Download - 227-811-1-PB
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menyandang kota terbesar kedua1 setelah Ibu Kota Jakarta, Kota Surabaya
seakan menjadi magnet yang luar biasa bagi kaum urban yang ingin mengadu nasib.
Maka tak heran jika banyak kaum migran yang datang berbondong-bondong dari dari
berbagai pelosok—terutama dari berbagai daerah di Jawa Timur—ke Kota Surabaya.
Dalam kajian sosiologi perkotaan, apa yang disebut sebagai push and pull factors2
(faktor-faktor dorong dan tarik) nampaknya berlaku di sini. Faktor-faktor pendorong
dihubungkan dengan perubahan-perubahan ekonomi pedesaan, sedangkan faktor-faktor
penarik dikaitkan dengan aspek-aspek sosial-psikologis pendatang yang dilukiskan
dengan keinginan keras untuk mengikuti kehidupan kota. Fenomena inilah yang disebut
sebagai urbanisasi.
Namun, berbeda dengan negara yang sudah maju di mana urbanisasi terjadi
sebagai akibat dari pergeseran struktur mata pencaharian penduduk dari sektor
pertanian di pedesaan ke sektor jasa di kota melalui sektor industri manufaktur,
1 Sebutan kota nomor dua ini tidak saja mengukuhkan pentingnya Kota Surabaya, tapi sekaligus menunjukkan betapa dalam banyak hal Surabaya selalu mengacu pada Jakarta. Meski acuan ini tak menjadi monopoli Surabaya, sebab kota mana di Indonesia yang tak mengacu ke Ibu Kota Jakarta ? Tetapi, bagaimanapun, secara politis, Ibu kota pastilah nomor satu, karena segala-galanya ada di Ibu kota, keputusan politik, keputusan ekonomi, peredaran uang, transaksi dagang, dan lainnya. Sedangkan kota di luar Ibukota—dilihat dari batasan sederhana: luas wilayah kota, peran daerah, dan jumlah penduduk—maka jadilah Surabaya sebagai sebagai kota nomor dua. Tapi apakah yang disebut sebagai kota nomor dua tersebut sungguh-sungguh nomor dua, itu soal lain. Sebab kalau menggunakan kriteria perkembangan kota, fasilitas, jumlah transaksi perdagangan, dan jumlah uang beredar, yang disebut nomor dua itu sesungguhnya jauh di bawah batas ambang. Kalau menggunakan batasan administratif, sesungguhnya Surabaya tak lebih besar dibanding Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara. Surabaya sebenarnya merupakan kota nomor enam sesudah lima wilayah administratif Jakarta tersebut. Namun obsesi sebagai kota nomor dua itu tetap saja menjadi semacam perlambang bagi kota Surabaya. Selengkapnya lihat Johan Silas, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan (Gramedia: Jakarta, 1996), hal. xiii-xiv. 2 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 9.
1
fenomena urbanisasi di negara-negara berkembang terjadi karena tekanan perubahan
yang dahsyat yang terjadi di pedesaan dan mendorong pergeseran akupansi dari sektor
pertanian langsung menuju kesektor jasa di daerah perkotaan tanpa melalui fase
perkembangan industri manufaktur3. Sebagai akibat di negara berkembang kecepatan
urbanisasi lebih tinggi dibanding ekspansi industri manufaktur. Selain itu karakteristik
penduduk desa yang datang ke kota adalah tingkat pendidikan, keterampilan serta
kemampuan sosio ekonominya terbatas, sehingga urbanisasi yang terjadi
mempengaruhi perkembangan kondisi kota yang cenderung mengalami penurunan
kualitas hidup per kapita penduduknya.
Sebagai konsekwensi atau dampak yang harus ditanggung bagi kota yang
dituju oleh kaum urban seperti halnya Jakarta, Surabayapun menghadapi persoalan
serupa diantaranya problem kepadatan penduduk yang semakin pesat, kemacetan,
polusi, sampah, kriminalitas, banjir, pengangguran, gepeng (baca: gelandangan dan
pengemis), pemukiman liar dan kumuh, pedagang kaki lima (PKL) liar, dan munculya
kelompok-kelompok miskin perkotaan. Berdasarkan data statistik, Dilihat dari
penyebaran penduduk di 5 wilayah menunjukkan bahwa dari tahun 2000 sampai
dengan tahun 2004 kepadatan penduduk di 5 wilayah Kota Surabaya menunjukkan
penyebaran penduduk yang tidak merata. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat pada
wilayah Surabaya Pusat.
Sekalipun pada tahun 2004 kepadatan di wilayah Surabaya Pusat menurun
namun kepadatan penduduknya masih lebih tinggi dibanding kecamatan lain. Kondisi
ini bertahan dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004, utamanya di Kecamatan
3 Alan Gilbert & Joseph Gugler (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996), hal. 14.
2
Simokerto, Kecamatan Bubutan, dan Tegalsari. Kepadatan penduduk per Kecamatan
secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1.1
Tabel 1.1
LUAS WILAYAH DAN KEPADATAN PENDUDUK KOTA SURABAYAPER KECAMATAN TAHUN 2000 – TAHUN 2004
Kecamatan LuasWilayah
(dlm Km2)
Kepadatan Penduduk per Km2
Th. 2000 Th. 2002 Th. 2003 Th. 2004
Surabaya Pusat
1.Tegalsari
2. Genteng
3. Bubutan
4. Simokerto
4,29
4,04
3,86
2,59
21.787
13.491
22.768
32.579
26.984
16.162
27.345
41.080
26.270
16.044
28.615
37.905
26.513
16.137
28.591
38.424
Surabaya Utara
5. Pabean Cantikan
6. Semampir
7. Krembangan
8. Kenjeran
9. Bulak *)
6,80
8,76
8,34
14,42
---
10.698
17.632
13.730
9.144
---
13.297
17.882
14.493
7.838
---
12.781
20.490
14.006
9.099
---
12.933
20.564
14.177
9.295
---
Surabaya Timur
10.Tambaksari
11.Gubeng
12.Rungkut
13.T. Mejoyo
14.Gunung Anyar
15.Sukolilo
16.Mulyo Rejo
8,99
7,99
21,08
5,52
9,71
23,69
14,21
21.011
16.644
5.279
13.796
5.258
4.227
6002
24.008
18.174
3.906
7.731
4.847
3.266
4.258
22.840
18.431
3.842
9.011
4.180
3.772
5.591
23.237
18.637
3.913
9.166
4.271
3.846
5.063
Surabaya Selatan
17.Sawahan
18.Wonokromo
19.Karang Pilang
20.Dukuh Pakis
21.Wiyung
6,93
8,47
9,23
9,94
12,46
27.239
17.341
7.744
5.759
4.156
29.221
20.809
5.612
4.833
3.413
30.546
21.008
6.827
5.423
4.300
30.575
21.179
6.926
5.522
4.351
3
22.Wonocolo
23.Gayungan
24.Jambangan
6,78
6,07
4,19
12.044
6.563
9.364
9.478
6.188
7.807
10.974
6.795
9.093
11.145
6.876
9.253
Surabaya Barat
25.Tandes
26.Sukomanunggal
27.Asemrowo
28.Benowo
29.Pakal*)
30.Lakarsantri
31.Sambikerep*)
11,07
9,23
15,44
45,79
----
36,48
----
8.443
11.648
2,392
1.465
----
2.147
----
7.840
9.363
2.062
1.219
----
1.852
----
7.872
9.680
2.122
1.464
-----
2.334
-----
7.903
9.823
2.175
1.503
-----
2.370
------
Jumlah 326,37 7,966 7,750 8,149 8,247
Sumber : Surabaya Dalam Angka Th.2002, Th.2003, Th.2004, diolah.Keterangan : (-) Kecamatan pecahan masih tergabung dengan induknya
Kecamatan dengan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah Surabaya Timur
adalah kecamatan Tambaksari dan untuk wilayah Surabaya Selatan adalah kecamatan
Sawahan. Hal ini dapat dimaklumi, karena wilayah ini merupakan pusat kegiatan
komersiil seperti pusat pembelanjaan, pusat hiburan, lebih dari itu dekat dengan
fasilitas pendidikan , kesehatan dan wilayah industri.
Sementara itu, jumlah populasi penduduk Kota Surabaya berdasarkan data
statistik pada tahun 2007 sebesar 2.829.486 jiwa dengan komposisi laki-laki: 1.421.510
jiwa dan perempuan: 1.407.976 jiwa, meningkat cukup signifikan dibanding jumlah
populasi pada tahun sebelumnya (Th. 2006) yang berjumlah 2.784.196 jiwa.4
Pertumbuhan penduduk yang pesat tanpa disertai pertumbuhan kesempatan kerja yang
memadai menyebabkan bertambahnya penduduk miskin di Kota Surabaya.
4 Sumber: Dinas Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Kota Surabaya dalam Surabaya dalam Angka Th. 2008.
4
Pada tahun 2005, persentase penduduk miskin kategori 2 dan 3 di Kota
Surabaya adalah 11,70 % (316.704 jiwa) dan pada tahun 2007 turun menjadi 9,12 %
(248.147 jiwa). Sementara itu persentase penduduk miskin Jawa Timur pada tahun
2005 adalah 22,51% (8.390.996 jiwa) kemudian turun menjadi 19,89% di tahun 2006
(7.455.655 jiwa) dan turun lagi menjadi 18,89% (7.137.699 jiwa) di tahun 2007.
Jumlah dan persentase penduduk miskin kategori 2 dan 3 dapat dilihat pada Tabel 1.2
sebagai berikut :
TABEL 1.2
JUMLAH DAN PERSENTASE PENDUDUK MISKINKATEGORI 2 DAN 3 DI KOTA SURABAYA DAN JAWA TIMUR
TAHUN 2003–2007
Tahun Kota Surabaya Jawa Timur
Jumlah (Jiwa) % Jumlah (Jiwa) %
2003 362.308 13,48 7.064.289 19,52
2004 320.999 12,00 7.979.565 19,10
2005 316.704 11,70 8.390.996 22,51
2006 282.004 10,38 7.455.655 19,89
2007* 248.147 9,12 7.137.699 18,89
Sumber : BPS Propinsi Jawa Timur, diolahKeterangan : Kategori 2 = Penduduk Miskin
Kategori 3 = Penduduk Sangat Miskin*) Sangat Sementara, Berdasarkan Hasil Survey Dampak Gardu Taskin 2007 dan SSN Panel 2007
Sementara itu, berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Kota
(Bappeko) Kota Surabaya, angka kemiskinan tahun 2005-2007 terus mengalami
kenaikan. Mulai 111.233 KK (atau 377.832 jiwa) pada tahun 2005, 113.129 KK (atau
379.269 Jiwa) pada tahun 2006, dan 126.724 KK (431.331 jiwa) pada tahun 2007.
Sedangkan dilihat dari anggaran yang dikucurkan setiap tahun juga mengalami
5
kenaikan, pada tahun 2005 anggaran untuk pengentasan kemiskinan mencapai Rp 150
milyar, tahun 2006 Rp 188 milyar, dan tahun 2007 Rp 229 milyar.5
Berdasarkan data-data statistik mengenai jumlah (angka) kemiskinan yang
masih relatif tinggi tersebut, maka tak heran jika Kota Surabaya tak luput dari target
(sasaran) program pemerintah dalam penanggulangan dan pengentasan kemiskinan.
Secara makro, untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan memberdayakan
masyarakat, pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan. Pertama,
kebijakan yang tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar
tercapainya kondisi yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua, kebijakan yang
langsung mengarah pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga,
kebijakan khusus yang mencakup upaya-upaya memberdyaakan masyarakat dan
menanggulangi kemiskinan.6
Melalui tiga arah kebijakan itulah, berbagai program penanggulangan dan
pengentasan kemiskinan lahir dan direalisasikan dalam berbagai bentuk dan jenis
program. Program-program spesifik yang ditujukan untuk menanggulangi kemiskinan
dan kesenjangan diantaranya Program Pengembangan Kecamatan (PPK), PNPM-P2KP
(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan), Program Pengembangan
Kawasan Desa-Kota Terpadu (PARUL), P2SEM (Program Pemberdayaan Sosial
Ekonomi Masyarakat), Gerdu-Taskin, dan program-program padat karya yang bersifat
crash program sebagai upaya mengatasi kemiskinan akibat dampak kenaikan harga
BBM, seperti Jaring Pengaman Ekonomi Sosial (JPES), Bantuan Langsung Tunai
(BLT), serta program-program seruapa lainnya. Untuk sebagian, berbagai bantuan dan
5 Fatkur Rohman,”Efektifkah Program Kemiskinan Kota Surabaya”, Jawa Pos dalam kolom Ruang Publik, edisi kamis 15 mei 2008. 6 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 33.
6
program yang telah diupayakan pemerintah memang cukup bermanfaat terutama dalam
bidang pengembangan infrastruktur berupa sarana dan prasarana di desa-desa tertinggal
atau daerah yang membutuhkan.
Namun, harus diakui bahwa upaya penanggulangan kemiskinan terutama
dalam konteks pemberdayaan masyarakat secara sosial ekonomi yang dilakukan hingga
kini masih belum membuahkan hasil yang memuaskan. Masih banyak penduduk
Indonesia baik di desa maupun di kota yang hidup dibelit kemiskinan. Di sisi lain, tak
bisa diingkari, fakta bahwa kendati jumlah orang miskin menurun, namun kesenjangan
dalam banyak hal justru semakin lebar. Menurut studi yang dilakukan Bagong Suyanto7
menunjukkan bahwa pengalaman selama ini telah banyak memperlihatkan, bahwa
lambatnya perkembangan ekonomi rakyat disebabkan sempitnya peluang untuk
berpartisipasi dalam pembangunan yang mana hal itu merupakan konsekuensi dari
kurangnya penguasaan dan pemilikan asset produksi terutama tanah dan modal.
Pada umumnya menurut Suyanto, masyarakat miskin tidak memiliki surplus
pendapatan untuk bisa ditabung bagi pembentukan modal. Pendapatan yang diperoleh
hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pokok sehari-hari. Di samping itu,
faktor lain yang menyebabkan berbagai program pengentasan kemiskinan menjadi
kurang efektif tampaknya adalah berkaitan dengan kurangnya dibangun ruang gerak
yang memadai bagi masyarakat miskin itu sendiri untuk memberdayakan dirinya. Acap
terjadi, kegiatan pembangunan yang bertujuan untuk mensejahterakan penduduk miskin
justru terjebak menjadi program yang melahirkan ketergantungan baru, dan bahkan
mematikan potensi swakarsa lokal.
7 Bagong Suyanto, “Perangkap Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008, hal. 32.
7
Selama ini pendekatan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan—baik di
tingkat nasional, regional maupun lokal—umumnya adalah dengan menerapkan
pendekatan ekonomi semata, yang seringkali kurang mengabaikan peran kebudayaan
dan konteks lokal masyarakat. Ada kesan kuat bahwa di mata pemerintah masalah
kemiskinan sepertinya hanya dipahami sebagai sebuah persoalan kekurangan
pendapatan. Sangat kelihatan pula di berbagai program yang dilaksanakan pemerintah
umumnya hanya berusaha memberikan bantuan di bidang permodalan, memberikan
subsidi, dan semacamnya. Kendati secara harfiah nama berbagai program pengentasan
kemiskinan berbeda-beda, tetapi substansinya sesungguhnya hampir sama, yakni
memberikan aliran modal kepada masyarakat miskin dan meminta mereka bekerja
lebih keras untuk memberdayakan dirinya sendiri.8
Bahkan dalam realitasnya, implementasi dari beberapa kebijakan dan program
pengentasan kemiskinan banyak menuai protes—jika tidak mendapat resistensi—dari
berbagai kalangan masyarakat. Contoh yang masih aktual dan segar dalam ingatan kita
adalah penolakan sejumlah kepala daerah terhadap program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) sebagai akibat banyaknya persoalan horizontal yang muncul di masyarakat.
Mulai dari mekanisme pendistribusian yang tidak merata, ketidakjelasan batas garis
kemiskinan, dan pendataan warga miskin yang tidak akurat sehingga menimbulkan
konflik horizontal di tengah masyarakat sendiri.
Program-program serupa juga mengalami nasib yang tidak jauh beda. Sebut
saja program Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi
(PDMDKE), menurut catatan seorang penulis,9 setahun setelah program itu bergulir,
tidak ada laporan seberapa jauh dana kegiatan usaha telah bergulir atau berapa banyak
8 Bagong Suyanto, Ibid.9 Almisar Hamid,”Evaluasi Program Pengentasan Kemiskinan: Dari Jaring Pengaman Sosial hingga PR”, dalam http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=464.
8
penduduk miskin yang menikmati kredit mikro itu. Begitu juga P2KP, sejauh ini tidak
ada laporan pasti bagaimana P2KP berjalan dan seberapa efektif upaya mengangkat
masyarakat miskin di seluruh Indonesia. Juga tidak pernah ada laporan, evaluasi dan
figur masyarakat atau penduduk miskin yang berhasil berkat bantuan kredit mikro dari
P2KP. Bahkan di sejumlah wilayah dana P2KP habis untuk pembangunan fisik dan
sosial.
Di sisi lain, data dari beberapa hasil studi dan penelitian menunjukkan bahwa
kebijakan dan program-program pengentasan kemiskinan tidak banyak mendapat
respon positif di kalangan masyarakat apalagi melahirkan perubahan yang signifikan
bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik secara kuantitas
maupun kualitas. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto dkk. (2005) menujukkan
bahwa dalam batas-batas tertentu juga menemukan bahwa implementasi program
penanggulangan di lapangan ternyata tidak selalu seperti yang diharapkan. Belum
jelasnya siapa sebenarnya kelompok sasaran yang diprioritaskan, dan masih adanya ego
sektoral di masing-masing departemen, serta ditambah lagi dengan orientasi program
yang belum bersifat kontekstual, maka bisa dipahami jika pelaksanaan berbagai
program penghapusan kemiskinan belum memperlihatkan hasil dan daya ungkit yang
memadai. Bahkan, dalam beberapa hal, pelaksanaan program penanggulangan
kemiskinan yang semula diharapkan dapat memberdayakan penduduk miskin, ternyata
dalam kenyataan justru melahirkan bentuk ketergantungan baru dan berbagai
penyimpangan yang menyebabkan pada akhirnya pelaksanaan program
penanggulangan kemiskinan menjadi tidak efektif.10
10 Bagong Suyanto, Op.Cit., hal. 33.
9
Di samping itu, berdasar laporan studi lapangan mengenai “Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”11 membuktikan bahwa
BLT (Bantuan Langsung Tunai) dipandang sebagai solusi darurat oleh para warga yang
mendapatkan BLT. Ketika persoalannya ditarik lebih luas, sikap mereka cenderung
terhadap BLT lebih realistik bahkan kritikal. Artinya, ketika BLT dikaitkan dengan
berbagai masalah lain yang mereka hadapi sehari-hari, misalnya dengan kecenderungan
naiknya harga kebutuhan pokok, maka mereka lebih memilih tidak mendapat BLT.
Dengan kata lain, mereka lebih suka BBM tidak dinaikkan sehingga harga kebutuhan
pokok tidak naik. Menurut mereka, meski mendapat BLT, tetapi jika harga-harga naik
justru beban hidup semakin berat. Hanya saja, pada kenyataanya BBM sudah dinaikkan
dan dampak kenaikkan terhadap harga-harga barang kebutuhan pokok serta jasa
transportasi sudah terjadi. Kenyataan ini harus mereka hadapi dengan sikap pasrah,
sehingga dalam situasi seperti itu, maka BLT adalah sangat berarti bagi mereka. Ini
merupakan indikator bahwa makna BLT bagi orang miskin merupakan sebuah tafsir
yang datang dari subyek yang tidak otonom. Dan masih banyak hasil studi dan
penelitian lainnya yang mengkaji secara kritis tentang kebijakan dan program-program
penanggulangan kemiskinan baik di tingkat lokal, regional, maupun nasional.12
Berdasarkan fenomena di atas, penelitian ini memfokuskan pada kajian
tentang dampak program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan terhadap
peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya dengan
mengambil studi kasus mengenai Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan 11 Tim Redaksi,“Laporan Studi Lapangan: Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008, hal. 50. 12 Diantaranya: hasil riset oleh Roosgandha e.m. & Valeriana Darwis,”Karakteristik Petani Miskin dan Persepsinya terhadap Program Jaring Pengaman Sosial di Propinsi Jawa Timur” dalam http://ejournal.unud.ac.id; Bandingkan pula dengan hasil survey yang dilakukan oleh Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti,”Assessing the Impact of Indonesian Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics”, dalam The European Journal of Development Research, Vol.17, No.1, March 2005, pp.155–177.
10
(P2KP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sengaja peneliti mengambil P2KP dan
BLT sebagai sample program dalam penelitian ini dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, target group atau sasaran program P2KP notabene berada di daerah
perkotaan, termasuk kota Surabaya sendiri (lihat dalam tabel A.4.) sehingga cukup
relevan jika dikaitkan dengan konteks penelitian. Kedua, P2KP dan BLT adalah dua
jenis program penanggulangan kemiskinan yang serupa tapi tidak sama (berbeda)
terutama jika ditinjau dari cara atau pendekatan dan strategi penaganganannya.
P2KP mewakili program pemerintah yang lebih diilhami dan berorientasi
pada nilai-nilai pemberdayaan masyarakat melaui prinsip-prinsip: demokrasi,
partisipasi; transparansi; akuntabilitas dan desentralisasi dengan menawarkan dua
sasaran strategis yakni penguatan kelembagaan lokal melalui institusi BKM/KSM dan
penanggulangan kemiskman berbasis community development. Sedangkan, BLT
mewakili program pemerintah yang bersifat crash program berupa subsidi langsung
kepada warga miskin sebagai kompensasi kenaikan BBM yang bersifat jangka pendek.
Berikut daftar lokasi sasaran PNPM Mandiri P2KP di beberapa kecamatan di
wilayah kota Surabaya tahun 2007:13
Tabel 1.3
Daftar Lokasi Sasaran PNPM Mandiri P2KP di Wilayah Kota Surabaya Th. 2007
No. Kecamatan Jml Kelurahan
P2KP
Jml Kelurahan Non P2KP
TotalKelurahan
1 Karang Pilang 3 32 Jambangan 3 3
13 http://www.p2kp.org/web/about/files/lokasi_sasaran_pnpm-p2kp.pdf
11
3 Gayungan 2 24 Tenggilis Mejoyo 2 25 Gunung Anyar 2 26 Rungkut 3 37 Sukolilo 2 28 Mulyorejo 2 29 Gubeng 6 610 Wonokromo 6 611 Dukuh Pakis 4 412 Lakar Santri 1 113 Sambi Kerep 3 314 Tandes 8 815 Sukomanunggal 2 216 Sawahan 6 617 Tegal Sari 5 518 Genteng 5 519 Tambaksari 6 620 Kenjeran 3 321 Bulak 5 522 Simokerto 5 523 Semampir 5 524 Pabean Cantian 5 525 Bubutan 5 526 Krembangan 5 527 Asemrowo 3 328 Benowo 4 429 Pakal 5 5
JUMLAH 70 46 116:::: Lokasi Sasaran dapat berubah sesuai keputusan P2KP Pusat
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah program pengentasan kemiskinan dalam contoh kasus Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota
Surabaya ?
2. Sejauh mana Program Penanggulangan Kemiskinan berupa Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) tersebut berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya ?
12
C. TUJUAN PENELITAN
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui adakah dampak program pengentasan kemiskinan dalam contoh
kasus Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi
masyarakat Kota Surabaya.
2. Mengetahui sejauh mana Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) tersebut berdampak terhadap
peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
D. KEGUNAAN PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk :
1. Secara teoritis, memberikan kontribusi penting terhadap pengembangan kajian
akademis secara kritis di bidang studi kesejahteraan sosial khususnya mengenai
model dan strategi kebijakan pemerintah dalam penanggulangan kemiskinan
dan pemberdayaan masyarakat.
2. Secara praktis, memberikan informasi dan masukan penting yang bisa menjadi
pijakan dan referensi bagi akademisi, masyarakat secara umum dan stakeholder
terkait terutama para pemegang kebijakan (policy makers) dalam merancang,
mengimplementasikan, sekaligus menjadi bahan evaluasi terhadap kebijakan
dan program pembangunan yang berorientasi pada peningkatan kesejahtaraan
sosial masyarakat setempat (lokal).
E. METODE PENELITIAN
E.1 Jenis Penelitian
13
Penelitian ini, berdasarkan dari segi pengumpulan datanya adalah penelitian
lapangan (field research). Penelitian lapangan yang dimaksud adalah penelitian yang
dilakukan dengan jalan mengamati secara langsung terhadap gejala-gejala sosial yang
diteliti, berusaha memahami gejala-gejala yang tidak diramalkan sebelumnya, dan
mengembangkan kesimpulan-kesimpulan umum bersifat sementara yang berguna untuk
mendorong pengamatan lebih lanjut.14
Berdasarkan dari segi tujuan penelitian, jenis penelitian ini adalah penelitian
eksplanasi-kuantitatif (explanative-quantitative research). Penelitian eksplanasi atau uji
yang dimaksudkan pada penelitian ini, mengikuti pendapatnya J. Vredenbregt, adalah
penelitian dalam rangka mennguji satu atau dua variabel yang telah dirumuskan secara
tepat dalam masalah penelitian.15 Dalam penelitian ini yang menjadi variabel penelitian
ialah program pengentasan kemiskinan (variabel independen) dan kondisi
kesejahteraan sosial-ekonomi (variabel dependen).
Ditinjau dari segi dimensi waktu pengumpulan datanya, penelitian ini adalah
penelitian cross-sectional (cross-sectional research). Penelitian yang dimaksud,
menurut pendapat W. Lawrence Neuman16 adalah penelitian yang dilakukan sekali
dalam jangka waktu tertentu. Tipe penelitian ini adalah penelitian yang sederhana dan
tidak diorientasikan untuk mengembangkan dan mengungkap proses atau perubahan
sosial obyek penelitian yang diamati berdasarkan pendapat subyek penelitian. Dalam
penelitian ini, peneliti akan mengumpulkan data hanya dalam beberapa minggu atau
setidaknya selama satu bulan dan tidak mengumpulkan data kembali untuk melihat
dinamika persepsi dan pendapat subyek penelitian terhadap obyek penelitian.
14Earl R. Babbie, The Practics of Social Research, Second Edition (Belmonth, California: Wardsworth Publishing Company, 1979), hlm. 205-20615J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 34.16W. Lawrence Neuman, Social Research Methods, Fourth Edition (Boston: Allyn and Bacon, 2000), hlm. 30.
14
E.2. Populasi dan Sampling
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anggota masyarakat dengan unit
analisis rumah tangga (keluarga) yang termasuk dalam kategori keluarga miskin
penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang sebagian juga menjadi target bantuan
Program Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan (P2KP) atau PNPM mandiri di
wilayah Kota Surabaya. Berdasarkan populasi tersebut, kemudian ditarik sampel
penelitian melalui teknik penarikan sampel gugus bertahap.17 Tahapan penarikan
sampelnya: 1) penarikan sampel populasi Kecamatan; 2) penarikan sampel Kelurahan;
3) penarikan sampel populasi Rukun Warga (RW); dan 4) penarikan sampel populasi
Keluarga. Berikut bagan penarikan sample dengan teknik gugus bertahap:
Gambar 1.4Tahapan Penarikan Sampel
17Ida Bagoes Mantra dan Kasto, “Penentuan Sampel,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 166-167.
15
Sampel Populasi Kecamatan
Sampel I: Kecamatan
Sampel Populasi Kelurahan
Sampel II: Kelurahan
Sampel Populasi Rukun Warga
Sampel III: Rukun Warga
Sampel Populasi Keluarga
Sampel IV: Keluarga
Namun dalam penarikan sample, peneliti sebelumnya juga perlu membagi
wilayah Kota Surabaya berdasarkan wilayah-wilayah pembantu walikota, yaitu
Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya
Utara. Selanjutnya, peneliti menentukan secara purposive untuk memilih kecamatan-
kecamatan dari masing-masing wilayah pembantu wali kota tersebut dengan asumsi
kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang banyak memiliki keluarga miskin yang
menjadi penerima BLT.
Berdasarkan rekapitulasi data jumlah keluarga miskin penerima Subsidi
Langsung Tunai (SLT) Kota Surabaya tahun 2007, wilayah Surabaya Pusat jumlah
terbanyak di Kecamatan Simokerto, yaitu sebesar 8.697 KK. Wilayah Surabaya Utara
khususnya di Kecamatan Semampir memiliki jumlah keluarga miskin sebesar 16.606
KK. Wilayah Surabaya Barat khususnya di Kecamatan Tandes yang memiliki keluarga
miskin sebanyak 2.906 KK. Wilayah Surabaya Selatan di Kecamatan Sawahan dengan
keluarga miskin sebesar 7.690 KK. Dan di wilayah Surabaya Timur khususnya di
Kecamatan Tambaksari, jumlah keluarga miskin sebesar 10.130 KK. Secara
keseluruhan, jumlah total populasi berdasarkan data rekapitulasi BPS Kota Surabaya
tahun 2007 jumlah keluarga miskin penerima Subsidi Langsung Tunai sebesar 125.871
KK.18
18 Dikutip dari Surabaya dalam Angka (Surabaya in Figure) 2008.
16
Berdasarkan jumlah populasi tersebut, peneliti mengambil sampel penelitian
mengikuti rumus Slovin19 :
n = 1 + Ne²
Keterangan:
n = Ukuran sampel.
N = Ukuran populasi.
e = Nilai kritis yang diinginkan.
Dalam penelitian ini diketahui:
N = 125.871
e = 5,5% (0,055) n = ?
125.871n = 1 + 125.871 (0,055)²
125.871n =
1 + 125.871 (0,003025)
125.871n =
1 + 380,75
125.871n =
381,75
Dengan demikian jumlah sampel penelitian yang diambil sebagai responden
sebanyak 329 KK.
E.3 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di Kota Surabaya—yakni di semua Rukun Warga (RW) dan
atau Rukun Tetangga (RT) Kota Surabaya. Lokasi penelitian ini, dipilih secara sengaja
(purposive) dengan maksud dan tujuan untuk menemukan daerah yang relevan dengan
tujuan penelitian. Dalam hal ini, pemilihan terhadap semua RW dan atau RT tersebut
19 Coensello G. Savilla et. Al.,Pengantar Penelitian Kuantitatif, hal. 161.
17
N
= 329
sebagai lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
pertama, RW dan atau RT tersebut akan memberikan gambaran representatif tentang
kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
Kedua, RW dan atau RT tersebut memiliki kedekatan dengan pusat
pemerintahan daerah Provinsi Jawa Timur, sehingga bisa menjadi salah satu barometer
kondisi sosial-ekonomi Provinsi Jawa Timur. Ketiga, karakteristik sosial ekonomi, dan
budaya masyarakat yang sangat kompleks dan juga cenderung memberikan pengaruh
terhadap stratifikasi sosial Kota Surabaya berdasarkan pola hubungan sosial
(kepemilikan terhadap sumber daya dan pola produksi sumber daya) dan status sosial.
E.4 Teknik Pengumpulan Data
Data-data yang akan dikumpulkan penelitian ini ada dua, yakni: data sekunder
dan data primer. Data sekunder yang akan digali adalah tentang kondisi sosial-ekonomi
masyarakat Kota Surabaya. Data ini akan digali dari data dukumen pemerintah Kota
Surabaya, Provinsi Jawa Timur dan Pemerintah Pusat, koran harian lokal dan nasional,
buku/literatur yang mengulas dan membahas tentang tema tersebut dan naskah
penelitian sebelumnya dimana fokus penelitiannya berkaitan dengan tema penelitian.
Sementara data primer yang akan digali adalah pengaruh program
pengentasan kemiskinan pemerintah terhadap kondisi sosial-ekonomi keluarga Kota
Surabaya. Data ini akan digali melalui wawancara langsung kepada subjek penelitian
yang terpilih sebagai responden penelitian ini. Teknik pengumpulan datanya adalah
penelitian lapangan. Instrumen pengumpulan datanya melalui wawancara terstruktur
menggunakan kuesioner dengan tipe tertutup dan tipe terbuka kepada responden untuk
mendapatkan gambaran atau informasi secara langsung. Dalam kuesioner tersebut
terdapat lima alternatif jawaban dengan menggunakan jenis skala pengukuran skala
18
interval (interval scale) dan tipe skala pengukuran skala likert (likert scale).20 Kelima
alternatif jawaban tersebut, ialah: 1) tidak baik; 2) kurang baik; 3) sedang; 4) baik; dan
5) sangat baik.
Di samping itu, guna menambah kelengkapan data primer (data kuantitatif),
peneliti juga menggunakan teknik wawancara mendalam (depth-interview) terhadap
beberapa informan kunci (key informan) yang terlibat dalam proses pelaksanaan
program bantuan pengentasan kemiskinan terutama dalam hal ini adalah PNPM
Mandiri P2KP, misalnya seperti aparat kecamatan dan pengurus BKM (Badan
Keswadayaan Masyarakat).
E.5 Teknik Analisa Data
Untuk dapat menggambarkan fenomena dan fakta secara jelas, maka langkah
selanjutnya adalah mengolah data dengan teknik-teknik tertentu kemudian dilanjutkan
dengan analisis data. Penjelasan kedua hal tersebut adalah sebagai berikut:
E.5.1 Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data penelitian ini akan menggunakan metode pengolahan
data penelitian kuantitatif dengan menggunakan komputer program SPSS. Langkah-
langkah teknis pengolahan data penelitian ini, yakni sebagai berikut: editing, coding,
dan tabulating. Editing dipergunakan untuk memeriksa kebenaran data yang diperoleh
dari responden guna menjaga kemungkinan adanya kesalahan dalam memasukkan
20Vredenbergt, op. cit., hlm. 92.
19
data.21 Coding dipergunakan untuk memberikan kode atau tanda tertentu dari data yang
diperoleh dengan cara memberikan skor pada setiap jawaban responden.22
Pemberian skor jawaban responden tersebut menggunakan skala likert. Skala
likert merupakan skala komulatif—yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesatuan
dimensi dari sikap atau sifat yang diteliti, atau sering disebut dengan istilah ‘atribut
universal’. Langkah-langkah teknisnya: variabel yang akan diukur dijabarkan menjadi
sub-variabel, sub-variabel dijabarkan menjadi indikator-indikator yang dapat diukur.
Indikator-indikator tersebut menjadi titik-tolak untuk memberi item instrumen berupa
pertanyaan atas pertanyaan yang perlu dijawab oleh responden. Setiap jawaban
dihubungkan dengan bentuk-bentuk pertanyaan, yang diungkapkan dengan kata-kata: :
a) tidak baik (nilai 1); b) kurang baik (nilai 2); c) sedang (nilai 3); d) baik (nilai 4); dan
e) sangat baik (nilai 5). Tabulasi (tabulating) dipergunakan dalam rangka memasukkan
data yang telah diberi kode atau tanda ke dalam tabel yang telah disediakan, dimana
data tersebut telah dikategorikan terlebih dahulu.23
Tabel 1.5
Alternatif Jawaban
PertanyaanAlternatif
JawabanNilai
21Tadjuddin N. Effendi et al., “Pengolahan Data,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 254.22Neuman, op. cit., hlm. 31423Riduwan, Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian, cetakan kelima (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 9-16; Wim van Zanten, Statistika untuk Ilmu-ilmu Sosial, edisi kedua (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 16. 256; dan 314.
20
Soal-soal pertanyaan
a. Sangat Tidak
baik
b. Tidak baik
c. Kurang baik
d. Baik
e. Sangat baik
1
2
3
4
5
Sumber: diadaptasi dari Riduwan, Skala Pengukuran Variabel-Variabel
Penelitian, Cetakan Kelima (Bandung: Alfabeta, 2005), hlm. 9-16
Namun sebelum instrumen penelitian ini dipergunakan, peneliti terlebih
dahulu akan menguji validitas dan reliabilitasnya. Uji validitas (validity) dipergunakan
oleh tim peneliti untuk mengetahui sejauh mana instrumen penelitian yang dibuat tepat
mengukur apa yang ingin diukur. Tahapan-tahapan pengujian validitas tersebut ialah
sebagai berikut: 1) merumuskan definisi operasional konsep yang akan diukur; 2) uji
coba instrumen penelitian terhadap 30 responden penelitian; 3) melakukan tabulasi
jawaban responden; dan 4) menghitung korelasi masing-masing pertanyaan dengan
skor total dengan menggunakan rumus Product Moment.24
Tabel 1.6
Tahapan-Tahapan Pengujian Validitas
Tahap Kegiatan
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Merumuskan definisi operasional konsep
yang akan diukur
Uji coba instrumen penelitian terhadap 30
responden penelitian
Melakukan tabulasi jawaban responden
24 Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 124 dan 132-137. Lihat juga Vredenbregt, op. cit., hlm. 15.
21
Tahap IV Menghitung korelasi masing-masing
pertanyaan dengan skor total dengan
menggunakan rumus Product Moment
Sumber: Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian,”
Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai,
edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 132-137
Dalam menghitung korelasi masing-masing pertanyaan dengan skor total soal-
soal pertanyaan peneliti menetapkan taraf singnifikansi 5%. Rumus yang dipergunakan
ialah sebagai berikut:25
r =N (XY) – (X Y)
[NX2 – (X)]2 [NY2 – (Y)2]
Sementara uji reliabilitas (reliability) dipergunakan oleh tim peneliti untuk
mengetahui indeks yang menunjukkan sejauh mana instrumen penelitian dapat
dipercaya dan dapat diandalkan.26 Pengukurannya merupakan kombinasi antara hasil
pengukuran yang sesungguhnya ditambah dengan kesalahan pengukuran. Secara
matematis, kondisi tersebut dapat digambarkan dalam rumus persamaan sebagai
berikut:27
X0= Xt + Xe
25Ancok, op. cit., hlm. 137.26Ibid., hlm. 140. Lihat juga Vredenbregt, loc. cit. 27Ancok, op. cit., hlm. 141.
22
Keterangan: X0 = Angka yang diperoleh
Xt = Angka yang sebenarnya
Xe = Kesalahan pengukuran
Dalam pengukuran tersebut, instrumen penelitian dianggap reliabel jika
kesalahan pengukurannya kecil. Jika dikuadratkan—merupakan petunjuk besarnya
hasil pengukuran sebenarnya—instrumen penelitian dianggap reliabel jika angka
korelasinya tinggi. Untuk indeks reliabilitas instrumen penelitian, teknik yang
dipergunakan adalah teknik paralel. Tahapan-tahapan pengujiannya ialah sebagai
berikut: 1) membuat alat ukur yang mengukur aspek yang sama; 2) memberikan alat
ukur tersebut kepada responden penelitian yang berbeda (masing-masing 30
responden); 3) mencari validitas alat ukur yang diberikan kepada responden penelitian
yang berbeda; dan 4) mengkorelasikan skor total dari alat ukur tersebut yang diberikan
kepada responden yang berbeda dengan menggunakan rumus Product Moment.28
Tabel 1.7
Tahapan-Tahapan Pengujian Validitas
Tahap Kegiatan
Tahap I
Tahap II
Tahap III
Membuat alat ukur yang mengukur aspek
yang sama
Memberikan alat ukur tersebut kepada
responden penelitian yang berbeda
(masing-masing 30 responden)
Mencari validitas alat ukur yang diberikan
28Ibid., hlm. 145. Lihat juga Vredenbregt, op. cit., hlm. 18.
23
Tahap IV
kepada responden yang berbeda
Mengkorelasikan skor total dari alat ukur
tersebut yang diberikan kepada responden
yang berbeda dengan menggunakan
rumus Product Moment
Sumber: Djamaludin Ancok, “Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Penelitian,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian
Survai, Edisi Revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 145;
dan J. Vredenbregt, Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat, Cetakan
Kedua (Jakarta: Gramedia, 1979), hlm. 18
Secara umum, ada enam alasan kedua pengujian tersebut dipergunakan dalam
penelitian ini. Keenam alasan tersebut, yakni: 1) agar data yang diperoleh memiliki
validitas dan reliabilitas yang tinggi; 2) agar data yang diperoleh dapat dipercaya; 3)
agar data yang diperoleh dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah; 4) agar data
yang diperoleh sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian; 5) agar data yang diperoleh
dapat menjadi bahan informasi untuk mendeskripsikan fokus penelitian; dan 6)
penggalian data yang dilakukan efektif dan efisien.
E.5.2 Teknik Analisa Data
Teknik analisa data penelitian ini menggunakan tabel silang dengan
menggunakan dengan menggunakan komputer program SPSS.29 Tabulasi silang ini
dipergunakan untuk menganalisa pengaruh program pengentasan kemiskinan
29Sofian Effendi dan Chris Manning, “Prinsip-Prinsip Analisa Data,” Masri Singarinbun dan Sofian Efendi (ed.), Metode Penelitian Survai, edisi revisi (Jakarta: LP3ES, 1989), hlm. 272-276.
24
pemerintah terhadap peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
Selanjutnya untuk memperkuat kesimpulan tentang hubungan antarvariabel penelitian,
peneliti akan menggunakan tes statistik regresi linier dan uji t.30
Regresi linier ini dipergunakan untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini. Rumusnya sebagai berikut:
Keterangan: Yt = variabel bebas
X1, X2, X3, ... Xn = variabel terikat
e = kesalahan (error term)
bo = konstanta
b1, b2, b3, ... bn = koefisien varavel bebas
Uji t dipergunakan untuk melihat seberapa kuat pengaruh program
pengentasan kemiskinan pemerintah dalan meningkatkan kesejahteraan sosial-ekonomi
masyarakat Kota Surabaya. Rumusnya ialah sebagai berikut:
t =r n - 2
1 - r2
Keterangan: t = t distribusi
r = koefisien korelasi
n = jumlah sampel
r2 = koefisien determinasi
F. SISTEMATIKA PEMBAHASAN
30Algifari, Analisis Regresi: Teori, Kasus, dan Solusi (Yogyakarta: BPFE, 2000), hlm. 57 dan 128.
25
Yt = bo + b1X1 + b2X2+ ... bnXn + e
Sistematika pembahasan dalam penelitian ini meliputi :
Bab I Pendahuluan, yang mengurai tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah,
tujuan penelitian, kegunaan penelitian, dan metode penelitian.
Bab II Kajian Teori, menjelaskan tentang teori-teori yang relevan dengan konteks
penelitian dan kerangka konseptual penelitian.
Bab III Temuan Penelitian menjelaskan tentang deskripsi setting penelitian dan
deskripsi objek atau responden penelitian.
Bab IV Analisis Hasil Penelitian menguraikan tentang uji validitas dan reliabilitas,
deskripsi variabel dan analisis hasil penelitian.
Bab V Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Tinjauan Teoritik
26
Dalam tinjauan teori ini, penulis mencoba menelusuri dan mengkaji teori-teori
yang terkait dan relevan dengan konteks penelitian, diantaranya teori-teori
pembangunan, teori kemiskinan, dan teori kesejahteran sosial.
A.1. Teori Pembangunan
a. Memahami Pembangunan
Pembangunan, menurut Sumodiningrat adalah proses mewujudkan
masyarakat sejahtera secara adil dan merata. Masyarakat sejahtera ditandai adanya
kemakmuran berupa meningkatnya konsumsi masyarakat karena meningkatnya
pendapatan. Peningkatan pendapatan sendiri merupakan hasil produksi yang
meningkat. Proses demikian dapat berlangsung baik bila asumsi-asumsi
pembangunan, yakni adanya kesempatan kerja secara penuh (full employment), tiap
orang memiliki kemampuan yang sama (equal productivity), dan semua pelaku
ekonomi bertindak rasional (efficient), terpenuhi.31
Dalam kenyataan, asumsi-asumsi tersebut sangat sulit dipenuhi. Pasar
seringkali tak mampu memanfaatkan tenaga kerja dan sumber daya alam hingga
menciptakan kondisi full employment, karena tingkat kemampuan dan produktifitas
pelaku ekonomi sangat beragam. Kondisi ini diperburuk dengan kenyataan bahwa
tidak semua mendasarkan perilaku pasarnya pada pertimbangan-pertimbangan
rasional dan efisien. Dalam kondisi demikian, pasar atau ekonomi pun terdistorsi.
Dalam jangka panjang—bahkan dalam jangka menengah dan jangka pendek
31 Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., hal. 19.
27
sekalipun jika dikatkan dengan konteks kekinian,32 hal ini melahirkan berbagai
masalah pembangunan seperti kesenjangan, pengangguran, dan kemiskinan.
Karena itu, menurut Sumodiningrat dalam kondisi terdistorsi tersebut,
pembangunan tidak dapat dibiarkan berlangsung secara alamiah. Pembangunan harus
berjalan dengan intervensi pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang mendorong
terciptanya kondisi yang mendekati asumsi-asumsi tersebut.33 Di sisi lain, menurut
Todaro (2004) seperti dikutip Umajah, dalam mengukur keberhasilan pembangunan
tidak cukup hanya menggunakan tolok ukur ekonomi saja melainkan juga harus
didukung oleh indikator-indikator sosial (non ekonomi), antara lain seperti tingkat
melek huruf, tingkat pendidikan, kondisi-kondisi dan kualitas pelayanan kesehatan,
kecukupan akan kebutuhan perumahan.
Selanjutnya menurut Todaro, ada tiga nilai inti dari pembangunan yaitu:34
1. Kecukupan yaitu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar (basic
needs) yang meliputi pangan, sandang, papan, kesehatan, dan keamanan.
2. Jati diri, menjadi manusia seutuhnya, yaitu diartikan sebagai adanya dorongan-
dorongan dari diri sendiri untuk maju, untuk menghargai diri-sendiri, untuk
merasa diri pantas dan layak melakukan atau mengejar sesuatu.
3. Kebebasan dari sikap menghamba, kemerdekaan atau kebebasan di sini
hendaknya diartikan secara luas sebagai kemampuan untuk berdiri tegak sehingga
tidak diperbudak oleh pengejaran aspek-aspek materiil dalam kehidupan.
32 Tulisan cetak miring adalah analisis penulis pribadi yang mendasarkan pada krisis finansial global sejak tahun 2008 hingga kini akibat kredit macet dalam dunia properti yang melanda Amerika Serikat hingga merembet pada sektor-sektor privat dan real lainnya di berbagai belahan dunia terutama di negara-negara maju. Indonesia sendiri meskipun sedikit banyak tidak bisa lepas dari dampak krisis tersebut namun pengaruhnya dinilai oleh berbagai kalangan terbukti hingga kini masih belum membawa dampak yang signifikan terhadap sistem perekonomian secara makro. 33 Gunawan Sumodiningrat, Op.Cit., hal. 20.34 Siti Umajah Masykuri, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”, Desertasi (Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007), hal. 31-33.
28
Lebih lanjut Todaro menyatakan bahwa pembangunan harus dipandang
sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar
atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping
mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan pendapatan, serta
pengentasan kemiskinan. Sehingga Todaro mengatakan bahwa keberhasilan
pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh 3 nilai pokok, yaitu : 1) Berkembangnya
kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs); 2)
Meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia; dan 3)
Meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitude).35
b. Teori-Teori Besar Pembangunan
Beberapa teori besar (teori modernisasi) yang mewarnai pembangunan di
banyak negara berkembang pasca-PD II diantaranya teori Rostow mengenai tahap-
tahap pertumbuhan, teori Harrod Domar tentang pertumbuhan ekonomi,36 dan teori
McClelland tentang dorongan atau motivasi berprestasi (n-Ach/need for Achievement)
yang menjadi ciri khas manusia modern.37 Rostow, yang mengajukan lima tahap
pertumbuhan dalam pembangunan ekonomi (masyarakat tradisional, prakondisi untuk
tinggal landas menuju pertumbuhan yang berkesinambungan, tinggal landas, menuju
masyarakat dewasa, dan masa konsumsi tinggi), memandang bahwa tahap kritis negara
berkembang “tinggal landas”, dimana masyarakat yang sedang berkembang akan
bertransformasi menuju masyarakat maju.
Selanjutnya Rostow berpendapat, salah satu prinsip yang perlu dijalankan
dalam tahapan ini adalah mobilisasi tabungan domestik dan luar negeri guna
menghasilkan investasi yang cukup untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Uraian
35 Siti Umajah Masykuri, Ibid., hal. 34.36 Gunawan Sumodininrat, Op.Cit., hal. 19. 37 Suwarsono & Alvin Y. So, Perubahan Sosial dan Pembangunan (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26-27.
29
Rostow mengenai inveastasi diperdalam teori Harrod-Domar mengenai pertumbuhan
ekonomi. Harrod-Domar menyatakan, agar tumbuh, suatu perekonomian harus
memiliki tabungan dan investasi dalam proporsi tertentu terhadap Gross National
Product (GNP). Lebih jauh, Harrord-Domar menekankan pentingnya transformasi
struktural secara alamiah dalam pembangunan ekonomi, yang dimulai dengan
menciptakan lapangan kerja. Penciptaan lapangan kerja, selanjutnya, harus berdampak
positif bagi peningkatan pendapatan, yang selain untuk konsumsi dialokasikan sebagai
tabungan.38
Pada dasawarsa 1960-an banyak negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia)
mengadopsi pendekatan growth priority ini, yang berfokus pada akumulasi kapital
nasional. Pembangunan industri secara besar-besaran pun dilakukan, sehingga
pemerintah lebih memainkan peran sebagai enterpreneur ketimbang service provider.
Memang, banyak negara berkembang berhasil meningkatkan akumulasi kapital dan
pendapatan per kapitanya dengan pendekatan ini. Namun, peningkatan itu hanya
dinikmati segelintir orang, terutama pemilik modal dan kelompok elite nasional.
Trickle down effects yang awalnya diyakini terjadi seiring terbentuknya akumulasi
kapital nasional ternyata tidak berjalan. Dengan kata lain, di satu sisi pendekatan ini
berhasil meningkatkan konsentrasi kapital, di sisi lain menciptakan marginalisasi, baik
marginalisasi desa oleh kota maupun marginalisasi penduduk miskin oleh pendudu
kaya. Kondisi inilah yang kemudian melahirkan konsep ketimpangan atau kesenjangan
baik ekonomi, sosial, dan spasial.
Pendekatan atau teori pembangunan lainnya adalah teori McClelland
mengenai motivasi berprestasi (n-Ach/need for Achievement) dari kaum wiraswastawan
domestik yang memegang peran kritis dan bertanggung jawab terhadap pencapaian
38 Gunawan Sumodininrat, Op.Cit., hal. 20.
30
kemajuan negara Dunia Ketiga. Sehingga, dalam konteks ini, investasi pada
pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) mendapat perhatian yang sangat penting
dalam pembangunan.39 Bagi McCleland mendorong proses pembangunan berarti
membentuk manusia wiraswasta dengan n-Ach-nya yang tinggi. Sehingga lahirlah
human capital theory, dengan beberapa asumsi teoritik, misalnya: Semakin tinggi
tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi
tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan
semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat
produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka
mendorong tingginya tingkat pendapatan.
c. Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat
Pada pertengahan 1970-an pendekatan community development sangat
populer dan menggeser pendekatan pembangunan pada 1960-an, yang lebih digerakkan
mitors pertumbuhan. Pembangunan masyarakat/pembangunan komunitas adalah suatu
proses melalui usaha dan prakarsa masyarakat sendiri maupun kegiatan pemerintahan
dalam rangka memperbaiki kondisi ekonomi, sosial dan budaya. Menurut Sanders,
seperti dikutip Suharyanto (2006)40, Pembangunan Masyarakat dapat dipandang pada:
1) Proses, tepatnya proses perubahan yang bersifat multidimensi menuju kondisi yang
lebih baik; 2) Program, dalam konteks kebijakan, program-program pengentasan
kemiskinan seperti Raskin, BLT, JPES, P2KP, dan sejenisnya merupakan sederatan
contoh model pembangunan masyarakat; 3) Gerakan yang bisa berupa kampanye atau
aksi sosial; dan 4) Metode.
39 Suwarsono & Alvin Y. So, Op.Cit., hal. 27. 40 Suharyanto dalam script/naskah makalah (tidak diterbitkan) berjudul “Teori Pembangunan masyarakat”, 15 April 2006.
31
Sedangkan menurut Twelvetrees (1991) seperti dikutip Suharto,
pengembangan masyarakat adalah suatu proses membantu masyarakat untuk
meningkatkan kualitas hidup komunitasnya sendiri dengan melakukan tindakan
kolektif.41 Secara garis besar, Twelvetrees (1991) membagi perspektif pengembangan
masyarakat ke dalam dua bingkai, yakni pendekatan “profesional” dan pendekatan
“radikal”. Pendekatan profesional menunjuk pada upaya untuk meningkatkan
kemandirian dan memperbaiki sistem pemberian pelayanan dalam kerangka relasi-
relasi sosial. Sementara itu, berpijak pada teori struktural neo-Marxis, feminisme dan
analisis anti-rasis, pendekatan radikal (transformasional) lebih terfokus pada upaya
mengubah ketidakseimbangan relasi-relasi sosial yang ada melalui pemberdayaan
kelompok-kelompok lemah, mencari sebab-sebab kelemahan mereka, serta
menganalisis sumber-sumber ketertindasannya.42
Dewasa ini, terutama dalam konteks menguatnya sistem ekonomi pasar bebas
dan “swastanisasi” kesejahteraan sosial, pengembangan masyarakat semakin
menekankan pentingnya swadaya dan keterlibatan informal dalam mendukung strategi
penanganan kemiskinan dan penindasan, maupun dalam memfasilitasi partisipasi dan
pemberdayaan masyarakat. Dalam konteks ini, pemberdayaan menurut Suharto,
menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga
mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam (a) memenuhi kebutuhan dasarnya
sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas dalam
mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan,
bebas dari kesakitan; (b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan
41 Diterjemahkan penulis dari “The process of assisting ordinary people to improve their own communities by undertaking collective actions” dalam Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005), hal. 38. 42 Edi Suharto, Ibid., hal. 40.
32
mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-
jasa yang mereka perlukan; dan (c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.43
A.2. Kemiskinan dan Teori Kesejahteraan Sosial
a. Memahami Kemiskinan
Dalam arti luas, kemiskinan merupakan suatu fenomena multi face atau
multidimensional. Chambers (dalam Nasikun)44 mengatakan bahwa kemiskinan adalah
suatu integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2)
ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of
emergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik
secara geografis maupun sosiologis. Hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup
dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain,
seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum,
kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi
kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.
Kemiskinan dapat dibagi dalam empat bentuk, yaitu:
a. Kemiskinan absolut45: bila pendapatannya di bawah garis kemiskinan atau tidak
cukup untuk memenuhi pangan, sandang, kesehatan, perumahan, dan pendidikan yang
diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja.
43 Edi Suharto, Ibid., hal. 58.44 Nasikun,”Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan”, Diktat Mata Kuliah, Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.45 Kemiskinan absolut dapat diukur secara langsung dengan menetapkan persediaan sumberdaya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line). Garis kemiskinan yang digunakan BPS sebesar 2,100 kalori per orang per hari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang per hari adalah contoh pengukuran kemiskinan absolut. Lihat dalam Edi Suharto, Op.Cit., hal. 133.
33
b. Kemiskinan relatif: kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang
belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan ketimpangan pada
pendapatan.
c. Kemiskinan kultural46: mengacu pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat
yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat
kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar.
d. Kemiskinan struktural: situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses
terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik
yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi seringkali menyebabkan
suburnya kemiskinan.
Perkembangan terakhir, menurut Jarnasy (dalam Suryawati), kemiskinan
struktural lebih banyak menjadi sorotan sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya
ketiga kemiskinan yang lain.47 Dalam perspektif (teori) demokrasi-sosial memandang
bahwa kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan
disebabkan oleh adanya ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber
kemasyarakatan.48 Adapun ciri-ciri kelompok (penduduk) miskin yaitu: 1) rata-rata
tidak mempunyai faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan kerja, dan
keterampilan; 2) mempunyai tingkat pendidikan yang rendah; 3) kebanyakan bekerja
atau berusaha sendiri dan bersifat usaha kecil (sektor informal), setengah menganggur
46 Lihat juga teori Oscar Lewis mengenai budaya miaskin dalam Parsudi Suparlan (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 4-5. Lewis memandang kemiskinan dan ciri-cirinya sebagai suatu kebudayaan atau sebagai suatu sub kebudayaan dengan struktur dan hakikatnya yang tersendiri, yaitu sebagai suatu cara hidup yang diwarisi dari generasi ke generasi melalui garis keluarga. Selanjutanya Lewis, mendefinisikan kebudayaan kemiskinan merupakan suatu adaptasi atau penyesuaian, dan sekaligus juga merupakan reaksi kaum miskin terhadap kedudukan marginal mereka di dalam masyarakat yang berstrata kelas, sangat individualistis, dan berciri kapitalisme. 47 Chriswardani Suryawati dalam artikel berjudul ”Memahami Kemiskinan secara Multidimensional”, dalam http://www.jmpk-online.net/files/chriswaardanimknew.pdf .48 Edi Suharto, Op.Cit., hal. 140.
34
atau menganggur (tidak bekerja); 4) kebanyakan berada di pedesaan atau daerah
tertentu perkotaan (slum area); dan 5) kurangnya kesempatan untuk memperoleh
(dalam jumlah yang cukup): bahan kebutuhan pokok, pakaian, perumahan, fasilitas
kesehatan, air minum, pendidikan, angkutan, fasilitas komunikasi, dan kesejahteraan
sosial lainnya.49
Strategi untuk mengatasi kemiskinan tidak lepas dari strategi pembangunan
yang dianut suatu negara. Program-program yang telah dilakukan untuk memerangi
kemiskinan seringkali tidak memberikan hasil yang menggembirakan karena adanya
perangkap kemiskinan (poverty trap) yang tidak berujung pangkal.
b. Teori Kesejahteraan Sosial
Menurut Suharto, “kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang
berwayuh wajah. Ia dapat didefinisikan dari berbagai sudut pandang. Kesejahteraan
sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang
pembangunan sosial. Sebagai suatu institusi atau bidang kegiatan, kesejahtaraan sosial
melibatkan aktifitas terorganisir yang diselenggarakan baik oleh lembaga-lembaga
pemeirntah maupun swasta yang bertujuan untuk mencegah, mengatasi atau
memberikan kontribusi terhadap pemecahan masalah sosial, dan peningkatan kualitas
hidup individu, kelompok, dan masyarakat.50
Sementara itu, welfare economics, menurut Sen (2002) seperti dikutip
Umajah,51 merupakan suatu proses rasional ke arah melepaskan masyarakat dari
hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-
ukuran seperti tingkat kehidupan (levels of living), pemenuhan kebutuhan pokok (basic
needs fulfillment), kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia (human
49 Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan (Jakarta: Idayu,1980), hal. 63.50 Edi Suharto, Op.Cit., hal. 1. 51 Siti Umajah Masykuri, Op.Cit., hal. 38.
35
development). Selanjutnya Sen, A. (1992: 39-45) lebih memilih capability approach
didalam menentukan standard hidup. Sen mengatakan: the freedom or ability to achieve
desirable “functionings” is more importance than actual outcomes (kebebasan atau
kemampuan untuk mencapai “keberfungsian” yang diharapkan adalah lebih penting
dari pada pendapatan yang sebenarnya).52
Di sisi lain, dalam perspektif pembangunan, kesejahteraan sosial sangat
terkait dengan tiga ideologi besar (grand ideology) atau mazhab pemikiran yang
berkembang di Amerika Serikat dan Eropa Barat, yaitu: liberalisme, konservatifisme
dan strukturalisme. Ketiga ideologi ini memiliki pandangan berlainan tentang
bagaimana seharusnya negara berperan dalam pembangunan ekonomi dan sosial yang
kemudian melahirkan sistem ‘negara kesejahteraan’ (welfare state) dan mempengaruhi
perkembangan paradigma kesejahteraan sosial.53
1. Paradigma Liberalisme
Kaum liberal mendukung welfare state. Negara merefleksikan kehendak
individu dan dipilih berdasarkan perwakilan kelompok. Negara memiliki legitimasi
untuk mengatur dan bertindak. Tiga intervensi negara yang diperlukan dalam
pembangunan mencakup: (a) penciptaan distribusi pendapatan, (b) stabilisasi
mekanisme pasar swasta, dan (c) penyediaan barang-barang publik (public goods) yang
tidak mampu atau tidak efisien disediakan oleh pasar. Individu dan kelompok adalah
warga negara yang sehat, namun punya potensi menjadi rentan (vulnerable) dan
bermasalah dikarenakan adanya kesalahan sistem atau lingkungan. “Blaming the
system” adalah pandangan utama ideologi ini. Masalah sosial, termasuk orang yang
52 Tulisan dalam kurung adalah terjemahan penulis.53 Edi Suharto, “Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial”, makalah disampaikan pada Seminar Paradigma Kesejahteraan Sosial, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 5-6 September 2007.
36
mengalaminya, diakibatkan bukan oleh kesalahan individu yang bersangkutan,
melainkan oleh kesalahan sistem.
Kesejahteraan sosial berporos pada paradigma institusional-universal yang
meyakini bahwa masalah sosial hanya bisa dipecahkan dengan program pelayanan
sosial yang melembaga, berkelanjutan, dan mencakup semua warga. Pendekatan
pekerjaan sosial menekankan pentingnya aspek pencegahan dan pengembangan
kesempatan yang dapat meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. Program-
program pengembangan masyarakat (community development), termasuk community
empowerment, capacity building dan social entrepreneurship dianggap paling ampuh
dalam meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Program-program
pemerintah seperti PNPM-P2KP, P2SEM yang memfokuskan pada upaya penyadaran,
kemandirian, dan pemberdayaan masyarakat adalah sederatan contoh program dari
model paradigma ini.
2. Konservatifisme
Mazhab konservatisme adalah penentang welfare state. Sistem politik pada
hakekatnya bersifat fungsional dan karenanya akan lebih baik jika dibiarkan berjalan
sendiri. Masalah sosial terjadi bukan karena kesalahan sistem, melainkan kesalahan
individu yang bersangkutan. Misalnya, karena malas, tidak memiliki jiwa wirausaha
dan karakteristik budaya kemiskinan lainnya. Solusi yang diajukan oleh para penganut
“blaming the victim” ini pada intinya membatasi peran pemerintah dan menekankan
perubahan pada individu dan kelompok-kelompok kecil. Paradigma kesejahteraan
sosial berpijak pada pandangan residual-selektifitas. Pelayanan sosial hanya perlu
diberikan kepada kelompok lemah secara temporer manakala lembaga pasar dan
keluarga tidak berfungsi. Pendekatan kesejahteraan sosial lebih menitikberatkan pada
37
pelayanan langsung dan rehabilitasi sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat
beradaptasi dengan lingkungan sosialnya.
3. Strukturalisme
Kaum struktural memandang masalah sosial sebagai akibat adanya
ketimpangan pada sistem atau struktur sosial masyarakat. Masalah sosial adalah situasi
tidak terhindarkan dan akan selalu ada dalam sistem yang classist, sexist dan racist,
karena sistem seperti itu menciptakan ketidakadilan melalui perbedaan-perbedaan
status sosial. Keadaan ini akan semakin membesar dan memburuk dalam sebuah sistem
ekonomi kapitalis. Rakyat adalah korban dan objek eksploitasi orang-orang yang
memiliki kekuasaan dan privilege. Solusinya: rakyat harus berjuang memperoleh
kekuasaan dan menjangkau sumber-sumber. Sistem ekonomi, sosial dan politik harus
diubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh. Para penganut mazhab strukturalisme
memiliki kesamaan pandangan dengan kaum liberal. Mereka menganut faham
“blaming the system” atau lebih tepatnya “blaming the structure” serta paradigma
kesejahteraan sosial yang bersandar pada model institusional-radikal. Yang
membedakannya dengan kaum liberalis adalah bahwa pendekatan pekerjaan sosial
yang dikembangkan oleh kelompok strukturalis lebih memfokuskan pada perubahan
lingkungan pada aras makro.
Analisis kebijakan sosial, advokasi kelas dan aksi-aksi sosial dan politik
adalah beberapa metoda yang sering digunakan untuk melakukan perubahan sosial
secara struktural dan radikal. Skema perlindungan sosial, seperti social security,
welfare-to-work programmes, social safety nets, dan conditional cash transfer adalah
beberapa program yang umumnya diterapkan oleh mazhab ini. Atau dalam konteks
penelitian ini, program-program penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah yang
38
berbentuk crash program dan padat karya seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS), Jaring
pengaman Ekonomi dan Sosial (JPES), OPS/Raskin, PAMDKB, bantuan langsung
tunai (BLT) dan sejenisnya adalah contoh-contoh program yang termasuk dalam
mazhab ini.
B. Kerangka Konseptual
B.1. Kerangka Konseptual Penelitian
Dalam penelitian ini, kerangka konseptual dibangun dari kajian teoritik
sebelumnya mengenai teori-teori pembangunan, kemiskinan, dan kesejahteraan sosial.
Secara konseptual, variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelompok variabel yaitu:
variabel indogen atau variabel tergantung/terikat (dependent variable) dan variabel
eksogen atau variabel bebas (independent variable). Variabel indogen atau variabel
terikat (Y) dalam penelitian ini adalah kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat
dengan mendasarkan pada kualitas hidup (quality of life) dan pembangunan manusia
(human development) yang diukur berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Sebagai ukuran kualitas hidup, IPM dibangun melalui pendekatan tiga
dimensi dasar, yaitu: 1) umur panjang dan sehat (dimensi kesehatan) yang diukur
dengan menggunakan angka umur harapan hidup; 2) pengetahuan (pendidikan) yang
diukur menggunakan gabungan indikator angka melek huruf dan rata-rata lama
sekolah; 3) standar hidup layak (pendapatan riil) digunakan indikator kemampuan daya
beli (Purchasing Power Parity).54
Sedangkan variabel bebas [X] (independent variable) dalam penelitian ini
adalah program pengentasan atau penanggulangan kemiskinan oleh pemerintah yang
terdiri dari dua program, yaitu: Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Program
54 Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006 Badan Pusat Statistik—Jakarta, 2007.
39
Penanggulangan Kemiskinan di perkotaan (P2KP). Indikatornya mencakup bantuan
subsidi langsung (cash and carry) untuk program BLT; dan untuk P2KP terdiri dari:
peningkatan keterampilan, pembinaan usaha kecil, bantuan kredit modal usaha,
pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana kelurahan. Berikut diagram
kerangka konseptual penelitian :
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Penelitian
B.2. Hipotesis Penelitian.
Secara sederhana hipotesis penelitian dapat diajukan sebagai berikut:
H0 = program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan berupa Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan
sosial-ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
H1 = Program pengentasan dan penanggulangan kemiskinan Bantuan Langsung
Tunai (BLT) dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) tersebut
berdampak signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat
Kota Surabaya.
40
Program Pengentasan Kemiskinan (X)
Bantuan Langsung Tunai (BLT) : bantuan subsidi langsung (cash and carry) [x1]
P2KP [x2]: Peningkatan
keterampilan; Pembinaan/
pengembangan usaha kecil;
Bantuan kredit modal usaha;
pembangunan dan perbaikan sarana prasarana kelurahan.
Kesejahteraan Sosial-Ekonomi (Y)
IPM :Umur panjang dan
sehat (dimensi kesehatan)
PendidikanStandar hidup
layak (pendapatan riil)
BAB III
TEMUAN-TEMUAN PENELITIAN
A. Deskripsi Setting Penelitian: Tinjauan Geografis dan Demografis
Kota Surabaya merupakan salah satu kota metropolitan di Indonesia yang
menjadi ibu kota propinsi Jawa Timur, memiliki luas sekitar 326,37 km2 dan secara
astronomis terletak di antara 07° 21’Lintang Selatan dan 112° 36’ s/d 112° 54’ Bujur
Timur. Sebagian besar wilayah Surabaya merupakan dataran rendah dengan ketinggian
3 – 6 meter di atas permukaan air laut, kecuali di sebelah Selatan dengan ketinggian 25
– 50 meter di atas permukaan air laut. Batas wilayah Kota Surabaya adalah sebelah
Utara dan Timur dibatasi oleh Selat Madura, sebelah Selatan dibatasi oleh Kabupaten
Sidoarjo dan sebelah Barat dibatasi oleh Kabupaten Gresik. Secara administrasi
pemerintahan kota Surabaya dikepalai oleh Walikota yang juga membawahi koordinasi
atas wilayah administrasi Kecamatan yang dikepalai oleh Camat. Jumlah Kecamatan
yang ada di kota Surabaya sebanyak 31 Kecamatan dan jumlah Kelurahan sebanyak
163 Kelurahan dan terbagi lagi menjadi 1.363 RW (Rukun Warga) dan 8.909 RT
(Rukun Tetangga).55
Secara administratif, Surabaya mempunyai luas wilayah sekitar 326,37 km2
yang terbagi ke dalam 5 wilayah Pembantu Walikota, 31 wilayah kecamatan, dan 163
desa atau kelurahan. Pada awalnya melalui PP No.28, 20 September Tahun 1982,
wilayah Kota Surabaya dibagi ke dalam 3 Wilayah Pembantu Walikota yang terdiri
atas 19 wilayah Kecamatan dengan 163 Kelurahan. Pada Tahun 1990 melalui Kep.
Mendagri 20 Juni Tahun 1990 wilayah Kota Surabaya berubah menjadi 5 Wilayah
Pembantu Walikota terdiri dari 19 wilayah Kecamatan. Selanjutnya pada Tahun 1992
55 Dikutip dari http://www.surabaya.go.id/pdf/rpjm/Bab2.pdf
41
melalui PP.No.26. 20 Mei Tahun 1992 jumlah wilayah Kecamatan berubah menjadi 24
Kecamatan, dan kemudian berubah menjadi 28 wilayah Kecamatan melalui PP.No.59.
19 September Tahun 1992. Terakhir pada Tahun 2001 jumlah wilayah Kecamatan
berubah menjadi 31 melalui Perda No.5. 5 Mei Tahun 2001. Sementara itu jumlah
Wilayah Pembantu Walikota tetap yaitu 5 wilayah dan jumlah Kelurahan tetap yaitu
163.56
Sementara itu, jika ditinjau dari demografis, populasi penduduk Surabaya
terus mengalami peningkatan yang cukup pesat dari tahun ke tahun. Bahkan hal ini
melebihi target proyeksi penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000.
Berdasarkan data proyeksi penduduk tahun 2000—2010, pada tahun 2005 proyeksi
jumlah penduduk sebesar 2.668.097 jiwa, tahun 2006 sebesar 2.681.971 jiwa, tahun
2007 sebesar 2.695.918, dan tahun 2008 sebesar 2.709.936 jiwa. Sedangkan jika
dibandingkan menurut data real statistik, jumlah penduduk (populasi) Kota Surabaya
pada tahun 2005 mencapai 2.740.490 jiwa, tahun 2006 mencapai 2.784.196 jiwa, tahun
2007 mencapai 2.829.486 jiwa, dan tahun 2008 mencapai 2.902.516 jiwa.57 Berikut
tabel rincian perbandingan data proyeksi penduduk berdasarkan sensus penduduk
dengan data statistik jumlah penduduk mulai tahun 2005 sampai tahun 2008:
Tabel 3.1
Tingkat Perbandingan Proyeksi Penduduk Berdasar Sensus dan Jumlah Penduduk Berdasar Data Statistik Kota Surabaya
Proyeksi Penduduk Berdasar Sensus Penduduk
Jumlah Penduduk Berdasar Data Statistik
Tahun Jumlah Persentase Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan
Penduduk/tahun (%)
Tahun Jumlah Persentase Rata-Rata Tingkat Pertumbuhan
Penduduk/tahun (%)
56 Dikutip dari Desertasi Siti Umajah Masykuri dalam http://www.damandiri.or.id/detail.php?id=606.57 Surabaya dalam Angka 2008.
42
2005 2.668.0971,005 %
2005 2.740.4901,016 – 1,025 %2006 2.681.971 2006 2.784.196
2007 2.695.918 2007 2.829.4862008 2.709.936 2008 2.902.516
Sumber: diolah peneliti berdasar data BPS Surabaya dalam Angka 2008
Berdasar tabel 3.1 di atas menunjukkan bahwa jumlah pertumbuhan penduduk
(populasi) Kota Surabaya berdasar data statistik mengalami tingkat pertumbuhan yang
relatif signifikan dari tahun ke tahun (mulai 2005—2008) yang rata-rata berkisar antara
1,016 % – hingga 1,025 % pada tahun 2008.
Tingkat rata-rata pertumbuhan penduduk tersebut nampaknya bisa dibilang
relatif kecil jika didibandingkan dengan data statistik terakhir menurut Kepala Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya, Ismanu, dimana setiap tahun, rata-rata
kenaikan jumlah penduduk Kota Surabaya naik sebesar 1,62 persen. Dengan luas kota
sekitar 29.000 hektar, seharusnya jumlah penduduk ideal Kota Surabaya hanya
2.175.000 jiwa.58
Jumlah pertumbuhan populasi Kota Surabaya tersebut sudah melebihi target
proyeksi penduduk berdasar hasil sensus yang hanya berkisar rata-rata 1,005 % yang
dihitung mulai tahun 2005 hingga 2008. Berdasar tabel 3.1 tersebut dapat diketahui
pula bahwa rasio perbandingan jumlah penduduk berdasar data statistik dengan
proyeksi penduduk berdasar sensus mengalami kenaikan rata-rata sebesar 0,011 %.
Di sisi lain, pertumbuhan penduduk yang cukup pesat tersebut nampaknya
juga tidak didukung dengan luas wilayah lahan yang memadai. Menurut data statistik
berdasar jumlah penduduk berturut-turut mulai tahun 2005, tingkat kepadatan
penduduk Kota Surabaya sebesar 8.397 jiwa/km2, tahun 2006 sebesar 8.531 jiwa/km2,
tahun 2007 sebesar 8.669 jiwa/km2, dan tahun 2008 mencapai 8.893 jiwa/km2.59
58 Dikutip dari sumber http://www.surabaya.go.id/dispenduk/?list=stats&id=16&width=600&height=600
59 Data diolah peneliti berdasar Surabaya Dalam Angka 2008
43
padahal menurut Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya,
Ismanu, Senin (22/9/08) idealnya, jumlah penduduk di Kota surabaya rata-rata 75 orang
per hektar. Namun, volume penduduk Surabaya saat ini mencapai 87 orang per
hektar.60
Sementara adanya arus migrasi penduduk yang makin deras memasuki kota
atau dikenal dengan istilah urbanisasi berlebih (over-urbanization) dengan luas wilayah
kota Surabaya yang tidak berubah dan kesempatan kerja (lahan pekerjaan) terutama
sektor-sektor formal yang terbatas semakin menambah kompleksitas persoalan di
kawasan urban. Data statistik tahun 2007 menunjukkan banyaknya penduduk datang
(pendatang) yang dilaporkan secara resmi mencapai 32.685 jiwa. Sedangkan penduduk
pindah yang dilaporkan resmi sebanyak 16.031 jiwa dan banyaknya transmigran
menurut data statistik tahun 2006 hanya sebesar 22 orang dari 5 KK dengan daerah
tujuan Maluku Utara.61 Menurut data statistik pada bulan Desember 2008, terdapat penduduk datang
sebesar 1.1975 orang. Berikut tabel rincian penduduk datang, lahir, mati, dan pindah yang dihitung per
bulan selama tahun 2008:
Tabel 3.2
Data Statistik Mutasi Penduduk Th. 2008
No BULAN DATANG LAHIR MATI PINDAH
1 JANUARI 2.910 3.292 564 1.137
2 PEBRUARI 3.007 3.250 496 932
3 MARET 2.883 3.489 857 1.251
4 APRIL 2.945 3.482 1.016 1.260
5 MEI 2.301 3.965 1.225 1.187
6 JUNI 2.910 3.875 1.021 1.063
60 sumber http://www.surabaya.go.id/dispenduk/?list=stats&id=16&width=600&height=60061 Surabaya Dalam Angka 2008
44
7 JULI 2.409 3.851 1.325 1.219
8 AGUSTUS 2.660 3.589 1.514 2.063
9 SEPTEMBER 2.925 4.220 1.976 759
10 OKTOBER 3.052 3.829 1.376 1.562
11 NOVEMBER 2.649 3.296 1.510 2.408
12 DESEMBER 1.975 2.761 1.305 1.185
Sumber: http://www.surabaya.go.id/dispenduk (Website Resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya)
Jumlah mutasi penduduk tersebut di atas didasarkan pada catatan yang
dilaporkan secara resmi dari masing-masing kecamatan se-kota Surabaya. Artinya
jumlah tersebut belum termasuk jumlah pendatang tidak resmi (baca: liar) dan
penduduk musiman baik harian, bulanan, dan tahunan yang memang tidak tercatat
secara resmi.
Akibat derasnya arus urbanisasi tersebut, kaum migran urban yang sebagian
besar memang tidak mendapat peluang kerja di sektor-sektor formal harus merelakan
dengan bekerja seadanya terutama di sektor-sektor informal seperti pedagang kaki lima
(PKL), pedagang pasar tradisional, kuli, tukang becak, juru parkir, dan bahkan gepeng
(gelandangan pengemis) atau pencopet. Sektor-sektor informal pada umumnya
memang dipadati oleh para migran urban yang tidak memiliki modal, keahlian, dan
ketrampilan yang memadai. Sehingga wajar jika sejak awal kemunculannya, mereka
yang bekerja di sektor-sektor infomal seringkali harus berhadapan dan berbenturan
dengan aparat-aparat pemkot setempat yang tidak memihak. Selanjutnya,
penggusuranpun kerapkali dilakukan bagi mereka yang dianggap mengganggu
keindahan kota khususnya PKL-PKL dan pemukiman liar serta para gepeng.
Disamping itu, persebaran penduduk yang tidak merata juga menyebabkan
persoalan segregasi spasial yang semakin sesak. Catatan data statistik tahun 2008
45
menunjukkan konsentrasi penduduk terbesar terdapat di Kawasan Surabaya Selatan
tepatnya di Kecamatan Sawahan yang mencapai 223.257 jiwa dengan komposisi laki-
laki 110.809 jiwa dan perempuan 111.590 jiwa dan Kecamatan Wonokromo sebesar
186.725 jiwa dengan komposisi laki-laki 93.496 jiwa dan perempuan 92.736 jiwa,
wilayah Surabaya Timur di Kecamatan Tambaksari sebesar 223.149 jiwa dengan
komposisi laki-laki 110.607 jiwa dan perempuan 111.641 jiwa dan Kecamatan Gubeng
sebesar 157.253 jiwa dengan komposisi laki-laki 77.589 jiwa dan perempuan 79.006
jiwa, dan wilayah Surabaya Utara di Kecamatan Semampir sebesar 193.187 jiwa
dengan komposisi laki-laki 96.956 jiwa dan perempuan 95.264 dan Kecamatan
Krembangan sebesar 125.159 jiwa dengan komposisi laki-laki 62.874 jiwa dan
perempuan 61.616 jiwa. Berikut tabel data statistik sebaran jumlah penduduk setiap
kecamatan di wilayah Kota Surabaya tahun 2008 yang terkonsentrasi di beberapa
Kecamatan :
Tabel 3.3
Data Statistik Sebaran Penduduk Setiap Kecamatan Kota Surabaya Tahun 2008
No KECAMATAN JUMLAH
1 BUBUTAN 115.907
2 SIMOKERTO 106.533
3 TEGALSARI 119.470
4 GENTENG 69.690
5 SEMAMPIR 193.187
6 PABEAN CANTIAN 93.856
7 KREMBANGAN 125.159
8 KENJERAN 116.746
9 BULAK 35.115
10 GUBENG 157.253
46
11 TAMBAKSARI 223.149
12 SUKOLILO 99.361
13 MULYOREJO 79.377
14 RUNGKUT 91.500
15 TENGGILIS MEJOYO 55.506
16 GUNUNG ANYAR 46.625
17 WONOKROMO 186.725
18 SAWAHAN 223.257
19 WONOCOLO 80.627
20 JAMBANGAN 42.959
21 GAYUNGAN 45.148
22 KARANG PILANG 69.443
23 WIYUNG 59.790
24 DUKUH PAKIS 59.929
25 TANDES 94.254
26 ASEMROWO 38.485
27 SUKOMANUNGGAL 97.363
28 BENOWO 42.580
29 PAKAL 36.714
30 LAKARSANTRI 46.289
31 SAMBIKEREP 50.519
Jumlah Total 2.902.516
Sumber: http://www.surabaya.go.id/dispenduk (Website Resmi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya)
Meningkatnya kepadatan penduduk kota Surabaya dari tahun ke tahun, tentu
akan menyebabkan bertambahnya kebutuhan akan lahan, terutama untuk membangun
kebutuhan infrastruktur kota. Selain menyebabkan spasial (ruang) kota menjadi
semakin sesak, juga menyebabkan harga tanah makin membumbung tinggi. Kelompok
47
masyarakat urban yang merasakan dampak dari hal tersebut adalah para warga miskin
kota (marginal urban) yang umumnya bekerja di sektor-sektor informal dan merupakan
kelompok terbesar di perkotaan. Mereka akhirnya harus rela tinggal di permukiman-
permukiman kumuh dan liar (slums area) untuk sekedar bisa bertahan hidup.
B. Potret Kemiskinan di Kota Surabaya
Kelompok marginal urban itulah yang disebut Evers sebagai massa apung.
Mereka adalah kelompok yang paling besar di perkotaan. Kehidupan ekonominya
hanya berlangsung dari tangan ke mulut, semuanya habis untuk makan dan tidak
terlibat dalam ekonomi pasar. Evers memusatkan perhatiannya kepada kelompok-
kelompok yang disebut terakhir ini, yaitu para pelacur, pembantu rumah tangga, tukang
becak, buruh kontrak di bidang industri pembangunan.62 Pada umumnya, mereka
bekerja di sektor-sektor informal dengan penghasilan yang tidak tetap dan menganut
pola hidup subsisten (secukupnya).
Di daerah perkotaan, kelompok-kelompok tersebut selalu menjadi stigma
negatif yang banyak menimbulkan masalah-masalah sosial. Hal itu sudah menjadi
fenomena umum di perkotaan sebagai akibat justru tampaknya karena dalam segi-segi
tertentu kota-kota lebih “maju”, mereka juga lebih maju dalam perjalanan menuju
keterbelakangan; bahwa beberapa masalah pembangunan mendapatkan artikulasi yang
lebih keras dibanding dengan tempat-tempat lain. Ini terutama berlaku dalam hal apa
yang kita pandang sebagai ciri-ciri utama dari pembangunan: pembagian pendapatan
dan kekayaan yang semakin tidak merata, berbagai kekurangan dalam pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan dasar disamping penyebaran ekonomi subsistensi di perkotaan.
Hal ini menurut Evers sebenarnya bukanlah fenomena “urbanisasi berlebihan” (over-
62 Hans-Dieter Evers dalam Parsudi Suparlan (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hal. 75.
48
urbanization), suatu konsep yang sering digunakan, melainkan “keterbelakangan
perkotaan (urban underdevelopment) yang agaknya merupakan aspek urbanisasi
Indonesia yang sangat menentukan.63 Aspek urbanisasi itulah yang disebut Evers
dengan meminjam istilah yang digunakan Clifford Geertz untuk pertanian di Indonesia,
sebagai “involusi kota”.64
Menurut McGee, kota-kota di Jawa (termasuk Kota Surabaya) adalah contoh
kasus involusi kota. Adanya arus urbanisasi tidak diikuti oleh perkembangan kota yang
tidak cukup cepat untuk menyediakan lapangan kerja. Sehingga mayoritas penduduk
perkotaan bergerak di sektor tradisional padat karya yang bercirikan under-employment
(kesempatan kerja rendah), produktifitas rendah, dan penghasilan juga rendah.65
Data survey statistik membuktikan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat
tanpa disertai pertumbuhan kesempatan kerja yang memadai menyebabkan
bertambahnya penduduk miskin di Kota Surabaya. Persentase penduduk miskin
kategori 2 (miskin) dan kategori 3 (sangat miskin) di Kota Surabaya dari tahun 1999
sampai dengan tahun 2003 lebih kecil dibandingkan dengan persentase penduduk
miskin Jawa Timur. Namun pada kurun waktu tersebut persentase penduduk miskin di
Kota Surabaya menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 1998 persentase
penduduk miskin di Kota Surabaya adalah 4,91% (126.852 jiwa) dan terus meningkat
menjadi 13,48% (362.308 jiwa) di tahun 2003 seperti terlihat dalam tabel 1.1.
Nampaknya dari tahun ke tahun angka kemiskinan di Surabaya cenderung mengalami
63 Hans-Dieter Evers, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1986), hal 91.64 Geertz menggunakan istilah “involusi” untuk memberikan perkembangan pengetahuan tentang tanah di Jawa. Kemandekan atau kemacetan pola pertanian ditunjukkan dengan tidak adanya kemajuan yang hakiki. Dalam hal usaha tani sawah, involusi itu digambarkan oleh taraf produktifitas yang tidak menaik, dengan produktifitas mencapai ukuran per orang (tenaga kerja). Kenaikan hasil per hektar memang dicapai, tetapi hasil yang lebih tinggi itu hanya cukup untuk mempertahankan taraf penyediaan pangan per orang yang makan nasi. Lihat dalam Clifford Geertz, Agricultural Involution: The Process of Ecological Change in Indonesia (Berkeley, Cal: University of California Press, 1963). 65 McGee dalam Hans-Dieter Evers & Rudiger Korf, Urbanisme di Asia Tenggara: Makna dan Kekuasaan dalam Ruang-Ruang Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2002), hal. 76.
49
kenaikan. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko), angka
kemiskinan tahun 2005-2007 terus mengalami kenaikkan. Mulai 111.233 KK (atau
377.832 jiwa) pada tahun 2005, 113.129 KK (atau 379.269 Jiwa) pada tahun 2006, dan
126.724 KK (431.331 jiwa) pada tahun 2007.66
Namun, berdasarkan data BPS Kota Surabaya tahun 2007, jumlah keluarga
miskin yang menjadi penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) tercatat sebanyak
125.871 KK. Berikut tabel rincian jumlah keluarga miskin penerima Subsidi Langsung
Tunai (SLT) per kecamatan:67
Tabel 3.4
Jumlah Keluarga Miskin Penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) per Kecamatan Th. 2007
No. Kecamatan/Sub District
Banyaknya Rumah Tangga MiskinNumber of Poor Household
Surabaya Pusat :
1. Tegalsari 4.7912. Genteng 3.5563. Bubutan 5.2804. Simokerto 8.697
Surabaya Utara5 Pabean Cantikan 6.9086 Semampir 16.6067 Krembangan 6.2778 Kenjeran 5.7709 Bulak
Surabaya Timur:10 Tambaksari 10.13011 Gubeng 3.01712 Rungkut 3.49513 Tenggilis Mejoyo 1.22114 Gunung Anyar 1.88515 Sukolilo 4.41516 Mulyorejo 2.191
Surabaya Selatan:17 Sawahan 7.69018 Wonokromo 6.54919 Karang Pilang 2.140
66 Hasil Pemutaakhiran Data Angka Kemiskinan oleh BAPPEKO Surabaya tahun 2006-200767 BPS Kota Surabaya dalam Surabaya dalam Angka 2008
50
20 Dukuh Pakis 1.62121 Wiyung 1.86822 Wonocolo 2.20623 Gayungan 1.12724 Jambangan 2.438
Surabaya Barat25 Tandes 2.90626 Sukomanunggal 2.31627 Asemrowo 3.31028 Benowo 1.50329 Pakal 93430 Lakar Santri 2.12931 Sambikerep 1.780
Total Surabaya 125.871Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Surabaya
Selanjutnya, pada tahun 2009 berdasarkan hasil survey kependudukan Kota
Surabaya jumlah rumah tangga miskin penerima BLT untuk Kota Surabaya mengalami
penurunan, yakni sebesar 119.755 KK. Jumlah tersebut tidak serta merta menunjukkan
bahwa tren angka kemiskinan di Kota Surabaya mengalami penurunan karena data
yang diambil hanya didasarkan survey pada sample (sebagian populasi penduduk) di
masing-masing kelurahan dan kecamatan. Belum lagi adanya indikasi penyimpangan
dan kepentingan subjektif dari petugas survey yang melakukan pendataan mengenai
warga penerima BLT di masing-masing kelurahan. Sehingga berakibat pada biasnya
hasil survey. Lain halnya dengan data yang diperoleh dari sensus penduduk yang
melibatkan seluruh populasi dan dilakukan secara oleh Badan Pusat Statistik. Sehingga
wajar jika terkadang data yang tercatat dari hasil survey tersebut tidak sesuai dengan
fakta lapangan yang sesungguhnya yang berakibat pada penentuan rumah tangga
miskin yang berhak menerima BLT menjadi salah sasaran. Akibatnya, pro kontra pun
kerapkali terjadi setiap kali bantuan BLT tersebut dikucurkan bahkan mengarah pada
konflik horizontal di tengah masyarakat.
51
C. Program-Program Pengentasan Kemiskinan: Kasus BLT dan PNPM-P2KP di
Kota Surabaya
Kota Surabaya sebagaimana telah dikemukakan dalam uraian sebelumnya
merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang memiliki tingkat kepadatan dan
pertumbuhan penduduk dengan angka kemiskinan yang relatif tinggi. Berdasarkan data
statistik mengenai jumlah (angka) kemiskinan yang masih relatif tinggi tersebut, maka
tak heran jika Kota Surabaya juga tak luput dari target (sasaran) program pemerintah
dalam berbagai jenis program penanggulangan dan pengentasan kemiskinan. Menurut
Sumodiningrat seperti telah disinggung dalam bahasan sebelumnya, secara makro,
untuk mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan memberdayakan masyarakat,
pembangunan nasional terangkai dalam tiga arah kebijakan. Pertama, kebijakan yang
tidak langsung mengarah pada sasaran tetapi memberikan dasar tercapainya kondisi
yang mendukung kegiatan sosial ekonomi. Kedua, kebijakan yang langsung mengarah
pada peningkatan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Ketiga, kebijakan khusus yang
mencakup upaya-upaya memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.68
Melalui tiga arah kebijakan itulah, berbagai program penanggulangan dan
pengentasan kemiskinan lahir dan direalisasikan dalam berbagai bentuk dan jenis
program. Dalam bahasan di sini, peneliti hanya memfokuskan pada dua jenis program
pengentasan kemiskinan, yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan PNPM-P2KP
(Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan). Program yang pertama (BLT)
mewakili kebijakan pemerintah yang langsung mengarah pada peningkatan kegiatan
ekonomi kelompok sasaran dan merupakan program padat karya yang bersifat crash
program sebagai upaya mengatasi kemiskinan akibat dampak kenaikan harga BBM.
68 Gunawan Sumodiningrat, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hal. 33.
52
Sedangkan program yang kedua (PNPM-P2KP) mewakili kebijakan khusus yang
mencakup upaya-upaya memberdayakan masyarakat dan menanggulangi kemiskinan.
Sejak awal program BLT dirancang sebagai antisipasi pemerintah guna
mengatasi imbas negatif akibat kenaikan harga BBM. Pemerintah sebetulnya sudah
menyadari bahwa imbas kenaikkan harga BBM akan berdampak buruk bagi
kelangsungan hidup masyarakat, khususnya keluarga miskin. Karena itu, Subsidi
Langsung Tunai (BLT) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) merupakan salah satu dari
Program Kompensasi Pengurangan Subsidi (PKPS) BBM. Untuk program tersebut
pemerintah memberikan dana BLT sebesar Rp100 ribu/keluarga/bulan. Dana tersebut
telah mulai dibagikan sejak awal Oktober 2005 untuk 3 bulan sekaligus, yaitu Oktober,
November dan Desember 2005.
Namun, praktek di lapangan nampaknya tidak sesuai dengan apa yang
diharapkan karena seperti banyak diberitakan di media massa banyak sekali
menimbulkan masalah diantaranya seperti sikap penolakan sebagian masyarakat,
pencatatan (survey) terhadap warga miskin yang berhak menerima bantuan yang
terkadang masih menggunakan data lama yang belum diupdate, adanya indikasi
penyimapangan sebagian aparat (petugas) dalam menentukan penerima bantuan
sehingga validitas data keluarga miskin kemudian patut dipertanyakan, proses
pembagian BLT yang seringkali menyengsarakan masyarakat miskin hingga mereka
harus susah payah dan rela antri berjam-jam, serta evaluasi dan monitoring program
bantuan yang nyaris tidak pernah terdengar. Sehingga transparansi, akuntabilitas, dan
nasib keberlanjutan program menjadi tidak jelas ke mana arahnya.
Di Kota Surabaya, misalnya, sepanjang tahun 2008 banyak kekeliruan dalam
pencatatan data di lapangan mengenai rumah tangga sasaran (RTS) penerima BLT
53
sehingga daftar nama RTS terpaksa dikembalikan lagi seperti terjadi di Kelurahan
Sawunggaling, Kecamatan Wonokromo. Di samping itu, terdapat sikap resisten
(penolakan) sebagian warga terhadap BLT yang dilatar belakangi masalah jumlah
warga miskin yang masih menggunakan data tahun 2005 seperti yang terjadi di wilayah
Kelurahan Sidotopo Wetan.69 Selanjutnya, dalam pembagian BLT pada bulan April
2009 juga muncul persoalan. Seperti diberitakan salah satu media harian nasional, dana
bantuan langsung tunai (BLT) yang baru dibagikan diwarnai aksi sunat. Di beberapa
kecamatan, bantuan yang diberikan untuk orang miskin itu dipotong sehingga jumlah
yang diterima warga tidak utuh. Pemotongan tersebut tidak dilakukan saat penerimaan
uang. Namun, warga diminta menyetorkan sejumlah uang kepada pejabat pemerintahan
di tataran bawah sebagai bentuk terima kasih karena telah memasukkannya ke dalam
daftar penerima BLT.70
Banyaknya persoalan yang terjadi setiap kali proses pelaksanaan program
BLT tersebut dikucurkan di berbagai daerah termasuk Kota Surabaya menunjukkan
bahwa dari sisi manajerial, program BLT tidak terkelola dengan baik bahkan terkesan
amburadul dan asal-asalan. Sehingga meskipun kebijakan pemerintah untuk
mengentaskan kemiskinan dalam jangka pendek tersebut bernilai positif bagi
kelangsungan hidup masyarakat miskin namun dari sisi proses pelaksanaan di lapangan
justru menimbulkan banyak persoalan dan penyimpangan.
Berbeda dengan BLT yang bersifat padat karya dan crash program, Program
Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan (P2KP) lebih menekankan pada proses
pemberdayaan. Program ini lahir pada tahun 1999 dalam upaya memfasilitasi
masyarakat serta Pemerintah Daerah untuk mampu menangani akar penyebab
69 Koran Sindo edisi 23 Mei 2008.70 Jawa Pos edisi 18 April 2009
54
kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan (sustainable). Strategi dasar
pendekatannya adalah : (a) mengintesifkan upaya-upaya pemberdayaan untuk
meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat; (b) menjalin kemitraan yang
seluas-luasnya dengan berbagai pihak untuk bersama-sama mewujudkan keberdayaan
dan kemandirian masyarakat; (c) menerapkan keterpaduan dan sinergi pendekatan
pembanguna sektoral, pembangunan kewilayahan, dan pembangunan partisipatif.71
Sejak tahun 2007, P2KP kemudian berubah atau lebih tepatnya menjadi
bagian dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri perkotaan
yang diarahkan untuk mendukung upaya peningkatan indeks pembangunan manusia
dan pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Pada prinsipnya
antara P2KP dan PNPM mempunyai sasaran yang sama, yakni program yang pro poor
(pro warga miskin) dilaksanakan sebagai suatu upaya pemerintah untuk membangun
kemandirian masyarakat dan pemerintah daerah dalam menanggulangi kemiskinan
secara berkelajutan. Untuk kasus di Kota Surabaya, pelaksanaan PNPM-P2KP pada
tahun 2009 dilakukan dalam bentuk monitoring dan evaluasi program yang selama ini
sudah terlaksana. Hal ini dilakukan sebagai langkah pembenahan dan peningkatan
program untuk mengurangi jumlah keluarga miskin yang ada di Kota Surabaya.72
Adapun pelaksanaan program dan besaran dana yang dikucurkan melalui
PNPM-P2KP ini cenderung bervariasi di setiap kelurahan bergantung kebutuhan dan
usulan program (proposal) yang diajukan oleh setiap kelurahan melalui Badan
Keswadayaan Masyarakat (BKM).73 Di Kelurahan Sidotopo Kecamatan Semampir,
misalnya, pada tahun 2008 dana bantuan yang diperoleh sebesar 350 juta. Dana 71 Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri 2007.72 Laporan Utama Majalah GAPURA, Majalah Kota Surabaya edisi Maret 2009. 73 BKM adalah lembaga keswadayaan masyarakat yang dibentuk di masing-masing kelurahan dengan fungsi utama mengkoordinasikan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan, mengakomodasikan berbagai masukan pembangunan untuk wilayahnya serta membentuk Unit-Unit/pokja pelaksana dan mengorganisir relawan-relawan dari warga setempat.
55
tersebut dialokasikan untuk beberapa program yang dipilah dalam tiga aspek, yaitu
infrastruktur, ekonomi, dan sosial. Program-program tersebut difokuskan dalam upaya
mencapai kesejahteraan sosial masyarakat melalui proses musyawarah secara mufakat.
Terkait dengan pembangunan infrastruktur, misalnya, direalisasikan dalam bentuk
pavingisasi jalan di tiap-tiap gang perkampungan yang perlu dibenahi, pembenahan
saluran air. pembenahan atau renovasi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK), dan
pembangunan tempat penampungan air. Sedangkan program pengembangan ekonomi
berupa peminjaman modal kepada masyarakat yang memiliki Usaha Kecil Menengah
(UKM) seperti mracang, dll. Dan bentuk program yang terkait bidang sosial adalah
pelatihan keterampilan seperti menjahit dan penyablonan yang diikuti oleh perwakilan
dua orang setiap RW. Target sasarannya adalah remaja karang Taruna untuk
ketrampilan penyablonan dan ibu-ibu PKK untuk pengembangan ketrampilan
menjahit.74
Berbeda dengan Kelurahan Sidotopo, Kelurahan Putat Jawa Kecamatan
Sawahan mendapat bantuan P2KP sebesar 150 juta. Dana hibah sebanyak 50 juta dan
pinjaman modal sebesar 100 juta. Kemudian proses distribusi ke masyarakat
dilaksanakan oleh Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) yang dibentuk melalui
Musyarawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) yang diketahui oleh
kelurahan, kecamatan dan kabupaten/kota setempat. Dalam rangka pengembangan dan
pemberdayaan masyarakat Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) setempat
membentuk empat biro, yaitu: (1) Pendidikan: Pelatihan; (2) Kesehatan: imunisasi bayi;
(3) Infrastruktur: pipanisasi; dan (4) Teknologi Tepat Guna (TTG), yang masih belum
terlaksana.
74 Hasil wawancara dengan Rustam, pengurus BKM Kelurahan Sidotopo, 25 Agustus 2009
56
Pada tahun 2008, P2KP di Kelurahan Putat Jaya sudah membekali masyarakat
dengan mengadakan pelatihan keterampilan (skill) berupa kerajinan daur ulang sampah,
menjahit, dan tata boga. Daur ulang sampah berguna tidak hanya pada penumbuhan
industri kreatif namun juga terealisasinya program kampung green and clean yang
dicanangkan oleh Pemerintah Kota Surabaya. Pelatihan daur ulang sampah
dilaksanakan terutama diprioritaskan pada pembersih sampah dan kelompok-kelompok
muda. Hal ini dimaksudkan agar tercipta kemandirian pada jiwa dan nalar generasi
muda di masa depan. Misalnya Karang Taruna diambil tiga orang dan remaja masjid
(remas) empat orang.75
Program pelatihan skill yang lain adalah pelatihan menjahit dan tata boga.
Kelompok sasarannya adalah kelompok PKK, organisasi kepemudaan, dan ibu-ibu
yang tidak memiliki pekerjaan. Tujuannya adalah membekali kelompok masyarakat
dengan jiwa wirausaha dan menanamkan pentingnya kesadaran kemandirian. Meskipun
secara konseptyal dan praktek pelaksanaannya dinilai dan mendapat sambutan positif
dari masyarakat namun program tersebut menemui beberapa kendala, diantaranya
keberlanjutan pendampingan pasca pelatihan yang dinilai kurang maksimal dan tidak
adanya jaringan mitra yang mampu mendorong dan memaksimalkan peran kelompok
sasaran dan produk apa yang ditawarkan setelah pelatihan.
Sementara itu di Kelurahan Pacar Keling Kecamatan Tambaksari, alokasi
dana bantuan yang didapat sebesar 150 juta yang selanjutnya dikoordinir oleh ketua
BKM setempat. Bentuk program dan kelompok sasarannya adalah sebagai berikut:76
1. Pelatihan montir motor bagi para pemuda yang tidak memiliki pekerjaan alias
pengangguran.
75 Hasil wawancara dengan Achmad, Ketua BKM Putat Jaya, 26 Agustus 2009 76 Hasil wawancara dengan Moh. Joeli, Ketua BKM Pacar Kelling, 20 Agustus 2009
57
2. Pelatihan kterampilan membuat sepatu dan peci. Objek sasarannnya adalah warga
laki-laki dan perempuan yang diwakili masing-masing RW dan diseleksi di setiap
RT setempat.
3. Pelatihan Bunda PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini). Objek sasarannya adalah
guru-guru PAUD dari Kelurahan Pacar Keling
4. Pelatihan Tata Boga (Memasak) yang objek sasarannya adalah ibu-ibu perwakilan
masing-masing RW yang diseleksi dari setiap RT.
5. Program bantuan fisik yang meliputi pavingisasi dan perbaikan selokan air.
Kendala atau hambatan yang dirasakan masyarakat dalam pelaksanan
program-program tersebut adalah tidak adanya kontrol dan monitoring terhadap
bantuan yang dterima oleh Pemerintah dan pelaksana program (dalam hal ini BKM)
setempat sehingga terkesan kurang terurus dengan baik dan dinilai tidak tepat
sasaran.77 Di sisi lain, konflik internal antara pengurus BKM dan RW Pacar Kelling
juga mewarnai dalam proses pelaksanaan program tersebut. Hal disebabkan oleh tidak
transparansinya dana bantuan P2KP dan pembagian bantuan program fisik seperti
pavingisasi dan pembenahan selokan air yang dinilai tidak merata karena sebagian RT
tidak mendapat alokasi dari program tersebut.
Namun dapat dikatakan secara garis besar kendala yang menghambat
efektivitas program-program pelatihan terhadap target dan tujuan yang sudah
ditetapkan adalah ketidaksiapan pendamping dalam melakukan pengawalan sampai
terbentuknya jiwa produktivitas masyarakat yang menjadi sasaran pelatihan. Di sisi lain
juga sering kali PNPM-P2KP masih dianggap sebagai proyek yang menguntungkan
dengan imbalan besar. Nalar demikian berdampak pada produktif dan tidak
produktifnya pendamping dalam menumbuhkan dan mencapai target yang diinginkan.
77 Wawancara dengan ketua RT 1 Kelurahan Pacar Kelling, 20 Agustus 2009
58
Hal ini bisa dimaklumi karena sebagian besar pendamping P2KP adalah dari kalangan
terdidik yang masih belum tercatat mempunyai pekerjaan.
Pada tahun 2009, Kota Surabaya kembali mendapatkan alokasi bantuan
anggaran untuk pelaksanaan program PNPM-P2KP. Berikut rincian alokasi bantuan
pada masing-masing kecamatan dan kelurahan di wilayah Kota Surabaya:
Tabel 3.5
Alokasi Bantuan PNPM-P2KP Tahun 2009
KOTA/KAB. KECAMATAN KELURAHAN PLN APBD BLM KOTA SURABAYA KARANG PILANG 1 WARUGUNUNG 128 32 160 2 KARANGPILANG 160 40 200 3 KEBRAON 280 70 350 4 KEDURUS 280 70 350 TOTAL KEC. KARANG PILANG 848 212 1,060 JAMBANGAN 1 PAGESANGAN 160 40 200 2 KEBONSARI 160 40 200 3 JAMBANGAN 160 40 200 4 KARAH 224 56 280 TOTAL KEC. JAMBANGAN 704 176 880
GAYUNGAN 1DUKUH MENANGGAL
160 40 200
2 MENANGGAL 160 40 200 3 GAYUNGAN 224 56 280 4 KETINTANG 224 56 280 TOTAL KEC. GAYUNGAN 768 192 960 WONOCOLO 1 SIWALANKERTO 184 46 230 2 JEMUR WONOSARI 184 46 230 3 MARGOREJO 184 46 230 4 BENDUL MERISI 184 46 230 5 SIDOSERMO 280 70 350 TOTAL KEC. WONOCOLO 1,016 254 1,270 TENGGILIS MEJOYO 1 KUTISARI 224 56 280 2 KENDANGSARI 224 56 280 3 TENGGILIS MEJOYO 128 32 160 4 PRAPEN 160 40 200 5 PANJANG JIWO 160 40 200 TOTAL KEC. TENGGILIS MEJOYO 896 224 1,120
GUNUNG ANYAR 1RUNGKUT MENANGGAL
224 56 280
2 RUNGKUT TENGAH 224 56 280 3 GUNUNG ANYAR 280 70 350
4GUNUNG ANYAR TAMBAK
160 40 200
TOTAL KEC. GUNUNG ANYAR 888 222 1,110 RUNGKUT 1 RUNGKUT KIDUL 224 56 280 2 MEDOKAN AYU 280 70 350 3 WONOREJO 160 40 200
59
4 PENJARINGAN SARI 280 70 350 5 KEDUNG BARUK 224 56 280 6 KALIRUNGKUT 224 56 280 TOTAL KEC. RUNGKUT 1,392 348 1,740 SUKOLILO 1 NGINDEN JANGKUNGAN 224 56 280 2 SEMOLOWARU 224 56 280 3 MEDOKAN SEMAMPIR 224 56 280 4 KEPUTIH 160 40 200 5 GEBANG PUTIH 160 40 200 6 KLAMPIS NGASEM 224 56 280 7 MENUR PUMPUNGAN 224 56 280 TOTAL KEC. SUKOLILO 1,440 360 1,800
MULYOREJO 1MANYAR SABRANGAN
224 56 280
2 MULYOREJO 224 56 280
3KEJAWEN PUTIH TAMBAK
160 40 200
4 KALISARI 128 32 160 5 DUKUH SUTOREJO 224 56 280 6 KALIJUDAN 280 70 350 TOTAL KEC. MULYOREJO 1,240 310 1,550 GUBENG 1 BARATAJAYA 280 70 350 2 PUCANG SEWU 280 70 350 3 KERTAJAYA 280 70 350 4 GUBENG 280 70 350 5 AIRLANGGA 280 70 350 6 MOJO 280 70 350 TOTAL KEC. GUBENG 1,680 420 2,100 WONOKROMO 1 SAWUNGGALING 280 70 350 2 WONOKROMO 280 70 350 3 JAGIR 280 70 350 4 NGAGELREJO 280 70 350 5 NGAGEL 280 70 350 6 DARMO 280 70 350 TOTAL KEC. WONOKROMO 1,680 420 2,100 DUKUH PAKIS 1 GUNUNGSARI 280 70 350 2 DUKUHPAKIS 280 70 350 3 PRADAHKALIKENDAL 280 70 350 4 DUKUHKUPANG 224 56 280 TOTAL KEC. DUKUH PAKIS 1,064 266 1,330 WIYUNG 1 BALAS KLUMPRIK 112 28 140 2 BABATAN 184 46 230 3 WIYUNG 184 46 230 4 JAJARTUNGGAL 128 32 160 TOTAL KEC. WIYUNG 608 152 760 LAKAR SANTRI 1 BANGKINGAN 128 32 160 2 SUMUR WELUT 128 32 160 3 LIDAH WETAN 80 20 100 4 LIDAH KULON 280 70 350 5 JERUK 128 32 160 6 LAKARSANTRI 128 32 160 TOTAL KEC. LAKAR SANTRI 872 218 1,090
60
SAMBI KEREP 1 MADE 160 40 200 2 BRINGIN 160 40 200 3 SAMBIKEREP 280 70 350 4 LONTAR 224 56 280 TOTAL KEC. SAMBI KEREP 824 206 1,030 TANDES 1 GADEL 160 40 200 2 TUBANAN 160 40 200 3 TANDES LOR 160 40 200 4 TANDES KIDUL 128 32 160 5 GEDANGASIN 120 30 150 6 KARANGPOH 160 40 200 7 BALONGSARI 224 56 280 8 BIBIS 120 30 150 9 MANUKAN WETAN 160 40 200 10 MANUKAN KULON 224 56 280 11 BANJAR SUGIAN 224 56 280 12 BUNTARAN 120 30 150 TOTAL KEC. TANDES 1,960 490 2,450 SUKOMANUNGGAL 1 PUTAT GEDE 160 40 200 2 SONO KWIJENAN 160 40 200 3 SIMOMULYO 224 56 280 4 SUKO MANUNGGAL 128 32 160 5 TANJUNGSARI 224 56 280 TOTAL KEC. SUKOMANUNGGAL 896 224 1,120 SAWAHAN 1 PAKIS 280 70 350 2 PUTAT JAYA 184 46 230 3 BANYU URIP 184 46 230 4 KUPANG KRAJAN 280 70 350 5 PETEMON 280 70 350 6 SAWAHAN 184 46 230 TOTAL KEC. SAWAHAN 1,392 348 1,740 TEGAL SARI 1 KEPUTRAN 280 70 350 2 DR. SUTOMO 184 46 230 3 TEGALSARI 184 46 230 4 WONOREJO 280 70 350 5 KEDUNGDORO 280 70 350 TOTAL KEC. TEGAL SARI 1,208 302 1,510 GENTENG 1 EMBONG KALIASIN 184 46 230 2 KETABANG 160 40 200 3 GENTENG 280 70 350 4 PENELEH 280 70 350 5 KAPASARI 280 70 350 TOTAL KEC. GENTENG 1,184 296 1,480 TAMBAK SARI 1 PACAR KELING 280 70 350 2 PACAR KEMBANG 280 70 350 3 PLOSO 184 46 230 4 TAMBAKSARI 280 70 350 5 RANGKAH 184 46 230 6 GADING 280 70 350 TOTAL KEC. TAMBAK SARI 1,488 372 1,860
KENJERAN 1TANAH KALI KEDINDING
280 70 350
61
2 SIDOTOPO WETAN 184 46 230 3 BULAK BANTENG 280 70 350 4 TAMBAK WEDI 128 32 160 TOTAL KEC. KENJERAN 872 218 1,090 BULAK 1 SUKOLILO 160 40 200 2 KOMPLEK KENJERAN 160 40 200 3 KENJERAN 160 40 200 4 BULAK 280 70 350 5 KEDUNG COWEK 160 40 200 TOTAL KEC. BULAK 920 230 1,150 SIMOKERTO 1 KAPASAN 280 70 350 2 TAMBAKREJO 280 70 350 3 SIMOKERTO 280 70 350 4 SIDODADI 280 70 350 5 SIMOLAWANG 280 70 350 TOTAL KEC. SIMOKERTO 1,400 350 1,750 SEMAMPIR 1 AMPEL 280 70 350 2 SIDOTOPO 184 46 230 3 PEGIRIAN 128 32 160 4 WONOKUSUMO 128 32 160 5 UJUNG 280 70 350 TOTAL KEC. SEMAMPIR 1,000 250 1,250 PABEAN CANTIAN 1 BONGKARAN 80 20 100 2 NYAMPLUNGAN 280 70 350
3KREMBANGAN UTARA
280 70 350
4 PERAK TIMUR 280 70 350 5 PERAK UTARA 184 46 230 TOTAL KEC. PABEAN CANTIAN 1,104 276 1,380 BUBUTAN 1 TEMBOK DUKUH 280 70 350 2 BUBUTAN 280 70 350
3ALON ALON CONTONG
160 40 200
4 GUNDIH 184 46 230 5 JEPARA 280 70 350 TOTAL KEC. BUBUTAN 1,184 296 1,480 KREMBANGAN 1 DUPAK 280 70 350 2 MOROKREMBANGAN 184 46 230 3 PERAK BARAT 80 20 100 4 KEMAYORAN 280 70 350
5KREMBANGAN SELATAN
280 70 350
TOTAL KEC. KREMBANGAN 1,104 276 1,380 ASEMROWO 1 TAMBAK LANGON 120 30 150 2 GREGES 128 32 160 3 ASEMROWO 224 56 280 4 GENTING 160 40 200 5 KALIANAK 120 30 150 TOTAL KEC. ASEMROWO 752 188 940 BENOWO 1 SEMEMI 224 56 280 2 KLAKAH REJO 160 40 200 3 KANDANGAN 280 70 350
62
4TAMBAKOSO WILANGON
160 40 200
5 ROMOKALISARI 120 30 150 TOTAL KEC. BENOWO 944 236 1,180 PAKAL 1 BABAT JERAWAT 280 70 350 2 PAKAL 160 40 200 3 BENOWO 160 40 200 4 SOMBEREJO 160 40 200 5 TAMBAKDONO 120 30 150 TOTAL KEC. PAKAL 880 220 1,100
TOTAL KOTA SURABAYA 34,208 8,552 42,760 Sumber: Tim Koordinasi PNPM Mandiri Kota Surabaya
D. Deskripsi dan Profil Responden
Responden dalam penelitian ini dengan jumlah total 328 orang (N= 328)
adalah mereka yang termasuk dalam kategori keluarga miskin penerima Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang sebagian juga menjadi target (sasaran) bantuan PNPM-
P2KP (Program Penanggulangan kemiskinan di Perkotaan di wilayah Kota Surabaya.
Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian sebelumnya, responden tersebut dipilih
melalui teknik penarikan sampel gugus bertahap yang diambil dari lima wilayah
pembantu pembantu walikota, diantaranya Surabaya Pusat, Surabaya Barat, Surabaya
Timur, Surabaya Selatan, dan Surabaya Utara. Selanjutnya, peneliti menentukan secara
purposive untuk memilih kecamatan-kecamatan dari masing-masing wilayah pembantu
wali kota tersebut dengan asumsi kecamatan yang dipilih adalah kecamatan yang
banyak memiliki keluarga miskin yang menjadi penerima BLT.
D.1 Karakteristik Responden
Karakteristik responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah mendata
tentang jenis kelamin dan usia responden. Sedangkan terkait dengan pendidikan
terakhir dan pekerjaan responden sebagian besar memiliki karakateristik yang sama
atau relatif homogen. Hal ini wajar mengingat seluruh responden yang dipilih dalam
penelitian adalah warga miskin yang cenderung memiliki karakteristik yang homogen
63
terutama dalam hal tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan yang rata-rata bergerak di
sektor informal (wiraswasta atau wirausaha). Hasil selengkapnya mengenai
karakteristik responden dapat dilihat dalam penjelasan di bawah ini:
D.1.1 Distribusi Jenis Kelamin Responden
Sebagian besar responden dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki
dengan proporsi yang lebih dominan, yaitu sebesar 78 % atau 257 orang dari total 328
orang (N=328). Sedangkan sisanya sebesar 22 % (71 orang) adalah perempuan. Berikut
gambar persentase jumlah responden berdasar jenis kelamin :
D.1.2 Distribusi Usia Responden
Berikut adalah gambar distribusi responden berdasarkan usia:
Gambar 3.1.1Distribusi Responden Berdasar Jenis Kelamin
257
78%
71
22%Laki-Laki
Perempuan
64
Gambar 3.1.2 Distribusi Usia Responden
35(11%)
125(38%)
168(51%)
25 - 45
46 - 55
> 55
Gambar di atas menjelaskan karakteristik responden berdasarkan usia
kelamin. Berdasarkan gambar tersebut tampak bahwa sebagian besar usia responden
adalah berkisar 25-45 tahun yang mencapai jumlah 51% (168 orang) dari total
seluruhnya (N=328). Sedangkan sebanyak 38% (125) responden berusia sekitar 46-55
tahun. Dan sisanya sebanyak 11% (35) responden berusia di atas 55 tahun. Hal ini
berarti bahwa sebagian besar responden masih berusia produktif.
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas merupakan suatu langkah pengujian yang dilakukan terhadap isi
(content) dari suatu instumen, dengan tujuan untuk mengukur ketepatan instrumen yang
digunakan dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini, uji validitas internal dilakukan
atas item-item pernyataan pada kuesioner yaitu dengan jalan menghitung corrected
item to total correlation. Hair, Anderson, Black (1998 : 611) menyatakan bahwa
65
analisis ini merupakan analisis konsistensi internal atas item item yang digunakan
untuk mengukur variabel. Item yang dapat dikatakan konsisten secara internal bila item
memiliki korelasi dengan skor total 0,196.78 Sebaliknya jika bernilai lebih kecil,
maka suatu pernyataan dianggap tidak valid. Berikut adalah uji validitas pada variabel
program pengentasan kemiskinan (BLT & P2KP) dan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat. Berikut adalah hasil pengujian validitas pada variabel bebas :
Tabel 4.1Uji Validitas Pada Variabel Program Pengentasan Kemiskinan (BLT & P2KP) dan
Kesejahteraan Sosial Ekonomi Variabel Item Koefisien
Korelasi
r standar Keterangan
Program Pengentasan Kemiskinan
(BLT & P2KP)
X1.1 0.0103
0,196
tidak valid X1.2 0.2497 Valid X1.3 -0.1493 tidak valid X1.4 0.2920 Valid X1.5 0.3366 Valid X1.6 0.1273 tidak valid X1.7 0.6526 ValidX1.8 0.5277 ValidX1.9 -0.2542 tidak validX2.10 0.6164 ValidX2.11 0.5767 ValidX2.12 0.8538 ValidX2.13 0.7570 ValidX2.14 0.3987 ValidX2.15 0.5922 ValidX2.16 0.4509 ValidX2.17 0.4011 ValidX2.18 0.3028 Valid
Kesejahteraan Sosial
Ekonomi
Y1.1 0.2388 Valid Y1.2 0.3798 Valid Y1.3 0.2351 Valid Y2.4 0.7445 Valid Y2.5 0.5072 ValidY2.6 0.7142 ValidY3.7 0.6817 ValidY3.8 0.2600 ValidY3.9 0.4220 Valid
78 Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis (Bandung: ALFABETA, 1999)
66
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa sebagian besar item pada variabel X
dinyatakan valid karena mempunyai nilai corrected item to total correlation lebih besar
dari 0,196. Hanya ada empat item pada variabel X1 yang dinyatakan tidak valid.
Sedangkan seluruh item pada variabel Y mempunyai nilai corrected item to total
correlation lebih besar dari 0,196 sehingga dinyatakan valid. Dengan demikian pada
dasarnya, indikator dari variabel program pengentasan kemiskinan dan kesejahteraan
sosial ekonomi sudah teruji validitasnya sehingga dapat digunakan untuk penelitian
selanjutnya.
Uji selanjutnya dilakukan untuk mengetahui sejauh mana hasil pengukuran
dapat dilakukan kemantapan dan ketepatannya, yaitu dengan uji reliabilitas. Cara untuk
menghitung reliabilitas pengukuran adalah dengan menghitung koefisien realibilitas
Cronbach’s Alpha. Apabila alpha hitung diatas 0,6 menurut Malhotra (1996 : 84) maka
dapat disimpulkan bahwa perangkat pernyataan yang digunakan untuk mengukur
masing-masing variabel dapat diandalkan (reliable).
Tabel 4.2
Uji Reliabilitas Variabel Penelitian
Variabel Alpha () Kategori
Program Pengentasan Kemiskinan
(BLT & P2KP)
0.8076 Reliabel
Kesejahteraan Sosial Ekonomi 0.7705 Reliabel
Tabel 4.2 menunjukkan nilai alpha cronbach seluruh variabel mempunyai nilai
lebih besar dari 0,6. Dengan demikian kuesioner untuk seluruh variabel mempunyai
konsistensi atau kestabilan yang baik. Dengan kata lain sudah teruji reliabilitasnya.
67
B. Deskripsi Variabel dan Analisis Hasil Penelitian
Penelitian ini terbagi dalam 2 aspek atau variabel. Pertama adalah variabel
program pengentasan kemiskinan (X) yang meliputi program BLT (X1) dan PNPM-
P2KP (X2). Kedua, variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang diukur berdasarkan
3 indikator dalam Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yaitu standar hidup layak,
pendidikan, dan kesehatan. Indikator program pengentasan kemiskinan terdiri dari 18
item pertanyaan sedangkan pada indikator kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
terdiri dari 9 item pertanyaan. Jawaban responden didasarkan pada skala likert yang
dibagi menjadi lima kategori jawaban, yaitu sangat baik (5), baik (4), kurang baik (3),
tidak baik (2), dan sangat tidak baik (1).
Selanjutnya, indikator pada masing-masing variabel dikorelasikan dengan
tabulasi silang yang dianalisis menggunakan program SPSS. Tabulasi silang ini
dipergunakan untuk menganalisa pengaruh program pengentasan kemiskinan
pemerintah terhadap peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat Kota
Surabaya. Untuk menguji hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan uji analisis regresi linier. Tahapan analisisnya dimulai dari uji analisis
yang dilakukan secara parsial, yakni dengan meregresikan secara parsial masing-
masing variabel, yaitu BLT (X1) dan P2KP (X2) dengan ketiga indikator pada variabel
kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat (Y) yang meliputi, standar hidup layak,
pendidikan, dan kesehatan. Analisis regresi tersebut juga dilakukan dalam uji F
(ANNOVA) secara simultan untuk menunjukkan seberapa kuat tingkat korelasi
(pengaruh) variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y. Hal ini ditunjukkan dengan angka
korelasi (koefisien korelasi) yang diperoleh dari hasil uji analisis serta hasil
perbandingan F hitung dan tingkat signifikansinya dengan angka probabilitas.
68
Di samping juga dilakukan analisis dengan uji t (t-test) untuk menguji
signifikansi konstanta dan variabel independen (kesejahteraan sosial ekonomi) dengan
membandingkan t hitung dengan t tabel. Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima (H1
ditolak) dan jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak (H1 diterima).79 Berikut adalah
uraian deskriptif variabel hasil penelitian yang disertai dengan analisisnya :
B.1. Bantuan Langsung Tunai dan Standar Hidup Layak
Pada bahasan ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT (X1)
dikorelasikan (diregresikan) dengan indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi
yang pertama, yaitu standar hidup layak untuk melihat hubungan antar variabel dan
seberapa kuat pengaruh BLT terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
Berikut tabel hasil analisisnya :
Tabel B.1a Variables Entered/Removedb
ModelVariables Entered
Variables Removed Method
1 BLTa . Enter
a. All requested variables entered.b. Dependent Variable: Standar Hidup Layak
Tabel B.1b Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .063a .004 .003 .639
a. Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Tabel pertama (B.1a & 1b) menunjukkan variabel yang dimasukkan adalah
BLT dan tidak ada variabel yang dikeluarkan (removed). Angka R sebesar 0,063
menunjukkan bahwa korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen)
dengan variabel standar hidup layak sebagai variabel dependen sangat lemah atau tidak
signifikan korelasinya. Dikatakan demikian karena angka tersebut sangat jauh dari
parameter angka 1 atau sudah mendekati 0 (nol). Selanjutnya, angka R square sebesar
79 Singgih Santoso, Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17 (Jakarta: Gramedia, 2009), hal. 328-331.
69
0,004 adalah pengkuadratan dari koefisien korelasi yang disebut juga koefisien
determinan, atau 0.063 x 0.063 = 0,004. Hal ini berarti hanya 0,4 % dari variasi standar
hidup layak yang bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya (100% - 0,4%
= 99,6%) disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini
menunjukkan bahwa variabel BLT memiliki kontribusi pengaruh yang sangat kecil atau
bahkan relatif tidak ada pengaruhnya (hanya sebesar 0,4 %) terhadap standar hidup
layak masyarakat Kota Surabaya. Karena seperti disebutkan sebesar 99,6 % (mendekati
100%) standar hidup layak justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT.
Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,639 menunjukkan tingkat ketepatan
dari model regresi di atas yang cukup akurat dalam memprediksi variabel dependen
(standar hidup layak) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.1c ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 1.610 1 1.610 3.947 .047(a) Residual 400.697 982 .408 Total 402.308 983
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Standar Hidup Layak
Tabel B.1d Coefficientsa
Model Unstandardized
CoefficientsStandardized Coefficients t Significance
B Std. Error Beta 1 (Constant) 3.209 .104 30.929 .000 BLT .055 .027 .063 1.987 .047
a Dependent Variable: Standar Hidup Layak
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 3,947
sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,047. Karena probabilitas (0,047)
mendekati 0,05 yang berarti parameter koefisien regresi parsial hampir sama dengan
0,05. Dengan demikian, model regresi kecil kemungkinan bisa dipakai untuk
memprediksi variabel dependen (standar hidup layak). Atau dengan kata lain, Bantuan
70
Langsung Tunai (BLT) memiliki pengaruh yang sangat kecil (tdak signifikan) terhadap
standar hidup layak.
Selanjutnya dilakukan uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan variabel
independen (BLT). Dari persamaan regresi yang diperoleh selanjutnya akan diuji
apakah memang valid untuk memprediksi variabel dependen. Dengan kata lain, akan
dilakukan pengujian apakah program BLT benar-benar bisa memprediksi atau
berpengaruh signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
Hipotesis untuk kasus ini adalah:
H0 = koefisien regresi tidak signifikan
H1 = koefisien regresi signifikan
Pengambilan keputusan didasarkan pada dua cara :
a. Dengan membandingkan statistik t hitung dengan statistik t tabel. Jika t hitung < t
tabel, maka H0 diterima. Jika t hitung > t tabel, maka H0 ditolak. Dari tabel output
di atas terlihat bahwa t hitung 1,987. Sedangkan t tabel dengan tingkat signifikansi
(£) = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat kebebasan) = 25 diperoleh
angka 2,0595. Karena t hitung < t tabel (atau 1,987 < 2,0595) maka H0 diterima
meskipun t hitung untuk konstanta jauh lebih besar (30,929) dari t tabel sehingga
persamaan regresi kecil kemungkinan bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien
regresi tidak signifikan atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) tidak berpengaruh
signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
b. Berdasarkan probabilitas
Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari
0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.
71
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas
terlihat bahwa pada kolom significance adalah 0,047 atau BLT jauh lebih besar di
atas 0,025. Maka H0 diterima atau BLT tidak berpengaruh (berdampak) secara
signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
B.2 Bantuan Langsung Tunai dan Pendidikan
Indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang kedua adalah
pendidikan. Karena itu pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT
(X1) diregresikan dengan pendidikan untuk melihat hubungan antar variabel dan
seberapa kuat pengaruh program BLT terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.2a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .199(a) .040 .039 .593
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,199 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel
pendidikan sebagai variabel dependen yang lemah karena relatif mendekati angka 0
(nol). Hal ini diperkuat angka R square sebesar 0,40 sebagai koefisien determinan yang
berarti hanya 4% dari variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel BLT.
Sedangkan sisanya 96% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel BLT memiliki kontribusi pengaruh yang
kecil (hanya sebesar 4 %) terhadap kondisi pendidikan masyarakat Kota Surabaya
karena seperti disebutkan sebesar 96 % dari variabel pendidikan justru disebabkan oleh
variabel lain selain BLT.
72
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,593 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (pendidikan) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.2b ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 14.240 1 14.240 40.446 .000(a) Residual 345.744 982 .352 Total 359.984 983
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat
Tabel B.2c Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients t
Significance
B Std. Error Beta1 (Constant) 3.062 .096 31.762 .000
BLT .162 .025 .199 6.360 .000
a Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 40,446
sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000)
jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi
pendidikan. Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh
terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu berdasar uji t, dari tabel output di atas terlihat bahwa t hitung
6,360. Dan t tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi guna
mengetahui signifikan tidaknya koefisien regresi dengan df (derajat kebebasan) = 25
diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 6,360 > 2,0595) maka H1
diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 31,762 sehingga persamaan regresi
bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Bantuan Langsung
Tunai (BLT) berpengaruh signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
Uji analisis juga dilakukan berdasarkan probabilitas dengan hipotesis:
73
Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari
0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau BLT jauh di bawah 0,025, maka
H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh
(berdampak) secara signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
B.3. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kesehatan
Indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y) yang ketiga adalah
kesehatan. Karena itu pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT
(X1) diregresikan dengan variabel kesehatan untuk melihat hubungan antar variabel
dan seberapa kuat pengaruh program BLT terhadap kesehatan masyarakat Kota
Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.3a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .092(a) .008 .007 .570
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,092 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel
kesehatan (variabel dependen) yang sangat lemah atau tidak signifikan karena
mendekati angka 0 (nol). Hal ini diperkuat angka R square (koefisien determinan)
sebesar 0,008 yang berarti hanya 0,8 % dari variabel kesehatan bisa dijelaskan oleh
variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar 99,2% disebabkan oleh variabel lain yang
tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel Bantuan
74
Langsung Tunai (BLT) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya
sebesar 0,8 %) terhadap kondisi kesehatan masyarakat Kota Surabaya karena seperti
disebutkan sebesar 99,2 % dari variabel kesehatan justru disebabkan oleh variabel lain
selain BLT.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,570 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (kesehatan) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.3b ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 2.710 1 2.710 8.344 .004(a) Residual 318.988 982 .325 Total 321.698 983
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)b Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat
Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients T
Significance
B Std. Error Beta1 (Constant) 3.430 .093 37.046 .000
BLT .071 .024 .092 2.889 .004
a Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 8,344
sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,004. Karena probabilitas (0,004)
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesehatan.
Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap
kesehatan masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 2,889.
Sedangkan t tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan
75
df (derajat kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau
2,889 > 2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 31,762
sehingga persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi
signifikan atau Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap kesehatan
masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak. Nilai probabilitas 0,025 diperoleh dari
0,05/2 yang dilakukan uji untuk dua sisi.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,004 atau BLT di bawah 0,025, maka H0
ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh
(berdampak) terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.
B.4. Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi
Pada bagian ini, variabel Bantuan Langsung Tunai atau BLT (X1)
diregresikan langsung secara menyeluruh dengan variabel Y, yaitu kesejahteraan sosial
ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program
BLT terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.4a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .135(a) .018 .018 .614
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)...
Tabel output menyatakan bahwa angka R sebesar 0,135 menunjukkan adanya
korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel
76
kesejahteraan sosial ekonomi (variabel dependen) yang cukup lemah karena relatif jauh
dari angka 1 (satu). Hal ini diperkuat angka R square (koefisien determinan) sebesar
0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi bisa
dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa
variabel Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak
signifikan (hanya sebesar 1,8 %) terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
Kota Surabaya karena seperti disebutkan sebesar 98,2 % dari variabel kesejahteraan
sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.4c ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 20.553 1 20.553 54.602 .000(a) Residual 1110.025 2949 .376 Total 1130.577 2950
a Predictors: (constant) Bantuan Langsung Tunai (BLT)...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel B.4c Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.221 .051 63.111 .000
Bantuan Langsung Tunai (BLT)
.103 .014 .135 7.389 .000
a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 54,602
sedangkan F tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena probabilitas (0,000)
77
jauh lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi
kesejahteraan sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Bantuan Langsung Tunai (BLT)
berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya.
Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 7,389. Dan t
tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 7,389 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 63,111 sehingga
persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau
Bantuan Langsung Tunai (BLT) berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau BLT jauh di bawah 0,025, maka
H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau BLT berpengaruh
(berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya.
B.5. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Standar
Hidup Layak
Jika dalam uraian sebelumnya variabel BLT (X1) diregresikan dengan
masing-masing indikator dalam variabel Y demikian juga variabel BLT (X1) dengan
variabel kesejateraan sosial ekonomi (Y). Maka, pada bagian ini, variabel X2, yaitu
78
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) diregresikan pula dengan
setiap indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi (Y), diantaranya yang pertama
adalah standar hidup layak untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat
pengaruh P2KP terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel
output analisisnya :
B.5b Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .079(a) .006 .005 .638
a Predictors: (constant) Program Penggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP)
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,079 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel P2KP (variabel independen) dengan variabel
standar hidup layak (variabel dependen) yang sangat lemah atau tidak signifikan karena
mendekati angka 0 (nol). Hal ini diperkuat angka R square sebesar 0,006 yang berarti
hanya 0,6 % dari variabel standar hidup layak bisa dijelaskan dengan variabel P2KP.
Sedangkan sisanya sebesar 99,4% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar
0,6 %) terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 99,4 %
dari variabel standar hidup layak justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,638 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (standar hidup layak) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.5c ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 2.511 1 2.511 6.168 .013(a) Residual 399.797 982 .407 Total 402.308 983
79
a Predictors: (constant) Program Penggulangan Kemiskinan di Perkotaan ( P2KP)b Dependent Variable: Standar Hidup Layak
Tabel B.5d Coefficients(a)
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T
Significance B Std. Error Beta
1 (Constant) 3.219 .080 40.171 .000 P2KP .057 .023 .079 2.484 .013
a Dependent Variable: Standar Hidup Layak
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 6,168 dan F
tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,013. Karena nilai probabilitas (0,013) lebih
kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi standar hidup
layak. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
(P2KP) memiliki pengaruh terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 2,484. Dan t
tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 2,484 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.
Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) berpengaruh terhadap standar hidup layak masyarakat
Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,013 atau P2KP masih di bawah 0,025, maka
H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau Program
80
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) berpengaruh (berdampak)
terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
B.6 Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Pendidikan
Pada bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
yang disingkat P2KP (X2) diregresikan dengan variabel pendidikan untuk melihat
hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program P2KP terhadap
pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.6b Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .150(a) .023 .022 .599
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,150 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel
kesehatan (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 atau
mendekati angka 0 (nol). Angka R square sebesar 0,023 yang berarti hanya 2,3 % dari
variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel P2KP. Sedangkan sisanya sebesar
97,7% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini
menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar 2,3 %) terhadap
pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 97,7 % dari variabel pendidikan
justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,599 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (pendidikan) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.6b ANOVAb
81
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 8.139 1 8.139 22.716 .000(a) Residual 351.845 982 .358 Total 359.984 983
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)b Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat
Tabel B.6d Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t
Significance B Std. Error Beta
1 (Constant) 3.316 .075 44.110 .000 P2KP .102 .021 .150 4.766 .000
a Dependent Variable: Kondisi Pendidikan Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 22,716 dan F
tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi pendidikan.
Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan dari tabel koefisien di atas diperoleh t hitung sebesar 4,766. Dan t
tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 4,766 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 44,110 sehingga
persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau
program P2KP berpengaruh terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian dalam tabel output koefisien di atas terlihat bahwa pada
kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025 sehingga H0 ditolak.
82
Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh (berdampak)
signifikan terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya.
B.7. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Kesehatan
Dalam bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan yang disingkat P2KP (X2) diregresikan dengan variabel kesehatan untuk
melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program P2KP terhadap
kesehatan masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.7a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .177(a) .031 .030 .563
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,177 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel BLT (variabel independen) dengan variabel
kesehatan (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 atau
mendekati angka 0 (nol). Angka R square (koefisien determinan) sebesar 0,031 yang
berarti hanya 3,1 % dari variabel kesehatan bisa dijelaskan oleh variabel P2KP.
Sedangkan sisanya sebesar 96,9% disebabkan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan
dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) memiliki kontribusi pengaruh yang lemah (hanya sebesar 3,1 %)
terhadap pendidikan masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 96,9 % dari variabel
kesehatan justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,563 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (kesehatan) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.7b ANOVAb
83
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 10.033 1 10.033 31.612 .000(a) Residual 311.665 982 .317 Total 321.698 983
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)b Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat
Tabel B.7d Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t
Significance B Std. Error Beta
1 (Constant) 3.307 .071 46.744 .000 P2KP .114 .020 .177 5.622 .000
a Dependent Variable: Kondisi Kesehatan Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 31,612 dan F
tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesehatan.
Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan tabel koefisien di atas menunjukkan t hitung sebesar 5,622. Dan t
tabel dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 5,622 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.
Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau program P2KP berpengaruh
terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
a. Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
b. Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian dalam tabel output koefisien di atas terlihat bahwa pada
kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025 sehingga H0 ditolak.
84
Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh (berdampak)
signifikan terhadap kesehatan masyarakat Kota Surabaya.
B.8. Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan
Kesejahteraan Sosial Ekonomi
Pada bagian ini, variabel Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan
atau P2KP (X2) diregresikan langsung secara menyeluruh dengan variabel Y, yaitu
kesejahteraan sosial ekonomi untuk melihat hubungan antar variabel dan seberapa kuat
pengaruh program P2KP terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya. Berikut tabel output analisisnya :
Tabel B.8a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .124(a) .015 .015 .614
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)...
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,124 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel P2KP (variabel independen) dengan variabel
kesejahteraan sosial ekonomi (variabel dependen) yang cukup lemah karena jauh dari
angka 1 (satu). Angka R square (koefisien determinan) sebesar 0,015 yang berarti
hanya 1,5 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi bisa dijelaskan oleh variabel
P2KP. Sedangkan sisanya sebesar 98,5% disebabkan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel P2KP memiliki
kontribusi pengaruh yang tidak signifikan (hanya sebesar 1,5 %) terhadap kesejahteraan
sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Karena sebesar 98,5 % dari variabel
kesejahteraan sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain selain P2KP.
85
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.8b ANOVAb
Model Sum of
Squares df Mean Square F Significance1 Regression 17.406 1 17.406 46.110 .000(a) Residual 1113.172 2949 .377 Total 1130.577 2950
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel B.8c Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
T SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.280 .047 70.149 .000
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
.092 .014 .124 6.790 .000
a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 46,110 dan F
tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesejahteraan
sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan di
Perkotaan (P2KP) berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan tabel koefisien menunjukkan t hitung sebesar 6,790. Dan t tabel
dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 6,790 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak dengan konstanta sebesar 70,149 sehingga
86
persamaan regresi bisa digunakan. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau
P2KP berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau P2KP jauh di bawah 0,025, maka
H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau P2KP berpengaruh
(berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya.
B.9. Program Penanggulangan Kemiskinan dan Kesejahteraan Sosial Ekonomi
Pada bagian akhir dalam analisis ini, variabel Program Penanggulangan
Kemiskinan di Perkotaan (X) langsung diregresikan secara simultan (baik BLT maupun
P2KP) dengan variabel Y, yaitu kesejahteraan sosial ekonomi untuk melihat hubungan
antar variabel dan seberapa kuat pengaruh program penanggulangan kemiskinan
terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Berikut
tabel output analisisnya :
B.9a Model Summary
Model R R SquareAdjusted R
SquareStd. Error of the Estimate
1 .135(a) .018 .018 .614
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan...
Tabel output di atas menyatakan bahwa angka R sebesar 0,135 menunjukkan
adanya korelasi/hubungan antara variabel program penanggulangan kemiskinan
(variabel independen) dengan variabel kesejahteraan sosial ekonomi (variabel
dependen) yang cukup lemah karena jauh dari angka 1 (satu). Angka R square
87
(koefisien determinan) sebesar 0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel
kesejahteraan sosial ekonomi bisa dijelaskan oleh variabel program penanggulangan
kemiskinan. Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh variabel lain yang tidak
dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa variabel program
penanggulangan kemiskinan memiliki kontribusi pengaruh yang tidak signifikan
(hanya sebesar 1,8 %) terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya. Karena sebesar 98,2 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi justru
disebabkan oleh variabel lain selain program penanggulangan kemiskinan.
Namun, Standar Errof of Estimate (SEE) sebesar 0,614 menunjukkan tingkat
ketepatan dari model regresi di atas cukup akurat dalam memprediksi variabel
dependen (kesejahteraan sosial ekonomi) karena angka SEE yang kecil.
Tabel B.9b ANOVAb
Model Sum of
Squares Df Mean Square F Significance1 Regression 20.553 1 20.553 54.602 .000(a) Residual 1110.025 2949 .376 Total 1130.577 2950
a Predictors: (constant) Program Penanggulangan Kemiskinan...b Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel B.9c Coefficientsa
Model
Unstandardized Coefficients
Standardized Coefficients
t SignificanceB Std. Error Beta1 (Constant) 3.221 .051 63.111 .000
Program Penanggulangan Kemiskinan
.103 .014 .135 7.389 .000
a Dependent Variable: Kesejahteraan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Tabel Anova atau F test di atas menunjukkan F hitung adalah 54,602 dan F
tabel = 4,24 dengan tingkat signifikansi 0,000. Karena nilai probabilitas (0,000) jauh
lebih kecil dari 0,05, maka model regresi bisa dipakai untuk memprediksi kesejahteraan
sosial ekonomi. Atau dengan kata lain, Program Penanggulangan Kemiskinan (baik
88
BLT maupun P2KP) berpengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya.
Sedangkan tabel koefisien menunjukkan t hitung sebesar 7,389. Dan t tabel
dengan tingkat signifikansi () = 5% (0,05) untuk uji dua sisi dengan df (derajat
kebebasan) = 25 diperoleh angka 2,0595. Karena t hitung > t tabel (atau 7,389 >
2,0595) maka H1 diterima atau H0 ditolak sehingga persamaan regresi bisa digunakan.
Dengan kata lain, koefisien regresi signifikan atau program penanggulangan
kemiskinan berpengaruh terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya.
Di samping itu dilakukan uji berdasarkan nilai probabilitas dengan hipotesis:
Jika probabilitas > 0,025, maka H0 diterima.
Jika probabilitas < 0,025, maka H0 ditolak.
Dengan demikian seperti terlihat dalam tabel output koefisien di atas terlihat
bahwa pada kolom significance adalah 0,000 atau program penanggulangan
kemiskinan jauh di bawah 0,025, maka H0 ditolak. Dengan kata lain, koefisien
regresi signifikan atau program penanggulangan kemiskinan (baik BLT maupun
P2KP) berpengaruh (berdampak) signifikan terhadap kesejahteraan sosial ekonomi
masyarakat Kota Surabaya.
89
BAB V
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa dampak
program penanggulangan kemiskinan terhadap peningkatan kesejahteraan sosial
ekonomi masyarakat Kota Surabaya dapat dijelaskan berdasarkan beberapa variabel,
yaitu: pertama, program penanggulangan kemiskinan sebagai variabel independen atau
bebas (X) yang terdiri dari dua variabel, diantaranya program Bantuan Langsung Tunai
(BLT) sebagai X1 dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP)
sebagai X2. Variabel kedua adalah kesejahteraan sosial ekonomi sebagai variabel
dependen (Y) yang diukur berdasarkan 3 indikator dalam Indeks Pembangunan
Manusia (IPM), yaitu standar hidup layak, pendidikan, dan kesehatan. Analisis yang
90
digunakan untuk mengkorelasikan masing-masing variabel tersebut adalah analisis
regresi melalui beberapa tahap dengan program SPSS.
Tahap awal dimulai dari uji analisis yang dilakukan secara parsial, yakni
dengan mengkorelasikan pada masing-masing variabel, yaitu BLT (X1) dan P2KP (X2)
dengan ketiga indikator pada variabel kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat (Y)
yang meliputi, standar hidup layak, pendidikan, dan kesehatan. Selanjutnya, analisis
regresi dilakukan dalam uji F (ANNOVA) untuk menunjukkan seberapa kuat tingkat
korelasi antara variabel X1 dan X2 terhadap variabel Y. Disamping uji F juga
dilakukan uji analisis dengan uji t (t-test) untuk menguji signifikansi konstanta dan
variabel independen (kesejahteraan sosial ekonomi) dengan membandingkan t hitung
dengan t tabel. Jika t hitung < t tabel, maka H0 diterima (H1 ditolak) dan jika t hitung >
t tabel, maka H0 ditolak (H1) diterima. Tahap berikutnya baru dilakukan uji analisis
secara menyeluruh mengenai dampak variabel X, yaitu program penanggulangan
kemiskinan baik BLT (X1) maupun P2KP (X2) terhadap peningkatan kesejehteraan
sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya (Y).
Secara umum dapat dikatakan bahwa program penganggulangan kemiskinan
baik program BLT dan P2KP memiliki dampak (pengaruh) yang signifikan terhadap
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai probabilitas (0,000) dari uji F yang jauh lebih kecil dari 0,05
dan nilai uji t hitung yang lebih besar dari t tabel, yaitu 7,389 > 2,0595 yang berarti
nilai koefisien regresi signifikan atau H1 diterima. Namun, dampak yang signifikan
tersebut masih perlu dipertanyakan seberapa besar kontribusi korelasinya mengingat
koefisien determinan (R square) sebesar 0,018 yang berarti hanya 1,8 % dari variabel
kesejahteraan sosial ekonomi (Y) bisa dijelaskan oleh variabel program
91
penanggulangan kemiskinan (X). Sedangkan sisanya sebesar 98,2% disebabkan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model. Hal ini menunjukkan bahwa
meskipun variabel program penanggulangan kemiskinan berpengaruh (berdampak)
terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya namun nilai
kontribusi pengaruhnya sebenarnya tidak signifikan (karena hanya sebesar 1,8 %)
terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. sedangkan sebesar
98,2 % dari variabel kesejahteraan sosial ekonomi justru disebabkan oleh variabel lain
selain program penanggulangan kemiskinan.
Di sisi lain, jika dilakukan analisis secara parsial pada masing-masing
variabel, maka hasil uji analisis regresinya relatif bervariasi. Misalnya, dalam kasus
dampak program Bantuan Langsung Tunai (BLT) terhadap standar hidup layak
masyarakat menunjukkan korelasi yang sangat tidak signifikan. Hal ini bisa dijelaskan
dari beberapa uji analisis, diantaranya: nilai R square (koefisien determinan) yang
hanya sebesar 0,4 % yang berarti sebesar 99,6% atau hampir 100% standar hidup layak
justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT. Demikian pula pada uji F (Annova)
dan uji t dimana nilai probabilitas dari koefisien regresinya sebesar 0,047 mendekati
0,05 yang berarti model regresi kecil kemungkinan bisa dipakai untuk memprediksi
variabel dependen (standar hidup layak). Sedangkan hasil uji t menunjukkan bahwa t
hitung < t tabel (atau 1,987 < 2,0595) sehingga H0 diterima atau koefisien regresi tidak
signifikan yang berarti Bantuan Langsung Tunai (BLT) memiliki pengaruh yang tidak
signifikan terhadap standar hidup layak masyarakat Kota Surabaya.
Namun, dalam kasus mengenai dampak program BLT terhadap pendidikan
dan kesehatan masyarakat Kota Surabaya menunjukkan pengaruh yang relatif
signifikan. Meskipun tingkat signifikansinya berbeda dimana dampak program BLT
92
terhadap pendidikan lebih kuat jika dibandingkan dampak program BLT terhadap
kesehatan masyarakat Kota Surabaya. Hal ini bisa dilihat dari hasil uji F (Annova) dan
penghitungan uji t. Masalahnya adalah pada nilai kontribusi korelasi (koefisien
determinan) dari kedua variabel (BLT terhadap pendidikan dan BLT terhadap
kesehatan) yang dinilai cukup lemah. Pada variabel pendidikan, misalnya, hanya 4%
dari variabel pendidikan bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan sisanya sebesar
96% justru disebabkan oleh variabel lain selain BLT yang tidak dijelaskan dalam
model. Demikian pula pada variabel kesehatan dimana koefisien determinannya (R
square) hanya sebesar 0,8 % yang bisa dijelaskan oleh variabel BLT. Sedangkan
sisanya sebesar 99,2% disebabkan oleh variabel lain selain BLT.
Sementara itu, dalam kasus mengenai dampak P2KP (X2) terhadap setiap
indikator variabel kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat serta variabel kesejahteraan
sosial ekonomi itu sendiri secara umum dapat dikatakan relatif sama, yaitu bahwa
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) memiliki dampak yang
relatif signifikan terhadap standar hidup layak, pendidikan, kesehatan, maupun
terhadap kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya secara umum.
Meskipun jika dilihat koefisien determinannya (R square), dampak program P2KP
tersebut tidak signifikan karena rata-rata sebesar 96 % hingga 99 % ke atas baik dari
variabel standar hidup layak (99,4 %), pendidikan (97,7%), kesehatan (96,9%), maupun
jika ketiga variabel tersebut diregresikan secara simultan (dalam satu variabel
kesejehtaraan sosial ekonomi) sebesar 98,5% justru disebabkan oleh variabel lain selain
program P2KP.
B. Saran
93
Berdasarkan hasil analisis penelitian sebelumnya, beberapa saran peneliti
yang dapat dikemukakan di sini adalah:
Pertama, meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa program penanggulangan
kemiskinan baik berupa program Bantuan Langsung Tunai (BLT) maupun program
PNPM-P2KP oleh pemerintah terbukti memiliki dampak yang relatif signifikan
terhadap peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya namun
efektifitas dan kualitas dampak tersebut program-program tersebut masih perlu dikritisi
kembali mengingat hasil penelitian juga menunjukkan bahwa sebagian besar
meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat justru banyak disebabkan oleh
faktor yang lain selain kedua program tersebut. Sehingga menurut pengamatan peneliti
yang diperoleh dari wawancara kualitatif (indepth-interview) terhadap beberapa
informan kunci, bahwa terdapat sesuatu yang kurang terkelola dengan baik dalam
proses dan pasca (keberlanjutan) pelaksanaan kedua program dalam kaitannya terhadap
peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya. Dalam konteks
ini, perlu evaluasi yang serius terhadap bagaimana proses dan sejauh mana efektifitas
program-program penanganggulangan kemiskinan tersebut terhadap peningkatan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Dengan demikian para stakeholder dapat
mengontrol dan memanaje program-program dengan baik sesuai dengan target yang
diharapkan bersama.
Kedua, perlu ada riset lanjutan yang lebih mendalam dan partisipatoris guna menelusuri
dan memetakan masalah-masalah dalam pelaksanaan program-program
penanggulangan kemiskinan di lapangan. Riset mendalam yang bercorak kualitatif
tersebut juga penting dalam rangka menjelaskan temuan-temuan yang belum terungkap
dalam penelitian ini terutama dalam menjelaskan variabel-variabel lain yang justru
94
memiliki nilai kontribusi pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejehtaraan
sosial ekonomi masyarakat Kota Surabaya selain program BLT dan PNPM-P2KP.
Sehingga dari sini akan teridentifikasi program-program seperti apa sebenarnya yang
jauh lebih efektif dalam meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat Kota
Surabaya. Di sisi lain, penelitian semacam ini juga penting sebagai bahan evaluasi
program serta menentukan rancangan keberlanjutan progam-program penganggulangan
kemiskinan yang relevan dengan masalah utama dan kebutuhan masyarakat miskin
perkotaan terutama di Kota Surabaya yang sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Algifari, Analisis Regresi (Yogyakarta: BPFE, 2000)
Evers, Hans-Dieter, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: LP3ES, 1982).
Gilbert, Alan & Gugler, Joseph (terj. Anshori Juanda), Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia Ketiga (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996).
Malhotra, Naresh K., Riset Pemasaran: Pendekatan Terapan Edisi Keempat Jilid 1 (Jakarta: PT. INDEKS Kelompok Gramedia, 2005).
Masykuri, Siti Umajah, “Perbaikan Kampung Komprehensif dan Dampaknya terhadap Kesejahteraan Sosial serta Kemandirian Masyarakat Miskin Kampung Kumuh di Kota Surabaya”, Desertasi (Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya, 2007).
Nasikun,”Isu dan Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan”, Diktat Mata Kuliah, Magister Administrasi Publik. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 2001.
95
Neuman, W. Lawrence, Social Research Methods, Fourth Edition (Boston: Allyn and Bacon, 2000).
Riduwan, Skala Pengukuran Instrumen Penelitian (Jakarta: Rineka Cipta, 2005).
Salim, E. Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan (Jakarta: Idayu, 1980).
Santoso, Singgih, Panduan Lengkap Menguasai Statistik dengan SPSS 17 (Jakarta: Kompas Gramedia, 2009).
Savilla, Coensello G., et. Al., Pengantar Penelitian Kuantitatif (Jakarta: UI Press,
1993).
Singarimbun, Masri & Effendi, Sofyan (ed.), Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989).
Silas, Johan, Kampung Surabaya Menuju Metropolitan (Gramedia: Jakarta, 1996).
Sudarno Sumarto, Asep Suryahadi and Wenefrida Widyanti,”Assessing the Impact of Indonesian Social Safety Net Programmes on Household Welfare and Poverty Dynamics”, dalam The European Journal of Development Research, Vol.17, No.1, March 2005.
Suharto, Edi, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat (Bandung: Reflika Aditama, 2005).
Suparlan, Parsudi (peny.), Kemiskinan di Perkotaan (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993),
Sumodiningrat, Gunawan, Pemberdayaan Sosial: Kajian Ringkas tentang Pembangunan Manusia Indonesia (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007).
Suyanto, Bagong, “Perangkap Kemiskinan dan Model Pemberdayaan Masyarakat Miskin”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008.
Tim Redaksi,“Laporan Studi Lapangan: Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan dalam Pandangan Masyarakat”, Jurnal “DIALOG” Kebijakan Publik, Edisi III/November/Tahun II/2008.
Surabaya dalam Angka Th. 2008.
Indeks Pembangunan Manusia 2005-2006 Badan Pusat Statistik—Jakarta, 2007.
Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri tahun 2007.
96
Rujukan Internet, Makalah, dan Artikel
Jawa Pos kolom Ruang Publik, edisi kamis 15 mei 2008.
http://www.depsos.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=464.
http://ejournal.unud.ac.id;
Suharyanto dalam script/naskah makalah (tidak diterbitkan) berjudul “Teori Pembangunan masyarakat”, 15 April 2006.
Chriswardani Suryawati dalam artikel berjudul ”Memahami Kemiskinan secara Multidimensional”, dalam http://www.jmpk-online.net/files/chriswaardanimknew.pdf .
Edi Suharto, “Paradigma Ilmu Kesejahteraan Sosial”, Makalah disampaikan pada Seminar Paradigma Kesejahteraan Sosial, Jurusan Pengembangan Masyarakat Islam, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta 5-6 September 2007.
97
98