2.1 pemilihan umum (pemilu) -...
TRANSCRIPT
9
9
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini berisi tentang konsep teori yang menjadi referensi atau alat bantu dalam
pemecahan masalah, antara lain berisi teori pemilihan umum, konsep
e-Government, pengertian e-voting, teori UTAUT, teori HOT dan two factor
authentication (2FA).
2.1 Pemilihan Umum (Pemilu)
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan salah satu media demokrasi yang
digunakan untuk mewujudkan partisipasi rakyat. Pemilu dianggap penting dalam
proses dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pemilihan umum sudah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari suatu negara demokrasi, jika kita melihat
hampir seluruh negara demokrasi melaksanakan pemilihan umum.
Dalam negara hukum yang demokratis, kegiatan memilih orang atau
sekelompok orang menjadi pemimpin idealnya dilakukan melalui pemilu dengan
berasaskan prinsip pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil
(LUBERDIL). Namun meskipun prinsip tersebut terus dijadikan pedoman dan asas
demokrasi, namun bukan berarti pemilu tidak bebas dari perselisihan-perselisihan
lainnya.
Indonesia menjadikan pemilu sebagai bagian yang sangat penting dalam
kegiatan bernegara, peraturan tertinggi mengenai pemilu diatur dalam Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945 hasil amandemen. Pemilu secara tegas diatur pada UUD
9
10
10
1945 perubahan III, Bab VIIB tentang Pemilihan Umum, pasal 22E. Berikut ini
adalah isi pasal tersebut.
1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil setiap lima tahun sekali.
2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah.
3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah
adalah perseorangan.
5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-
undang.
Pada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dinyatakan pemilihan umum secara langsung oleh rakyat
merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan
negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Pelaksanaan Pemilu diselenggarakan dalam beberapa tahapan sebagai berikut.
1. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih.
11
11
2. Pendaftaran peserta Pemilu.
3. Penetapan peserta Pemilu.
4. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan.
5. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota.
6. Masa kampanye.
7. Masa tenang.
8. Pemungutan dan penghitungan suara.
9. Penetapan hasil Pemilu.
10. Pengucapan sumpah / janji anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan seluruh proses pemilihan umum (Pemilu) di Indonesia
melibatkan beberapa pihak yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Gambar 1 menunjukkan pihak-pihak yang terkait dengan pelaksanaan pemilihan
umum sesuai dengan Undang-Undang No 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum.
Berikut ini adalah penjelasan setiap bagian Pihak yang terkait Pemilu.
1. Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan lembaga penyelenggara Pemilu
yang sifatnya nasional, tetap, dan mandiri.
2. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota merupakan penyelenggara Pemilu
ditingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
12
12
3. Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) merupakan panitia yang dibentuk oleh
KPU Kabupaten/Kota, bertugas untuk menyelenggarakan Pemilu pada tingkat
Kecamatan.
4. Panitia Pemungutan Suara (PPS) merupakan panitia yang dibentuk oleh KPU
Kabupaten/Kota, bertugas untuk menyelenggarakan Pemilu di tingkat Desa/
Kelurahan.
5. Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) merupakan panitia yang dibentuk oleh
KPU untuk menyelenggarakan seluruh proses Pemilu di luar negeri.
6. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) adalah kelompok yang
dibentuk oleh PPS untuk menyelenggarakan pemungutan suara di tempat
pemungutan suara.
7. Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN)
merupakan kelompok yang dibentuk oleh PPLN untuk menyelenggarakan
pemungutan suara di tempat pemungutan suara di luar negeri.
8. Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) merupakan badan yang bertugas
mengawasi penyelenggaraan Pemilu di seluruh Indonesia.
9. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota
merupakan panitia yang dibentuk oleh Banwaslu dan bertugas untuk
mengawasi penyelenggaran Pemilu di tingkat Provinsi dan Kabupaten/ Kota.
10. Panwaslu Kecamatan merupakan panitia yang dibentuk oleh Panwaslu
Kabupaten/Kota untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di tingkat
Kecamatan.
13
13
11. Pengawas Pemilu Lapangan merupakan petugas yang dibentuk oleh Panwaslu
Kecamatan, bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan Pemilu di Desa/
Kelurahan.
12. Pemilih adalah warga negara Indonesia yang telah berusia sekurang-
kurangnya 17 tahun atau telah/ sudah pernah menikah dan tidak sedang
dicabut hak pilihnya.
13. Peserta Pemilu difungsikan dalam beberapa waktu, diantaranya.
a. Pada pemilihan anggota DPR, DPRD tingkat 1, dan DPRD tingkat 2
peserta Pemilu adalah partai politik.
b. Pada Pemilu anggota DPD, peserta Pemilu adalah perorangan.
c. Pada pemilihan presiden / wakil presiden, peserta Pemilu adalah wakil
partai politik.
d. Sedangkan pada pemilihan kepala daerah / wakil kepala daerah,
peserta Pemilu adalah wakil partai politik atau perorangan.
14
14
GAMBAR 1. Pihak yang Terkait Langsung Pemilihan Umum
2.2 Tingkat Partisipasi Pemilu
KPU merilis daftar partisipasi masyakat berdasarkan Provinsi dalam Pemilu
Legislatif dalam Pemilihan Umum Presiden 2009. Data tersebut memperlihatkan peta
persebaran angka DPT (daftar pemilih tetap), angka golput, surat sah dan surat tidak
sah. Data detail dapat dilihat pada Tabel 1.
15
15
TABEL 1. Daftar Tingkat Partisipasi Masyarakat Dalam Pemilu Legislatif 2009
Data diatas menunjukan bahwa tingkat golput tertinggi berada di Provinsi DKI
Jakarta, tercatat dari daftar DPT sebanyak 8.502 juta pemilih yang menggunakan hak
suaranya hanya 4.327 juta pemilih, sedangkan sisa angka golput sebesar 4.175 juta
pemilih. Sedangkan Provinsi Banten berada diurutan kedua dalam hal golput dengan
angka golput sebesar 1.865 juta pemilih dari daftar DPT sebesar 6.581 juta pemilih.
16
16
2.3 E-Government
E-government adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK/ICT) guna pelaksanaan pemerintahan yang efisien dan murah, dengan
meningkatkan pelayanan masyarakat dengan cara menyediakan sarana publik
sehingga masyarakat mudah mendapatkan informasi, dan menciptakan pemerintahan
(Caldow, disertasi Indrajit, 2006).
Definisi lain dari referensi world bank:
E-government adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah
(seperti : Wide Area Network, Internet dan mobile computing) yang memungkinkan
pemerintah untuk mentransformasikan hubungan dengan masyarakat, dunia bisnis
dan pihak yang berkepentingan, dalam prakteknya, e-Government adalah penggunaan
internet untuk melaksanakan urusan pemerintah dan penyediaan pelayanan publik
yang lebih baik dan cara yang berorientasi pada pelayanan masyarakat
(www.worldbank.org, disertasi Indrajit, 2006). Pada intinya e-Government adalah
penggunaan teknologi informasi yang dapat meningkatkan hubungan antara
Pemerintah dan pihak-pihak lain. Penggunaan teknologi informasi ini kemudian
menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: G2C (Government to Citizen), G2B
(Government to Business Enterprises), dan G2G (inter-agency relationship).
17
17
TABEL 2. Palvia and Sharma Framework for e-Government vs e-Governance
2.3.1 Model E-Government
Banyak lembaga pemerintah telah memanfaatkan revolusi dijital dan
menyediakan berbagai layanan pemerintah dan layanan informasi publik secara
online untuk para stakeholder e-government. Stakeholder tersebut meiliputi:
• Masyarakat
• Kalangan bisnis
• Pegawai pemerintahan
• Lembaga, departemen, dan kementerian pemerintah
• Pemimpin perserikatan
• Pemimpin masyarakat, organisasi nirlaba
• Politikus
• Investor asing
• dan lain-lain
18
18
2.4 Electronic Voting (E-Voting)
Definisi e-voting memiliki beberapa versi namun yang lebih kita lihat cermati
adalah tujuannya yaitu lebih mengacu kepada proses pemanfaatan perangkat
elektronik untuk lebih memudahkan dan melancarkan proses dan mengotomatisasi
segala kemungkinan campur tangan individu dalam tiap prosesnya (Smith dan Clark,
2005). Salah satu definisi e-voting diantaranya, e-voting adalah suatu sistem
pemilihan dimana data dicatat, disimpan, dan diproses dalam bentuk informasi digital
(VoteHere Inc, April 2002). Centinkaya dan Centinkaya menambahkan definisi
e-voting bahwa e-voting refers to the use of computers or computerised voting
equipment to cast ballots in an election (Centinkaya & Cetinkaya, 2007). Electronic
Voting (E-Voting) merupakan bagian dari e-government dengan jenis hubungan G2C
(Government to Citizen), perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi (IPTEK)
sudah selayaknya dapat dimanfaatkan guna memajukan dan memudahkan aktivitas
proses kebutuhan manusia baik yang sifatnya personal maupun interpersonal.
E-voting telah digunakan oleh banyak negara seperti Amerika Serikat, Australia,
Austria, Belanda, Belgia, Brazil, Estonia, Inggris, Irlandia, Jerman, Kanada,
Norwegia, Perancis, Philipina, Portugal, Spanyol dan Swiss.
Riera dan Brown (2003) serta de Vuyst, B dan Fairchild, A (2005)
menjelaskan berbagai manfaat yang dapat diperoleh dalam penggunaan e-voting,
diantaranya :
1. Mempercepat proses perhitungan suara.
2. Hasil perhitungan yang lebih akurat.
19
19
3. Menghemat biaya pencetakan khususnya kertas suara.
4. Menghemat biaya distribusi kertas suara.
5. Akses yang lebih baik bagi kaum yang mempunyai keterbatasan fisik
(cacat).
6. Akses yang lebih baik dari sisi waktu untuk datang ke tempat pemilihan
suara (TPS).
7. Kertas suara dapat dibuat berbagai versi bahasa, bisa bahasa international
maupun bahasa daerah setempat.
8. Akses infromasi yang lebih banyak berkenaan dengan pilihan suara.
9. Dapat mengendalikan pihak yang tidak berhak untuk memilih misalnya
dari sisi umur yang telah diatur sebelumnya.
Selain manfaat yang disebutkan diatas, berikutnya adalah bagaimana metode
E-voting berbasis online dapat dilaksanakan (Gritzalis, 2002).
1. Sistem pemindaian optik. Kertas suara khusus yang dapat discan sehingga
hasilnya dapat direkam dan dihitung secara elektronik. Metode ini mahal
dan rawan terjadi kesalahan perhitungan, biasanya sistem ini disebut
e-counting.
2. Sistem Direct Recording Electronic (DRE). Metode TPS elektronik,
fungsinya menggantikan pemilihan konvensional dimana perangkat kertas
diganti oleh perangkat elektronik berupa monitor touch screen atau panel
suara elektronik. Hasil suara disimpan dalam memori, dan dapat
disampaikan baik online maupun offline.
20
20
3. Remote Voting System (RVS/REVS). Pemilih dapat memberikan suara
dimanapun mereka berada secara online melalui komputer/notebook yang
terhubung dengan jaringan dimana pemungutan suara di TPS dan langsung
terekam secara terpusat. Metode ini biasanya membutuhkan jaringan
komunikasi data yang berpita lebar dan tingkat keamanan yang handal.
Cranor (2000) mengidentifikasi kriteria desain utama sebuah Electronic
Voting System (EVS), yaitu accuracy democracy, privacy, verifiability, convenience,
flexibility, dan mobility. Kriteria desain utama Cranor (2000) sejatinya terkait dengan
teori UTAUT, seperti accuracy mengacu kepada hasil suara yang akurat sesuai
dengan performance expectancy. Convenience (kenyamanan) mengacu kepada
peralatan minimum yang sesuai dengan effort expectancy dan facility condition.
Kriteria lain yang sesuai desain khusus Cranor yang dijadikan dasar dari setiap
pemilu adalah democracy (demokrasi), privacy (privasi) dan verifiability (kepastian).
Democracy mengacu kepada satu orang hanya berhak memilih satu kali, privacy
mengacu kepada kerahasiaan suara seseorang, dan verifiability kepastian hasil dalam
perhitungan akhir. Dalam pemungutan suara dengan lingkup kecil dapat dibantu
dengan teknologi seperti password atau smartcard.
21
21
2.4.1 Penerapan E-Voting di Luar Negeri
Penerapan e-voting secara luas telah digunakan sebagai bagian dari demokrasi
khususnya di negara-negara eropa (Harun Husein, 2011).
A. Australia
Penggunaan e-voting untuk demokrasi dimulai pada bulan oktober 2001, e-
voting telah digunakan pertama kali dalam pemilihan anggota parlemen Australia.
Pemilu tersebut diiikuti oleh 16.559 pemilih yang menggunakan hak pilihnya secara
elektronik di empat tempat pemungutan suara (TPS). Kemudian Pemerintah Negara
Bagian Victoria memperkenalkan e-voting sebagai uji coba pada tahun 2006. Pada
tahun 2007 para personil angkatan bersenjata Australia yang ditempatkan di Irak,
Afghanistan, Timor Leste, dan Kepulauan Solomon telah diberi kesempatan untuk
menggunakan hak pilihnya melalui jaringan khusus departemen pertahanan sebagai
bagian dari proyek kerjasama antara departemen pertahanan dengan komisi pemilu
Australia. Setelah mereka menggunakan hak pilih kemudian datanya dienskripsi dan
dikirimkan melalui Citrix server ke database. Sebanyak 2.012 personil terdaftar
sebagai pemilih dan dari jumlah tersebut 1.511 orang berhasil menggunakan hak
pilihnya.
B. Estonia
E-voting di Estonia telah dimulai pada bulan Oktober 2005 pada pemilu lokal.
Estonia menjadi negara pertama yang menyelenggarakan pemilu melalui Internet dan
telah dinyatakan berhasil oleh pejabat pemilu Estonia. Sebanyak 9.317 orang telah
22
22
menggunakan hak pilihnya secara online. Pada tahun 2007 Estonia dinobatkan
sebagai negara yang menyelenggarakan e-voting melalui Internet secara nasional.
Pemilu telah dilaksanakan selama dua hari pada 26-28 Februari dan telah berhasil
menjaring 30.275 orang yang menggunakan hak pilih melalui Internet. Tahun 2009
pada pemilu lokal kotapraja telah berhasil memfasilitasi 104.415 orang yang
menggunakan hak pilih melalui Internet. Presentase menunjukan bahwa 9,5% dari
total pemilih telah menggunakan hak pilihnya melalui Internet, tahun 2011 pada
pemilihan anggota parlemen pada tanggal 24 Februari sampai dengan 2 Maret
sebanyak 2.140.846 orang telah memilih secara online, 95% pemilih menggunakan
hak pilih di dalam negeri dan sisanya memilih dari luar negeri yang tersebar di 106
negara.
C. Perancis
Januari 2007 Partai Union for a Popular Movement (UMP) menyelenggarakan
pemilihan presiden dengan menggunakan remote e-voting dan juga melalui 750 TPS
yang menyediakan layar sentuh. Pemilihan telah diikuti 230.000 suara yang mewakili
hampir 70% dari daftar pemilih. Pemilu di Perancis diselenggarakan secara online
melalui Internet untuk pertama kali pada tahun 2003 ketika warga negara Perancis
yang berdomisili di Amerika Serikat memilih wakil mereka yang akan duduk dalam
Majelis Warga Perancis di luar negeri. Lebih dari 60% pemilih menggunakan haknya
melalui Internet dan bukan menggunakan pemilihan berbasis kertas.
23
23
D. India
India merupakan satu-satunya negara yang menggunakan e-voting dalam skala
besar, India merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terbesar kedua di
dunia, atas dasar itu pelaksanaan e-voting di India harus menjadi perhatian bagi
Indonesia, perbedaan ekonomi antara Indonesia dan India tidak terlampau jauh karena
sama-sama dikategorikan negara berkembang. E-voting di india telah diperkenalkan
pertama kali pada tahun 1982 dan digunakan pada waktu uji coba untuk pemilihan
Majelis Bort Parur di Negara Bagian Kerala. Namun demikian Mahkamah Agung
India membatalkan hasil pemilu tersebut karena tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku di sana. Atas dasar ini kemudian dilakukan amandemen terhadap Undang-
undang Perwakilan Rakyat untuk mengesahkan pemilu yang diselenggarakan melalui
Electronic Voting Machine (EVMs). Pada tahun 2003 semua pemilu di negara bagian
telah menggunakan EVMs. Alat ini juga telah digunakan pada pemilu nasional untuk
memilih anggota parlemen India pada tahun 2004 dan 2009. Menurut data statistik
yang bersumber dari media massa utama di India, lebih dari 400 juta pemilih (60%
dari pemilih yang terdaftar) telah menggunakan hak mereka melalui EVMs pada
pemilu tahun 2009.
Keberhasilan penerapan e-voting di India bukan semata-mata karena soal
teknologi, tapi juga karena sistem pemilunya yang sederhana. India menggunakan
system first past the post atau sistem distrik yang merupakan varian paling sederhana
dan mudah dalam keluarga sistem mayoritas/pluralitas. Yaitu, hanya ada satu
kandidat dari setiap partai di surat suara (single member distric). Jika yang diterapkan
adalah sistem proporsional terbuka seperti Indonesia, di mana setiap partai
24
24
mengirimkan 120% caleg dari total kursi yang diperebutkan di sebuah daerah
pemilihan (distrik), problemnya tentulah tak sederhana. Panel elektronik atau layar
sentuhnya harus dibuat luar biasa besar.
E. Filipina
Pada bulan Mei 2010 Pemerintah Filipina telah merencanakan untuk
menyelenggarakan pemilu secara eletronik untuk pertama kali dengan menggunakan
optical scan voting system. Pemerintah telah mengeluarkan dana sebesar $160 juta
untuk pembiayaan sistem baru. Dana ini termasuk untuk pengadaan EVMs, printer,
server, genset, memory card, baterai, dan peralatan transmisi satelit dan broadband.
Penerapan e-voting secara nasional dimaksudkan untuk meningkatkan akurasi dan
kecepatan dalam penghitungan suara. Juga diharapkan dapat mengurangi kecurangan
dan korupsi sebagaimana ditemukan pada pemilu-pemilu di Filipina yang telah
diadakan sebelumnya. Pada tanggal 3 Mei 2010, Filipina telah melakukan pre-test
terhadap sistem e-voting. Komisi Pemilu (Comelec) telah menemukan 76.000 dari
total 82.000 mesin scan optik terdapat kegagalan dalam kartu memori. Mesin telah
salah menghitung dan memberikan suara kepada kandidat lawan. Setelah dilakukan
penyesuaian antara penghitungan manual dan elektronik, kartu memori kemudian
diganti untuk seluruh wilayah. Akhirnya banyak pemilih yang skeptis terhadap
penerapan e-voting setelah kejadian tersebut. Tanggal 10 Mei 2010 rakyat Filipina
telah memilih presiden menggunakan e-voting untuk kali pertama. KPU Filipina
melaporkan bahwa hanya 400 dari 82.000 mesin e-voting yang tidak berfungsi.
25
25
Kebanyakan pemilih mengeluhkan panjangnya antrian dan butuh waktu lama untuk
mempelajari teknologi baru.
F. Amerika Serikat
Menurut data Aceproject, di Amerika penggunaan e-voting baru mencakup
sepertiga jumlah pemilih. Pada pemilihan presiden tahun 2004, muncul kegagalan di
sejumlah tempat pemungutan suara, pemilih tidak bisa memverifikasi apakah mesin
e-voting benar-benar mencatat suara seperti yang mereka maksudkan, disisi lain
petugas pemilu pun tidak mungkin melakukan penghitungan ulang. Maka munculah
kekhawatiran terhadap keamanan penggunaan mesin e-voting. Muncul pula
perdebatan serius soal bagaimana menjamin integritas hasil pemilihan presiden yang
digelar saat itu, pada 2004 pemilu presiden diikuti George W Bush dari Republik, dan
John Kerry dari Demokrat. Efek dari persmasalahan tersebut, muncul gagasan untuk
melengkapi mesin e-voting dengan teknologi tambahan yang memungkinkan suara
yang telah masuk dapat diverifikasi, bentuknya berupa struk yang keluar dari mesin e-
voting sebagai bukti dalam pemilu. Teknologi ini kemudian biasa dikenal dengan
sebutan (voter verifiable paper audit trail, VVPAT), saat itu sebanyak tujuh negara
bagian langsung mengajukan undang-undang mengadopsi VVPAT, dan 14 negara
bagian lain mengajukan legislasi yang sama. Anggota House of Representatives (DPR
federal) pun akhirnya mempertimbangkan untuk mereformasi e-voting dengan
menambahkan VVPAT.
Meski demikian persoalan e-voting di Amerika tidak terbatas pada persoalan
mesinnya. Laporan Electronic Frontier Foundation (EFF) menyebutkan persoalan
26
26
lain yang muncul adalah masalah SDM yang tidak terlatih. Selain itu, lembaga ini,
dalam situsnya, eff.org, menyatakan teknisi dari vendor mesin e-voting pun masih
memiliki akses tak terawasi terhadap peralatan e-voting, staf KPU lokal pun kerap
menolak apabila data akan di audit. Masalah juga terjadi pada teknologi internet
voting (remote e-voting), teknologi ini digunakan 100 ribu orang Amerika yang
berada di luar negeri (ekspatriat). Tapi, teknologi yang disebut sebagai Secure
Electronic Registration and Voting Experiment (SERVE), itu, dihentikan pada tahun
2004, setelah petugas dari Departemen Pertahanan AS menemukan bahwa sistem itu
tidak cukup aman untuk mentransfer suara pemilih.
Penasihat Pemilu Senior International Foundation for Electoral System
(IFES), Peter Erben, menyebut Amerika gagal dalam menerapkan program e-voting,
mengikuti negara-negara gagal lainnya seperti Jerman, Belanda, dan Irlandia.
2.4.2 Metode Remote Electronic Voting System (REVS)
REVS merupakan metode pemilihan yang seluruhnya dilakukan secara
otomatis dengan menggunakan komputer dan teknologi telekomunikasi untuk akses
jarak jauh (nirkabel). REVS adalah sebagai salah satu bagian Electronic Voting
System (EVS), REVS umumnya menghilangkan verifikasi pendaftaran secara manual,
memfasilitasi pemantauan suara dan menghitung suara, dan memberikan hasil yang
akurat dan up to date. REVS mengatasi beberapa keterbatasan dari teknologi pemilu
yang berlaku secara konvensional, namun tidak mengherankan munculnya teknologi
REVS dalam pemilihan umum seringkali memunculkan isu-isu baru.
27
27
2.5 Keamanan E-Voting
Keamanan sebuah sistem informasi merupakan sebuah nilai keharusan yang
selalu terus diperhatikan dan ditingkatkan, ancaman-ancaman untuk menggagalkan
proses pemilu tidak akan pernah berhenti karena sifat dari pemilu itu sendiri yang
memegang banyak kepentingan berbagai oknum baik pemerintah maupun para
kandidat. Ancaman yang muncul dalam tekologi e-voting dilakukan melalui beberapa
cara seperti dengan menggunakan skenario Denial of Services (DoS) (Hapsara, 2011).
Sebuah serangan dengan mekanisme DoS akan terdisitribusi ke ribuan mesin dan
dikoordinasikan untuk dapat menyerang sebuah target primer secara simultan dan
dapat digunakan untuk melumpuhkan sebuah sistem yang dianggap hebat sekalipun.
Skenario ini merupakan salah satu perhatian yang layak diperhitungkan, biasanya
masalah ini timbul dikalangan bisnis virtual baik e-banking maupun e-commerce
yang menyedot banyak kalangan untuk memperhatikan masalah tersebut, selayaknya
skenario ini pula ditujukan bagi sebuah sistem e-voting (Hapsara, 2011) untuk
menentukan layak tidaknya sebuat sistem diadopsi.
Selain skenario melalui serangan DoS terdapat skenario lain yang dapat
dijalankan seperti dengan memanfaatkan Trojan. Dalam dunia komputer, istilah
Trojan biasanya berupa program yang diaktifkan dalam sistem komputer tanpa
sepengetahuan pemilik, dan secara langsung dapat memberikan akses kepada pihak
luar untuk menggunakan sistem tersebut (PJKevin, 2002). Trojan mampu melakukan
manuver yang lebih merusak seperti mencuri password, mengubah data, menjalankan
program tertentu, dan lain-lain. Beberapa skenario penggunaan Trojan terdiri dari 4
28
28
skenario yang digunakan (Weldemariam, Kemmerer & Villafiorita, 2008) untuk
mengekspos sistem e-voting buatan ES&S. ES&S merupakan salah satu pabrikan
pembuat mesin e-voting yang popular, ES&S menggunakan fungsi verifikasi VVPAT
(Voter-Verified Paper Audit Trail) suara yang diberikan melalui sistem, akan tercetak
dalam bentuk kertas suara. Mekanisme ini memberikan kepastian pemilih bahwa data
pemilihannya telah tersimpan ke dalam sistem.
1. Changing the vote for an inattentive voter. Seringkali pemilih tidak menyadari
pentingnya fungsi verifikasi. Pemilih dengan karakteristik demikian biasanya
melakukan proses pemberian suara secara normal dan setelah selesai tidak
memeriksa apakah suara yang ia berikan telah terekam dengan baik dalam sistem.
Trojan biasanya disimpan dalam sistem dan diaktivasi untuk: (1) memotong
proses penyimpanan suara sesaat sebelum review suara ditampilkan dalam
electronic ballot; (2) mengubah nilai suara yang telah diberikan menjadi nilai
untuk kandidat lain. Skenario ini mengandalkan kecenderungan inattentive voters
mengabaikan nilai suara akhir yang ditampilkan dalam electronic ballot, dan
ketidaksesuaian suara pemilih dengan kertas rekaman suara tercetak. Skenario ini
akan gagal jika pemilih menyadari ketidaksesuaian tersebut dan memutuskan
untuk melakukan pemberian suara ulang. Jika hal ini terjadi, Trojan akan
mendeteksi identitas pemilih dan menghentikan proses pengubahan nilai suara
untuk sementara. Jika sebaliknya, maka nilai suara yang akan direkam adalah nilai
yang telah diubah oleh Trojan. Yang demikian akan sulit untuk dideteksi apabila
telah sampai pada proses perhitungan suara hingga akan sangat merugikan
sebagian kandidat. Pencegahan dari teknik Trojan ini adalah kewaspadaan dan
29
29
ketelitian pemilihakan apa yang telah dihasilkan oleh kertas suara (struk
rekap/email rekap) jika dirasa apa yang dipilih bukan cerminan sesungguhnya
maka hendaknya melaporkan kepada panitia yang bersangkutan.
2. Changing the vote for a careful voter. Dalam skenario ini, pemilih diasumsikan
melakukan proses pemberian suara normal dan mereka cukup berhati-hati dengan
juga memperhatikan review yang ditampilkan dalam electronic ballot. Kelemahan
yang diserang disini adalah kekurangmengertian pemilih tentang informasi yang
disampaikan dalam kertas rekaman suara tercetak. Untuk itu, pengubahan nilai
suara tidak dilakukan sebelum review nilai suara dalam electronic ballot
melainkan sesudahnya. Ketidaksesuaian terjadi antara nilai suara yang di-review
dengan kertas rekaman suara tercetak. Sama dengan yang terjadi dalam skenario
sebelumnya, jika tidak perubahan nilai suara tidak terdeteksi sejak dini, maka
suara tersebutlah yang akan ditabulasikan.
3. Canceling/completing the vote for a fleeing voter. Harus diakui bahwa
penggunaan electronic ballot dalam proses pemungutan suara dapat menyebabkan
ketidaknyamanan bagi sebagian pemilih. Hal ini dapat terjadi salah satunya akibat
dipengaruhi kebiasaan dalam menggunakan paper ballot. Proses pemberian suara
menggunakan electronic ballot yang berbelit-belit, keharusan untuk menunggu
review nilai suara yang diberikan; menyebabkan sebagian pemilih memilih untuk
tidak menyelesaikan proses pemberian suara. Pemilih yang demikian disebut
sebagai fleeing voters, dan skenario ini memanfaat tipe pemilih ini. Perlu
diketahui bahwa ES&S memiliki fitur alarm untuk memberitahu petugas di TPS
bila seorang pemilih tidak menyelesaikan proses pemberian suaranya. Trojan
30
30
dapat melakukan 2 (dua) hal disini: (1) jika pemilih memilih kandidat yang tidak
diinginkan, membiarkan alarm berbunyi agar petugas TPS mengetahui proses
pemberiaan suara belum selesai dan membuang suara yang belum dikonfirmasi;
atau (2) jika pemilih memilih kandidat yang diinginkan, menghentikan alarm dan
menyelesaikan proses pemberian suara hingga suara terekam.
4. Faking a fleeing voter to cancel a vote. Jika di skenario sebelumnya, serangan
dilakukan dengan memanfaatkan fleeing voters, dalam skenario ini Trojan
“memalsukan” fleeing voters. Pemilih yang memilih kandidat yang tidak
diinginkan dan telah melakukan pemberian suara normal akan disodorkan
tampilan dalam electronic ballot yang menunjukkan bahwa seolah-olah suara
mereka telah terekam. Sesungguhnya Trojan menahan suara pemilih tersebut
hingga setelah pemilih meninggalkan TPS, Trojan akan mengaktivasi alarm.
Petugas TPS akan menyangka bahwa pemilih tersebut adalah fleeing voter dan
membuang suara yang belum dikonfirmasi tersebut.
Ancaman tersebut merupakan sesuatu yang perlu ditangani agar independensi dari
teknologi REVS tetap terjamin sehingga dapat mempengaruhi penerimaan REVS.
2.6 2 Factor Authentication (2FA)
Otentikasi merupakan penggunaan satu atau lebih mekanisme untuk
membuktikan bahwa informasi betul-betul asli, orang yang mengakses atau
memberikan informasi adalah betul-betul orang yang dimaksud. Schneier (2005)
31
31
menjelaskan bahwa 2FA merupakan mechanism which implements two of the above
mentioned factors and is therefore considered stronger and more secure than the
traditionally implemented one factor authentication system. Tiga faktor otentikasi
yang diakui secara universal yang ada saat ini diantaranya what you know (password
misalnya), what you have (misalnya kartu ATM atau token), dan what you are
(misalnya biometrik). Two factor authentification adalah sebuah mekanisme yang
mengimplementasikan dua faktor tersebut di atas dan karena itu dianggap lebih kuat
dan lebih aman dibandingkan dengan sistem tradisional dengan menerapkan satu
faktor otentikasi (Schneier, 2005).
Dalam kasus penarikan uang pada mesin ATM telah menggunakan otentikasi
twofactor, dimana pengguna harus memiliki kartu ATM, yaitu what you have, dan
harus tahu nomor identifikasi pibadi yang unik (PIN), yaitu what you know. Sandi
dikenal sebagai salah satu target termudah hacker. Oleh karena itu, kebanyakan
organisasi sedang mencari metode yang lebih aman untuk melindungi pelanggan dan
karyawan. Biometrics yang dikenal sangat aman dan digunakan dalam organisasi
khusus, tetapi tidak banyak digunakan dalam transaksi online atau mesin ATM karena
harga perangkat keras dan biaya maintenance yang mahal. Sebaliknya, bank dan
perusahaan menggunakan token sebagai two factor authentification (2FA).
Pada tingkat kesulitan authentication, password merupakan proses
authentication yang paling mudah ditembus, sedangkan security token termasuk
kategori smart card, satu tingkat di bawah biometrics, yang merupakan tingkat yang
paling tinggi pada saat sekarang (Thales, 2005).
32
32
GAMBAR 2 : Authentication Option (Thales, 2005)
2.6.1 Authentication Token
Media telekomunikasi khususnya handphone sudah berkembang begitu pesat
baik tingkat teknologi maupun tingkat penggunaannya, handphone sendiri dapat
digunakan sebagai salah satu kandidat security token. Security token adalah piranti
untuk melakukan autentikasi dan berbagai transaksi dengan tingkat keamanan yang
tinggi. Autentikasi sendiri adalah proses untuk membuktikan bahwa seseorang adalah
benar dirinya. Dengan demikian, ketika transaksi atau konfirmasi data terjadi, tidak
mungkin dilakukan oleh orang lain.
Token sendiri dapat berwujud fisik seperti kalkulator kecil, dan juga berwujud
software atau yang biasa disebut virtual token. Sebenarnya token fisik maupun virtual
sama saja, karena itu dalam penelitian ini digunakan token virtual dengan piranti
mobile yang dibuat dengan java mobile sehingga bisa diinstall di handphone yang
33
33
telah mendukung java. Nantinya wujud fisik token yang berbentuk kalkulator bisa
digantikan dengan wujud fisik handphone dengan bantuan software MobileOTP.
Dalam sistem ini, one tipe password (OTP) didapat dengan mengambil 6
karakter pertama hasil perhitungan hash dengan fungsi MD5. Granularity dalam
sistem ini adalah 10 detik, dengan kata lain setiap 10 detik token akan menghasilkan
OTP yang berbeda.
Untuk mensinkronkan antara time waktu server dan client, umur OTP diset
dalam waktu 3 menit, artinya server harus menghitung semua OTP dalam time
window 6 menit, yaitu 3 menit kebelakang dan 3 menit kedepan relatif terhadap
waktu ketika server melakukan otentifikasi.
2.6.2 Design Security
Keamanan yang digunakan dalam penelitian REVS ini menggunakan mobile
based system sebagai pengganti hardware dan computer based sebuah token. Sistem
keamanannya memiliki 2 model operasi, diantaranya :
• Connection-Less Authentication System : merupakan mekanisme dimana one
time password (OTP) digenerate tanpa terhubung antara client ke server.
Mobile phone dijadikan token untuk menghasilkan kode unik OTP secara
local.
• SMS-Based Authentication System : ini dilakukan apabila terjadi kondisi
kegagalan sistem, password ditolak, client dan server tidak sinkron, mobile
phone dapat meminta one time password (OTP) secara langsung ke server
34
34
tanpa generate OTP local terlebih dulu. Server akan memverifikasi identitas
user, server akan mengecek konten SMS dan jika sesuai akan dikirimkan
generate OTP secara random, user harus menggunakannya sebelum waktu
yang ditentukan habis. Dengan model ini client dan server diharuskan
membayar biaya telekomunikasi dalam pengiriman SMSnya.
Untuk penelitian ini penggunaan model tersebut terfokus pada Connection-
Less Authentication System, karena penggunaan salah satu model sudah
mencerminkan penggunaan 2 factor authentication (2FA).
2.7 Unified Theory of Acceptance and Use of Technology
(UTAUT)
Model UTAUT merupakan sebuah model berbasis teori yang dikembangkan
oleh Vankatesh, et al. pada tahun 2003. Model ini menggambarkan berbagai faktor
yang mempengaruhi penerimaan individu terhadap suatu teknologi informasi (TI).
UTAUT dikembangkan melalui pengkajian delapan model teori penerimaan/adopsi
teknologi yang banyak digunakan dalam penelitian TI sebelumnya.
Delapan teori/model yang dimaksud adalah :
a. Theory of Reasoned Action (TRA)
b. Technology Acceptance Model (TAM)
c. Motivational Model (MM)
d. Theory of Planned Behavior (TPB)
e. Combined TAM and TPB (C-TAM-TPB)
35
35
f. Model of PC Utilization (MPCU)
g. Innovation Diffusion Theory (IDT)
h. Social Cognitive Theory (SCT)
Dalam UTAUT terdapat empat variable/konstruk yang menjadi faktor penentu
langsung yang bersifat signifikan terhadap penerimaan maupun penggunaan
teknologi. Keempat variabel tersebut adalah performance expectancy, effort
expectancy, social influence, dan facilitating condition. Terdapat pula empat
moderator : gender, age, voluntariness, dan experience yang diposisikan untuk
memoderasi dampak dari empat konstruk utama pada behavioral intention dan use
behavior. Gambar 4 merupakan keterkaitan antara determinan-determinan dan
moderator pendukung.
GAMBAR 3. Keterkaitan antara Determinan dan Moderator Pendukung UTAUT
36
36
Performance expectancy adalah sejauh mana suatu individu percaya bahwa
menggunakan sistem akan membantunya dalam mencapai keuntungan dalam kinerja
pekerjaan (Venkatesh et al, 2003., h. 447), effort expectancy mengacu kepada tingkat
kemudahan penggunaan sistem, social influence adalah sejauh mana seorang individu
memahami bahwa orang lain dapat meyakinkan bahwa ia harus menggunakan sistem
baru, facilitating condition adalah dukungan infrastruktur organisasi dan teknis yang
dimiliki individu dalam menggunakan teknologi.
2.8 Human Organization Technology (HOT)
Yusof et al. (2006) menjelaskan suatu kerangka baru dalam mengevaluasi
sistem informasi yang disebut Human-Organization-Technology (HOT) Fit Model.
Model terdiri dari beberapa komponen penting dalam sistem informasi diantaranya
Manusia (Human), Organisasi (Organization) dan Teknologi (Technology). dan
kesesuaian hubungan di antaranya.
Berikut disampaikan penjelasan tiap komponen model human organization
technology (HOT) :
1. Komponen Manusia (Human) dimana cara menilai sistem dilihat dari sisi
penggunaan sistem (system use) pada frekwensi dan luasnya fungsi dan
penyelidikan sistem informasi. System use berhubungan erat dengan siapa
yang menggunakan (who use it), bagaimana level penggunanya (level of
user), pelatihan, pengetahuan, harapan dan sikap menerima (acceptance) atau
menolak (resistance) sistem. Selain melihat dari aspek penggunaan sistem,
37
37
komponen ini juga menilai sistem berdasarkan aspek kepuasan pengguna
(user satisfaction). User satisfaction dapat berhubungan dengan persepsi
manfaat (usefulness) dan sikap pengguna (user) terhadap sistem informasi
yang kadang dipengaruhi oleh karakteristik masing-masing individu.
2. Komponen Organisasi (Organization) adalah cara menilai sistem berdasarkan
aspek struktur organisasi dan lingkungan organisasi baik intern maupun
ekstern. Struktur organisasi bertipe, kultur, politik, hierarki, perencanaan dan
pengendalian sistem, strategi , manajemen dan komunikasi. Dukungan dari
seluruh lini organisasi merupakan bagian terpenting dalam mengukur
keberhasilan sistem, seperti dukungan dari tingkat top level manajemen
hingga level staff. Sedangkan untuk tipe lingkungan organisasi terdiri terdiri
dari beberapa bagian, antara lain sumber pembiayaan, pemerintahan, politik,
kompetisi, hubungan interorganisasional dan komunikasi.
3. Komponen teknologi (technology) dibagi dalam beberapa bagian antara lain
kualitas sistem (system quality), kualitas informasi (information quality) dan
kualitas layanan (service quality). Kualitas sistem dalam sistem informasi
dalam hal ini REVS menyangkut hubungan antara fitur dalam sistem
termasuk performa sistem dan user interface. Kemudahan penggunaan (ease
of use), kemudahan untuk dipelajari (ease of learning), response time,
usefulness, ketersediaan, fleksibilitas, dan sekuritas merupakan variabel atau
faktor yang dapat dinilai dari kualitas sistem. Sedangkan kualitas informasi
merupakan output informasi yang dihasilkan oleh sistem informasi misalnya
rekapitulasi data pemilih hingga rekapitulasi hasil pemilihan. Beberapa
38
38
kriteria yang bisa dijadikan acuan untuk menilai kualitas informasi antara
lain adalah kelengkapan, keakuratan, ketepatan waktu, ketersediaan,
relevansi, konsistensi, dan data entry. Selanjutnya untuk kualitas layanan
(service quality) berfokus lebih kepada keseluruhan dukungan yang diterima
oleh service provider sistem atau teknologi. Service quality dapat dinilai
dengan kecepatan respon, dan tindak lanjut layanan (after sales).
GAMBAR 4. Keterkaitan Model HOT
2.9 Penelitian Terdahulu
Penelitian tentang tingkat penerimaan suatu teknologi yang telah dilakukan
oleh peneliti-peneliti terdahulu ditemukan suatu model yang memperlihatkan tingkat
penerimaan terhadap teknologi yaitu UTAUT. Penelitian tentang penerimaan
penggunaan teknologi informasi dengan model UTAUT telah banyak dikeluarkan
oleh para peneliti, beberapa diantaranya berkaitan langsung dengan penelitian ini
secara singkat dapat terlihat pada Tabel 3.
39
39
TABEL 3. Ikhtisar Beberapa Penelitian Terdahulu Tentang UTAUT
No Peneliti Tahun Objek
Penelitian Hasil Penelitian
1 Anderson, John
E, et al
2006 Tingkat
penerimaan
Tablet PC
terhadap
fakultas di
salah satu
sekolah bisnis
Pengaruh penggunaan Tablet PC
ditentukan oleh performance
expectancy, effort expectancy,
facilitating condition, dan experience
sedangkan social influence tidak
berpengaruh secara langsung.
2 Farida, Budi
Hermana
2007 Karyawan
pengguna e-
payment
system
sebanyak 30
orang
Wanita cenderung menunjukan
persepsi kinerja payment system yang
lebih rendah dibanding pria dan
ekspektasi usaha hanya dipengaruhi
masa kerja.
3 Yurong Yao,
Lisa Murphy
2007 137 MBA
student
Ketersediaan, kemudahan dan
kerahasiaan berpengaruh terhadap
partisipasi pemilu.
4 Sahu, Gupta 2007 163 pekerja
terdiri dari
asistensi
pajak,
operator,
inspector
Penggunaan e-government
dipengaruhi oleh variabel attitude,
effort expectancy, performance
expectancy, perceived strength of
control, anxiety, social influences,
self efficacy, dan top management
support.
5 Teddy Oswari,
Suhendra,
Harmoni
2008 UKM wilayah
Jabodetabek
Tingkat penggunaan TI
mempengaruhi secara nyata terhadap
kinerja perusahaan.