22.isk pada perempuan

14
1 SASARAN PEMBELAJARAN 1. Mengetahui definisi ISK 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gejala klinik, hasil pemeriksaan urinalisis dan mikrobiologik pada ISK perempuan 3. Mengetahui pola ISK yang sering terjadi pada perempuan dan pendekatan diagnosis dan terapinya 4. Mengetahui pendekatan umum terapi ISK pada perempuan INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PEREMPUAN I Gde Raka Widiana Divisi Ginjal & Hipertensi Lab. Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar ________________________________________________________________________ ABSTRAK Infeksi saluran kemih umumnya didefinisikan bila dijumpai koloni kuman 10 5 atau lebih dari biakan contoh urin porsi tengah (mid-stream). Namun, pengambilan contoh urin perlu diperhatikan pada ISK perempuan dengan cara melakukan toilet vulva sebelum pengambilan contoh urin, agar tidak menghasilkan nilai potitif palsu. Piuria merupakan petunjuk penting adanya ISK, namun, piuria negatif palsu dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan bakteriuria asimtomatik tidak perlu diobati kecuali pada perempuan hamil. ISK berulang sering dijumpai pada perempuan yang berkaitan dengan struktur anatomi saluran kemih serta keasaman vagina. Terapi antibiotika ISK pada perempuan dapat dilakukan dengan dosis tunggal, terapi konvensional dan terapi jangka panjang, dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor klinik, epidemiologi dan mikrobiologi. PENDAHULUAN ISK merupakan morbiditas yang cukup tinggi pada masyarakat dan pasien di rumah sakit. Berbagai kuman etiologi ISK dilaporkan dari berbagai negara dengan beberapa variasi kliniknya. Di Amerika, Bakteri patogen E.coli menyebabkan ISK sederhana pada sebagian besar (80%) kasus dan sekitar 40% ISK terkomplikasi (Heesemann et al., 2002). Penelitian yang dilakukan di Iran melaporkan bahwa 68% pasien ISK pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh E.coli (Dorcheh et al., 2005). Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 16 dari 47 kasus pielonefritis empisematus disebabkan oleh strain E.coli (Huang et al., 2005). Di Indonesia, penyebab ISK tersering juga kuman gram negatif. Penelitian di Semarang melaporkan bahwa penyebab ISK terbanyak adalah E. coli sebanyak 45,3% kemudian diikuti oleh Enterobacter sebanyak 31,6% (Lestariningsih et al., 2000).

Upload: hutomorezky

Post on 27-Nov-2015

60 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ipd

TRANSCRIPT

Page 1: 22.ISK Pada Perempuan

1

SASARAN PEMBELAJARAN

1. Mengetahui definisi ISK 2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi gejala klinik, hasil pemeriksaan

urinalisis dan mikrobiologik pada ISK perempuan 3. Mengetahui pola ISK yang sering terjadi pada perempuan dan pendekatan

diagnosis dan terapinya 4. Mengetahui pendekatan umum terapi ISK pada perempuan

INFEKSI SALURAN KEMIH PADA PEREMPUAN

I Gde Raka Widiana Divisi Ginjal & Hipertensi Lab. Penyakit Dalam FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar ________________________________________________________________________ ABSTRAK

Infeksi saluran kemih umumnya didefinisikan bila dijumpai koloni kuman 105

atau lebih dari biakan contoh urin porsi tengah (mid-stream). Namun, pengambilan contoh urin perlu diperhatikan pada ISK perempuan dengan cara melakukan toilet vulva sebelum pengambilan contoh urin, agar tidak menghasilkan nilai potitif palsu. Piuria merupakan petunjuk penting adanya ISK, namun, piuria negatif palsu dapat terjadi pada beberapa keadaan. Keadaan bakteriuria asimtomatik tidak perlu diobati kecuali pada perempuan hamil. ISK berulang sering dijumpai pada perempuan yang berkaitan dengan struktur anatomi saluran kemih serta keasaman vagina. Terapi antibiotika ISK pada perempuan dapat dilakukan dengan dosis tunggal, terapi konvensional dan terapi jangka panjang, dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai faktor klinik, epidemiologi dan mikrobiologi. PENDAHULUAN

ISK merupakan morbiditas yang cukup tinggi pada masyarakat dan pasien di rumah sakit. Berbagai kuman etiologi ISK dilaporkan dari berbagai negara dengan beberapa variasi kliniknya. Di Amerika, Bakteri patogen E.coli menyebabkan ISK sederhana pada sebagian besar (80%) kasus dan sekitar 40% ISK terkomplikasi (Heesemann et al., 2002). Penelitian yang dilakukan di Iran melaporkan bahwa 68% pasien ISK pada bayi dan anak-anak disebabkan oleh E.coli (Dorcheh et al., 2005). Penelitian di Taiwan mendapatkan bahwa 16 dari 47 kasus pielonefritis empisematus disebabkan oleh strain E.coli (Huang et al., 2005).

Di Indonesia, penyebab ISK tersering juga kuman gram negatif. Penelitian di Semarang melaporkan bahwa penyebab ISK terbanyak adalah E. coli sebanyak 45,3% kemudian diikuti oleh Enterobacter sebanyak 31,6% (Lestariningsih et al., 2000).

Page 2: 22.ISK Pada Perempuan

2

Sedangkan penelitian yang dilakukan di Surabaya melaporkan penyebab ISK tersering adalah bakteri gram negatif E. coli 31,85% (Kuntaman, 2002). Penelitian di Denpasar mendapatkan penyebab tersering ISK komplikata pada pasien batu ginjal adalah bakteri gram negatif (Sudhana, 2003). Dari 722 hasil biakan kuman urin Iswari et al. (2005) melaporkan bakteri gram negatif 64%, bakteri gram positif 24,8%, yeast 4,8%, tidak ada pertumbuhan 6,2%. Spesies kuman yang dilaporkan sebagai berikut: E. coli 181 (25,1%), Enterobacter sp 150 (20,8%), Psedumonas sp 51 (7,1%), Klebsiella sp 46 (6,4%), Proteus sp 17 (2,4%), Seratia sp 16 (2,2%), Salmonella 1 (0,1%), Staph. aureus 78 (10,8%), Staph. coagulase-negatif 39 (5,4%), S viridans 22 (3%), Strep. beta-hemolytic group A11 (1,5%).

Pola kuman penyebab ISK dan kepekaannya terhadap antibiotika pada DM agak berbeda. Untuk menentukan prevalensi ISK pada DM, Arywijaya (2007) melakukan studi penelitian potong lintang pada penderita DM berusia 12 tahun keatas yang dirawat inap kurang dari 3 hari di RSUP dengan menggunakan sampel urin yang diambil melalui pungsi suprapubik. Dari 100 orang sampel didapatkan 36 kasus ISK( 36%) yang terdiri dari ISK atas 9 ( 9%), ISK bawah 2 (2%) , bakteriuria asimtomatik 25 ( 25%). Jenis kuman yang didapatkan berturut-turut adalah E. coli 11%, S. epidermidis 10% S. aureus 4%, E. zakazakii , dan S. marcescens,C. albican masing-masing 2%, S. coagulase, S. liquyacians, E. cloaceae, E. hapniae, C. violaleum masing-masing 1%. Sensitivitas kuman terhadap antibiotika secara total didapatkan: imipenem 23%, amoxiclav 20%, ceftazidin 19%, gentamisin 19%, cefoxitin 17%, piperacillin/ tazobactam 14%, sulphamethoxazol, ofloxasin , ceftriaxon masing-masing 13%, cefuroxime 12%, cifroploxasin 11%, ampicilin, linezolide masing-masing 6%, vancomisin 4%, cephazolin, cefoperazone-sulbactam masing-masing 3%, meticilin, cefoperazone, erithromisin, amoxillin, oxacilin masing-masing 1%. ISI Definisi

ISK didefinisikan bila dijumpai pertumbuhan kuman dalam jumlah bermakna dalam urin. Adapun kriteria (mid-stream) menyatakan hitung bakteri positif bila (Raharjo1999): > 100.000 kuman/ml dari 2 biakan urin porsi tengah yang dilakukan secara berturut-turut atau > 100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah disertai lekosit >10 /ml tanpa sentrifuse atau > 100.000 kuman/ml dari 1 biakan urin porsi tengah disertai gejala klinis ISK atau > 10.000 kuman /ml urin kateter atau berapapun kuman dari urin aspirasi suprapubik. Beberapa hal perlu diperhatikan pada pengambilan contoh urin untuk biakan. Pertumbuhan kuman fase stasioner maksimum dalam kandung kemih dapat dicapai setelah periode tanpa pengosongan. Jadi biakan urin harus diambil setelah “inkubasi” kuman dalam kandung kemih selama satu malam. Beberapa faktor seperti diuresis, kencing berulang, pemberian antibiotika, infeksi organisme yang sangat sulit tumbuh (fastidius) dan infeksi ekstraluminal akan menurunkan penemuan bakteria dalam biakan. Diagnosis bakteriuria asimtomatik pada perempuan dapat 95% dipercaya bila hasil biakan urin positif ≥ 105 CFU/ml dua kali berturut-turut. Pada laki-laki hasil kultur positif sekali saja sudah cukup. Hasil biakan lebih dari satu kuman sulit diinterpretasikan.

Page 3: 22.ISK Pada Perempuan

3

Biakan campuran itu sering menunjukkan kontaminasi, karena infeksi campuran jarang terjadi, kecuali pada batu saluran kemih, benda asing atau pemakaian kateter (Graham & Galloway, 2001; Ronald & Nicolle, 2007) Pada perempuan, pengambilan contoh urin porsi tengah ini memerlukan perhatian khusus. Toilet vulva dilakukan sebelum pengambilan contoh urin dengan pembilasan secukupnya, agar kontaminasi kuman disekitar vagina dan daerah perineum tidak menghasilkan nilai positif palsu. Adanya piuria merupakan manifestasi respon inang (host) terhadap infeksi. Infeksi di ginjal ditandai dengan hitung leukosit yang tinggi dibandingkan infeksi kandung kemih. Leukosit ini mengalami disintegrasi pada pH urin alkali sehingga menyebabkan piuria negatif palsu. Hal ini terjadi pada infeksi yang disebabkan oleh kuman penghasil urease. Selain itu, keadaan netropenia pada pasien ISK simtomatik menyebabkan piuria negatif (Ronald & Nicolle, 2007). Klasifikasi ISK

Tidak semua ISK memenuhi syarat bakteriologik di atas. Keadaan bakteriuria

dapat dijumpai pada kasus dengan terapi antibiotika, ISK bagian atas (pielonefritis), ISK dengan obstruksi saluran kemih total, ISK dengan urin pekat (hiperosmolar) atau ISK dengan kadar urea urin yang tinggi atau dengan pH urin rendah (asam).

Berdasarkan lokasinya ISK dapat dibagi 2: 1) ISK bawah (lower urinary tract infection), terdiri dari uretritis, dan sistitis dan 2) ISK atas (upper urinary tract infection), terdiri dari ureteritis dan pielonefritis. Berdasarkan penetrasi kuman ISK dapat dibagi 2: 1) ISK sederhana atau superfisial (ISK Bawah), misalnya sistitis sederhana dan 2) ISK dengan invasi kuman ke jaringan dalam (profunda) / ISK Atas, misalnya pielonefritis (Rubin et al, 1992).

Secara klinik, ISK dapat diklasifikasikan menjadi: 1) ISK tak berkomplikasi, dijumpai pada keadaan saluran kemih dan fungsi ginjal normal dan 2) ISK komplikata, dijumpai pada pria dengan keadaan saluran kemih abnormal misalnya batu saluran kemih, refluks vesikoureteral, sikatriks ginjal, obstruksi, paraplegiax, atonia vesika, kateterisasi kontinyu, prostatitis kronik, kelainan daya tahan tubuh seperti netropenia, terapi imunosupresif, diabetes mellitus dan gangguan fungsi ginjal (Rubin et al., 1992).

Berdasarkan ada tidaknya gejala, ISK dapat dibagi menjadi: 1) ISK simtomatik (sindroma disuria-frekuensi, sistitis bakterial, sisitis abakterial, pieloferitis akuta) dan 2) ISK asimtomatik (Rubin et al., 1992). Etiologi ISK

ISK dapat disebabkan oleh kuman yang didapat dimasyarakat (community

acquired) atau yang didapat dari rumah sakit (hospital acquired). ISK oleh kuman rumah sakit sering menyerang penderita yang mengalami imunodefisiensi seperti penderita diabetes atau yang mendapat terapi imunosupresi. ISK ini sering menimbulkan komplikasi berat dan kebal terhadap antibiotika konvensional. Spektrum kuman penyebab ISK berbeda antara infeksi masyarakat dan infeksi rumah sakit, walaupun pada kedua jenis infeksi ini E. coli merupakan penyebab utama. Sekitar 90% ISK masyarakat dan sekitar 50% ISK rumah sakit disebabkan oleh E. coli. Ada beberapa jenis kuman

Page 4: 22.ISK Pada Perempuan

4

sebagai penyebab ISK, penyebab terbanyak adalah bakteri gram negatif, yang termasuk golongan family enterobacteriaceae yang biasanya merupakan flora normal usus. Penyebab kuman gram negatif tersering masih ditempati oleh E. coli 50-90%, kemudian diikuti organisme lain sperti Klebsiella atau enterobacter 10-40%, Proteus margonella atau providencia 5-10%, pseudomonas aeroginosa 2-10%, Staphylococcus epidermidis 2-10%, Enterococcus 2-10%, Candida albican 1-2 %, Staphylococcus aureus 1-2%. Jenis kokus gram positif jarang menyebabkan ISK sedangkan enterokokus dan Staphyllococcus aureus sering ditemukan pada pasien dengan batu saluran kemih, laki - laki usia lanjut dengan hipertrofi prostat atau pada pasien yang menggunakan kateter. Bila ditemukan Staphylococcus aureus dalam urin harus dicurigai adanya infeksi hematogen melalui ginjal. Demikian juga dengan pseudomonas aeroginosa dapat menginfeksi saluran kemih secara hematogen, dan kira-kira 25% pasien demam tifoid dapat diisolasi kuman salmonella pada urin (Warren, 1996; Rubin, 2004; Hooton, 2003). Pada perempuan ISK yang paling sering dijumpai adalah sistitis sederhana dan ISK berulang. ISK berulang sering merupakan masalah klinik yang dikeluhkan kepada dokter. Uretra perempuan bagian distal dan vagina sering dihuni oleh bakteri anaerob, terbukti dari bakteri anaerob yang ditemukan dalam urin merupakan penyebab ISK. Oleh karena itu contoh urin yang dipakai sebaiknya diambil dengan aspirasi suprapubik. Virus sering juga ditemukan pada urin, seperti virus adenovirus tipe 11 dan 12 yang diduga sebagai penyebab sistitis hemoragik. Jamur juga sering menyebabkan ISK pada pasien dengan kateter, penderita kencing manis atau pasien dengan pengobatan antibiotika spektrum luas. Infeksi jamur yang tersering adalah Candida albicans dan Candida tropicalis. Jamur yang bersifat sistemik dapat menyebar kesaluran kemih secara hematogen (Warren, 1996; Stamm, 2005; Hooton, 2003.)

ISK pada perempuan dapat dimulai dengan kolonisasi kuman pada uretra distal. Koloni kuman ini berasal dari kuman yang menghuni usus dan kulit disekitar anus. Perkembang-biakan kuman ini dipengaruhi oleh keseimbangan antara daya tahan pejamu (host) dan patogenitas /virulensi kuman. Kuman E. coli, memiliki strain yang nefritogenik, yakni memiliki kemampuan untuk menginvasi ginjal (Donnenberg & Welch, 1996). Kemampuan ini disebabkan karena strain E.coli ini memiliki antigen K yang dapat menghambat fagositosis dan menghancurkan komplemen. Selain itu, E.coli mempunyai beberapa faktor virulensi yakni Fimbriae/pili yang berperan dalam adhesi dan kolonisasi, enterotoksin yang bersifat toksik terhadap sel pada biakan jaringan dan hemolisin yang mampu melisiskan sel inang (Rubin, 2004)

Daya tahan perempuan terhadap ISK ditentukan oleh antibodi lokal dan imunitas sistemik. Komplemen, lisosim, dan antibodi lokal berperan dalam bakteriolisis kuman gram negatif. Faktor trauma, yakni mikrotrauma selama hubungan kelamin (coitus), faktor lokal dari air seni, seperti pH yang rendah, kadar urea urin tinggi, sekret prostat dan leukosit urin menghambat infeksi. Pada perempuan, penggunaan alat kontrasepsi seperti IUD dan diafragma dapat merubah flora vagina dan mempermudah penyebaran flora usus ke saluran kemih (Bailey, 1987).

Sebagian besar (90%) ISK pada perempuan menyebar secara asenden, melalui kolom air kemih atau mukosa saluran kemih, dan sebagian kecil (5%) menyebar secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ekstensi misalnya pada pielonefritis kronis dapat menyebabkan gangguan fungsi ginjal sampai gagal ginjal dan kerusakan strutur berupa deformitas sistem pelvikokaliseal. Infeksi berat dapat menyebar secara sistemik berupa

Page 5: 22.ISK Pada Perempuan

5

sepsis. Faktor predisposisi ISK meliputi kehamilan, obstruksi atau kelainan anatomis saluran kemih, disfungsi kandung kemih, misalnya atonis vesika, refluks vesikoureteral, diabetes mellitus, benda asing seperti batu saluran kemih, atau kateter (Rubin et al, 1992).

Sistitis ditandai dengan gejala disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik. ISK akut sering disertai dengan piuria, hematuria dan edema muara uretra. Nyeri ketok angulus kostavertebra menandai pielonefritis akut yang pada kasus berat dapat disertai demam dan sepsis. ISK sering menyertai kelainan penyerta seperti batu atau tumor. Pada keadaan ini gejala dari kelainan penyerta seperti nyeri kolik atau obstruksi ginjal menjadi lebih dominan.

Pemeriksaan laboratorium yang penting dilakukan adalah urinalisis dari contoh urin porsi tengah. Kelainan yang perlu diperhatikan adalah adanya leukosituria, hematuria dan bakteriuria. Biakan kuman dan jumlah koloni kuman dalam urin serta uji kepekaan kuman perlu dilakukan untuk penderita yang secara klinik menunjukkan ISK dan/atau dijumpai leukosituria (>10/lapang pandang). Pemeriksaan radiologis perlu dilakukan bila dicurigai adanya kelainan penyerta seperti obstruksi saluran kemih. Dengan pemeriksaan BNO dan IVP, pada pielonefritis kronika dijumpai kelainan berupa deformitas sistem kalises, dan gambaran clubbing (bentuk gada) dari sistem pelvikokaliseal. Refluks vesikoureteral dapat ditegakkan dengan gambaran IVP pascamiksi. USG ginjal perlu dilakukan bila dicurigai adanya pielonefritis, ISK dengan batu saluran kemih atau ISK dengan gangguan fungsi ginjal adalah eptisemia, batu struvit dan gagal ginjal kronik.

Prinsip pengobatan penderita ISK adalah untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, sehingga morbiditas dapat dihilangkan atau dikurangi. Pola penatalaksanaan sangat ditentukan dengan kondisi pasien dan jenis serta kepekaan kuman secara empirik. Berikut ini diuraikan penatalaksanaan dari berbagai kondisi ISK. Pendekatan Umum pada Terapi ISK pada perempuan Pertimbangan terapi ISK berdasarkan: 1) Jumlah dan jenis kuman dari kultur kuman; 2) Uji sensitivitas kuman; 3) Faktor predisposisi; 4) Follow-up kultur kuman pasca terapi. Relaps setelah terapi didefinisikan bila kultur kembali positif dalam 14 hari setelah terapi oleh jenis kuman yang sama. Reinfeksi didefinisikan bila kultur kuman kembali positif beberapa minggu setelah terapi dihentikan oleh kuman yang berbeda; 5) Apakah infeksi di masyarakat atau di rumah sakit. Pendekatan terapi yang bisa dipakai adalah

Page 6: 22.ISK Pada Perempuan

6

A.Terapi ISK simtomatik baru (Rubin et al, 1992) Obati dengan antibiotoka dosis tunggal Follow-up 14 hari kemudian Berhasil Gagal Infeksi rekuren Infeksi resisten Infeksi peka Profilaksis dosis rendah Berhasil antibiotika dosis tunggal yang peka

Gagal Antibiotika dosis tinggi 4-6 minggu

B. Terapi sindroma disuria-frekuensi (Stamn et al, 1981; Rubin et al, 1992) Obati dengan antibiotika dosis tunggal Follow-up 4-7 hari kemudian Berhasil Gagal (asimtomatik) (simtomatik) Kultur urin sedimen urin dan kultur urin Negatif Positif Keduanya negatif piuria tanpa bakteriuria

dengan/tanpa piuria

Stop terapi Terapi 10 hari Observasi, terapi analgetika Terapi anti klamidia Penjelasan: Terapi antibiotika dosis tunggal digunakan pada ISK akut tak berkomplikasi dengan

amoksisilin 2-9 g oral atau kotrimoksazol 960 mg oral atau kanamisin 1-2 g intramuskuler.

Terapi selama 7-14 hari (rerata 10 hari) disebut terapi konvensional Terapi anti klamidia menggunakan doksisiklin atau golongan sulfonamida atau

golongan aritromisin (azitromisin) selama 7-14 hari. Terapi jangka panjang selama 4-6 minggu menggunakan antibiotika lebih baru seperti

asam klavulanat, derivat kuinolon (siprofloksasin atau ofloksasin) dan derivat

Page 7: 22.ISK Pada Perempuan

7

sefalosporin (sefotaksim atau seftriakson) digunakan untuk ISK dengan invasi kuman ke jaringan profunda seperti pielonefritis.

Terapi profilaksis digunakan pada ISK berulang pada perempuan. ISK berulang didefinisikan sebagai ISK yang terjadi sedikitnya 3 episode dalam 6 bulan terakhir. Terapi profilaksis menggunakan kotrimoksazol dosis rendah selama setahun, misalnya mula-mula diberikan malam hari setiap 2 hari 2 tablet, kemudian 3 kali seminggu, kemudian hanya setelah melakukan hubungan kelamin.

Untuk pielonefritis diberikan terapi agresif dengan antibiotika lebih baru jangka panjang (4-6 minggu), dan dengan kontrol lebih ketat, lihat gambar 1 dan tabel 1.

Untuk prostatitis diberikan terapi antibiotika yang larut dalam lemak (lipid soluble) seperti rifampisin, trimetoprim, minosiklin, atau aminoglikosida, lihat terapi ISK pada laki-laki (Wiseman & Balfour, 1994).

Infeksi jamur dan infeksi mikobakterium jarang terjadi. Infeksi ini dapat diobati dengan anti-jamur (ampoterisin B) atau anti-tuberkulosis (rifampisin).

Untuk penderita dengan faktor predisposisi, terapi ISK harus disertai dengan usaha mengatasi kelainan yang menyertai. Batu ginjal yang sering disertai dengan pielonefrtitis sebaiknya diangkat dengan tindakan urologik. Penggunaan kateter jangka lama sebaiknya dilakukan penggantian berkala setiap 5-7 hari. Penderita dengan atonia vesika hendaknya dapat melakukan kateterisasi berkala mandiri. Pada manula wanita ISK rekuren dengan atropi vagina, dianjurkan pemberian terapi substitusi hormonal (Wiseman & Balfour, 1994).

Page 8: 22.ISK Pada Perempuan

8

Kriteria Diagnostik Pielonefritis Riwayat, nyeri pinggang, febris, disuria Piuria dan bakteriuria Tak ada diagnosis lain

Gejala ringan Gejala sedang/berat Diagnosis tak jelas Pasien hamil

1. MRS untuk observasi 2. Kultur darah dan urin, kreatinin

serum 3. Cairan IV 4. Terapi parenteral (tabel 1)

1. Pertimbangkan terapi oral 2. Kultur urin 3. Kotrimoksazol (160/800) atau 2 hari sekali 4. Evaluasi 48-72jam

Ada respon dalam 72 jam (95%) 1. Evaluasi hasil kultur dan kepekaan 2. Pulang dengan terapi oral 3. Lanjutkan terapi selama 2 minggu

Tak ada respon dalam 72 jam (5%) Pikirkan infeksi terkomplikasi atau misdiagnosis: 1. Pemeriksaan radiologik organ

a. Obstruksi b. Supurasi c. Kalkuli d. Nekrosis papilaris

2. Pikirkan diagnosis lain 3. Evaluasi kultur awal 4. Ulang kultur 5. Bila tak ditemukan diagnosis lain teruskan terapi

Follow-up 1 minggu dan 4 minggu pasca terapi dengan kultur urin

Gambar 1. Manajemen Pielonerfritis (Ronald & Nicolle, 2007)

Page 9: 22.ISK Pada Perempuan

9

Tabel 1. Daftar obat untuk pielonefritis dengan fungsi ginjal normal (Ronald & Nicolle, 2007)

Terapi parenteral Standar

Ampisilin 1 g setiap 4-6 jam plus aminoglikosida (gentamisin, tobramisin, atau netilmisin 1,5 mg/kg setiap 8 jam atau 3-5 mg/kg q24j, atau amikasin 5 mg/kg setiap 8 jam atau 15 mg/kg q24j)

Aletrnatif Cefotaxim, 1g setiap 8 jam Ceftriakson 1g q12-24j Ceftazidim 1g q8-12 j Ceftizoxim 1g q8-12j Aztreonam 1g setiap 8 jam Piperacillin-tazobactam, IV 3,375 setiap 8 jam Tikarsilin-klavulonat 3g 3g/100mg q4h Ampisilin-sulbactam 2g/0,5-1,0g setiap 6 jam Piperasilin 2g setiap 6 jam plus aminoglikosida Ciprofloksasin 400 mg IV q12j Ofloksasin 200-400 mg IV q12j Lefofloksasin 500 mg-1g sekali sehari Gatifloksasin 400 mg sekali sehari Meropenem 500 mg-1g setiap 8 jam Ertapenem 1g sekali sehari

Terapi oral Standar

Amoksisilin 500 mg tid Kotromokzasol 1600/800 dua kali sehari Trimetroprin 100 mg dua kali sehari Sefaleksin 500 mg qid Norfloksasin 400 mg dua kali sehari Siprofloksasin 500 mg dua kali sehari

Alternatif Amoksisilin-klavulonat 500 tid atau 850 mg dua kali sehari Sefuroksim axetil 500 dua kali sehari Ofloksasin 400 dua kali sehari Lomefloksasin 400 sekali sehari Levofloksasin 500 mg sekali sehari Gatifloksasin 400 sekali sehari

Page 10: 22.ISK Pada Perempuan

10

Penyakit sistemik Diabetes mellitus Netrofenia Terapi imunosupresi Cangkok ginjal Renal insufisiensi Kelainan struktural saluran kemih Kelainan kongenital (obstruksi dan stasis) Obstruksi yang didapat (pelvokaliseal, ureteral, urethral) Kandung kemih neurogenik Pemakaian kateter (kontinyu atau intermiten) Vesikokel Divertikula kandung kemih Kista ginjal Batu ginjal Atrofi dan gangguan fungsi ginjal

Tabel 2. Kelainan yang berkaitan dengan ISK komplikata (Ronald & Nicolle, 2007) Sistitis sederhana akut pada wanita muda Sepertiga bakteri penyebab sistitis sederhana akut telah resisten terhadap ampisilin dan sulfonamid (Hooton, 2003). Penelitian lain juga melaporkan bahwa suseptibilitas terbesar didapatkan dari trimetoprim-sulfametoksazol (80-95%) dan florokuinolon (95%). Hal ini memperkuat pandangan bahwa pada sistitis sederhana akut digunakan trimetoprim-sulfametoksazol sebagai pilihan pertama pengobatan (Hooton, 2003; Rubin, 1999). Trimetoprim-sulfametoksazol diberikan dengan dosis dua kali sehari selama tiga hari peroral. Gabungan antibiotika ini merupakan pilihan pertama pengobatan juga dapat digunakan pada ibu hamil. Pilihan lain dapat digunakan hanya trimethoprim 100 mg dua kali sehari selama tiga hari. Sedangkan untuk golongan florokuinolon pilihan obatnya adalah siprofloksasin dua kali 100-250 mg selama tiga hari, ofloksasin dua kali 200 mg sehari selama tiga hari,dan levofloksasin 250 mg sehari selama tiga hari. Keuntungan pengobatan selama tiga hari adalah menghindari transmisi rektal dari bakteri gram negatif dan mengurangi angka kekambuhan penyakit (Hooton 2003; Rubin 1999). Pengobatan jangka pendek dapat dilakukan dengan dosis tunggal. Pada penelitian dengan dosis amoksisilin 3 gram, 400mg trimetoprim, dua atau tiga tablet trimetoprim – sulfametoksazol, 800 mg norfloksasin, 125 mg siprofloksasin, dan 200 mg ofloksasin terbukti efektif dengan kesembuhan 80-90%. Keuntungan dari pengobatan dosis tunggal ini adalah lebih murah (Orenstein et al., 1999) Sistitis berulang pada wanita Pada sistitis yang berulang sering mengakibatkan kesulitan didalam pengobatan primernya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 20% wanita muda dengan sisititis akut berkembang menjadi sistitis berulang. Pada keadaan ini uropatogen penyebab harus dapat diidentifikasi dengan kultur urin untuk membedakan antara relaps

Page 11: 22.ISK Pada Perempuan

11

dan reinfeksi. Didapatkan 80% reinfeksi lebih sering dibandingkan dengan relaps (Orenstein et al., 1999). Dikatakan sisititis berulang apabila wanita mendapatkan ISK lebih dari tiga kali dalam setahun atau dua atau lebih dalam 6 bulan yang ditunjukkan dengan hasil biakan urine. Pada wanita ini disarankan untuk mengubah kebiasaannya seperti minum banyak, miksi pasca senggama, mengganti kontrasepsi spermaticide ( Hooton, 2003). Apabila dengan cara ini gagal, dianjurkan dengan pengobatan antimikroba. Pengobatan yang diberikan dapat berupa pengobatan serangan akut dengan terapi standar dan pengobatan profilaksis pasca senggama. Terapi antibiotika profilaksis sangat efektif untuk menurunkan kekambuhan ISK pada wanita. ISK pasca senggama diterapi dengan pengobatan profilaksis dosis tunggal antibiotika standar selama enam bulan. Pada penelitian jangka panjang menyebutkan bahwa antimikroba standar seperti trimetoprim-sulfametoksazol efektif sebagai profilaksis sampai lima tahun serta tidak menimbulkan pola resisten baru dan telah terbukti menurunkan angka morbiditas ISK ( Hooton, 2003; Orenstein et al., 1999 ). Pielonefritis akut Prinsip penanganan penderita dengan pielonefritis sederhana akut pertama kali adalah menentukan apakah penderita memerlukan perawatan di rumah sakit dengan pemberian antibiotika parenteral atau cukup dengan pemberian oral saja, lihat gambar 1. Indikasi penderita dirawat di rumah sakit bila terdapat ketidakmampuan untuk mempertahankan hidrasi oral atau minum obat dan pada penyaki berat disertai dengan demam dan nyeri yang hebat (Ronald & Nicolle, 2007; Hooton, 2003). Pemberian antibiotika oral biasanya pada kasus pielonefritis sederhana akut yang ringan sampai sedang. Pada pemberian oral yang harus diperhatikan adanya resistensi yang sangat tinggi terhadap trimetoprim-sulfametoksazol yaitu sebesar 15%. Sehingga pilihan utama terapi oral untuk pielonefritis sederhana akut adalah golongan kuinolon, selengkapnya lihat tabel 1 (Ronald & Nicolle, 2007; Hooton, 2003). Apabila dalam 72 jam terapi terdapat perbaikan maka pemberian terapi parenteral dapat diganti dengan terapi peroral selama 10-14 hari. Bila belum terjadi perbaikan, terapi parenteral diteruskan sesuai dengan biakan urin serta dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti USG ginjal untuk mencari obstruksi dan infeksi lainnya (Orenstein, 1999). Infeksi saluran kemih komplikata Prinsip penanganan penderita ISK komplikata adalah mencari dan mengatasi kelainan anatomis dan fungsional dari saluran kemih atau mengatasi defek metabolik yang terjadi pada kasus ini, lihat tabel 2. Oleh karena pemberian obat antimikroba tidak akan optimal bila faktor-faktor diatas tidak dihilangkan (Ronald & Nicolle, 2007; Hooton, 2003 ). Terapi antimikroba pada ISK komplikata dapat dibedakan menjadi yaitu terapi terhadap sistitis komplikata dan terapi terhadap pielonefritis komplikata. Terapi antimikroba pada sistitis komplikata dapat diberika sediaan golongan florokuinolon sebagai terapi empiris dengan dosis yang sama dengan dosis pada sistitis sederhana akut dengan lama pemberian selama 10-14 hari. Sedangkan terapi antimikroba pada pielonefritis komplikata terapi empirisnya adalah terapi parenteral dengan dosis yang

Page 12: 22.ISK Pada Perempuan

12

sama dengan terapi antibiotika pada pielonefritis sederhana akut. Bila dalam 72 jam didapat perbaikan klinis terapi diganti dengan pemberian oral golongan florokuinolon dengan dosis yang sama pada pielonefritis sederhana akut dengan waktu pemberian selama 14 hari (Orenstein 1999; Hooton 2003). Bakteriuria asimtomatik Pengobatan penderita bakteriuria asimtomatik masih kontroversi karena beragamnya uropatogen yang dapat terlibat didalamnya. Penderita dengan bakteriuria asimtomatik dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: wanita hamil, penderita dengan transplantasi ginjal, penderita dengan tindakan pada organ genitourinaria. Pengelompokan ini dilakukan untuk memudahkan penatalaksanaannya. Pada wanita hamil, bila tidak ditangani dengan baik akan dapat berkembang menjadi ISK simtomatik, yang dapat membahayakan ibu dan janin (Orenstein, 1999). Pengobatan bakteriuria asimtomatik pada wanita hamil tidak menggunakan tetrasiklin dan golongan fluoroquinolon. Nitrofurantoin dapat diberikan 4 x 100 mg sehari atau amoksisilin 3 x 250 mg sehari diberikan selama tiga sampai tujuh hari (Hooton, 2003). Dilaporkan tidak ada perbedaan mortalitas yang bermakna antara yang diobati dan yang tidak tidak diobati (Orenstein, 1999; Hooton, 2003; Rubin, 1999; Franz, 1999). Kesimpulan

Pengambilan contoh urin porsi tengah untuk diagnosis ISK pada perempuan perlu mendapat perhatian agar tidak menimbulkan hasil pemeriksaan positif palsu. Penanganan ISK berulang pada perempuan perlu mendapat pendekatan khusus, terutama observasi dan follow-up pengobatan seksama. Prinsip pengobatan penderita ISK pada perempuan adalah untuk membebaskan saluran kemih dari bakteri dan mencegah atau mengendalikan infeksi berulang, dengan demikian morbiditas dan mortalitas dapat ditekan. Pertimbangan terapi ISK didasarkan pada jumlah dan jenis kuman dari kultur kuman, uji sensitivitas kuman, faktor predisposisi dan follow-up biakan kuman pasca terapi. Pengetahuan epidemiologi populasi kuman dan pola kepekaannya terhadap antibiotika di rumah sakit atau di masyarakat lokal perlu dilakukan. Hal ini berguna untuk mengetahui pola populasi dan kepekaan terhadap antibiotika kuman setempat untuk dipakai dalam pertimbangan pilihan terapi antibiotika empirik.

Page 13: 22.ISK Pada Perempuan

13

Daftar Pustaka Andrews SJ, Books PT, Hanbury DC, King CM, Prendergast CM, Boustead GB, et al. (2002). Ultrasonography and Abdominal Radiography versus Intravenus Urography in Investigation of Urinary Tract Infection in Men: Prospective Incident Cohort Study.BMJ;324:1-6. Ariwijaya, Kandarini Y, Jodi SL, Sudhana W,Raka Widiana IG, Suwitra K. (2007). Prevalensi, Karakteristik dan Faktor-Faktor Terkait dengan Infeksi Saluran Kemih pada Diabetes mellitus yang Dirawai Inap (Abstrak). Pertemuan Ilmiah Tahunan Pernefri 2007 (Inpress) Bailey RR, (1987). Urinary Tract Infection. In: Whitewotth JA, Lawrence JR, editors Text Book of Renal Disease. 2 nd ed. United Kingdom Churchill Livingstone .p.196-207. Bailey RR (1994). Recent advances in the management of urinary tract infections (Abstr). Proceeding of The Tenth Asian Colloquium in Nephrology. pp 165. Karachi, Pakistan. Donnenberg MS & Welch RA (1996). Virulence Determinants of Uropathogenic Escherichia Coli. In : Mobley HL, Warren JW,editors. Urinary Tract Infection .Washington DC: ASM Press.p.135-74. Dorcheh MS, Nejad MR, Karim A (2005). A Study of delayed treatment on Renal Injury in Peddiatric Urinanary Tract Infection. Nephrology (supp 10): A336. Franz M, Horl WH, (1999). Commom Erros in Diagnosis and Management of Urinary Tract Infection. II : Clinical Manegement. Nephrol Dial Transplant; 14: 2754-2762. Graham JC, Galloway A (2001). The Laboratory Diagnosis of Urinary Tract Infection. J Clin. Pathol;54: 911-919. Heesemann J, Hacker J (2002). Medically Significant Pathogens. In: Heesemann J, Hacker J, editors. Molecular infection Biology Interaction Beetwen Microorganisms and Cells. USA: Wiley- Liss Inc. p. 57-61. Hooton TM (1996). A Prospective Study of Risk Factors for Symptomatic Urinary Tract Infection in Young Women. N Engl J Med;335:468-74. Hooton TM (2000). Pathogenesis of Urinary Tract Infection: an Update. Journal of Antimicrobial Chemotherapy ;46 (Suppl S1):1-7. Hooton TM (2003). Urinary Tract infection in Adult. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive Clinical Nephrology. 2 nd ed. UK: Mosby;p. 695-713. Huang JJ (2005). Role of Host and Escherichia Coli Virulens Factor in Emphysematous Pyelonephritis. Nephrorology (suppl 10):A336. Iswari IS (2005). Microbiology Aspect of Urinary Tract Infection. In : The 9th National Congress of Ina SN and Annual Meeting of Nephrology. Abstract. Kuntaman (2002). Aspek Mikrobiologi pada Infeksi Saluran Kemih. Kongres Nasional VIII Annual Meeting Perhimpunan Nefrologi Indenesia. Abstract.

Page 14: 22.ISK Pada Perempuan

14

Lestariningsih, Arwanto A, Banteng HW, Persudi I (2000). The Spectrum of Urinary Tract Infection in Fepartement of Internal Medicine Dr Kariadi General Hospital, Semarang, Indonesia. The 13th Asian Colloquium in Nephrology. Abstract. Orenstein RD, Wong ES (1999). Urinary Tract Infection in Adult. Avilable from http://www.mdconsult.com. Rahardjo JP, Susalit E (1999). Infeksi saluran Kemih. In: Soeparman, Waspadji S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Edisi keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. p.264-73. Ronald AR & Nicolle LE (2007) Infection of the upper urinary tract dalam RW Schier (ed) Disease of Kidney and Urinary Tract 8th Ed (2007). P 847-869, Lippincot William & Wilkin. Philadelphia. Rubin NE, Cotran RS, Rubin RH (2004). Urinary Tract Infections, Pyelonephritis, and Reflux Nephropathy. In: Brenner BM, editors. Brenner & Rector’s The kidney. 7 th ed. Philadelphia. WB Saunders; p.1513-56. Rubin RH , Shapiro ED, Andriole VT, Davis RJ & Stamn WE (1992). General guidelines for the evaluation of the new antiinfective drugs for the treatment of urinary tract infection. Clin Infect Dis; 15 (Suppl 1): S216-27. Rubin RH, Tolkoff-Rubin, NE & Cotran RS (1986). Urinary tract infection, pyelonephritis and reflux nephropathy dalam BM Brenner & FC Rector Jr (eds).The Kidney 3 rd ed. WB Saunders, Philadelphia; 1085-141. StammWE (2005).Urinary Tract Infection and Pyelonephritis. In: Braunwald E, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ, Fauci AS,et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine.16th ed. Mc Graw-Hill; New York.p.1715-21. Stamn WE, Running K & Mc Kevit M (1981). Treatment of acute urethral syndrome. N Engl Med;304:965-8. Sudhana IW (2003). Pola Mikroorganisme pada Pasien Batu Ginjal dengan Nepropati Obstruktif. Kongres Nasional XII Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Manado. Abstract. Warren JW (1996). Clinical Presentation and Epidemiology of Urinary Tract Infection. In: Mobley HLT, Warren JW, editors. Urinary Tract Infection: Molecular Pathogenesis and Clinical Management. Washington DC.ASM Press.p.3-28. Wiseman LR & Balfour JA Ciprofloxacin (1994). A review of its pharmacological profiles and therapeutic use in the elderly. Drug Aging; 4: 145-73.