227-811-1-pb

152
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Menyandang kota terbesar kedua 1 setelah Ibu Kota Jakarta, Kota Surabaya seakan menjadi magnet yang luar biasa bagi kaum urban yang ingin mengadu nasib. Maka tak heran jika banyak kaum migran yang datang berbondong- bondong dari dari berbagai pelosok—terutama dari berbagai daerah di Jawa Timur—ke Kota Surabaya. Dalam kajian sosiologi perkotaan, apa yang disebut sebagai push and pull 1 Sebutan kota nomor dua ini tidak saja mengukuhkan pentingnya Kota Surabaya, tapi sekaligus menunjukkan betapa dalam banyak hal Surabaya selalu mengacu pada Jakarta. Meski acuan ini tak menjadi monopoli Surabaya, sebab kota mana di Indonesia yang tak mengacu ke Ibu Kota Jakarta ? Tetapi, bagaimanapun, secara politis, Ibu kota pastilah nomor satu, karena segala-galanya ada di Ibu kota, keputusan politik, keputusan ekonomi, peredaran uang, transaksi dagang, dan lainnya. Sedangkan kota di luar Ibukota—dilihat dari batasan sederhana: luas wilayah kota, peran daerah, dan jumlah penduduk—maka jadilah Surabaya sebagai sebagai kota nomor dua. Tapi apakah yang disebut sebagai kota nomor dua tersebut sungguh-sungguh nomor dua, itu soal lain. Sebab kalau menggunakan kriteria perkembangan kota, fasilitas, jumlah transaksi perdagangan, dan jumlah uang beredar, yang disebut nomor dua itu sesungguhnya jauh di bawah batas ambang. Kalau menggunakan batasan administratif, sesungguhnya Surabaya tak lebih besar dibanding Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Surabaya sebenarnya merupakan kota nomor enam sesudah lima wilayah administratif Jakarta tersebut. Namun obsesi sebagai kota nomor dua itu tetap saja menjadi semacam perlambang bagi kota Surabaya. Selengkapnya lihat Johan Silas, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan (Gramedia: Jakarta, 1996), hal. xiii-xiv. 1

Upload: dalanbayi

Post on 29-Jun-2015

544 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: 227-811-1-PB

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Menyandang kota terbesar kedua1 setelah Ibu Kota Jakarta, Kota Surabaya

seakan menjadi magnet yang luar biasa bagi kaum urban yang ingin mengadu nasib.

Maka tak heran jika banyak kaum migran yang datang berbondong-bondong dari dari

berbagai pelosok—terutama dari berbagai daerah di Jawa Timur—ke Kota Surabaya.

Dalam kajian sosiologi perkotaan, apa yang disebut sebagai push and pull factors2

(faktor-faktor dorong dan tarik) nampaknya berlaku di sini. Faktor-faktor pendorong

dihubungkan dengan perubahan-perubahan ekonomi pedesaan, sedangkan faktor-faktor

penarik dikaitkan dengan aspek-aspek sosial-psikologis pendatang yang dilukiskan

dengan keinginan keras untuk mengikuti kehidupan kota. Fenomena inilah yang disebut

sebagai urbanisasi.

Namun, berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi

sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor

pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur,

1 Sebutan kota nomor dua ini tidak saja mengukuhkan pentingnya Kota Surabaya, tapi sekaligus menunjukkan betapa dalam banyak hal Surabaya selalu mengacu pada Jakarta. Meski acuan ini tak menjadi monopoli Surabaya, sebab kota mana di Indonesia yang tak mengacu ke Ibu Kota Jakarta ? Tetapi, bagaimanapun, secara politis, Ibu kota pastilah nomor satu, karena segala-galanya ada di Ibu kota, keputusan politik, keputusan ekonomi, peredaran uang, transaksi dagang, dan lainnya. Sedangkan kota di luar Ibukota—dilihat dari batasan sederhana: luas wilayah kota, peran daerah, dan jumlah penduduk—maka jadilah Surabaya sebagai sebagai kota nomor dua. Tapi apakah yang disebut sebagai kota nomor dua tersebut sungguh-sungguh nomor dua, itu soal lain. Sebab kalau menggunakan kriteria perkembangan kota, fasilitas, jumlah transaksi perdagangan, dan jumlah uang beredar, yang disebut nomor dua itu sesungguhnya jauh di bawah batas ambang. Kalau menggunakan batasan administratif, sesungguhnya Surabaya tak lebih besar dibanding Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Surabaya sebenarnya merupakan kota nomor enam sesudah lima wilayah administratif Jakarta tersebut. Namun obsesi sebagai kota nomor dua itu tetap saja menjadi semacam perlambang bagi kota Surabaya. Selengkapnya lihat Johan Silas, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan (Gramedia: Jakarta, 1996), hal. xiii-xiv. 2 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 9.

1

Page 2: 227-811-1-PB

fenomena urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan

yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor

pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase

perkembangan industri manufaktur3. Sebagai akibat di negara berkembang kecepatan

urbanisasi lebih tinggi dibanding ekspansi industri manufaktur. Selain itu karakteristik

penduduk desa yang datang ke kota adalah tingkat pendidikan, keterampilan serta

kemampuan sosio ekonominya terbatas, sehingga urbanisasi yang terjadi

mempengaruhi perkembangan kondisi kota yang cenderung mengalami penurunan

kualitas hidup per kapita penduduknya.

Sebagai konsekwensi atau dampak yang harus ditanggung bagi kota yang

dituju oleh kaum urban seperti halnya Jakarta, Surabayapun menghadapi persoalan

serupa diantaranya problem kepadatan penduduk yang semakin pesat, kemacetan,

polusi, sampah, kriminalitas, banjir, pengangguran, gepeng (baca: gelandangan dan

pengemis), pemukiman liar dan kumuh, pedagang kaki lima (PKL) liar, dan munculya

kelompok-kelompok miskin perkotaan. Berdasarkan data statistik, Dilihat dari

penyebaran penduduk di 5 wilayah menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai

dengan tahun 2004 kepadatan penduduk di 5 wilayah Kota Surabaya menunjukkan

penyebaran penduduk yang tidak merata. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada

wilayah Surabaya Pusat.

Sekalipun pada tahun 2004 kepadatan di wilayah Surabaya Pusat menurun

namun kepadatan penduduknya masih lebih tinggi dibanding kecamatan lain. Kondisi

ini bertahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, utamanya di Kecamatan

3 Alan Gilbert & Joseph Gugler (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal. 14.

2

Page 3: 227-811-1-PB

Simokerto, Kecamatan Bubutan, dan Tegalsari. Kepadatan penduduk per Kecamatan

secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.1

Tabel 1.1

LUAS WILAYAH DAN KEPADATAN PENDUDUK KOTA SURABAYAPER KECAMATAN TAHUN 2000 – TAHUN 2004

Kecamatan LuasWilayah

(dlm Km2)

Kepadatan Penduduk per Km2

Th. 2000 Th. 2002 Th. 2003 Th. 2004

Surabaya Pusat

1.Tegalsari

2. Genteng

3. Bubutan

4. Simokerto

4,29

4,04

3,86

2,59

21.787

13.491

22.768

32.579

26.984

16.162

27.345

41.080

26.270

16.044

28.615

37.905

26.513

16.137

28.591

38.424

Surabaya Utara

5. Pabean Cantikan

6. Semampir

7. Krembangan

8. Kenjeran

9. Bulak *)

6,80

8,76

8,34

14,42

---

10.698

17.632

13.730

9.144

---

13.297

17.882

14.493

7.838

---

12.781

20.490

14.006

9.099

---

12.933

20.564

14.177

9.295

---

Surabaya Timur

10.Tambaksari

11.Gubeng

12.Rungkut

13.T. Mejoyo

14.Gunung Anyar

15.Sukolilo

16.Mulyo Rejo

8,99

7,99

21,08

5,52

9,71

23,69

14,21

21.011

16.644

5.279

13.796

5.258

4.227

6002

24.008

18.174

3.906

7.731

4.847

3.266

4.258

22.840

18.431

3.842

9.011

4.180

3.772

5.591

23.237

18.637

3.913

9.166

4.271

3.846

5.063

Surabaya Selatan

17.Sawahan

18.Wonokromo

19.Karang Pilang

20.Dukuh Pakis

21.Wiyung

6,93

8,47

9,23

9,94

12,46

27.239

17.341

7.744

5.759

4.156

29.221

20.809

5.612

4.833

3.413

30.546

21.008

6.827

5.423

4.300

30.575

21.179

6.926

5.522

4.351

3

Page 4: 227-811-1-PB

22.Wonocolo

23.Gayungan

24.Jambangan

6,78

6,07

4,19

12.044

6.563

9.364

9.478

6.188

7.807

10.974

6.795

9.093

11.145

6.876

9.253

Surabaya Barat

25.Tandes

26.Sukomanunggal

27.Asemrowo

28.Benowo

29.Pakal*)

30.Lakarsantri

31.Sambikerep*)

11,07

9,23

15,44

45,79

----

36,48

----

8.443

11.648

2,392

1.465

----

2.147

----

7.840

9.363

2.062

1.219

----

1.852

----

7.872

9.680

2.122

1.464

-----

2.334

-----

7.903

9.823

2.175

1.503

-----

2.370

------

Jumlah 326,37 7,966 7,750 8,149 8,247

Sumber : Surabaya Dalam Angka Th.2002, Th.2003, Th.2004, diolah.Keterangan : (-) Kecamatan pecahan masih tergabung dengan induknya

Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Surabaya Timur

adalah kecamatan Tambaksari dan untuk wilayah Surabaya Selatan adalah kecamatan

Sawahan. Hal ini dapat dimaklumi, karena wilayah ini merupakan pusat kegiatan

komersiil seperti pusat pembelanjaan, pusat hiburan, lebih dari itu dekat dengan

fasilitas pendidikan , kesehatan dan wilayah industri.

Sementara itu, jumlah populasi penduduk Kota Surabaya berdasarkan data

statistik pada tahun 2007 sebesar 2.829.486 jiwa dengan komposisi laki-laki: 1.421.510

jiwa dan perempuan: 1.407.976 jiwa, meningkat cukup signifikan dibanding jumlah

populasi pada tahun sebelumnya (Th. 2006) yang berjumlah 2.784.196 jiwa.4

Pertumbuhan penduduk yang pesat tanpa disertai pertumbuhan kesempatan kerja yang

memadai menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di Kota Surabaya.

4 Sumber: Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya dalam Surabaya dalam Angka Th. 2008.

4

Page 5: 227-811-1-PB

Pada tahun 2005, persentase penduduk miskin kategori 2 dan 3 di Kota

Surabaya adalah 11,70 % (316.704 jiwa) dan pada tahun 2007 turun menjadi 9,12 %

(248.147 jiwa). Sementara itu persentase penduduk miskin Jawa Timur pada tahun

2005 adalah 22,51% (8.390.996 jiwa) kemudian turun menjadi 19,89% di tahun 2006

(7.455.655 jiwa) dan turun lagi menjadi 18,89% (7.137.699 jiwa) di tahun 2007.

Jumlah dan persentase penduduk miskin kategori 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 1.2

sebagai berikut :

TABEL 1.2

JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKINKATEGORI 2 DAN 3 DI KOTA SURABAYA DAN JAWA TIMUR

TAHUN 2003–2007

Tahun Kota Surabaya Jawa Timur

Jumlah (Jiwa) % Jumlah (Jiwa) %

2003 362.308 13,48 7.064.289 19,52

2004 320.999 12,00 7.979.565 19,10

2005 316.704 11,70 8.390.996 22,51

2006 282.004 10,38 7.455.655 19,89

2007* 248.147 9,12 7.137.699 18,89

Sumber : BPS Propinsi Jawa Timur, diolahKeterangan : Kategori 2 = Penduduk Miskin

Kategori 3 = Penduduk Sangat Miskin*) Sangat Sementara, Berdasarkan Hasil Survey Dampak Gardu Taskin 2007 dan SSN Panel 2007

Sementara itu, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Kota

(Bappeko) Kota Surabaya, angka kemiskinan tahun 2005-2007 terus mengalami

kenaikan. Mulai 111.233 KK (atau 377.832 jiwa) pada tahun 2005, 113.129 KK (atau

379.269 Jiwa) pada tahun 2006, dan 126.724 KK (431.331 jiwa) pada tahun 2007.

Sedangkan dilihat dari anggaran yang dikucurkan setiap tahun juga mengalami

5

Page 6: 227-811-1-PB

kenaikan, pada tahun 2005 anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp 150

milyar, tahun 2006 Rp 188 milyar, dan tahun 2007 Rp 229 milyar.5

Berdasarkan data-data statistik mengenai jumlah (angka) kemiskinan yang

masih relatif tinggi tersebut, maka tak heran jika Kota Surabaya tak luput dari target

(sasaran) program pemerintah dalam penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.

Secara makro, untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan memberdayakan

masyarakat, pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan. Pertama,

kebijakan yang tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar

tercapainya kondisi yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua, kebijakan yang

langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga,

kebijakan khusus yang mencakup upaya-upaya memberdyaakan masyarakat dan

menanggulangi kemiskinan.6

Melalui tiga arah kebijakan itulah, berbagai program penanggulangan dan

pengentasan kemiskinan lahir dan direalisasikan dalam berbagai bentuk dan jenis

program. Program-program spesifik yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan

dan kesenjangan diantaranya Program Pengembangan Kecamatan (PPK), PNPM-P2KP

(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), Program Pengembangan

Kawasan Desa-Kota Terpadu (PARUL), P2SEM (Program Pemberdayaan Sosial

Ekonomi Masyarakat), Gerdu-Taskin, dan program-program padat karya yang bersifat

crash program sebagai upaya mengatasi kemiskinan akibat dampak kenaikan harga

BBM, seperti Jaring Pengaman Ekonomi Sosial (JPES), Bantuan Langsung Tunai

(BLT), serta program-program seruapa lainnya. Untuk sebagian, berbagai bantuan dan

5 Fatkur Rohman,”Efektifkah Program Kemiskinan Kota Surabaya”, Jawa Pos dalam kolom Ruang Publik, edisi kamis 15 mei 2008. 6 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 33.

6

Page 7: 227-811-1-PB

program yang telah diupayakan pemerintah memang cukup bermanfaat terutama dalam

bidang pengembangan infrastruktur berupa sarana dan prasarana di desa-desa tertinggal

atau daerah yang membutuhkan.

Namun, harus diakui bahwa upaya penanggulangan kemiskinan terutama

dalam konteks pemberdayaan masyarakat secara sosial ekonomi yang dilakukan hingga

kini masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Masih banyak penduduk

Indonesia baik di desa maupun di kota yang hidup dibelit kemiskinan. Di sisi lain, tak

bisa diingkari, fakta bahwa kendati jumlah orang miskin menurun, namun kesenjangan

dalam banyak hal justru semakin lebar. Menurut studi yang dilakukan Bagong Suyanto7

menunjukkan bahwa pengalaman selama ini telah banyak memperlihatkan, bahwa

lambatnya perkembangan ekonomi rakyat disebabkan sempitnya peluang untuk

berpartisipasi dalam pembangunan yang mana hal itu merupakan konsekuensi dari

kurangnya penguasaan dan pemilikan asset produksi terutama tanah dan modal.

Pada umumnya menurut Suyanto, masyarakat miskin tidak memiliki surplus

pendapatan untuk bisa ditabung bagi pembentukan modal. Pendapatan yang diperoleh

hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokok sehari-hari. Di samping itu,

faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi

kurang efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak

yang memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya. Acap

terjadi, kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan penduduk miskin

justru terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru, dan bahkan

mematikan potensi swakarsa lokal.

7 Bagong Suyanto, “Perangkap Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008, hal. 32.

7

Page 8: 227-811-1-PB

Selama ini pendekatan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan—baik di

tingkat nasional, regional maupun lokal—umumnya adalah dengan menerapkan

pendekatan ekonomi semata, yang seringkali kurang mengabaikan peran kebudayaan

dan konteks lokal masyarakat. Ada kesan kuat bahwa di mata pemerintah masalah

kemiskinan sepertinya hanya dipahami sebagai sebuah persoalan kekurangan

pendapatan. Sangat kelihatan pula di berbagai program yang dilaksanakan pemerintah

umumnya hanya berusaha memberikan bantuan di bidang permodalan, memberikan

subsidi, dan semacamnya. Kendati secara harfiah nama berbagai program pengentasan

kemiskinan berbeda-beda, tetapi substansinya sesungguhnya hampir sama, yakni

memberikan aliran modal kepada masyarakat miskin dan meminta mereka bekerja

lebih keras untuk memberdayakan dirinya sendiri.8

Bahkan dalam realitasnya, implementasi dari beberapa kebijakan dan program

pengentasan kemiskinan banyak menuai protes—jika tidak mendapat resistensi—dari

berbagai kalangan masyarakat. Contoh yang masih aktual dan segar dalam ingatan kita

adalah penolakan sejumlah kepala daerah terhadap program Bantuan Langsung Tunai

(BLT) sebagai akibat banyaknya persoalan horizontal yang muncul di masyarakat.

Mulai dari mekanisme pendistribusian yang tidak merata, ketidakjelasan batas garis

kemiskinan, dan pendataan warga miskin yang tidak akurat sehingga menimbulkan

konflik horizontal di tengah masyarakat sendiri.

Program-program serupa juga mengalami nasib yang tidak jauh beda. Sebut

saja program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi

(PDMDKE), menurut catatan seorang penulis,9 setahun setelah program itu bergulir,

tidak ada laporan seberapa jauh dana kegiatan usaha telah bergulir atau berapa banyak

8 Bagong Suyanto, Ibid.9 Almisar Hamid,”Evaluasi Program Pengentasan Kemiskinan: Dari Jaring Pengaman Sosial hingga PR”, dalam http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=464.

8

Page 9: 227-811-1-PB

penduduk miskin yang menikmati kredit mikro itu. Begitu juga P2KP, sejauh ini tidak

ada laporan pasti bagaimana P2KP berjalan dan seberapa efektif upaya mengangkat

masyarakat miskin di seluruh Indonesia. Juga tidak pernah ada laporan, evaluasi dan

figur masyarakat atau penduduk miskin yang berhasil berkat bantuan kredit mikro dari

P2KP. Bahkan di sejumlah wilayah dana P2KP habis untuk pembangunan fisik dan

sosial.

Di sisi lain, data dari beberapa hasil studi dan penelitian menunjukkan bahwa

kebijakan dan program-program pengentasan kemiskinan tidak banyak mendapat

respon positif di kalangan masyarakat apalagi melahirkan perubahan yang signifikan

bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik secara kuantitas

maupun kualitas. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk. (2005) menujukkan

bahwa dalam batas-batas tertentu juga menemukan bahwa implementasi program

penanggulangan di lapangan ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Belum

jelasnya siapa sebenarnya kelompok sasaran yang diprioritaskan, dan masih adanya ego

sektoral di masing-masing departemen, serta ditambah lagi dengan orientasi program

yang belum bersifat kontekstual, maka bisa dipahami jika pelaksanaan berbagai

program penghapusan kemiskinan belum memperlihatkan hasil dan daya ungkit yang

memadai. Bahkan, dalam beberapa hal, pelaksanaan program penanggulangan

kemiskinan yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk miskin, ternyata

dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru dan berbagai

penyimpangan yang menyebabkan pada akhirnya pelaksanaan program

penanggulangan kemiskinan menjadi tidak efektif.10

10 Bagong Suyanto, Op.Cit., hal. 33.

9

Page 10: 227-811-1-PB

Di samping itu, berdasar laporan studi lapangan mengenai “Kebijakan

Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”11 membuktikan bahwa

BLT (Bantuan Langsung Tunai) dipandang sebagai solusi darurat oleh para warga yang

mendapatkan BLT. Ketika persoalannya ditarik lebih luas, sikap mereka cenderung

terhadap BLT lebih realistik bahkan kritikal. Artinya, ketika BLT dikaitkan dengan

berbagai masalah lain yang mereka hadapi sehari-hari, misalnya dengan kecenderungan

naiknya harga kebutuhan pokok, maka mereka lebih memilih tidak mendapat BLT.

Dengan kata lain, mereka lebih suka BBM tidak dinaikkan sehingga harga kebutuhan

pokok tidak naik. Menurut mereka, meski mendapat BLT, tetapi jika harga-harga naik

justru beban hidup semakin berat. Hanya saja, pada kenyataanya BBM sudah dinaikkan

dan dampak kenaikkan terhadap harga-harga barang kebutuhan pokok serta jasa

transportasi sudah terjadi. Kenyataan ini harus mereka hadapi dengan sikap pasrah,

sehingga dalam situasi seperti itu, maka BLT adalah sangat berarti bagi mereka. Ini

merupakan indikator bahwa makna BLT bagi orang miskin merupakan sebuah tafsir

yang datang dari subyek yang tidak otonom. Dan masih banyak hasil studi dan

penelitian lainnya yang mengkaji secara kritis tentang kebijakan dan program-program

penanggulangan kemiskinan baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.12

Berdasarkan fenomena di atas, penelitian ini memfokuskan pada kajian

tentang dampak program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan terhadap

peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya dengan

mengambil studi kasus mengenai Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan 11 Tim Redaksi,“Laporan Studi Lapangan: Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008, hal. 50. 12 Diantaranya: hasil riset oleh Roosgandha e.m. & Valeriana Darwis,”Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program Jaring Pengaman Sosial di Propinsi Jawa Timur” dalam http://ejournal.unud.ac.id; Bandingkan pula dengan hasil survey yang dilakukan oleh Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti,”Assessing the Impact of Indonesian Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics”, dalam The European Journal of Development Research, Vol.17, No.1, March 2005, pp.155–177.

10

Page 11: 227-811-1-PB

(P2KP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sengaja peneliti mengambil P2KP dan

BLT sebagai sample program dalam penelitian ini dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, target group atau sasaran program P2KP notabene berada di daerah

perkotaan, termasuk kota Surabaya sendiri (lihat dalam tabel A.4.) sehingga cukup

relevan jika dikaitkan dengan konteks penelitian. Kedua, P2KP dan BLT adalah dua

jenis program penanggulangan kemiskinan yang serupa tapi tidak sama (berbeda)

terutama jika ditinjau dari cara atau pendekatan dan strategi penaganganannya.

P2KP mewakili program pemerintah yang lebih diilhami dan berorientasi

pada nilai-nilai pemberdayaan masyarakat melaui prinsip-prinsip: demokrasi,

partisipasi; transparansi; akuntabilitas dan desentralisasi dengan menawarkan dua

sasaran strategis yakni penguatan kelembagaan lokal melalui institusi BKM/KSM dan

penanggulangan kemiskman berbasis community development. Sedangkan, BLT

mewakili program pemerintah yang bersifat crash program berupa subsidi langsung

kepada warga miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM yang bersifat jangka pendek.

Berikut daftar lokasi sasaran PNPM Mandiri P2KP di beberapa kecamatan di

wilayah kota Surabaya tahun 2007:13

Tabel 1.3

Daftar Lokasi Sasaran PNPM Mandiri P2KP di Wilayah Kota Surabaya Th. 2007

No. Kecamatan Jml Kelurahan

P2KP

Jml Kelurahan Non P2KP

TotalKelurahan

1 Karang Pilang 3 32 Jambangan 3 3

13 http://www.p2kp.org/web/about/files/lokasi_sasaran_pnpm-p2kp.pdf

11

Page 12: 227-811-1-PB

3 Gayungan 2 24 Tenggilis Mejoyo 2 25 Gunung Anyar 2 26 Rungkut 3 37 Sukolilo 2 28 Mulyorejo 2 29 Gubeng 6 610 Wonokromo 6 611 Dukuh Pakis 4 412 Lakar Santri 1 113 Sambi Kerep 3 314 Tandes 8 815 Sukomanunggal 2 216 Sawahan 6 617 Tegal Sari 5 518 Genteng 5 519 Tambaksari 6 620 Kenjeran 3 321 Bulak 5 522 Simokerto 5 523 Semampir 5 524 Pabean Cantian 5 525 Bubutan 5 526 Krembangan 5 527 Asemrowo 3 328 Benowo 4 429 Pakal 5 5

JUMLAH 70 46 116:::: Lokasi Sasaran dapat berubah sesuai keputusan P2KP Pusat

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah program pengentasan kemiskinan dalam contoh kasus Program Bantuan

Langsung Tunai (BLT) dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota

Surabaya ?

2. Sejauh mana Program Penanggulangan Kemiskinan berupa Bantuan Langsung

Tunai (BLT) dan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) tersebut berdampak terhadap

peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya ?

12

Page 13: 227-811-1-PB

C. TUJUAN PENELITAN

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui adakah dampak program pengentasan kemiskinan dalam contoh

kasus Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Bantuan

Langsung Tunai (BLT) terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi

masyarakat Kota Surabaya.

2. Mengetahui sejauh mana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

(P2KP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut berdampak terhadap

peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

D. KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :

1. Secara teoritis, memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan kajian

akademis secara kritis di bidang studi kesejahteraan sosial khususnya mengenai

model dan strategi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan

dan pemberdayaan masyarakat.

2. Secara praktis, memberikan informasi dan masukan penting yang bisa menjadi

pijakan dan referensi bagi akademisi, masyarakat secara umum dan stakeholder

terkait terutama para pemegang kebijakan (policy makers) dalam merancang,

mengimplementasikan, sekaligus menjadi bahan evaluasi terhadap kebijakan

dan program pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahtaraan

sosial masyarakat setempat (lokal).

E. METODE PENELITIAN

E.1 Jenis Penelitian

13

Page 14: 227-811-1-PB

Penelitian ini, berdasarkan dari segi pengumpulan datanya adalah penelitian

lapangan (field research). Penelitian lapangan yang dimaksud adalah penelitian yang

dilakukan dengan jalan mengamati secara langsung terhadap gejala-gejala sosial yang

diteliti, berusaha memahami gejala-gejala yang tidak diramalkan sebelumnya, dan

mengembangkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat sementara yang berguna untuk

mendorong pengamatan lebih lanjut.14

Berdasarkan dari segi tujuan penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian

eksplanasi-kuantitatif (explanative-quantitative research). Penelitian eksplanasi atau uji

yang dimaksudkan pada penelitian ini, mengikuti pendapatnya J. Vredenbregt, adalah

penelitian dalam rangka mennguji satu atau dua variabel yang telah dirumuskan secara

tepat dalam masalah penelitian.15 Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian

ialah program pengentasan kemiskinan (variabel independen) dan kondisi

kesejahteraan sosial-ekonomi (variabel dependen).

Ditinjau dari segi dimensi waktu pengumpulan datanya, penelitian ini adalah

penelitian cross-sectional (cross-sectional research). Penelitian yang dimaksud,

menurut pendapat W. Lawrence Neuman16 adalah penelitian yang dilakukan sekali

dalam jangka waktu tertentu. Tipe penelitian ini adalah penelitian yang sederhana dan

tidak diorientasikan untuk mengembangkan dan mengungkap proses atau perubahan

sosial obyek penelitian yang diamati berdasarkan pendapat subyek penelitian. Dalam

penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data hanya dalam beberapa minggu atau

setidaknya selama satu bulan dan tidak mengumpulkan data kembali untuk melihat

dinamika persepsi dan pendapat subyek penelitian terhadap obyek penelitian.

14Earl R. Babbie, The Practics of Social Research, Second Edition (Belmonth, California: Wardsworth Publishing Company, 1979), hlm. 205-20615J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 34.16W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, Fourth Edition (Boston: Allyn and Bacon, 2000), hlm. 30.

14

Page 15: 227-811-1-PB

E.2. Populasi dan Sampling

Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota masyarakat dengan unit

analisis rumah tangga (keluarga) yang termasuk dalam kategori keluarga miskin

penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebagian juga menjadi target bantuan

Program Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) atau PNPM mandiri di

wilayah Kota Surabaya. Berdasarkan populasi tersebut, kemudian ditarik sampel

penelitian melalui teknik penarikan sampel gugus bertahap.17 Tahapan penarikan

sampelnya: 1) penarikan sampel populasi Kecamatan; 2) penarikan sampel Kelurahan;

3) penarikan sampel populasi Rukun Warga (RW); dan 4) penarikan sampel populasi

Keluarga. Berikut bagan penarikan sample dengan teknik gugus bertahap:

Gambar 1.4Tahapan Penarikan Sampel

17Ida Bagoes Mantra dan Kasto, “Penentuan Sampel,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 166-167.

15

Sampel Populasi Kecamatan

Sampel I: Kecamatan

Sampel Populasi Kelurahan

Sampel II: Kelurahan

Sampel Populasi Rukun Warga

Sampel III: Rukun Warga

Sampel Populasi Keluarga

Sampel IV: Keluarga

Page 16: 227-811-1-PB

Namun dalam penarikan sample, peneliti sebelumnya juga perlu membagi

wilayah Kota Surabaya berdasarkan wilayah-wilayah pembantu walikota, yaitu

Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya

Utara. Selanjutnya, peneliti menentukan secara purposive untuk memilih kecamatan-

kecamatan dari masing-masing wilayah pembantu wali kota tersebut dengan asumsi

kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang banyak memiliki keluarga miskin yang

menjadi penerima BLT.

Berdasarkan rekapitulasi data jumlah keluarga miskin penerima Subsidi

Langsung Tunai (SLT) Kota Surabaya tahun 2007, wilayah Surabaya Pusat jumlah

terbanyak di Kecamatan Simokerto, yaitu sebesar 8.697 KK. Wilayah Surabaya Utara

khususnya di Kecamatan Semampir memiliki jumlah keluarga miskin sebesar 16.606

KK. Wilayah Surabaya Barat khususnya di Kecamatan Tandes yang memiliki keluarga

miskin sebanyak 2.906 KK. Wilayah Surabaya Selatan di Kecamatan Sawahan dengan

keluarga miskin sebesar 7.690 KK. Dan di wilayah Surabaya Timur khususnya di

Kecamatan Tambaksari, jumlah keluarga miskin sebesar 10.130 KK. Secara

keseluruhan, jumlah total populasi berdasarkan data rekapitulasi BPS Kota Surabaya

tahun 2007 jumlah keluarga miskin penerima Subsidi Langsung Tunai sebesar 125.871

KK.18

18 Dikutip dari Surabaya dalam Angka (Surabaya in Figure) 2008.

16

Page 17: 227-811-1-PB

Berdasarkan jumlah populasi tersebut, peneliti mengambil sampel penelitian

mengikuti rumus Slovin19 :

n = 1 + Ne²

Keterangan:

n = Ukuran sampel.

N = Ukuran populasi.

e = Nilai kritis yang diinginkan.

Dalam penelitian ini diketahui:

N = 125.871

e = 5,5% (0,055) n = ?

125.871n = 1 + 125.871 (0,055)²

125.871n =

1 + 125.871 (0,003025)

125.871n =

1 + 380,75

125.871n =

381,75

Dengan demikian jumlah sampel penelitian yang diambil sebagai responden

sebanyak 329 KK.

E.3 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian di Kota Surabaya—yakni di semua Rukun Warga (RW) dan

atau Rukun Tetangga (RT) Kota Surabaya. Lokasi penelitian ini, dipilih secara sengaja

(purposive) dengan maksud dan tujuan untuk menemukan daerah yang relevan dengan

tujuan penelitian. Dalam hal ini, pemilihan terhadap semua RW dan atau RT tersebut

19 Coensello G. Savilla et. Al.,Pengantar Penelitian Kuantitatif, hal. 161.

17

N

= 329

Page 18: 227-811-1-PB

sebagai lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

pertama, RW dan atau RT tersebut akan memberikan gambaran representatif tentang

kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

Kedua, RW dan atau RT tersebut memiliki kedekatan dengan pusat

pemerintahan daerah Provinsi Jawa Timur, sehingga bisa menjadi salah satu barometer

kondisi sosial-ekonomi Provinsi Jawa Timur. Ketiga, karakteristik sosial ekonomi, dan

budaya masyarakat yang sangat kompleks dan juga cenderung memberikan pengaruh

terhadap stratifikasi sosial Kota Surabaya berdasarkan pola hubungan sosial

(kepemilikan terhadap sumber daya dan pola produksi sumber daya) dan status sosial.

E.4 Teknik Pengumpulan Data

Data-data yang akan dikumpulkan penelitian ini ada dua, yakni: data sekunder

dan data primer. Data sekunder yang akan digali adalah tentang kondisi sosial-ekonomi

masyarakat Kota Surabaya. Data ini akan digali dari data dukumen pemerintah Kota

Surabaya, Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat, koran harian lokal dan nasional,

buku/literatur yang mengulas dan membahas tentang tema tersebut dan naskah

penelitian sebelumnya dimana fokus penelitiannya berkaitan dengan tema penelitian.

Sementara data primer yang akan digali adalah pengaruh program

pengentasan kemiskinan pemerintah terhadap kondisi sosial-ekonomi keluarga Kota

Surabaya. Data ini akan digali melalui wawancara langsung kepada subjek penelitian

yang terpilih sebagai responden penelitian ini. Teknik pengumpulan datanya adalah

penelitian lapangan. Instrumen pengumpulan datanya melalui wawancara terstruktur

menggunakan kuesioner dengan tipe tertutup dan tipe terbuka kepada responden untuk

mendapatkan gambaran atau informasi secara langsung. Dalam kuesioner tersebut

terdapat lima alternatif jawaban dengan menggunakan jenis skala pengukuran skala

18

Page 19: 227-811-1-PB

interval (interval scale) dan tipe skala pengukuran skala likert (likert scale).20 Kelima

alternatif jawaban tersebut, ialah: 1) tidak baik; 2) kurang baik; 3) sedang; 4) baik; dan

5) sangat baik.

Di samping itu, guna menambah kelengkapan data primer (data kuantitatif),

peneliti juga menggunakan teknik wawancara mendalam (depth-interview) terhadap

beberapa informan kunci (key informan) yang terlibat dalam proses pelaksanaan

program bantuan pengentasan kemiskinan terutama dalam hal ini adalah PNPM

Mandiri P2KP, misalnya seperti aparat kecamatan dan pengurus BKM (Badan

Keswadayaan Masyarakat).

E.5 Teknik Analisa Data

Untuk dapat menggambarkan fenomena dan fakta secara jelas, maka langkah

selanjutnya adalah mengolah data dengan teknik-teknik tertentu kemudian dilanjutkan

dengan analisis data. Penjelasan kedua hal tersebut adalah sebagai berikut:

E.5.1 Teknik Pengolahan Data

Teknik pengolahan data penelitian ini akan menggunakan metode pengolahan

data penelitian kuantitatif dengan menggunakan komputer program SPSS. Langkah-

langkah teknis pengolahan data penelitian ini, yakni sebagai berikut: editing, coding,

dan tabulating. Editing dipergunakan untuk memeriksa kebenaran data yang diperoleh

dari responden guna menjaga kemungkinan adanya kesalahan dalam memasukkan

20Vredenbergt, op. cit., hlm. 92.

19

Page 20: 227-811-1-PB

data.21 Coding dipergunakan untuk memberikan kode atau tanda tertentu dari data yang

diperoleh dengan cara memberikan skor pada setiap jawaban responden.22

Pemberian skor jawaban responden tersebut menggunakan skala likert. Skala

likert merupakan skala komulatif—yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesatuan

dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti, atau sering disebut dengan istilah ‘atribut

universal’. Langkah-langkah teknisnya: variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi

sub-variabel, sub-variabel dijabarkan menjadi indikator-indikator yang dapat diukur.

Indikator-indikator tersebut menjadi titik-tolak untuk memberi item instrumen berupa

pertanyaan atas pertanyaan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban

dihubungkan dengan bentuk-bentuk pertanyaan, yang diungkapkan dengan kata-kata: :

a) tidak baik (nilai 1); b) kurang baik (nilai 2); c) sedang (nilai 3); d) baik (nilai 4); dan

e) sangat baik (nilai 5). Tabulasi (tabulating) dipergunakan dalam rangka memasukkan

data yang telah diberi kode atau tanda ke dalam tabel yang telah disediakan, dimana

data tersebut telah dikategorikan terlebih dahulu.23

Tabel 1.5

Alternatif Jawaban

PertanyaanAlternatif

JawabanNilai

21Tadjuddin N. Effendi et al., “Pengolahan Data,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 254.22Neuman, op. cit., hlm. 31423Riduwan, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, cetakan kelima (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 9-16; Wim van Zanten, Statistika untuk Ilmu-ilmu Sosial, edisi kedua (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 16. 256; dan 314.

20

Page 21: 227-811-1-PB

Soal-soal pertanyaan

a. Sangat Tidak

baik

b. Tidak baik

c. Kurang baik

d. Baik

e. Sangat baik

1

2

3

4

5

Sumber: diadaptasi dari Riduwan, Skala Pengukuran Variabel-Variabel

Penelitian, Cetakan Kelima (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 9-16

Namun sebelum instrumen penelitian ini dipergunakan, peneliti terlebih

dahulu akan menguji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas (validity) dipergunakan

oleh tim peneliti untuk mengetahui sejauh mana instrumen penelitian yang dibuat tepat

mengukur apa yang ingin diukur. Tahapan-tahapan pengujian validitas tersebut ialah

sebagai berikut: 1) merumuskan definisi operasional konsep yang akan diukur; 2) uji

coba instrumen penelitian terhadap 30 responden penelitian; 3) melakukan tabulasi

jawaban responden; dan 4) menghitung korelasi masing-masing pertanyaan dengan

skor total dengan menggunakan rumus Product Moment.24

Tabel 1.6

Tahapan-Tahapan Pengujian Validitas

Tahap Kegiatan

Tahap I

Tahap II

Tahap III

Merumuskan definisi operasional konsep

yang akan diukur

Uji coba instrumen penelitian terhadap 30

responden penelitian

Melakukan tabulasi jawaban responden

24 Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 124 dan 132-137. Lihat juga Vredenbregt, op. cit., hlm. 15.

21

Page 22: 227-811-1-PB

Tahap IV Menghitung korelasi masing-masing

pertanyaan dengan skor total dengan

menggunakan rumus Product Moment

Sumber: Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian,”

Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai,

edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 132-137

Dalam menghitung korelasi masing-masing pertanyaan dengan skor total soal-

soal pertanyaan peneliti menetapkan taraf singnifikansi 5%. Rumus yang dipergunakan

ialah sebagai berikut:25

r =N (XY) – (X Y)

[NX2 – (X)]2 [NY2 – (Y)2]

Sementara uji reliabilitas (reliability) dipergunakan oleh tim peneliti untuk

mengetahui indeks yang menunjukkan sejauh mana instrumen penelitian dapat

dipercaya dan dapat diandalkan.26 Pengukurannya merupakan kombinasi antara hasil

pengukuran yang sesungguhnya ditambah dengan kesalahan pengukuran. Secara

matematis, kondisi tersebut dapat digambarkan dalam rumus persamaan sebagai

berikut:27

X0= Xt + Xe

25Ancok, op. cit., hlm. 137.26Ibid., hlm. 140. Lihat juga Vredenbregt, loc. cit. 27Ancok, op. cit., hlm. 141.

22

Page 23: 227-811-1-PB

Keterangan: X0 = Angka yang diperoleh

Xt = Angka yang sebenarnya

Xe = Kesalahan pengukuran

Dalam pengukuran tersebut, instrumen penelitian dianggap reliabel jika

kesalahan pengukurannya kecil. Jika dikuadratkan—merupakan petunjuk besarnya

hasil pengukuran sebenarnya—instrumen penelitian dianggap reliabel jika angka

korelasinya tinggi. Untuk indeks reliabilitas instrumen penelitian, teknik yang

dipergunakan adalah teknik paralel. Tahapan-tahapan pengujiannya ialah sebagai

berikut: 1) membuat alat ukur yang mengukur aspek yang sama; 2) memberikan alat

ukur tersebut kepada responden penelitian yang berbeda (masing-masing 30

responden); 3) mencari validitas alat ukur yang diberikan kepada responden penelitian

yang berbeda; dan 4) mengkorelasikan skor total dari alat ukur tersebut yang diberikan

kepada responden yang berbeda dengan menggunakan rumus Product Moment.28

Tabel 1.7

Tahapan-Tahapan Pengujian Validitas

Tahap Kegiatan

Tahap I

Tahap II

Tahap III

Membuat alat ukur yang mengukur aspek

yang sama

Memberikan alat ukur tersebut kepada

responden penelitian yang berbeda

(masing-masing 30 responden)

Mencari validitas alat ukur yang diberikan

28Ibid., hlm. 145. Lihat juga Vredenbregt, op. cit., hlm. 18.

23

Page 24: 227-811-1-PB

Tahap IV

kepada responden yang berbeda

Mengkorelasikan skor total dari alat ukur

tersebut yang diberikan kepada responden

yang berbeda dengan menggunakan

rumus Product Moment

Sumber: Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Penelitian,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian

Survai, Edisi Revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 145;

dan J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Cetakan

Kedua (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 18

Secara umum, ada enam alasan kedua pengujian tersebut dipergunakan dalam

penelitian ini. Keenam alasan tersebut, yakni: 1) agar data yang diperoleh memiliki

validitas dan reliabilitas yang tinggi; 2) agar data yang diperoleh dapat dipercaya; 3)

agar data yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah; 4) agar data

yang diperoleh sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian; 5) agar data yang diperoleh

dapat menjadi bahan informasi untuk mendeskripsikan fokus penelitian; dan 6)

penggalian data yang dilakukan efektif dan efisien.

E.5.2 Teknik Analisa Data

Teknik analisa data penelitian ini menggunakan tabel silang dengan

menggunakan dengan menggunakan komputer program SPSS.29 Tabulasi silang ini

dipergunakan untuk menganalisa pengaruh program pengentasan kemiskinan

29Sofian Effendi dan Chris Manning, “Prinsip-Prinsip Analisa Data,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 272-276.

24

Page 25: 227-811-1-PB

pemerintah terhadap peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

Selanjutnya untuk memperkuat kesimpulan tentang hubungan antarvariabel penelitian,

peneliti akan menggunakan tes statistik regresi linier dan uji t.30

Regresi linier ini dipergunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam

penelitian ini. Rumusnya sebagai berikut:

Keterangan: Yt = variabel bebas

X1, X2, X3, ... Xn = variabel terikat

e = kesalahan (error term)

bo = konstanta

b1, b2, b3, ... bn = koefisien varavel bebas

Uji t dipergunakan untuk melihat seberapa kuat pengaruh program

pengentasan kemiskinan pemerintah dalan meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi

masyarakat Kota Surabaya. Rumusnya ialah sebagai berikut:

t =r n - 2

1 - r2

Keterangan: t = t distribusi

r = koefisien korelasi

n = jumlah sampel

r2 = koefisien determinasi

F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN

30Algifari, Analisis Regresi: Teori, Kasus, dan Solusi (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 57 dan 128.

25

Yt = bo + b1X1 + b2X2+ ... bnXn + e

Page 26: 227-811-1-PB

Sistematika pembahasan dalam penelitian ini meliputi :

Bab I Pendahuluan, yang mengurai tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah,

tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan metode penelitian.

Bab II Kajian Teori, menjelaskan tentang teori-teori yang relevan dengan konteks

penelitian dan kerangka konseptual penelitian.

Bab III Temuan Penelitian menjelaskan tentang deskripsi setting penelitian dan

deskripsi objek atau responden penelitian.

Bab IV Analisis Hasil Penelitian menguraikan tentang uji validitas dan reliabilitas,

deskripsi variabel dan analisis hasil penelitian.

Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Tinjauan Teoritik

26

Page 27: 227-811-1-PB

Dalam tinjauan teori ini, penulis mencoba menelusuri dan mengkaji teori-teori

yang terkait dan relevan dengan konteks penelitian, diantaranya teori-teori

pembangunan, teori kemiskinan, dan teori kesejahteran sosial.

A.1. Teori Pembangunan

a. Memahami Pembangunan

Pembangunan, menurut Sumodiningrat adalah proses mewujudkan

masyarakat sejahtera secara adil dan merata. Masyarakat sejahtera ditandai adanya

kemakmuran berupa meningkatnya konsumsi masyarakat karena meningkatnya

pendapatan. Peningkatan pendapatan sendiri merupakan hasil produksi yang

meningkat. Proses demikian dapat berlangsung baik bila asumsi-asumsi

pembangunan, yakni adanya kesempatan kerja secara penuh (full employment), tiap

orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity), dan semua pelaku

ekonomi bertindak rasional (efficient), terpenuhi.31

Dalam kenyataan, asumsi-asumsi tersebut sangat sulit dipenuhi. Pasar

seringkali tak mampu memanfaatkan tenaga kerja dan sumber daya alam hingga

menciptakan kondisi full employment, karena tingkat kemampuan dan produktifitas

pelaku ekonomi sangat beragam. Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa

tidak semua mendasarkan perilaku pasarnya pada pertimbangan-pertimbangan

rasional dan efisien. Dalam kondisi demikian, pasar atau ekonomi pun terdistorsi.

Dalam jangka panjang—bahkan dalam jangka menengah dan jangka pendek

31 Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., hal. 19.

27

Page 28: 227-811-1-PB

sekalipun jika dikatkan dengan konteks kekinian,32 hal ini melahirkan berbagai

masalah pembangunan seperti kesenjangan, pengangguran, dan kemiskinan.

Karena itu, menurut Sumodiningrat dalam kondisi terdistorsi tersebut,

pembangunan tidak dapat dibiarkan berlangsung secara alamiah. Pembangunan harus

berjalan dengan intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong

terciptanya kondisi yang mendekati asumsi-asumsi tersebut.33 Di sisi lain, menurut

Todaro (2004) seperti dikutip Umajah, dalam mengukur keberhasilan pembangunan

tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus

didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat

melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan,

kecukupan akan kebutuhan perumahan.

Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan yaitu:34

1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic

needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan.

2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongan-

dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri-sendiri, untuk

merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu.

3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di sini

hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga

tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan.

32 Tulisan cetak miring adalah analisis penulis pribadi yang mendasarkan pada krisis finansial global sejak tahun 2008 hingga kini akibat kredit macet dalam dunia properti yang melanda Amerika Serikat hingga merembet pada sektor-sektor privat dan real lainnya di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara maju. Indonesia sendiri meskipun sedikit banyak tidak bisa lepas dari dampak krisis tersebut namun pengaruhnya dinilai oleh berbagai kalangan terbukti hingga kini masih belum membawa dampak yang signifikan terhadap sistem perekonomian secara makro. 33 Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., hal. 20.34 Siti Umajah Masykuri, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”, Desertasi (Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007), hal. 31-33.

28

Page 29: 227-811-1-PB

Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang

sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar

atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping

mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta

pengentasan kemiskinan. Sehingga Todaro mengatakan bahwa keberhasilan

pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1) Berkembangnya

kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs); 2)

Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia; dan 3)

Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).35

b. Teori-Teori Besar Pembangunan

Beberapa teori besar (teori modernisasi) yang mewarnai pembangunan di

banyak negara berkembang pasca-PD II diantaranya teori Rostow mengenai tahap-

tahap pertumbuhan, teori Harrod Domar tentang pertumbuhan ekonomi,36 dan teori

McClelland tentang dorongan atau motivasi berprestasi (n-Ach/need for Achievement)

yang menjadi ciri khas manusia modern.37 Rostow, yang mengajukan lima tahap

pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi (masyarakat tradisional, prakondisi untuk

tinggal landas menuju pertumbuhan yang berkesinambungan, tinggal landas, menuju

masyarakat dewasa, dan masa konsumsi tinggi), memandang bahwa tahap kritis negara

berkembang “tinggal landas”, dimana masyarakat yang sedang berkembang akan

bertransformasi menuju masyarakat maju.

Selanjutnya Rostow berpendapat, salah satu prinsip yang perlu dijalankan

dalam tahapan ini adalah mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri guna

menghasilkan investasi yang cukup untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Uraian

35 Siti Umajah Masykuri, Ibid., hal. 34.36 Gunawan Sumodininrat, Op.Cit., hal. 19. 37 Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26-27.

29

Page 30: 227-811-1-PB

Rostow mengenai inveastasi diperdalam teori Harrod-Domar mengenai pertumbuhan

ekonomi. Harrod-Domar menyatakan, agar tumbuh, suatu perekonomian harus

memiliki tabungan dan investasi dalam proporsi tertentu terhadap Gross National

Product (GNP). Lebih jauh, Harrord-Domar menekankan pentingnya transformasi

struktural secara alamiah dalam pembangunan ekonomi, yang dimulai dengan

menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja, selanjutnya, harus berdampak

positif bagi peningkatan pendapatan, yang selain untuk konsumsi dialokasikan sebagai

tabungan.38

Pada dasawarsa 1960-an banyak negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia)

mengadopsi pendekatan growth priority ini, yang berfokus pada akumulasi kapital

nasional. Pembangunan industri secara besar-besaran pun dilakukan, sehingga

pemerintah lebih memainkan peran sebagai enterpreneur ketimbang service provider.

Memang, banyak negara berkembang berhasil meningkatkan akumulasi kapital dan

pendapatan per kapitanya dengan pendekatan ini. Namun, peningkatan itu hanya

dinikmati segelintir orang, terutama pemilik modal dan kelompok elite nasional.

Trickle down effects yang awalnya diyakini terjadi seiring terbentuknya akumulasi

kapital nasional ternyata tidak berjalan. Dengan kata lain, di satu sisi pendekatan ini

berhasil meningkatkan konsentrasi kapital, di sisi lain menciptakan marginalisasi, baik

marginalisasi desa oleh kota maupun marginalisasi penduduk miskin oleh pendudu

kaya. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan konsep ketimpangan atau kesenjangan

baik ekonomi, sosial, dan spasial.

Pendekatan atau teori pembangunan lainnya adalah teori McClelland

mengenai motivasi berprestasi (n-Ach/need for Achievement) dari kaum wiraswastawan

domestik yang memegang peran kritis dan bertanggung jawab terhadap pencapaian

38 Gunawan Sumodininrat, Op.Cit., hal. 20.

30

Page 31: 227-811-1-PB

kemajuan negara Dunia Ketiga. Sehingga, dalam konteks ini, investasi pada

pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) mendapat perhatian yang sangat penting

dalam pembangunan.39 Bagi McCleland mendorong proses pembangunan berarti

membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach-nya yang tinggi. Sehingga lahirlah

human capital theory, dengan beberapa asumsi teoritik, misalnya: Semakin tinggi

tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi

tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan

semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat

produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka

mendorong tingginya tingkat pendapatan.

c. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat

Pada pertengahan 1970-an pendekatan community development sangat

populer dan menggeser pendekatan pembangunan pada 1960-an, yang lebih digerakkan

mitors pertumbuhan. Pembangunan masyarakat/pembangunan komunitas adalah suatu

proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan

dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Sanders,

seperti dikutip Suharyanto (2006)40, Pembangunan Masyarakat dapat dipandang pada:

1) Proses, tepatnya proses perubahan yang bersifat multidimensi menuju kondisi yang

lebih baik; 2) Program, dalam konteks kebijakan, program-program pengentasan

kemiskinan seperti Raskin, BLT, JPES, P2KP, dan sejenisnya merupakan sederatan

contoh model pembangunan masyarakat; 3) Gerakan yang bisa berupa kampanye atau

aksi sosial; dan 4) Metode.

39 Suwarsono & Alvin Y. So, Op.Cit., hal. 27. 40 Suharyanto dalam script/naskah makalah (tidak diterbitkan) berjudul “Teori Pembangunan masyarakat”, 15 April 2006.

31

Page 32: 227-811-1-PB

Sedangkan menurut Twelvetrees (1991) seperti dikutip Suharto,

pengembangan masyarakat adalah suatu proses membantu masyarakat untuk

meningkatkan kualitas hidup komunitasnya sendiri dengan melakukan tindakan

kolektif.41 Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif pengembangan

masyarakat ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan

“radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk  meningkatkan

kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-

relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan

analisis anti-rasis, pendekatan radikal (transformasional) lebih terfokus pada upaya

mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan

kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta

menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.42

Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas

dan “swastanisasi” kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat semakin

menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi

penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi partisipasi dan

pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan menurut Suharto,

menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga

mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya

sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas dalam

mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,

bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan

41 Diterjemahkan penulis dari “The process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions” dalam Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005), hal. 38. 42 Edi Suharto, Ibid., hal. 40.

32

Page 33: 227-811-1-PB

mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-

jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan

keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.43

 

A.2. Kemiskinan dan Teori Kesejahteraan Sosial

a. Memahami Kemiskinan

Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multi face atau

multidimensional. Chambers (dalam Nasikun)44 mengatakan bahwa kemiskinan adalah

suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2)

ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of

emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik

secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup

dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain,

seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum,

kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi

kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Kemiskinan absolut45: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak

cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang

diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.

43 Edi Suharto, Ibid., hal. 58.44 Nasikun,”Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan”, Diktat Mata Kuliah, Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.45 Kemiskinan absolut dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut. Lihat dalam Edi Suharto, Op.Cit., hal. 133.

33

Page 34: 227-811-1-PB

b. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang

belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada

pendapatan.

c. Kemiskinan kultural46: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat

yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat

kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.

d. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses

terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik

yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan

suburnya kemiskinan.

Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy (dalam Suryawati), kemiskinan

struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya

ketiga kemiskinan yang lain.47 Dalam perspektif (teori) demokrasi-sosial memandang

bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan

disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat

tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber

kemasyarakatan.48 Adapun ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: 1) rata-rata

tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan

keterampilan; 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah; 3) kebanyakan bekerja

atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur

46 Lihat juga teori Oscar Lewis mengenai budaya miaskin dalam Parsudi Suparlan (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 4-5. Lewis memandang kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan atau sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga. Selanjutanya Lewis, mendefinisikan kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis, dan berciri kapitalisme. 47 Chriswardani Suryawati dalam artikel berjudul ”Memahami Kemiskinan secara Multidimensional”, dalam http://www.jmpk-online.net/files/chriswaardanimknew.pdf .48 Edi Suharto, Op.Cit., hal. 140.

34

Page 35: 227-811-1-PB

atau menganggur (tidak bekerja); 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah

tertentu perkotaan (slum area); dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh

(dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas

kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan

sosial lainnya.49

Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas dari strategi pembangunan

yang dianut suatu negara. Program-program yang telah dilakukan untuk memerangi

kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang menggembirakan karena adanya

perangkap kemiskinan (poverty trap) yang tidak berujung pangkal.

b. Teori Kesejahteraan Sosial

Menurut Suharto, “kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang

berwayuh wajah. Ia dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Kesejahteraan

sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang

pembangunan sosial. Sebagai suatu institusi atau bidang kegiatan, kesejahtaraan sosial

melibatkan aktifitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga

pemeirntah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau

memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas

hidup individu, kelompok, dan masyarakat.50

Sementara itu, welfare economics, menurut Sen (2002) seperti dikutip

Umajah,51 merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari

hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-

ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic

needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human

49 Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan (Jakarta: Idayu,1980), hal. 63.50 Edi Suharto, Op.Cit., hal. 1. 51 Siti Umajah Masykuri, Op.Cit., hal. 38.

35

Page 36: 227-811-1-PB

development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach

didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve

desirable “functionings” is more importance than actual outcomes (kebebasan atau

kemampuan untuk mencapai “keberfungsian” yang diharapkan adalah lebih penting

dari pada pendapatan yang sebenarnya).52

Di sisi lain, dalam perspektif pembangunan, kesejahteraan sosial sangat

terkait dengan tiga ideologi besar (grand ideology) atau mazhab pemikiran yang

berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, yaitu: liberalisme, konservatifisme

dan strukturalisme. Ketiga ideologi ini memiliki pandangan berlainan tentang

bagaimana seharusnya negara berperan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang

kemudian melahirkan sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) dan mempengaruhi

perkembangan paradigma kesejahteraan sosial.53

1. Paradigma Liberalisme

Kaum liberal mendukung welfare state. Negara merefleksikan kehendak

individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok. Negara memiliki legitimasi

untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara yang diperlukan dalam

pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi pendapatan, (b) stabilisasi

mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang publik (public goods) yang

tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh pasar. Individu dan kelompok adalah

warga negara yang sehat, namun punya potensi menjadi rentan (vulnerable) dan

bermasalah dikarenakan adanya kesalahan sistem atau lingkungan. “Blaming the

system” adalah pandangan utama ideologi ini. Masalah sosial, termasuk orang yang

52 Tulisan dalam kurung adalah terjemahan penulis.53 Edi Suharto, “Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial”, makalah disampaikan pada Seminar Paradigma Kesejahteraan Sosial, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 5-6 September 2007.

36

Page 37: 227-811-1-PB

mengalaminya, diakibatkan bukan oleh kesalahan individu yang bersangkutan,

melainkan oleh kesalahan sistem.

Kesejahteraan sosial berporos pada paradigma institusional-universal yang

meyakini bahwa masalah sosial hanya bisa dipecahkan dengan program pelayanan

sosial yang melembaga, berkelanjutan, dan mencakup semua warga. Pendekatan

pekerjaan sosial menekankan pentingnya aspek pencegahan dan pengembangan

kesempatan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Program-

program pengembangan masyarakat (community development), termasuk community

empowerment, capacity building dan social entrepreneurship dianggap paling ampuh

dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Program-program

pemerintah seperti PNPM-P2KP, P2SEM yang memfokuskan pada upaya penyadaran,

kemandirian, dan pemberdayaan masyarakat adalah sederatan contoh program dari

model paradigma ini.

2. Konservatifisme

Mazhab konservatisme adalah penentang welfare state. Sistem politik pada

hakekatnya bersifat fungsional dan karenanya akan lebih baik jika dibiarkan berjalan

sendiri. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan sistem, melainkan kesalahan

individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas, tidak memiliki jiwa wirausaha

dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya. Solusi yang diajukan oleh para penganut

“blaming the victim” ini pada intinya membatasi peran pemerintah dan menekankan

perubahan pada individu dan kelompok-kelompok kecil. Paradigma kesejahteraan

sosial berpijak pada pandangan residual-selektifitas. Pelayanan sosial hanya perlu

diberikan kepada kelompok lemah secara temporer manakala lembaga pasar dan

keluarga tidak berfungsi. Pendekatan kesejahteraan sosial lebih menitikberatkan pada

37

Page 38: 227-811-1-PB

pelayanan langsung dan rehabilitasi sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat

beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.

3. Strukturalisme

Kaum struktural memandang masalah sosial sebagai akibat adanya

ketimpangan pada sistem atau struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi

tidak terhindarkan dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist,

karena sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan

status sosial. Keadaan ini akan semakin membesar dan memburuk dalam sebuah sistem

ekonomi kapitalis. Rakyat adalah korban dan objek eksploitasi orang-orang yang

memiliki kekuasaan dan privilege. Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh

kekuasaan dan menjangkau sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus

diubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh. Para penganut mazhab strukturalisme

memiliki kesamaan pandangan dengan kaum liberal. Mereka menganut faham

“blaming the system” atau lebih tepatnya “blaming the structure” serta paradigma

kesejahteraan sosial yang bersandar pada model institusional-radikal. Yang

membedakannya dengan kaum liberalis adalah bahwa pendekatan pekerjaan sosial

yang dikembangkan oleh kelompok strukturalis lebih memfokuskan pada perubahan

lingkungan pada aras makro.

Analisis kebijakan sosial, advokasi kelas dan aksi-aksi sosial dan politik

adalah beberapa metoda yang sering digunakan untuk melakukan perubahan sosial

secara struktural dan radikal. Skema perlindungan sosial, seperti social security,

welfare-to-work programmes, social safety nets, dan conditional cash transfer adalah

beberapa program yang umumnya diterapkan oleh mazhab ini. Atau dalam konteks

penelitian ini, program-program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah yang

38

Page 39: 227-811-1-PB

berbentuk crash program dan padat karya seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS), Jaring

pengaman Ekonomi dan Sosial (JPES), OPS/Raskin, PAMDKB, bantuan langsung

tunai (BLT) dan sejenisnya adalah contoh-contoh program yang termasuk dalam

mazhab ini.

B. Kerangka Konseptual

B.1. Kerangka Konseptual Penelitian

Dalam penelitian ini, kerangka konseptual dibangun dari kajian teoritik

sebelumnya mengenai teori-teori pembangunan, kemiskinan, dan kesejahteraan sosial.

Secara konseptual, variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelompok variabel yaitu:

variabel indogen atau variabel tergantung/terikat (dependent variable) dan variabel

eksogen atau variabel bebas (independent variable). Variabel indogen atau variabel

terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat

dengan mendasarkan pada kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia

(human development) yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).

Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga

dimensi dasar, yaitu: 1) umur panjang dan sehat (dimensi kesehatan) yang diukur

dengan menggunakan angka umur harapan hidup; 2) pengetahuan (pendidikan) yang

diukur menggunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama

sekolah; 3) standar hidup layak (pendapatan riil) digunakan indikator kemampuan daya

beli (Purchasing Power Parity).54

Sedangkan variabel bebas [X] (independent variable) dalam penelitian ini

adalah program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah yang

terdiri dari dua program, yaitu: Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program

54 Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006 Badan Pusat Statistik—Jakarta, 2007.

39

Page 40: 227-811-1-PB

Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP). Indikatornya mencakup bantuan

subsidi langsung (cash and carry) untuk program BLT; dan untuk P2KP terdiri dari:

peningkatan keterampilan, pembinaan usaha kecil, bantuan kredit modal usaha,

pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana kelurahan. Berikut diagram

kerangka konseptual penelitian :

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian

B.2. Hipotesis Penelitian.

Secara sederhana hipotesis penelitian dapat diajukan sebagai berikut:

H0 = program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan berupa Bantuan

Langsung Tunai (BLT) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

(P2KP) tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan

sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

H1 = Program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan Bantuan Langsung

Tunai (BLT) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) tersebut

berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat

Kota Surabaya.

40

Program Pengentasan Kemiskinan (X)

Bantuan Langsung Tunai (BLT) : bantuan subsidi langsung (cash and carry) [x1]

P2KP [x2]: Peningkatan

keterampilan; Pembinaan/

pengembangan usaha kecil;

Bantuan kredit modal usaha;

pembangunan dan perbaikan sarana prasarana kelurahan.

Kesejahteraan Sosial-Ekonomi (Y)

IPM :Umur panjang dan

sehat (dimensi kesehatan)

PendidikanStandar hidup

layak (pendapatan riil)

Page 41: 227-811-1-PB

BAB III

TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN

A. Deskripsi Setting Penelitian: Tinjauan Geografis dan Demografis

Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang

menjadi ibu kota propinsi Jawa Timur, memiliki luas sekitar 326,37 km2 dan secara

astronomis terletak di antara 07° 21’Lintang Selatan dan 112° 36’ s/d 112° 54’ Bujur

Timur. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan dataran rendah dengan ketinggian

3 – 6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di sebelah Selatan dengan ketinggian 25

– 50 meter di atas permukaan air laut. Batas wilayah Kota Surabaya adalah sebelah

Utara dan Timur dibatasi oleh Selat Madura, sebelah Selatan dibatasi oleh Kabupaten

Sidoarjo dan sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Gresik. Secara administrasi

pemerintahan kota Surabaya dikepalai oleh Walikota yang juga membawahi koordinasi

atas wilayah administrasi Kecamatan yang dikepalai oleh Camat. Jumlah Kecamatan

yang ada di kota Surabaya sebanyak 31 Kecamatan dan jumlah Kelurahan sebanyak

163 Kelurahan dan terbagi lagi menjadi 1.363 RW (Rukun Warga) dan 8.909 RT

(Rukun Tetangga).55

Secara administratif, Surabaya mempunyai luas wilayah sekitar 326,37 km2

yang terbagi ke dalam 5 wilayah Pembantu Walikota, 31 wilayah kecamatan, dan 163

desa atau kelurahan. Pada awalnya melalui PP No.28, 20 September Tahun 1982,

wilayah Kota Surabaya dibagi ke dalam 3 Wilayah Pembantu Walikota yang terdiri

atas 19 wilayah Kecamatan dengan 163 Kelurahan. Pada Tahun 1990 melalui Kep.

Mendagri 20 Juni Tahun 1990 wilayah Kota Surabaya berubah menjadi 5 Wilayah

Pembantu Walikota terdiri dari 19 wilayah Kecamatan. Selanjutnya pada Tahun 1992

55 Dikutip dari http://www.surabaya.go.id/pdf/rpjm/Bab2.pdf

41

Page 42: 227-811-1-PB

melalui PP.No.26. 20 Mei Tahun 1992 jumlah wilayah Kecamatan berubah menjadi 24

Kecamatan, dan kemudian berubah menjadi 28 wilayah Kecamatan melalui PP.No.59.

19 September Tahun 1992. Terakhir pada Tahun 2001 jumlah wilayah Kecamatan

berubah menjadi 31 melalui Perda No.5. 5 Mei Tahun 2001. Sementara itu jumlah

Wilayah Pembantu Walikota tetap yaitu 5 wilayah dan jumlah Kelurahan tetap yaitu

163.56

Sementara itu, jika ditinjau dari demografis, populasi penduduk Surabaya

terus mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Bahkan hal ini

melebihi target proyeksi penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000.

Berdasarkan data proyeksi penduduk tahun 2000—2010, pada tahun 2005 proyeksi

jumlah penduduk sebesar 2.668.097 jiwa, tahun 2006 sebesar 2.681.971 jiwa, tahun

2007 sebesar 2.695.918, dan tahun 2008 sebesar 2.709.936 jiwa. Sedangkan jika

dibandingkan menurut data real statistik, jumlah penduduk (populasi) Kota Surabaya

pada tahun 2005 mencapai 2.740.490 jiwa, tahun 2006 mencapai 2.784.196 jiwa, tahun

2007 mencapai 2.829.486 jiwa, dan tahun 2008 mencapai 2.902.516 jiwa.57 Berikut

tabel rincian perbandingan data proyeksi penduduk berdasarkan sensus penduduk

dengan data statistik jumlah penduduk mulai tahun 2005 sampai tahun 2008:

Tabel 3.1

Tingkat Perbandingan Proyeksi Penduduk Berdasar Sensus dan Jumlah Penduduk Berdasar Data Statistik Kota Surabaya

Proyeksi Penduduk Berdasar Sensus Penduduk

Jumlah Penduduk Berdasar Data Statistik

Tahun Jumlah Persentase Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan

Penduduk/tahun (%)

Tahun Jumlah Persentase Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan

Penduduk/tahun (%)

56 Dikutip dari Desertasi Siti Umajah Masykuri dalam http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=606.57 Surabaya dalam Angka 2008.

42

Page 43: 227-811-1-PB

2005 2.668.0971,005 %

2005 2.740.4901,016 – 1,025 %2006 2.681.971 2006 2.784.196

2007 2.695.918 2007 2.829.4862008 2.709.936 2008 2.902.516

Sumber: diolah peneliti berdasar data BPS Surabaya dalam Angka 2008

Berdasar tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa jumlah pertumbuhan penduduk

(populasi) Kota Surabaya berdasar data statistik mengalami tingkat pertumbuhan yang

relatif signifikan dari tahun ke tahun (mulai 2005—2008) yang rata-rata berkisar antara

1,016 % – hingga 1,025 % pada tahun 2008.

Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk tersebut nampaknya bisa dibilang

relatif kecil jika didibandingkan dengan data statistik terakhir menurut Kepala Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, Ismanu, dimana setiap tahun, rata-rata

kenaikan jumlah penduduk Kota Surabaya naik sebesar 1,62 persen. Dengan luas kota

sekitar 29.000 hektar, seharusnya jumlah penduduk ideal Kota Surabaya hanya

2.175.000 jiwa.58 

Jumlah pertumbuhan populasi Kota Surabaya tersebut sudah melebihi target

proyeksi penduduk berdasar hasil sensus yang hanya berkisar rata-rata 1,005 % yang

dihitung mulai tahun 2005 hingga 2008. Berdasar tabel 3.1 tersebut dapat diketahui

pula bahwa rasio perbandingan jumlah penduduk berdasar data statistik dengan

proyeksi penduduk berdasar sensus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,011 %.

Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang cukup pesat tersebut nampaknya

juga tidak didukung dengan luas wilayah lahan yang memadai. Menurut data statistik

berdasar jumlah penduduk berturut-turut mulai tahun 2005, tingkat kepadatan

penduduk Kota Surabaya sebesar 8.397 jiwa/km2, tahun 2006 sebesar 8.531 jiwa/km2,

tahun 2007 sebesar 8.669 jiwa/km2, dan tahun 2008 mencapai 8.893 jiwa/km2.59

58 Dikutip dari sumber http://www.surabaya.go.id/dispenduk/?list=stats&id=16&width=600&height=600

59 Data diolah peneliti berdasar Surabaya Dalam Angka 2008

43

Page 44: 227-811-1-PB

padahal menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya,

Ismanu, Senin (22/9/08) idealnya, jumlah penduduk di Kota surabaya rata-rata 75 orang

per hektar. Namun, volume penduduk Surabaya saat ini mencapai 87 orang per

hektar.60

Sementara adanya arus migrasi penduduk yang makin deras memasuki kota

atau dikenal dengan istilah urbanisasi berlebih (over-urbanization) dengan luas wilayah

kota Surabaya yang tidak berubah dan kesempatan kerja (lahan pekerjaan) terutama

sektor-sektor formal yang terbatas semakin menambah kompleksitas persoalan di

kawasan urban. Data statistik tahun 2007 menunjukkan banyaknya penduduk datang

(pendatang) yang dilaporkan secara resmi mencapai 32.685 jiwa. Sedangkan penduduk

pindah yang dilaporkan resmi sebanyak 16.031 jiwa dan banyaknya transmigran

menurut data statistik tahun 2006 hanya sebesar 22 orang dari 5 KK dengan daerah

tujuan Maluku Utara.61 Menurut data statistik pada bulan Desember 2008, terdapat penduduk datang

sebesar 1.1975 orang. Berikut tabel rincian penduduk datang, lahir, mati, dan pindah yang dihitung per

bulan selama tahun 2008:

Tabel 3.2

Data Statistik Mutasi Penduduk Th. 2008

No   BULAN DATANG LAHIR MATI PINDAH

1 JANUARI 2.910 3.292 564 1.137

2 PEBRUARI 3.007 3.250 496 932

3 MARET 2.883 3.489 857 1.251

4 APRIL 2.945 3.482 1.016 1.260

5 MEI 2.301 3.965 1.225 1.187

6 JUNI 2.910 3.875 1.021 1.063

60 sumber http://www.surabaya.go.id/dispenduk/?list=stats&id=16&width=600&height=60061 Surabaya Dalam Angka 2008

44

Page 45: 227-811-1-PB

7 JULI 2.409 3.851 1.325 1.219

8 AGUSTUS 2.660 3.589 1.514 2.063

9 SEPTEMBER 2.925 4.220 1.976 759

10 OKTOBER 3.052 3.829 1.376 1.562

11 NOVEMBER 2.649 3.296 1.510 2.408

12 DESEMBER 1.975 2.761 1.305 1.185

Sumber: http://www.surabaya.go.id/dispenduk (Website Resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya)

Jumlah mutasi penduduk tersebut di atas didasarkan pada catatan yang

dilaporkan secara resmi dari masing-masing kecamatan se-kota Surabaya. Artinya

jumlah tersebut belum termasuk jumlah pendatang tidak resmi (baca: liar) dan

penduduk musiman baik harian, bulanan, dan tahunan yang memang tidak tercatat

secara resmi.

Akibat derasnya arus urbanisasi tersebut, kaum migran urban yang sebagian

besar memang tidak mendapat peluang kerja di sektor-sektor formal harus merelakan

dengan bekerja seadanya terutama di sektor-sektor informal seperti pedagang kaki lima

(PKL), pedagang pasar tradisional, kuli, tukang becak, juru parkir, dan bahkan gepeng

(gelandangan pengemis) atau pencopet. Sektor-sektor informal pada umumnya

memang dipadati oleh para migran urban yang tidak memiliki modal, keahlian, dan

ketrampilan yang memadai. Sehingga wajar jika sejak awal kemunculannya, mereka

yang bekerja di sektor-sektor infomal seringkali harus berhadapan dan berbenturan

dengan aparat-aparat pemkot setempat yang tidak memihak. Selanjutnya,

penggusuranpun kerapkali dilakukan bagi mereka yang dianggap mengganggu

keindahan kota khususnya PKL-PKL dan pemukiman liar serta para gepeng.

Disamping itu, persebaran penduduk yang tidak merata juga menyebabkan

persoalan segregasi spasial yang semakin sesak. Catatan data statistik tahun 2008

45

Page 46: 227-811-1-PB

menunjukkan konsentrasi penduduk terbesar terdapat di Kawasan Surabaya Selatan

tepatnya di Kecamatan Sawahan yang mencapai 223.257 jiwa dengan komposisi laki-

laki 110.809 jiwa dan perempuan 111.590 jiwa dan Kecamatan Wonokromo sebesar

186.725 jiwa dengan komposisi laki-laki 93.496 jiwa dan perempuan 92.736 jiwa,

wilayah Surabaya Timur di Kecamatan Tambaksari sebesar 223.149 jiwa dengan

komposisi laki-laki 110.607 jiwa dan perempuan 111.641 jiwa dan Kecamatan Gubeng

sebesar 157.253 jiwa dengan komposisi laki-laki 77.589 jiwa dan perempuan 79.006

jiwa, dan wilayah Surabaya Utara di Kecamatan Semampir sebesar 193.187 jiwa

dengan komposisi laki-laki 96.956 jiwa dan perempuan 95.264 dan Kecamatan

Krembangan sebesar 125.159 jiwa dengan komposisi laki-laki 62.874 jiwa dan

perempuan 61.616 jiwa. Berikut tabel data statistik sebaran jumlah penduduk setiap

kecamatan di wilayah Kota Surabaya tahun 2008 yang terkonsentrasi di beberapa

Kecamatan :

Tabel 3.3

Data Statistik Sebaran Penduduk Setiap Kecamatan Kota Surabaya Tahun 2008

  No KECAMATAN JUMLAH

1 BUBUTAN 115.907

2 SIMOKERTO 106.533

3 TEGALSARI 119.470

4 GENTENG 69.690

5 SEMAMPIR 193.187

6 PABEAN CANTIAN 93.856

7 KREMBANGAN 125.159

8 KENJERAN 116.746

9 BULAK 35.115

10 GUBENG 157.253

46

Page 47: 227-811-1-PB

11 TAMBAKSARI 223.149

12 SUKOLILO 99.361

13 MULYOREJO 79.377

14 RUNGKUT 91.500

15 TENGGILIS MEJOYO 55.506

16 GUNUNG ANYAR 46.625

17 WONOKROMO 186.725

18 SAWAHAN 223.257

19 WONOCOLO 80.627

20 JAMBANGAN 42.959

21 GAYUNGAN 45.148

22 KARANG PILANG 69.443

23 WIYUNG 59.790

24 DUKUH PAKIS 59.929

25 TANDES 94.254

26 ASEMROWO 38.485

27 SUKOMANUNGGAL 97.363

28 BENOWO 42.580

29 PAKAL 36.714

30 LAKARSANTRI 46.289

31 SAMBIKEREP 50.519

Jumlah Total 2.902.516

Sumber: http://www.surabaya.go.id/dispenduk (Website Resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya)

Meningkatnya kepadatan penduduk kota Surabaya dari tahun ke tahun, tentu

akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan lahan, terutama untuk membangun

kebutuhan infrastruktur kota. Selain menyebabkan spasial (ruang) kota menjadi

semakin sesak, juga menyebabkan harga tanah makin membumbung tinggi. Kelompok

47

Page 48: 227-811-1-PB

masyarakat urban yang merasakan dampak dari hal tersebut adalah para warga miskin

kota (marginal urban) yang umumnya bekerja di sektor-sektor informal dan merupakan

kelompok terbesar di perkotaan. Mereka akhirnya harus rela tinggal di permukiman-

permukiman kumuh dan liar (slums area) untuk sekedar bisa bertahan hidup.

B. Potret Kemiskinan di Kota Surabaya

Kelompok marginal urban itulah yang disebut Evers sebagai massa apung.

Mereka adalah kelompok yang paling besar di perkotaan. Kehidupan ekonominya

hanya berlangsung dari tangan ke mulut, semuanya habis untuk makan dan tidak

terlibat dalam ekonomi pasar. Evers memusatkan perhatiannya kepada kelompok-

kelompok yang disebut terakhir ini, yaitu para pelacur, pembantu rumah tangga, tukang

becak, buruh kontrak di bidang industri pembangunan.62 Pada umumnya, mereka

bekerja di sektor-sektor informal dengan penghasilan yang tidak tetap dan menganut

pola hidup subsisten (secukupnya).

Di daerah perkotaan, kelompok-kelompok tersebut selalu menjadi stigma

negatif yang banyak menimbulkan masalah-masalah sosial. Hal itu sudah menjadi

fenomena umum di perkotaan sebagai akibat justru tampaknya karena dalam segi-segi

tertentu kota-kota lebih “maju”, mereka juga lebih maju dalam perjalanan menuju

keterbelakangan; bahwa beberapa masalah pembangunan mendapatkan artikulasi yang

lebih keras dibanding dengan tempat-tempat lain. Ini terutama berlaku dalam hal apa

yang kita pandang sebagai ciri-ciri utama dari pembangunan: pembagian pendapatan

dan kekayaan yang semakin tidak merata, berbagai kekurangan dalam pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan dasar disamping penyebaran ekonomi subsistensi di perkotaan.

Hal ini menurut Evers sebenarnya bukanlah fenomena “urbanisasi berlebihan” (over-

62 Hans-Dieter Evers dalam Parsudi Suparlan (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 75.

48

Page 49: 227-811-1-PB

urbanization), suatu konsep yang sering digunakan, melainkan “keterbelakangan

perkotaan (urban underdevelopment) yang agaknya merupakan aspek urbanisasi

Indonesia yang sangat menentukan.63 Aspek urbanisasi itulah yang disebut Evers

dengan meminjam istilah yang digunakan Clifford Geertz untuk pertanian di Indonesia,

sebagai “involusi kota”.64

Menurut McGee, kota-kota di Jawa (termasuk Kota Surabaya) adalah contoh

kasus involusi kota. Adanya arus urbanisasi tidak diikuti oleh perkembangan kota yang

tidak cukup cepat untuk menyediakan lapangan kerja. Sehingga mayoritas penduduk

perkotaan bergerak di sektor tradisional padat karya yang bercirikan under-employment

(kesempatan kerja rendah), produktifitas rendah, dan penghasilan juga rendah.65

Data survey statistik membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat

tanpa disertai pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai menyebabkan

bertambahnya penduduk miskin di Kota Surabaya. Persentase penduduk miskin

kategori 2 (miskin) dan kategori 3 (sangat miskin) di Kota Surabaya dari tahun 1999

sampai dengan tahun 2003 lebih kecil dibandingkan dengan persentase penduduk

miskin Jawa Timur. Namun pada kurun waktu tersebut persentase penduduk miskin di

Kota Surabaya menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 1998 persentase

penduduk miskin di Kota Surabaya adalah 4,91% (126.852 jiwa) dan terus meningkat

menjadi 13,48% (362.308 jiwa) di tahun 2003 seperti terlihat dalam tabel 1.1.

Nampaknya dari tahun ke tahun angka kemiskinan di Surabaya cenderung mengalami

63 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1986), hal 91.64 Geertz menggunakan istilah “involusi” untuk memberikan perkembangan pengetahuan tentang tanah di Jawa. Kemandekan atau kemacetan pola pertanian ditunjukkan dengan tidak adanya kemajuan yang hakiki. Dalam hal usaha tani sawah, involusi itu digambarkan oleh taraf produktifitas yang tidak menaik, dengan produktifitas mencapai ukuran per orang (tenaga kerja). Kenaikan hasil per hektar memang dicapai, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan per orang yang makan nasi. Lihat dalam Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (Berkeley, Cal: University of California Press, 1963). 65 McGee dalam Hans-Dieter Evers & Rudiger Korf, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hal. 76.

49

Page 50: 227-811-1-PB

kenaikan. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko), angka

kemiskinan tahun 2005-2007 terus mengalami kenaikkan. Mulai 111.233 KK (atau

377.832 jiwa) pada tahun 2005, 113.129 KK (atau 379.269 Jiwa) pada tahun 2006, dan

126.724 KK (431.331 jiwa) pada tahun 2007.66

Namun, berdasarkan data BPS Kota Surabaya tahun 2007, jumlah keluarga

miskin yang menjadi penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) tercatat sebanyak

125.871 KK. Berikut tabel rincian jumlah keluarga miskin penerima Subsidi Langsung

Tunai (SLT) per kecamatan:67

Tabel 3.4

Jumlah Keluarga Miskin Penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) per Kecamatan Th. 2007

No. Kecamatan/Sub District

Banyaknya Rumah Tangga MiskinNumber of Poor Household

Surabaya Pusat :

1. Tegalsari 4.7912. Genteng 3.5563. Bubutan 5.2804. Simokerto 8.697

Surabaya Utara5 Pabean Cantikan 6.9086 Semampir 16.6067 Krembangan 6.2778 Kenjeran 5.7709 Bulak

Surabaya Timur:10 Tambaksari 10.13011 Gubeng 3.01712 Rungkut 3.49513 Tenggilis Mejoyo 1.22114 Gunung Anyar 1.88515 Sukolilo 4.41516 Mulyorejo 2.191

Surabaya Selatan:17 Sawahan 7.69018 Wonokromo 6.54919 Karang Pilang 2.140

66 Hasil Pemutaakhiran Data Angka Kemiskinan oleh BAPPEKO Surabaya tahun 2006-200767 BPS Kota Surabaya dalam Surabaya dalam Angka 2008

50

Page 51: 227-811-1-PB

20 Dukuh Pakis 1.62121 Wiyung 1.86822 Wonocolo 2.20623 Gayungan 1.12724 Jambangan 2.438

Surabaya Barat25 Tandes 2.90626 Sukomanunggal 2.31627 Asemrowo 3.31028 Benowo 1.50329 Pakal 93430 Lakar Santri 2.12931 Sambikerep 1.780

Total Surabaya 125.871Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Surabaya

Selanjutnya, pada tahun 2009 berdasarkan hasil survey kependudukan Kota

Surabaya jumlah rumah tangga miskin penerima BLT untuk Kota Surabaya mengalami

penurunan, yakni sebesar 119.755 KK. Jumlah tersebut tidak serta merta menunjukkan

bahwa tren angka kemiskinan di Kota Surabaya mengalami penurunan karena data

yang diambil hanya didasarkan survey pada sample (sebagian populasi penduduk) di

masing-masing kelurahan dan kecamatan. Belum lagi adanya indikasi penyimpangan

dan kepentingan subjektif dari petugas survey yang melakukan pendataan mengenai

warga penerima BLT di masing-masing kelurahan. Sehingga berakibat pada biasnya

hasil survey. Lain halnya dengan data yang diperoleh dari sensus penduduk yang

melibatkan seluruh populasi dan dilakukan secara oleh Badan Pusat Statistik. Sehingga

wajar jika terkadang data yang tercatat dari hasil survey tersebut tidak sesuai dengan

fakta lapangan yang sesungguhnya yang berakibat pada penentuan rumah tangga

miskin yang berhak menerima BLT menjadi salah sasaran. Akibatnya, pro kontra pun

kerapkali terjadi setiap kali bantuan BLT tersebut dikucurkan bahkan mengarah pada

konflik horizontal di tengah masyarakat.

51

Page 52: 227-811-1-PB

C. Program-Program Pengentasan Kemiskinan: Kasus BLT dan PNPM-P2KP di

Kota Surabaya

Kota Surabaya sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya

merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang memiliki tingkat kepadatan dan

pertumbuhan penduduk dengan angka kemiskinan yang relatif tinggi. Berdasarkan data

statistik mengenai jumlah (angka) kemiskinan yang masih relatif tinggi tersebut, maka

tak heran jika Kota Surabaya juga tak luput dari target (sasaran) program pemerintah

dalam berbagai jenis program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Menurut

Sumodiningrat seperti telah disinggung dalam bahasan sebelumnya, secara makro,

untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan memberdayakan masyarakat,

pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan. Pertama, kebijakan yang

tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya kondisi

yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua, kebijakan yang langsung mengarah

pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga, kebijakan khusus yang

mencakup upaya-upaya memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.68

Melalui tiga arah kebijakan itulah, berbagai program penanggulangan dan

pengentasan kemiskinan lahir dan direalisasikan dalam berbagai bentuk dan jenis

program. Dalam bahasan di sini, peneliti hanya memfokuskan pada dua jenis program

pengentasan kemiskinan, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan PNPM-P2KP

(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Program yang pertama (BLT)

mewakili kebijakan pemerintah yang langsung mengarah pada peningkatan kegiatan

ekonomi kelompok sasaran dan merupakan program padat karya yang bersifat crash

program sebagai upaya mengatasi kemiskinan akibat dampak kenaikan harga BBM.

68 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 33.

52

Page 53: 227-811-1-PB

Sedangkan program yang kedua (PNPM-P2KP) mewakili kebijakan khusus yang

mencakup upaya-upaya memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.

Sejak awal program BLT dirancang sebagai antisipasi pemerintah guna

mengatasi imbas negatif akibat kenaikan harga BBM. Pemerintah sebetulnya sudah

menyadari bahwa imbas kenaikkan harga BBM akan berdampak buruk bagi

kelangsungan hidup masyarakat, khususnya keluarga miskin. Karena itu, Subsidi

Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan salah satu dari

Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Untuk program tersebut

pemerintah memberikan dana BLT sebesar Rp100 ribu/keluarga/bulan. Dana tersebut

telah mulai dibagikan sejak awal Oktober 2005 untuk 3 bulan sekaligus, yaitu Oktober,

November dan Desember 2005.

Namun, praktek di lapangan nampaknya tidak sesuai dengan apa yang

diharapkan karena seperti banyak diberitakan di media massa banyak sekali

menimbulkan masalah diantaranya seperti sikap penolakan sebagian masyarakat,

pencatatan (survey) terhadap warga miskin yang berhak menerima bantuan yang

terkadang masih menggunakan data lama yang belum diupdate, adanya indikasi

penyimapangan sebagian aparat (petugas) dalam menentukan penerima bantuan

sehingga validitas data keluarga miskin kemudian patut dipertanyakan, proses

pembagian BLT yang seringkali menyengsarakan masyarakat miskin hingga mereka

harus susah payah dan rela antri berjam-jam, serta evaluasi dan monitoring program

bantuan yang nyaris tidak pernah terdengar. Sehingga transparansi, akuntabilitas, dan

nasib keberlanjutan program menjadi tidak jelas ke mana arahnya.

Di Kota Surabaya, misalnya, sepanjang tahun 2008 banyak kekeliruan dalam

pencatatan data di lapangan mengenai rumah tangga sasaran (RTS) penerima BLT

53

Page 54: 227-811-1-PB

sehingga daftar nama RTS terpaksa dikembalikan lagi seperti terjadi di Kelurahan

Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo. Di samping itu, terdapat sikap resisten

(penolakan) sebagian warga terhadap BLT yang dilatar belakangi masalah jumlah

warga miskin yang masih menggunakan data tahun 2005 seperti yang terjadi di wilayah

Kelurahan Sidotopo Wetan.69 Selanjutnya, dalam pembagian BLT pada bulan April

2009 juga muncul persoalan. Seperti diberitakan salah satu media harian nasional, dana

bantuan langsung tunai (BLT) yang baru dibagikan diwarnai aksi sunat. Di beberapa

kecamatan, bantuan yang diberikan untuk orang miskin itu dipotong sehingga jumlah

yang diterima warga tidak utuh. Pemotongan tersebut tidak dilakukan saat penerimaan

uang. Namun, warga diminta menyetorkan sejumlah uang kepada pejabat pemerintahan

di tataran bawah sebagai bentuk terima kasih karena telah memasukkannya ke dalam

daftar penerima BLT.70

Banyaknya persoalan yang terjadi setiap kali proses pelaksanaan program

BLT tersebut dikucurkan di berbagai daerah termasuk Kota Surabaya menunjukkan

bahwa dari sisi manajerial, program BLT tidak terkelola dengan baik bahkan terkesan

amburadul dan asal-asalan. Sehingga meskipun kebijakan pemerintah untuk

mengentaskan kemiskinan dalam jangka pendek tersebut bernilai positif bagi

kelangsungan hidup masyarakat miskin namun dari sisi proses pelaksanaan di lapangan

justru menimbulkan banyak persoalan dan penyimpangan.

Berbeda dengan BLT yang bersifat padat karya dan crash program, Program

Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) lebih menekankan pada proses

pemberdayaan. Program ini lahir pada tahun 1999 dalam upaya memfasilitasi

masyarakat serta Pemerintah Daerah untuk mampu menangani akar penyebab

69 Koran Sindo edisi 23 Mei 2008.70 Jawa Pos edisi 18 April 2009

54

Page 55: 227-811-1-PB

kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan (sustainable). Strategi dasar

pendekatannya adalah : (a) mengintesifkan upaya-upaya pemberdayaan untuk

meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat; (b) menjalin kemitraan yang

seluas-luasnya dengan berbagai pihak untuk bersama-sama mewujudkan keberdayaan

dan kemandirian masyarakat; (c) menerapkan keterpaduan dan sinergi pendekatan

pembanguna sektoral, pembangunan kewilayahan, dan pembangunan partisipatif.71

Sejak tahun 2007, P2KP kemudian berubah atau lebih tepatnya menjadi

bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri perkotaan

yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan indeks pembangunan manusia

dan pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Pada prinsipnya

antara P2KP dan PNPM mempunyai sasaran yang sama, yakni program yang pro poor

(pro warga miskin) dilaksanakan sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun

kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan

secara berkelajutan. Untuk kasus di Kota Surabaya, pelaksanaan PNPM-P2KP pada

tahun 2009 dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi program yang selama ini

sudah terlaksana. Hal ini dilakukan sebagai langkah pembenahan dan peningkatan

program untuk mengurangi jumlah keluarga miskin yang ada di Kota Surabaya.72

Adapun pelaksanaan program dan besaran dana yang dikucurkan melalui

PNPM-P2KP ini cenderung bervariasi di setiap kelurahan bergantung kebutuhan dan

usulan program (proposal) yang diajukan oleh setiap kelurahan melalui Badan

Keswadayaan Masyarakat (BKM).73 Di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir,

misalnya, pada tahun 2008 dana bantuan yang diperoleh sebesar 350 juta. Dana 71 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri 2007.72 Laporan Utama Majalah GAPURA, Majalah Kota Surabaya edisi Maret 2009. 73 BKM adalah lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk di masing-masing kelurahan dengan fungsi utama mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, mengakomodasikan berbagai masukan pembangunan untuk wilayahnya serta membentuk Unit-Unit/pokja pelaksana dan mengorganisir relawan-relawan dari warga setempat.

55

Page 56: 227-811-1-PB

tersebut dialokasikan untuk beberapa program yang dipilah dalam tiga aspek, yaitu

infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Program-program tersebut difokuskan dalam upaya

mencapai kesejahteraan sosial masyarakat melalui proses musyawarah secara mufakat.

Terkait dengan pembangunan infrastruktur, misalnya, direalisasikan dalam bentuk

pavingisasi jalan di tiap-tiap gang perkampungan yang perlu dibenahi, pembenahan

saluran air. pembenahan atau renovasi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), dan

pembangunan tempat penampungan air. Sedangkan program pengembangan ekonomi

berupa peminjaman modal kepada masyarakat yang memiliki Usaha Kecil Menengah

(UKM) seperti mracang, dll. Dan bentuk program yang terkait bidang sosial adalah

pelatihan keterampilan seperti menjahit dan penyablonan yang diikuti oleh perwakilan

dua orang setiap RW. Target sasarannya adalah remaja karang Taruna untuk

ketrampilan penyablonan dan ibu-ibu PKK untuk pengembangan ketrampilan

menjahit.74

Berbeda dengan Kelurahan Sidotopo, Kelurahan Putat Jawa Kecamatan

Sawahan mendapat bantuan P2KP sebesar 150 juta. Dana hibah sebanyak 50 juta dan

pinjaman modal sebesar 100 juta. Kemudian proses distribusi ke masyarakat

dilaksanakan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk melalui

Musyarawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang diketahui oleh

kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota setempat. Dalam rangka pengembangan dan

pemberdayaan masyarakat Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) setempat

membentuk empat biro, yaitu: (1) Pendidikan: Pelatihan; (2) Kesehatan: imunisasi bayi;

(3) Infrastruktur: pipanisasi; dan (4) Teknologi Tepat Guna (TTG), yang masih belum

terlaksana.

74 Hasil wawancara dengan Rustam, pengurus BKM Kelurahan Sidotopo, 25 Agustus 2009

56

Page 57: 227-811-1-PB

Pada tahun 2008, P2KP di Kelurahan Putat Jaya sudah membekali masyarakat

dengan mengadakan pelatihan keterampilan (skill) berupa kerajinan daur ulang sampah,

menjahit, dan tata boga. Daur ulang sampah berguna tidak hanya pada penumbuhan

industri kreatif namun juga terealisasinya program kampung green and clean yang

dicanangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Pelatihan daur ulang sampah

dilaksanakan terutama diprioritaskan pada pembersih sampah dan kelompok-kelompok

muda. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kemandirian pada jiwa dan nalar generasi

muda di masa depan. Misalnya Karang Taruna diambil tiga orang dan remaja masjid

(remas) empat orang.75

Program pelatihan skill yang lain adalah pelatihan menjahit dan tata boga.

Kelompok sasarannya adalah kelompok PKK, organisasi kepemudaan, dan ibu-ibu

yang tidak memiliki pekerjaan. Tujuannya adalah membekali kelompok masyarakat

dengan jiwa wirausaha dan menanamkan pentingnya kesadaran kemandirian. Meskipun

secara konseptyal dan praktek pelaksanaannya dinilai dan mendapat sambutan positif

dari masyarakat namun program tersebut menemui beberapa kendala, diantaranya

keberlanjutan pendampingan pasca pelatihan yang dinilai kurang maksimal dan tidak

adanya jaringan mitra yang mampu mendorong dan memaksimalkan peran kelompok

sasaran dan produk apa yang ditawarkan setelah pelatihan.

Sementara itu di Kelurahan Pacar Keling Kecamatan Tambaksari, alokasi

dana bantuan yang didapat sebesar 150 juta yang selanjutnya dikoordinir oleh ketua

BKM setempat. Bentuk program dan kelompok sasarannya adalah sebagai berikut:76

1. Pelatihan montir motor bagi para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan alias

pengangguran.

75 Hasil wawancara dengan Achmad, Ketua BKM Putat Jaya, 26 Agustus 2009 76 Hasil wawancara dengan Moh. Joeli, Ketua BKM Pacar Kelling, 20 Agustus 2009

57

Page 58: 227-811-1-PB

2. Pelatihan kterampilan membuat sepatu dan peci. Objek sasarannnya adalah warga

laki-laki dan perempuan yang diwakili masing-masing RW dan diseleksi di setiap

RT setempat.

3. Pelatihan Bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Objek sasarannya adalah

guru-guru PAUD dari Kelurahan Pacar Keling

4. Pelatihan Tata Boga (Memasak) yang objek sasarannya adalah ibu-ibu perwakilan

masing-masing RW yang diseleksi dari setiap RT.

5. Program bantuan fisik yang meliputi pavingisasi dan perbaikan selokan air.

Kendala atau hambatan yang dirasakan masyarakat dalam pelaksanan

program-program tersebut adalah tidak adanya kontrol dan monitoring terhadap

bantuan yang dterima oleh Pemerintah dan pelaksana program (dalam hal ini BKM)

setempat sehingga terkesan kurang terurus dengan baik dan dinilai tidak tepat

sasaran.77 Di sisi lain, konflik internal antara pengurus BKM dan RW Pacar Kelling

juga mewarnai dalam proses pelaksanaan program tersebut. Hal disebabkan oleh tidak

transparansinya dana bantuan P2KP dan pembagian bantuan program fisik seperti

pavingisasi dan pembenahan selokan air yang dinilai tidak merata karena sebagian RT

tidak mendapat alokasi dari program tersebut.

Namun dapat dikatakan secara garis besar kendala yang menghambat

efektivitas program-program pelatihan terhadap target dan tujuan yang sudah

ditetapkan adalah ketidaksiapan pendamping dalam melakukan pengawalan sampai

terbentuknya jiwa produktivitas masyarakat yang menjadi sasaran pelatihan. Di sisi lain

juga sering kali PNPM-P2KP masih dianggap sebagai proyek yang menguntungkan

dengan imbalan besar. Nalar demikian berdampak pada produktif dan tidak

produktifnya pendamping dalam menumbuhkan dan mencapai target yang diinginkan.

77 Wawancara dengan ketua RT 1 Kelurahan Pacar Kelling, 20 Agustus 2009

58

Page 59: 227-811-1-PB

Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar pendamping P2KP adalah dari kalangan

terdidik yang masih belum tercatat mempunyai pekerjaan.

Pada tahun 2009, Kota Surabaya kembali mendapatkan alokasi bantuan

anggaran untuk pelaksanaan program PNPM-P2KP. Berikut rincian alokasi bantuan

pada masing-masing kecamatan dan kelurahan di wilayah Kota Surabaya:

Tabel 3.5

Alokasi Bantuan PNPM-P2KP Tahun 2009

KOTA/KAB. KECAMATAN   KELURAHAN PLN  APBD  BLM KOTA SURABAYA KARANG PILANG 1 WARUGUNUNG 128 32 160     2 KARANGPILANG 160 40 200     3 KEBRAON 280 70 350     4 KEDURUS 280 70 350   TOTAL KEC. KARANG PILANG 848 212 1,060   JAMBANGAN 1 PAGESANGAN 160 40 200     2 KEBONSARI 160 40 200     3 JAMBANGAN 160 40 200     4 KARAH 224 56 280   TOTAL KEC. JAMBANGAN 704 176 880

  GAYUNGAN 1DUKUH MENANGGAL

160 40 200

    2 MENANGGAL 160 40 200     3 GAYUNGAN 224 56 280     4 KETINTANG 224 56 280   TOTAL KEC. GAYUNGAN 768 192 960   WONOCOLO 1 SIWALANKERTO 184 46 230     2 JEMUR WONOSARI 184 46 230     3 MARGOREJO 184 46 230     4 BENDUL MERISI 184 46 230     5 SIDOSERMO 280 70 350   TOTAL KEC. WONOCOLO 1,016 254 1,270   TENGGILIS MEJOYO 1 KUTISARI 224 56 280     2 KENDANGSARI 224 56 280     3 TENGGILIS MEJOYO 128 32 160     4 PRAPEN 160 40 200     5 PANJANG JIWO 160 40 200   TOTAL KEC. TENGGILIS MEJOYO 896 224 1,120

  GUNUNG ANYAR 1RUNGKUT MENANGGAL

224 56 280

    2 RUNGKUT TENGAH 224 56 280     3 GUNUNG ANYAR 280 70 350

    4GUNUNG ANYAR TAMBAK

160 40 200

  TOTAL KEC. GUNUNG ANYAR 888 222 1,110   RUNGKUT 1 RUNGKUT KIDUL 224 56 280     2 MEDOKAN AYU 280 70 350     3 WONOREJO 160 40 200

59

Page 60: 227-811-1-PB

    4 PENJARINGAN SARI 280 70 350     5 KEDUNG BARUK 224 56 280     6 KALIRUNGKUT 224 56 280   TOTAL KEC. RUNGKUT 1,392 348 1,740   SUKOLILO 1 NGINDEN JANGKUNGAN 224 56 280     2 SEMOLOWARU 224 56 280     3 MEDOKAN SEMAMPIR 224 56 280     4 KEPUTIH 160 40 200     5 GEBANG PUTIH 160 40 200     6 KLAMPIS NGASEM 224 56 280     7 MENUR PUMPUNGAN 224 56 280   TOTAL KEC. SUKOLILO 1,440 360 1,800

  MULYOREJO 1MANYAR SABRANGAN

224 56 280

    2 MULYOREJO 224 56 280

    3KEJAWEN PUTIH TAMBAK

160 40 200

    4 KALISARI 128 32 160     5 DUKUH SUTOREJO 224 56 280     6 KALIJUDAN 280 70 350   TOTAL KEC. MULYOREJO 1,240 310 1,550   GUBENG 1 BARATAJAYA 280 70 350     2 PUCANG SEWU 280 70 350     3 KERTAJAYA 280 70 350     4 GUBENG 280 70 350     5 AIRLANGGA 280 70 350     6 MOJO 280 70 350   TOTAL KEC. GUBENG 1,680 420 2,100   WONOKROMO 1 SAWUNGGALING 280 70 350     2 WONOKROMO 280 70 350     3 JAGIR 280 70 350     4 NGAGELREJO 280 70 350     5 NGAGEL 280 70 350     6 DARMO 280 70 350   TOTAL KEC. WONOKROMO 1,680 420 2,100   DUKUH PAKIS 1 GUNUNGSARI 280 70 350     2 DUKUHPAKIS 280 70 350     3 PRADAHKALIKENDAL 280 70 350     4 DUKUHKUPANG 224 56 280   TOTAL KEC. DUKUH PAKIS 1,064 266 1,330   WIYUNG 1 BALAS KLUMPRIK 112 28 140     2 BABATAN 184 46 230     3 WIYUNG 184 46 230     4 JAJARTUNGGAL 128 32 160   TOTAL KEC. WIYUNG 608 152 760   LAKAR SANTRI 1 BANGKINGAN 128 32 160     2 SUMUR WELUT 128 32 160     3 LIDAH WETAN 80 20 100     4 LIDAH KULON 280 70 350     5 JERUK 128 32 160     6 LAKARSANTRI 128 32 160   TOTAL KEC. LAKAR SANTRI 872 218 1,090

60

Page 61: 227-811-1-PB

  SAMBI KEREP 1 MADE 160 40 200     2 BRINGIN 160 40 200     3 SAMBIKEREP 280 70 350     4 LONTAR 224 56 280   TOTAL KEC. SAMBI KEREP 824 206 1,030   TANDES 1 GADEL 160 40 200     2 TUBANAN 160 40 200     3 TANDES LOR 160 40 200     4 TANDES KIDUL 128 32 160     5 GEDANGASIN 120 30 150     6 KARANGPOH 160 40 200     7 BALONGSARI 224 56 280     8 BIBIS 120 30 150     9 MANUKAN WETAN 160 40 200     10 MANUKAN KULON 224 56 280     11 BANJAR SUGIAN 224 56 280     12 BUNTARAN 120 30 150   TOTAL KEC. TANDES 1,960 490 2,450   SUKOMANUNGGAL 1 PUTAT GEDE 160 40 200     2 SONO KWIJENAN 160 40 200     3 SIMOMULYO 224 56 280     4 SUKO MANUNGGAL 128 32 160     5 TANJUNGSARI 224 56 280   TOTAL KEC. SUKOMANUNGGAL 896 224 1,120   SAWAHAN 1 PAKIS 280 70 350     2 PUTAT JAYA 184 46 230     3 BANYU URIP 184 46 230     4 KUPANG KRAJAN 280 70 350     5 PETEMON 280 70 350     6 SAWAHAN 184 46 230   TOTAL KEC. SAWAHAN 1,392 348 1,740   TEGAL SARI 1 KEPUTRAN 280 70 350     2 DR. SUTOMO 184 46 230     3 TEGALSARI 184 46 230     4 WONOREJO 280 70 350     5 KEDUNGDORO 280 70 350   TOTAL KEC. TEGAL SARI 1,208 302 1,510   GENTENG 1 EMBONG KALIASIN 184 46 230     2 KETABANG 160 40 200     3 GENTENG 280 70 350     4 PENELEH 280 70 350     5 KAPASARI 280 70 350   TOTAL KEC. GENTENG 1,184 296 1,480   TAMBAK SARI 1 PACAR KELING 280 70 350     2 PACAR KEMBANG 280 70 350     3 PLOSO 184 46 230     4 TAMBAKSARI 280 70 350     5 RANGKAH 184 46 230     6 GADING 280 70 350   TOTAL KEC. TAMBAK SARI 1,488 372 1,860

  KENJERAN 1TANAH KALI KEDINDING

280 70 350

61

Page 62: 227-811-1-PB

    2 SIDOTOPO WETAN 184 46 230     3 BULAK BANTENG 280 70 350     4 TAMBAK WEDI 128 32 160   TOTAL KEC. KENJERAN 872 218 1,090   BULAK 1 SUKOLILO 160 40 200     2 KOMPLEK KENJERAN 160 40 200     3 KENJERAN 160 40 200     4 BULAK 280 70 350     5 KEDUNG COWEK 160 40 200   TOTAL KEC. BULAK 920 230 1,150   SIMOKERTO 1 KAPASAN 280 70 350     2 TAMBAKREJO 280 70 350     3 SIMOKERTO 280 70 350     4 SIDODADI 280 70 350     5 SIMOLAWANG 280 70 350   TOTAL KEC. SIMOKERTO 1,400 350 1,750   SEMAMPIR 1 AMPEL 280 70 350     2 SIDOTOPO 184 46 230     3 PEGIRIAN 128 32 160     4 WONOKUSUMO 128 32 160     5 UJUNG 280 70 350   TOTAL KEC. SEMAMPIR 1,000 250 1,250   PABEAN CANTIAN 1 BONGKARAN 80 20 100     2 NYAMPLUNGAN 280 70 350

    3KREMBANGAN UTARA

280 70 350

    4 PERAK TIMUR 280 70 350     5 PERAK UTARA 184 46 230   TOTAL KEC. PABEAN CANTIAN 1,104 276 1,380   BUBUTAN 1 TEMBOK DUKUH 280 70 350     2 BUBUTAN 280 70 350

    3ALON ALON CONTONG

160 40 200

    4 GUNDIH 184 46 230     5 JEPARA 280 70 350   TOTAL KEC. BUBUTAN 1,184 296 1,480   KREMBANGAN 1 DUPAK 280 70 350     2 MOROKREMBANGAN 184 46 230     3 PERAK BARAT 80 20 100     4 KEMAYORAN 280 70 350

    5KREMBANGAN SELATAN

280 70 350

  TOTAL KEC. KREMBANGAN 1,104 276 1,380   ASEMROWO 1 TAMBAK LANGON 120 30 150     2 GREGES 128 32 160     3 ASEMROWO 224 56 280     4 GENTING 160 40 200     5 KALIANAK 120 30 150   TOTAL KEC. ASEMROWO 752 188 940   BENOWO 1 SEMEMI 224 56 280     2 KLAKAH REJO 160 40 200     3 KANDANGAN 280 70 350

62

Page 63: 227-811-1-PB

    4TAMBAKOSO WILANGON

160 40 200

    5 ROMOKALISARI 120 30 150   TOTAL KEC. BENOWO 944 236 1,180   PAKAL 1 BABAT JERAWAT 280 70 350     2 PAKAL 160 40 200     3 BENOWO 160 40 200     4 SOMBEREJO 160 40 200     5 TAMBAKDONO 120 30 150   TOTAL KEC. PAKAL 880 220 1,100

TOTAL KOTA SURABAYA 34,208 8,552 42,760 Sumber: Tim Koordinasi PNPM Mandiri Kota Surabaya

D. Deskripsi dan Profil Responden

Responden dalam penelitian ini dengan jumlah total 328 orang (N= 328)

adalah mereka yang termasuk dalam kategori keluarga miskin penerima Bantuan

Langsung Tunai (BLT) yang sebagian juga menjadi target (sasaran) bantuan PNPM-

P2KP (Program Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan di wilayah Kota Surabaya.

Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, responden tersebut dipilih

melalui teknik penarikan sampel gugus bertahap yang diambil dari lima wilayah

pembantu pembantu walikota, diantaranya Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya

Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Utara. Selanjutnya, peneliti menentukan secara

purposive untuk memilih kecamatan-kecamatan dari masing-masing wilayah pembantu

wali kota tersebut dengan asumsi kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang

banyak memiliki keluarga miskin yang menjadi penerima BLT.

D.1 Karakteristik Responden

Karakteristik responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mendata

tentang jenis kelamin dan usia responden. Sedangkan terkait dengan pendidikan

terakhir dan pekerjaan responden sebagian besar memiliki karakateristik yang sama

atau relatif homogen. Hal ini wajar mengingat seluruh responden yang dipilih dalam

penelitian adalah warga miskin yang cenderung memiliki karakteristik yang homogen

63

Page 64: 227-811-1-PB

terutama dalam hal tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang rata-rata bergerak di

sektor informal (wiraswasta atau wirausaha). Hasil selengkapnya mengenai

karakteristik responden dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini:

D.1.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden

Sebagian besar responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki

dengan proporsi yang lebih dominan, yaitu sebesar 78 % atau 257 orang dari total 328

orang (N=328). Sedangkan sisanya sebesar 22 % (71 orang) adalah perempuan. Berikut

gambar persentase jumlah responden berdasar jenis kelamin :

D.1.2 Distribusi Usia Responden

Berikut adalah gambar distribusi responden berdasarkan usia:

Gambar 3.1.1Distribusi Responden Berdasar Jenis Kelamin

257

78%

71

22%Laki-Laki

Perempuan

64

Page 65: 227-811-1-PB

Gambar 3.1.2 Distribusi Usia Responden

35(11%)

125(38%)

168(51%)

25 - 45

46 - 55

> 55

Gambar di atas menjelaskan karakteristik responden berdasarkan usia

kelamin. Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa sebagian besar usia responden

adalah berkisar 25-45 tahun yang mencapai jumlah 51% (168 orang) dari total

seluruhnya (N=328). Sedangkan sebanyak 38% (125) responden berusia sekitar 46-55

tahun. Dan sisanya sebanyak 11% (35) responden berusia di atas 55 tahun. Hal ini

berarti bahwa sebagian besar responden masih berusia produktif.

BAB IV

ANALISIS HASIL PENELITIAN

A. Uji Validitas dan Reliabilitas

Uji validitas merupakan suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi

(content) dari suatu instumen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan instrumen yang

digunakan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini, uji validitas internal dilakukan

atas item-item pernyataan pada kuesioner yaitu dengan jalan menghitung corrected

item to total correlation. Hair, Anderson, Black (1998 : 611) menyatakan bahwa

65

Page 66: 227-811-1-PB

analisis ini merupakan analisis konsistensi internal atas item item yang digunakan

untuk mengukur variabel. Item yang dapat dikatakan konsisten secara internal bila item

memiliki korelasi dengan skor total 0,196.78 Sebaliknya jika bernilai lebih kecil,

maka suatu pernyataan dianggap tidak valid. Berikut adalah uji validitas pada variabel

program pengentasan kemiskinan (BLT & P2KP) dan kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat. Berikut adalah hasil pengujian validitas pada variabel bebas :

Tabel 4.1Uji Validitas Pada Variabel Program Pengentasan Kemiskinan (BLT & P2KP) dan

Kesejahteraan Sosial Ekonomi Variabel Item Koefisien

Korelasi

r standar Keterangan

Program Pengentasan Kemiskinan

(BLT & P2KP)

X1.1 0.0103

0,196

tidak valid X1.2 0.2497 Valid X1.3 -0.1493 tidak valid X1.4 0.2920 Valid X1.5 0.3366 Valid X1.6 0.1273 tidak valid X1.7 0.6526 ValidX1.8 0.5277 ValidX1.9 -0.2542 tidak validX2.10 0.6164 ValidX2.11 0.5767 ValidX2.12 0.8538 ValidX2.13 0.7570 ValidX2.14 0.3987 ValidX2.15 0.5922 ValidX2.16 0.4509 ValidX2.17 0.4011 ValidX2.18 0.3028 Valid

Kesejahteraan Sosial

Ekonomi

Y1.1 0.2388 Valid Y1.2 0.3798 Valid Y1.3 0.2351 Valid Y2.4 0.7445 Valid Y2.5 0.5072 ValidY2.6 0.7142 ValidY3.7 0.6817 ValidY3.8 0.2600 ValidY3.9 0.4220 Valid

78 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis (Bandung: ALFABETA, 1999)

66

Page 67: 227-811-1-PB

Dari tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar item pada variabel X

dinyatakan valid karena mempunyai nilai corrected item to total correlation lebih besar

dari 0,196. Hanya ada empat item pada variabel X1 yang dinyatakan tidak valid.

Sedangkan seluruh item pada variabel Y mempunyai nilai corrected item to total

correlation lebih besar dari 0,196 sehingga dinyatakan valid. Dengan demikian pada

dasarnya, indikator dari variabel program pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan

sosial ekonomi sudah teruji validitasnya sehingga dapat digunakan untuk penelitian

selanjutnya.

Uji selanjutnya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran

dapat dilakukan kemantapan dan ketepatannya, yaitu dengan uji reliabilitas. Cara untuk

menghitung reliabilitas pengukuran adalah dengan menghitung koefisien realibilitas

Cronbach’s Alpha. Apabila alpha hitung diatas 0,6 menurut Malhotra (1996 : 84) maka

dapat disimpulkan bahwa perangkat pernyataan yang digunakan untuk mengukur

masing-masing variabel dapat diandalkan (reliable).

Tabel 4.2

Uji Reliabilitas Variabel Penelitian

Variabel Alpha () Kategori

Program Pengentasan Kemiskinan

(BLT & P2KP)

0.8076 Reliabel

Kesejahteraan Sosial Ekonomi 0.7705 Reliabel

Tabel 4.2 menunjukkan nilai alpha cronbach seluruh variabel mempunyai nilai

lebih besar dari 0,6. Dengan demikian kuesioner untuk seluruh variabel mempunyai

konsistensi atau kestabilan yang baik. Dengan kata lain sudah teruji reliabilitasnya.

67

Page 68: 227-811-1-PB

B. Deskripsi Variabel dan Analisis Hasil Penelitian

Penelitian ini terbagi dalam 2 aspek atau variabel. Pertama adalah variabel

program pengentasan kemiskinan (X) yang meliputi program BLT (X1) dan PNPM-

P2KP (X2). Kedua, variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang diukur berdasarkan

3 indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu standar hidup layak,

pendidikan, dan kesehatan. Indikator program pengentasan kemiskinan terdiri dari 18

item pertanyaan sedangkan pada indikator kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat

terdiri dari 9 item pertanyaan. Jawaban responden didasarkan pada skala likert yang

dibagi menjadi lima kategori jawaban, yaitu sangat baik (5), baik (4), kurang baik (3),

tidak baik (2), dan sangat tidak baik (1).

Selanjutnya, indikator pada masing-masing variabel dikorelasikan dengan

tabulasi silang yang dianalisis menggunakan program SPSS. Tabulasi silang ini

dipergunakan untuk menganalisa pengaruh program pengentasan kemiskinan

pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota

Surabaya. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan uji analisis regresi linier. Tahapan analisisnya dimulai dari uji analisis

yang dilakukan secara parsial, yakni dengan meregresikan secara parsial masing-

masing variabel, yaitu BLT (X1) dan P2KP (X2) dengan ketiga indikator pada variabel

kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat (Y) yang meliputi, standar hidup layak,

pendidikan, dan kesehatan. Analisis regresi tersebut juga dilakukan dalam uji F

(ANNOVA) secara simultan untuk menunjukkan seberapa kuat tingkat korelasi

(pengaruh) variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y. Hal ini ditunjukkan dengan angka

korelasi (koefisien korelasi) yang diperoleh dari hasil uji analisis serta hasil

perbandingan F hitung dan tingkat signifikansinya dengan angka probabilitas.

68

Page 69: 227-811-1-PB

Di samping juga dilakukan analisis dengan uji t (t-test) untuk menguji

signifikansi konstanta dan variabel independen (kesejahteraan sosial ekonomi) dengan

membandingkan t hitung dengan t tabel. Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima (H1

ditolak) dan jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak (H1 diterima).79 Berikut adalah

uraian deskriptif variabel hasil penelitian yang disertai dengan analisisnya :

B.1. Bantuan Langsung Tunai dan Standar Hidup Layak

Pada bahasan ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT (X1)

dikorelasikan (diregresikan) dengan indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi

yang pertama, yaitu standar hidup layak untuk melihat hubungan antar variabel dan

seberapa kuat pengaruh BLT terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

Berikut tabel hasil analisisnya :

Tabel B.1a Variables Entered/Removedb

ModelVariables Entered

Variables Removed Method

1 BLTa . Enter

a. All requested variables entered.b. Dependent Variable: Standar Hidup Layak

Tabel B.1b Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .063a .004 .003 .639

a. Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Tabel pertama (B.1a & 1b) menunjukkan variabel yang dimasukkan adalah

BLT dan tidak ada variabel yang dikeluarkan (removed). Angka R sebesar 0,063

menunjukkan bahwa korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen)

dengan variabel standar hidup layak sebagai variabel dependen sangat lemah atau tidak

signifikan korelasinya. Dikatakan demikian karena angka tersebut sangat jauh dari

parameter angka 1 atau sudah mendekati 0 (nol). Selanjutnya, angka R square sebesar

79 Singgih Santoso, Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17 (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 328-331.

69

Page 70: 227-811-1-PB

0,004 adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi yang disebut juga koefisien

determinan, atau 0.063 x 0.063 = 0,004. Hal ini berarti hanya 0,4 % dari variasi standar

hidup layak yang bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya (100% - 0,4%

= 99,6%) disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini

menunjukkan bahwa variabel BLT memiliki kontribusi pengaruh yang sangat kecil atau

bahkan relatif tidak ada pengaruhnya (hanya sebesar 0,4 %) terhadap standar hidup

layak masyarakat Kota Surabaya. Karena seperti disebutkan sebesar 99,6 % (mendekati

100%) standar hidup layak justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT.

Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,639 menunjukkan tingkat ketepatan

dari model regresi di atas yang cukup akurat dalam memprediksi variabel dependen

(standar hidup layak) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.1c ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 1.610 1 1.610 3.947 .047(a) Residual 400.697 982 .408 Total 402.308 983

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Standar Hidup Layak

Tabel B.1d Coefficientsa

Model Unstandardized

CoefficientsStandardized Coefficients t Significance

B Std. Error Beta 1 (Constant) 3.209 .104 30.929 .000 BLT .055 .027 .063 1.987 .047

a Dependent Variable: Standar Hidup Layak

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 3,947

sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,047. Karena probabilitas (0,047)

mendekati 0,05 yang berarti parameter koefisien regresi parsial hampir sama dengan

0,05. Dengan demikian, model regresi kecil kemungkinan bisa dipakai untuk

memprediksi variabel dependen (standar hidup layak). Atau dengan kata lain, Bantuan

70

Page 71: 227-811-1-PB

Langsung Tunai (BLT) memiliki pengaruh yang sangat kecil (tdak signifikan) terhadap

standar hidup layak.

Selanjutnya dilakukan uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan variabel

independen (BLT). Dari persamaan regresi yang diperoleh selanjutnya akan diuji

apakah memang valid untuk memprediksi variabel dependen. Dengan kata lain, akan

dilakukan pengujian apakah program BLT benar-benar bisa memprediksi atau

berpengaruh signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

Hipotesis untuk kasus ini adalah:

H0 = koefisien regresi tidak signifikan

H1 = koefisien regresi signifikan

Pengambilan keputusan didasarkan pada dua cara :

a. Dengan membandingkan statistik t hitung dengan statistik t tabel. Jika t hitung < t

tabel, maka H0 diterima. Jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak. Dari tabel output

di atas terlihat bahwa t hitung 1,987. Sedangkan t tabel dengan tingkat signifikansi

(£) = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat kebebasan) = 25 diperoleh

angka 2,0595. Karena t hitung < t tabel (atau 1,987 < 2,0595) maka H0 diterima

meskipun t hitung untuk konstanta jauh lebih besar (30,929) dari t tabel sehingga

persamaan regresi kecil kemungkinan bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien

regresi tidak signifikan atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak berpengaruh

signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

b. Berdasarkan probabilitas

Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari

0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.

71

Page 72: 227-811-1-PB

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas

terlihat bahwa pada kolom significance adalah 0,047 atau BLT jauh lebih besar di

atas 0,025. Maka H0 diterima atau BLT tidak berpengaruh (berdampak) secara

signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

B.2 Bantuan Langsung Tunai dan Pendidikan

Indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang kedua adalah

pendidikan. Karena itu pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT

(X1) diregresikan dengan pendidikan untuk melihat hubungan antar variabel dan

seberapa kuat pengaruh program BLT terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.2a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .199(a) .040 .039 .593

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,199 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel

pendidikan sebagai variabel dependen yang lemah karena relatif mendekati angka 0

(nol). Hal ini diperkuat angka R square sebesar 0,40 sebagai koefisien determinan yang

berarti hanya 4% dari variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel BLT.

Sedangkan sisanya 96% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam

model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel BLT memiliki kontribusi pengaruh yang

kecil (hanya sebesar 4 %) terhadap kondisi pendidikan masyarakat Kota Surabaya

karena seperti disebutkan sebesar 96 % dari variabel pendidikan justru disebabkan oleh

variabel lain selain BLT.

72

Page 73: 227-811-1-PB

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,593 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (pendidikan) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.2b ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 14.240 1 14.240 40.446 .000(a) Residual 345.744 982 .352 Total 359.984 983

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat

Tabel B.2c Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients t

Significance

B Std. Error Beta1 (Constant) 3.062 .096 31.762 .000

BLT .162 .025 .199 6.360 .000

a Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 40,446

sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000)

jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi

pendidikan. Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh

terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu berdasar uji t, dari tabel output di atas terlihat bahwa t hitung

6,360. Dan t tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi guna

mengetahui signifikan tidaknya koefisien regresi dengan df (derajat kebebasan) = 25

diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 6,360 > 2,0595) maka H1

diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 31,762 sehingga persamaan regresi

bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Bantuan Langsung

Tunai (BLT) berpengaruh signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

Uji analisis juga dilakukan berdasarkan probabilitas dengan hipotesis:

73

Page 74: 227-811-1-PB

Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari

0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau BLT jauh di bawah 0,025, maka

H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh

(berdampak) secara signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

B.3. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kesehatan

Indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang ketiga adalah

kesehatan. Karena itu pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT

(X1) diregresikan dengan variabel kesehatan untuk melihat hubungan antar variabel

dan seberapa kuat pengaruh program BLT terhadap kesehatan masyarakat Kota

Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.3a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .092(a) .008 .007 .570

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,092 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel

kesehatan (variabel dependen) yang sangat lemah atau tidak signifikan karena

mendekati angka 0 (nol). Hal ini diperkuat angka R square (koefisien determinan)

sebesar 0,008 yang berarti hanya 0,8 % dari variabel kesehatan bisa dijelaskan oleh

variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar 99,2% disebabkan oleh variabel lain yang

tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Bantuan

74

Page 75: 227-811-1-PB

Langsung Tunai (BLT) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya

sebesar 0,8 %) terhadap kondisi kesehatan masyarakat Kota Surabaya karena seperti

disebutkan sebesar 99,2 % dari variabel kesehatan justru disebabkan oleh variabel lain

selain BLT.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,570 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (kesehatan) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.3b ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 2.710 1 2.710 8.344 .004(a) Residual 318.988 982 .325 Total 321.698 983

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients T

Significance

B Std. Error Beta1 (Constant) 3.430 .093 37.046 .000

BLT .071 .024 .092 2.889 .004

a Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 8,344

sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,004. Karena probabilitas (0,004)

lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesehatan.

Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap

kesehatan masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 2,889.

Sedangkan t tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan

75

Page 76: 227-811-1-PB

df (derajat kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau

2,889 > 2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 31,762

sehingga persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi

signifikan atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap kesehatan

masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari

0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,004 atau BLT di bawah 0,025, maka H0

ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh

(berdampak) terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.

B.4. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi

Pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT (X1)

diregresikan langsung secara menyeluruh dengan variabel Y, yaitu kesejahteraan sosial

ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program

BLT terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.4a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .135(a) .018 .018 .614

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)...

Tabel output menyatakan bahwa angka R sebesar 0,135 menunjukkan adanya

korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel

76

Page 77: 227-811-1-PB

kesejahteraan sosial ekonomi (variabel dependen) yang cukup lemah karena relatif jauh

dari angka 1 (satu). Hal ini diperkuat angka R square (koefisien determinan) sebesar

0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi bisa

dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh

variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa

variabel Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak

signifikan (hanya sebesar 1,8 %) terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat

Kota Surabaya karena seperti disebutkan sebesar 98,2 % dari variabel kesejahteraan

sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.4c ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 20.553 1 20.553 54.602 .000(a) Residual 1110.025 2949 .376 Total 1130.577 2950

a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel B.4c Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.221 .051 63.111 .000

Bantuan Langsung Tunai (BLT)

.103 .014 .135 7.389 .000

a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 54,602

sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000)

77

Page 78: 227-811-1-PB

jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi

kesejahteraan sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT)

berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya.

Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 7,389. Dan t

tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 7,389 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 63,111 sehingga

persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau

Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau BLT jauh di bawah 0,025, maka

H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh

(berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya.

B.5. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Standar

Hidup Layak

Jika dalam uraian sebelumnya variabel BLT (X1) diregresikan dengan

masing-masing indikator dalam variabel Y demikian juga variabel BLT (X1) dengan

variabel kesejateraan sosial ekonomi (Y). Maka, pada bagian ini, variabel X2, yaitu

78

Page 79: 227-811-1-PB

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) diregresikan pula dengan

setiap indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y), diantaranya yang pertama

adalah standar hidup layak untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat

pengaruh P2KP terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel

output analisisnya :

B.5b Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .079(a) .006 .005 .638

a Predictors: (constant) Program Penggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP)

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,079 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel P2KP (variabel independen) dengan variabel

standar hidup layak (variabel dependen) yang sangat lemah atau tidak signifikan karena

mendekati angka 0 (nol). Hal ini diperkuat angka R square sebesar 0,006 yang berarti

hanya 0,6 % dari variabel standar hidup layak bisa dijelaskan dengan variabel P2KP.

Sedangkan sisanya sebesar 99,4% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan

dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar

0,6 %) terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 99,4 %

dari variabel standar hidup layak justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,638 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (standar hidup layak) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.5c ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 2.511 1 2.511 6.168 .013(a) Residual 399.797 982 .407 Total 402.308 983

79

Page 80: 227-811-1-PB

a Predictors: (constant) Program Penggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP)b Dependent Variable: Standar Hidup Layak

Tabel B.5d Coefficients(a)

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T

Significance B Std. Error Beta

1 (Constant) 3.219 .080 40.171 .000 P2KP .057 .023 .079 2.484 .013

a Dependent Variable: Standar Hidup Layak

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 6,168 dan F

tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,013. Karena nilai probabilitas (0,013) lebih

kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi standar hidup

layak. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

(P2KP) memiliki pengaruh terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 2,484. Dan t

tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 2,484 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.

Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) berpengaruh terhadap standar hidup layak masyarakat

Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,013 atau P2KP masih di bawah 0,025, maka

H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Program

80

Page 81: 227-811-1-PB

Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) berpengaruh (berdampak)

terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

B.6 Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Pendidikan

Pada bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

yang disingkat P2KP (X2) diregresikan dengan variabel pendidikan untuk melihat

hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program P2KP terhadap

pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.6b Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .150(a) .023 .022 .599

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,150 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel

kesehatan (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 atau

mendekati angka 0 (nol). Angka R square sebesar 0,023 yang berarti hanya 2,3 % dari

variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel P2KP. Sedangkan sisanya sebesar

97,7% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini

menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar 2,3 %) terhadap

pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 97,7 % dari variabel pendidikan

justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,599 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (pendidikan) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.6b ANOVAb

81

Page 82: 227-811-1-PB

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 8.139 1 8.139 22.716 .000(a) Residual 351.845 982 .358 Total 359.984 983

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)b Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat

Tabel B.6d Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t

Significance B Std. Error Beta

1 (Constant) 3.316 .075 44.110 .000 P2KP .102 .021 .150 4.766 .000

a Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 22,716 dan F

tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh

lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi pendidikan.

Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 4,766. Dan t

tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 4,766 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 44,110 sehingga

persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau

program P2KP berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian dalam tabel output koefisien di atas terlihat bahwa pada

kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025 sehingga H0 ditolak.

82

Page 83: 227-811-1-PB

Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh (berdampak)

signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.

B.7. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Kesehatan

Dalam bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan yang disingkat P2KP (X2) diregresikan dengan variabel kesehatan untuk

melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program P2KP terhadap

kesehatan masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.7a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .177(a) .031 .030 .563

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,177 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel

kesehatan (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 atau

mendekati angka 0 (nol). Angka R square (koefisien determinan) sebesar 0,031 yang

berarti hanya 3,1 % dari variabel kesehatan bisa dijelaskan oleh variabel P2KP.

Sedangkan sisanya sebesar 96,9% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan

dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP) memiliki kontribusi pengaruh yang lemah (hanya sebesar 3,1 %)

terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 96,9 % dari variabel

kesehatan justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,563 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (kesehatan) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.7b ANOVAb

83

Page 84: 227-811-1-PB

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 10.033 1 10.033 31.612 .000(a) Residual 311.665 982 .317 Total 321.698 983

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)b Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat

Tabel B.7d Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t

Significance B Std. Error Beta

1 (Constant) 3.307 .071 46.744 .000 P2KP .114 .020 .177 5.622 .000

a Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 31,612 dan F

tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh

lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesehatan.

Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan tabel koefisien di atas menunjukkan t hitung sebesar 5,622. Dan t

tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 5,622 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.

Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau program P2KP berpengaruh

terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian dalam tabel output koefisien di atas terlihat bahwa pada

kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025 sehingga H0 ditolak.

84

Page 85: 227-811-1-PB

Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh (berdampak)

signifikan terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.

B.8. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan

Kesejahteraan Sosial Ekonomi

Pada bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

atau P2KP (X2) diregresikan langsung secara menyeluruh dengan variabel Y, yaitu

kesejahteraan sosial ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat

pengaruh program P2KP terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :

Tabel B.8a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .124(a) .015 .015 .614

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)...

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,124 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel P2KP (variabel independen) dengan variabel

kesejahteraan sosial ekonomi (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari

angka 1 (satu). Angka R square (koefisien determinan) sebesar 0,015 yang berarti

hanya 1,5 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi bisa dijelaskan oleh variabel

P2KP. Sedangkan sisanya sebesar 98,5% disebabkan oleh variabel lain yang tidak

dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel P2KP memiliki

kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar 1,5 %) terhadap kesejahteraan

sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 98,5 % dari variabel

kesejahteraan sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.

85

Page 86: 227-811-1-PB

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.8b ANOVAb

Model Sum of

Squares df Mean Square F Significance1 Regression 17.406 1 17.406 46.110 .000(a) Residual 1113.172 2949 .377 Total 1130.577 2950

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel B.8c Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

T SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.280 .047 70.149 .000

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

.092 .014 .124 6.790 .000

a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 46,110 dan F

tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh

lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesejahteraan

sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di

Perkotaan (P2KP) berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan tabel koefisien menunjukkan t hitung sebesar 6,790. Dan t tabel

dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 6,790 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 70,149 sehingga

86

Page 87: 227-811-1-PB

persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau

P2KP berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025, maka

H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh

(berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya.

B.9. Program Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi

Pada bagian akhir dalam analisis ini, variabel Program Penanggulangan

Kemiskinan di Perkotaan (X) langsung diregresikan secara simultan (baik BLT maupun

P2KP) dengan variabel Y, yaitu kesejahteraan sosial ekonomi untuk melihat hubungan

antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program penanggulangan kemiskinan

terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Berikut

tabel output analisisnya :

B.9a Model Summary

Model R R SquareAdjusted R

SquareStd. Error of the Estimate

1 .135(a) .018 .018 .614

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan...

Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,135 menunjukkan

adanya korelasi/hubungan antara variabel program penanggulangan kemiskinan

(variabel independen) dengan variabel kesejahteraan sosial ekonomi (variabel

dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 (satu). Angka R square

87

Page 88: 227-811-1-PB

(koefisien determinan) sebesar 0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel

kesejahteraan sosial ekonomi bisa dijelaskan oleh variabel program penanggulangan

kemiskinan. Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh variabel lain yang tidak

dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel program

penanggulangan kemiskinan memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan

(hanya sebesar 1,8 %) terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya. Karena sebesar 98,2 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi justru

disebabkan oleh variabel lain selain program penanggulangan kemiskinan.

Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat

ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel

dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.

Tabel B.9b ANOVAb

Model Sum of

Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 20.553 1 20.553 54.602 .000(a) Residual 1110.025 2949 .376 Total 1130.577 2950

a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel B.9c Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.221 .051 63.111 .000

Program Penanggulangan Kemiskinan

.103 .014 .135 7.389 .000

a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat

Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 54,602 dan F

tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh

lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesejahteraan

sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan (baik

88

Page 89: 227-811-1-PB

BLT maupun P2KP) berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat Kota Surabaya.

Sedangkan tabel koefisien menunjukkan t hitung sebesar 7,389. Dan t tabel

dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat

kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 7,389 >

2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.

Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau program penanggulangan

kemiskinan berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya.

Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:

Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.

Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.

Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat

bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau program penanggulangan

kemiskinan jauh di bawah 0,025, maka H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien

regresi signifikan atau program penanggulangan kemiskinan (baik BLT maupun

P2KP) berpengaruh (berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi

masyarakat Kota Surabaya.

89

Page 90: 227-811-1-PB

BAB V

P E N U T U P

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dampak

program penanggulangan kemiskinan terhadap peningkatan kesejahteraan sosial

ekonomi masyarakat Kota Surabaya dapat dijelaskan berdasarkan beberapa variabel,

yaitu: pertama, program penanggulangan kemiskinan sebagai variabel independen atau

bebas (X) yang terdiri dari dua variabel, diantaranya program Bantuan Langsung Tunai

(BLT) sebagai X1 dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)

sebagai X2. Variabel kedua adalah kesejahteraan sosial ekonomi sebagai variabel

dependen (Y) yang diukur berdasarkan 3 indikator dalam Indeks Pembangunan

Manusia (IPM), yaitu standar hidup layak, pendidikan, dan kesehatan. Analisis yang

90

Page 91: 227-811-1-PB

digunakan untuk mengkorelasikan masing-masing variabel tersebut adalah analisis

regresi melalui beberapa tahap dengan program SPSS.

Tahap awal dimulai dari uji analisis yang dilakukan secara parsial, yakni

dengan mengkorelasikan pada masing-masing variabel, yaitu BLT (X1) dan P2KP (X2)

dengan ketiga indikator pada variabel kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat (Y)

yang meliputi, standar hidup layak, pendidikan, dan kesehatan. Selanjutnya, analisis

regresi dilakukan dalam uji F (ANNOVA) untuk menunjukkan seberapa kuat tingkat

korelasi antara variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y. Disamping uji F juga

dilakukan uji analisis dengan uji t (t-test) untuk menguji signifikansi konstanta dan

variabel independen (kesejahteraan sosial ekonomi) dengan membandingkan t hitung

dengan t tabel. Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima (H1 ditolak) dan jika t hitung >

t tabel, maka H0 ditolak (H1) diterima. Tahap berikutnya baru dilakukan uji analisis

secara menyeluruh mengenai dampak variabel X, yaitu program penanggulangan

kemiskinan baik BLT (X1) maupun P2KP (X2) terhadap peningkatan kesejehteraan

sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya (Y).

Secara umum dapat dikatakan bahwa program penganggulangan kemiskinan

baik program BLT dan P2KP memiliki dampak (pengaruh) yang signifikan terhadap

peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai probabilitas (0,000) dari uji F yang jauh lebih kecil dari 0,05

dan nilai uji t hitung yang lebih besar dari t tabel, yaitu 7,389 > 2,0595 yang berarti

nilai koefisien regresi signifikan atau H1 diterima. Namun, dampak yang signifikan

tersebut masih perlu dipertanyakan seberapa besar kontribusi korelasinya mengingat

koefisien determinan (R square) sebesar 0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel

kesejahteraan sosial ekonomi (Y) bisa dijelaskan oleh variabel program

91

Page 92: 227-811-1-PB

penanggulangan kemiskinan (X). Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh

variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa

meskipun variabel program penanggulangan kemiskinan berpengaruh (berdampak)

terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya namun nilai

kontribusi pengaruhnya sebenarnya tidak signifikan (karena hanya sebesar 1,8 %)

terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. sedangkan sebesar

98,2 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain

selain program penanggulangan kemiskinan.

Di sisi lain, jika dilakukan analisis secara parsial pada masing-masing

variabel, maka hasil uji analisis regresinya relatif bervariasi. Misalnya, dalam kasus

dampak program Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap standar hidup layak

masyarakat menunjukkan korelasi yang sangat tidak signifikan. Hal ini bisa dijelaskan

dari beberapa uji analisis, diantaranya: nilai R square (koefisien determinan) yang

hanya sebesar 0,4 % yang berarti sebesar 99,6% atau hampir 100% standar hidup layak

justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT. Demikian pula pada uji F (Annova)

dan uji t dimana nilai probabilitas dari koefisien regresinya sebesar 0,047 mendekati

0,05 yang berarti model regresi kecil kemungkinan bisa dipakai untuk memprediksi

variabel dependen (standar hidup layak). Sedangkan hasil uji t menunjukkan bahwa t

hitung < t tabel (atau 1,987 < 2,0595) sehingga H0 diterima atau koefisien regresi tidak

signifikan yang berarti Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki pengaruh yang tidak

signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.

Namun, dalam kasus mengenai dampak program BLT terhadap pendidikan

dan kesehatan masyarakat Kota Surabaya menunjukkan pengaruh yang relatif

signifikan. Meskipun tingkat signifikansinya berbeda dimana dampak program BLT

92

Page 93: 227-811-1-PB

terhadap pendidikan lebih kuat jika dibandingkan dampak program BLT terhadap

kesehatan masyarakat Kota Surabaya. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji F (Annova) dan

penghitungan uji t. Masalahnya adalah pada nilai kontribusi korelasi (koefisien

determinan) dari kedua variabel (BLT terhadap pendidikan dan BLT terhadap

kesehatan) yang dinilai cukup lemah. Pada variabel pendidikan, misalnya, hanya 4%

dari variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar

96% justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT yang tidak dijelaskan dalam

model. Demikian pula pada variabel kesehatan dimana koefisien determinannya (R

square) hanya sebesar 0,8 % yang bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan

sisanya sebesar 99,2% disebabkan oleh variabel lain selain BLT.

Sementara itu, dalam kasus mengenai dampak P2KP (X2) terhadap setiap

indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat serta variabel kesejahteraan

sosial ekonomi itu sendiri secara umum dapat dikatakan relatif sama, yaitu bahwa

Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) memiliki dampak yang

relatif signifikan terhadap standar hidup layak, pendidikan, kesehatan, maupun

terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya secara umum.

Meskipun jika dilihat koefisien determinannya (R square), dampak program P2KP

tersebut tidak signifikan karena rata-rata sebesar 96 % hingga 99 % ke atas baik dari

variabel standar hidup layak (99,4 %), pendidikan (97,7%), kesehatan (96,9%), maupun

jika ketiga variabel tersebut diregresikan secara simultan (dalam satu variabel

kesejehtaraan sosial ekonomi) sebesar 98,5% justru disebabkan oleh variabel lain selain

program P2KP.

B. Saran

93

Page 94: 227-811-1-PB

Berdasarkan hasil analisis penelitian sebelumnya, beberapa saran peneliti

yang dapat dikemukakan di sini adalah:

Pertama, meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa program penanggulangan

kemiskinan baik berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun program

PNPM-P2KP oleh pemerintah terbukti memiliki dampak yang relatif signifikan

terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya namun

efektifitas dan kualitas dampak tersebut program-program tersebut masih perlu dikritisi

kembali mengingat hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar

meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat justru banyak disebabkan oleh

faktor yang lain selain kedua program tersebut. Sehingga menurut pengamatan peneliti

yang diperoleh dari wawancara kualitatif (indepth-interview) terhadap beberapa

informan kunci, bahwa terdapat sesuatu yang kurang terkelola dengan baik dalam

proses dan pasca (keberlanjutan) pelaksanaan kedua program dalam kaitannya terhadap

peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Dalam konteks

ini, perlu evaluasi yang serius terhadap bagaimana proses dan sejauh mana efektifitas

program-program penanganggulangan kemiskinan tersebut terhadap peningkatan

kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian para stakeholder dapat

mengontrol dan memanaje program-program dengan baik sesuai dengan target yang

diharapkan bersama.

Kedua, perlu ada riset lanjutan yang lebih mendalam dan partisipatoris guna menelusuri

dan memetakan masalah-masalah dalam pelaksanaan program-program

penanggulangan kemiskinan di lapangan. Riset mendalam yang bercorak kualitatif

tersebut juga penting dalam rangka menjelaskan temuan-temuan yang belum terungkap

dalam penelitian ini terutama dalam menjelaskan variabel-variabel lain yang justru

94

Page 95: 227-811-1-PB

memiliki nilai kontribusi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejehtaraan

sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya selain program BLT dan PNPM-P2KP.

Sehingga dari sini akan teridentifikasi program-program seperti apa sebenarnya yang

jauh lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota

Surabaya. Di sisi lain, penelitian semacam ini juga penting sebagai bahan evaluasi

program serta menentukan rancangan keberlanjutan progam-program penganggulangan

kemiskinan yang relevan dengan masalah utama dan kebutuhan masyarakat miskin

perkotaan terutama di Kota Surabaya yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Algifari, Analisis Regresi (Yogyakarta: BPFE, 2000)

Evers, Hans-Dieter, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982).

Gilbert, Alan & Gugler, Joseph (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).

Malhotra, Naresh K., Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan Edisi Keempat Jilid 1 (Jakarta: PT. INDEKS Kelompok Gramedia, 2005).

Masykuri, Siti Umajah, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”, Desertasi (Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007).

Nasikun,”Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan”, Diktat Mata Kuliah, Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.

95

Page 96: 227-811-1-PB

Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods, Fourth Edition (Boston: Allyn and Bacon, 2000).

Riduwan, Skala Pengukuran Instrumen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).

Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan (Jakarta: Idayu, 1980).

Santoso, Singgih, Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17 (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009).

Savilla, Coensello G., et. Al., Pengantar Penelitian Kuantitatif (Jakarta: UI Press,

1993).

Singarimbun, Masri & Effendi, Sofyan (ed.), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989).

Silas, Johan, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan (Gramedia: Jakarta, 1996).

Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti,”Assessing the Impact of Indonesian Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics”, dalam The European Journal of Development Research, Vol.17, No.1, March 2005.

Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005).

Suparlan, Parsudi (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),

Sumodiningrat, Gunawan, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007).

Suyanto, Bagong, “Perangkap Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008.

Tim Redaksi,“Laporan Studi Lapangan: Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008.

Surabaya dalam Angka Th. 2008.

Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006 Badan Pusat Statistik—Jakarta, 2007.

Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007.

96

Page 97: 227-811-1-PB

Rujukan Internet, Makalah, dan Artikel

Jawa Pos kolom Ruang Publik, edisi kamis 15 mei 2008. 

http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=464.

http://ejournal.unud.ac.id;

Suharyanto dalam script/naskah makalah (tidak diterbitkan) berjudul “Teori Pembangunan masyarakat”, 15 April 2006.

Chriswardani Suryawati dalam artikel berjudul ”Memahami Kemiskinan secara Multidimensional”, dalam http://www.jmpk-online.net/files/chriswaardanimknew.pdf .

Edi Suharto, “Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial”, Makalah disampaikan pada Seminar Paradigma Kesejahteraan Sosial, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 5-6 September 2007.

97

Page 98: 227-811-1-PB

98