat Datang Realitas. Bandung:
Mizan.
Kurniawan. 2001. Semiologi Roland Barthes. Magelang: Indonesiatera. M.S.
Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik, terj. Jakarta: UI-Press.
Levinson, SC. 1994. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Lin, Te. 2003. Mitologi Cina. Jakarta: Intimedia dan Ladang Pustaka.
Maheswara, Aria. 2009. Rahasia Kecerdasan Yahudi. Cetakan Ke-17.
Yogyakarta: Pinus
Masinambow. 2002. Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Depok: Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitiaan Universitas
Indonesia.
Moleong, Lexy J. 1996. Metode Penelitian Kualitatif. Cetakan ke-7. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Mudhofi, Ali. 2001. Kamus Istilah Filsafat dan Ilmu. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Mulyana, Rohmat. 2004. Mengartikulasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta.
Navis. A.A. 1984. Alam Terkembang Jadi Guru Adat Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Grafiti Press.
Oktavianus. 2004. “Analisis Wacana Teori dan Aplikasi”. Padang: Fakultas
Sastra Universitas Andalas.
Oktavianus. 2006. Analisis Wacana Lintas Bahasa. Padang: Andalas University
Press.
Palmer. Richard E. 1969. Hermeunetics: Interpretation Theory in Schleiemarcher,
Dilthey, Heidegger, and Gadamer, atau Hermeneutika: Teori Baru
Mengenal Interpretasi, terj. Musnur Hery dan Damhuri Muhammed.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
26
Piliang, Yasraf Amir. 2004. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra.
Rosmali, Marah dkk. 1985. Kamus Minangkabau-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan
Kebudayan.
Ricoer, Paul. 2002. The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of
Meaning, atau Filsafat Wacana: Membelah Makna dalam Anatomi
Bahasa, terj. Musnur Hery. Yogyakarta: IRCiSoD.
Samad, Duski. 2002. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau. Jakarta:
The Minangkabau Foundation.
Samarin. J William. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Samsuri. 1986. Analisis Bahasa. Cetakan ke-6. Jakarta: Erlangga.
Sari, Wira Yuniva. 2005. “Mitos dan Kontramitos dalam Novel Atheis Karya
Achdiat Karta Mihardja: Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi.
Padang: Universitas Andalas.
Sibarani, Robert. 2004. Antropolinguistik; Antropologi Linguistik, Linguistik
Antropologi. Medan: Penerbit Poda.
Sudaryanto. 1990a. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik
Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Sudaryanto. 1990 b. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik: ke Arah Memahami Metode Linguistik.
Cetakan ke-3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest. 1996. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT
PT Gramedia Pustaka Utama.
Sulastri. 2009. “Antara Mitos „Ungku Saliah‟ dengan „Haji Saleh‟ Masuk Neraka:
Makna, Konsep Kata „Saleh: Pendekatan Semiotik Budaya”. Jurnal
Sosioteknologi Edisi 16 Tahun 7, April 2009, hal. 559—567.
Sumaryono. 2009. “Teori Mitololgi”. [diakses tanggal 24 Februari pukul 11.02]
erdapat di http://gampingnews-support.socialgo.com/magazine/read/teori-
mitos_14.html
Sunardi, St. 2002. Semiotika Negativa. Kanal: Yogyakarta.
Suryadi. 2004. Syair Sunur:Teks dan Konteks ‘Otobiografi’ Seorang Ulama
Minangkabau Abad Ke-19. Cetakan ke-2. Padang: Pusat Pengkajian Islam
dan Minangkabau.
Tarigan, H.G. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa.
Thaib, Darwis. 1965. Seluk Beluk Adat Minangkabau Bahagian 1 Tjupak Usali.
Bukittinggi: N.V Nusantara.
Tim Penyusun. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Cetakan Ke-
4. Jakarta: Balai Pustaka
Toeah, Datuk. 1985. Tambo Alam Minangkabau. Bukittinggi: CV. Pustaka
Indonesia.
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.