28.dx dan tx nefritis lupus

10
1 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NEFRITIS LUPUS Dharmeizar Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pendahuluan Nefritis Lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan ginjal cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan ginjal hanya didapatkan pada 25%50% kasus. Meskipun insiden dan prevalensi LES lebih tinggi pada wanita, namun pria dengan LES mempunyai insiden yang sama dengan wanita untuk terjadinya NL. Peningkatan risiko NL dihubungkan dengan HLAB8, HLADR 2 , HLADR8, HLADQW 1 , defisiensi komplemen seperti C1q, C2, dan C4, serta produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang rendah. (1,2,3,4) Perjalanan klinis NL sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kecepatan menegakkan dignosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai. (5,6) Patogenesis Patogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktorfaktor ini akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan aktifitas selT dan selB, sehingga terjadi peningkatan autoantibodi (DNAantiDNA). Sebagian dari autoantibodi ini akan membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNAhiston), kromatin, C1q, laminin, Ro (SSA), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan membentuk deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan jaringan. (2,7) Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauciimmune necrotizing glomerulonephritis. Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatraktan C3a dan C5a, yang menyebabkan terjadinya influks sel netrofil dan mononuklear.

Upload: hutomorezky

Post on 21-Oct-2015

30 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

ipd

TRANSCRIPT

Page 1: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

1

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NEFRITIS LUPUS 

Dharmeizar 

Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam 

FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta 

 

Pendahuluan 

Nefritis Lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan ginjal 

cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa 

akan  mengalami  komplikasi  ginjal  yang  nyata,  walaupun  pada  awal  LES  kelainan  ginjal  hanya 

didapatkan  pada  25%‐50%  kasus. Meskipun  insiden  dan  prevalensi  LES  lebih  tinggi  pada  wanita, 

namun  pria  dengan  LES  mempunyai  insiden  yang  sama  dengan  wanita  untuk  terjadinya  NL. 

Peningkatan  risiko  NL  dihubungkan  dengan  HLA‐B8,  HLA‐DR2,  HLA‐DR8,  HLA‐DQW1,  defisiensi 

komplemen seperti C1q, C2, dan C4, serta produksi Tumor Necrosis Factor  (TNF) yang rendah.(1,2,3,4) 

Perjalanan klinis NL sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara 

lain kecepatan menegakkan dignosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat 

mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.(5,6) 

 

Patogenesis  

Patogenesis  timbulnya  LES diawali oleh  adanya  interaksi  antara  faktor predisposisi  genetik dengan 

faktor  lingkungan,  faktor hormon  seks, dan  faktor  sistem neuroendokrin.  Interaksi  faktor‐faktor  ini 

akan mempengaruhi  dan mengakibatkan  terjadinya  respon  imun  yang menimbulkan  peningkatan 

aktifitas  sel‐T  dan  sel‐B,  sehingga  terjadi  peningkatan  auto‐antibodi  (DNA‐anti‐DNA).  Sebagian  dari 

auto‐antibodi  ini akan membentuk komplek  imun bersama nukleosom  (DNA‐histon), kromatin, C1q, 

laminin,  Ro  (SS‐A),  ubiquitin,  dan  ribosom;  yang  kemudian  akan  membentuk  deposit  (endapan) 

sehingga terjadi kerusakan jaringan.(2,7) Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun 

dengan  sediaan  imunofluoresen  atau  mikroskop  elektron.  Kelompok  ini  disebut  sebagai  Pauci‐

immune necrotizing glomerulonephritis. 

Gambaran  klinik  kerusakan  glomerulus dihubungkan dengan  lokasi  terbentuknya deposit  kompleks 

imun.  Deposit  pada  mesangium  dan  subendotel  letaknya  proksimal  terhadap  membran  basalis 

glomerulus  sehingga  mempunyai  akses  dengan  pembuluh  darah.  Deposit  pada  daerah  ini  akan 

mengaktifkan  komplemen  yang  selanjutnya  akan  membentuk  kemoatraktan  C3a  dan  C5a,  yang 

menyebabkan terjadinya influks sel netrofil dan mononuklear.  

Page 2: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

2

Deposit  pada mesangium  dan  subendotel  secara  histopatologis memberikan  gambaran mesangial, 

proliferatif  fokal, dan proliferatif difus, secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif 

(ditemukan  eritrosit,  lekosit,  silinder  sel  dan  granular),  proteinuri,  dan  sering  disertai  penurunan 

fungsi ginjal. 

Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak terjadi influks sel‐

sel  inflamasi,  karena  kemoatraktan  dipisahkan  oleh  membran  basalis  glomerulus  dari  sirkulasi. 

Sehingga  jejas  hanya  terbatas  pada  sel‐sel  epitel  glomerulus.  Secara  histopatologi  memberikan 

gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis hanya didapatkan proteinuri. 

Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan antibodi (7) : 

Kompleks  imun  yang  besar  atau  antigen  yang  anionik,  yang  tidak  dapat  melewati  sawar 

dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik, akan diendapkan dalam mesangium dan 

subendotel.  Banyaknya  deposit  imun  ini  akan  menentukan  apakah  pada  pasien  akan 

berkembang gejala penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala 

yang lebih berat (proliferatif fokal atau difus). 

Hal  lain yang menentukan tempat terbentuknya komplek  imun dihubungkan dengan muatan 

antibodi  dan  daerah  tempat  berikatan  dengan  antigen.  Antibodi  dapat  berikatan  dengan 

antigen pada berbagai tempat di dinding kapiler sehingga menimbulkan  manifestasi histologis 

dan klinis yang berbeda. 

 

Gejala Klinis 

Seperti telah disebutkan sebelumnya, NL adalah komplikasi ginjal pada LES. Diagnosis LES ditegakkan 

berdasarkan  kriteria  American  Rheumatism  Association  yang  telah  dimodifikasi  pada  tahun  1997. 

Ditemukannya  4  dari  11  kriteria mempunyai  sensitivitas  dan  spesifisitas  sebesar  96%  untuk  LES. 

Dimana kriteria  tersebut adalah berdasarkan dari 4 nomer. Tidak boleh dimasukkan dalam   kriteria 

tersebut  dua  gejala  dari  satu  sistem, misalnya  proteinuri  dan  peningkatan  ureum  kreatinin  atau 

anemia hemolitik dan trombositopeni. Kriteria tersebut meliputi:    

1. Ruam Malar 

2. Ruam Discoid 

3. Fotosensitivitas 

4. Ulserasi mulut 

5. Artritis nonerosif 

6. Pleuroperikarditis 

7. Gangguan ginjal 

8. Kelainan susunan saraf pusat seperti psikosis dan kejang 

9. Gangguan hematologik seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfopeni, dan trombositopenia 

Page 3: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

3

10. Petanda imunologik seperti antibodi anti‐DNA, anti‐Sm, dan antifosfolipid  

11. Antibodi anti‐nuklear 

Manifestasi kelainan ginjal berupa proteinuri yang didapatkan pada semua pasien, sindrom nefrotik 

pada 45‐65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60‐80% pasien, 

hipertensi pada 15‐50% pasien, penurunan  fungsi ginjal pada 40‐80% pasien dan penurunan  fungsi 

ginjal yang cepat pada 30% pasien. 

Gambaran  klinis  yang  ringan  dapat  berubah  menjadi  bentuk  yang  berat  dalam  perjalanan 

penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien 

diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam dan Hispanik(8), hematokrit < 26%, kreatinin serum 

> 2.4 mg/dl, konsentrasi C3 < 76 mg/dl (9), adanya serebritis dan NL klas IV.(6) 

 

Diagnosis  

Adanya  hematuri,  proteinuri,  atau  sedimen  urin  yang  patologik  pada  pemeriksaan  urinalisis, 

menunjukkan terdapatnya NL. 

Diagnosis  klinis  NL  ditegakkan  bila  pada  pasien  LES  didapatkan  proteinuri  ≥  500  mg/24  jam 

dengan/atau  hematuri  (>8  eritrosit/LPB)  dengan/atau  penurunan  fungsi  ginjal  sampai  30%.(1,3)  

Proteinuri  umumnya  diperiksa  dengan  cara  mengukur  jumlah  secara  kuantitatif  dengan 

mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak dilakukan 

ialah dengan mengukur  rasio protein dengan  kreatinin pada  sampel urin  sewaktu. Pemeriksaan  ini 

lebih mudah dikerjakan, dan terutama diperiksa untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah 

dilakukan pengobatan. 

Klasifikasi CKD berdasarkan NKF‐DOQI adalah klasifikasi  fungsi ginjal berdasarkan  laju  filtrasi 

glomerulus pada pasien CKD. Sehingga klasifikasi CKD berdasarkan KDOQI  tidak dapat dihubungkan 

dengan diagnosa Lupus nephritis, contoh. Pasien NL dengan laju filtrasi glomerulus 50 ml/menit dapat 

dimasukan sebagai CKD stage 3 berdasarkan klasifikasi NKF‐DOQI 

Pemeriksaan tes serologik yang biasa dipakai pada pasien NL: 

a. Tes ANA. Tes ini sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada pasien 

dengan  artritis  rematoid,  skleroderma,  sindrom  Syogren,  polimiositis,  dan  infeksi HIV.  Titer 

ANA tidak mempunyai korelasi yang baik dengan berat kelainan ginjal pada LES.  

b. Tes anti ds DNA (anti double‐stranded DNA),  lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk LES. Tes 

ini  positif  pada  kira‐kira  75%  pasien  LES  aktif  yang  belum  diobati.  Dapat  diperiksa  dengan 

teknik Radioimmunoassay Farr atau tehnik ELISA (Enzyme‐linked  immunosorbent assay). Anti 

ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.(10,11) 

Page 4: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

4

c. Pemeriksaan  lain  adalah  antibodi  anti‐ribonuklear  seperti  anti‐Sm  dan  anti‐nRNP.  Antibodi 

anti‐Sm meskipun  sangat  spesifik untuk  LES,  tapi hanya ditemukan pada  25% pasien  lupus. 

Beberapa  penelitian  menunjukkan  bahwa  antibodi‐anti‐Sm  mempunyai  hubungan  dengan 

peningkatan  insiden penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta prognosis yang buruk.(4,11) 

Antibodi anti‐nRNP ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakit‐penyakit rematologik 

terutama jaringan ikat 

d. Konsentrasi  komplemen  serum menurun  pada  saat  fase  aktif  LES,  terutama  pada  NL  tipe 

proliferatif. Konsentrasi C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala  lupus 

bermanifestasi.  Normalisasi  konsentrasi  komplemen  dihubungkan  dengan  perbaikan  NL. 

Defisiensi  komplemen  lain  seperti C1r, C1s, C2, C3a, C5a dan C8  juga didapatkan pada  LES. 

Konsentrasi komplemen  total kemungkinan  tetap dibawah normal meskipun penyakit dalam 

keadaan inaktif.(12) 

 

Gambaran Histopatologi 

Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai yang sangat penting. 

Gambaran  ini mempunyai  hubungan  dengan  gejala  klinik  yang  ditemukan  dan  juga menentukan 

pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ditemukan 

kontraindikasi. 

Pada  tahun  2004,  The  International  Society  of  Nephrology/Renal  Pathology  Society  membuat 

klasifikasi sebagai berikut.(13)   

Tabel 1 International Society of Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/RPS) 2003 

 Classification of Lupus Nephritis 

 

 

Page 5: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

5

Pada  beberapa  keadaan  diperlukan  biopsi  ulangan  pada  pasien  NL.  Biopsi  ulangan  tersebut 

direkomendasikan bila terdapat(5): 

a. Sindrom nefrotik yang menetap, meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat. 

b. Sedimen  urin  aktif  yang  menetap  (eritrosit,  kristal  eritrosit)  meskipun  telah  diberikan 

pengobatan yang adekuat, atau muncul kembali sedimen urin aktif setelah terjadi remisi. 

c. Hasil pemeriksaan serologi tetap aktif meskipun telah diberikan terapi induksi yang adekuat. 

d. Kreatinin serum yang meningkat 

 

Pengobatan 

Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal. 

Pilihan  regimen  pengobatan  berdasarkan  gambaran  histopatologi.  Prinsip  dasar  pengobatan  ialah 

menekan reaksi  inflamasi  lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi 

ginjal  agar  tidak  bertambah  buruk.  Perlu  pula  diperhatikan  efek  samping  obat  yang  timbul  karena 

pengobatan NL memerlukan waktu yang relatif lama. 

Bila  pasien  tidak mau  di  biopsi  atau  belum memungkinkan  untuk  di  biopsi  oleh  karena  keadaan 

umumnya,  atau  tidak  ada  fasilitas  untuk  biopsi maka  diperlukan  suatu  penilaian  dari  gejala  klinis, 

untuk menentukan kemungkinan kelainan histopatologinya. Beberapa gejala klinis yang dinilai adalah 

sebagai berikut: 

1. Jumlah proteinuri 

2. Adanya hematuria 

3. Adanya hipertensi 

4. Adanya sindrom nefrotik 

5. Gangguan fungsi ginjal 

Hubungan tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini: 

Manifestasi Klinis 

Nefritis Lupus  Proteinuria   Hematuria  Hipertensi  Sindrom Nefrotik 

Gangguan Fungsi Ginjal 

Kelas I  1 gr/24‐jam  ‐  ‐  ‐  N 

Kelas II  1‐3 gr/24‐jam  ‐  ‐  ‐  N 

Kelas III  >3 gr/24‐jam pada 25‐35% pasien 

+  +  +   kreatinin  pada 25% pasien 

Kelas IV  >3 gr/24‐jam padad 50% pasien 

++  ++  +   kreatinin 

Kelas V  >3 gr/24‐jam      ++  N  atau   

Kelas VI  1 gr/24‐jam          lambat 

Page 6: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

6

Berikut pendekatan diagnostik berdasarkan klasifikasi histopatologi WHO: 

Kelas  Gambaran Klinis 

NL kelas I  Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin 

NL kelas IIa  Terdapat  proteinuria  persisten  tanpa  adanya  kelainan pada sedimen urin 

NL kelas IIb  Terdapat  hematuria  mikroskopik  dan  bisa  terdapat silinder  lekosit/eritrosit  dan/proteinuria  tanpa hipertensi  dan  tidak  pernah  terjadi  sindrom  nefrotik atau gangguan fungsi ginjal 

NL kelas III  Hematuri  dan  proteinuria  ditemukan  pada  seluruh pasien,  sedangkan  pada  sebagian  pasien  ditemukan hipertensi,  sindrom  nefrotik  dan  penurunan  fungsi ginjal 

NL kelas IV  Hematuria  dan  proteinuria  ditemukan  pada  seluruh pasien  (sindrom  nefrotik  akut)  sedangkan  sindrom nefrotik,  hipertensi  dan  penurunan  fungsi  ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien 

NL kelas V  Sindrom  nefrotik  ditemukan  pada  seluruh  pasien sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan  tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun 

NL kelas VI  Biasanya  menimbulkan  penurunan  fungsi  ginjal  yang lambat dengan kelainan urin yang relatif normal 

Sumber: Buku Ajar, Ilmu Penyakit Dalam, jilid II ed V. Jakarta: InternaPublishing, 2010 

 

Nefritis Lupus Klas 1 

Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan  lebih ditujukan pada gejala‐gejala ekstra 

renal. 

Nefritis Lupus Klas II 

o Jika  tidak disertai oleh proteinuria  yang bermakna  (>1  gram/24  jam) dan  sedimen  tidak 

aktif, maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik. 

o Jika  disertai  dengan  proteinuri  yang  >1  gram/24  jam,  titer  anti‐ds‐DNA  yang  tinggi  dan 

hematuri,  diberikan  prednison  0.5‐1.0 mg/kg/hari  selama  6‐12 minggu.  Kemudian  dosis 

diturunkan  perlahan‐lahan  (5‐10 mg)  tiap  1‐3 minggu  dan  dilakukan  penyesuaian  dosis 

untuk menekan aktifitas lupus 

 

Nefritis Lupus Klas III dan IV 

o Terapi Induksi 

Tujuan  Terapi  induksi  adalah  untuk  mencapai  keadaan  remisi  aktifitas  lupus  yang 

ditandai  oleh  resolusi  gejala‐gejala  ekstra  renal, manifestasi  serologik menjadi  lebih 

baik,  serta  resolusi  dari  hematuri,  kristal  seluler,  dan  berkurang  atau  paling  tidak 

menetapnya  konsentrasi  kreatinin  serum(5,14)  Obat‐obat  yang  dipakai  untuk  terapi 

induksi: 

Page 7: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

7

a. Pulse glukortikoid 

Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury, rapidly progresive 

glomerulonephritis,  dan  kelainan  ekstra  renal  yang  berat),  diberikan  pulse 

metilprednisolon  sebanyak  500‐1000  mg  iv/hari  untuk  menginduksi  efek  anti‐

inflamasi  yang  cepat.  Setelah  3  hari  pemberian,  dilanjutkan  dengan  prednison 

dengan  dosis  0.5‐1.0  mg/hari.  Prednison  diberikan  bersama  obat‐obat 

imunosupresan yang lain. 

b. Siklofosfamid  

Siklofosfamid  diberikan  dengan  dosis  750  mg/m2  tiap  bulan  selama  6  bulan. 

Diberikan  bersama  prednison  dengan  dosis  0.5  mg/kg/hari,  yang  kemudian 

diturunkan  perlahan‐lahan  sampai  dosis  0.25  mg/kg/hari  terutama  untuk 

mengontrol gejala ekstra renal.(15,16) 

c. Mikofenolat mofetil 

Sejak  kurang  lebih  10  tahun  terakhir,  mikofenolat  mofetil  dipakai  untuk  terapi 

induksi  NL  kelas  III  dan  IV(17,18,19),  terutama  untuk  menghindari  efek  samping 

siklofosfamid (hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk terapi  induksi dosis 

mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1 gram 2x sehari diberikan sampai 6 bulan 

d. Azatioprin 

Diberikan  dengan  dosis  2  mg/kg/hari  dikombinasikan  dengan  prednison  0.5 

mg/kg/hari.(20) Dosis prednison  kemudian diturunkan perlahan‐lahan  sampai 0.25 

mg/kg/hari. Untuk terapi induksi, azatioprin diberikan selama 6 bulan. 

e. Obat lain 

Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah: 

Imunoglobulin iv 

Siklosporin 

Leflunomid 

Antibodi monoklonal 

Inhibitor komplemen 

Pemakaian obat‐obatan ini masih terbatas dan hasil pengobatan belum jelas (8,14) 

o Terapi Pemeliharaan (maintenance therapy) 

a. Siklofosfamid 

  Diberikan dengan dosis 0.75 gram iv setiap 3 bulan sampai 2 tahun 

b. Mikofenolat mofetil 

  Dosis diberikan sebanyak 1‐2 gram sehari sekurang‐kurangnya 2 tahun 

Page 8: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

8

c. Azatioprin 

  Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari sekurang‐kurangnya 2 tahun 

d. Siklosporin 

  Diberikan dengan dosis 2‐2.5 mg/kg/hari, selama 2 tahun   

Untuk mengurangi efek  samping  siklofosfamid  yang mungkin  terjadi pada pemberian untuk 

waktu yang  lama, beberapa penelitian menganjurkan pemberian Azatioprin atau mikofenolat 

mofetil setelah induksi dengan siklofosfamid.(21,22) 

Nefritis Lupus Klas V 

o Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran NL Klas V dengan Klas III atau Klas IV, 

maka terapi diberikan sesuai untuk terapi NL Klas III dan IV 

o Pada  NL  Klas  V  diberikan  prednison  dengan  dosis  1  mg/kg/hari  selama  6‐12  minggu. 

Prednison  kemudian  diturunkan  menjadi  10‐15  mg/hari  selama  1‐2  tahun.  Beberapa 

penelitian mengkombinasikan prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin, atau 

mikofenolat mofetil. 

Pengobatan  optimal  untuk  NL  Klas  V  belum  jelas,  perjalanan  klinis  dan  prognosis  sangat 

bervariasi 

Nefritis Lupus Klas VI 

Pengobatan  lebih ditujukan pada manifestasi ekstra  renal. Untuk memperlambat penurunan 

fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat 

fosfor, dan vitamin D. 

Pengobatan umum pada NL 

o Restriksi protein bila sudah terdapat gangguan fungsi ginjal 

o Pemberian ACE‐i dan ARB untuk mengurangi proteinuri 

o Mengontrol faktor‐faktor risiko dan efek samping obat 

Dislipidemia 

Hipertensi 

Sindrom antifosfolipid 

Pemberian vitamin D 

Kontol gula darah 

 

Pemantauan respon pengobatan 

Terapi  yang  efektif  dihubungkan  dengan  berkurangnya manifestasi  inflamasi,  berkurangnya  gejala 

ekstra renal, membaiknya kadar C3, C4 dan titer anti‐ds‐DNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan 

didapatkan  berkurangnya  aktivitas  sedimen  urin,  membaiknya  kadar  kreatinin  plasma,  dan 

berkurangnya proteinuri. 

Page 9: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

9

Prognosis 

Pada nefritis lupus klas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga 

dari  sisi   nefrologi  kelompok  ini memiliki prognosis  yang baik. Nefritis  lupus  klas  III dan  IV  hampir 

seluruhnya akan menimbulkan penurunan  fungsi ginjal. Pada nefritis  lupus klas  III yang keterlibatan 

glomerulus <50% akan memberikan prognosis yang  lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang 

keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus 

klas  IV yaitu buruk. Nefritis  lupus klas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati 

membranosa primer, sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat. 

 

Kesimpulan 

1. Nefritis lupus merupakan salah satu komplikasi yang cukup sering dijumpai pada LES. 

2. Kelainan histopatologi yang didapatkan dari biopsi ginjal menentukan pilihan pengobatan. 

3. Dalam pengobatan NL perlu dilakukan pemeriksaan  klinik dan  laboratorik  secara berkala untuk 

melihat keberhasilan pengobatan. 

4. Perlu pemantauan efek samping obat‐obat yang dipakai dalam pengobatan nefritis  lupus karena 

jangka waktu pengobatan relatif lama 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 10: 28.Dx Dan TX Nefritis Lupus

10

Kepustakaan 1. Wallace DJ, Hann BH, Klipel JH. Lupus Nephritis. In: Daniel JW, Bevra HH (ed), Dubois Lupus Erythematosus, 5th edition. 

Baltimore; William‐Wilkins, 1996: 1053‐1065 2. Kashgarian M. Lupus Nephritis. Pathology, Pathogenesis, Clinical Correlations, and Prognosis. In: Daniel JW, Bevra HH 

(ed), Dubois Lupus Erythematosus, 5th edition. Baltimore; William‐Wilkins, 1996:1037‐1051 3. Cameron JS. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol 1999;10:413‐424 4. Mok CC, Lan CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol 2003; 56: 481‐490. 5. Schur PH, Falk RJ, Appel GB. Overview of therapy and prognosis of Lupus Nephritis. Up to Date 2008, version 16.3 6. Ioannidis JPA, Boki KA, Katsorida ME et al. Remission, relapse, and re‐remission of proliferative lupus nephritis treated 

with cyclophosphamide. Kidney Int 2000; 57: 258‐264 7. Rose BD, Appel GB, Schur PH. Types of renal disease in systemic lupus erythematosus. Up to Date 2009, version 17.1 8. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney Int 2006; 70: 1403‐1412 9. Austin III HA, Boumpas DT, Vaughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe lupus nephritis: countribution 

of clinical and histologic data. Kidney Int 1994; 45: 544‐550 10. Cortes‐Hernandes  J,  Ordi‐Ros  J,  Iabrador  M  et  al.  Antihisto  and  anti‐double  stranded  deoxyribonuclecic  acid 

antibodies are associated with renal disease in SLE. Am J Med 2004; 116: 165‐170 11. Schur PH. Antibodies to DNA, Sm and RNP. Up to Date 2009, version 17.1 12. Tsoko GC. Exploring complement activation to develop biomarkers for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 

2004; 50: 3404‐3407 13. Weening JJ, D’Agati VG, Schwartz MM et al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus 

systemic revisited. Kidney Int 2004; 65: 521‐530 14. Schur PH, Falk RJ, Appel GB. Therapy of diffuse or severe focal proliferative or severe membranous lupus nephritis. Up 

to Date 2009, version 17.1 15. Boumpas DT, Austin  III HA, Vaughn EM et al. Controlled  trial of pulse methylprednisolone versus  two  regimens of 

pulse methylprednisolone versus  two  regimens of pulse cyclophosphamide  in severe  lupus nephritis. Lancet, 1992; 340: 741‐745 

16. Gourley MF, Austin  III HA,  Scott D  et  al. Methylprednisolone  and  cyclophosphamide,  alone  or  in  combination,  in patients with lupus nephritis. A randomized controlled trial. Ann Intern Med 1996; 125: 549‐557 

17. Chan TM, Li FK, Tang CS et al. Efficacy of mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative lupus nephritis. Hong Kong – Guangzhou Nephrology Study Group. N Engl J Med 2000; 343: 1156‐1162 

18. Chan TM, Tse KC, Tang CS et al. Long‐term study of mycophenolate mofetil as continuous induction and maintenance treatment for diffuse proliferative lupus nephritis. J Am Soc Nephrol 2005; 16: 1076‐1084 

19. Walsh M, James M, Jayne D et al. Mycophenolate mofetil for induction therapy of lupus nephritis: A systematic review and meta‐analysis. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 968‐975 

20. Grootscholtan  C,  Ligtenberg  G,  Hogen  EC  et  al.  Azathioprine/  methylprednisolone  versus  cyclophosphamide  in proliferative lupus nehpritis. A randomized controlled trial. Kidney Int 2006; 70: 732‐742 

21. Houssian FA, Vasconcelos C, D’Cruz D et al. Immunosuppressive therapy in lupus nephritis: The Euro‐Lupus Nephritis Trial, a randomized trial of low dose versus high dose intravenous cyclophosphamide. Arthritis Rheum 2002: 46: 2121‐2131 

22. Contreras G, Pardo V, Leclerg B et al. Sequential therapies for proliferative  lupus nephritis. N Engl J Med 2004; 350: 971‐980