28.dx dan tx nefritis lupus
DESCRIPTION
ipdTRANSCRIPT
1
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN NEFRITIS LUPUS
Dharmeizar
Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta
Pendahuluan
Nefritis Lupus (NL) adalah komplikasi ginjal pada Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Keterlibatan ginjal
cukup sering ditemukan, yang dibuktikan pada biopsi dan otopsi ginjal. Sebanyak 60% pasien dewasa
akan mengalami komplikasi ginjal yang nyata, walaupun pada awal LES kelainan ginjal hanya
didapatkan pada 25%‐50% kasus. Meskipun insiden dan prevalensi LES lebih tinggi pada wanita,
namun pria dengan LES mempunyai insiden yang sama dengan wanita untuk terjadinya NL.
Peningkatan risiko NL dihubungkan dengan HLA‐B8, HLA‐DR2, HLA‐DR8, HLA‐DQW1, defisiensi
komplemen seperti C1q, C2, dan C4, serta produksi Tumor Necrosis Factor (TNF) yang rendah.(1,2,3,4)
Perjalanan klinis NL sangat bervariasi dan hasil pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
lain kecepatan menegakkan dignosis, kelainan histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal, saat
mulai pengobatan, dan jenis regimen yang dipakai.(5,6)
Patogenesis
Patogenesis timbulnya LES diawali oleh adanya interaksi antara faktor predisposisi genetik dengan
faktor lingkungan, faktor hormon seks, dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor‐faktor ini
akan mempengaruhi dan mengakibatkan terjadinya respon imun yang menimbulkan peningkatan
aktifitas sel‐T dan sel‐B, sehingga terjadi peningkatan auto‐antibodi (DNA‐anti‐DNA). Sebagian dari
auto‐antibodi ini akan membentuk komplek imun bersama nukleosom (DNA‐histon), kromatin, C1q,
laminin, Ro (SS‐A), ubiquitin, dan ribosom; yang kemudian akan membentuk deposit (endapan)
sehingga terjadi kerusakan jaringan.(2,7) Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun
dengan sediaan imunofluoresen atau mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci‐
immune necrotizing glomerulonephritis.
Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan lokasi terbentuknya deposit kompleks
imun. Deposit pada mesangium dan subendotel letaknya proksimal terhadap membran basalis
glomerulus sehingga mempunyai akses dengan pembuluh darah. Deposit pada daerah ini akan
mengaktifkan komplemen yang selanjutnya akan membentuk kemoatraktan C3a dan C5a, yang
menyebabkan terjadinya influks sel netrofil dan mononuklear.
2
Deposit pada mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial,
proliferatif fokal, dan proliferatif difus, secara klinis memberikan gambaran sedimen urin yang aktif
(ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granular), proteinuri, dan sering disertai penurunan
fungsi ginjal.
Sedangkan deposit pada subepitelial juga akan mengaktifkan komplemen, tapi tidak terjadi influks sel‐
sel inflamasi, karena kemoatraktan dipisahkan oleh membran basalis glomerulus dari sirkulasi.
Sehingga jejas hanya terbatas pada sel‐sel epitel glomerulus. Secara histopatologi memberikan
gambaran nefropati membranosa, dan secara klinis hanya didapatkan proteinuri.
Tempat terbentuknya kompleks imun dihubungkan dengan karakteristik dari antigen dan antibodi (7) :
Kompleks imun yang besar atau antigen yang anionik, yang tidak dapat melewati sawar
dinding kapiler glomerulus yang juga bersifat anionik, akan diendapkan dalam mesangium dan
subendotel. Banyaknya deposit imun ini akan menentukan apakah pada pasien akan
berkembang gejala penyakit yang ringan (deposit imun pada mesangium), atau terdapat gejala
yang lebih berat (proliferatif fokal atau difus).
Hal lain yang menentukan tempat terbentuknya komplek imun dihubungkan dengan muatan
antibodi dan daerah tempat berikatan dengan antigen. Antibodi dapat berikatan dengan
antigen pada berbagai tempat di dinding kapiler sehingga menimbulkan manifestasi histologis
dan klinis yang berbeda.
Gejala Klinis
Seperti telah disebutkan sebelumnya, NL adalah komplikasi ginjal pada LES. Diagnosis LES ditegakkan
berdasarkan kriteria American Rheumatism Association yang telah dimodifikasi pada tahun 1997.
Ditemukannya 4 dari 11 kriteria mempunyai sensitivitas dan spesifisitas sebesar 96% untuk LES.
Dimana kriteria tersebut adalah berdasarkan dari 4 nomer. Tidak boleh dimasukkan dalam kriteria
tersebut dua gejala dari satu sistem, misalnya proteinuri dan peningkatan ureum kreatinin atau
anemia hemolitik dan trombositopeni. Kriteria tersebut meliputi:
1. Ruam Malar
2. Ruam Discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi mulut
5. Artritis nonerosif
6. Pleuroperikarditis
7. Gangguan ginjal
8. Kelainan susunan saraf pusat seperti psikosis dan kejang
9. Gangguan hematologik seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfopeni, dan trombositopenia
3
10. Petanda imunologik seperti antibodi anti‐DNA, anti‐Sm, dan antifosfolipid
11. Antibodi anti‐nuklear
Manifestasi kelainan ginjal berupa proteinuri yang didapatkan pada semua pasien, sindrom nefrotik
pada 45‐65% pasien, hematuria mikroskopik pada 80% pasien, gangguan tubular pada 60‐80% pasien,
hipertensi pada 15‐50% pasien, penurunan fungsi ginjal pada 40‐80% pasien dan penurunan fungsi
ginjal yang cepat pada 30% pasien.
Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan
penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien
diketahui menderita NL antara lain ras kulit hitam dan Hispanik(8), hematokrit < 26%, kreatinin serum
> 2.4 mg/dl, konsentrasi C3 < 76 mg/dl (9), adanya serebritis dan NL klas IV.(6)
Diagnosis
Adanya hematuri, proteinuri, atau sedimen urin yang patologik pada pemeriksaan urinalisis,
menunjukkan terdapatnya NL.
Diagnosis klinis NL ditegakkan bila pada pasien LES didapatkan proteinuri ≥ 500 mg/24 jam
dengan/atau hematuri (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30%.(1,3)
Proteinuri umumnya diperiksa dengan cara mengukur jumlah secara kuantitatif dengan
mengumpulkan urin selama 24 jam. Cara lain yang lebih praktis dan sekarang mulai banyak dilakukan
ialah dengan mengukur rasio protein dengan kreatinin pada sampel urin sewaktu. Pemeriksaan ini
lebih mudah dikerjakan, dan terutama diperiksa untuk menilai perubahan jumlah protein urin setelah
dilakukan pengobatan.
Klasifikasi CKD berdasarkan NKF‐DOQI adalah klasifikasi fungsi ginjal berdasarkan laju filtrasi
glomerulus pada pasien CKD. Sehingga klasifikasi CKD berdasarkan KDOQI tidak dapat dihubungkan
dengan diagnosa Lupus nephritis, contoh. Pasien NL dengan laju filtrasi glomerulus 50 ml/menit dapat
dimasukan sebagai CKD stage 3 berdasarkan klasifikasi NKF‐DOQI
Pemeriksaan tes serologik yang biasa dipakai pada pasien NL:
a. Tes ANA. Tes ini sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada pasien
dengan artritis rematoid, skleroderma, sindrom Syogren, polimiositis, dan infeksi HIV. Titer
ANA tidak mempunyai korelasi yang baik dengan berat kelainan ginjal pada LES.
b. Tes anti ds DNA (anti double‐stranded DNA), lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk LES. Tes
ini positif pada kira‐kira 75% pasien LES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan
teknik Radioimmunoassay Farr atau tehnik ELISA (Enzyme‐linked immunosorbent assay). Anti
ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.(10,11)
4
c. Pemeriksaan lain adalah antibodi anti‐ribonuklear seperti anti‐Sm dan anti‐nRNP. Antibodi
anti‐Sm meskipun sangat spesifik untuk LES, tapi hanya ditemukan pada 25% pasien lupus.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi‐anti‐Sm mempunyai hubungan dengan
peningkatan insiden penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta prognosis yang buruk.(4,11)
Antibodi anti‐nRNP ditemukan pada 35% pasien LES, juga pada penyakit‐penyakit rematologik
terutama jaringan ikat
d. Konsentrasi komplemen serum menurun pada saat fase aktif LES, terutama pada NL tipe
proliferatif. Konsentrasi C3 dan C4 serum sering sudah dibawah normal sebelum gejala lupus
bermanifestasi. Normalisasi konsentrasi komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL.
Defisiensi komplemen lain seperti C1r, C1s, C2, C3a, C5a dan C8 juga didapatkan pada LES.
Konsentrasi komplemen total kemungkinan tetap dibawah normal meskipun penyakit dalam
keadaan inaktif.(12)
Gambaran Histopatologi
Kelainan ginjal yang ditemukan pada pemeriksaan histopatologi mempunyai nilai yang sangat penting.
Gambaran ini mempunyai hubungan dengan gejala klinik yang ditemukan dan juga menentukan
pilihan pengobatan yang akan diberikan. Karena itu biopsi ginjal harus dilakukan bila tidak ditemukan
kontraindikasi.
Pada tahun 2004, The International Society of Nephrology/Renal Pathology Society membuat
klasifikasi sebagai berikut.(13)
Tabel 1 International Society of Nephrology/Renal Pathology Society (ISN/RPS) 2003
Classification of Lupus Nephritis
5
Pada beberapa keadaan diperlukan biopsi ulangan pada pasien NL. Biopsi ulangan tersebut
direkomendasikan bila terdapat(5):
a. Sindrom nefrotik yang menetap, meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat.
b. Sedimen urin aktif yang menetap (eritrosit, kristal eritrosit) meskipun telah diberikan
pengobatan yang adekuat, atau muncul kembali sedimen urin aktif setelah terjadi remisi.
c. Hasil pemeriksaan serologi tetap aktif meskipun telah diberikan terapi induksi yang adekuat.
d. Kreatinin serum yang meningkat
Pengobatan
Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil pemeriksaan histopatologi dari biopsi ginjal.
Pilihan regimen pengobatan berdasarkan gambaran histopatologi. Prinsip dasar pengobatan ialah
menekan reaksi inflamasi lupus, memperbaiki fungsi ginjal, atau setidaknya mempertahankan fungsi
ginjal agar tidak bertambah buruk. Perlu pula diperhatikan efek samping obat yang timbul karena
pengobatan NL memerlukan waktu yang relatif lama.
Bila pasien tidak mau di biopsi atau belum memungkinkan untuk di biopsi oleh karena keadaan
umumnya, atau tidak ada fasilitas untuk biopsi maka diperlukan suatu penilaian dari gejala klinis,
untuk menentukan kemungkinan kelainan histopatologinya. Beberapa gejala klinis yang dinilai adalah
sebagai berikut:
1. Jumlah proteinuri
2. Adanya hematuria
3. Adanya hipertensi
4. Adanya sindrom nefrotik
5. Gangguan fungsi ginjal
Hubungan tersebut dapat dilihat dari tabel dibawah ini:
Manifestasi Klinis
Nefritis Lupus Proteinuria Hematuria Hipertensi Sindrom Nefrotik
Gangguan Fungsi Ginjal
Kelas I 1 gr/24‐jam ‐ ‐ ‐ N
Kelas II 1‐3 gr/24‐jam ‐ ‐ ‐ N
Kelas III >3 gr/24‐jam pada 25‐35% pasien
+ + + kreatinin pada 25% pasien
Kelas IV >3 gr/24‐jam padad 50% pasien
++ ++ + kreatinin
Kelas V >3 gr/24‐jam ++ N atau
Kelas VI 1 gr/24‐jam lambat
6
Berikut pendekatan diagnostik berdasarkan klasifikasi histopatologi WHO:
Kelas Gambaran Klinis
NL kelas I Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin
NL kelas IIa Terdapat proteinuria persisten tanpa adanya kelainan pada sedimen urin
NL kelas IIb Terdapat hematuria mikroskopik dan bisa terdapat silinder lekosit/eritrosit dan/proteinuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal
NL kelas III Hematuri dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik dan penurunan fungsi ginjal
NL kelas IV Hematuria dan proteinuria ditemukan pada seluruh pasien (sindrom nefrotik akut) sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien
NL kelas V Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun
NL kelas VI Biasanya menimbulkan penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan kelainan urin yang relatif normal
Sumber: Buku Ajar, Ilmu Penyakit Dalam, jilid II ed V. Jakarta: InternaPublishing, 2010
Nefritis Lupus Klas 1
Tidak memerlukan pengobatan spesifik. Pengobatan lebih ditujukan pada gejala‐gejala ekstra
renal.
Nefritis Lupus Klas II
o Jika tidak disertai oleh proteinuria yang bermakna (>1 gram/24 jam) dan sedimen tidak
aktif, maka tidak diperlukan pengobatan yang spesifik.
o Jika disertai dengan proteinuri yang >1 gram/24 jam, titer anti‐ds‐DNA yang tinggi dan
hematuri, diberikan prednison 0.5‐1.0 mg/kg/hari selama 6‐12 minggu. Kemudian dosis
diturunkan perlahan‐lahan (5‐10 mg) tiap 1‐3 minggu dan dilakukan penyesuaian dosis
untuk menekan aktifitas lupus
Nefritis Lupus Klas III dan IV
o Terapi Induksi
Tujuan Terapi induksi adalah untuk mencapai keadaan remisi aktifitas lupus yang
ditandai oleh resolusi gejala‐gejala ekstra renal, manifestasi serologik menjadi lebih
baik, serta resolusi dari hematuri, kristal seluler, dan berkurang atau paling tidak
menetapnya konsentrasi kreatinin serum(5,14) Obat‐obat yang dipakai untuk terapi
induksi:
7
a. Pulse glukortikoid
Pada pasien dengan lupus yang sangat aktif (Acute Kidney Injury, rapidly progresive
glomerulonephritis, dan kelainan ekstra renal yang berat), diberikan pulse
metilprednisolon sebanyak 500‐1000 mg iv/hari untuk menginduksi efek anti‐
inflamasi yang cepat. Setelah 3 hari pemberian, dilanjutkan dengan prednison
dengan dosis 0.5‐1.0 mg/hari. Prednison diberikan bersama obat‐obat
imunosupresan yang lain.
b. Siklofosfamid
Siklofosfamid diberikan dengan dosis 750 mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
Diberikan bersama prednison dengan dosis 0.5 mg/kg/hari, yang kemudian
diturunkan perlahan‐lahan sampai dosis 0.25 mg/kg/hari terutama untuk
mengontrol gejala ekstra renal.(15,16)
c. Mikofenolat mofetil
Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, mikofenolat mofetil dipakai untuk terapi
induksi NL kelas III dan IV(17,18,19), terutama untuk menghindari efek samping
siklofosfamid (hipoplasia gonad, dan sistitis hemoragik). Untuk terapi induksi dosis
mikofenolat mofetil yang dianjurkan 1 gram 2x sehari diberikan sampai 6 bulan
d. Azatioprin
Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari dikombinasikan dengan prednison 0.5
mg/kg/hari.(20) Dosis prednison kemudian diturunkan perlahan‐lahan sampai 0.25
mg/kg/hari. Untuk terapi induksi, azatioprin diberikan selama 6 bulan.
e. Obat lain
Beberapa obat lain yang juga dipakai untuk induksi adalah:
Imunoglobulin iv
Siklosporin
Leflunomid
Antibodi monoklonal
Inhibitor komplemen
Pemakaian obat‐obatan ini masih terbatas dan hasil pengobatan belum jelas (8,14)
o Terapi Pemeliharaan (maintenance therapy)
a. Siklofosfamid
Diberikan dengan dosis 0.75 gram iv setiap 3 bulan sampai 2 tahun
b. Mikofenolat mofetil
Dosis diberikan sebanyak 1‐2 gram sehari sekurang‐kurangnya 2 tahun
8
c. Azatioprin
Diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari sekurang‐kurangnya 2 tahun
d. Siklosporin
Diberikan dengan dosis 2‐2.5 mg/kg/hari, selama 2 tahun
Untuk mengurangi efek samping siklofosfamid yang mungkin terjadi pada pemberian untuk
waktu yang lama, beberapa penelitian menganjurkan pemberian Azatioprin atau mikofenolat
mofetil setelah induksi dengan siklofosfamid.(21,22)
Nefritis Lupus Klas V
o Bila pada hasil biopsi ginjal didapatkan tipe campuran NL Klas V dengan Klas III atau Klas IV,
maka terapi diberikan sesuai untuk terapi NL Klas III dan IV
o Pada NL Klas V diberikan prednison dengan dosis 1 mg/kg/hari selama 6‐12 minggu.
Prednison kemudian diturunkan menjadi 10‐15 mg/hari selama 1‐2 tahun. Beberapa
penelitian mengkombinasikan prednison dengan siklosporin, klorambusil, azatioprin, atau
mikofenolat mofetil.
Pengobatan optimal untuk NL Klas V belum jelas, perjalanan klinis dan prognosis sangat
bervariasi
Nefritis Lupus Klas VI
Pengobatan lebih ditujukan pada manifestasi ekstra renal. Untuk memperlambat penurunan
fungsi ginjal dilakukan terapi suportif seperti restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat
fosfor, dan vitamin D.
Pengobatan umum pada NL
o Restriksi protein bila sudah terdapat gangguan fungsi ginjal
o Pemberian ACE‐i dan ARB untuk mengurangi proteinuri
o Mengontrol faktor‐faktor risiko dan efek samping obat
Dislipidemia
Hipertensi
Sindrom antifosfolipid
Pemberian vitamin D
Kontol gula darah
Pemantauan respon pengobatan
Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya manifestasi inflamasi, berkurangnya gejala
ekstra renal, membaiknya kadar C3, C4 dan titer anti‐ds‐DNA. Untuk kelainan ginjalnya sendiri akan
didapatkan berkurangnya aktivitas sedimen urin, membaiknya kadar kreatinin plasma, dan
berkurangnya proteinuri.
9
Prognosis
Pada nefritis lupus klas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga
dari sisi nefrologi kelompok ini memiliki prognosis yang baik. Nefritis lupus klas III dan IV hampir
seluruhnya akan menimbulkan penurunan fungsi ginjal. Pada nefritis lupus klas III yang keterlibatan
glomerulus <50% akan memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang
keterlibatan glomerulusnya >50%, dimana prognosis kelompok ini menyerupai prognosis nefritis lupus
klas IV yaitu buruk. Nefritis lupus klas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati
membranosa primer, sebagian kecil akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat.
Kesimpulan
1. Nefritis lupus merupakan salah satu komplikasi yang cukup sering dijumpai pada LES.
2. Kelainan histopatologi yang didapatkan dari biopsi ginjal menentukan pilihan pengobatan.
3. Dalam pengobatan NL perlu dilakukan pemeriksaan klinik dan laboratorik secara berkala untuk
melihat keberhasilan pengobatan.
4. Perlu pemantauan efek samping obat‐obat yang dipakai dalam pengobatan nefritis lupus karena
jangka waktu pengobatan relatif lama
10
Kepustakaan 1. Wallace DJ, Hann BH, Klipel JH. Lupus Nephritis. In: Daniel JW, Bevra HH (ed), Dubois Lupus Erythematosus, 5th edition.
Baltimore; William‐Wilkins, 1996: 1053‐1065 2. Kashgarian M. Lupus Nephritis. Pathology, Pathogenesis, Clinical Correlations, and Prognosis. In: Daniel JW, Bevra HH
(ed), Dubois Lupus Erythematosus, 5th edition. Baltimore; William‐Wilkins, 1996:1037‐1051 3. Cameron JS. Lupus Nephritis. J Am Soc Nephrol 1999;10:413‐424 4. Mok CC, Lan CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol 2003; 56: 481‐490. 5. Schur PH, Falk RJ, Appel GB. Overview of therapy and prognosis of Lupus Nephritis. Up to Date 2008, version 16.3 6. Ioannidis JPA, Boki KA, Katsorida ME et al. Remission, relapse, and re‐remission of proliferative lupus nephritis treated
with cyclophosphamide. Kidney Int 2000; 57: 258‐264 7. Rose BD, Appel GB, Schur PH. Types of renal disease in systemic lupus erythematosus. Up to Date 2009, version 17.1 8. Waldman M, Appel GB. Update on the treatment of lupus nephritis. Kidney Int 2006; 70: 1403‐1412 9. Austin III HA, Boumpas DT, Vaughan EM, Balow JE. Predicting renal outcomes in severe lupus nephritis: countribution
of clinical and histologic data. Kidney Int 1994; 45: 544‐550 10. Cortes‐Hernandes J, Ordi‐Ros J, Iabrador M et al. Antihisto and anti‐double stranded deoxyribonuclecic acid
antibodies are associated with renal disease in SLE. Am J Med 2004; 116: 165‐170 11. Schur PH. Antibodies to DNA, Sm and RNP. Up to Date 2009, version 17.1 12. Tsoko GC. Exploring complement activation to develop biomarkers for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum
2004; 50: 3404‐3407 13. Weening JJ, D’Agati VG, Schwartz MM et al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus
systemic revisited. Kidney Int 2004; 65: 521‐530 14. Schur PH, Falk RJ, Appel GB. Therapy of diffuse or severe focal proliferative or severe membranous lupus nephritis. Up
to Date 2009, version 17.1 15. Boumpas DT, Austin III HA, Vaughn EM et al. Controlled trial of pulse methylprednisolone versus two regimens of
pulse methylprednisolone versus two regimens of pulse cyclophosphamide in severe lupus nephritis. Lancet, 1992; 340: 741‐745
16. Gourley MF, Austin III HA, Scott D et al. Methylprednisolone and cyclophosphamide, alone or in combination, in patients with lupus nephritis. A randomized controlled trial. Ann Intern Med 1996; 125: 549‐557
17. Chan TM, Li FK, Tang CS et al. Efficacy of mycophenolate mofetil in patients with diffuse proliferative lupus nephritis. Hong Kong – Guangzhou Nephrology Study Group. N Engl J Med 2000; 343: 1156‐1162
18. Chan TM, Tse KC, Tang CS et al. Long‐term study of mycophenolate mofetil as continuous induction and maintenance treatment for diffuse proliferative lupus nephritis. J Am Soc Nephrol 2005; 16: 1076‐1084
19. Walsh M, James M, Jayne D et al. Mycophenolate mofetil for induction therapy of lupus nephritis: A systematic review and meta‐analysis. Clin J Am Soc Nephrol 2007; 2: 968‐975
20. Grootscholtan C, Ligtenberg G, Hogen EC et al. Azathioprine/ methylprednisolone versus cyclophosphamide in proliferative lupus nehpritis. A randomized controlled trial. Kidney Int 2006; 70: 732‐742
21. Houssian FA, Vasconcelos C, D’Cruz D et al. Immunosuppressive therapy in lupus nephritis: The Euro‐Lupus Nephritis Trial, a randomized trial of low dose versus high dose intravenous cyclophosphamide. Arthritis Rheum 2002: 46: 2121‐2131
22. Contreras G, Pardo V, Leclerg B et al. Sequential therapies for proliferative lupus nephritis. N Engl J Med 2004; 350: 971‐980