2012_nasional_kajian kesejahteraan dan keamanan penduduk di wilayah perbatasan indonesia_opt

99

Upload: zhya-chama-ardhys

Post on 18-Feb-2016

253 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt
Page 2: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

2012

KESEJAHTERAAN DAN KEAMANAN PENDUDUK

DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

KAJIAN

Page 3: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

2012

KESEJAHTERAAN DAN KEAMANAN PENDUDUK

DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA

KAJIAN

Page 4: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

iKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena pada akhirnya kajian tentang kesejahteraan dan keamanan penduduk di perbatasan ini dapat juga diselesaikan.

Kajian ini sangat diperlukan karena kondisi penduduk Indonesia di daerah perbatasan masih cukup jarang dikaji. Apalagi yang dikaitkan dengan aspek politik dan pertahanan keamanan-nya. Karena, masalah kesejahteraan penduduk di perbatasan tidak hanya semata-mata masalah sosial ekonomi, namun juga masalah keamanan dan hankam. Keamanan disini adalah dilihat dalam perspektif yang lebih luas dari keamanan militer belaka, namun juga keamanan manusia (human security) yang meliputi keamanan individu, lingkungan, ekonomi, kesehatan, pangan, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini dilakukan penelitian dan triangulasi ke tiga propinsi, masing-masing adalah Kalimantan Barat (Kab. Sanggau) Nusa Tenggara Timur (Kab. Belu dan Kab. Timor Tengah Utara) dan Papua (Kab. Jayapura dan Kab. Keerom) dengan pertimbangan bahwa ketiga propinsi tersebut berbatasan darat dengan tiga negara tetangga (Malaysia, Timor Leste dan Papua New Guinea).

Hasil dari penelitian amat relevan terkait pengambilan kebijakan kependudukan untuk wilayah-wilayah perbatasan RI. Sudah saatnya wilayah terluar tidak lagi dianggap sebagai halaman belakang (backyard) melainkan sebagai halaman depan (frontyard). Juga, kesejahteraan penduduk di daerah perbatasan harus diperhatikan dengan serius karena penduduk di perbatasan adalah juga bagian dari potensi pertahanan bangsa dan negara. Penanganan yang salah dapat berakibat mereka berbalik menjadi ancaman hankam.

Kami berharap buku yang kami terbitkan ini sebagai salah satu acuan bagi para perencana, pengelola dan pelaksana diseluruh sektor terkait ditingkat pusat, propinsi, kabupaten dan kota dalam merencanakan, melaksanakan pembangunan agar memperhatikan aspek kependudukan.

Page 5: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

iKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena pada akhirnya kajian tentang kesejahteraan dan keamanan penduduk di perbatasan ini dapat juga diselesaikan.

Kajian ini sangat diperlukan karena kondisi penduduk Indonesia di daerah perbatasan masih cukup jarang dikaji. Apalagi yang dikaitkan dengan aspek politik dan pertahanan keamanan-nya. Karena, masalah kesejahteraan penduduk di perbatasan tidak hanya semata-mata masalah sosial ekonomi, namun juga masalah keamanan dan hankam. Keamanan disini adalah dilihat dalam perspektif yang lebih luas dari keamanan militer belaka, namun juga keamanan manusia (human security) yang meliputi keamanan individu, lingkungan, ekonomi, kesehatan, pangan, dan lain-lain.

Dalam penelitian ini dilakukan penelitian dan triangulasi ke tiga propinsi, masing-masing adalah Kalimantan Barat (Kab. Sanggau) Nusa Tenggara Timur (Kab. Belu dan Kab. Timor Tengah Utara) dan Papua (Kab. Jayapura dan Kab. Keerom) dengan pertimbangan bahwa ketiga propinsi tersebut berbatasan darat dengan tiga negara tetangga (Malaysia, Timor Leste dan Papua New Guinea).

Hasil dari penelitian amat relevan terkait pengambilan kebijakan kependudukan untuk wilayah-wilayah perbatasan RI. Sudah saatnya wilayah terluar tidak lagi dianggap sebagai halaman belakang (backyard) melainkan sebagai halaman depan (frontyard). Juga, kesejahteraan penduduk di daerah perbatasan harus diperhatikan dengan serius karena penduduk di perbatasan adalah juga bagian dari potensi pertahanan bangsa dan negara. Penanganan yang salah dapat berakibat mereka berbalik menjadi ancaman hankam.

Kami berharap buku yang kami terbitkan ini sebagai salah satu acuan bagi para perencana, pengelola dan pelaksana diseluruh sektor terkait ditingkat pusat, propinsi, kabupaten dan kota dalam merencanakan, melaksanakan pembangunan agar memperhatikan aspek kependudukan.

Page 6: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional iiiii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1A. Latar Belakang. ................................................................ 1B. Permasalahan . ................................................................ 13C. Tujuan Analisis ................................................................ 13D. Metode Penelitian ............................................................ 14E. Kerangka Teori dan Analisis ............................................ 15

1. Human Security dan Comprehensive Security. ......... 152. Konsepsi Keamanan Indonesia. ................................ 163. Konsepsi kesejahteraan ............................................ 194. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi........................ 205. Kerangka Analisis. ..................................................... 22

BAB II PERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS MASALAHPERBATASAN. ........................................................................ 231. Pengelolaan Kawasan Perbatasan ................................. 272. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan. ............ 28

BAB III GAMBARAN TENTANG KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN DI DAERAH PERBATASAN..................... 311. Kalimantan Barat ............................................................ 322. Papua .............................................................................. 473. Nusa Tenggara Timur ...................................................... 57

BAB IV ANALISIS................................................................................. 75

BAB V PENUTUP ............................................................................... 83A. Kesimpulan....................................................................... 83B. Rekomendasi .................................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 89

Tersusunnya buku ini berdasarkan kebutuhan analisis dampak kependudukan terkait aspek keamanan baik umum dan individu secara khusus. Untuk kesempurnaan tulisan ini diharapkan adanya masukan dan saran dari para pembaca guna dapat memberikan penyempurnaan kajian-kajian kami di masa yang akan datang.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu memberikan sumbangan, pemikiran, tenaga dan waktu sehingga tersusunnya dan terbitnya buku ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana dimasa yang akan datang.

Jakarta, Desember 2012Direktorat Analisis DampakKependudukan.Direktur,

Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc.

Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 7: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional iiiii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................... i

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1A. Latar Belakang. ................................................................ 1B. Permasalahan . ................................................................ 13C. Tujuan Analisis ................................................................ 13D. Metode Penelitian ............................................................ 14E. Kerangka Teori dan Analisis ............................................ 15

1. Human Security dan Comprehensive Security. ......... 152. Konsepsi Keamanan Indonesia. ................................ 163. Konsepsi kesejahteraan ............................................ 194. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi........................ 205. Kerangka Analisis. ..................................................... 22

BAB II PERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS MASALAHPERBATASAN. ........................................................................ 231. Pengelolaan Kawasan Perbatasan ................................. 272. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan. ............ 28

BAB III GAMBARAN TENTANG KEAMANAN DAN KESEJAHTERAAN DI DAERAH PERBATASAN..................... 311. Kalimantan Barat ............................................................ 322. Papua .............................................................................. 473. Nusa Tenggara Timur ...................................................... 57

BAB IV ANALISIS................................................................................. 75

BAB V PENUTUP ............................................................................... 83A. Kesimpulan....................................................................... 83B. Rekomendasi .................................................................. 87

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 89

Tersusunnya buku ini berdasarkan kebutuhan analisis dampak kependudukan terkait aspek keamanan baik umum dan individu secara khusus. Untuk kesempurnaan tulisan ini diharapkan adanya masukan dan saran dari para pembaca guna dapat memberikan penyempurnaan kajian-kajian kami di masa yang akan datang.

Akhirnya, kepada semua pihak yang telah membantu memberikan sumbangan, pemikiran, tenaga dan waktu sehingga tersusunnya dan terbitnya buku ini dapat memberikan manfaat bagi kemajuan pembangunan kependudukan dan keluarga berencana dimasa yang akan datang.

Jakarta, Desember 2012Direktorat Analisis DampakKependudukan.Direktur,

Drs. Suyono Hadinoto, M.Sc.

Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 8: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasionaliv 1

Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dengan luas wilayah daratan yang begitu luas (nomor 15 terbesar di dunia) dan luas laut yang sangat besar (dua pertiga luas total wilayah Indonesia) serta jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah RRC, India, dan Amerika Serikat), tak pelak lagi masalah kependudukan di Indonesia begitu kompleks.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan Dinas Hidro Oceonografi (Dishidros) TNI AL pada tahun 1982 berjumlah ± 17.508 pulau. Pulau tersebut dihubungkan oleh laut dan selat di Nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah negara kepulauan. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui oleh dunia melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Indonesia

1berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun di laut.

Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara, yaitu Malaysia di Kalimantan, Papua New Guinea di Papua, dan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Di laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste.

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, serta menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, serta hukum nasional dan internasional. Wilayah NKRI yang banyak berbatasan langsung dengan negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah perbatasan.

1 Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan : Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, artikel online pada Universitas Pertahanan Indonesia.

Page 9: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Direktorat Analisis Dampak KependudukanBadan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasionaliv 1

Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

BAB IPENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dengan luas wilayah daratan yang begitu luas (nomor 15 terbesar di dunia) dan luas laut yang sangat besar (dua pertiga luas total wilayah Indonesia) serta jumlah penduduk terbesar keempat di dunia (setelah RRC, India, dan Amerika Serikat), tak pelak lagi masalah kependudukan di Indonesia begitu kompleks.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan negara kepulauan yang terdiri atas pulau besar dan kecil yang menurut perhitungan Dinas Hidro Oceonografi (Dishidros) TNI AL pada tahun 1982 berjumlah ± 17.508 pulau. Pulau tersebut dihubungkan oleh laut dan selat di Nusantara yang merupakan laut yurisdiksi nasional sehingga membentuk sebuah negara kepulauan. Eksistensi NKRI sebagai negara kepulauan telah diakui oleh dunia melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS 1982). Indonesia

1berbatasan dengan banyak negara tetangga, baik di darat maupun di laut.

Indonesia berbatasan langsung di daratan dengan tiga negara, yaitu Malaysia di Kalimantan, Papua New Guinea di Papua, dan Timor Leste di Nusa Tenggara Timur. Di laut, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Palau, Papua Nugini, Australia, dan Timor Leste.

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber kekayaan alam, serta menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, serta hukum nasional dan internasional. Wilayah NKRI yang banyak berbatasan langsung dengan negara lain merupakan suatu kenyataan yang harus disadari bahwa Indonesia harus senantiasa waspada dalam menjaga wilayah perbatasan.

1 Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan : Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, artikel online pada Universitas Pertahanan Indonesia.

Page 10: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

2Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 3Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif (ideology dan sosial budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas negara (transnational crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal (illegal fishing), perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking), imigran ilegal (illegal immigrants), penyelundupan manusia (people smuggling), peredaran narkotika, pintu masuk teroris, perompakan, dan konflik sosial budaya yang berpotensi mengancam stabilitas nasional harus

2dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Berdasarkan tinjauan geostrategis dan geopolitik, kawasan perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah Provinsi dan kabupaten/kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas Negara (wilayah negara). Selain kawasan perbatasan yang terletak di wilayah daratan, kawasan

3perbatasan negara yang berada di lautan belum secara tegas ditetapkan.

Kompleksitas ini semakin terasa bagi penduduk yang tinggal di perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga, ataupun mereka yang tinggal di pulau-pulau terdepan dan terluar Indonesia. Sebagai contoh, penduduk yang tinggal di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Malaysia. Mereka yang tinggal di Provinsi Papua berbatasan dengan Papua New Guinea dan WNI yang tinggal di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste. Karena, jangankan mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, bahkan tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi mereka sendiri.

Sebagai contoh adalah permasalahan penduduk di perbatasan dengan Timor Leste. Studi Agung Sudrajat (2011) menyebutkan bahwa permasalahan kependudukan yang pertama di daerah perbatasan Indonesia (daerah Bale) dengan wilayah Timor Leste (Distrik Oecussi-Ambeno) adalah permasalahan status kependudukan. Penduduk daerah perbatasan Indonesia-Oecussi kurang memiliki akses terhadap pendaftaran Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Jangan lagi bicara E-KTP, untuk pembuatan KTP model lama-pun mereka mengalami kesulitan akses. Maka, hingga saat ini,

2 Ibid.

3 Ibid.

status kependudukan yang ada hanyalah diperoleh dari data-data para sukarelawan atau pihak-pihak peneliti yang turun langsung ke lapangan.

Permasalahan lain ada di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara statistik, wilayah Kabupaten Belu pada tahun 2005 terdiri dari 17 kecamatan dengan jumlah penduduk tercatat 343.777 jiwa dan kepadatan penduduknya hanya 140.57 jiwa/km2 (Data BPS Kab Belu 2006). Penduduk di sepanjang perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste mengalami permasalahan terkait dengan kewarganegaraan dan kepemilikan KTP. Banyak penduduk di wilayah Indonesia yang tidak memiliki KTP. Kemudian, banyak pula pengungsi dari Timor Leste pascajajak pendapat 1999 (post ballot) yang hijrah ke Belu karena alasan keamanan ataupun bermigrasi secara sadar karena kepentingan ekonomi kemudian mengaku sebagai warga Kabupaten Belu.

Permasalahan kependudukan tersebut juga didukung dengan pengawasan pemerintah yang masih sangat kurang. Sebagai contoh, tapal batas antara wilayah Indonesia di NTT (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) dengan Timor Leste di Distrik Oecussi adalah sepanjang 254.4 km dan hanya diawasi 55 pos pengawas. Sebenarnya pos pengawasan ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan daerah perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (sepanjang 2004 km) ataupun antara Provinsi Papua dengan Papua New Guinea (PNG), akan tetapi, kondisi keamanan di Timor Leste masih belum kondusif, terutama karena pergolakan politik internal yang tidak stabil. Sehingga, potensi masuknya imigran gelap ke daerah Indonesia juga amat besar.

Permasalahan perbatasan yang lain dan bersifat klasik dan laten adalah antara Indonesia dengan Malaysia. Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan deklarasi kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.

Page 11: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

2Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 3Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Kemungkinan masuknya pengaruh asing negatif (ideology dan sosial budaya) serta kemungkinan terjadinya kegiatan kejahatan lintas negara (transnational crimes), pembalakan liar (illegal logging), pemancingan ilegal (illegal fishing), perdagangan manusia (woman and child trades/trafficking), imigran ilegal (illegal immigrants), penyelundupan manusia (people smuggling), peredaran narkotika, pintu masuk teroris, perompakan, dan konflik sosial budaya yang berpotensi mengancam stabilitas nasional harus

2dapat diantisipasi dan mendapatkan perhatian dari pemerintah.

Berdasarkan tinjauan geostrategis dan geopolitik, kawasan perbatasan merupakan wilayah yang secara geografis berbatasan langsung dengan negara tetangga dan yang langsung berhadapan dengan negara lain. Wilayah yang dimaksud adalah bagian wilayah Provinsi dan kabupaten/kota yang langsung bersinggungan dengan garis batas Negara (wilayah negara). Selain kawasan perbatasan yang terletak di wilayah daratan, kawasan

3perbatasan negara yang berada di lautan belum secara tegas ditetapkan.

Kompleksitas ini semakin terasa bagi penduduk yang tinggal di perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga, ataupun mereka yang tinggal di pulau-pulau terdepan dan terluar Indonesia. Sebagai contoh, penduduk yang tinggal di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur dengan Malaysia. Mereka yang tinggal di Provinsi Papua berbatasan dengan Papua New Guinea dan WNI yang tinggal di Nusa Tenggara Timur yang berbatasan dengan Timor Leste. Karena, jangankan mereka tinggal amat jauh dan terpencil dari Ibukota negara di Jakarta, bahkan tidak jarang mereka-pun tinggal jauh dan terisolir dari ibukota kabupaten dan ibukota provinsi mereka sendiri.

Sebagai contoh adalah permasalahan penduduk di perbatasan dengan Timor Leste. Studi Agung Sudrajat (2011) menyebutkan bahwa permasalahan kependudukan yang pertama di daerah perbatasan Indonesia (daerah Bale) dengan wilayah Timor Leste (Distrik Oecussi-Ambeno) adalah permasalahan status kependudukan. Penduduk daerah perbatasan Indonesia-Oecussi kurang memiliki akses terhadap pendaftaran Kartu Tanda Penduduk (KTP) Indonesia. Jangan lagi bicara E-KTP, untuk pembuatan KTP model lama-pun mereka mengalami kesulitan akses. Maka, hingga saat ini,

2 Ibid.

3 Ibid.

status kependudukan yang ada hanyalah diperoleh dari data-data para sukarelawan atau pihak-pihak peneliti yang turun langsung ke lapangan.

Permasalahan lain ada di Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Secara statistik, wilayah Kabupaten Belu pada tahun 2005 terdiri dari 17 kecamatan dengan jumlah penduduk tercatat 343.777 jiwa dan kepadatan penduduknya hanya 140.57 jiwa/km2 (Data BPS Kab Belu 2006). Penduduk di sepanjang perbatasan Kabupaten Belu dengan Timor Leste mengalami permasalahan terkait dengan kewarganegaraan dan kepemilikan KTP. Banyak penduduk di wilayah Indonesia yang tidak memiliki KTP. Kemudian, banyak pula pengungsi dari Timor Leste pascajajak pendapat 1999 (post ballot) yang hijrah ke Belu karena alasan keamanan ataupun bermigrasi secara sadar karena kepentingan ekonomi kemudian mengaku sebagai warga Kabupaten Belu.

Permasalahan kependudukan tersebut juga didukung dengan pengawasan pemerintah yang masih sangat kurang. Sebagai contoh, tapal batas antara wilayah Indonesia di NTT (Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara) dengan Timor Leste di Distrik Oecussi adalah sepanjang 254.4 km dan hanya diawasi 55 pos pengawas. Sebenarnya pos pengawasan ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan daerah perbatasan darat Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur (sepanjang 2004 km) ataupun antara Provinsi Papua dengan Papua New Guinea (PNG), akan tetapi, kondisi keamanan di Timor Leste masih belum kondusif, terutama karena pergolakan politik internal yang tidak stabil. Sehingga, potensi masuknya imigran gelap ke daerah Indonesia juga amat besar.

Permasalahan perbatasan yang lain dan bersifat klasik dan laten adalah antara Indonesia dengan Malaysia. Indonesia dan Malaysia adalah sepasang negeri jiran yang sebelum diperkenalkannya konsep negara modern (pasca perjanjian Westphalia 1648) tak mengenal batas-batas fisik maupun batas-batas kultural. Era kolonialisme Eropa Barat di kedua negara dilanjutkan dengan lahirnya negara modern Indonesia pada 17 Agustus 1945 dan deklarasi kemerdekaan Malaysia pada 31 Agustus 1957 berkonsekuensi terciptanya garis demarkasi antara kedua negara yang kemudian disebut sebagai perbatasan. Perbatasan dalam artian fisik kemudian tercipta di sepanjang pulau Kalimantan sejauh 2004 kilometer (yang merupakan perbatasan fisik terpanjang Indonesia dengan negara lain) dan perbatasan laut di sepanjang Selat Malaka, Laut China Selatan, dan Laut Sulawesi.

Page 12: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

4Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 5Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Namun, berbeda halnya dengan batas fisik, batas kultural antara Indonesia dan Malaysia tak pernah jelas. Dan tidak hanya dengan Malaysia, dengan Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philippina Selatan-pun bangsa Indonesia memiliki kesamaan kultural pada banyak wilayah budaya karena berasal dari rumpun etnolinguistik yang sama yaitu Austronesia (Malayo Polynesia). Sehingga memiliki akar bahasa yang nyaris sama, dan pengalaman sejarah yang hampir sama, yaitu sempat berada di bawah kesultanan-kesultanan Islam sebelum mengalami penjajahan Eropa Barat (terkecuali untuk Thailand Selatan). Tak heran beberapa kesenian khas Indonesia seperti wayang ataupun seni batik mudah juga ditemukan di Malaysia maupun Thailand Selatan dan Brunei Darussalam.

Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pada Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional-International Court of Justice pada tahun 2002) dan pada blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya beberapa persoalan krusial seperti banyaknya buruh migran Indonesia yang tak terdokumentasi (undocumented migrant workers) di Malaysia, masalah pembalakan hutan (illegal logging) di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, penyelundupan (smuggling) narkoba dan perdagangan manusia (human trafficking). Masalah lainnya adalah ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan di wilayah perbatasan.

Masalah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat dibedakan antara batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara. Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan petugas penjaga perbatasan, maupun adanya kantor imigrasi dan kantor bea cukai (customs). Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral.

Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005-2006 membuktikan bahwa kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di-legal-kannya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada Desember 2002 oleh International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat lahirnya

klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat. Sementara Malaysia bersikukuh dengan batas laut territorial dan zona ekonomi eksklusif yang diambil dari pulau terluar Sipadan dan Ligitan.

Persoalan perbatasan lainnya adalah keamanan di perbatasan laut Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-Singapura (SMS) sering terjadi perompakan di laut (sea robbery) sehingga issue tersebut oleh negara-negara pengguna selat telah bergeser menjadi issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara pemakai Selat Malaka yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di Selat Malaka. Padahal, berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS), tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing. Sebagai contoh, saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan Philippina yang menangkap ikan secara illegal sampai ke Laut Banda dan Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun.

Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu, terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006,

4sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu.

4 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Page 13: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

4Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 5Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Namun, berbeda halnya dengan batas fisik, batas kultural antara Indonesia dan Malaysia tak pernah jelas. Dan tidak hanya dengan Malaysia, dengan Brunei Darussalam, Thailand Selatan dan Philippina Selatan-pun bangsa Indonesia memiliki kesamaan kultural pada banyak wilayah budaya karena berasal dari rumpun etnolinguistik yang sama yaitu Austronesia (Malayo Polynesia). Sehingga memiliki akar bahasa yang nyaris sama, dan pengalaman sejarah yang hampir sama, yaitu sempat berada di bawah kesultanan-kesultanan Islam sebelum mengalami penjajahan Eropa Barat (terkecuali untuk Thailand Selatan). Tak heran beberapa kesenian khas Indonesia seperti wayang ataupun seni batik mudah juga ditemukan di Malaysia maupun Thailand Selatan dan Brunei Darussalam.

Barangkali masalah perbatasan fisik antara Indonesia-Malaysia tak mengemuka kalau saja belakangan tak terjadi sengketa pada Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (yang akhirnya dimenangkan oleh Malaysia melalui keputusan Mahkamah Internasional-International Court of Justice pada tahun 2002) dan pada blok laut Ambalat di Laut Sulawesi. Juga, dengan terjadinya beberapa persoalan krusial seperti banyaknya buruh migran Indonesia yang tak terdokumentasi (undocumented migrant workers) di Malaysia, masalah pembalakan hutan (illegal logging) di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan, penyelundupan (smuggling) narkoba dan perdagangan manusia (human trafficking). Masalah lainnya adalah ketertinggalan pembangunan, ketegangan di perbatasan dan belakangan adalah masalah terorisme transnasional (transnational terrorism) yang mengusik kestabilan di wilayah perbatasan.

Masalah perbatasan Indonesia-Malaysia dapat dibedakan antara batas fisik yang tersaji dalam batas darat, batas laut, maupun batas udara. Batas darat dapat ditandai dengan patok-patok tapal batas, penempatan petugas penjaga perbatasan, maupun adanya kantor imigrasi dan kantor bea cukai (customs). Sebaliknya batas laut dan batas udara lebih berupa garis-garis imajiner yang disepakati bersama melalui perjanjian bilateral.

Kendati sebagian besar masalah perbatasan terletak pada batas darat, namun bukan berarti batas laut tidak menjadi masalah. Sengketa kepemilikan Blok Ambalat pada tahun 2005-2006 membuktikan bahwa kejelasan batas laut menjadi amat signifikan. Di-legal-kannya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan kepada Malaysia pada Desember 2002 oleh International Court of Justice The Hague (ICJ) membawa akibat lahirnya

klaim baru terhadap blok Ambalat yang disinyalir kaya potensi minyak bumi oleh Malaysia. Indonesia bersikukuh pada posisi sebagai negara kepulauan yang menurut Konvensi Hukum Laut Internasional 1982 (UNCLOS) memiliki klaim lebih sah terhadap blok laut Ambalat. Sementara Malaysia bersikukuh dengan batas laut territorial dan zona ekonomi eksklusif yang diambil dari pulau terluar Sipadan dan Ligitan.

Persoalan perbatasan lainnya adalah keamanan di perbatasan laut Selat Malaka dan Singapura. Akhir-akhir ini di sepanjang Selat Malaka-Singapura (SMS) sering terjadi perompakan di laut (sea robbery) sehingga issue tersebut oleh negara-negara pengguna selat telah bergeser menjadi issue terorisme yang mengarah kepada internasionalisasi selat tersebut. Hal ini terlihat dengan dilakukannya berbagai inisiatif pengamanan oleh negara pemakai Selat Malaka yang diprakarsai oleh Amerika Serikat (AS) seperti Proliferation Security Initiative (PSI) Container Security Initiative (CSI) dan Regional Security Initiative (RSI). Malahan AS telah berinisiatif pula untuk mengirim ”misi keamanan” dengan menggelar tentaranya di Selat Malaka. Padahal, berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS), tanggungjawab pengamanan utama Selat Malaka terletak pada negara-negara tepinya (Indonesia, Malaysia, dan Singapura).

Masalah perbatasan laut lain yang amat signifikan adalah maraknya penangkapan ikan secara liar (illegal fishing) oleh kapal-kapal nelayan asing. Sebagai contoh, saat ini banyak nelayan asing dari Thailand, China, dan Philippina yang menangkap ikan secara illegal sampai ke Laut Banda dan Laut Arafura melalui Selat Malaka, Samudera Indonesia maupun Laut Sulawesi. Kerugian negara di laut Arafura saja karena aktivitas illegal fishing setiap tahunnya adalah sekitar Rp 13 trilyun.

Pihak kepolisian RI sudah menelusuri pelanggaran ini hingga ke Thailand. Hasilnya antara tahun 2005 hingga 2006 hanya 31 kapal ikan yang terdaftar kepemilikannya di KBRI Bangkok. Padahal, jumlah kapal Thailand yan beroperasi di Indonesia jauh lebih besar dari angka tersebut. Selain itu, terjadi peningkatan pembelian kapal bekas Thailand pada September 2006,

4sebelum dihentikan izin penangkapan ikan kapal dari negeri Gajah Putih itu.

4 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Page 14: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

6Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 7Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi wajar apabila menjadi pilihan utama.

Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan) dan pulau-pulau kecil terluar di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat, kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non tradisional yang bertumpu pada human security (keamanan manusia), tak semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi), health security (keamanan kesehatan) maupun food security (keamanan pangan).

Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia. Warga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata tidak sedikit yang memiliki kartu kewarganegaraan Malaysia disamping KTP Indonesia. Ini dibuktikan dengan kepemilikan kartu identitas (identity card/IC) Malaysia. Pengurusannya juga tidak tidak terlalu sulit sehingga banyak warga yang

5mengurus IC Malaysia.

Sebagai contoh adalah warga Desa Suruh Tembawang, desa terpencil dan terisolasi yang terletak di perbatasan Kalbar-Sarawak dengan jarak sekitar 64 km dari pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) Entikong. Sejauh ini sedikitnya 139 warga Desa Suruh Tembawang beralih statusnya jadi Warga Negara Malaysia. Hal ini dikarenakan Desa Suruh Tembawang berbatasan langsung dengan dusun Gun Sapit di Serawak. Penduduk Suruh Tembawang juga sering berniaga ke Gun Sapit karena mereka memang masih memiliki hubungan kekerabatan karena berasal dari etnis yang sama. Di saat petugas Jabatan Pendaftar Negara (JPN) Malaysia mendaftar, mereka turut mendaftar sehingga memperoleh IC Malaysia.

5 Ibid.

Kasus lain yang tak kalah unik dan menarik sekaligus menghadirkan permasalahan kesejahteraan di perbatasan terjadi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan-Kalimantan Timur. Harian Suara Merdeka edisi 17 Maret 2005 menyajikan reportase menarik tentang kronik kehidupan di perbatasan

6Pulau Sebatik :

Puluhan rumah panggung tampak berderet-deret sepanjang jalanan berbatu. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu. Tidak ada pagar kawat berduri atau tembok tinggi seperti laiknya perbatasan dua negara. Kecuali beberapa patok yang tersembul setinggi 10 cm, tak setitik pun tengara bahwa rumah-rumah itu berdiri di atas wilayah Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik senyatanya merupakan pulau terluar Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Secara administratif, pulau kecil berpenduduk 26.400 jiwa di seberang Kalimantan ini "terbelah" menjadi dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan Desa Aji Kuning adalah bagian dari tanah air yang "terbagi" itu. Ketidakjelasan batas Indonesia-Malaysia sesungguhnya tak hanya terjadi di lautan seperti yang kini terjadi di Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Di daratan seperti Desa Aji Kuning, kesimpangsiuran batas negara bukanlah hal yang luar biasa. Sebut saja RT 14 Desa Aji Kuning, secara de jure sesungguhnya masuk wilayah Malaysia.

Meski demikian, penduduk yang sudah bermukim di pulau itu sejak tahun 1975 tak pernah merisaukan sejengkal pun tanah batas wilayah. ''Boleh dibilang setiap hari kami pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak, ruang tamu ada di Indonesia, dapur ada di Malaysia,'' kelakar H Bedu Rahang. Namun persoalan batas negara bukanlah harga mati di Sebatik. Sebab petugas dan fasilitas penjagaan terbilang minim. Sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia-sekitar 1.950 kilometer misalnya, hanya tersedia 30 pos perbatasan. Artinya, setiap pos harus menjaga wilayah sepanjang 65 kilometer. Seorang petugas TNI, Harianja (30), menuturkan, pemeriksaan di daerah tak berpenjaga jauh lebih longgar. Sebab warga sering lalu-lalang ke daerah perbatasan.

6 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Page 15: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

6Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 7Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Menghadapi masalah keamanan di perbatasan laut seperti dalam kasus Selat Malaka ataupun illegal fishing, tentunya pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada kekuatan militer (TNI Angkatan Laut dibantu dengan Polisi Perairan dan Udara serta Bea Cukai dan Imigrasi) menjadi wajar apabila menjadi pilihan utama.

Berbeda halnya dengan masalah perbatasan di darat, yaitu di pulau Kalimantan (Provinsi Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan) dan pulau-pulau kecil terluar di lepas pantai Kalimantan. Di sepanjang perbatasan darat, kebutuhan yang lebih mengemuka adalah pendekatan keamanan non tradisional yang bertumpu pada human security (keamanan manusia), tak semata-mata military security. Aspek human security yang paling dominan dalam hal ini adalah economic security (keamanan ekonomi), health security (keamanan kesehatan) maupun food security (keamanan pangan).

Beberapa kasus yang mengemuka terkait dengan kesejahteraan ekonomi yang menimbulkan masalah di perbatasan antara lain seperti yang terjadi di Desa Suruh Tembawang, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, yang berbatasan fisik dengan Serawak, Malaysia. Warga perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat (Kalbar) ternyata tidak sedikit yang memiliki kartu kewarganegaraan Malaysia disamping KTP Indonesia. Ini dibuktikan dengan kepemilikan kartu identitas (identity card/IC) Malaysia. Pengurusannya juga tidak tidak terlalu sulit sehingga banyak warga yang

5mengurus IC Malaysia.

Sebagai contoh adalah warga Desa Suruh Tembawang, desa terpencil dan terisolasi yang terletak di perbatasan Kalbar-Sarawak dengan jarak sekitar 64 km dari pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) Entikong. Sejauh ini sedikitnya 139 warga Desa Suruh Tembawang beralih statusnya jadi Warga Negara Malaysia. Hal ini dikarenakan Desa Suruh Tembawang berbatasan langsung dengan dusun Gun Sapit di Serawak. Penduduk Suruh Tembawang juga sering berniaga ke Gun Sapit karena mereka memang masih memiliki hubungan kekerabatan karena berasal dari etnis yang sama. Di saat petugas Jabatan Pendaftar Negara (JPN) Malaysia mendaftar, mereka turut mendaftar sehingga memperoleh IC Malaysia.

5 Ibid.

Kasus lain yang tak kalah unik dan menarik sekaligus menghadirkan permasalahan kesejahteraan di perbatasan terjadi di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan-Kalimantan Timur. Harian Suara Merdeka edisi 17 Maret 2005 menyajikan reportase menarik tentang kronik kehidupan di perbatasan

6Pulau Sebatik :

Puluhan rumah panggung tampak berderet-deret sepanjang jalanan berbatu. Sekilas, tak ada yang istimewa dari rumah-rumah itu. Tidak ada pagar kawat berduri atau tembok tinggi seperti laiknya perbatasan dua negara. Kecuali beberapa patok yang tersembul setinggi 10 cm, tak setitik pun tengara bahwa rumah-rumah itu berdiri di atas wilayah Indonesia dan Malaysia. Pulau Sebatik senyatanya merupakan pulau terluar Kabupaten Nunukan yang berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sabah, Malaysia. Secara administratif, pulau kecil berpenduduk 26.400 jiwa di seberang Kalimantan ini "terbelah" menjadi dua. Sebagian masuk wilayah Indonesia dan sebagian lainnya masuk wilayah Malaysia. Dan Desa Aji Kuning adalah bagian dari tanah air yang "terbagi" itu. Ketidakjelasan batas Indonesia-Malaysia sesungguhnya tak hanya terjadi di lautan seperti yang kini terjadi di Blok Ambalat, Kalimantan Timur. Di daratan seperti Desa Aji Kuning, kesimpangsiuran batas negara bukanlah hal yang luar biasa. Sebut saja RT 14 Desa Aji Kuning, secara de jure sesungguhnya masuk wilayah Malaysia.

Meski demikian, penduduk yang sudah bermukim di pulau itu sejak tahun 1975 tak pernah merisaukan sejengkal pun tanah batas wilayah. ''Boleh dibilang setiap hari kami pergi ke luar negeri. Bagaimana tidak, ruang tamu ada di Indonesia, dapur ada di Malaysia,'' kelakar H Bedu Rahang. Namun persoalan batas negara bukanlah harga mati di Sebatik. Sebab petugas dan fasilitas penjagaan terbilang minim. Sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia-sekitar 1.950 kilometer misalnya, hanya tersedia 30 pos perbatasan. Artinya, setiap pos harus menjaga wilayah sepanjang 65 kilometer. Seorang petugas TNI, Harianja (30), menuturkan, pemeriksaan di daerah tak berpenjaga jauh lebih longgar. Sebab warga sering lalu-lalang ke daerah perbatasan.

6 Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan Pendekatan Keamanan Non Tradisional, pada http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Page 16: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

8Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 9Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

''Kalau setiap saat harus menunjukkan paspor, tentu repot. Lha wong saban sore kami musti jalan kaki mengambil air ke sumur Malaysia,'' ujar pria asal Sidoarjo Jawa Timur itu. Apa yang dikatakan Harianja bukanlah mengada-ada. Saat musim kemarau tiba, warga Aji Kuning harus mencari air hingga ke Malaysia. Mereka berjalan kaki menembus perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan sumber kehidupan. ''Kami cukup menunjukkan KTP kepada petugas yang berjaga jaga di perbatasan Malaysia. Atau, kalau sudah hapal ya lewat saja. Toh penduduk sini tak banyak, mereka hapal siapa-siapa yang butuh air,'' tutur Harianja.

Studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah-Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan, Sarawak-Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis yang sama (Sampai saat ini, kendati menghadapi kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian Provinsi yang lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan perekonomian di perbatasan tersebut masih berlangsung.

Permasalahan perbatasan lain adalah seperti yang terjadi di 7Kabupaten Sambas, juga di Kalimantan Barat, seperti dalam kisah berikut :

Jalan tanah yang sedianya dijadikan jalan lintas negara yang menghubungkan ibu kota Sambas ke perbatasan Biawak, Malaysia, sepanjang 88 kilometer tersebut memang menjadi becek jika diguyur hujan beberapa saat. Sedikitnya ada tiga tanjakan curam yang sulit dilalui jika jalan iguyur hujan dan hanya mobil berpenggerak ganda yang bisa melintasi jalan itu.

Mobil jip berpenggerak ganda yang kami tumpangi pun sempat tergelincir saat berjalan menurun dan hampir saja menabrak tebing di tepi jalan. Beruntung mobil bisa berhenti setelah terjerembab di selokan. Mobil bisa keluar setelah penggerak ganda diaktifkan. Berkat penggerak ganda itu pula kami bisa menarik truk Didik melewati

tanjakan tadi. Di jalan menanjak itu pula dijumpai belasan pengendara motor yang masing-masing mengangkut 2-3 kuintal gula dari Malaysia. Mereka antre melewati tanjakan tersebut karena sepeda motor dengan beban melebihi kapasitasnya itu hanya bisa lewat jika dibantu didorong. Mengendarai sepeda motor dengan beban sedemikian berat saja sulit, apalagi di jalan hancur seperti itu.

Didik dan kernetnya pun turut membantu mendorong mereka yang biasa disebut ”pengojek gula” itu. ”Dua hari di sini mungkin ada puluhan pengojek gula yang kami bantu dorong,” kata Didik.

Kami juga melihat sendiri dua di antara pengojek gula itu ada yang terjatuh saat didorong melewati tanjakan licin. Bahkan, satu di antaranya terjatuh dengan posisi kaki tertindih mesin sepeda motor sehingga ia pun mengerang kesakitan. Lagi-lagi ”beruntung” karena kakinya tidak sampai patah. ”Dua-tiga kawan kamek be ada yang patah kaki ketimpe motor. Itu sudah jadi risiko kamek meski untung ojek gula paling-paling hanya Rp 150.000-Rp 200.000 sekali jalan,” kata Mus (42), pengojek gula asal Kartiasa, Sambas, dengan logat Melayu.

Selain jalan akses UTAMA DI PERBATASAN, jalan menuju dusun di sana sebagian besar juga masih tanah dan akan berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan. Aktivis Lembaga Gemawan bernama Salman yang hampir dua tahun terakhir mendampingi masyarakat di sana mengaku sudah terbiasa jatuh bangun di jalan becek itu.

Potret jalan di perbatasan Kalbar hampir sama seperti itu. Saat musim hujan jalan tanah menjadi becek dan pada musim kemarau jalan penuh debu. Dari lima kabupaten di Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia, hanya satu jalan akses yang sudah teraspal, yakni jalan akses Entikong di Kabupaten Sanggau. Itu pun masih banyak dijumpai lubang jalan.

Di tengah belum mulusnya jalan akses di perbatasan, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Kalbar justru tetap ngotot membuka pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) di Sajingan dan Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Fasilitas PPLB di dua wilayah kita itu memang siap dioperasikan, tetapi, seperti diuraikan di atas, jalan aksesnya yang belum teraspal jelas belum layak dijadikan jalan lintas 7 Harmen Batubara, Wilayah Perbatasan Halaman Depan Bangsa yang Terlupakan, dalam

http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Page 17: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

8Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 9Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

''Kalau setiap saat harus menunjukkan paspor, tentu repot. Lha wong saban sore kami musti jalan kaki mengambil air ke sumur Malaysia,'' ujar pria asal Sidoarjo Jawa Timur itu. Apa yang dikatakan Harianja bukanlah mengada-ada. Saat musim kemarau tiba, warga Aji Kuning harus mencari air hingga ke Malaysia. Mereka berjalan kaki menembus perkebunan kelapa sawit untuk mendapatkan sumber kehidupan. ''Kami cukup menunjukkan KTP kepada petugas yang berjaga jaga di perbatasan Malaysia. Atau, kalau sudah hapal ya lewat saja. Toh penduduk sini tak banyak, mereka hapal siapa-siapa yang butuh air,'' tutur Harianja.

Studi yang dilakukan LIPI pada tahun 2007 di Krayan Kalimantan Timur, Long Pasia, Sabah-Malaysia, dan Lun Bawan di Ba Kelalan, Sarawak-Malaysia, ketiganya adalah desa-desa yang berdampingan di sepanjang perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara, menunjukkan bahwa ikatan antara masyarakat yang berbeda kewarganegaraan di perbatasan tersebut telah terjadi begitu lama melalui interaksi perdagangan. Apalagi mereka mempunyai ikatan etnis yang sama (Sampai saat ini, kendati menghadapi kendala fisik seperti ketiadaan akses jalan raya dan terisolir dari bagian Provinsi yang lain (landlocked) namun hubungan perdagangan dan perekonomian di perbatasan tersebut masih berlangsung.

Permasalahan perbatasan lain adalah seperti yang terjadi di 7Kabupaten Sambas, juga di Kalimantan Barat, seperti dalam kisah berikut :

Jalan tanah yang sedianya dijadikan jalan lintas negara yang menghubungkan ibu kota Sambas ke perbatasan Biawak, Malaysia, sepanjang 88 kilometer tersebut memang menjadi becek jika diguyur hujan beberapa saat. Sedikitnya ada tiga tanjakan curam yang sulit dilalui jika jalan iguyur hujan dan hanya mobil berpenggerak ganda yang bisa melintasi jalan itu.

Mobil jip berpenggerak ganda yang kami tumpangi pun sempat tergelincir saat berjalan menurun dan hampir saja menabrak tebing di tepi jalan. Beruntung mobil bisa berhenti setelah terjerembab di selokan. Mobil bisa keluar setelah penggerak ganda diaktifkan. Berkat penggerak ganda itu pula kami bisa menarik truk Didik melewati

tanjakan tadi. Di jalan menanjak itu pula dijumpai belasan pengendara motor yang masing-masing mengangkut 2-3 kuintal gula dari Malaysia. Mereka antre melewati tanjakan tersebut karena sepeda motor dengan beban melebihi kapasitasnya itu hanya bisa lewat jika dibantu didorong. Mengendarai sepeda motor dengan beban sedemikian berat saja sulit, apalagi di jalan hancur seperti itu.

Didik dan kernetnya pun turut membantu mendorong mereka yang biasa disebut ”pengojek gula” itu. ”Dua hari di sini mungkin ada puluhan pengojek gula yang kami bantu dorong,” kata Didik.

Kami juga melihat sendiri dua di antara pengojek gula itu ada yang terjatuh saat didorong melewati tanjakan licin. Bahkan, satu di antaranya terjatuh dengan posisi kaki tertindih mesin sepeda motor sehingga ia pun mengerang kesakitan. Lagi-lagi ”beruntung” karena kakinya tidak sampai patah. ”Dua-tiga kawan kamek be ada yang patah kaki ketimpe motor. Itu sudah jadi risiko kamek meski untung ojek gula paling-paling hanya Rp 150.000-Rp 200.000 sekali jalan,” kata Mus (42), pengojek gula asal Kartiasa, Sambas, dengan logat Melayu.

Selain jalan akses UTAMA DI PERBATASAN, jalan menuju dusun di sana sebagian besar juga masih tanah dan akan berubah menjadi kubangan lumpur saat musim hujan. Aktivis Lembaga Gemawan bernama Salman yang hampir dua tahun terakhir mendampingi masyarakat di sana mengaku sudah terbiasa jatuh bangun di jalan becek itu.

Potret jalan di perbatasan Kalbar hampir sama seperti itu. Saat musim hujan jalan tanah menjadi becek dan pada musim kemarau jalan penuh debu. Dari lima kabupaten di Kalbar yang berbatasan langsung dengan Malaysia, hanya satu jalan akses yang sudah teraspal, yakni jalan akses Entikong di Kabupaten Sanggau. Itu pun masih banyak dijumpai lubang jalan.

Di tengah belum mulusnya jalan akses di perbatasan, Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Kalbar justru tetap ngotot membuka pos pemeriksaan lintas batas (PPLB) di Sajingan dan Badau (Kabupaten Kapuas Hulu). Fasilitas PPLB di dua wilayah kita itu memang siap dioperasikan, tetapi, seperti diuraikan di atas, jalan aksesnya yang belum teraspal jelas belum layak dijadikan jalan lintas 7 Harmen Batubara, Wilayah Perbatasan Halaman Depan Bangsa yang Terlupakan, dalam

http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Page 18: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

10Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 11Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

negara. Sementara di sisi negara tetangga, jalan aksesnya sudah terbangun mulus hingga ke ibu kota Serawak di Kuching, tetapi fasilitas PPLB masih dalam tahap pembangunan.

Dalam sejumlah pemberitaan di Kalbar, ada kesan sedikit menyudutkan pemerintah negeri jiran karena belum juga menyelesaikan pembangunan PPLB dan menunda kesepakatan pembukaan PPLB di kedua wilayah itu. Jika mau jujur, Indonesia juga belum siap sepenuhnya karena akses jalan lintas negara belum selesai dibangun.

Konsul Malaysia di Pontianak Zairi Basri kepada Kompas mengungkapkan, pada dasarnya Malaysia menginginkan PEMBANGUNAN DI PERBATASAN dua negara setara. Kalaupun ada kesenjangan, jaraknya tidak terlalu lebar SEHINGGA TIDAK SAMPAI MENIMBULKAN DAMPAK SOSIAL, EKONOMI, ATAUPUN POLITIK BAGI DUA NEGARA SERUMPUN.

Jalan akses perbatasan di Indonesia, misalnya, ia berharap bisa terbangun dengan baik sehingga dampak dari pembangunan PPLB tidak hanya dirasakan warga di lini satu perbatasan saja, tetapi juga masyarakat lebih luas.Jika demikian adanya, apakah kita masih tetap ngotot membuka PPLB di Sajingan dan Badau, sementara jalan aksesnya masih hancur?

Seorang kawan pernah berkelakar, justru tetap kita buka saja PPLB di Sajingan dan Badau, lantas kita promosikan sebagai ”wisata offroad”. Nah lho..

Kembali pada ihwal kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of Justice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 yang dapat diibaratkan rapor merah bagi diplomasi Indonesia. Namun I Made Arsana, pakar kelautan dari UGM, berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh

8Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.

Apa dasar kemenangan Malaysia? Menurut putusan ICJ pada 17 Desember 2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif (effective occupation) terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut. Alias, kita hanya mengaku memiliki kedua pulau tersebut, namun sejatinya kita tak pernah mengurusinya. Berbeda dengan Malaysia yang perbuatan pengurusannya

9lebih terlihat.

Terkait dengan masalah kontrol efektif (effective occupation), Arif Havas Oegroseno memiliki pendapat berbeda. Menurutnya doktrin ini adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi Kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupation yang berarti tindakan administrative dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administrasi penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh

8 Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sobar Sutisna dalam “Pengamanan Wilayah Perbatasan RI dan Kepastian (online article at http://idu.ac.id) sebagai berikut :

Kasus Pulau Sipadan danPulau Ligitan (Siplig) adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yang berawal pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam

perundingan tersebut ditemukan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang ”tidak bertuan” (terranulius). Hal itu mengingat bahwa kedua negara tidak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah masing-masing. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tidak mencantumkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas dasar saling klaim tersebut, kedua negara sepakat untuk menempatkan kedua pulau tersebut ke dalam status quo yang pada akhirnya pada tahun 1997 kedua negara bersepakat untuk dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk diputuskan tentang kepemilikannya. Pencantuman Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 merupakan langkah yang sudah terlambat, kemudian dikoreksi pada tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa pemahaman yang perlu ditanamkan adalah bahwa Indonesia bukan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, melainkan Indonesia gagal di dalam upaya memasukkan keduanya ke dalam wilayah NKRI. Perlu pula dipahami bahwa kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukanlan kasus sengketa batas wilayah negara, melainkan kasus sengketa kepemilikan pulau tersebut. Kasus Siplig yang unik dan khusus itu hendaknya menjadi pembeda dan tidak menjadi refleksi terhadap keraguan atas kedaulatan wilayah NKRI atas pulau terluar lainnya yang telah masuk di dalam sistem hukum Indonesia.

9 Informasi tentang putusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan tersedia di http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7714.pdf

Page 19: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

10Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 11Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

negara. Sementara di sisi negara tetangga, jalan aksesnya sudah terbangun mulus hingga ke ibu kota Serawak di Kuching, tetapi fasilitas PPLB masih dalam tahap pembangunan.

Dalam sejumlah pemberitaan di Kalbar, ada kesan sedikit menyudutkan pemerintah negeri jiran karena belum juga menyelesaikan pembangunan PPLB dan menunda kesepakatan pembukaan PPLB di kedua wilayah itu. Jika mau jujur, Indonesia juga belum siap sepenuhnya karena akses jalan lintas negara belum selesai dibangun.

Konsul Malaysia di Pontianak Zairi Basri kepada Kompas mengungkapkan, pada dasarnya Malaysia menginginkan PEMBANGUNAN DI PERBATASAN dua negara setara. Kalaupun ada kesenjangan, jaraknya tidak terlalu lebar SEHINGGA TIDAK SAMPAI MENIMBULKAN DAMPAK SOSIAL, EKONOMI, ATAUPUN POLITIK BAGI DUA NEGARA SERUMPUN.

Jalan akses perbatasan di Indonesia, misalnya, ia berharap bisa terbangun dengan baik sehingga dampak dari pembangunan PPLB tidak hanya dirasakan warga di lini satu perbatasan saja, tetapi juga masyarakat lebih luas.Jika demikian adanya, apakah kita masih tetap ngotot membuka PPLB di Sajingan dan Badau, sementara jalan aksesnya masih hancur?

Seorang kawan pernah berkelakar, justru tetap kita buka saja PPLB di Sajingan dan Badau, lantas kita promosikan sebagai ”wisata offroad”. Nah lho..

Kembali pada ihwal kalahnya Indonesia dari Malaysia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan di muka International Court of Justice (ICJ) The Hague pada tahun 2002 yang dapat diibaratkan rapor merah bagi diplomasi Indonesia. Namun I Made Arsana, pakar kelautan dari UGM, berpendapat bahwa Indonesia sesungguhnya tidak pernah kehilangan pulau. Sipadan dan Ligitan adalah dua pulau tak bertuan yang akhirnya berhasil dimiliki oleh

8Malaysia setelah kedua negara sama-sama menyatakan klaimnya.

Apa dasar kemenangan Malaysia? Menurut putusan ICJ pada 17 Desember 2002, Malaysia dimenangkan karena telah menjalankan kontrol efektif (effective occupation) terhadap Pulau Sipadan dan Ligitan berupa fungsi administrasi pemerintahan, legislatif, maupun quasi yudikatif. Para hakim (16 hakim memenangkan Malaysia dan 1 menolak) bersepakat bahwa Malaysia terlihat memiliki niat dan keseriusan untuk menjalankan fungsi kenegaraannya di Pulau Sipadan dan Ligitan. Malaysia juga telah lama (ketika masih dijajah Inggris) menjadikan pulau Sipadan dan Ligitan sebagai daerah konservasi penyu dan burung. Bahkan mereka pernah mengeluarkan Turtle Preservation Ordinance pada tahun 1917. Klaim-klaim yang terbukti secara sosiologis inilah yang kurang dipunyai Indonesia dan menyebabkannya kalah di persidangan ICJ tersebut. Alias, kita hanya mengaku memiliki kedua pulau tersebut, namun sejatinya kita tak pernah mengurusinya. Berbeda dengan Malaysia yang perbuatan pengurusannya

9lebih terlihat.

Terkait dengan masalah kontrol efektif (effective occupation), Arif Havas Oegroseno memiliki pendapat berbeda. Menurutnya doktrin ini adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi Kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupation yang berarti tindakan administrative dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administrasi penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh

8 Pendapat yang hampir sama dikemukakan oleh Sobar Sutisna dalam “Pengamanan Wilayah Perbatasan RI dan Kepastian (online article at http://idu.ac.id) sebagai berikut :

Kasus Pulau Sipadan danPulau Ligitan (Siplig) adalah kasus yang bersifat unik dan khusus. Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dan Malaysia yang berawal pada tahun 1969 ketika kedua negara merundingkan perbatasan landas kontinen di antara kedua negara. Dalam

perundingan tersebut ditemukan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang ”tidak bertuan” (terranulius). Hal itu mengingat bahwa kedua negara tidak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah masing-masing. Indonesia sendiri melalui Undang-Undang Nomor 4/Prp/1960 tidak mencantumkan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayah NKRI. Atas dasar saling klaim tersebut, kedua negara sepakat untuk menempatkan kedua pulau tersebut ke dalam status quo yang pada akhirnya pada tahun 1997 kedua negara bersepakat untuk dibawa ke Mahkamah Internasional (ICJ) untuk diputuskan tentang kepemilikannya. Pencantuman Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 merupakan langkah yang sudah terlambat, kemudian dikoreksi pada tahun 2008 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2008. Dari uraian tersebut dapat dilihat bahwa pemahaman yang perlu ditanamkan adalah bahwa Indonesia bukan kehilangan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, melainkan Indonesia gagal di dalam upaya memasukkan keduanya ke dalam wilayah NKRI. Perlu pula dipahami bahwa kasus Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan bukanlan kasus sengketa batas wilayah negara, melainkan kasus sengketa kepemilikan pulau tersebut. Kasus Siplig yang unik dan khusus itu hendaknya menjadi pembeda dan tidak menjadi refleksi terhadap keraguan atas kedaulatan wilayah NKRI atas pulau terluar lainnya yang telah masuk di dalam sistem hukum Indonesia.

9 Informasi tentang putusan ICJ dalam kasus Sipadan-Ligitan tersedia di http://www.icj-cij.org/docket/files/102/7714.pdf

Page 20: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

12Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 13Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrase, atau registrasi

10kepemilikan dengan hukum yang jelas.

Esensi keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan klaim Malaysia, menurut Arif Havas Oegroseno adalah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa Negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administrative lainnya tentang pulau tersebut

11terlepas dari isi kegiatannya.

Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara. Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan sebaliknya berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005. Sebabnya adalah kasus kematian Sekretaris Desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat yang berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI. Bendera merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippines. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi. Mereka merasa lebih dekat dengan Philippines daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao, Philippines dan transaksi sehari-harinya menggunakan mata uang Philippines Pesos daripada Rupiah Indonesia.

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas, nyatalah bahwa masalah perbatasan tidak semata-mata masalah keamanan militer (hankam) saja. Namun juga masalah keamanan manusia (human security) yang lain, apakah bernama keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan pangan, dan lain-lain. Berapa banyakpun jumlah tentara ditugaskan menjaga perbatasan, apabila masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial tak tuntas ditangani Negara Indonesia maka potensi terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap perbatasan fisik dan meletupnya konflik-konflik sosial di perbatasan akan selalu ada.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, menyeruak permasalahan yang amat krusial terkait dengan kondisi penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar perbatasan, utamanya perbatasan darat Indonesia. Apakah yang berbatasan fisik dengan Malaysia di Kalimantan, dengan Timor Leste di Pulau Timor, maupun dengan Papua New Guinea di Pulau Papua. Permasalahan tersebut amat menarik untuk dikaji, utamanya untuk melihat kondisi kesejahteraan dan keamanan penduduk Indonesia di perbatasan dibandingkan dengan penduduk di negeri jiran maupun dengan penduduk Indonesia lainnya yang tidak tinggal di daerah perbatasan.

Dalam penelitian ini, daerah perbatasan yang dikaji adalah :

1) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan darat dengan negara bagian Serawak di Malaysia Timur.

2) Kabupaten Belu dan Kab. Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan darat dengan negara Timor Leste.

3) Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, Provinsi Papua yang, berbatasan darat dengan negara Papua New Guinea (PNG).

Kemudian, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi keamanan dan kesejahteraan penduduk Indonesia di daerah perbatasan di Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua?

2. Bagaimanakah dampak migrasi dan mobilitas penduduk terhadap keamanan di daerah perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua baik keamanan dalam artian tradisional maupun non tradisional?

C. TUJUAN ANALISIS

1. Mendapatkan pengetahuan dan informasi terkait dengan situasi keamanan dan kesejahteraan penduduk Indonesia di daerah perbatasan di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

2. Memperoleh pemahaman tentang dampak migrasi dan mobilitas penduduk terhadap keamanan di daerah perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua baik keamanan dalam artian tradisional maupun non tradisional.

10Arif Havas Oegroseno, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia dalam Jurnal Hukum Internasional FHUI, Vol. 6 No. 3 April 2009, hal. 307.

11 Ibid., hal. 310.

Page 21: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

12Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 13Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrase, atau registrasi

10kepemilikan dengan hukum yang jelas.

Esensi keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan klaim Malaysia, menurut Arif Havas Oegroseno adalah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa Negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administrative lainnya tentang pulau tersebut

11terlepas dari isi kegiatannya.

Pelajaran berikutnya adalah kasus Pulau Miangas di Sulawesi Utara. Pulau ini adalah pulau terluar Indonesia yang hanya berjarak 78 mil dari Davao City – Mindanao, Philippines dan sebaliknya berjarak 324 mil dari Manado, Sulawesi Utara ini, sempat menuai masalah pada bulan Mei 2005. Sebabnya adalah kasus kematian Sekretaris Desa, Jhonly Awala di tangan kepala polisi setempat yang berujung pada pembangkangan terhadap pemerintah RI. Bendera merah putih diturunkan dan diganti bendera negara Philippines. Rupanya kematian ini hanya salah satu pemicu saja, karena sudah lama rakyat setempat yang hanya berjumlah 982 jiwa hidup secara terisolir. Tanpa listrik, tanpa hiburan, tanpa alat komunikasi. Mereka merasa lebih dekat dengan Philippines daripada Indonesia. Apalagi, sebagian besar mereka memang mempunyai keluarga di Mindanao, Philippines dan transaksi sehari-harinya menggunakan mata uang Philippines Pesos daripada Rupiah Indonesia.

Berdasarkan ilustrasi-ilustrasi di atas, nyatalah bahwa masalah perbatasan tidak semata-mata masalah keamanan militer (hankam) saja. Namun juga masalah keamanan manusia (human security) yang lain, apakah bernama keamanan ekonomi, keamanan pangan, keamanan kesehatan, keamanan pangan, dan lain-lain. Berapa banyakpun jumlah tentara ditugaskan menjaga perbatasan, apabila masalah kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial tak tuntas ditangani Negara Indonesia maka potensi terjadinya pelanggaran-pelanggaran terhadap perbatasan fisik dan meletupnya konflik-konflik sosial di perbatasan akan selalu ada.

B. PERMASALAHAN

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, menyeruak permasalahan yang amat krusial terkait dengan kondisi penduduk Indonesia yang tinggal di sekitar perbatasan, utamanya perbatasan darat Indonesia. Apakah yang berbatasan fisik dengan Malaysia di Kalimantan, dengan Timor Leste di Pulau Timor, maupun dengan Papua New Guinea di Pulau Papua. Permasalahan tersebut amat menarik untuk dikaji, utamanya untuk melihat kondisi kesejahteraan dan keamanan penduduk Indonesia di perbatasan dibandingkan dengan penduduk di negeri jiran maupun dengan penduduk Indonesia lainnya yang tidak tinggal di daerah perbatasan.

Dalam penelitian ini, daerah perbatasan yang dikaji adalah :

1) Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat yang berbatasan darat dengan negara bagian Serawak di Malaysia Timur.

2) Kabupaten Belu dan Kab. Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan darat dengan negara Timor Leste.

3) Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom, Provinsi Papua yang, berbatasan darat dengan negara Papua New Guinea (PNG).

Kemudian, pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan adalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kondisi keamanan dan kesejahteraan penduduk Indonesia di daerah perbatasan di Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Papua?

2. Bagaimanakah dampak migrasi dan mobilitas penduduk terhadap keamanan di daerah perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua baik keamanan dalam artian tradisional maupun non tradisional?

C. TUJUAN ANALISIS

1. Mendapatkan pengetahuan dan informasi terkait dengan situasi keamanan dan kesejahteraan penduduk Indonesia di daerah perbatasan di Kalimantan Barat, Nusa Tenggara Timur dan Papua.

2. Memperoleh pemahaman tentang dampak migrasi dan mobilitas penduduk terhadap keamanan di daerah perbatasan di Kaltim, NTT dan Papua baik keamanan dalam artian tradisional maupun non tradisional.

10Arif Havas Oegroseno, Status Hukum Pulau-Pulau Terluar Indonesia dalam Jurnal Hukum Internasional FHUI, Vol. 6 No. 3 April 2009, hal. 307.

11 Ibid., hal. 310.

Page 22: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

14Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 15Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

D. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif empiris dengan pendekatan analisis kualitatif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) maupun data lapangan (data primer) yang dilakukan melalui wawancara, FGD dengan narasumber terkait dan juga observasi. Narasumber penelitian ini adalah pegawai pemerintah maupun akademisi dan swasta yang terkait dan berhubungan dengan masalah kependudukan, migrasi, keamanan di perbatasan dan pemerintahan/pembangunan.

Pengumpulan data dan triangulasi dilakukan di Provinsi-Provinsi berbatasan darat dengan negara asing yaitu :

1. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste. Penelitian dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan dengan distrik Oecussi dan di Kabupaten Belu yang berbatasan dengan distrik Maliana di Timor Leste. Focus Group Discussions diadakan di Atambua (Kec. Belu) dan di Kefamenanu (Kab. Timor Tengah Utara). Site visit dilakukan ke distrik Oecussi maupun ke Mota Ain yang berbatasan dengan Batugade di Timor Leste.

2. Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Negara Bagian Serawak di Malaysia Timur. Penelitian dilakukan di Kota Sanggau (FGD) dan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau yang berbatasan dengan Tebedu di Serawak, serta site visit dilakukan ke Kecamatan Entikong dan Tebedu di Serawak.

3. Provinsi Papua yang berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), Penelitian dilakukan di Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura dengan melakukan wawancara dan FGD. Site visit dilakukan ke border Skouw di Kabupaten Jayapura.

Di masing-masing Provinsi tersebut, pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan Focus Group Discussion (FGD) dilakukan utamanya dengan :

a) Badan Kependudukan

b) Kepolisian

c) KODIM atau Koramil Setempat

d) Pemda Setempat (Kecamatan/Kelurahan)

e) Dinas Sosial

f) Dinas Kesehatan

g) Dinas Pendidikan

h) SKPD Pengelola Perbatasan

i) BPS

j) dan lain-lain

E. KERANGKA TEORI DAN ANALISIS

1. Human Security dan Comprehensive Security

Ketika berbicara tentang keamanan dan kesejahteraan penduduk di perbatasan Indonesia, haruslah berangkat dari paradigma keamanan seperti apa yang dianut dan berlaku dalam kajian ini.

Kajian ini menggunakan paradigm keamanan manusia (human security) sebagai suatu pendekatan keamanan non tradisional. Sebagai alternative dari pendekatan keamanan konvensional/tradisional yang semata-mata mengedepankan keamanan dalam perspektif keamanan fisik dan kemiliteran belaka.

Paradigma human security ini seringkali diposisikan berpasangan dan senafas dengan comprehensive security, sebagai pendekatan yang memandang keamanan tidak semata-mata dari perspektif kemiliteran namun juga non militer.

Konsep human security muncul antara lain melalui laporan badan PBB UNDP (United Nations Development Program) pada tahun 1994. Pemikiran utama dari konsep ini adalah bahwa berakhirnya perang dingin seharusnya mengubah juga paradigma keamanan dari keamanan nuklir menuju keamanan manusia. Badan PBB ini berpendapat bahwa konflik yang terjadi saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara (international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih banyak dari kehidupan sehari-hari daripada akibat peristiwa dunia tertentu. Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan? tak akan kehilangan pekerjaan? Aman berjalan di jalan umum? Akankah mereka menjadi korban karena status gender-nya? Akankah asal usul agama atau etnis mereka akan

Page 23: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

14Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 15Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

D. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif empiris dengan pendekatan analisis kualitatif. Data diperoleh melalui studi kepustakaan (library research) maupun data lapangan (data primer) yang dilakukan melalui wawancara, FGD dengan narasumber terkait dan juga observasi. Narasumber penelitian ini adalah pegawai pemerintah maupun akademisi dan swasta yang terkait dan berhubungan dengan masalah kependudukan, migrasi, keamanan di perbatasan dan pemerintahan/pembangunan.

Pengumpulan data dan triangulasi dilakukan di Provinsi-Provinsi berbatasan darat dengan negara asing yaitu :

1. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang berbatasan dengan Timor Leste. Penelitian dilakukan di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan dengan distrik Oecussi dan di Kabupaten Belu yang berbatasan dengan distrik Maliana di Timor Leste. Focus Group Discussions diadakan di Atambua (Kec. Belu) dan di Kefamenanu (Kab. Timor Tengah Utara). Site visit dilakukan ke distrik Oecussi maupun ke Mota Ain yang berbatasan dengan Batugade di Timor Leste.

2. Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Negara Bagian Serawak di Malaysia Timur. Penelitian dilakukan di Kota Sanggau (FGD) dan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau yang berbatasan dengan Tebedu di Serawak, serta site visit dilakukan ke Kecamatan Entikong dan Tebedu di Serawak.

3. Provinsi Papua yang berbatasan dengan Papua New Guinea (PNG), Penelitian dilakukan di Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura dengan melakukan wawancara dan FGD. Site visit dilakukan ke border Skouw di Kabupaten Jayapura.

Di masing-masing Provinsi tersebut, pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan Focus Group Discussion (FGD) dilakukan utamanya dengan :

a) Badan Kependudukan

b) Kepolisian

c) KODIM atau Koramil Setempat

d) Pemda Setempat (Kecamatan/Kelurahan)

e) Dinas Sosial

f) Dinas Kesehatan

g) Dinas Pendidikan

h) SKPD Pengelola Perbatasan

i) BPS

j) dan lain-lain

E. KERANGKA TEORI DAN ANALISIS

1. Human Security dan Comprehensive Security

Ketika berbicara tentang keamanan dan kesejahteraan penduduk di perbatasan Indonesia, haruslah berangkat dari paradigma keamanan seperti apa yang dianut dan berlaku dalam kajian ini.

Kajian ini menggunakan paradigm keamanan manusia (human security) sebagai suatu pendekatan keamanan non tradisional. Sebagai alternative dari pendekatan keamanan konvensional/tradisional yang semata-mata mengedepankan keamanan dalam perspektif keamanan fisik dan kemiliteran belaka.

Paradigma human security ini seringkali diposisikan berpasangan dan senafas dengan comprehensive security, sebagai pendekatan yang memandang keamanan tidak semata-mata dari perspektif kemiliteran namun juga non militer.

Konsep human security muncul antara lain melalui laporan badan PBB UNDP (United Nations Development Program) pada tahun 1994. Pemikiran utama dari konsep ini adalah bahwa berakhirnya perang dingin seharusnya mengubah juga paradigma keamanan dari keamanan nuklir menuju keamanan manusia. Badan PBB ini berpendapat bahwa konflik yang terjadi saat ini lebih banyak di dalam negara (within nations) daripada antar negara (international conflicts). Bagi banyak orang, perasaan tidak aman lahir lebih banyak dari kehidupan sehari-hari daripada akibat peristiwa dunia tertentu. Misalnya, apakah mereka memiliki cukup makan? tak akan kehilangan pekerjaan? Aman berjalan di jalan umum? Akankah mereka menjadi korban karena status gender-nya? Akankah asal usul agama atau etnis mereka akan

Page 24: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

16Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 17Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan? Pada analis finalnya, human security adalah identik dengan anak-anak yang tidak mati, penyakit yang tidak menyebar, pekerjaan yang tidak dihentikan, konflik etnis yang tidak berujung pada kekerasan. Human security tidak berurusan dengan senjata.

12Lebih berurusan pada kehidupan manusia dan martabatnya.

Laporan UNDP 1994 menekankan pemaknaan human security sebagai sesuatu yang universal. Relevan dengan semua manusia dimanapun. Karena ancaman keamanan dalam human security bersifat umum. Dimanapun terjadi tak memandang tapal batas negara. Human security memusatkan perhatian pada manusia (people-centered) dan bukan negara (state-centered), dengan memaknai keamanan pada tujuh wilayah yaitu : keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security), kesehatan (health security), lingkungan (environmental security), pribadi/individu (personal security), komunitas (community security) dan politik (political security).

Konsep ini juga mengidentifikasi enam ancaman terhadap human security yaitu :

1. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali;

2. Disparitas peluang-peluang ekonomi;

3. Tekanan migrasi penduduk;

4. Degradasi lingkungan;

5. Perdagangan narkotika; dan

6. Terorisme internasional.

2. Konsepsi Keamanan Indonesia

Dalam melacak konsepsi keamanan nasional Indonesia, paling tidak dapat dilakukan dengan mengetahui doktrin dan perundang-undangan yang menjadi landasan. Doktrin utama dari keamanan nasional adalah ketahanan nasional (national resilience).

Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan

bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

Doktrin ketahanan nasional mencakup organisasi dan implementasi dari suatu keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan bangsa, yang secara holistik meliputi semua aspek yang berlandaskan filosofi bangsa, ideologi negara, konstitusi dan identitas nasional melalui metode ASTAGATRA.

Astagatra terdiri dari delapan aspek yang terbagi atas Pancagatra (lima aspek sosial) dan Trigatra (tiga aspek alamiah).

Pancagatra adalah integrasi dari faktor-faktor dinamis berikut:

(1) ideologi;

(2) politik;

(3) ekonomi;

(4) sosial budaya; dan

(5) pertahanan dan keamanan

Trigatra berfokus pada relasi antara tiga aspek alamiah Indonesia yaitu:

(1) keistimewaan geografis Indonesia;

(2) sumber daya alam; dan

(3) potensi dan kemampuan rakyat.

Doktrin ketahanan nasional lebih memandang ke dalam (inward-looking), atau tertuju pada bangsa Indonesia sendiri. Tujuan utamanya adalah pencapaian identitas dan karakter nasional melalui ketahanan pribadi. Hal ini tidak berarti bahwa bangsa Indonesia menerapkan nasionalisme yang sempit atau mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Karakteristik memandang ke dalam (inward-looking) berjalan searah dengan pemeliharaan hubungan internasional (Anwar, 2000 : 85).

12http://hdr.undp.org/en/media/NHDR_Human_Security_GN.pdf

Page 25: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

16Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 17Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

menyebabkan mereka menjadi korban penyiksaan? Pada analis finalnya, human security adalah identik dengan anak-anak yang tidak mati, penyakit yang tidak menyebar, pekerjaan yang tidak dihentikan, konflik etnis yang tidak berujung pada kekerasan. Human security tidak berurusan dengan senjata.

12Lebih berurusan pada kehidupan manusia dan martabatnya.

Laporan UNDP 1994 menekankan pemaknaan human security sebagai sesuatu yang universal. Relevan dengan semua manusia dimanapun. Karena ancaman keamanan dalam human security bersifat umum. Dimanapun terjadi tak memandang tapal batas negara. Human security memusatkan perhatian pada manusia (people-centered) dan bukan negara (state-centered), dengan memaknai keamanan pada tujuh wilayah yaitu : keamanan ekonomi (economic security), makanan (food security), kesehatan (health security), lingkungan (environmental security), pribadi/individu (personal security), komunitas (community security) dan politik (political security).

Konsep ini juga mengidentifikasi enam ancaman terhadap human security yaitu :

1. Pertumbuhan penduduk yang tak terkendali;

2. Disparitas peluang-peluang ekonomi;

3. Tekanan migrasi penduduk;

4. Degradasi lingkungan;

5. Perdagangan narkotika; dan

6. Terorisme internasional.

2. Konsepsi Keamanan Indonesia

Dalam melacak konsepsi keamanan nasional Indonesia, paling tidak dapat dilakukan dengan mengetahui doktrin dan perundang-undangan yang menjadi landasan. Doktrin utama dari keamanan nasional adalah ketahanan nasional (national resilience).

Ketahanan Nasional adalah suatu kondisi dinamis suatu bangsa yang terdiri atas ketangguhan serta keuletan dan kemampuan untuk mengembangkan kekuatan nasional dalam menghadapi segala macam dan

bentuk ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan baik yang datang dari dalam maupun luar, secara langsung maupun yang tidak langsung yang mengancam dan membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan dalam mewujudkan tujuan perjuangan nasional.

Doktrin ketahanan nasional mencakup organisasi dan implementasi dari suatu keseimbangan antara keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan bangsa, yang secara holistik meliputi semua aspek yang berlandaskan filosofi bangsa, ideologi negara, konstitusi dan identitas nasional melalui metode ASTAGATRA.

Astagatra terdiri dari delapan aspek yang terbagi atas Pancagatra (lima aspek sosial) dan Trigatra (tiga aspek alamiah).

Pancagatra adalah integrasi dari faktor-faktor dinamis berikut:

(1) ideologi;

(2) politik;

(3) ekonomi;

(4) sosial budaya; dan

(5) pertahanan dan keamanan

Trigatra berfokus pada relasi antara tiga aspek alamiah Indonesia yaitu:

(1) keistimewaan geografis Indonesia;

(2) sumber daya alam; dan

(3) potensi dan kemampuan rakyat.

Doktrin ketahanan nasional lebih memandang ke dalam (inward-looking), atau tertuju pada bangsa Indonesia sendiri. Tujuan utamanya adalah pencapaian identitas dan karakter nasional melalui ketahanan pribadi. Hal ini tidak berarti bahwa bangsa Indonesia menerapkan nasionalisme yang sempit atau mengisolasi diri dari pergaulan internasional. Karakteristik memandang ke dalam (inward-looking) berjalan searah dengan pemeliharaan hubungan internasional (Anwar, 2000 : 85).

12http://hdr.undp.org/en/media/NHDR_Human_Security_GN.pdf

Page 26: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

18Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 19Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Mantan presiden Soeharto menyebutkan bahwa ketahanan nasional adalah satu-satunya jawaban terhadap tantangan konflik di dunia saat ini, karena ketahanan nasional meliputi:

(1) ketahanan ideologis;

(2) ketahanan ekonomi;

(3) ketahanan sosial; dan

(4) ketahanan militer.

Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non tradisional. Dalam pendekatan non tradisional, konsepsi keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini menilai bahwa keamanan tidak bisa hanya diletakkan dalam perspektif kedaulatan nasional dan kekuatan militer. Konsepsi keamanan juga ditujukan kepada upaya menjamin keamanan warga negara/keamanan manusianya (Al Araf & Ali abbas, 2007).

Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan critical securiy studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak asumsi bahwa keamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa pondasi dari keamanan adalah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi (Collins, 2005).

Meminjam pendapat Booth, Collins berargumen bahwa keamanan tercipta ketika terjadi pembebasan manusia dari keterbatasan-keterbatasannya. Keterbatasan tersebut dapat bersifat struktural yang dipengaruhi oleh sistem internasional, maupun keterbatasan yang diciptakan oleh elit-elit politik.

Pembatasan struktural termasuk misalnya dalam sistem perdagangan internasional yang cenderung memihak negara maju. Keterbatasan yang diciptakan elit politik misalnya adalah diskriminasi terhadap kelompok

minoritas. Oleh karena itu, pencapaian kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu maupun kelompok mendapatkan keamanannya (Collins, 2005).

Sama halnya dengan negara. Negara yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi warganya dapat menciptakan masyarakat keamanan tersendiri, sekaligus mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana pemecahan masalah keamanan. Maka, bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear).. Bukan dengan cara memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat (Collins, 2005).

3. Konsepsi Kesejahteraan

Kesejahteraan ataupun kesejahteraan sosial yang diacu dalam kajian ini adalah seperti yang didefinisikan oleh UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut :

Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Acuan utama untuk membincangkan kesejahteraan dalam kajian ini adalah berangkat dari lima problem utama kesejahteraan sosial yang sering

13disebut sebagai 'five giant evils' oleh William Beveridge yaitu :

1. Wants (kemiskinan)

2. Squalor (pemukiman liar/ketiadaan hunian tetap)

13 Informasi lebih lanjut terkait dengan 'Five Giant Evils” dari William Beveridge tersedia di : http://www.slideshare.net/nola/the-welfare-state

Page 27: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

18Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 19Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Mantan presiden Soeharto menyebutkan bahwa ketahanan nasional adalah satu-satunya jawaban terhadap tantangan konflik di dunia saat ini, karena ketahanan nasional meliputi:

(1) ketahanan ideologis;

(2) ketahanan ekonomi;

(3) ketahanan sosial; dan

(4) ketahanan militer.

Perkembangan isu-isu strategis seperti globalisasi, demokratisasi, penegakan HAM dan fenomena terorisme telah memperluas cara pandang dalam melihat kompleksitas ancaman yang ada dan mempengaruhi perkembangan konsepsi keamanan. Ancaman tidak lagi hanya berupa ancaman militer tetapi juga meliputi ancaman politik, ancaman sosial, ancaman ekonomi, maupun ancaman ekologis. Permasalahan dan ancaman tersebut kemudian digolongkan menjadi bagian dari isu-isu keamanan non tradisional. Dalam pendekatan non tradisional, konsepsi keamanan lebih ditekankan kepada kepentingan keamanan pelaku-pelaku bukan negara (non-state actors). Konsepsi ini menilai bahwa keamanan tidak bisa hanya diletakkan dalam perspektif kedaulatan nasional dan kekuatan militer. Konsepsi keamanan juga ditujukan kepada upaya menjamin keamanan warga negara/keamanan manusianya (Al Araf & Ali abbas, 2007).

Pemikiran yang kurang lebih sama dikembangkan oleh pendekatan critical securiy studies (studi keamanan kritis). Pendekatan ini menolak asumsi bahwa keamanan dicapai melalui akumulasi kekuatan. Sebaliknya, ia beranggapan bahwa pondasi dari keamanan adalah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi (Collins, 2005).

Meminjam pendapat Booth, Collins berargumen bahwa keamanan tercipta ketika terjadi pembebasan manusia dari keterbatasan-keterbatasannya. Keterbatasan tersebut dapat bersifat struktural yang dipengaruhi oleh sistem internasional, maupun keterbatasan yang diciptakan oleh elit-elit politik.

Pembatasan struktural termasuk misalnya dalam sistem perdagangan internasional yang cenderung memihak negara maju. Keterbatasan yang diciptakan elit politik misalnya adalah diskriminasi terhadap kelompok

minoritas. Oleh karena itu, pencapaian kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial, melalui penyediaan pendidikan, pengurangan kemiskinan, kebebasan dari tekanan politik, akan membuat individu maupun kelompok mendapatkan keamanannya (Collins, 2005).

Sama halnya dengan negara. Negara yang memberikan kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial bagi warganya dapat menciptakan masyarakat keamanan tersendiri, sekaligus mengeliminasi kekuatan bersenjata sebagai sarana pemecahan masalah keamanan. Maka, bagi Critical Security Studies, keamanan hadir ketika masyarakat terbebaskan dari kemiskinan (bebas berkeinginan/freedom from want) dan bebas dari ketakutan (freedom from fear).. Bukan dengan cara memantapkan stabilitas melalui daya paksa dan tata keamanan tertentu yang cenderung membatasi kebebasan masyarakat (Collins, 2005).

3. Konsepsi Kesejahteraan

Kesejahteraan ataupun kesejahteraan sosial yang diacu dalam kajian ini adalah seperti yang didefinisikan oleh UU No. 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, sebagai berikut :

Kesejahteraan Sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.

Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial adalah upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial.

Acuan utama untuk membincangkan kesejahteraan dalam kajian ini adalah berangkat dari lima problem utama kesejahteraan sosial yang sering

13disebut sebagai 'five giant evils' oleh William Beveridge yaitu :

1. Wants (kemiskinan)

2. Squalor (pemukiman liar/ketiadaan hunian tetap)

13 Informasi lebih lanjut terkait dengan 'Five Giant Evils” dari William Beveridge tersedia di : http://www.slideshare.net/nola/the-welfare-state

Page 28: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

20Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 21Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

3. Disease (penyakit)

4. Idleness (pengangguran)

5. Ignorance (kebodohan)

Dengan lain perkataan, lima masalah utama kesejahteraan sosial menurut William Beveridge adalah Kemiskinan, Perumahan, Kesehatan, Pengangguran dan Kebodohan.

Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan sosial dan pencapaian pembangunan adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yaitu :

The first Human Development Report introduced a new way of measuring development by combining indicators of life expectancy, educational attainment and income into a composite human development index, the HDI. The breakthrough for the HDI was the creation of a single statistic which was to serve as a frame of reference for both social and economic development. The HDI sets a minimum and a maximum for each dimension, called goalposts, and then shows where each country stands in relation to these goalposts, expressed as a value between 0 and 1.

4. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi

14a. Persentase Penduduk Buta Huruf

NO NAMA PROVINSIPERSENTASE PENDUDUK BUTA HURUF

TAHUN 2011 KELOMPOK UMUR 15-44 TAHUN

1 Kalimantan Barat 4.24

2 Nusa Tenggara Timur 5.81

3 Papua 34.83

4 DKI Jaya 0.45

5 INDONESIA 2.30

14 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan Indonesia.

NO NAMA PROVINSI SKOR IPM/HDI

1 Kalimantan Barat 69.15

2 Nusa Tenggara Timur 67.26

3 Papua 64.94

4 DKI Jaya 77.60

5 INDONESIA 72.27

15b. Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011

16c. Persentase Penduduk Miskin di Perdesaan tahun 2011

17d. Persentase IMR AKABA LE

NO NAMA PROVINSI PERSENTASE

1 Kalimantan Barat 9.6

2 Nusa Tenggara Timur 23.4

3 Papua 41.6

4 DKI Jaya 4.6

5 INDONESIA 15.7

NO NAMA PROVINSI IMR18 AKABA19 LIFE

EXPECTANCY20

1 Kalimantan Barat 46 59 66.60

2 Nusa Tenggara Timur 57 80 67.50

3 Papua 36 64 68.60

4 DKI Jaya 28 36 73.20

5 INDONESIA 34 44 69.43

15 Data Badan Pusat Statistik 2012

16 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan RI

17 Ibid.

18 Infant Mortality Rates

19 Angka Kematian Balita

20 Life Expectancy : Harapan Hidup

Page 29: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

20Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 21Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

3. Disease (penyakit)

4. Idleness (pengangguran)

5. Ignorance (kebodohan)

Dengan lain perkataan, lima masalah utama kesejahteraan sosial menurut William Beveridge adalah Kemiskinan, Perumahan, Kesehatan, Pengangguran dan Kebodohan.

Parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat kesejahteraan sosial dan pencapaian pembangunan adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yaitu :

The first Human Development Report introduced a new way of measuring development by combining indicators of life expectancy, educational attainment and income into a composite human development index, the HDI. The breakthrough for the HDI was the creation of a single statistic which was to serve as a frame of reference for both social and economic development. The HDI sets a minimum and a maximum for each dimension, called goalposts, and then shows where each country stands in relation to these goalposts, expressed as a value between 0 and 1.

4. Kesejahteraan Sosial di Tiga Provinsi

14a. Persentase Penduduk Buta Huruf

NO NAMA PROVINSIPERSENTASE PENDUDUK BUTA HURUF

TAHUN 2011 KELOMPOK UMUR 15-44 TAHUN

1 Kalimantan Barat 4.24

2 Nusa Tenggara Timur 5.81

3 Papua 34.83

4 DKI Jaya 0.45

5 INDONESIA 2.30

14 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan Indonesia.

NO NAMA PROVINSI SKOR IPM/HDI

1 Kalimantan Barat 69.15

2 Nusa Tenggara Timur 67.26

3 Papua 64.94

4 DKI Jaya 77.60

5 INDONESIA 72.27

15b. Indeks Pembangunan Manusia tahun 2011

16c. Persentase Penduduk Miskin di Perdesaan tahun 2011

17d. Persentase IMR AKABA LE

NO NAMA PROVINSI PERSENTASE

1 Kalimantan Barat 9.6

2 Nusa Tenggara Timur 23.4

3 Papua 41.6

4 DKI Jaya 4.6

5 INDONESIA 15.7

NO NAMA PROVINSI IMR18 AKABA19 LIFE

EXPECTANCY20

1 Kalimantan Barat 46 59 66.60

2 Nusa Tenggara Timur 57 80 67.50

3 Papua 36 64 68.60

4 DKI Jaya 28 36 73.20

5 INDONESIA 34 44 69.43

15 Data Badan Pusat Statistik 2012

16 Profil Kesehatan Indonesia 2011, Kementerian Kesehatan RI

17 Ibid.

18 Infant Mortality Rates

19 Angka Kematian Balita

20 Life Expectancy : Harapan Hidup

Page 30: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

22Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 23Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

TRADISIONAL

KEAMANAN

NON TRADISIONAL

HUMAN SECURITY HUMAN DEVELOPMENT

DAMPAK KEPENDUDUKAN

KESEJAHTERAAN PENDUDUK DI PERBATASAN

EKONOMI/PENDIDIKAN/KESEHATAN/PERMUKIMAN/KESEMPATAN KERJA

5. Kerangka Analisis BAB IIPERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS

MASALAH PERBATASAN

Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau state's border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.

Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebutkan bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah dibangun oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan

21perendahan harkat dan kebebasan manusia.

O.J. Martinez sebagaimana dikutip Riwanto Tirtosudarmo 22mengkatagorikan ada empat tipe perbatasan :

·Alienated borderland : suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik.

·Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya strategis di perbatasan.

·Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan

21 Heru Susetyo, op.cit.

22 Lihat Rizal Darmaputra, Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Masyarakat Sipil : Sebuah ToolKit (Jakarta, IDSPS : 2009).

Page 31: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

22Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 23Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

TRADISIONAL

KEAMANAN

NON TRADISIONAL

HUMAN SECURITY HUMAN DEVELOPMENT

DAMPAK KEPENDUDUKAN

KESEJAHTERAAN PENDUDUK DI PERBATASAN

EKONOMI/PENDIDIKAN/KESEHATAN/PERMUKIMAN/KESEMPATAN KERJA

5. Kerangka Analisis BAB IIPERBATASAN DAN KOMPLEKSITAS

MASALAH PERBATASAN

Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau state's border dibentuk dengan lahirnya negara. Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda.

Riwanto Tirtosudarmo, mengutip Ricklefs (1981), menyebutkan bahwa perbatasan dari negara yang kini bernama Indonesia adalah dibangun oleh kekuatan militer kolonial (Belanda) dengan mengorbankan nyawa manusia, uang, perusakan lingkungan, perenggangan ikatan sosial dan

21perendahan harkat dan kebebasan manusia.

O.J. Martinez sebagaimana dikutip Riwanto Tirtosudarmo 22mengkatagorikan ada empat tipe perbatasan :

·Alienated borderland : suatu wilayah perbatasan yang tidak terjadi aktifitas lintas batas, sebagai akibat berkecamuknya perang, konflik, dominasi nasionalisme, kebencian ideologis, permusuhan agama, perbedaan kebudayaan dan persaingan etnik.

·Coexistent borderland; suatu wilayah perbatasan dimana konflik lintas batas bisa ditekan sampai ke tingkat yang bisa dikendalikan meskipun masih muncul persoalan yang terselesaikan misalnya yang berkaitan dengan masalah kepemilikan sumberdaya strategis di perbatasan.

·Interdependent borderland; suatu wilayah perbatasan yang di kedua sisinya secara simbolik dihubungkan oleh hubungan

21 Heru Susetyo, op.cit.

22 Lihat Rizal Darmaputra, Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Masyarakat Sipil : Sebuah ToolKit (Jakarta, IDSPS : 2009).

Page 32: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

24Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 25Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah.

·Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah pesekutuan yang erat.

Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk di antara tipe kedua dan ketiga yaitu Coexistent dan Interdependent borderland. Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari Kalimantan Utara-Malaysia adalah sejauh 2004 kilometer, kemudian di Nusa Tenggara Timur-Timor Leste sejauh 240 kilometer, dan di Papua-Papua New

23Guinea sepanjang 760 kilometer.

Dalam Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, maka pengelolaan perbatasan, dimaknai sebagai upaya bagaimana menggerakkan orang-orang dan potensi kawasan perbatasan melalui penetapan kebijakan perencanaan program, penyusunan kebutuhan anggaran, koordinasi pelaksanaan, serta evaluasi dan pengawasan atas penanganan BATAS WILAYAH NEGARA dan KAWASAN PERBATASAN

24untuk mencapai tujuan sebagaimana telah ditetapkan.

Sesuai dengan Grand Design pengelolaan atas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan secara prinsipil diarahkan untuk mencapai tujuan utama pengelolaan perbatasan, yakni (1) Menjaga integrasi NKRI sebagai amanat konstitusi; (2) Membangun kawasan perbatasan secara berimbang, terpadu, dan komprehensif untuk kesejahteraan rakyat; (3) Mengukuhkan kapasitas Indonesia di wilayah perbatasan dalam konteks persaingan global.

23 Heru Susetyo, op.cit.

24 Lihat http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Disamping pengelolaan batas wilayah Negara, diperlukan pula keberpihakan dan perhatian khusus terhadap upaya pembangunan wilayah-wilayah di sepanjang sisi dalam garis batas, atau kawasan perbatasan, untuk menjamin tetap terpeliharanya kedaulatan Negara, keamanan wilayah, dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan terkait dengan beberapa dokumen peraturan perundangan nasional antara lain: Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara; Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Perundang-undangan sebagaimana tersebut, memiliki keterkaitan erat dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta mencerminkan adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan dari yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Di samping itu, pendekatan pengelolaan perbatasan Negara pun, terefleksi nampak adanya pergeseran dengan mengedepankan kombinasi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) yang dilaksanakan secara serasi dengan pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan

25lingkungan (environment approach).

Sebagai perwujudan dari pergeseran paradigma tersebut, dari sisi penataan spasial nasional, kawasan perbatasan telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dari sudut pandang pertahanan dan keamanan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi, karena memiliki nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah Negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional terdapat 26 PKSN yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan negara, yang letaknya berada di wilayah administrasi pemerintahan daerah otonom Provinsi dan kabupaten/kota tersebar di 11 Provinsi. Mengingat keberadaannya yang demikian, maka pengelolaan wilayah perbatasan dan PKSN di dalamnya, tidak dapat dilepaskan dengan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi

25 Ibid.

Page 33: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

24Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 25Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

internasional yang relatif stabil. Penduduk di kedua bagian daerah perbatasan, juga di kedua negara terlibat dalam berbagai kegiatan perekonomian yang saling menguntungkan dan kurang lebih dalam tingkat yang setara, misalnya salah satu pihak mempunyai fasilitas produksi sementara yang lain memiliki tenaga kerja yang murah.

·Integrated borderland; suatu wilayah perbatasan yang kegiatan ekonominya merupakan sebuah kesatuan, nasionalisme jauh menyurut pada kedua negara dan keduanya tergabung dalam sebuah pesekutuan yang erat.

Mengacu pada tipologi Martinez di atas, Riwanto Tirtosudarmo mengkatagorikan wilayah perbatasan Indonesia dan Malaysia termasuk di antara tipe kedua dan ketiga yaitu Coexistent dan Interdependent borderland. Panjang garis perbatasan yang dimiliki Indonesia seperti yang terbentang dari Kalimantan Utara-Malaysia adalah sejauh 2004 kilometer, kemudian di Nusa Tenggara Timur-Timor Leste sejauh 240 kilometer, dan di Papua-Papua New

23Guinea sepanjang 760 kilometer.

Dalam Undang-undang No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, maka pengelolaan perbatasan, dimaknai sebagai upaya bagaimana menggerakkan orang-orang dan potensi kawasan perbatasan melalui penetapan kebijakan perencanaan program, penyusunan kebutuhan anggaran, koordinasi pelaksanaan, serta evaluasi dan pengawasan atas penanganan BATAS WILAYAH NEGARA dan KAWASAN PERBATASAN

24untuk mencapai tujuan sebagaimana telah ditetapkan.

Sesuai dengan Grand Design pengelolaan atas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan secara prinsipil diarahkan untuk mencapai tujuan utama pengelolaan perbatasan, yakni (1) Menjaga integrasi NKRI sebagai amanat konstitusi; (2) Membangun kawasan perbatasan secara berimbang, terpadu, dan komprehensif untuk kesejahteraan rakyat; (3) Mengukuhkan kapasitas Indonesia di wilayah perbatasan dalam konteks persaingan global.

23 Heru Susetyo, op.cit.

24 Lihat http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Disamping pengelolaan batas wilayah Negara, diperlukan pula keberpihakan dan perhatian khusus terhadap upaya pembangunan wilayah-wilayah di sepanjang sisi dalam garis batas, atau kawasan perbatasan, untuk menjamin tetap terpeliharanya kedaulatan Negara, keamanan wilayah, dan kesejahteraan masyarakat setempat.

Pengelolaan batas wilayah dan kawasan perbatasan terkait dengan beberapa dokumen peraturan perundangan nasional antara lain: Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara; Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; dan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Perundang-undangan sebagaimana tersebut, memiliki keterkaitan erat dengan upaya percepatan penyelesaian batas wilayah negara, serta mencerminkan adanya pergeseran paradigma dan arah kebijakan pembangunan kawasan perbatasan dari yang selama ini cenderung berorientasi “inward looking”, menjadi “outward looking” sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Di samping itu, pendekatan pengelolaan perbatasan Negara pun, terefleksi nampak adanya pergeseran dengan mengedepankan kombinasi pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) yang dilaksanakan secara serasi dengan pendekatan keamanan (security approach) dan pendekatan

25lingkungan (environment approach).

Sebagai perwujudan dari pergeseran paradigma tersebut, dari sisi penataan spasial nasional, kawasan perbatasan telah ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) dari sudut pandang pertahanan dan keamanan serta peningkatan pertumbuhan ekonomi, karena memiliki nilai strategis dalam menjaga integritas wilayah Negara dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional terdapat 26 PKSN yang ditetapkan untuk mendorong pengembangan kawasan negara, yang letaknya berada di wilayah administrasi pemerintahan daerah otonom Provinsi dan kabupaten/kota tersebar di 11 Provinsi. Mengingat keberadaannya yang demikian, maka pengelolaan wilayah perbatasan dan PKSN di dalamnya, tidak dapat dilepaskan dengan berbagai urusan pemerintahan yang menjadi

25 Ibid.

Page 34: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

26Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 27Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

kewenangan daerah otonom, baik Provinsi mau pun kabupaten/kota. Sebuah kawasan perbatasan, membutuhkan model pengelolaan yang mampu mensinergikan antar kewenangan (pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota) yang direfleksikan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria tertentu

26terkait pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

Pengelolaan perbatasan di Indonesia, hingga saat ini masih dihadapkan pada dua isu strategis dengan variasi permasalahan yang menonjol di dalamnya, yaitu isu pengelolaan batas wilayah Negara dan isu pengelolaan kawasan perbatasan yang secara UU telah dengan amat jelas mengamanatkan untuk membangunnya secara sungguh-sungguh dan menjadikannya sebagai halaman depan bangsa.

Sesuai arahan dalam Grand Design Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); perbatasan memiliki ruang lingkup penanganan yang mencakup dua sasaran strategis yaitu : Pengelolaan batas wilayah antar

27negara; dan Pengelolaan kawasan perbatasan.

Pengelolaan batas wilayah pada dasarnya memuat berbagai langkah strategis untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas wilayah negara serta batas-batas terluar perairan yurisdiksi dengan negara tetangga, pengamanan batas wilayah di darat dan di laut, serta reformasi manajemen pengelolaan lintas batas. Sedangkan pengelolaan kawasan perbatasan pada dasarnya terkait dengan berbagai langkah strategis untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pembangunan wilayah secara berimbang dan berkelanjutan.

Sasaran wilayah (geographical target) pengelolaan batas wilayah darat diarahkan pada segmen-segmen batas darat dengan negara tetangga (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) baik yang sudah disepakati maupun yang belum disepakati. Sedangkan pengelolaan batas maritim diarahkan pada Batas Laut Teritorial (BLT) dan batas-batas perairan yurisdiksi, yakni Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen

28(BLK).

26 Ibid.

27 Harmen Batubara, Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Grand Design BNPP, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/pengelolaan-perbatasan-dalam-persfektip-grand-design-bnpp/

28 Ibid.

Penetapan prioritas pengelolaan batas wilayah dilakukan dengan memperhatikan batas-batas yang belum disepakati atau disengketakan dengan Negara tetangga serta isu-isu strategis terkait dengan aspek lintas batas negara.

1. Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Sasaran wilayah pengelolaan kawasan perbatasan diarahkan pada Wilayah-wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP), yaitu kabupaten/kota yang berada di dalam Cakupan Kawasan Perbatasan (CKP), baik yang berada di kawasan darat maupun laut. Penentuan prioritas WKP ditetapkan dengan memperhatikan isu-isu strategis di setiap WKP dalam aspek pertahanan, sosial budaya, dan ekonomi. Fokus lokasi penanganan yang diprioritaskan di setiap WKP disebut dengan Lokasi Prioritas (Lokpri), yakni kecamatan-kecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP

29yang memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria sebagai berikut :

a) Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga di wilayah darat.

Sesuai dengan UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan Negara lain, dalam hal batas wilayah Negara di darat, kawasan perbatasn berada di kecamatan. Hasil identifikasi (2010), terdapat 197 kecamatan yang berada pada kawasan perbatasan Negara.

b) Kecamatan Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar;

Untuk kawasan perbatasan laut, berbeda konsepnya dengan perbatasan darat yang menempatkan kecamatan pada sisi dalam sepanjang perbatasan wilayah Negara. Untuk kawasan perbatasan laut, diperhitungkan dengan memposisikan kecamatan yang menjadi lokasi pulau-pulau kecil terluar yaitu : Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Bras, Pulau Fanildo, Pulau Fani, Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Nipah.

29 Ibid.

Page 35: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

26Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 27Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

kewenangan daerah otonom, baik Provinsi mau pun kabupaten/kota. Sebuah kawasan perbatasan, membutuhkan model pengelolaan yang mampu mensinergikan antar kewenangan (pusat, Provinsi, dan kabupaten/kota) yang direfleksikan dalam norma, standar, prosedur, dan kriteria tertentu

26terkait pengelolaan batas wilayah negara dan kawasan perbatasan.

Pengelolaan perbatasan di Indonesia, hingga saat ini masih dihadapkan pada dua isu strategis dengan variasi permasalahan yang menonjol di dalamnya, yaitu isu pengelolaan batas wilayah Negara dan isu pengelolaan kawasan perbatasan yang secara UU telah dengan amat jelas mengamanatkan untuk membangunnya secara sungguh-sungguh dan menjadikannya sebagai halaman depan bangsa.

Sesuai arahan dalam Grand Design Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP); perbatasan memiliki ruang lingkup penanganan yang mencakup dua sasaran strategis yaitu : Pengelolaan batas wilayah antar

27negara; dan Pengelolaan kawasan perbatasan.

Pengelolaan batas wilayah pada dasarnya memuat berbagai langkah strategis untuk menetapkan dan menegaskan batas-batas wilayah negara serta batas-batas terluar perairan yurisdiksi dengan negara tetangga, pengamanan batas wilayah di darat dan di laut, serta reformasi manajemen pengelolaan lintas batas. Sedangkan pengelolaan kawasan perbatasan pada dasarnya terkait dengan berbagai langkah strategis untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pembangunan wilayah secara berimbang dan berkelanjutan.

Sasaran wilayah (geographical target) pengelolaan batas wilayah darat diarahkan pada segmen-segmen batas darat dengan negara tetangga (Malaysia, Papua New Guinea dan Timor Leste) baik yang sudah disepakati maupun yang belum disepakati. Sedangkan pengelolaan batas maritim diarahkan pada Batas Laut Teritorial (BLT) dan batas-batas perairan yurisdiksi, yakni Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dan Batas Landas Kontinen

28(BLK).

26 Ibid.

27 Harmen Batubara, Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Grand Design BNPP, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/pengelolaan-perbatasan-dalam-persfektip-grand-design-bnpp/

28 Ibid.

Penetapan prioritas pengelolaan batas wilayah dilakukan dengan memperhatikan batas-batas yang belum disepakati atau disengketakan dengan Negara tetangga serta isu-isu strategis terkait dengan aspek lintas batas negara.

1. Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Sasaran wilayah pengelolaan kawasan perbatasan diarahkan pada Wilayah-wilayah Konsentrasi Pengembangan (WKP), yaitu kabupaten/kota yang berada di dalam Cakupan Kawasan Perbatasan (CKP), baik yang berada di kawasan darat maupun laut. Penentuan prioritas WKP ditetapkan dengan memperhatikan isu-isu strategis di setiap WKP dalam aspek pertahanan, sosial budaya, dan ekonomi. Fokus lokasi penanganan yang diprioritaskan di setiap WKP disebut dengan Lokasi Prioritas (Lokpri), yakni kecamatan-kecamatan di kawasan perbatasan darat dan laut di dalam WKP

29yang memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria sebagai berikut :

a) Kecamatan yang berbatasan langsung dengan Negara tetangga di wilayah darat.

Sesuai dengan UU No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan Negara lain, dalam hal batas wilayah Negara di darat, kawasan perbatasn berada di kecamatan. Hasil identifikasi (2010), terdapat 197 kecamatan yang berada pada kawasan perbatasan Negara.

b) Kecamatan Lokasi Pulau-Pulau Kecil Terluar;

Untuk kawasan perbatasan laut, berbeda konsepnya dengan perbatasan darat yang menempatkan kecamatan pada sisi dalam sepanjang perbatasan wilayah Negara. Untuk kawasan perbatasan laut, diperhitungkan dengan memposisikan kecamatan yang menjadi lokasi pulau-pulau kecil terluar yaitu : Pulau Rondo, Pulau Berhala, Pulau Sekatung, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Bras, Pulau Fanildo, Pulau Fani, Pulau Batek, Pulau Dana, dan Pulau Nipah.

29 Ibid.

Page 36: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

28Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 29Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

c) Kecamatan yang difungsikan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional;

Konsep pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan mengacu pada komitmen untuk menjadikan perbatasan sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional. Dengan rencana ini, maka pusat-pusat pengembangan kegiatan strategis nasional akan berada di kawasan gerbang perbatasan atau pada jaringan jalan utama menuju gerbang perbatasan. Pengembangan PKSN sebagai pintu gerbang dengan negara tetangga di perbatasan membutuhkan berbagai upaya lain yang strategis dan terpadu di pusat-pusat kawasan terutama percepatan pembangunan sarana dan prasarana dasar maupun pendukung pengembangan ekonomi maupun pelayanan publik.

d) Kecamatan yang menjadi exit-entry point (Pos Lintas Batas) berdasarkan Border Crossing Agreement

Pos Lintas Batas (PLB) adalah area yang berfungsi sebagai gerbang keluar-masuknya pelintas batas wilayah Negara (manusia atau barang) yang minimum dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu Customs, Immigration, Quarantine, dan Security (CIQS). Gambaran ideal mengenai PLB, sebagai sebuah area pelayanan terpadu pelintas batas, di dalamnya terdapat pos-pos pemeriksaan yang merefleksikan unsur CIQS. Keberadaan unsur pelayanan CIQS dalam PLB ini sifatnya terpadu, satu dengan lainnya saling terkait dalam sebuah system koordinasi PLB, yang didukung dengan sebuah satuan kerja atau unit pelayanan pendukung yang dapat memberikan supporting facilities dan kendali koordinasi di area tersebut. Berbagai kebutuhan lain, seperti kebutuhan pelayanan administrasi kependudukan pelintas batas misalnya, dapat diintegrasikan dalam Unit Pelayanan Pendukung (UPP-PLB) yang dioperasikan dalam lingkup kendali badan pengelola perbatasan daerah atau

30satuan kerja yang menjalankan fungsi pengelolaan perbatasan di daerah.

2. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan

Wilayah perbatasan merupakan salah satu kawasan yang strategis, yaitu kawasan yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,

30 Ibid.

lingkungan, maupun pertahanan keamanan. Wilayah perbatasan meliputi wilayah perbatasan yang ada di daratan, lautan, dan udara yang bersinggungan dengan negara tetangga.

Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara hanya merupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan pertahanan, terutama berkenaan dengan keberlangsungan kerjasama atau ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki kawasan perbatasan yang langsung bersinggungan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sensitifitas isu pengelolaan kawasan perbatasan Negara dapat berkembang menjadi permasalahan multilateral dan bahkan internasional. Disamping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah pihak yang lebih luas melalui berbagai mekanisme internasional.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 memberi acuan yang diperlukan sebagai kebijakan pengembangan daerah perbatasan. Di dalam UU tersebut ditegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk di dalamnya pendekatan kesejahteraan untuk pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya, disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan dan negara ke depan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan, optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau terdepan, serta koordinasi

31penanganan pelanggaran laut.

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, dituangkan amanah tentang arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, serta memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan

32keamanan (security).

31 Moeldoko, op.cit.

32 Ibid.

Page 37: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

28Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 29Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

c) Kecamatan yang difungsikan sebagai Pusat Kegiatan Strategis Nasional;

Konsep pengembangan Pusat Kegiatan Strategis Nasional (PKSN) di kawasan perbatasan mengacu pada komitmen untuk menjadikan perbatasan sebagai pusat pengembangan ekonomi regional dan nasional. Dengan rencana ini, maka pusat-pusat pengembangan kegiatan strategis nasional akan berada di kawasan gerbang perbatasan atau pada jaringan jalan utama menuju gerbang perbatasan. Pengembangan PKSN sebagai pintu gerbang dengan negara tetangga di perbatasan membutuhkan berbagai upaya lain yang strategis dan terpadu di pusat-pusat kawasan terutama percepatan pembangunan sarana dan prasarana dasar maupun pendukung pengembangan ekonomi maupun pelayanan publik.

d) Kecamatan yang menjadi exit-entry point (Pos Lintas Batas) berdasarkan Border Crossing Agreement

Pos Lintas Batas (PLB) adalah area yang berfungsi sebagai gerbang keluar-masuknya pelintas batas wilayah Negara (manusia atau barang) yang minimum dilengkapi fasilitas pelayanan terpadu Customs, Immigration, Quarantine, dan Security (CIQS). Gambaran ideal mengenai PLB, sebagai sebuah area pelayanan terpadu pelintas batas, di dalamnya terdapat pos-pos pemeriksaan yang merefleksikan unsur CIQS. Keberadaan unsur pelayanan CIQS dalam PLB ini sifatnya terpadu, satu dengan lainnya saling terkait dalam sebuah system koordinasi PLB, yang didukung dengan sebuah satuan kerja atau unit pelayanan pendukung yang dapat memberikan supporting facilities dan kendali koordinasi di area tersebut. Berbagai kebutuhan lain, seperti kebutuhan pelayanan administrasi kependudukan pelintas batas misalnya, dapat diintegrasikan dalam Unit Pelayanan Pendukung (UPP-PLB) yang dioperasikan dalam lingkup kendali badan pengelola perbatasan daerah atau

30satuan kerja yang menjalankan fungsi pengelolaan perbatasan di daerah.

2. Kompleksitas Masalah Pengelolaan Perbatasan

Wilayah perbatasan merupakan salah satu kawasan yang strategis, yaitu kawasan yang secara nasional menyangkut hajat hidup orang banyak, baik ditinjau dari sudut kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya,

30 Ibid.

lingkungan, maupun pertahanan keamanan. Wilayah perbatasan meliputi wilayah perbatasan yang ada di daratan, lautan, dan udara yang bersinggungan dengan negara tetangga.

Pada awalnya, permasalahan pengelolaan kawasan perbatasan negara hanya merupakan salah satu isu sensitif yang berdimensi politik dan pertahanan, terutama berkenaan dengan keberlangsungan kerjasama atau ketegangan bilateral antara dua negara yang memiliki kawasan perbatasan yang langsung bersinggungan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, sensitifitas isu pengelolaan kawasan perbatasan Negara dapat berkembang menjadi permasalahan multilateral dan bahkan internasional. Disamping itu, kemajuan teknologi dan beroperasinya kepentingan negara dan korporasi yang bersifat lintas negara memungkinkan intervensi sejumlah pihak yang lebih luas melalui berbagai mekanisme internasional.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun 2005-2025 memberi acuan yang diperlukan sebagai kebijakan pengembangan daerah perbatasan. Di dalam UU tersebut ditegaskan orientasi pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk di dalamnya pendekatan kesejahteraan untuk pulau di wilayah perbatasan. Selanjutnya, disebutkan bahwa pengamanan kedaulatan dan negara ke depan meliputi peningkatan kinerja pertahanan dan keamanan secara terpadu di wilayah perbatasan, optimalisasi pengamanan perbatasan dan pulau terdepan, serta koordinasi

31penanganan pelanggaran laut.

Dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2004-2009, dituangkan amanah tentang arah kebijakan pengembangan kawasan perbatasan, yaitu menjadikan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, serta memantapkan ketertiban dan keamanan kawasan perbatasan dalam rangka mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan yang berorientasi pada aspek kesejahteraan (prosperity) dan

32keamanan (security).

31 Moeldoko, op.cit.

32 Ibid.

Page 38: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

30Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 31Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Banyaknya kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah kementerian/lembaga yang mencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72 program di tingkat satuan kerja (satker) Eselon 1. Kompleksitas permasalahan perbatasan dapat ditunjukkan dengan beragamnya dimensi permasalahan pengelolaan perbatasan, baik yang berdimensi imaterial maupun materail. Pada aspek kelembagaan, lembaga pengelolaan perbatasan Indonesia masih ditangani secara parsial oleh berbagai komite perbatasan yang bersifat ad hoc dan oleh instansi pusat terkait secara sektoral. Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk mengelola kawasan perbatasan masih tampak tumpang-tindih. Begitu juga, terasa belum ada koordinasi yang memadai antarinstansi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan pengawasan dan pengelolaan kawasan perbatasan. Lembaga yang memiliki otoritas ternyata terpencar pencar atas berbagai induk institusi sehingga menyulitkan pengimplementasian sebuah

33kebijakan yang memusat.

33 Ibid.

BAB IIIGAMBARAN TENTANG KEAMANAN

DAN KESEJAHTERAANDI DAERAH PERBATASAN

Bab ini menyajikan data terkait dengan daerah penelitian yaitu daerah perbatasan yang menjadi obyek kajian, masing-masing Kalimantan Barat, Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) baik data yang didapatkan dari tinjauan kepustakaan maupun data primer hasil observasi, wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan masing-masing pada Mei 2012 (Kalimantan Barat), Juni 2012 (Nusa Tenggara Timur) dan Juli 2012 (Papua).

Menurut literatur, batas darat Indonesia dengan Malaysia di Borneo/Kalimantan, sudah disepakati mengacu pada perjanjian batas antara kerajaan Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda yaitu Treaty 1891, Konvensi 1915 dan Konvensi 1928. Penetapan batas darat ini dulu didasarkan pada batas alam, yaitu mengikuti punggung gunung dan garis pemisah air (watershed). Batas darat antara RI dengan PNG di Pulau Papua sebagian batasnya tergolong batas buatan (artifisial), yaitu ditetapkan pada meridian astronomis 141 derajat Bujur Timur mulai dari pantai utara Irian Jaya (Papua) ke Selatan sampai memotong Sungai Fly. Di sungai ini kemudian penentuan batas mengikuti batas alam, yaitu mengikuti thalweg sungai terus ke Selatan hingga ke titik sungai yang memotong meridian 141'01''10 Bujur Timur. Selanjutnya dari situ mengikuti garis meridian itu ke muara sungai Bensbach di Pantai Selatan. Sedangkan, batas darat dengan negara Timor Leste didasarkan pada perjanjian pemerintah Hindia Belanda dan Portugis tahun 1904 dan Permanent Court Award tahun 1914. Sejak tahun 2006 sudah dilakukan upaya delienasi. Panjang garis batas darat di batas darat Selatan ini adalah sejauh 270 km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat dengan Timor Leste adalah posisi Distrik Oekusi yang merupakan wilayah Timor Leste yang masuk menjorok di antara wilayah-wilayah daratan

34Indonesia dan seolah enclave Timor Leste dalam wilayah negara Indonesia.

34 Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, Kawasan Sangihe Talaud Sitaro Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan (Yogyakarta, Penerbit Fuspad : 2008), hal. 167.

Page 39: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

30Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 31Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Banyaknya kementerian/lembaga dan instansi yang memiliki kewenangan dalam pengelolaan perbatasan ditunjukkan dengan jumlah kementerian/lembaga yang mencapai 26 kementerian/lembaga dengan 72 program di tingkat satuan kerja (satker) Eselon 1. Kompleksitas permasalahan perbatasan dapat ditunjukkan dengan beragamnya dimensi permasalahan pengelolaan perbatasan, baik yang berdimensi imaterial maupun materail. Pada aspek kelembagaan, lembaga pengelolaan perbatasan Indonesia masih ditangani secara parsial oleh berbagai komite perbatasan yang bersifat ad hoc dan oleh instansi pusat terkait secara sektoral. Lembaga atau institusi yang mempunyai otoritas untuk mengelola kawasan perbatasan masih tampak tumpang-tindih. Begitu juga, terasa belum ada koordinasi yang memadai antarinstansi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan pengawasan dan pengelolaan kawasan perbatasan. Lembaga yang memiliki otoritas ternyata terpencar pencar atas berbagai induk institusi sehingga menyulitkan pengimplementasian sebuah

33kebijakan yang memusat.

33 Ibid.

BAB IIIGAMBARAN TENTANG KEAMANAN

DAN KESEJAHTERAANDI DAERAH PERBATASAN

Bab ini menyajikan data terkait dengan daerah penelitian yaitu daerah perbatasan yang menjadi obyek kajian, masing-masing Kalimantan Barat, Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) baik data yang didapatkan dari tinjauan kepustakaan maupun data primer hasil observasi, wawancara dan diskusi kelompok terfokus (FGD) yang dilakukan masing-masing pada Mei 2012 (Kalimantan Barat), Juni 2012 (Nusa Tenggara Timur) dan Juli 2012 (Papua).

Menurut literatur, batas darat Indonesia dengan Malaysia di Borneo/Kalimantan, sudah disepakati mengacu pada perjanjian batas antara kerajaan Inggris dan Pemerintah Hindia Belanda yaitu Treaty 1891, Konvensi 1915 dan Konvensi 1928. Penetapan batas darat ini dulu didasarkan pada batas alam, yaitu mengikuti punggung gunung dan garis pemisah air (watershed). Batas darat antara RI dengan PNG di Pulau Papua sebagian batasnya tergolong batas buatan (artifisial), yaitu ditetapkan pada meridian astronomis 141 derajat Bujur Timur mulai dari pantai utara Irian Jaya (Papua) ke Selatan sampai memotong Sungai Fly. Di sungai ini kemudian penentuan batas mengikuti batas alam, yaitu mengikuti thalweg sungai terus ke Selatan hingga ke titik sungai yang memotong meridian 141'01''10 Bujur Timur. Selanjutnya dari situ mengikuti garis meridian itu ke muara sungai Bensbach di Pantai Selatan. Sedangkan, batas darat dengan negara Timor Leste didasarkan pada perjanjian pemerintah Hindia Belanda dan Portugis tahun 1904 dan Permanent Court Award tahun 1914. Sejak tahun 2006 sudah dilakukan upaya delienasi. Panjang garis batas darat di batas darat Selatan ini adalah sejauh 270 km. Yang dirasa sebagai kerumitan dalam tata batas darat dengan Timor Leste adalah posisi Distrik Oekusi yang merupakan wilayah Timor Leste yang masuk menjorok di antara wilayah-wilayah daratan

34Indonesia dan seolah enclave Timor Leste dalam wilayah negara Indonesia.

34 Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, Kawasan Sangihe Talaud Sitaro Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan (Yogyakarta, Penerbit Fuspad : 2008), hal. 167.

Page 40: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

32Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 33Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

1. Kalimantan Barat

Wilayah Provinsi Kalimantan Barat seluas 146.807,00 Km2 yang mewadahi 12 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota mengandung potensi sumber daya alam yang melimpah, baik sumberdaya alam di permukaan maupun berupa bahan galian. Wilayah ini memiliki posisi strategis karena berada tepat di garis khatulistiwa, terletak pada garis 2008' Lintang Utara (LU) sampai 3005' Lintang Selatan (LS) dan 108030' sampai 114010' Bujur Timur (BT). Wilayah Utara Provinsi Kalimantan Barat berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur, bagian Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Laut Jawa, sedangkan wilayah bagian Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang seperti itu sangat penting disadari karena merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi, industri, wilayah, lingkungan hidup, keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.

Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Secara geografis Provinsi Kalbar terletak pada garis 2o08' Lintang Utara (LU) sampai 3o05' Lintang Selatan (LS) dan 108o30' sampai 114o10' Bujur Timur (BT). Wilayah Utara Provinsi Kalbar berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), bagian Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Laut Jawa, sedangkan wilayah bagian Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.

Luas wilayah Provinsi Kalbar 146.807,00 Km2 yang mewadahi 12 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota serta 158 Kecamatan dan 1.431 Desa dan 80 Kelurahan. Kabupaten dan Kota yang masuk wilayah Provinsi Kalbar meliputi Kabupaten Sambas (6.394,70 Km2), Kabupaten Bengkayang (5.397,30 Km2), Kabupaten Landak (9.909,10 Km2), Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (8.262,10Km2), Kabupaten Sanggau (12.857,70 Km2), Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara (35.809,00 Km2), Kabupaten Sintang (21.635,00 Km2), Kabupaten Kapuas Hulu (29.842,00 Km2), Kabupaten Sekadau (5.444,30 Km2), Kabupaten Melawi (10.644,00 Km2), Kota Pontianak (107,80 Km2), dan Kota Singkawang (504,00 Km2).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalbar pada tahun 2005 sebanyak 4.098.461 jiwa, dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 2.092.553 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.005.908 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan berkisar antara 1,50 % hingga 1,75% pertahun, yang terdiri dari beragam etnis seperti Melayu, Dayak, Cina, Jawa, Bugis, Madura dan lainnya.

Topografi wilayah Provinsi Kalbar terdiri dari dataran rendah (datar), bergelombang, berbukit-bukit, dan bergunung. Dalam konsep pembangunannya, Kalbar dibagi ke dalam 4 (empat) Wilayah Pengembangan (WP) yang meliputi WP Tengah, WP Pesisir, WP Antar Provinsi, dan WP Antar Negara. WP Tengah terdiri dari 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Landak. WP Pesisir terdiri dari 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. WP Antar Provinsi meliputi Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang. Untuk WP Antar Negara mencukup 5 (lima) kabupaten yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan

35Kabupaten Sambas.

Bidang sarana dan prasarana yang mencakup sektor pengairan dan irigasi, air bersih, transportasi, energi, telematika, pemukiman dan perumahan masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan kondisi Provinsi lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama karena kemampuan pemerintah yang sangat terbatas, kedua karena tantangan alam yang sangat besar.

Kondisi sektor pengairan dan irigasi cukup memprihatinkan. Pembangunan besar-besaran sistem persawahan pasang surut yang telah dimulai sejak Tahun 1970, ternyata sampai saat ini tidak membuahkan hasil yang diinginkan terutama dalam hal swasembada beras. Sementara itu pembangunan sistem irigasi teknis di daerah pedalaman juga tidak menunjukkan kemajuan berarti.

35 Data dari Perda Kalbar No. 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 2007 – 2027.

Page 41: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

32Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional 33Kajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

1. Kalimantan Barat

Wilayah Provinsi Kalimantan Barat seluas 146.807,00 Km2 yang mewadahi 12 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota mengandung potensi sumber daya alam yang melimpah, baik sumberdaya alam di permukaan maupun berupa bahan galian. Wilayah ini memiliki posisi strategis karena berada tepat di garis khatulistiwa, terletak pada garis 2008' Lintang Utara (LU) sampai 3005' Lintang Selatan (LS) dan 108030' sampai 114010' Bujur Timur (BT). Wilayah Utara Provinsi Kalimantan Barat berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur, bagian Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah dan Laut Jawa, sedangkan wilayah bagian Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata. Wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang seperti itu sangat penting disadari karena merupakan kekuatan sekaligus kelemahan dan memberikan peluang serta ancaman yang menjadi basis bagi kebijakan pembangunan di berbagai bidang, baik di bidang sosial dan budaya, ekonomi, industri, wilayah, lingkungan hidup, keamanan, maupun hukum dan aparatur negara.

Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonomi Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Secara geografis Provinsi Kalbar terletak pada garis 2o08' Lintang Utara (LU) sampai 3o05' Lintang Selatan (LS) dan 108o30' sampai 114o10' Bujur Timur (BT). Wilayah Utara Provinsi Kalbar berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak-Malaysia Timur, bagian Timur berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), bagian Selatan berbatasan dengan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Laut Jawa, sedangkan wilayah bagian Barat berbatasan dengan Laut Natuna dan Selat Karimata.

Luas wilayah Provinsi Kalbar 146.807,00 Km2 yang mewadahi 12 Pemerintahan Kabupaten dan 2 Pemerintahan Kota serta 158 Kecamatan dan 1.431 Desa dan 80 Kelurahan. Kabupaten dan Kota yang masuk wilayah Provinsi Kalbar meliputi Kabupaten Sambas (6.394,70 Km2), Kabupaten Bengkayang (5.397,30 Km2), Kabupaten Landak (9.909,10 Km2), Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya (8.262,10Km2), Kabupaten Sanggau (12.857,70 Km2), Kabupaten Ketapang dan Kabupaten Kayong Utara (35.809,00 Km2), Kabupaten Sintang (21.635,00 Km2), Kabupaten Kapuas Hulu (29.842,00 Km2), Kabupaten Sekadau (5.444,30 Km2), Kabupaten Melawi (10.644,00 Km2), Kota Pontianak (107,80 Km2), dan Kota Singkawang (504,00 Km2).

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diketahui bahwa jumlah penduduk Provinsi Kalbar pada tahun 2005 sebanyak 4.098.461 jiwa, dengan komposisi penduduk laki-laki sebanyak 2.092.553 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 2.005.908 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terus meningkat dengan tingkat pertumbuhan berkisar antara 1,50 % hingga 1,75% pertahun, yang terdiri dari beragam etnis seperti Melayu, Dayak, Cina, Jawa, Bugis, Madura dan lainnya.

Topografi wilayah Provinsi Kalbar terdiri dari dataran rendah (datar), bergelombang, berbukit-bukit, dan bergunung. Dalam konsep pembangunannya, Kalbar dibagi ke dalam 4 (empat) Wilayah Pengembangan (WP) yang meliputi WP Tengah, WP Pesisir, WP Antar Provinsi, dan WP Antar Negara. WP Tengah terdiri dari 3 (tiga) kabupaten, yakni Kabupaten Sanggau, Kabupaten Sekadau, dan Kabupaten Landak. WP Pesisir terdiri dari 3 (tiga) kabupaten, yaitu Kabupaten Pontianak, Kabupaten Bengkayang, Kabupaten Sambas, Kabupaten Ketapang, Kabupaten Kayong Utara, Kabupaten Kubu Raya, Kota Pontianak dan Kota Singkawang. WP Antar Provinsi meliputi Kabupaten Sintang, Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Melawi, dan Kabupaten Ketapang. Untuk WP Antar Negara mencukup 5 (lima) kabupaten yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Kabupaten Sintang, Kabupaten Sanggau, Kabupaten Bengkayang dan

35Kabupaten Sambas.

Bidang sarana dan prasarana yang mencakup sektor pengairan dan irigasi, air bersih, transportasi, energi, telematika, pemukiman dan perumahan masih sangat tertinggal bila dibandingkan dengan kondisi Provinsi lainnya. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama karena kemampuan pemerintah yang sangat terbatas, kedua karena tantangan alam yang sangat besar.

Kondisi sektor pengairan dan irigasi cukup memprihatinkan. Pembangunan besar-besaran sistem persawahan pasang surut yang telah dimulai sejak Tahun 1970, ternyata sampai saat ini tidak membuahkan hasil yang diinginkan terutama dalam hal swasembada beras. Sementara itu pembangunan sistem irigasi teknis di daerah pedalaman juga tidak menunjukkan kemajuan berarti.

35 Data dari Perda Kalbar No. 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 2007 – 2027.

Page 42: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Di sektor Transportasi Darat, panjang jalan yang tersedia sangat memprihatinkan, dan merupakan salah satu kendala utama dalam hal pengembangan wilayah. Banyak sekali ruas jalan yang harus diperbaiki ataupun dibuat baru, yang sampai saat ini terkendala pada tiadanya biaya yang cukup untuk menuntaskannya. Di sektor Transportasi sungai kondisi yang ada juga tidak begitu baik, meski sebenarnya sungai tetap merupakan urat nadi transportasi penduduk berhubung masih banyaknya kampung-kampung yang hanya bisa dihubungi lewat jalan air. Hal ini terjadi karena besarnya degradasi lingkungan pada DAS (Daerah Aliran Sungai) seperti halnya illegal logging, illegal mining (PETI). Selain itu pada dua puluh tahun

36terakhir ini banjir dan kekeringan agak meningkat frekuensinya.

Di bidang ketenagalistrikan terjadi ketidak seimbangan antara kebutuhan dan pasokan listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai daerah. Penyebabnya dikarenakan masih rendahnya kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah terpasang; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar minyak; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak merata dihadapkan pada luasnya wilayah Kalimantan Barat. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi; tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.

Ketersediaan air bersih tetap merupakan kendala yang cukup berarti. Hampir di semua kabupaten air bersih ini tetap menjadi permasalahan utama, apalagi bagi mereka yang berada di wilayah pesisir & pulau-pulau kecil.

Perkembangan globalisasi yang diikuti dengan adanya AFTA dan 37BIMP-EAGA ditambah dengan perkembangan yang sangat cepat dalam

36 Ibid.

37 Informasi tentang BIMP-EAGA bisa dilihat pada : http://bimp-eaga.org, secara sekilas BIMP-EAGA adalah : In 1992, then President Fidel V. Ramos of the Philippines proposed a major economic initiative in ASEAN: the expansion of economic cooperation among the border areas of Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and the Philippines. This proposal met with a favorable response from the leaders of the three other countries, and eventually led to the creation of the Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area or BIMP-EAGA. BIMP-EAGA was formally launched on March 24, 1994, in Davao City, Mindanao, Philippines.

bidang informasi dan komunikasi menyebabkan perkembangan infrastruktur di satu wilayah tidak terlepas dengan perkembangan wilayah lainnya. Kalimantan Barat yang sebagian besar wilayah daratnya berhubungan langsung dengan Malaysia, harus bisa mengimbangi pembangunan infrastruktur di negeri jiran tersebut.

Kondisi keamanan dan ketertiban di Kalimantan Barat saat ini relatif stabil, hal ini ditandai bahwa dalam lima tahun terakhir ini hampir tidak ada kerusuhan sosial yang bernuansakan SARA dan tindakan pelanggaran

38 hukum yang menimbulkan dampak keresahan sosial yang bersifat massif.Namun demikian, tindak kejahatan yang bersifat konvensional, transnasional, kejahatan atas kekayaan negara, dan kejahatan yang bersifat kontijensi masih menjadi persoalan pelanggaran hukum di Kalimantan Barat, seperti illegal loging, illegal trading, illegal fishing dan trafficking. Kondisi daerah yang memiliki perbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia Timur menjadikan cukup tingginya potensi tindakan yang mengarah pada transnational crime.

EAGA is comprised of the following focus areas: the entire sultanate of Brunei Darussalam; the provinces in Kalimantan, Sulawesi, Maluku, and Papua in eastern Indonesia; the states of Sabah and Sarawak and the federal territory of Labuan in Malaysia; and Mindanao and Palawan in the Philippines. Covering a land area of 1.54 million square kilometers and a population of some 70 million, BIMP-EAGA is perhaps Southeast Asia's last frontier. Its focus areas have not yet fully participated in the rapid growth which has taken place in many other areas of Southeast Asia, and its potential for further development in trade, investments, and tourism remains vast and varied.

38 Seperti diketahui, Kalimantan Barat adalah salah satu hotspot konflik sosial politik bernuansa SARA. Konflik antara warga Dayak dan Madura di Sanggau Ledo, Konflik antara warga Melayu Sambas dan Madura, yang keduanya berlangsung di akhir tahun 1990-an dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar adalah salah satu contoh buruk eskalasi kekerasan horizontal, lemahnya penegakan hukum dan kegagalan integrasi nasional.

34 35Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 43: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Di sektor Transportasi Darat, panjang jalan yang tersedia sangat memprihatinkan, dan merupakan salah satu kendala utama dalam hal pengembangan wilayah. Banyak sekali ruas jalan yang harus diperbaiki ataupun dibuat baru, yang sampai saat ini terkendala pada tiadanya biaya yang cukup untuk menuntaskannya. Di sektor Transportasi sungai kondisi yang ada juga tidak begitu baik, meski sebenarnya sungai tetap merupakan urat nadi transportasi penduduk berhubung masih banyaknya kampung-kampung yang hanya bisa dihubungi lewat jalan air. Hal ini terjadi karena besarnya degradasi lingkungan pada DAS (Daerah Aliran Sungai) seperti halnya illegal logging, illegal mining (PETI). Selain itu pada dua puluh tahun

36terakhir ini banjir dan kekeringan agak meningkat frekuensinya.

Di bidang ketenagalistrikan terjadi ketidak seimbangan antara kebutuhan dan pasokan listrik yang kondisinya makin kritis di berbagai daerah. Penyebabnya dikarenakan masih rendahnya kemampuan investasi dan pengelolaan penyediaan sarana dan prasarana energi; masih rendahnya efektivitas dan efisiensi pemanfaatan sarana dan prasarana yang sudah terpasang; masih tingginya ketergantungan konsumen terhadap bahan bakar minyak; serta adanya regulasi-regulasi yang tidak konsisten. Pemenuhan kebutuhan energi yang tidak merata dihadapkan pada luasnya wilayah Kalimantan Barat. Hal itu juga dipengaruhi oleh lokasi potensi cadangan energi primer yang tersebar dan sebagian besar jauh dari pusat beban; keterbatasan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan dan teknologi; tingginya pertumbuhan permintaan berbagai jenis energi setiap tahun; serta kondisi daya beli masyarakat yang masih rendah.

Ketersediaan air bersih tetap merupakan kendala yang cukup berarti. Hampir di semua kabupaten air bersih ini tetap menjadi permasalahan utama, apalagi bagi mereka yang berada di wilayah pesisir & pulau-pulau kecil.

Perkembangan globalisasi yang diikuti dengan adanya AFTA dan 37BIMP-EAGA ditambah dengan perkembangan yang sangat cepat dalam

36 Ibid.

37 Informasi tentang BIMP-EAGA bisa dilihat pada : http://bimp-eaga.org, secara sekilas BIMP-EAGA adalah : In 1992, then President Fidel V. Ramos of the Philippines proposed a major economic initiative in ASEAN: the expansion of economic cooperation among the border areas of Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia and the Philippines. This proposal met with a favorable response from the leaders of the three other countries, and eventually led to the creation of the Brunei Darussalam-Indonesia-Malaysia-Philippines East ASEAN Growth Area or BIMP-EAGA. BIMP-EAGA was formally launched on March 24, 1994, in Davao City, Mindanao, Philippines.

bidang informasi dan komunikasi menyebabkan perkembangan infrastruktur di satu wilayah tidak terlepas dengan perkembangan wilayah lainnya. Kalimantan Barat yang sebagian besar wilayah daratnya berhubungan langsung dengan Malaysia, harus bisa mengimbangi pembangunan infrastruktur di negeri jiran tersebut.

Kondisi keamanan dan ketertiban di Kalimantan Barat saat ini relatif stabil, hal ini ditandai bahwa dalam lima tahun terakhir ini hampir tidak ada kerusuhan sosial yang bernuansakan SARA dan tindakan pelanggaran

38 hukum yang menimbulkan dampak keresahan sosial yang bersifat massif.Namun demikian, tindak kejahatan yang bersifat konvensional, transnasional, kejahatan atas kekayaan negara, dan kejahatan yang bersifat kontijensi masih menjadi persoalan pelanggaran hukum di Kalimantan Barat, seperti illegal loging, illegal trading, illegal fishing dan trafficking. Kondisi daerah yang memiliki perbatasan langsung dengan Sarawak Malaysia Timur menjadikan cukup tingginya potensi tindakan yang mengarah pada transnational crime.

EAGA is comprised of the following focus areas: the entire sultanate of Brunei Darussalam; the provinces in Kalimantan, Sulawesi, Maluku, and Papua in eastern Indonesia; the states of Sabah and Sarawak and the federal territory of Labuan in Malaysia; and Mindanao and Palawan in the Philippines. Covering a land area of 1.54 million square kilometers and a population of some 70 million, BIMP-EAGA is perhaps Southeast Asia's last frontier. Its focus areas have not yet fully participated in the rapid growth which has taken place in many other areas of Southeast Asia, and its potential for further development in trade, investments, and tourism remains vast and varied.

38 Seperti diketahui, Kalimantan Barat adalah salah satu hotspot konflik sosial politik bernuansa SARA. Konflik antara warga Dayak dan Madura di Sanggau Ledo, Konflik antara warga Melayu Sambas dan Madura, yang keduanya berlangsung di akhir tahun 1990-an dan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dalam jumlah besar adalah salah satu contoh buruk eskalasi kekerasan horizontal, lemahnya penegakan hukum dan kegagalan integrasi nasional.

34 35Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 44: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH

DESA

LUAS IBUKOTA

1 Sambas PalohSajingan Besar

65

114.884.00139.120.00

LikuSajingan

2 Bengkayang Jagoi BabangSeluas

56

121.830.0050.650.00

Jagoi BabangSeluas

3 Sanggau SekayamEntikong

105

84.101.0050.689.00

Balai KaranganEntikong

4 Sintang Ketungau HuluKetungau Tengah

913

213.820.00218.240.00

SenaningNangai Merakai

5 Kapuas Hulu EmpanangPutussibauBadauBatang LuparEmbaloh HuluPuring Kencana

586785

35.725.00412.200.00

70.000.00133.290.00345.760.00

44.855.00

Nanga KantukPutussibauNanga BadauLanjakBenua artinusPutussibau

98 2.035.164.00

Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalbar-Sarawak 39Tahun 2000

a. Kabupaten Sanggau dan Kecamatan Entikong

Di Indonesia terdapat empat Provinsi yang wilayah daratnya berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dari keempat daerah tersebut hanya Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia) yang telah menetapkan pos lintas batas resmi, yaitu Entikong-Tebedu (Kabupaten Sanggau) dan akan menyusul Nanga Badau-Lubuk Antu (Kabupaten Kapuas Hulu) dan Aruk-Biawak atau Temajok-Telok Melano (Kabupaten Sambas). Selain itu terdapat pula pos lintas batas yang tidak resmi. Sebagaimana telah diidentifikasi oleh kedua pemerintah (Kalbar dan Sarawak) bahwa dari sekitar 800 km panjang perbatasan Kalbar-Sarawak,

39 Sumber : Bappeda Provinsi Kalbar, 2002.

terdapat lebih kurang 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak yang sekaligus merupakan pintu atau tempat keluar masuk orang dan barang dari dan ke Sarawak/Kalbar. Sementara itu yang disepakati kedua negara sebagai pos keluar masuk sesuai persetujuan lintas batas tahun 1984 adalah 10 buah desa di Kalbar dan

407 buah kampung di Sarawak.

41b. Permasalahan Perbatasan di Kabupaten Sanggau

Kabupaten Sanggau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur). Kabupaten Sanggau terdiri dari 22 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Entikong yang merupakan satu-satunya Pos Pengawas Lintas Batas (PPLB) resmi yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Letak geografis Kabupaten Sanggau terletak pada 1o LU-0,6 o LS dan 109,8 o-111,3 o BT. Secara umum batas-batas wilayah Kabupaten Sanggau adalah:

1) Utara : Sarawak Malaysia Timur dan Kabupaten Bengkayang

2) Selatan : Kabupaten Ketapang

3) Timur : Kabupaten Sintang

4) Barat : Kabupaten Landak

Luas wilayah Kabupaten Sanggau ±18.302 km2 atau 12,85% dari luas Provinsi Kalimantan Barat. Jumlah penduduk mencapai 504.454 jiwa dengan kepadatan penduduk 29 jiwa/km2. Suku bangsa yang paling dominan adalah Suku Dayak (64,09%), Melayu (23,12%), dan lainnya (12,79%). Hasil sumber daya alam yang dimiliki adalah perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao), tambang (minyak, gas bumi, bauksit, feldspar, perak, granit, arsenit dan kaolit) dan kehutanan.

Wilayah perbatasan Kecamatan Entikong di Kabupaten Sanggau saat ini berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan antara lain sebagai bias dari pertumbuhan ekonomi yang cepat dari Negeri Sarawak (Malaysia) sehingga tercipta suatu kebutuhan akan sarana dan prasarana di wilayah Entikong dan sekitarnya. Keberadaan jalur darat yang menghubungkan daerah Sarawak

40 Bappeda Propinsi Kalbar, 2001 dalam Husnadi, Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Darataqn Antar Negara, tesis Universitas Diponegoro, Semarang , 2006.

41 Ibid.

36 37Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 45: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH

DESA

LUAS IBUKOTA

1 Sambas PalohSajingan Besar

65

114.884.00139.120.00

LikuSajingan

2 Bengkayang Jagoi BabangSeluas

56

121.830.0050.650.00

Jagoi BabangSeluas

3 Sanggau SekayamEntikong

105

84.101.0050.689.00

Balai KaranganEntikong

4 Sintang Ketungau HuluKetungau Tengah

913

213.820.00218.240.00

SenaningNangai Merakai

5 Kapuas Hulu EmpanangPutussibauBadauBatang LuparEmbaloh HuluPuring Kencana

586785

35.725.00412.200.00

70.000.00133.290.00345.760.00

44.855.00

Nanga KantukPutussibauNanga BadauLanjakBenua artinusPutussibau

98 2.035.164.00

Wilayah Administrasi Kawasan Perbatasan Kalbar-Sarawak 39Tahun 2000

a. Kabupaten Sanggau dan Kecamatan Entikong

Di Indonesia terdapat empat Provinsi yang wilayah daratnya berbatasan langsung dengan negara lain, yaitu Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Dari keempat daerah tersebut hanya Provinsi Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Sarawak (Malaysia) yang telah menetapkan pos lintas batas resmi, yaitu Entikong-Tebedu (Kabupaten Sanggau) dan akan menyusul Nanga Badau-Lubuk Antu (Kabupaten Kapuas Hulu) dan Aruk-Biawak atau Temajok-Telok Melano (Kabupaten Sambas). Selain itu terdapat pula pos lintas batas yang tidak resmi. Sebagaimana telah diidentifikasi oleh kedua pemerintah (Kalbar dan Sarawak) bahwa dari sekitar 800 km panjang perbatasan Kalbar-Sarawak,

39 Sumber : Bappeda Provinsi Kalbar, 2002.

terdapat lebih kurang 50 jalur jalan setapak yang menghubungkan 55 desa di Kalbar dengan 32 kampung di Sarawak yang sekaligus merupakan pintu atau tempat keluar masuk orang dan barang dari dan ke Sarawak/Kalbar. Sementara itu yang disepakati kedua negara sebagai pos keluar masuk sesuai persetujuan lintas batas tahun 1984 adalah 10 buah desa di Kalbar dan

407 buah kampung di Sarawak.

41b. Permasalahan Perbatasan di Kabupaten Sanggau

Kabupaten Sanggau merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Kalbar yang berbatasan langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur). Kabupaten Sanggau terdiri dari 22 kecamatan, salah satunya adalah Kecamatan Entikong yang merupakan satu-satunya Pos Pengawas Lintas Batas (PPLB) resmi yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. Letak geografis Kabupaten Sanggau terletak pada 1o LU-0,6 o LS dan 109,8 o-111,3 o BT. Secara umum batas-batas wilayah Kabupaten Sanggau adalah:

1) Utara : Sarawak Malaysia Timur dan Kabupaten Bengkayang

2) Selatan : Kabupaten Ketapang

3) Timur : Kabupaten Sintang

4) Barat : Kabupaten Landak

Luas wilayah Kabupaten Sanggau ±18.302 km2 atau 12,85% dari luas Provinsi Kalimantan Barat. Jumlah penduduk mencapai 504.454 jiwa dengan kepadatan penduduk 29 jiwa/km2. Suku bangsa yang paling dominan adalah Suku Dayak (64,09%), Melayu (23,12%), dan lainnya (12,79%). Hasil sumber daya alam yang dimiliki adalah perkebunan (kelapa sawit, karet, kakao), tambang (minyak, gas bumi, bauksit, feldspar, perak, granit, arsenit dan kaolit) dan kehutanan.

Wilayah perbatasan Kecamatan Entikong di Kabupaten Sanggau saat ini berkembang dengan pesat. Hal ini disebabkan antara lain sebagai bias dari pertumbuhan ekonomi yang cepat dari Negeri Sarawak (Malaysia) sehingga tercipta suatu kebutuhan akan sarana dan prasarana di wilayah Entikong dan sekitarnya. Keberadaan jalur darat yang menghubungkan daerah Sarawak

40 Bappeda Propinsi Kalbar, 2001 dalam Husnadi, Menuju Model Pengembangan Kawasan Perbatasan Darataqn Antar Negara, tesis Universitas Diponegoro, Semarang , 2006.

41 Ibid.

36 37Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 46: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

(Malaysia Timur) dengan Sanggau Kalimantan Barat (Indonesia), merupakan peluang untuk menarik manfaat ekonomi antar negara yang cukup besar. Terutama pos lintas batas antar negara melalui jalan darat yang merupakan satu-satunya kesempatan sebagai “Entry Port” di Indonesia, perlu diformalkan untuk dapat memberikan manfaat maksimum bagi kepentingan daerah pada khususnya dan kepentingan nasional pada umumnya.

Wilayah Sarawak bukan saja merupakan pasar potensial bagi produk-produk Kalimantan Barat akan tetapi juga berfungsi sebagai pintu gerbang pemasaran ke negara lain seperti Taiwan, Singapura dan bahkan sampai Timur Tengah. Hal ini berkaitan dengan hubungan ekonomi dan perdagangan antara Malaysia dan Indonesia yang semakin meningkat.

Sebagai kawasan dengan pertumbuhan cepat dan kondisi Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan sekitarnya saat ini sangat kumuh dan terbelakang. Kondisi ini akan menimbulkan citra yang kurang baik sebagai potret bangsa dan negara Indonesia, yang sangat bertolak belakang dengan kondisi dari Negeri Sarawak Malaysia yang telah mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung di daerah perbatasan.

Dari kondisi kawasan perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau masih terdapat keterbatasan akan sarana dan prasarana seperti terminal lalu lintas antar negara, terminal bongkat muat barang, gudang dan pusat niaga. Wilayah perbatasan Entikong yang merupakan Perbatasan Lini I sepanjang perbatasan, masih terdapat kawasan terbelakang dan terisolasi. Berkenaan dengan hal ini, dibutuhkan penanganan segera secara komprehensif untuk mengimbangi pengaruh terhadap kemajuan Sarawak melalui peningkatan sarana dan prasarana jalan, perumahan pemukiman di desa dan antar desa, serta peningkatan sumber daya manusia yang meliputi pembangunan sekolah di pedalaman, pengadaan guru kontrak serta pembangunan sektor kesehatan masyarakat.

Pembangunan sarana dan prasarana berupa jalan di sepanjang garis perbatasan sangat diperlukan untuk kepentingan pengamanan dan pengawasan daerah dan sebagainya di kawasan perbatasan antar negara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelundupan, pencurian, penjarahan sumber daya alam ke negara Malaysia yang sering terjadi di kawasan perbatasan yang tidak dapat dipungkiri hingga saat ini.

Kawasan terpencil pada umumnya merupakan daerah (desa) yang terbelakang dan terisolir, akibat dari sarana dan prasarana penunjang baik aksesibilitas maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Kualitas hidup masyarakat dan pelayanan sarana dan prasarana pemukiman, baik itu yang berada di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan masih terbatas. Sedangkan di sisi lain Kabupaten Sanggau merupakan daerah penyangga perbatasan dimana akses pendatang baik dalam maupun luar negeri cukup tinggi.

Khususnya Kabupaten Sanggau, ada ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Sanggau dengan kabupaten lain di Indonesia (terutama Pulau Jawa) apalagi dengan negeri tetangga Malaysia (Negara bagian Serawak).

Fasilitas dan infrastruktur di Kab Sanggau tertinggal jauh dengan di Serawak. mungkin tidak usah membandingkan dengan Kuching, Ibukota Serawak, dengan kota perbatasan Tebedu saja sudah tertinggal.

Ket : Jalan di Balai Karangan dekat Perbatasan Entikong (Foto : Heru Susetyo)

38 39Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 47: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

(Malaysia Timur) dengan Sanggau Kalimantan Barat (Indonesia), merupakan peluang untuk menarik manfaat ekonomi antar negara yang cukup besar. Terutama pos lintas batas antar negara melalui jalan darat yang merupakan satu-satunya kesempatan sebagai “Entry Port” di Indonesia, perlu diformalkan untuk dapat memberikan manfaat maksimum bagi kepentingan daerah pada khususnya dan kepentingan nasional pada umumnya.

Wilayah Sarawak bukan saja merupakan pasar potensial bagi produk-produk Kalimantan Barat akan tetapi juga berfungsi sebagai pintu gerbang pemasaran ke negara lain seperti Taiwan, Singapura dan bahkan sampai Timur Tengah. Hal ini berkaitan dengan hubungan ekonomi dan perdagangan antara Malaysia dan Indonesia yang semakin meningkat.

Sebagai kawasan dengan pertumbuhan cepat dan kondisi Pos Pengawasan Lintas Batas (PPLB) Entikong dan sekitarnya saat ini sangat kumuh dan terbelakang. Kondisi ini akan menimbulkan citra yang kurang baik sebagai potret bangsa dan negara Indonesia, yang sangat bertolak belakang dengan kondisi dari Negeri Sarawak Malaysia yang telah mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung di daerah perbatasan.

Dari kondisi kawasan perbatasan di Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau masih terdapat keterbatasan akan sarana dan prasarana seperti terminal lalu lintas antar negara, terminal bongkat muat barang, gudang dan pusat niaga. Wilayah perbatasan Entikong yang merupakan Perbatasan Lini I sepanjang perbatasan, masih terdapat kawasan terbelakang dan terisolasi. Berkenaan dengan hal ini, dibutuhkan penanganan segera secara komprehensif untuk mengimbangi pengaruh terhadap kemajuan Sarawak melalui peningkatan sarana dan prasarana jalan, perumahan pemukiman di desa dan antar desa, serta peningkatan sumber daya manusia yang meliputi pembangunan sekolah di pedalaman, pengadaan guru kontrak serta pembangunan sektor kesehatan masyarakat.

Pembangunan sarana dan prasarana berupa jalan di sepanjang garis perbatasan sangat diperlukan untuk kepentingan pengamanan dan pengawasan daerah dan sebagainya di kawasan perbatasan antar negara. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari penyelundupan, pencurian, penjarahan sumber daya alam ke negara Malaysia yang sering terjadi di kawasan perbatasan yang tidak dapat dipungkiri hingga saat ini.

Kawasan terpencil pada umumnya merupakan daerah (desa) yang terbelakang dan terisolir, akibat dari sarana dan prasarana penunjang baik aksesibilitas maupun sarana dan prasarana pendukung lainnya.

Kualitas hidup masyarakat dan pelayanan sarana dan prasarana pemukiman, baik itu yang berada di kawasan perkotaan maupun kawasan pedesaan masih terbatas. Sedangkan di sisi lain Kabupaten Sanggau merupakan daerah penyangga perbatasan dimana akses pendatang baik dalam maupun luar negeri cukup tinggi.

Khususnya Kabupaten Sanggau, ada ketimpangan pembangunan antara Kabupaten Sanggau dengan kabupaten lain di Indonesia (terutama Pulau Jawa) apalagi dengan negeri tetangga Malaysia (Negara bagian Serawak).

Fasilitas dan infrastruktur di Kab Sanggau tertinggal jauh dengan di Serawak. mungkin tidak usah membandingkan dengan Kuching, Ibukota Serawak, dengan kota perbatasan Tebedu saja sudah tertinggal.

Ket : Jalan di Balai Karangan dekat Perbatasan Entikong (Foto : Heru Susetyo)

38 39Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 48: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kondisi jalan raya antar kabupaten dan dalam kabupaten Sanggau agak sempit dan banyak ruas jalan yang rusak. Bahkan memasuki kota Sanggau malah banyak ruas jalan yang rusak. Jalan Provinsi dari Pontianak sampai Sanggau dan Entikong menuju border Malaysia tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk dua mobil, namun digunakan juga untuk lalu lintas truk dan bis antar kabupaten dan antar Negara (Jalur Pontianak-Kuching dan Pontianak-Brunei Darussalam). Sebaliknya, begitu memasuki Malaysia di border Tebedu, jalan begitu mulus dan lapang.

Penerangan jalan dan listrik masih dalam kapasitas terbatas. Informasi dari Supervisor PLN Balai Karangan, masih banyak daerah yang belum dialiri listrik. Bahkan di Desa Suruh Tembawang yang berbatasan langsung dengan Serawak sampai sekarang belum dialiri listrik, sementara desa seberang-nya di Serawak terang benderang.

Ket : Sekolah negeri di Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

Fasilitas kesehatan di Kab. Sanggau juga masih sederhana dan tidak semua dapat dijangkau warga miskin. Informasi dari Sekretaris Badan KB Sanggau yang juga mantan Direktur RSUD, akses ke pelayanan kesehatan dan obat-obatan masih agak sulit di Sanggau. Kondisi ini membuat warga Sanggau di perbatasan lebih memilih pergi berobat ke Malaysia dengan

42fasilitas kesehatan lebih baik dan biaya yang juga tidak mahal.

Informasi dari Kepala Desa SuruhTembawang, Bapak Imran, banyak memang warganya yang berobat ke Serawak karena fasilitas kesehatan lebih baik dan karena akses jalan/transportasi di SuruhTembawang ke Kota Kecamatan (Entikong) dan Kota Kabupaten Sanggau amat sulit.

42 Disampaikan dalam FGD di Badan Kependudukan Kabupaten Sanggau, pada 9 Mei 2012.

Ket : Kantor Polisi Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

40 41Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 49: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kondisi jalan raya antar kabupaten dan dalam kabupaten Sanggau agak sempit dan banyak ruas jalan yang rusak. Bahkan memasuki kota Sanggau malah banyak ruas jalan yang rusak. Jalan Provinsi dari Pontianak sampai Sanggau dan Entikong menuju border Malaysia tidak terlalu lebar, hanya cukup untuk dua mobil, namun digunakan juga untuk lalu lintas truk dan bis antar kabupaten dan antar Negara (Jalur Pontianak-Kuching dan Pontianak-Brunei Darussalam). Sebaliknya, begitu memasuki Malaysia di border Tebedu, jalan begitu mulus dan lapang.

Penerangan jalan dan listrik masih dalam kapasitas terbatas. Informasi dari Supervisor PLN Balai Karangan, masih banyak daerah yang belum dialiri listrik. Bahkan di Desa Suruh Tembawang yang berbatasan langsung dengan Serawak sampai sekarang belum dialiri listrik, sementara desa seberang-nya di Serawak terang benderang.

Ket : Sekolah negeri di Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

Fasilitas kesehatan di Kab. Sanggau juga masih sederhana dan tidak semua dapat dijangkau warga miskin. Informasi dari Sekretaris Badan KB Sanggau yang juga mantan Direktur RSUD, akses ke pelayanan kesehatan dan obat-obatan masih agak sulit di Sanggau. Kondisi ini membuat warga Sanggau di perbatasan lebih memilih pergi berobat ke Malaysia dengan

42fasilitas kesehatan lebih baik dan biaya yang juga tidak mahal.

Informasi dari Kepala Desa SuruhTembawang, Bapak Imran, banyak memang warganya yang berobat ke Serawak karena fasilitas kesehatan lebih baik dan karena akses jalan/transportasi di SuruhTembawang ke Kota Kecamatan (Entikong) dan Kota Kabupaten Sanggau amat sulit.

42 Disampaikan dalam FGD di Badan Kependudukan Kabupaten Sanggau, pada 9 Mei 2012.

Ket : Kantor Polisi Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

40 41Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 50: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Markas Koramil TNI AD di Entikong Kalbar (Foto : Heru Susetyo)

Desa Suruh Tembawang amat terisolir dan sulit dijangkau dari Entikong. Hanya bisa didatangi lewat sungai dengan lama perjalanan 6 jam dan sewa perahu yang mahal (Rp 1.5 juta sekali jalan)

Hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari Malaysia, masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjualbeli produk asal Malaysia termasuk gula pasir sampai dengan gas elpiji.

Ket . : Gula Malaysia yang dikonsumsi masyarakat Sanggau (Foto : Heru Susetyo)

Ada ketidakadilan dalam pola perniagaan dan jual beli antara Serawak dan Entikong. Warga Indonesia di perbatasan bisa masuk dan belanja ke Tebedu tanpa passport, sementara warga Malaysia hanya bisa masuk sejauh 200 meter ke Entikong dan tak bisa berbelanja pula karena tidak ada tempat belanja yang menarik dan kompetitif di Entikong.

Adalah pemandangan yang rutin dan biasa melihat warga Indonesia berbondong-bondong masuk ke Tebedu Malaysia untuk berbelanja. Karena, disamping harga relatif murah, supermarket di Malaysia juga menerima pembayaran dalam rupiah (disamping dalam Malaysian Ringgit). Pramuniaga dalam supermarket juga banyak yang berasal dari desa-desa di Indonesia sehingga mudah berkomunikasi dengan para pembeli asal Indonesia.

Supermarket di Tebedu ini hanya berjarak sekitar dua kilometer dari perbatasan Entikong dan mencapainya tak memerlukan passport dan visa. Barang-barang yang tersaji di dalam juga amat lengkap, sehingga wajar apabila banyak pembeli Indonesia mendatanginya.

42 43Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 51: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Markas Koramil TNI AD di Entikong Kalbar (Foto : Heru Susetyo)

Desa Suruh Tembawang amat terisolir dan sulit dijangkau dari Entikong. Hanya bisa didatangi lewat sungai dengan lama perjalanan 6 jam dan sewa perahu yang mahal (Rp 1.5 juta sekali jalan)

Hampir semua produk-produk rumah tangga (consumer goods) berasal dari Malaysia, masyarakat juga terbiasa menggunakan dan berjualbeli produk asal Malaysia termasuk gula pasir sampai dengan gas elpiji.

Ket . : Gula Malaysia yang dikonsumsi masyarakat Sanggau (Foto : Heru Susetyo)

Ada ketidakadilan dalam pola perniagaan dan jual beli antara Serawak dan Entikong. Warga Indonesia di perbatasan bisa masuk dan belanja ke Tebedu tanpa passport, sementara warga Malaysia hanya bisa masuk sejauh 200 meter ke Entikong dan tak bisa berbelanja pula karena tidak ada tempat belanja yang menarik dan kompetitif di Entikong.

Adalah pemandangan yang rutin dan biasa melihat warga Indonesia berbondong-bondong masuk ke Tebedu Malaysia untuk berbelanja. Karena, disamping harga relatif murah, supermarket di Malaysia juga menerima pembayaran dalam rupiah (disamping dalam Malaysian Ringgit). Pramuniaga dalam supermarket juga banyak yang berasal dari desa-desa di Indonesia sehingga mudah berkomunikasi dengan para pembeli asal Indonesia.

Supermarket di Tebedu ini hanya berjarak sekitar dua kilometer dari perbatasan Entikong dan mencapainya tak memerlukan passport dan visa. Barang-barang yang tersaji di dalam juga amat lengkap, sehingga wajar apabila banyak pembeli Indonesia mendatanginya.

42 43Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 52: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Supermaket besar di Tebedu, Serawak tak jauh dari Border Crossing Entikong(Foto : Heru Susetyo)

Kemudian, ada masalah pula dengan ditempatkannya sejumlah aparat militer RI di Desa Suruh Tembawang, di gunung dan hutan yang berbatasan dengan Serawak. Ini menimbulkan disharmoni dengan penduduk Suruh Tembawang. Menurut penuturan Kepala Desa Suruh Tembawang, aparat TNI tersebut berdiam di dalam hutan di sekitar perbatasan dalam jangka waktu lama. Rotasi pasukan sekitar enam bulan sekali. Mereka semua adalah prajurit muda usia yang tentunya juga memiliki jiwa dan semangat muda berlebih, yang apabila tidak diakomodasi dapat menimbulkan gesekan dengan masyarakat.

Permasalahan lain adalah kekesalan warga Entikong terhadap pejabat Indonesia yang datang mengunjungi Entikong, karena alih-alih menggunakan jalan darat dari Pontianak sampai Entikong, rata-rata para pejabat Indonesia malah menggunakan pesawat sampai ke Kuching,

Malaysia lalu menggunakan jalan darat selama dua jam sampai ke Entikong, sehingga mereka tak melihat langsung kesulitan hidup warga Sanggau dan

43buruknya fasilitas dan infrastruktur transportasi disana.

Hampir semua pejabat penting Indonesia pernah ke Entikong, namun tetap pembangunan dirasakan lambat di Entikong danSanggau. Sampai ada komentar yang keluar dari dua peserta FGD : “Semua sudah datang ke

44Entikong, hanya Malaikat saja yang belum datang.”

43 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.

44 Disampaikan di Entikong dalam diskusi pada 9 Mei dan 10 Mei 2012.

Ket : Dewan Masyarakat Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

Secara fisik, luas wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sanggau begitu besar, hampir sebesar kota/kabupaten di Jawa, namun penduduknya sedikit dan sarana transportasi amat minim. Luas kabupaten Sanggau pun begitu besar, hampir sama dengan luas Provinsi di Jawa,

44 45Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 53: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Supermaket besar di Tebedu, Serawak tak jauh dari Border Crossing Entikong(Foto : Heru Susetyo)

Kemudian, ada masalah pula dengan ditempatkannya sejumlah aparat militer RI di Desa Suruh Tembawang, di gunung dan hutan yang berbatasan dengan Serawak. Ini menimbulkan disharmoni dengan penduduk Suruh Tembawang. Menurut penuturan Kepala Desa Suruh Tembawang, aparat TNI tersebut berdiam di dalam hutan di sekitar perbatasan dalam jangka waktu lama. Rotasi pasukan sekitar enam bulan sekali. Mereka semua adalah prajurit muda usia yang tentunya juga memiliki jiwa dan semangat muda berlebih, yang apabila tidak diakomodasi dapat menimbulkan gesekan dengan masyarakat.

Permasalahan lain adalah kekesalan warga Entikong terhadap pejabat Indonesia yang datang mengunjungi Entikong, karena alih-alih menggunakan jalan darat dari Pontianak sampai Entikong, rata-rata para pejabat Indonesia malah menggunakan pesawat sampai ke Kuching,

Malaysia lalu menggunakan jalan darat selama dua jam sampai ke Entikong, sehingga mereka tak melihat langsung kesulitan hidup warga Sanggau dan

43buruknya fasilitas dan infrastruktur transportasi disana.

Hampir semua pejabat penting Indonesia pernah ke Entikong, namun tetap pembangunan dirasakan lambat di Entikong danSanggau. Sampai ada komentar yang keluar dari dua peserta FGD : “Semua sudah datang ke

44Entikong, hanya Malaikat saja yang belum datang.”

43 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.

44 Disampaikan di Entikong dalam diskusi pada 9 Mei dan 10 Mei 2012.

Ket : Dewan Masyarakat Tebedu, Serawak (Foto : Heru Susetyo)

Secara fisik, luas wilayah kecamatan-kecamatan di Kabupaten Sanggau begitu besar, hampir sebesar kota/kabupaten di Jawa, namun penduduknya sedikit dan sarana transportasi amat minim. Luas kabupaten Sanggau pun begitu besar, hampir sama dengan luas Provinsi di Jawa,

44 45Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 54: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

namun penduduknya sedikit dan akses transportasi juga sulit. Bahkan, luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan adalah jauh lebih besar dari seluruh Provinsi di pulau Jawa.

Mata uang Ringgit Malaysia banyak beredar dan digunakan masyarakat Entikong untuk berniaga dengan Serawak. Mobil-mobil dengan plat nomor Malaysia banyak berseliweran di Sanggau dan memang digunakan oleh warga/pejabat Sanggau. Menurut informasi dari Wakapolsek Entikong, mobil-mobil tersebut boleh digunakan sampai batas tiga kecamatan

45setelah Entikong.

Ket : Mobil-mobil Malaysia yang dipergunakan warga Indonesia di Entikong(Foto : Heru Susetyo)

Di bidang hiburan, siaran televisi di Sanggau amat mudah menangkap siaran televisi Malaysia, namun belakangan akses ke siaran televisi Malaysia

46dibatasi oleh otoritas Indonesia.

45 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.

46 Satu produk karya seni yang mewakili realita kehidupan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat adalah pada film “Tanah Surga…Katanya” yang dirilis pada Agustus 2012. Film ini disutradarai oleh Herwin Novianto dengan Produser Deddy Mizwar. Film ini adalah penggambaran yang tepat terkait dengan perbedaan kesejahteraan antara dua wilayah di perbatasan dan kronik masalah nasionalisme yang tergerus karena wilayah perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat.

2. Papua

Provinsi Papua yang sebelumnya disebut Irian Barat terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea atau Papua. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, oleh presiden Soeharto namanya diubah menjadi Irian Jaya hingga tahun 2002. Nama Provinsi ini kemudian diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik

47suku-suku asli Papua.

0 0- 0 0Papua secara geografis berada pada posisi 0 19 10 45' LS dan 130 045'-141 10” BT menempati setengah bagian Barat dari Papua New Guinea

yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Provinsi Papua merupakan Provinsi terluas di Indonesia, dengan luas daratan 21,9 %

2dari total tanah seluruh Indonesia yaitu 421.981 Km , membujur dari timur ke barat (Jayapura-Sorong) sepanjang 1.200 Km dan dari Utara ke Selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 820 Km.

Panjang perbatasan RI-PNG dari utara (Kota Jayapura sampai dengan Selatan Merauke) ± 770 Km yang ditandai dengan 52 tugu/pilar batas dimana 24 tugu menjadi tanggungjawab pemerintah RI dan 28 tugu pemeliharaan menjadi tanggungjawab pemerintah PNG. Sejumlah 14 Pilar batas utama dibangun tahun 1966-1967 dan 38 Pilar batas sekunder dibangun tahun 1982-1990.

Kondisi geografi terdiri dari pulau besar dan kecil serta tersebar hampir meliputi 1/3 kali luas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua mempunyai kekhasan tersendiri yaitu pulau yang berjajar di sepanjang pesisirnya. Di pesisir Utara terdapat pulau Biak Numfor, Yapen dan Mapia. Di sebelah Barat pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Di sebelah pesisir Selatan terdapat pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang, sedang dibagian Timur berbatasan dengan negara Papua New Guinea.

47 Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua, Munculnya Fakta Pembiaran, pada http://www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-papua-munculnya-fakta-pembiaran/

46 47Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 55: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

namun penduduknya sedikit dan akses transportasi juga sulit. Bahkan, luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat secara keseluruhan adalah jauh lebih besar dari seluruh Provinsi di pulau Jawa.

Mata uang Ringgit Malaysia banyak beredar dan digunakan masyarakat Entikong untuk berniaga dengan Serawak. Mobil-mobil dengan plat nomor Malaysia banyak berseliweran di Sanggau dan memang digunakan oleh warga/pejabat Sanggau. Menurut informasi dari Wakapolsek Entikong, mobil-mobil tersebut boleh digunakan sampai batas tiga kecamatan

45setelah Entikong.

Ket : Mobil-mobil Malaysia yang dipergunakan warga Indonesia di Entikong(Foto : Heru Susetyo)

Di bidang hiburan, siaran televisi di Sanggau amat mudah menangkap siaran televisi Malaysia, namun belakangan akses ke siaran televisi Malaysia

46dibatasi oleh otoritas Indonesia.

45 Disampaikan dalam FGD di Entikong pada 10 Mei 2012.

46 Satu produk karya seni yang mewakili realita kehidupan di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat adalah pada film “Tanah Surga…Katanya” yang dirilis pada Agustus 2012. Film ini disutradarai oleh Herwin Novianto dengan Produser Deddy Mizwar. Film ini adalah penggambaran yang tepat terkait dengan perbedaan kesejahteraan antara dua wilayah di perbatasan dan kronik masalah nasionalisme yang tergerus karena wilayah perbatasan kurang diperhatikan oleh pemerintah pusat.

2. Papua

Provinsi Papua yang sebelumnya disebut Irian Barat terletak di pulau Nugini bagian barat atau west New Guinea atau Papua. Provinsi ini dulu dikenal dengan panggilan Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973, oleh presiden Soeharto namanya diubah menjadi Irian Jaya hingga tahun 2002. Nama Provinsi ini kemudian diganti menjadi Papua sesuai UU No 21/2001 Otonomi Khusus Papua. Asal kata Irian adalah Ikut Republik Indonesia Anti-Netherland. Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah gambaran yang mengacu pada penampilan fisik

47suku-suku asli Papua.

0 0- 0 0Papua secara geografis berada pada posisi 0 19 10 45' LS dan 130 045'-141 10” BT menempati setengah bagian Barat dari Papua New Guinea

yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland. Provinsi Papua merupakan Provinsi terluas di Indonesia, dengan luas daratan 21,9 %

2dari total tanah seluruh Indonesia yaitu 421.981 Km , membujur dari timur ke barat (Jayapura-Sorong) sepanjang 1.200 Km dan dari Utara ke Selatan (Jayapura-Merauke) sepanjang 820 Km.

Panjang perbatasan RI-PNG dari utara (Kota Jayapura sampai dengan Selatan Merauke) ± 770 Km yang ditandai dengan 52 tugu/pilar batas dimana 24 tugu menjadi tanggungjawab pemerintah RI dan 28 tugu pemeliharaan menjadi tanggungjawab pemerintah PNG. Sejumlah 14 Pilar batas utama dibangun tahun 1966-1967 dan 38 Pilar batas sekunder dibangun tahun 1982-1990.

Kondisi geografi terdiri dari pulau besar dan kecil serta tersebar hampir meliputi 1/3 kali luas Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua mempunyai kekhasan tersendiri yaitu pulau yang berjajar di sepanjang pesisirnya. Di pesisir Utara terdapat pulau Biak Numfor, Yapen dan Mapia. Di sebelah Barat pulau Salawati, Batanta, Gag, Waigeo dan Yefman. Di sebelah pesisir Selatan terdapat pulau Kalepon, Komoran, Adi, Dolak dan Panjang, sedang dibagian Timur berbatasan dengan negara Papua New Guinea.

47 Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua, Munculnya Fakta Pembiaran, pada http://www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-papua-munculnya-fakta-pembiaran/

46 47Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 56: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Sampai saat ini, Papua masih menyatu dengan berbagai stigma dan permasalahan yang melekat padanya. Gambaran umum tentang Papua adalah lemahnya manajemen pelaksanaan pembangunan daerah oleh pemerintah bersama pemerintah daerah setempat. Hal ini bisa dilihat dari realitas fisik Papua sendiri yang terisolir dan dan terkotak-kotak. Nadi ekonomi seolah hanya bertumpu pada jalur transportasi udara yang sangat mahal dan transportasi laut yang lamban; sementara jalur transportasi darat tidak diberdayakan sebagaimana mestinya.

Masalah utama Papua antara lain transportasi. Sarana transportasi darat belum dibuka, baik di sepanjang perbatasan mulai dari Jayapura-Merauke lewat Keerom-Pegunungan Bintang-Boven Digul dan Merauke. Begitu juga dari Jayapura-Wamena atau dari Wamena-Pegunungan Bintang; Begitu juga dari Jayapura-Sarmi-Nabire-Eranotali-Sorong-mengelilingi kepala burung-kemudian di sepanjang pesisisir selatan hingga kembali ke

48Merauke.

Selain tanah yang luas, Provinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten dan 2 Kota yang dalam sistem pertahanan wilayah menjadi wilayah Kodam XVII/Cendrawasih dengan tiga Korem, 9 Kodim serta 3 Yon Infanteri; Angkatan Laut berada di bawah Komando Armada RI Kawasan Timur; Terdapat Lantamal X di Jayapura, membawahi Pangkalan Angkatan Laut Sorong, Biak, Lanudal Biak serta satu Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan di Manokwari ; dan Angkatan Udara berada dibawah KoopsAU II, terdapat Lanud Jayapura ;Lanud Manuhua (MNA), di Biak; Lanud Timika (TMK), di Timika; dan Lanud Merauke (MRE), di Merauke. Sementara Kohanudnas yang merupakan ujung tombak Kotama Operasional TNI AU yang bertugas melaksanakan Penegakan hukum di Udara dan mengatur seluruh potensi kekuatan udara bangsa indonesia. Mereka tidak ada di Papua, tetapi yang ada di Biak Kosekhanudnas IV dengan satu Yon Parako PPRC 468 Paskhas . Ditambah kekuatan Kepolisian yang melekat dengan Pemerintah Daerah, dalam artian di Provinsi ada Polda dan di Kabupaten/Kota terdapat PolRes/Polresta serta untuk Kota besar disebut Polrestabes. Polda Papua membawahi 10 Polres, 124 Polsek, 2 Batalyon Brimob dan 1 Sekolah Polisi

49Negara (SPN).

48 Ibid.

49 Ibid.

a. Permasalahan Perbatasan di Papua

Setelah UU Otonomi Khusus Papua diundangkan pada 21 November 2001, secara resmi masalah Papua tidak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat di Jakarta. Hampir lima tahun kemudian, Juli 2006, pemerintahan Presiden SBY membuat Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan di Tanah Papua sebagai penjelasan teknis dari UU Otsus Papua. Melalui Inpres ini diharapkan kesejahteraan di tanah Papua tidak lagi isapan jempol belaka. Tidak tanggung-tanggung, demi percepatan pembangunan di Papua, Presiden mengerahkan 29 Menteri dan pejabat

50setingkat menteri untuk mendukung pelaksanaan Inpres ini.

Penekanan dari Inpres tersebut adalah perintah pada kementerian-kementerian terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, berdasarkan pendekatan baru bagi Papua (new deal for Papua). Pendekatan itu harus memprioritaskan pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; peningkatan infrastruktur dasar untuk meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman, dan perbatasan negara; serta perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli

51Papua.

Terkait dengan permasalahan perbatasan, sebagaimana di daerah perbatasan yang lain, adalah masih ada yang menganggap bahwa daerah perbatasan adalah daerah halaman belakang RI (backyard) bukan halaman depan (frontyard). Sehingga pelaksanaan pengamanan di daerah perbatasan masih menggunakan paradigma perang dingin (cold war), alias pendekatan keamanan tradisional dengan penekanan pada pendekatan kemiliteran (military approach) dan bukannya pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Padahal, permasalahan-permasalahan terkait perbatasan di

52Papua begitu banyak, antara lain :

·Masih banyaknya pelintas batas illegal dari Papua ke Papua New Guinea dan juga sebaliknya.

50 Angela Classy, et.al. Luka Papua HIV Otonomi Khusus dan Perang Suku (Jakarta, Spasi dan VHR Book : 2008), hal. 93.

51 Ibid., hal. 94.

52 Dikemukakan dalam FGD di Abepura, Papua pada Juli 2012

48 49Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 57: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Sampai saat ini, Papua masih menyatu dengan berbagai stigma dan permasalahan yang melekat padanya. Gambaran umum tentang Papua adalah lemahnya manajemen pelaksanaan pembangunan daerah oleh pemerintah bersama pemerintah daerah setempat. Hal ini bisa dilihat dari realitas fisik Papua sendiri yang terisolir dan dan terkotak-kotak. Nadi ekonomi seolah hanya bertumpu pada jalur transportasi udara yang sangat mahal dan transportasi laut yang lamban; sementara jalur transportasi darat tidak diberdayakan sebagaimana mestinya.

Masalah utama Papua antara lain transportasi. Sarana transportasi darat belum dibuka, baik di sepanjang perbatasan mulai dari Jayapura-Merauke lewat Keerom-Pegunungan Bintang-Boven Digul dan Merauke. Begitu juga dari Jayapura-Wamena atau dari Wamena-Pegunungan Bintang; Begitu juga dari Jayapura-Sarmi-Nabire-Eranotali-Sorong-mengelilingi kepala burung-kemudian di sepanjang pesisisir selatan hingga kembali ke

48Merauke.

Selain tanah yang luas, Provinsi Papua terdiri dari 27 Kabupaten dan 2 Kota yang dalam sistem pertahanan wilayah menjadi wilayah Kodam XVII/Cendrawasih dengan tiga Korem, 9 Kodim serta 3 Yon Infanteri; Angkatan Laut berada di bawah Komando Armada RI Kawasan Timur; Terdapat Lantamal X di Jayapura, membawahi Pangkalan Angkatan Laut Sorong, Biak, Lanudal Biak serta satu Fasilitas Pemeliharaan dan Perbaikan di Manokwari ; dan Angkatan Udara berada dibawah KoopsAU II, terdapat Lanud Jayapura ;Lanud Manuhua (MNA), di Biak; Lanud Timika (TMK), di Timika; dan Lanud Merauke (MRE), di Merauke. Sementara Kohanudnas yang merupakan ujung tombak Kotama Operasional TNI AU yang bertugas melaksanakan Penegakan hukum di Udara dan mengatur seluruh potensi kekuatan udara bangsa indonesia. Mereka tidak ada di Papua, tetapi yang ada di Biak Kosekhanudnas IV dengan satu Yon Parako PPRC 468 Paskhas . Ditambah kekuatan Kepolisian yang melekat dengan Pemerintah Daerah, dalam artian di Provinsi ada Polda dan di Kabupaten/Kota terdapat PolRes/Polresta serta untuk Kota besar disebut Polrestabes. Polda Papua membawahi 10 Polres, 124 Polsek, 2 Batalyon Brimob dan 1 Sekolah Polisi

49Negara (SPN).

48 Ibid.

49 Ibid.

a. Permasalahan Perbatasan di Papua

Setelah UU Otonomi Khusus Papua diundangkan pada 21 November 2001, secara resmi masalah Papua tidak lagi dipandang sebelah mata oleh pemerintah pusat di Jakarta. Hampir lima tahun kemudian, Juli 2006, pemerintahan Presiden SBY membuat Instruksi Presiden tentang Percepatan Pembangunan di Tanah Papua sebagai penjelasan teknis dari UU Otsus Papua. Melalui Inpres ini diharapkan kesejahteraan di tanah Papua tidak lagi isapan jempol belaka. Tidak tanggung-tanggung, demi percepatan pembangunan di Papua, Presiden mengerahkan 29 Menteri dan pejabat

50setingkat menteri untuk mendukung pelaksanaan Inpres ini.

Penekanan dari Inpres tersebut adalah perintah pada kementerian-kementerian terkait untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing, berdasarkan pendekatan baru bagi Papua (new deal for Papua). Pendekatan itu harus memprioritaskan pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; peningkatan infrastruktur dasar untuk meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman, dan perbatasan negara; serta perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumber daya manusia putra-putri asli

51Papua.

Terkait dengan permasalahan perbatasan, sebagaimana di daerah perbatasan yang lain, adalah masih ada yang menganggap bahwa daerah perbatasan adalah daerah halaman belakang RI (backyard) bukan halaman depan (frontyard). Sehingga pelaksanaan pengamanan di daerah perbatasan masih menggunakan paradigma perang dingin (cold war), alias pendekatan keamanan tradisional dengan penekanan pada pendekatan kemiliteran (military approach) dan bukannya pendekatan kesejahteraan (prosperity approach). Padahal, permasalahan-permasalahan terkait perbatasan di

52Papua begitu banyak, antara lain :

·Masih banyaknya pelintas batas illegal dari Papua ke Papua New Guinea dan juga sebaliknya.

50 Angela Classy, et.al. Luka Papua HIV Otonomi Khusus dan Perang Suku (Jakarta, Spasi dan VHR Book : 2008), hal. 93.

51 Ibid., hal. 94.

52 Dikemukakan dalam FGD di Abepura, Papua pada Juli 2012

48 49Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 58: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

·Banyaknya permasalahan hak ulayat masyarakat adat yang menimbulkan konflik sosial antar masyarakat ataupun dengan negara.

·Adanya penyelundupan senjata, amunisi dan narkoba di perbatasan

·Adanya kelompok sipil bersenjata di sepanjang perbatasan kedua negara yang mengancam stabilitas pemerintahan dan kenyamanan hidup masyarakat.

·Perbedaan harga bahan pokok antara PNG dan Papua yang memicu lahirnya gelombang pembeli dari negeri tetangga.

·Adanya infiltrasi, secara nyata sering dilakukan oleh kelompok GPK Papua yang berada di luar negeri dengan memanfaatkan berbagai media. Gelagat subversi/infiltrasi jaringan GPK Papua Internasional terhadap kedaulatan NKRI dilakukan secara tertutup dengan memberikan motivasi politik melalui kegiatan yang dilakukan oleh NGO/LSM dan jaringan GPK Papua Internasional yang memiliki kepentingan terhadap Papua dan negara-negara di kawasan Pasifik. Misi NGO/LSM yang beroperasi di Papua sangat berpeluang melakukan subversi dengan memanfaatkan kelompok-kelompok GPK Papua, kelompok yang tidak puas dan

53kelompok sakit hati terhadap pemerintah RI.

·Panjangnya garis batas yang memisahkan wilayah RI-PNG dan terbatasnya Alut Sista yang berfungsi sebagai Early Warning System (Sistem Peringatan Awal) dan satuan tugas di sepanjang perbatasan berpeluang terjadi pelanggaran oleh penerbangan dan pelayaran asing serta pelanggaran pelintas batas tradisional. Disamping itu perebutan kepentingan dikawasan wilayah Papua dengan pertimbangan geo politik dan Geo strategis dapat dijadikan alasan untuk melakukan pelanggaran wilayah oleh pihak asing

54(PNG dan Australia).

·Kondisi dan situasi daerah di sepanjang perbatasan kurang memungkinkan dan sulit untuk diawasi oleh petugas pengamanan karena daerahnya terdiri dari hutan yang lebat di sepanjang perbatasan, sehingga menyulitkan dalam pemantauan dengan dihadapkan pada personel satuan pengamanan yang jumlahnya terbatas.

53 Informasi dari Kodam Trikora

54 Ibid.

·Ancaman pemberontakan dari GPK Papua dengan segenap aksi provokasinya yang mengancam disintegrasi NKRI.

·Tindakan anarkis dapat terjadi di wilayah Papua, hal tersebut dikarenakan budaya masyarakat asli Papua yang gemar mengkonsumsi minuman keras sehingga sering kali melakukan aksi kriminalitas yang disertai tindakan anarkis seperti aksi pemalakan, pencurian dan pemerkosaan bahkan pembunuhan pada saat dalam pengaruh minuman keras.

Ket : Perbatasan Papua-PNG di Skouw Kab. Jayapura (Foto : Heru Susetyo)

·Daerah perbatasan sering dijadikan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum baik di wilayah RI maupun di PNG.

·Adanya pelintas batas illegal yang masuk ke wilayah PNG dan tidak mau kembali ke wilayah Papua kerena alasan politik.

·Sering terjadi penyelundupan barang-barang illegal dan kegiatan perdagangan illegal masuk dan keluar dari/ke wilayah RI.

·Terdapat tanah dengan status hak ulayat penduduk PNG yang berada di wilayah RI, begitu juga sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena jauh sebelum kedua wilayah terbelah menjadi dua negara

50 51Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 59: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

·Banyaknya permasalahan hak ulayat masyarakat adat yang menimbulkan konflik sosial antar masyarakat ataupun dengan negara.

·Adanya penyelundupan senjata, amunisi dan narkoba di perbatasan

·Adanya kelompok sipil bersenjata di sepanjang perbatasan kedua negara yang mengancam stabilitas pemerintahan dan kenyamanan hidup masyarakat.

·Perbedaan harga bahan pokok antara PNG dan Papua yang memicu lahirnya gelombang pembeli dari negeri tetangga.

·Adanya infiltrasi, secara nyata sering dilakukan oleh kelompok GPK Papua yang berada di luar negeri dengan memanfaatkan berbagai media. Gelagat subversi/infiltrasi jaringan GPK Papua Internasional terhadap kedaulatan NKRI dilakukan secara tertutup dengan memberikan motivasi politik melalui kegiatan yang dilakukan oleh NGO/LSM dan jaringan GPK Papua Internasional yang memiliki kepentingan terhadap Papua dan negara-negara di kawasan Pasifik. Misi NGO/LSM yang beroperasi di Papua sangat berpeluang melakukan subversi dengan memanfaatkan kelompok-kelompok GPK Papua, kelompok yang tidak puas dan

53kelompok sakit hati terhadap pemerintah RI.

·Panjangnya garis batas yang memisahkan wilayah RI-PNG dan terbatasnya Alut Sista yang berfungsi sebagai Early Warning System (Sistem Peringatan Awal) dan satuan tugas di sepanjang perbatasan berpeluang terjadi pelanggaran oleh penerbangan dan pelayaran asing serta pelanggaran pelintas batas tradisional. Disamping itu perebutan kepentingan dikawasan wilayah Papua dengan pertimbangan geo politik dan Geo strategis dapat dijadikan alasan untuk melakukan pelanggaran wilayah oleh pihak asing

54(PNG dan Australia).

·Kondisi dan situasi daerah di sepanjang perbatasan kurang memungkinkan dan sulit untuk diawasi oleh petugas pengamanan karena daerahnya terdiri dari hutan yang lebat di sepanjang perbatasan, sehingga menyulitkan dalam pemantauan dengan dihadapkan pada personel satuan pengamanan yang jumlahnya terbatas.

53 Informasi dari Kodam Trikora

54 Ibid.

·Ancaman pemberontakan dari GPK Papua dengan segenap aksi provokasinya yang mengancam disintegrasi NKRI.

·Tindakan anarkis dapat terjadi di wilayah Papua, hal tersebut dikarenakan budaya masyarakat asli Papua yang gemar mengkonsumsi minuman keras sehingga sering kali melakukan aksi kriminalitas yang disertai tindakan anarkis seperti aksi pemalakan, pencurian dan pemerkosaan bahkan pembunuhan pada saat dalam pengaruh minuman keras.

Ket : Perbatasan Papua-PNG di Skouw Kab. Jayapura (Foto : Heru Susetyo)

·Daerah perbatasan sering dijadikan sebagai tempat pelarian orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum baik di wilayah RI maupun di PNG.

·Adanya pelintas batas illegal yang masuk ke wilayah PNG dan tidak mau kembali ke wilayah Papua kerena alasan politik.

·Sering terjadi penyelundupan barang-barang illegal dan kegiatan perdagangan illegal masuk dan keluar dari/ke wilayah RI.

·Terdapat tanah dengan status hak ulayat penduduk PNG yang berada di wilayah RI, begitu juga sebaliknya. Hal ini dimungkinkan karena jauh sebelum kedua wilayah terbelah menjadi dua negara

50 51Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 60: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

yang berbeda dan berdaulat, di sana telah ada kesatuan masyarakat hukum adat yang sama.

·Adanya warga negara PNG berdiam di wilayah RI dan juga sebaliknya dengan status tak terdaftar.

·Sarana infrastruktur dan aksesibilitas menuju perbatasan masih sangat terbatas.

Ket : Pasar tradisional di Perbatasan Skouw Kab. Jayapura (Foto : Heru Susetyo)

Ket : Permukiman penduduk di sekitar perbatasan Skouw (Foto: Heru Susetyo)

·Masih rendahnya kualitas SDM terutama masyarakat di perbatasan RI-PNG

·Masih terbatasnya pasar di perbatasan untuk masyarakat di perbatasan

·Belum tersedianya infrastruktur sarana transportasi, permukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat di perbatasan.

·Masih adanya pencurian kayu illegal (illegal logging) oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan perbatasan.

·Masih maraknya kepemilikan KTP Ganda sebagai identitas dari warga RI-PNG (Dual Citizenship)

·Belum terbentuknya penataan ruang wilayah khususnya di wilayah perbatasan.

·Belum tersedian ya infrastruktur sarana transportasi pemukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat perbatasan.

·Belum optimalnya peran dan fungsi Pos Lintas Batas (PLB) di sepanjang garis batas.

·Masih rawannya masalah pertahanan dan keamanan sepanjang kawasan perbatasan.

·Tuntutan birokrasi dan aturan yang membatasi ruang gerak aparatur/pejabat perbatasan di daerah dalam menyelesaikan permasalahan di kawasan perbatasan.

·Masalah pendidikan masih menjadi masalah yang amat serius di Papua

·Banyak guru yang tidak hadir mengajar dan murid yang tidak hadir; Karena alasan keamanan dan kekurangan guru, sekolah sering

55libur.

55 Informasi dari Pekerja UNICEF di Jayapura.

52 53Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 61: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

yang berbeda dan berdaulat, di sana telah ada kesatuan masyarakat hukum adat yang sama.

·Adanya warga negara PNG berdiam di wilayah RI dan juga sebaliknya dengan status tak terdaftar.

·Sarana infrastruktur dan aksesibilitas menuju perbatasan masih sangat terbatas.

Ket : Pasar tradisional di Perbatasan Skouw Kab. Jayapura (Foto : Heru Susetyo)

Ket : Permukiman penduduk di sekitar perbatasan Skouw (Foto: Heru Susetyo)

·Masih rendahnya kualitas SDM terutama masyarakat di perbatasan RI-PNG

·Masih terbatasnya pasar di perbatasan untuk masyarakat di perbatasan

·Belum tersedianya infrastruktur sarana transportasi, permukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat di perbatasan.

·Masih adanya pencurian kayu illegal (illegal logging) oleh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan perbatasan.

·Masih maraknya kepemilikan KTP Ganda sebagai identitas dari warga RI-PNG (Dual Citizenship)

·Belum terbentuknya penataan ruang wilayah khususnya di wilayah perbatasan.

·Belum tersedian ya infrastruktur sarana transportasi pemukiman dan jaringan irigasi yang memadai untuk masyarakat perbatasan.

·Belum optimalnya peran dan fungsi Pos Lintas Batas (PLB) di sepanjang garis batas.

·Masih rawannya masalah pertahanan dan keamanan sepanjang kawasan perbatasan.

·Tuntutan birokrasi dan aturan yang membatasi ruang gerak aparatur/pejabat perbatasan di daerah dalam menyelesaikan permasalahan di kawasan perbatasan.

·Masalah pendidikan masih menjadi masalah yang amat serius di Papua

·Banyak guru yang tidak hadir mengajar dan murid yang tidak hadir; Karena alasan keamanan dan kekurangan guru, sekolah sering

55libur.

55 Informasi dari Pekerja UNICEF di Jayapura.

52 53Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 62: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

·Masalah kesehatan adalah juga masalah yang amat serius di Papua

·Banyak ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang berasal dari Papua, di Jayapura ada satu lokalisasi terkenal di daerah Sentani, sering disebut sebagai 'Turki” (Turun ke Kiri).

·Adanya kekurangharmonisan relasi antara penduduk asli Papua dengan Pendatang, sebabnya karena perbedaan strata ekonomi hingga perbedaan kebudayaan atau juga perbedaan 'peradaban'

·Warga pendatang kebanyakan berasal dari Jawa kemudian Sulawesi (Bugis, Buton, Makassar, Manado), Sumatra (Minang dan Batak), kemudian juga Tionghoa dan Di kota Jayapura, 70% dari penduduk adalah pendatang non Papua sehingga posisi warga pendatang dalam kehidupan sosial dan politik di Jayapura nampak dominan.

·Masalah transportasi publik dan ketersediaan jalan darat adalah salah satu masalah utama yang menghinggapi Papua sampai saat ini.

·Hanya ada empat kabupaten/kota yang terhubungkan dengan jalan darat yaitu Kota Jayapura, Kab, Jayapura, Kab. Keerom dan Kab. Sarmi, sementara selebihnya harus menggunakan transportasi udara yang amat mahal dan tak terjangkau oleh kemampuan finansial penduduk lokal. Biaya pesawat dari Papua ke Pulau Jawa pulang pergi amat mahal, apalagi di saat musim liburan, natal dan lebaran.

Ket : Danau Sentani yang Indah sebenarnya adalah Potensi Pariwisata dan Potensi pemasukan daerah yang besar (Foto : Heru Susetyo)

Pengalaman masyarakat asli Papua dalam proses pembangunan di daerah itu menunjukkan bahwa pembangunan cenderung berjalan lambat dan tidak diarahkan untuk kesejahteraan orang asli Papua yang kemudian menciptakan kesenjangan dalam berbagai sektor pembangunan di Papua. Kesenjangan pembangunan di Papua yang terjadi puluhan tahun yang tidak memberdayakan, tidak melindungi dan tidak berpihak pada masyarakat asli Papua, telah membentuk kesadaran lokal masyarakat asli Papua bahwa eksistensi orang Papua tidak mendapatkan tempat yang sama dengan

56daerah lainnya dalam wilayah NKRI.

Hal paling mencolok adalah partisipasi masyarakat asli Papua dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Berbagai survey yang dilakukan mengindikasikan tingkat partisipasi masyarakat asli di Papua dalam mengakses pendidikan dan kesehatan amat minim. Salah satunya survey yang dilakukan oleh IFES pada tahun 2003 yang mengkonfirmasikan akses ke pendidikan telah disorot sebagai isu utama bagi masyarakat Papua, terutama menyangkut masyarakat asli Papua. Rata-rata rumah tangga di Papua memiliki 1 hingga 6 anak dengan kisaran usia 7 hingga 15 tahun. Tidak semua anak-anak tersebut bersekolah dan partisipasi sekolah ternyata berada pada tingkat terendah dalam masyarakat asli Papua. Survey tersebut

57selanjutnya menyimpulkan bahwa 1 dari 5 anak Papua tidak bersekolah.

Melalui survey yang sama diketahui bahwa hanya seperempat dari masyarakat Papua (23%) menggunakan air ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum utama. Karena topografi yang sulit di berbagai bagian Papua, mungkin saja tidak beralasan untuk mengharapkan kebanyakan masyarakat Papua mempunyai akses ke air ledeng. Survey ini juga menemukan bahwa di luar masalah sumber air, ada masalah kekurangan air bersih untuk Papua. Lebih dari 95% penduduk memasak air yang diperoleh dari ledeng, sumur-sumur dan air hujan. Hanya 58% dari mereka yang memperoleh air dari sungai atau danau menyatakan memasaknya sebelum dipakai. Barangkali inilah alasan mengapa 30% responden melaporkan adanya anggota keluarga yang menderita disentri atau diare dibandingkan dengan 15% atau lebih

58sedikit untuk pengguna mata air lain.

56 Angela Classy, et.al., op.cit., hal. 123.

57 Ibid., hal. 124.

58 Ibid., hal. 124.

54 55Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 63: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

·Masalah kesehatan adalah juga masalah yang amat serius di Papua

·Banyak ODHA (orang dengan HIV/AIDS) yang berasal dari Papua, di Jayapura ada satu lokalisasi terkenal di daerah Sentani, sering disebut sebagai 'Turki” (Turun ke Kiri).

·Adanya kekurangharmonisan relasi antara penduduk asli Papua dengan Pendatang, sebabnya karena perbedaan strata ekonomi hingga perbedaan kebudayaan atau juga perbedaan 'peradaban'

·Warga pendatang kebanyakan berasal dari Jawa kemudian Sulawesi (Bugis, Buton, Makassar, Manado), Sumatra (Minang dan Batak), kemudian juga Tionghoa dan Di kota Jayapura, 70% dari penduduk adalah pendatang non Papua sehingga posisi warga pendatang dalam kehidupan sosial dan politik di Jayapura nampak dominan.

·Masalah transportasi publik dan ketersediaan jalan darat adalah salah satu masalah utama yang menghinggapi Papua sampai saat ini.

·Hanya ada empat kabupaten/kota yang terhubungkan dengan jalan darat yaitu Kota Jayapura, Kab, Jayapura, Kab. Keerom dan Kab. Sarmi, sementara selebihnya harus menggunakan transportasi udara yang amat mahal dan tak terjangkau oleh kemampuan finansial penduduk lokal. Biaya pesawat dari Papua ke Pulau Jawa pulang pergi amat mahal, apalagi di saat musim liburan, natal dan lebaran.

Ket : Danau Sentani yang Indah sebenarnya adalah Potensi Pariwisata dan Potensi pemasukan daerah yang besar (Foto : Heru Susetyo)

Pengalaman masyarakat asli Papua dalam proses pembangunan di daerah itu menunjukkan bahwa pembangunan cenderung berjalan lambat dan tidak diarahkan untuk kesejahteraan orang asli Papua yang kemudian menciptakan kesenjangan dalam berbagai sektor pembangunan di Papua. Kesenjangan pembangunan di Papua yang terjadi puluhan tahun yang tidak memberdayakan, tidak melindungi dan tidak berpihak pada masyarakat asli Papua, telah membentuk kesadaran lokal masyarakat asli Papua bahwa eksistensi orang Papua tidak mendapatkan tempat yang sama dengan

56daerah lainnya dalam wilayah NKRI.

Hal paling mencolok adalah partisipasi masyarakat asli Papua dalam sektor pendidikan dan kesehatan. Berbagai survey yang dilakukan mengindikasikan tingkat partisipasi masyarakat asli di Papua dalam mengakses pendidikan dan kesehatan amat minim. Salah satunya survey yang dilakukan oleh IFES pada tahun 2003 yang mengkonfirmasikan akses ke pendidikan telah disorot sebagai isu utama bagi masyarakat Papua, terutama menyangkut masyarakat asli Papua. Rata-rata rumah tangga di Papua memiliki 1 hingga 6 anak dengan kisaran usia 7 hingga 15 tahun. Tidak semua anak-anak tersebut bersekolah dan partisipasi sekolah ternyata berada pada tingkat terendah dalam masyarakat asli Papua. Survey tersebut

57selanjutnya menyimpulkan bahwa 1 dari 5 anak Papua tidak bersekolah.

Melalui survey yang sama diketahui bahwa hanya seperempat dari masyarakat Papua (23%) menggunakan air ledeng (PDAM) sebagai sumber air minum utama. Karena topografi yang sulit di berbagai bagian Papua, mungkin saja tidak beralasan untuk mengharapkan kebanyakan masyarakat Papua mempunyai akses ke air ledeng. Survey ini juga menemukan bahwa di luar masalah sumber air, ada masalah kekurangan air bersih untuk Papua. Lebih dari 95% penduduk memasak air yang diperoleh dari ledeng, sumur-sumur dan air hujan. Hanya 58% dari mereka yang memperoleh air dari sungai atau danau menyatakan memasaknya sebelum dipakai. Barangkali inilah alasan mengapa 30% responden melaporkan adanya anggota keluarga yang menderita disentri atau diare dibandingkan dengan 15% atau lebih

58sedikit untuk pengguna mata air lain.

56 Angela Classy, et.al., op.cit., hal. 123.

57 Ibid., hal. 124.

58 Ibid., hal. 124.

54 55Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 64: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Pakar kajian perbatasan, Harmen Batubara, mengungkapkan bahwa masalah lain Papua adalah adanya fakta pembiaran. Pemerintah memperkenalkan konsep pembangunan kawasan strategis di Provinsi Papua yang dimaksudkan untuk meningkatkan potensi ekonomi wilayah melalui koridor ekonomi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan dengan pengembangan klaster industri dan atau kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis sumber daya unggulan di kawasan strategis sesuai dengan arahan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 pada Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Kawasan strategis di Provinsi Papua dalam MP3EI 2011-2025 adalah Jayapura, Timika, dan Merauke. Hanya saja tanpa adanya suatu dukungan urat nadi ekonomi yang berupa sarana jalan transportasi darat yang menghubungkan kawasan-kawasan strategis tersebut, maka bisa dibayangkan klaster-klaster industry itu tidak akan bisa tumbuh realistis,

59karena ekonomi biaya tinggi.

Ket : Teluk Jayapura yang indah (Foto : Heru Susetyo)

59 Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua Munculnya Fakta Pembiaran dalam http://wilayahperbatasan.com

Permasalahan kemudian adalah, secara konsep dan aliran anggaran pembangunan Papua sebenarnya sungguh baik, tetapi kemana hasilnya? Mengapa Papua masih menjadi wilayah yang paling miskin warganya? Dari segi kekuatan baik itu politik maupun bersenjata kemampuan separatis di sana tergolong kecil, dan kemudian semua pejabatnya sudah putra daerah (Warga Papua Asli). Tetapi kenapa disiplin dan hasil pembangunan itu begitu

60lambannya?

Berkenaan dengan pembangunan pertahanan di perbatasan diperoleh gambaran bahwa berbagai kendala dan keterbatasan khususnya Infrastruktur (sampai sekarang jalur Jayapura-Wamena dan Jayapura-Merauke belum terhubung) masih menjadi penyebab belum terwujudnya pembangunan ekonomi berorientasi pertahanan. Kerjasama dan hubungan sinergis antara TNI, Polri, dan Pemerintah daerah (prov, kab/kota) masih terindikasi belum berjalan secara terintegrasi; konsep pembangunan, pertahanan dan lingkungan hidup tidak muncul dan tidak sinergis, perbedaan persepsi masih terjadi, koordinasi masih menjadi wacana, dan ujungnya berdampak kepada keadaan yang seolah-olah terjadi pembiaran dan tidak adanya peran otoritas yang muncul dalam hal seperti ini peran Kemdagri

61seolah-olah tidak terasa di lapangan.

3. Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur adalah Provinsi yang berbatasan fisik dengan Negara Timor Leste di dua wilayah terpisah, masing-masing di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan yang berbatasan dengan bagian barat Timor Leste, dan Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan dengan daerah enclave Distrik Oecussi-Ambeno.

Sampai saat ini, 13 tahun berlalu sejak Timor Leste berpisah dengan NKRI, masalah sosial politik dan keamanan masih terus menyertai. Salah satu masalah krusial adalah pengungsi dari Timor Leste yang memilih bergabung dengan NKRI pascajajak pendapat 1999. Banyak pengungsi masih menghuni hunian sederhana di Kabupaten Belu dan di beberapa wilayah yang lain di NTT. Padahal kondisi kehidupan masyarakat Belu sendiri tidak lebih baik dibandingkan dengan para pengungsi. Sejatinya para

60 Ibid.

61 Ibid.

56 57Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 65: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Pakar kajian perbatasan, Harmen Batubara, mengungkapkan bahwa masalah lain Papua adalah adanya fakta pembiaran. Pemerintah memperkenalkan konsep pembangunan kawasan strategis di Provinsi Papua yang dimaksudkan untuk meningkatkan potensi ekonomi wilayah melalui koridor ekonomi dengan membangun pusat-pusat pertumbuhan dengan pengembangan klaster industri dan atau kawasan ekonomi khusus (KEK) berbasis sumber daya unggulan di kawasan strategis sesuai dengan arahan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 pada Koridor Ekonomi Papua-Kepulauan Maluku. Kawasan strategis di Provinsi Papua dalam MP3EI 2011-2025 adalah Jayapura, Timika, dan Merauke. Hanya saja tanpa adanya suatu dukungan urat nadi ekonomi yang berupa sarana jalan transportasi darat yang menghubungkan kawasan-kawasan strategis tersebut, maka bisa dibayangkan klaster-klaster industry itu tidak akan bisa tumbuh realistis,

59karena ekonomi biaya tinggi.

Ket : Teluk Jayapura yang indah (Foto : Heru Susetyo)

59 Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua Munculnya Fakta Pembiaran dalam http://wilayahperbatasan.com

Permasalahan kemudian adalah, secara konsep dan aliran anggaran pembangunan Papua sebenarnya sungguh baik, tetapi kemana hasilnya? Mengapa Papua masih menjadi wilayah yang paling miskin warganya? Dari segi kekuatan baik itu politik maupun bersenjata kemampuan separatis di sana tergolong kecil, dan kemudian semua pejabatnya sudah putra daerah (Warga Papua Asli). Tetapi kenapa disiplin dan hasil pembangunan itu begitu

60lambannya?

Berkenaan dengan pembangunan pertahanan di perbatasan diperoleh gambaran bahwa berbagai kendala dan keterbatasan khususnya Infrastruktur (sampai sekarang jalur Jayapura-Wamena dan Jayapura-Merauke belum terhubung) masih menjadi penyebab belum terwujudnya pembangunan ekonomi berorientasi pertahanan. Kerjasama dan hubungan sinergis antara TNI, Polri, dan Pemerintah daerah (prov, kab/kota) masih terindikasi belum berjalan secara terintegrasi; konsep pembangunan, pertahanan dan lingkungan hidup tidak muncul dan tidak sinergis, perbedaan persepsi masih terjadi, koordinasi masih menjadi wacana, dan ujungnya berdampak kepada keadaan yang seolah-olah terjadi pembiaran dan tidak adanya peran otoritas yang muncul dalam hal seperti ini peran Kemdagri

61seolah-olah tidak terasa di lapangan.

3. Nusa Tenggara Timur

Nusa Tenggara Timur adalah Provinsi yang berbatasan fisik dengan Negara Timor Leste di dua wilayah terpisah, masing-masing di Kabupaten Belu dan Timor Tengah Selatan yang berbatasan dengan bagian barat Timor Leste, dan Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) yang berbatasan dengan daerah enclave Distrik Oecussi-Ambeno.

Sampai saat ini, 13 tahun berlalu sejak Timor Leste berpisah dengan NKRI, masalah sosial politik dan keamanan masih terus menyertai. Salah satu masalah krusial adalah pengungsi dari Timor Leste yang memilih bergabung dengan NKRI pascajajak pendapat 1999. Banyak pengungsi masih menghuni hunian sederhana di Kabupaten Belu dan di beberapa wilayah yang lain di NTT. Padahal kondisi kehidupan masyarakat Belu sendiri tidak lebih baik dibandingkan dengan para pengungsi. Sejatinya para

60 Ibid.

61 Ibid.

56 57Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 66: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

pengungsi rata-rata berasal dari latar belakang sosial dan kultural yang sama dengan penduduk di kabupaten Belu, hanya saja mereka tinggal di wilayah Indonesia bagian Timor Leste ketika Jajak Pendapat 1999 terjadi.

Ket : Penghuni asal Timor Leste di Kab. Belu (Foto : Heru Susetyo)

Di Kabupaten Belu ada sekitar 10 resettlement untuk pengungsi asal Timor Leste yang tersebar di empat desa. Lokasi resettlement adalah penyumbang anak terbanyak (angka kelahiran tinggi). Dan di setiap lokasi

62resettlement sering ditemukan masalah pertanahan//konflik pertanahan.

Akses jalan dari Ibu kota Provinsi Kupang ke Atambua hingga perbatasan Motaain relatif mulus dan baik. Ada kecemburuan dari pamong praja di NTT terhadap Timor Leste, bahwa dalam kurun waktu ketika Timor Leste masih bersama RI (1976-1999) pembangunan fisik terhadap Timor Timur luar biasa diprioritaskan, sehingga menimbulkan kecemburuan dari Provinsi tetangga, utamanya NTT.

Namun saat ini, utamanya setelah secara perlahan badan-badan internasional dan PBB meninggalkan Timor Leste, kondisi Timor Leste tidak lebih baik daripada NTT. Bahkan secara ekonomi, Timor Leste masih bergantung pada NTT dan Provinsi lain di Indonesia. Banyak warga Timor Leste yang berbelanja barang kebutuhan pokok hingga bensin dan minyak tanah ke NTT. Di warung kelontong di Batugade (wilayah Timor Leste yang berhimpitan dengan Mota Ain Kab. Belu) hampir semua barang-barang yang dijual adalah produk Indonesia. Bahkan pemilik warung adalah WNI keturunan Tionghoa asal Atambua.

62 Data dari FGD di Atambua, 4 Juni 2012.

Ket : Warung di Batugade, Timor Leste dengan Produk Mayoritas dari Indonesia(Foto : Heru Susetyo)

Pasca jajak pendapat 1999 dan ketika dalam pembinaan PBB, Timor Leste berkesempatan mengembangkan infrastruktur kesehatan dan membina SDM kesehatannya. Hal ini membuat banyak warga Kabupaten Belu memilih berobat ke Timor Leste daripada di wilayahnya sendiri.

Terkait dengan masalah kesehatan, angka kematian Ibu (AKI) di NTT adalah yang tertinggi di Indonesia. Kemudian angka ODHA di Kabupaten Belu

63adalah nomor dua terbesar di NTT setelah Kupang.

63 Informasi dari perwakilan Dinas Kesehatan Kab. Belu dalam FGD di Atambua, 4 Juni 2012.

58 59Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 67: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

pengungsi rata-rata berasal dari latar belakang sosial dan kultural yang sama dengan penduduk di kabupaten Belu, hanya saja mereka tinggal di wilayah Indonesia bagian Timor Leste ketika Jajak Pendapat 1999 terjadi.

Ket : Penghuni asal Timor Leste di Kab. Belu (Foto : Heru Susetyo)

Di Kabupaten Belu ada sekitar 10 resettlement untuk pengungsi asal Timor Leste yang tersebar di empat desa. Lokasi resettlement adalah penyumbang anak terbanyak (angka kelahiran tinggi). Dan di setiap lokasi

62resettlement sering ditemukan masalah pertanahan//konflik pertanahan.

Akses jalan dari Ibu kota Provinsi Kupang ke Atambua hingga perbatasan Motaain relatif mulus dan baik. Ada kecemburuan dari pamong praja di NTT terhadap Timor Leste, bahwa dalam kurun waktu ketika Timor Leste masih bersama RI (1976-1999) pembangunan fisik terhadap Timor Timur luar biasa diprioritaskan, sehingga menimbulkan kecemburuan dari Provinsi tetangga, utamanya NTT.

Namun saat ini, utamanya setelah secara perlahan badan-badan internasional dan PBB meninggalkan Timor Leste, kondisi Timor Leste tidak lebih baik daripada NTT. Bahkan secara ekonomi, Timor Leste masih bergantung pada NTT dan Provinsi lain di Indonesia. Banyak warga Timor Leste yang berbelanja barang kebutuhan pokok hingga bensin dan minyak tanah ke NTT. Di warung kelontong di Batugade (wilayah Timor Leste yang berhimpitan dengan Mota Ain Kab. Belu) hampir semua barang-barang yang dijual adalah produk Indonesia. Bahkan pemilik warung adalah WNI keturunan Tionghoa asal Atambua.

62 Data dari FGD di Atambua, 4 Juni 2012.

Ket : Warung di Batugade, Timor Leste dengan Produk Mayoritas dari Indonesia(Foto : Heru Susetyo)

Pasca jajak pendapat 1999 dan ketika dalam pembinaan PBB, Timor Leste berkesempatan mengembangkan infrastruktur kesehatan dan membina SDM kesehatannya. Hal ini membuat banyak warga Kabupaten Belu memilih berobat ke Timor Leste daripada di wilayahnya sendiri.

Terkait dengan masalah kesehatan, angka kematian Ibu (AKI) di NTT adalah yang tertinggi di Indonesia. Kemudian angka ODHA di Kabupaten Belu

63adalah nomor dua terbesar di NTT setelah Kupang.

63 Informasi dari perwakilan Dinas Kesehatan Kab. Belu dalam FGD di Atambua, 4 Juni 2012.

58 59Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 68: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Permukiman Penduduk di Kabupaten Belu (Foto : Heru Susetyo) Ket : Perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota Ain Kab. Belu (Foto : Heru Susetyo)

Masalah kesehatan dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Belu ini amat serius. Untuk tingkatan tertentu, fasilitas kesehatan di Timor Leste sedikit lebih baik daripada di Kabupaten Belu. Hal ini terungkap dari perkataan seorang camat peserta FGD : “apabila tidak ada peningkatan terhadap fasilitas kesehatan di Belu, kemungkinan besar kami akan berobat ke Dili (110 km dari Motomasin alias dua jam saja) atau ke Maliana-Bobonaro (satu setengah jam dari border), sementara jarak dari Atambua ke Kupang adalah

645-6 jam. Bukan tidak mungkin akan ada eksodus pasien...”.

64 Informasi dari FGD di Atambua pada 4 Juni 2012.

Akan halnya kondisi perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan Distrik Oecussi Timor Leste yang enclave memiliki masalah perbatasan yang hampir sama, kendati tidak sepelik masalah di Kabupaten Belu. Pasalnya, distrik ini tidak lebih sejahtera dari Kabupaten TTU. Namun, pada beberapa sisi Distrik Oecussi memiliki keunggulan dengan daerah perbatasan di Kabupaten TTU, antara lain listrik yang lebih lama menyala, rumah-rumah yang beratap seng (di TTU banyak yang masih beratap alang-alang) dan sinyal telepon selular Timor Leste yang lebih kuat

65daripada sinyal perusahaan selular Indonesia.

Perbatasan RI dengan Timor Leste baik di Kabupaten Belu maupun di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang yang berbatasan dengan Distrik Oecussi Ambeno (daerah enclave) memang tidak sepanjang

65 Informasi dari FGD di Kefamenanu, Kabupaten TTU 5 Juni 2012.

60 61Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 69: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Ket : Permukiman Penduduk di Kabupaten Belu (Foto : Heru Susetyo) Ket : Perbatasan Indonesia-Timor Leste di Mota Ain Kab. Belu (Foto : Heru Susetyo)

Masalah kesehatan dan fasilitas kesehatan di Kabupaten Belu ini amat serius. Untuk tingkatan tertentu, fasilitas kesehatan di Timor Leste sedikit lebih baik daripada di Kabupaten Belu. Hal ini terungkap dari perkataan seorang camat peserta FGD : “apabila tidak ada peningkatan terhadap fasilitas kesehatan di Belu, kemungkinan besar kami akan berobat ke Dili (110 km dari Motomasin alias dua jam saja) atau ke Maliana-Bobonaro (satu setengah jam dari border), sementara jarak dari Atambua ke Kupang adalah

645-6 jam. Bukan tidak mungkin akan ada eksodus pasien...”.

64 Informasi dari FGD di Atambua pada 4 Juni 2012.

Akan halnya kondisi perbatasan antara Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU) dengan Distrik Oecussi Timor Leste yang enclave memiliki masalah perbatasan yang hampir sama, kendati tidak sepelik masalah di Kabupaten Belu. Pasalnya, distrik ini tidak lebih sejahtera dari Kabupaten TTU. Namun, pada beberapa sisi Distrik Oecussi memiliki keunggulan dengan daerah perbatasan di Kabupaten TTU, antara lain listrik yang lebih lama menyala, rumah-rumah yang beratap seng (di TTU banyak yang masih beratap alang-alang) dan sinyal telepon selular Timor Leste yang lebih kuat

65daripada sinyal perusahaan selular Indonesia.

Perbatasan RI dengan Timor Leste baik di Kabupaten Belu maupun di Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Kupang yang berbatasan dengan Distrik Oecussi Ambeno (daerah enclave) memang tidak sepanjang

65 Informasi dari FGD di Kefamenanu, Kabupaten TTU 5 Juni 2012.

60 61Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 70: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

dan seluas perbatasan RI dengan PNG di Papua ataupun dengan Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, namun potensi kerawanan sosial tetap ada. Pertama, karena relasi sosial politik antara Indonesia dan Timor Leste yang tidak begitu baik pascajajak pendapat 1999. Kedua, karena warga Indonesia yang tinggal di sepanjang perbatasan dengan Timor Leste adalah juga tidak sangat baik kondisi kehidupannya.

Kemiskinan selalu berkontribusi terhadap lahirnya konflik-konflik sosial. Satu hal yang menguntungkan adalah, secara budaya, etnisitas, bahasa, dan latar belakang agama antara penduduk Timor Leste dan Penduduk NTT yang tinggal di perbatasan adalah hampir sama. Bahkan sulit membedakan mana warga Belu dan mana warga Maliana Timor Leste, karena secara fisik sama. Ini mempermudah terjadinya kohesi sosial dan meminimalisir potensi konflik. Sehingga ketika elit politik kedua Negara bertikai di tingkat pusat, di tingkat akar rumput malah tidak terlalu terlihat.

Salah satu ilustrasi peliknya masalah perbatasan di Nusa Tenggara 66Timur terdapat dalam kasus berikut :

Tanah pecah akibat musim kemarau, udara berdebu, bendera Merah Putih sesekali berkibar, dan sebaskom air untuk mencuci tangan terletak di pelataran bangunan SD Katolik Nanaeklot, Desa Silawan, Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan Indonesia-Timor Leste, akhir September 2011. Sersan Satu Dwi Candrayasa terlihat sibuk mengajar Ilmu Pengetahuan Alam di kelas V. Puluhan siswa yang saling berbagi buku paket pelajaran mengulang ucapan Dwi dengan penuh semangat.

Burung bernapas dengan paru-paru. Itik juga menggunakan paru-paru,” kata Eduardus Edu (13) dengan semangat menjawab pertanyaan Dwi tentang jenis unggas yang menggunakan paru-paru untuk bernapas. Dwi, yang berasal dari Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, dengan sabar menjelaskan kantong udara dan sistem pernapasan burung bagi para siswa. Sejumlah prajurit lainnya terlihat bercengkerama dengan murid dan para guru. Warga pun terlihat berbaur dalam suasana cair dengan prajurit TNI.

”Kami mengajar banyak hal. Salah satu pelajaran penting adalah Bahasa Indonesia untuk membangun semangat kebangsaan. Musuh utama di sini adalah kemiskinan dan penyakit, bahkan HIV-AIDS merebak di sini,” kata Letnan Satu Micky Rori, komandan kompi dari Batalyon 743, tempat Dwi bertugas di Desa Silawan. Menanamkan rasa kebangsaan memang penting pada saat sebagian besar instansi pemerintah tidak ada di perbatasan RI-Timor Leste.

Micky mengatakan, siswa di sana rata-rata berbagi satu buku paket dibaca bersama untuk tiga orang. Total ada 397 siswa SDK Nanaeklot dari kelas I-VI. Kekurangan buku terjadi merata di sekolah-sekolah sepanjang perbatasan yang menjadi wilayah penugasan Batalyon 743. Maria Tay, Kepala SDK Nanaeklot, membenarkan ucapan Micky. Dia menambahkan, mereka selalu butuh buku pelajaran buat siswa. ”Senang sekali kalau ada yang mengirimkan buku paket,” ujar Tay.

Ket : Permukiman penduduk Timor Leste di Batugade, Timor Leste(Foto : Heru Susetyo)

66 Iwan Santosa, Halaman Depan Terlupa, dalam : http://cetak.kompas.com/read/2011/10/01/ 03553434/halaman.depan.terlupa

62 63Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 71: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

dan seluas perbatasan RI dengan PNG di Papua ataupun dengan Malaysia di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur, namun potensi kerawanan sosial tetap ada. Pertama, karena relasi sosial politik antara Indonesia dan Timor Leste yang tidak begitu baik pascajajak pendapat 1999. Kedua, karena warga Indonesia yang tinggal di sepanjang perbatasan dengan Timor Leste adalah juga tidak sangat baik kondisi kehidupannya.

Kemiskinan selalu berkontribusi terhadap lahirnya konflik-konflik sosial. Satu hal yang menguntungkan adalah, secara budaya, etnisitas, bahasa, dan latar belakang agama antara penduduk Timor Leste dan Penduduk NTT yang tinggal di perbatasan adalah hampir sama. Bahkan sulit membedakan mana warga Belu dan mana warga Maliana Timor Leste, karena secara fisik sama. Ini mempermudah terjadinya kohesi sosial dan meminimalisir potensi konflik. Sehingga ketika elit politik kedua Negara bertikai di tingkat pusat, di tingkat akar rumput malah tidak terlalu terlihat.

Salah satu ilustrasi peliknya masalah perbatasan di Nusa Tenggara 66Timur terdapat dalam kasus berikut :

Tanah pecah akibat musim kemarau, udara berdebu, bendera Merah Putih sesekali berkibar, dan sebaskom air untuk mencuci tangan terletak di pelataran bangunan SD Katolik Nanaeklot, Desa Silawan, Atambua, Nusa Tenggara Timur, perbatasan Indonesia-Timor Leste, akhir September 2011. Sersan Satu Dwi Candrayasa terlihat sibuk mengajar Ilmu Pengetahuan Alam di kelas V. Puluhan siswa yang saling berbagi buku paket pelajaran mengulang ucapan Dwi dengan penuh semangat.

Burung bernapas dengan paru-paru. Itik juga menggunakan paru-paru,” kata Eduardus Edu (13) dengan semangat menjawab pertanyaan Dwi tentang jenis unggas yang menggunakan paru-paru untuk bernapas. Dwi, yang berasal dari Negara, Kabupaten Jembrana, Bali, dengan sabar menjelaskan kantong udara dan sistem pernapasan burung bagi para siswa. Sejumlah prajurit lainnya terlihat bercengkerama dengan murid dan para guru. Warga pun terlihat berbaur dalam suasana cair dengan prajurit TNI.

”Kami mengajar banyak hal. Salah satu pelajaran penting adalah Bahasa Indonesia untuk membangun semangat kebangsaan. Musuh utama di sini adalah kemiskinan dan penyakit, bahkan HIV-AIDS merebak di sini,” kata Letnan Satu Micky Rori, komandan kompi dari Batalyon 743, tempat Dwi bertugas di Desa Silawan. Menanamkan rasa kebangsaan memang penting pada saat sebagian besar instansi pemerintah tidak ada di perbatasan RI-Timor Leste.

Micky mengatakan, siswa di sana rata-rata berbagi satu buku paket dibaca bersama untuk tiga orang. Total ada 397 siswa SDK Nanaeklot dari kelas I-VI. Kekurangan buku terjadi merata di sekolah-sekolah sepanjang perbatasan yang menjadi wilayah penugasan Batalyon 743. Maria Tay, Kepala SDK Nanaeklot, membenarkan ucapan Micky. Dia menambahkan, mereka selalu butuh buku pelajaran buat siswa. ”Senang sekali kalau ada yang mengirimkan buku paket,” ujar Tay.

Ket : Permukiman penduduk Timor Leste di Batugade, Timor Leste(Foto : Heru Susetyo)

66 Iwan Santosa, Halaman Depan Terlupa, dalam : http://cetak.kompas.com/read/2011/10/01/ 03553434/halaman.depan.terlupa

62 63Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 72: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Bukan hanya buku pelajaran yang menjadi barang langka bagi siswa di daerah tersebut, bahkan peringatan kemerdekaan RI pun menjadi barang langka bagi warga setempat. Alexander Fuin (48), warga Desa Silawan, mengaku sejak 1980 mereka tak pernah memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di tanah kelahirannya. ”Kemarin bapak-bapak tentara yang bikin upacara dan acara perlombaan. Akhirnya kami bisa kembali peringati kemerdekaan Indonesia,” kata Fuin dengan senyum polos.

Fuin dan beberapa warga mengaku senang ada perayaan 17-an di Desa Silawan. Memang tidak ada perlombaan dengan hadiah melimpah seperti dalam lomba panjat pinang di Jawa, hanya lomba sepak bola antarkampung dengan hadiah uang sekadarnya. Itu sudah lebih dari cukup bagi mereka yang rata-rata hidup di garis kemiskinan di tanah yang gersang.

Selama puluhan tahun, di Desa Silawan dan desa lainnya di perbatasan itu tidak pernah ada perayaan kemerdekaan RI. Warga desa hanya diminta mengirim utusan ke Atambua untuk menghadiri perayaan 17 Agustus. Mereka ke Atambua menumpang truk. Namun, tahun ini, warga Desa Silawan dapat merayakan kemerdekaan RI di desa mereka. Mereka pun bersemangat memperingati perayaan itu. Para pengibar bendera Merah Putih (Pasukan Pengibar Bendera/Paskibra) diambil dari siswa-siswi SMP setempat. Bahkan, ada seorang siswi yang berwarga negara Timor Leste ikut menjadi Paskibra.

”Dia senang bisa ikut upacara 17-an di sini,” ujar Micky, inspektur upacara 17-an pertama setelah 30 tahun itu.Memang banyak warga Timor Leste yang bersekolah di Atambua ataupun di bagian lain Kabupaten Belu. Secara etnisitas, warga Belu dan Timor Leste bersaudara. Mereka juga berkomunikasi dalam bahasa Tetun, salah satu bahasa resmi Timor Leste. Polisi Perbatasan Timor Leste (Unidado De Policia Fronteira/UPF), Agente Primeiro (setara Bhayangkara Satu) Bizzaro yang ditemui di wilayah Timor Leste membenarkan adanya persaudaraan erat warga Belu dan Timor Leste. ”Kita semua bersaudara. Politik yang memisahkan kita,” kata Bizzaro, penjaga pos perbatasan Has Naruk, yang artinya Mangga Besar.

Sehari-hari, Bizzaro dan teman-teman kerap berkunjung ke Pos TNI di Koa yang berjarak 1,5 kilometer. Sebaliknya, para prajurit TNI juga kerap berkunjung untuk berkoordinasi dan bersosialisasi di Mangga Besar di Timor Leste itu. Selama ini, para aparat Timor Leste berbelanja di wilayah RI. Namun, tidak lama lagi situasi akan berbalik karena Pemerintah Timor Leste dengan tanggap menyediakan pasar perbatasan untuk pedagang warga Timor Leste dan Indonesia di Has Naruk. Sementara, di wilayah Indonesia belum ada tanda-tanda keseriusan menggarap pintu perbatasan dengan fasilitas resmi, paling tidak Imigrasi, Bea Cukai dan Karantina.

Ket : Pintu masuk wilayah Timor Leste di Batugade, Timor Leste (Foto : Heru Susetyo)

64 65Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 73: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Bukan hanya buku pelajaran yang menjadi barang langka bagi siswa di daerah tersebut, bahkan peringatan kemerdekaan RI pun menjadi barang langka bagi warga setempat. Alexander Fuin (48), warga Desa Silawan, mengaku sejak 1980 mereka tak pernah memperingati Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 di tanah kelahirannya. ”Kemarin bapak-bapak tentara yang bikin upacara dan acara perlombaan. Akhirnya kami bisa kembali peringati kemerdekaan Indonesia,” kata Fuin dengan senyum polos.

Fuin dan beberapa warga mengaku senang ada perayaan 17-an di Desa Silawan. Memang tidak ada perlombaan dengan hadiah melimpah seperti dalam lomba panjat pinang di Jawa, hanya lomba sepak bola antarkampung dengan hadiah uang sekadarnya. Itu sudah lebih dari cukup bagi mereka yang rata-rata hidup di garis kemiskinan di tanah yang gersang.

Selama puluhan tahun, di Desa Silawan dan desa lainnya di perbatasan itu tidak pernah ada perayaan kemerdekaan RI. Warga desa hanya diminta mengirim utusan ke Atambua untuk menghadiri perayaan 17 Agustus. Mereka ke Atambua menumpang truk. Namun, tahun ini, warga Desa Silawan dapat merayakan kemerdekaan RI di desa mereka. Mereka pun bersemangat memperingati perayaan itu. Para pengibar bendera Merah Putih (Pasukan Pengibar Bendera/Paskibra) diambil dari siswa-siswi SMP setempat. Bahkan, ada seorang siswi yang berwarga negara Timor Leste ikut menjadi Paskibra.

”Dia senang bisa ikut upacara 17-an di sini,” ujar Micky, inspektur upacara 17-an pertama setelah 30 tahun itu.Memang banyak warga Timor Leste yang bersekolah di Atambua ataupun di bagian lain Kabupaten Belu. Secara etnisitas, warga Belu dan Timor Leste bersaudara. Mereka juga berkomunikasi dalam bahasa Tetun, salah satu bahasa resmi Timor Leste. Polisi Perbatasan Timor Leste (Unidado De Policia Fronteira/UPF), Agente Primeiro (setara Bhayangkara Satu) Bizzaro yang ditemui di wilayah Timor Leste membenarkan adanya persaudaraan erat warga Belu dan Timor Leste. ”Kita semua bersaudara. Politik yang memisahkan kita,” kata Bizzaro, penjaga pos perbatasan Has Naruk, yang artinya Mangga Besar.

Sehari-hari, Bizzaro dan teman-teman kerap berkunjung ke Pos TNI di Koa yang berjarak 1,5 kilometer. Sebaliknya, para prajurit TNI juga kerap berkunjung untuk berkoordinasi dan bersosialisasi di Mangga Besar di Timor Leste itu. Selama ini, para aparat Timor Leste berbelanja di wilayah RI. Namun, tidak lama lagi situasi akan berbalik karena Pemerintah Timor Leste dengan tanggap menyediakan pasar perbatasan untuk pedagang warga Timor Leste dan Indonesia di Has Naruk. Sementara, di wilayah Indonesia belum ada tanda-tanda keseriusan menggarap pintu perbatasan dengan fasilitas resmi, paling tidak Imigrasi, Bea Cukai dan Karantina.

Ket : Pintu masuk wilayah Timor Leste di Batugade, Timor Leste (Foto : Heru Susetyo)

64 65Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 74: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kisah yang hampir serupa terkait kiprah prajurit di perbatasan adalah 67 sebagai berikut :

Prajurit TNI memanggul bendera Merah Putih berdiri memeriksa benda mirip pal jalan di tebing sungai di perbatasan RI-Timor Leste di dekat Pos Silawan, Kecamatan Belu, Nusa Tenggara Timur, akhir September 2011. Benda mirip pal jalan itu adalah patok perbatasan RI-Timor Leste.

Persis di sebelah patok, kita sudah masuk wilayah Timor Leste. Selama ini tidak pernah ada masalah serius dalam hal keamanan. Kalaupun ada pelanggaran, lebih persoalan penyelundupan bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) dari Indonesia. Di Timor Leste, harga bensin dua kali lipat di atas harga Indonesia. Demikian pula harga bahan pokok lebih murah di Indonesia,” kata Kepala Seksi Operasi Batalyon 743 Letnan Satu (Inf) Ferry Perbawa saat menemani wartawan mengikuti patroli patok batas perbatasan.

Selain patok batas, di sepanjang wilayah tersebut juga terdapat papan dari seng seperti rambu jalan berwarna putih dengan tulisan yang berisi informasi bahwa di belakang lokasi tersebut dalam jarak sekitar 50 meter hingga 100 meter sudah merupakan wilayah Indonesia. Seluruh wilayah perbatasan darat tersebut mencakup jarak 268,8 kilometer di tiga wilayah, yakni Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Tidak ada pergeseran patok perbatasan RI-Timor Leste seperti yang terjadi di sepanjang perbatasan darat Kalimantan dengan Sabah-Sarawak, wilayah Malaysia Timur yang kaya sumber daya alam, seperti kayu dan hasil hutan.

Komandan Batalyon 743 Letnan Kolonel (Inf) Ricky Lumintang di Markas Komando Pengamanan Perbatasan RI-Timor Leste di Atambua menceritakan, perambahan wilayah oleh pihak asing tidak terjadi di kawasan tersebut. ”Kerawanan lebih pada persoalan penyelundupan dan minimnya penghasilan warga di RI dan Timor Leste. Terkadang mobil dari Timor Leste datang ke Indonesia untuk

67 Iwan Santosa, “Sisa Sengketa Wilayah RI-Timor Leste” http://entertainment.kompas.com/read/2011/10/ 12/01593133/Sisa.Sengketa.Wilayah.RI-Timor.Leste.

mengisi bensin. Yang biasanya berkapasitas 40 liter dibuat hingga bisa menampung 200 liter bensin. Belum lagi belanja bahan pokok, seperti beras hingga rokok,” ujar Lumintang.

Wajar, warga Timor Leste berbelanja di Indonesia mengingat mereka menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat, sedangkan kemampuan ekonomi masih terbatas. Kalau perekonomian mereka berkembang, mungkin pilihan mereka adalah berbelanja barang kebutuhan pokok yang dipasok dari Australia atau Selandia Baru.

Tren belanja di wilayah Indonesia memang sepintas menguntungkan, tetapi terkadang terjadi kelangkaan BBM di Atambua karena sebagian pasokan diketahui ”diseberangkan” ke Timor Leste lewat laut oleh oknum tertentu. Meski damai dan tenteram dalam bertetangga, masih ada sisa sengketa kedaulatan RI-Timor Leste di tiga lokasi. Komandan Korem 161 Wirasakti Erwin Napitupulu di Kupang menceritakan, lokasi itu di Delomil-Memo di Kabupaten Belu seluas 41,9 hektar, Bijael Sunan-Oben Manusasi di Kabupaten Timor Tengah Utara sekitar 142,7 hektar, dan Noel Besi-Citrana di Kabupaten Kupang.

”Di Delomil-Memo, masyarakat NTT dan Timor-Leste saling klaim kepemilikan. Demikian pula di Bijael Sunan-Oben terjadi saling klaim tanah adat. Di Noel Besi-Citrana, ada 44 keluarga asal Naktuka yang ber-KTP Timor Leste tinggal di sana,” ujar Napitupulu.

Dia menambahkan, pihak TNI memprotes dan melaporkan pembangunan gedung pertanian dan imigrasi di wilayah Noel Besi-Citrana oleh pihak Timor Leste. Meski terjadi sengketa wilayah, Napitupulu menegaskan, semua itu akan diselesaikan secara damai lewat jalur diplomasi. Danrem menambahkan, perhatian seharusnya lebih diberikan bagi warga RI di wilayah perbatasan dengan membangun infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Saat ini, Pemerintah Timor Leste dengan serius membangun pos-pos perbatasan dengan fasilitas modern dan pasar perbatasan yang bisa menarik warga Indonesia.

Seandainya Timor Leste tidak salah urus dalam bernegara, bukan tidak mungkin terjadi ketergantungan seperti terlihat di wilayah Kalimantan di mana warga RI hidup dari kemajuan ekonomi dan

66 67Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 75: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kisah yang hampir serupa terkait kiprah prajurit di perbatasan adalah 67 sebagai berikut :

Prajurit TNI memanggul bendera Merah Putih berdiri memeriksa benda mirip pal jalan di tebing sungai di perbatasan RI-Timor Leste di dekat Pos Silawan, Kecamatan Belu, Nusa Tenggara Timur, akhir September 2011. Benda mirip pal jalan itu adalah patok perbatasan RI-Timor Leste.

Persis di sebelah patok, kita sudah masuk wilayah Timor Leste. Selama ini tidak pernah ada masalah serius dalam hal keamanan. Kalaupun ada pelanggaran, lebih persoalan penyelundupan bahan pokok dan bahan bakar minyak (BBM) dari Indonesia. Di Timor Leste, harga bensin dua kali lipat di atas harga Indonesia. Demikian pula harga bahan pokok lebih murah di Indonesia,” kata Kepala Seksi Operasi Batalyon 743 Letnan Satu (Inf) Ferry Perbawa saat menemani wartawan mengikuti patroli patok batas perbatasan.

Selain patok batas, di sepanjang wilayah tersebut juga terdapat papan dari seng seperti rambu jalan berwarna putih dengan tulisan yang berisi informasi bahwa di belakang lokasi tersebut dalam jarak sekitar 50 meter hingga 100 meter sudah merupakan wilayah Indonesia. Seluruh wilayah perbatasan darat tersebut mencakup jarak 268,8 kilometer di tiga wilayah, yakni Kabupaten Belu, Kabupaten Kupang, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Tidak ada pergeseran patok perbatasan RI-Timor Leste seperti yang terjadi di sepanjang perbatasan darat Kalimantan dengan Sabah-Sarawak, wilayah Malaysia Timur yang kaya sumber daya alam, seperti kayu dan hasil hutan.

Komandan Batalyon 743 Letnan Kolonel (Inf) Ricky Lumintang di Markas Komando Pengamanan Perbatasan RI-Timor Leste di Atambua menceritakan, perambahan wilayah oleh pihak asing tidak terjadi di kawasan tersebut. ”Kerawanan lebih pada persoalan penyelundupan dan minimnya penghasilan warga di RI dan Timor Leste. Terkadang mobil dari Timor Leste datang ke Indonesia untuk

67 Iwan Santosa, “Sisa Sengketa Wilayah RI-Timor Leste” http://entertainment.kompas.com/read/2011/10/ 12/01593133/Sisa.Sengketa.Wilayah.RI-Timor.Leste.

mengisi bensin. Yang biasanya berkapasitas 40 liter dibuat hingga bisa menampung 200 liter bensin. Belum lagi belanja bahan pokok, seperti beras hingga rokok,” ujar Lumintang.

Wajar, warga Timor Leste berbelanja di Indonesia mengingat mereka menggunakan mata uang dollar Amerika Serikat, sedangkan kemampuan ekonomi masih terbatas. Kalau perekonomian mereka berkembang, mungkin pilihan mereka adalah berbelanja barang kebutuhan pokok yang dipasok dari Australia atau Selandia Baru.

Tren belanja di wilayah Indonesia memang sepintas menguntungkan, tetapi terkadang terjadi kelangkaan BBM di Atambua karena sebagian pasokan diketahui ”diseberangkan” ke Timor Leste lewat laut oleh oknum tertentu. Meski damai dan tenteram dalam bertetangga, masih ada sisa sengketa kedaulatan RI-Timor Leste di tiga lokasi. Komandan Korem 161 Wirasakti Erwin Napitupulu di Kupang menceritakan, lokasi itu di Delomil-Memo di Kabupaten Belu seluas 41,9 hektar, Bijael Sunan-Oben Manusasi di Kabupaten Timor Tengah Utara sekitar 142,7 hektar, dan Noel Besi-Citrana di Kabupaten Kupang.

”Di Delomil-Memo, masyarakat NTT dan Timor-Leste saling klaim kepemilikan. Demikian pula di Bijael Sunan-Oben terjadi saling klaim tanah adat. Di Noel Besi-Citrana, ada 44 keluarga asal Naktuka yang ber-KTP Timor Leste tinggal di sana,” ujar Napitupulu.

Dia menambahkan, pihak TNI memprotes dan melaporkan pembangunan gedung pertanian dan imigrasi di wilayah Noel Besi-Citrana oleh pihak Timor Leste. Meski terjadi sengketa wilayah, Napitupulu menegaskan, semua itu akan diselesaikan secara damai lewat jalur diplomasi. Danrem menambahkan, perhatian seharusnya lebih diberikan bagi warga RI di wilayah perbatasan dengan membangun infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat. Saat ini, Pemerintah Timor Leste dengan serius membangun pos-pos perbatasan dengan fasilitas modern dan pasar perbatasan yang bisa menarik warga Indonesia.

Seandainya Timor Leste tidak salah urus dalam bernegara, bukan tidak mungkin terjadi ketergantungan seperti terlihat di wilayah Kalimantan di mana warga RI hidup dari kemajuan ekonomi dan

66 67Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 76: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

pembangunan di Sabah dan Sarawak. Itu bisa saja terjadi mengingat warga NTT adalah anak manis yang tidak banyak menuntut pemerintah pusat hingga mereka tidak menjadi prioritas dalam membangun halaman depan negeri ini?

a. Kabupaten Belu

Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang wilayahnya terletak di sebelah Timur. Kabupaten Belu terletak pada koordinat 12-126 Lintang Selatan. Posisinya sangat strategis karena berada pada persimpangan negara Timor Leste dengan bagian lain Provinsi Nusa Tenggara Timur serta pada titik silang antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Adapun batas-batas Kabupaten Belu adalah sebagai berikut : sebelah utara dengan Selat Ombai, sebelah selatan dengan Laut Timor, sebelah timur dengan negara Timor Leste serta sebelah barat dengan Kabupaten Timor Tengah

68Utara dan Timor Tengah Selatan.

Dengan wilayah seluas 2,445.57 Km2 bentuk topografi wilayah Kabupaten Belu merupakan daerah datar berbukit-bukit hingga pegunungan dengan sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Sungai-sungai yang ada di Kabupaten Belu mengalir dari bagian selatan dan bermuara di Selat Ombai dan Laut Timor. Dari 14 sungai yang bermuara di bagian utara, yang banyak digunakan penduduk untuk pertanian adalah sungai Baukama, Malibaka, dan Talau. Wilayah datar terletak di bagian selatan memanjang sampai ke Tenggara pada pesisir pantai Laut Timor dengan kemiringan kurang dari 2%, sedangkan daerah datar berombak sampai bergelombang 3-40% hampir merata di seluruh wilayah yaitu mencapai 55.86% dari luas wilayah. Wilayah pegunungan (>40%) terdapat di wilayah tengah ke arah Timur dengan luas wilayah sekitar 17.40%. atau 5.16% dari luas wilayah Povinsi Nusa Tenggara Timur dan keseluruhannya merupakan wilayah daratan, Kabupaten Belu yang terbagi dalam 24 Kecamatan memiliki aksesibilitas cukup baik, terutama koordinasi

69dan komunikasi antar wilayah.

68 Badan Pusat Stastik Kabupaten Belu, Belu Dalam Angka 2011.

69 Ibid.

Dari hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk di Kabupaten Belu tahun 1990 sebanyak 216 019 jiwa dan meningkat menjadi 277 484 jiwa pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi 352 296 jiwa. Pertumbuhan penduduk selama dua dekade terakhir ini masih berkisar di atas 2 % atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan periode 1980-1990 yang hanya 1,78%. Pada tabel 3.1.1. jumlah penduduk Kabupaten Belu sampai akhir tahun 2010 hasil registrasi penduduk sebanyak 354 676 jiwa, dengan tingkat kepadatan rumah tangga rata-rata 4 orang dan kepadatan penduduk 150 orang per Km².

Ket : Permukiman di Kabupaten Belu dimana banyak babi berkeliaran (Foto : Heru Susetyo)

Dibandingkan hasil registrasi penduduk tahun-tahun sebelumnya maka jumlah penduduk pada akhir tahun 2010 memperlihatkan penurunaan yang signifikan. Mobilitas penduduk yang tinggi khususnya migrasi keluar menjadi faktor dominan mempengaruhi fluktuasi jumlah penduduk. Dengan semakin sulitnya lapangan pekerjaan yang tersedia khususnya terutama di daerah pedesaan mendorong sebagian penduduk terpaksa mencari pekerjaaan ke wilayah Sumatera, Kalimantan, bahkan ke Negeri Malaysia. Fenomena urbanisasi ini belakangan semakin marak karena diperparah oleh faktor gagal panen usaha pertanian beberapa tahun terakhir. Selain itu kembalinya sebagian warga eks Timor Timur ke negeri asalnya setelah menjadi penduduk di Kabupaten Belu juga turut mempengaruhi

68 69Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 77: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

pembangunan di Sabah dan Sarawak. Itu bisa saja terjadi mengingat warga NTT adalah anak manis yang tidak banyak menuntut pemerintah pusat hingga mereka tidak menjadi prioritas dalam membangun halaman depan negeri ini?

a. Kabupaten Belu

Kabupaten Belu adalah salah satu kabupaten yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang wilayahnya terletak di sebelah Timur. Kabupaten Belu terletak pada koordinat 12-126 Lintang Selatan. Posisinya sangat strategis karena berada pada persimpangan negara Timor Leste dengan bagian lain Provinsi Nusa Tenggara Timur serta pada titik silang antara Kabupaten Flores Timur dan Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU). Adapun batas-batas Kabupaten Belu adalah sebagai berikut : sebelah utara dengan Selat Ombai, sebelah selatan dengan Laut Timor, sebelah timur dengan negara Timor Leste serta sebelah barat dengan Kabupaten Timor Tengah

68Utara dan Timor Tengah Selatan.

Dengan wilayah seluas 2,445.57 Km2 bentuk topografi wilayah Kabupaten Belu merupakan daerah datar berbukit-bukit hingga pegunungan dengan sungai-sungai yang mengalir ke utara dan selatan mengikuti arah kemiringan lerengnya. Sungai-sungai yang ada di Kabupaten Belu mengalir dari bagian selatan dan bermuara di Selat Ombai dan Laut Timor. Dari 14 sungai yang bermuara di bagian utara, yang banyak digunakan penduduk untuk pertanian adalah sungai Baukama, Malibaka, dan Talau. Wilayah datar terletak di bagian selatan memanjang sampai ke Tenggara pada pesisir pantai Laut Timor dengan kemiringan kurang dari 2%, sedangkan daerah datar berombak sampai bergelombang 3-40% hampir merata di seluruh wilayah yaitu mencapai 55.86% dari luas wilayah. Wilayah pegunungan (>40%) terdapat di wilayah tengah ke arah Timur dengan luas wilayah sekitar 17.40%. atau 5.16% dari luas wilayah Povinsi Nusa Tenggara Timur dan keseluruhannya merupakan wilayah daratan, Kabupaten Belu yang terbagi dalam 24 Kecamatan memiliki aksesibilitas cukup baik, terutama koordinasi

69dan komunikasi antar wilayah.

68 Badan Pusat Stastik Kabupaten Belu, Belu Dalam Angka 2011.

69 Ibid.

Dari hasil Sensus Penduduk, jumlah penduduk di Kabupaten Belu tahun 1990 sebanyak 216 019 jiwa dan meningkat menjadi 277 484 jiwa pada tahun 2000 dan pada tahun 2010 meningkat lagi menjadi 352 296 jiwa. Pertumbuhan penduduk selama dua dekade terakhir ini masih berkisar di atas 2 % atau lebih tinggi dibanding pertumbuhan periode 1980-1990 yang hanya 1,78%. Pada tabel 3.1.1. jumlah penduduk Kabupaten Belu sampai akhir tahun 2010 hasil registrasi penduduk sebanyak 354 676 jiwa, dengan tingkat kepadatan rumah tangga rata-rata 4 orang dan kepadatan penduduk 150 orang per Km².

Ket : Permukiman di Kabupaten Belu dimana banyak babi berkeliaran (Foto : Heru Susetyo)

Dibandingkan hasil registrasi penduduk tahun-tahun sebelumnya maka jumlah penduduk pada akhir tahun 2010 memperlihatkan penurunaan yang signifikan. Mobilitas penduduk yang tinggi khususnya migrasi keluar menjadi faktor dominan mempengaruhi fluktuasi jumlah penduduk. Dengan semakin sulitnya lapangan pekerjaan yang tersedia khususnya terutama di daerah pedesaan mendorong sebagian penduduk terpaksa mencari pekerjaaan ke wilayah Sumatera, Kalimantan, bahkan ke Negeri Malaysia. Fenomena urbanisasi ini belakangan semakin marak karena diperparah oleh faktor gagal panen usaha pertanian beberapa tahun terakhir. Selain itu kembalinya sebagian warga eks Timor Timur ke negeri asalnya setelah menjadi penduduk di Kabupaten Belu juga turut mempengaruhi

68 69Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 78: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

perkembangan penduduk. Semula pada tahun 1999-2000 eksodus warga Timor Timur ke wilayah Indonesia. Kabupaten Belu langsung menambah penduduk secara drastis. Namun seiring dengan semakin membaiknya situasi di Negara Timor Leste, sebagian diantaranya berangsur-angsur kembali.

Kendatipun demikian, ancaman pertumbuhan penduduk pada waktu-waktu mendatang tetap tinggi, karena angka kelahirannya relatif masih tinggi. Dengan adanya pergeseran paradigma Keluarga Berencana dari Norma Keluarga Kecil Bahagia menjadi Keluarga Berkualitas cenderung disalah tafsirkan sebagai peluang untuk banyak anak asal bisa/mampu menghidupinya. Pada kasus ini, hidup layak sebuah keluarga menjadi relatif dan sangat tergantung pada pandangan yang bersifat subjektif. Fenomena ini diduga pada gilirannya turut mendorong pertumbuhan penduduk secara alamiah. Analisis kependudukan tahun 2010 memperlihatkan indikator

70sebagai berikut:

·Angka sex ratio pada tahun 2010 sebesar 97,29 menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih rendah dari penduduk perempuan yakni setiap 97 penduduk laki-laki terdapat 100 orang penduduk perempuan.

·Dilihat dari struktur umur penduduk memperlihatkan bahwa sebagaian besar penduduk Belu berada pada usia muda, dimana konstruksi piramida penduduknya masih berbentuk ekspansif. Dari 354 676 pada tahun 2010 sekitar 38,85%, merupakan penduduk usia muda yang berumur 0-14 tahun.

·Angka ketergantungan (Dependency Ratio) pada tahun 2010 adalah 77 yang menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 77 orang yang belum atau tidak produktif.

b. Kabupaten Timor Tengah Utara

Kabupaten Timor Tengah Utara secara geografis terletak 9o 22 48"-9o 372 36" Lintang Selatan dan antara 124o4 2"-124o462 0" Bujur Timur, dengan

71batas wilayahnya :

·Kabupaten Timor Tengah Selatan

·Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu

·Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sewu

·Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang dan

70 Ibid.

71 http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=5305

Ket : Anak kecil di Desa Napan perbatasan Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi Timor Leste (Foto : Heru Susetyo)

Kabupaten Timor Tengah Utara yang beribukota di Kefamenanu memiliki luas 2 669,70 km2 atau 5,64 persen dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan luas perairannya (laut) 950 km2. yang terbagi dalam 141 Desa 33 Kelurahan dan 24 Kecamatan yaitu Kecamatan Miomaffo Barat, Kecamatan Miomaffo Tengah, Kecamatan Musi, Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Timur, Kecamatan Noemuti, Kecamatan Bikomi Selatan, Kecamatan Bikomi Tengah, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kecamatan Bikomi Utara, Kecamatan Naibenu, Kecamatan Noemuti Timur, Kecamatan Kota Kefa, Kecamatan Insana, Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Insana

70 71Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 79: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

perkembangan penduduk. Semula pada tahun 1999-2000 eksodus warga Timor Timur ke wilayah Indonesia. Kabupaten Belu langsung menambah penduduk secara drastis. Namun seiring dengan semakin membaiknya situasi di Negara Timor Leste, sebagian diantaranya berangsur-angsur kembali.

Kendatipun demikian, ancaman pertumbuhan penduduk pada waktu-waktu mendatang tetap tinggi, karena angka kelahirannya relatif masih tinggi. Dengan adanya pergeseran paradigma Keluarga Berencana dari Norma Keluarga Kecil Bahagia menjadi Keluarga Berkualitas cenderung disalah tafsirkan sebagai peluang untuk banyak anak asal bisa/mampu menghidupinya. Pada kasus ini, hidup layak sebuah keluarga menjadi relatif dan sangat tergantung pada pandangan yang bersifat subjektif. Fenomena ini diduga pada gilirannya turut mendorong pertumbuhan penduduk secara alamiah. Analisis kependudukan tahun 2010 memperlihatkan indikator

70sebagai berikut:

·Angka sex ratio pada tahun 2010 sebesar 97,29 menunjukkan bahwa jumlah penduduk laki-laki sedikit lebih rendah dari penduduk perempuan yakni setiap 97 penduduk laki-laki terdapat 100 orang penduduk perempuan.

·Dilihat dari struktur umur penduduk memperlihatkan bahwa sebagaian besar penduduk Belu berada pada usia muda, dimana konstruksi piramida penduduknya masih berbentuk ekspansif. Dari 354 676 pada tahun 2010 sekitar 38,85%, merupakan penduduk usia muda yang berumur 0-14 tahun.

·Angka ketergantungan (Dependency Ratio) pada tahun 2010 adalah 77 yang menunjukkan bahwa setiap 100 orang penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 77 orang yang belum atau tidak produktif.

b. Kabupaten Timor Tengah Utara

Kabupaten Timor Tengah Utara secara geografis terletak 9o 22 48"-9o 372 36" Lintang Selatan dan antara 124o4 2"-124o462 0" Bujur Timur, dengan

71batas wilayahnya :

·Kabupaten Timor Tengah Selatan

·Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu

·Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Sewu

·Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang dan

70 Ibid.

71 http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=5305

Ket : Anak kecil di Desa Napan perbatasan Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi Timor Leste (Foto : Heru Susetyo)

Kabupaten Timor Tengah Utara yang beribukota di Kefamenanu memiliki luas 2 669,70 km2 atau 5,64 persen dari luas daratan Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedangkan luas perairannya (laut) 950 km2. yang terbagi dalam 141 Desa 33 Kelurahan dan 24 Kecamatan yaitu Kecamatan Miomaffo Barat, Kecamatan Miomaffo Tengah, Kecamatan Musi, Kecamatan Mutis, Kecamatan Miomaffo Timur, Kecamatan Noemuti, Kecamatan Bikomi Selatan, Kecamatan Bikomi Tengah, Kecamatan Bikomi Nilulat, Kecamatan Bikomi Utara, Kecamatan Naibenu, Kecamatan Noemuti Timur, Kecamatan Kota Kefa, Kecamatan Insana, Kecamatan Insana Utara, Kecamatan Insana

70 71Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 80: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Barat, Kecamatan Tengah, Kecamatan Insana Fafinesu, Kecamatan Biboki Selatan, Kecamatan Biboki Tanpah, Kecamatan Moenleu, Kecamatan Biboki Utara, Kecamatan Biboki anleu, dan Kecamatan Feotleu. Luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Insana yaitu sekitar 333,08 Km2 atau 12,48%, sedangkan wilayah yang memiliki wilayah terkecil yaitu Kecamatan Bikomi Selatan yaitu sekitar 48,68 Km2 atau 1,82%.

Ket. : Perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Desa Napan, Kab. Timor Tengah Utara (Foto : Heru Susetyo)

Kelembaban udara di Kabupaten Timor Tengah Utara berkisar antara 69%-87%,dan rata rata suhu udara yang ada di Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu berkisar 220C 340C.

Komoditi unggulan Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu sektor pertanian dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah sub sektor tanaman perkebunan dengan komoditi Kakao, Kopi, Kelapa, Cengkeh, dan Jambu Mete. Sub sektor Pertanian komoditi yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi Kayu. sub sektor jasa Pariwisatanya yaitu wisata alam.

Jumlah penduduk di Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2011 adalah sebanyak 232.051 jiwa dimana laki-laki berjumlah 115.108 dan

72perempuan berjumlah 116.943.

Ket : Pasar di Perbatasan Kab. Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi Timor Leste yang terbengkalai (Foto : Heru Susetyo)

72 Ibid.

72 73Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 81: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Barat, Kecamatan Tengah, Kecamatan Insana Fafinesu, Kecamatan Biboki Selatan, Kecamatan Biboki Tanpah, Kecamatan Moenleu, Kecamatan Biboki Utara, Kecamatan Biboki anleu, dan Kecamatan Feotleu. Luas wilayah terbesar yaitu Kecamatan Insana yaitu sekitar 333,08 Km2 atau 12,48%, sedangkan wilayah yang memiliki wilayah terkecil yaitu Kecamatan Bikomi Selatan yaitu sekitar 48,68 Km2 atau 1,82%.

Ket. : Perbatasan Indonesia dan Timor Leste di Desa Napan, Kab. Timor Tengah Utara (Foto : Heru Susetyo)

Kelembaban udara di Kabupaten Timor Tengah Utara berkisar antara 69%-87%,dan rata rata suhu udara yang ada di Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu berkisar 220C 340C.

Komoditi unggulan Kabupaten Timor Tengah Utara yaitu sektor pertanian dan jasa. Sektor pertanian komoditi unggulannya adalah sub sektor tanaman perkebunan dengan komoditi Kakao, Kopi, Kelapa, Cengkeh, dan Jambu Mete. Sub sektor Pertanian komoditi yang diunggulkan berupa Jagung dan Ubi Kayu. sub sektor jasa Pariwisatanya yaitu wisata alam.

Jumlah penduduk di Kabupaten Timor Tengah Utara pada tahun 2011 adalah sebanyak 232.051 jiwa dimana laki-laki berjumlah 115.108 dan

72perempuan berjumlah 116.943.

Ket : Pasar di Perbatasan Kab. Timor Tengah Utara dengan Distrik Oecussi Timor Leste yang terbengkalai (Foto : Heru Susetyo)

72 Ibid.

72 73Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 82: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

BAB IVANALISIS

Dari tinjauan kepustakaan terkait dengan permasalahan di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dan studi lapangan terhadap tiga wilayah perbatasan masing-masing di Kalimantan Barat (Kabupaten Sanggau), Papua (Kabupaten Jayapura dan Kab. Keerom) dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara) mengemuka bahwa masalah perbatasan di Indonesia adalah masalah yang amat serius. Permasalahan perbatasan tak dapat dipahami hanya dari perspektif keamanan tradisional (fisik/kemiliteran) belaka. Namun juga harus didekati dengan pendekatan keamanan non tradisional yang menekankan aspek kesejahteraan manusia (human prosperity).

Perbatasan sebuah negara dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar negara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antar negara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara. Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk negara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic nationalism dan national identity. Smith (1986) menggambarkan identitas nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang

73merekatkan sebuah komuniti yang mendiami suatu teritorial tertentu.

Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini dapat terjadi antara lain karena wilayah perbatasan mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara, mempunyai faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang

73 Sobar Sutisna,

74 75Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 83: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

BAB IVANALISIS

Dari tinjauan kepustakaan terkait dengan permasalahan di wilayah-wilayah perbatasan Indonesia dan studi lapangan terhadap tiga wilayah perbatasan masing-masing di Kalimantan Barat (Kabupaten Sanggau), Papua (Kabupaten Jayapura dan Kab. Keerom) dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Belu dan Kabupaten Timor Tengah Utara) mengemuka bahwa masalah perbatasan di Indonesia adalah masalah yang amat serius. Permasalahan perbatasan tak dapat dipahami hanya dari perspektif keamanan tradisional (fisik/kemiliteran) belaka. Namun juga harus didekati dengan pendekatan keamanan non tradisional yang menekankan aspek kesejahteraan manusia (human prosperity).

Perbatasan sebuah negara dikenal bersamaan dengan lahirnya negara. Negara dalam pengertian modern sudah mulai dikenal sejak abad ke-18 di Eropa. Perbatasan negara merupakan sebuah ruang geografis yang sejak semula merupakan wilayah perebutan kekuasaan antar negara, yang terutama ditandai oleh adanya pertarungan untuk memperluas batas-batas antar negara. Sebagai bagian dari sejarah dan eksistensi negara, riwayat daerah perbatasan tidak mungkin dilepaskan dari sejarah kelahiran dan berakhirnya berbagai negara. Dalam kaitan ini menarik untuk mencermati kelahiran negara-bangsa (nation-state) sebagai bentuk negara modern yang berkembang sejalan dengan merebaknya ethnic nationalism dan national identity. Smith (1986) menggambarkan identitas nasional sebagai a collective cultural phenomenon yang mengandung berbagai elemen dasar, seperti adanya kekhasan bahasa, sentimen-sentimen, dan simbolisme yang

73merekatkan sebuah komuniti yang mendiami suatu teritorial tertentu.

Wilayah perbatasan suatu negara memiliki nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini dapat terjadi antara lain karena wilayah perbatasan mempunyai dampak penting bagi kedaulatan negara, mempunyai faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya, mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang

73 Sobar Sutisna,

74 75Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 84: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

berbatasan antar wilayah maupun antar negara, dan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan baik dalam skala regional maupun nasional.

Sesuai dengan letak geografis, wilayah darat Republik Indonesia berbatasan dengan tiga negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan untuk wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Australia (di Samudera Indonesia), India (Laut Andaman dan Lautan Hindia), Thailand (Laut Andaman dan Selat Malaka), Malaysia (Selat Malaka dan Laut China Selatan serta Laut Sulawesi), Singapura (Selat Malaka dan Selat Batam), Vietnam (Laut China Selatan), Filipina (Laut China Selatan dan Laut Sulawesi), Papua New Guinea (Samudera Pasifik), Palau (Samudera Pasifik) dan Timor Leste (Laut Timor dan Laut Flores).

Di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara lain (baik darat maupun laut) merupakan daerah-daerah rawan konflik yang apabila tidak cepat diatasi, ekskalasinya dapat mengganggu hubungan bilateral kedua negara. Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh permasalahan perbatasan yang disebabkan antara lain karena adanya perbedaan hasil pengukuran di lapangan dengan peta yang dijadikan argumen dan legalitas hukum masing-masing negara. Dalam kasus Sipadan Ligitan analis mengemukakan bahwa Indonesia sejatinya tidak kehilangan pulau, tapi gagal dalam mengklaim pulau tidak bertuan, akibat Indonesia tidak melakukan perbuatan pengurusan terhadap kedua pulau tersebut. Kemudian, di wilayah batas laut seringkali terjadi kasus-kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal asing karena lemahnya pengawasan di wilayah perairan kita. Pelanggaran batas laut tersebut juga sering dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional asal Indonesia akibat kurang tersosialisasinya kebijakan mengenai batas laut.

Persoalan-persoalan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks, selama ini kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Penanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, seringkali terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak yang menangani wilayah perbatasan baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perbatasan yang seakan lepas dari perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Kajian dari Lembaga Administrasi Negara mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah

perbatasan negara selama ini merupakan domain pemerintah pusat sedangkan pemerintah daerah dan masyarakatnya kurang dilibatkan. Kemudian ketika muncul permasalahan, mereka bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan? Siapa yang harus menyediakan dan memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sedangkan mereka tidak tahu dimana

74batas-batas fisik negaranya?

Kondisi di lapangan memperlihatkan banyak kebijakan pengelolaan perbatasan negara yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinergi satu sama lain. Selama ini penanganan terhadap masalah-masalah yang muncul seputar perbatasan masih bersifat ad-hoc, parsial dan sporadis oleh instansi atau lembaga yang berbeda-beda.

Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan membentang sepanjang ± 1.840 km (mencakup wilayah Provinsi Kalimantan Timur ± 1.035 km dan Kalimantan Barat ± 805 km). Dengan garis panjang perbatasan sedemikian rupa, menyimpan potensi permasalahan yang luar biasa, antara lain adalah: Pertama, permasalahan yang berdimensi lokal dan domestik, yaitu gambaran kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, kemudian diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.

Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi ilegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme.

Ketiga, permasalahan yang berdimensi regional antarnegara, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri sendiri dengan negeri tetangga, pergeseran atau hilangnya patok tapal batas negara sehingga menimbulkan konflik mengenai garis batas dan kasus-kasus

75lainnya.

74 Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

75 Ibid.

76 77Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 85: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

berbatasan antar wilayah maupun antar negara, dan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan baik dalam skala regional maupun nasional.

Sesuai dengan letak geografis, wilayah darat Republik Indonesia berbatasan dengan tiga negara yaitu Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Timor Leste. Sedangkan untuk wilayah laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara yaitu Australia (di Samudera Indonesia), India (Laut Andaman dan Lautan Hindia), Thailand (Laut Andaman dan Selat Malaka), Malaysia (Selat Malaka dan Laut China Selatan serta Laut Sulawesi), Singapura (Selat Malaka dan Selat Batam), Vietnam (Laut China Selatan), Filipina (Laut China Selatan dan Laut Sulawesi), Papua New Guinea (Samudera Pasifik), Palau (Samudera Pasifik) dan Timor Leste (Laut Timor dan Laut Flores).

Di wilayah-wilayah yang berbatasan dengan negara lain (baik darat maupun laut) merupakan daerah-daerah rawan konflik yang apabila tidak cepat diatasi, ekskalasinya dapat mengganggu hubungan bilateral kedua negara. Kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan salah satu contoh permasalahan perbatasan yang disebabkan antara lain karena adanya perbedaan hasil pengukuran di lapangan dengan peta yang dijadikan argumen dan legalitas hukum masing-masing negara. Dalam kasus Sipadan Ligitan analis mengemukakan bahwa Indonesia sejatinya tidak kehilangan pulau, tapi gagal dalam mengklaim pulau tidak bertuan, akibat Indonesia tidak melakukan perbuatan pengurusan terhadap kedua pulau tersebut. Kemudian, di wilayah batas laut seringkali terjadi kasus-kasus pencurian ikan oleh kapal-kapal asing karena lemahnya pengawasan di wilayah perairan kita. Pelanggaran batas laut tersebut juga sering dilakukan oleh nelayan-nelayan tradisional asal Indonesia akibat kurang tersosialisasinya kebijakan mengenai batas laut.

Persoalan-persoalan perbatasan yang cukup rumit dan kompleks, selama ini kurang mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Penanganan perbatasan selama ini belum dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, seringkali terjadi tarik menarik kepentingan antara berbagai pihak yang menangani wilayah perbatasan baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Hal lain yang cukup memprihatinkan adalah keadaan masyarakat yang tinggal di sekitar daerah perbatasan yang seakan lepas dari perhatian pemerintah pusat maupun daerah. Kajian dari Lembaga Administrasi Negara mengemukakan bahwa pengelolaan wilayah

perbatasan negara selama ini merupakan domain pemerintah pusat sedangkan pemerintah daerah dan masyarakatnya kurang dilibatkan. Kemudian ketika muncul permasalahan, mereka bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan? Siapa yang harus menyediakan dan memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sedangkan mereka tidak tahu dimana

74batas-batas fisik negaranya?

Kondisi di lapangan memperlihatkan banyak kebijakan pengelolaan perbatasan negara yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinergi satu sama lain. Selama ini penanganan terhadap masalah-masalah yang muncul seputar perbatasan masih bersifat ad-hoc, parsial dan sporadis oleh instansi atau lembaga yang berbeda-beda.

Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan membentang sepanjang ± 1.840 km (mencakup wilayah Provinsi Kalimantan Timur ± 1.035 km dan Kalimantan Barat ± 805 km). Dengan garis panjang perbatasan sedemikian rupa, menyimpan potensi permasalahan yang luar biasa, antara lain adalah: Pertama, permasalahan yang berdimensi lokal dan domestik, yaitu gambaran kemiskinan sebagai akibat dari tidak fokusnya intervensi kebijakan di masa lalu sehingga terabaikannya pembangunan infrastruktur, sumber daya manusia, kemudian diikuti dengan penanganan perbatasan yang masih kental dengan nuansa sentralistik.

Kedua, permasalahan yang berdimensi nasional, yaitu munculnya kegiatan ekonomi ilegal diantaranya illegal logging, TKI dan penyelundupan lainnya (trafficking in persons), eksploitasi sumber daya alam secara tidak beraturan, lemahnya sistem pengawasan, semangat otonomi mengenai status dan kewenangan penanganan, serta gejala degradasi nasionalisme.

Ketiga, permasalahan yang berdimensi regional antarnegara, lebarnya kesenjangan sosial ekonomi antara penduduk negeri sendiri dengan negeri tetangga, pergeseran atau hilangnya patok tapal batas negara sehingga menimbulkan konflik mengenai garis batas dan kasus-kasus

75lainnya.

74 Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

75 Ibid.

76 77Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 86: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Dari sejumlah persoalan mengenai perbatasan negara, masalah kelembagaan merupakan suatu hal yang amat krusial. Saat ini tercatat sekitar 12 (duabelas) instansi yang terkait dengan penanganan dan pengelolaan perbatasan negara. Banyaknya instansi yang terkait ini menyebabkan sulitnya melaksanakan koordinasi, khususnya di lapangan. Sehingga penanganan wilayah perbatasan selama ini, dirasakan masih bersifat parsial, sporadis, dan ad-hoc. Artinya persoalan-persoalan mendasar belum tersentuh secara menyeluruh. Oleh karena itu kini saatnya bagi pemerintah untuk memformulasikan kembali kelembagaan pengelola perbatasan, agar manajemen wilayah perbatasan menjadi lebih efektif di masa-masa

76mendatang.

Pengamanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan, melainkan menyangkut masalah politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, kesejahteraan, dan dokumentasi informasi geospasial. Layaknya sebuah lukisan zamrud khatulistiwa yang dibingkai, wilayah NKRI memiliki batas kedaulatan dan hak berdaulatnya sebagai bingkai. Batas wilayah NKRI belakangan ini menjadi isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif, legislatif, aparatur pertahanan, maupun masyarakat umum, termasuk kalangan elite politik (pusat dan daerah). Sensitivitas tersebut kemudian diikuti dengan sentimental dan emosional yang kadang dapat membuat kehilangan konteks terhadap permasalahan yang sebenarnya. Contoh kasus adalah sengketa antara Indonesia-Malaysia terhadap kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan serta Blok Ambalat di lepas pantai Kalimtan Timur/Sabah dan di Laut Sulawesi. Juga kasus 'hilangnya wilayah Indonesia' di Camar Bulan dan Tanjung Datu di Kabupaten Sambas pada tahun 2011 akibat patok batas

77negara yang bergeser.

Pada saat ini yang perlu dikedepankan oleh para pengambil keputusan adalah bagaimana Indonesia mengelola wilayah perbatasan dengan sebaik-baiknya. Apabila ingin menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan wilayah NKRI, pengawasan, pengamanan, pengembangan, dan pembangunan wilayah perbatasan tersebut menjadi hal

78yang sangat penting.

76 Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

77 Sobar Sutisna. Op.cit.

78 Ibid.

Menurut Hamid (2003), kawasan perbatasan antarnegara merupakan kawasan yang strategis karena merupakan titik tumbuh bagi perekonomian regional maupun nasional. Melalui kawasan ini, kegiatan perdagangan antarnegara dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah yang pada gilirannya akan mendorong naiknya aktivitas produksi masyarakat,

79pendapatan masyarakat, dan berujung pada kesejahteraan masyarakat.

Studi kasus di Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa eksistensi penduduk di wilayah perbatasan merupakan salah satu indikator dari pelaksanaan kedaulatan negara di garis depan. Namun sayangnya, dalam perkembangan mutakhir, khususnya di kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia, jumlah penduduk di wilayah tersebut

80semakin berkurang jumlahnya karena bermigrasi ke Serawak.

Data yang peneliti dapatkan langsung dari Kepala Desa Suruh Tembawang dan FGD di Kecamatan Entikong, fenomena migrasi penduduk karena alasan ekonomi maupun perkawinan memang terjadi. Mereka menolak disebut sebagai 'eksodus' namun juga jumlah yang hijrah tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Begitu prihatin terhadap fenomena hijrah ini, kepala desa sempat berujar : “Kami pikir tak perlu program KB disini karena penduduk saya terutama di Dusun Badat Lama sudah semakin sedikit, apabila dilakukan program KB pula lama kelamaan penduduk semakin sedikit...”

Saru Arifin, peneliti perbatasan mengemukakan bahwa berubahnya model migrasi tersebut yang banyak melibatkan penduduk lokal wilayah perbatasan, dipicu oleh kondisi pembangunan sosial dan ekonomi wilayah perbatasan, yang tidak berimbang dengan kemajuan pembangunan di wilayah Sarawak. Sehingga penduduk wilayah perbatasan Kalbar merasa cemburu dengan kemajuan yang dicapai oleh saudaranya di wilayah Sarawak. Dan ini adalah ancaman serius dalam bidang hankam, ketika dilakukan oleh penduduk lokal perbatasan, bukan oleh pekerja migran. Ini adalah ancaman serius bagi terjadinya silent occupation oleh negara tetangga terhadap wilayah kedaulatan RI. Gejalanya ditandai dengan merebaknya sejumlah temuan kasus bergesernya patok perbatasan negara

79 Saru Arifin, Migrasi Penduduk dan Implikasinya terhadap Hankam di Wilayah Perbatasan Kalbar-Serawak, Malaysia.

80 Saru Arifin, ibid.

78 79Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 87: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Dari sejumlah persoalan mengenai perbatasan negara, masalah kelembagaan merupakan suatu hal yang amat krusial. Saat ini tercatat sekitar 12 (duabelas) instansi yang terkait dengan penanganan dan pengelolaan perbatasan negara. Banyaknya instansi yang terkait ini menyebabkan sulitnya melaksanakan koordinasi, khususnya di lapangan. Sehingga penanganan wilayah perbatasan selama ini, dirasakan masih bersifat parsial, sporadis, dan ad-hoc. Artinya persoalan-persoalan mendasar belum tersentuh secara menyeluruh. Oleh karena itu kini saatnya bagi pemerintah untuk memformulasikan kembali kelembagaan pengelola perbatasan, agar manajemen wilayah perbatasan menjadi lebih efektif di masa-masa

76mendatang.

Pengamanan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukan hanya masalah pertahanan dan keamanan, melainkan menyangkut masalah politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, kesejahteraan, dan dokumentasi informasi geospasial. Layaknya sebuah lukisan zamrud khatulistiwa yang dibingkai, wilayah NKRI memiliki batas kedaulatan dan hak berdaulatnya sebagai bingkai. Batas wilayah NKRI belakangan ini menjadi isu yang sangat sensitif, baik di kalangan eksekutif, legislatif, aparatur pertahanan, maupun masyarakat umum, termasuk kalangan elite politik (pusat dan daerah). Sensitivitas tersebut kemudian diikuti dengan sentimental dan emosional yang kadang dapat membuat kehilangan konteks terhadap permasalahan yang sebenarnya. Contoh kasus adalah sengketa antara Indonesia-Malaysia terhadap kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan serta Blok Ambalat di lepas pantai Kalimtan Timur/Sabah dan di Laut Sulawesi. Juga kasus 'hilangnya wilayah Indonesia' di Camar Bulan dan Tanjung Datu di Kabupaten Sambas pada tahun 2011 akibat patok batas

77negara yang bergeser.

Pada saat ini yang perlu dikedepankan oleh para pengambil keputusan adalah bagaimana Indonesia mengelola wilayah perbatasan dengan sebaik-baiknya. Apabila ingin menempatkan wilayah perbatasan sebagai beranda depan wilayah NKRI, pengawasan, pengamanan, pengembangan, dan pembangunan wilayah perbatasan tersebut menjadi hal

78yang sangat penting.

76 Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen Wilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

77 Sobar Sutisna. Op.cit.

78 Ibid.

Menurut Hamid (2003), kawasan perbatasan antarnegara merupakan kawasan yang strategis karena merupakan titik tumbuh bagi perekonomian regional maupun nasional. Melalui kawasan ini, kegiatan perdagangan antarnegara dapat dilakukan dengan mudah, cepat dan murah yang pada gilirannya akan mendorong naiknya aktivitas produksi masyarakat,

79pendapatan masyarakat, dan berujung pada kesejahteraan masyarakat.

Studi kasus di Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa eksistensi penduduk di wilayah perbatasan merupakan salah satu indikator dari pelaksanaan kedaulatan negara di garis depan. Namun sayangnya, dalam perkembangan mutakhir, khususnya di kawasan perbatasan Kalimantan Barat dengan Serawak, Malaysia, jumlah penduduk di wilayah tersebut

80semakin berkurang jumlahnya karena bermigrasi ke Serawak.

Data yang peneliti dapatkan langsung dari Kepala Desa Suruh Tembawang dan FGD di Kecamatan Entikong, fenomena migrasi penduduk karena alasan ekonomi maupun perkawinan memang terjadi. Mereka menolak disebut sebagai 'eksodus' namun juga jumlah yang hijrah tersebut tidak bisa dibilang sedikit. Begitu prihatin terhadap fenomena hijrah ini, kepala desa sempat berujar : “Kami pikir tak perlu program KB disini karena penduduk saya terutama di Dusun Badat Lama sudah semakin sedikit, apabila dilakukan program KB pula lama kelamaan penduduk semakin sedikit...”

Saru Arifin, peneliti perbatasan mengemukakan bahwa berubahnya model migrasi tersebut yang banyak melibatkan penduduk lokal wilayah perbatasan, dipicu oleh kondisi pembangunan sosial dan ekonomi wilayah perbatasan, yang tidak berimbang dengan kemajuan pembangunan di wilayah Sarawak. Sehingga penduduk wilayah perbatasan Kalbar merasa cemburu dengan kemajuan yang dicapai oleh saudaranya di wilayah Sarawak. Dan ini adalah ancaman serius dalam bidang hankam, ketika dilakukan oleh penduduk lokal perbatasan, bukan oleh pekerja migran. Ini adalah ancaman serius bagi terjadinya silent occupation oleh negara tetangga terhadap wilayah kedaulatan RI. Gejalanya ditandai dengan merebaknya sejumlah temuan kasus bergesernya patok perbatasan negara

79 Saru Arifin, Migrasi Penduduk dan Implikasinya terhadap Hankam di Wilayah Perbatasan Kalbar-Serawak, Malaysia.

80 Saru Arifin, ibid.

78 79Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 88: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

oleh para TNI penjaga perbatasan. Berdasarkan dokumen TNI disebutkan bahwa hingga tahun 2006 tercatat ada 19.328 unit patok batas darat Indonesia-Malaysia. Sebagian besar dalam keadaan hancur dan hilang termakan usia maupun akibat erosi. Dampaknya, menurut TNI, Indonesia

81berpotensi kehilangan wilayah darat sebesar 6.402 ha.

Selain itu, dengan berkurangnya jumlah penduduk perbatasan, maka pengawasan swakarsa oleh masyarakat terhadap para pelintas batas maupun patok batas wilayah negara tidak bisa dilakukan secara efektif. Sebab penjagaan yang secara formal dilakukan oleh aparat TNI hanya pada titik-titik tertentu saja, padahal panjang wilayah perbatasan di Kalimantan sangat luas, dari Tanjung Datu di Sambas Kalbar sampai Pulau Sebatik di

82Kaltim.

Pada umumnya migrasi penduduk perbatasan ke Sarawak Malaysia dilakukan melalui tiga cara yang dominan. Pertama, melalui jalur perkawinan. Kedua, melalui jalur kelahiran. Proses migrasi penduduk terjadi karena anak-anak penduduk perbatasan lahir di rumah sakit yang ada di Sarawak Malaysia. Di daerah perbatasan pelayanan kesehatan sangat memprihatinkan sehingga untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya, penduduk yang akan melahirkan lebih memilih ke Malaysia yang fasilitasnya sangat memadai dan jaraknya cukup dekat dibandingkan dengan ke Kabupaten. Ketiga, motif ekonomi; yang terjadi karena faktor kesenjangan ekonomi dengan Serawak. Juga, karena minimnya infrastruktur dan

83keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Dampak migrasi terhadap Penduduk Perbatasan adalah antara lain terhadap regenerasi penduduk dan terhadap pertahanan dan keamanan. Berdasarkan data demografi kawasan perbatasan terlihat, bahwa kepadatan penduduk wilayah perbatasan sangatlah tidak berimbang dengan luasnya wilayah geografisnya. Rata-rata kepadatan penduduk wilayah perbatasan mencapai 8 jiwa/km2, bahkan di sebagian daerah seperti Kapuas Hulu ada yang hanya 1 orang/km2. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap pembangunan sosial dan ekonomi serta kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Apalagi apabila penduduk perbatasan kemudian hijrah ke Sarawak karena motif ekonomi.

81 Ibid.

82 Ibid.

83 Ibid.

Dalam kasus yang berbeda, studi terhadap perbatasan di Papua dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan fenomena yang lain. Apabila pada kasus Kalbar-Serawak terlihat fenomena migrasi karena alasan ekonomi dari Kalbar ke Serawak, sebaliknya pada kasus di Perbatasan Papua-Papua New Guinea (khususnya Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom) serta perbatasan NTT-Timor Leste (khususnya Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu) fenomena hijrah massal tersebut tak terlihat. Hal ini terjadi karena karena 'rumput tetangga tidak lebih hijau'. Kesejahteraan di Papua New Guinea dan di Timor Leste tidak lebih baik daripada di Papua dan di Nusa Tenggara Timur. Sebaliknya, tidak jarang penduduk negeri tetangga yang menyambangi Papua dan NTT untuk berbelanja kebutuhan pokok. Namun, ada hal yang menimbulkan kecemburuan warga dan pejabat NTT, yaitu ketika masih bergabung dalam NKRI Provinsi Timor Timur cenderung mendapat perhatian khusus dari Jakarta, alias di-anakemas-kan. Sehingga secara fisik Provinsi termuda tersebut banyak mengalami pembangunan. Kemudian pascajajak pendapat, ketika di bawah pantauan PBB, negeri ini juga banyak mendapatkan bantuan internasional untuk membangun kembali negerinya pascakonflik. Hal yang tidak terjadi di NTT.

Di luar fenomena migrasi, fenomena yang harus dianggap serius juga adalah ancaman keamanan di perbatasan berupa arus keluar masuk orang maupun barang yang illegal. Apakah berbentuk human trafficking, drug trafficking, ataupun arms trafficking. Juga fenomena keluar masuk orang secara tradisional karena penduduk kedua perbatasan sesungguhnya banyak yang bersaudara karena dahulunya berada dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang sama sebelum terbelah menjadi dua negara modern. Hal ini dimungkinkan karena panjang perbatasan begitu luas, pintu perbatasan resmi hanya sedikit dengan petugas yang terbatas. Sebaliknya, jalan 'tikus' untuk menyeberang ke perbatasan begitu banyak dan tanpa penjagaan sama sekali.

Dari sisi pertahanan dan keamanan, eksistensi penduduk di wilayah perbatasan dalam perspektif pertahanan dan keamanan selain menjadi indikator pelaksanaan kedaulatan negara di garda depan, juga sangat signifikan dalam mendukung kebijakan pertahanan dan keamanan negara. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem pertahanan negara dilakukan oleh TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen

80 81Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 89: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

oleh para TNI penjaga perbatasan. Berdasarkan dokumen TNI disebutkan bahwa hingga tahun 2006 tercatat ada 19.328 unit patok batas darat Indonesia-Malaysia. Sebagian besar dalam keadaan hancur dan hilang termakan usia maupun akibat erosi. Dampaknya, menurut TNI, Indonesia

81berpotensi kehilangan wilayah darat sebesar 6.402 ha.

Selain itu, dengan berkurangnya jumlah penduduk perbatasan, maka pengawasan swakarsa oleh masyarakat terhadap para pelintas batas maupun patok batas wilayah negara tidak bisa dilakukan secara efektif. Sebab penjagaan yang secara formal dilakukan oleh aparat TNI hanya pada titik-titik tertentu saja, padahal panjang wilayah perbatasan di Kalimantan sangat luas, dari Tanjung Datu di Sambas Kalbar sampai Pulau Sebatik di

82Kaltim.

Pada umumnya migrasi penduduk perbatasan ke Sarawak Malaysia dilakukan melalui tiga cara yang dominan. Pertama, melalui jalur perkawinan. Kedua, melalui jalur kelahiran. Proses migrasi penduduk terjadi karena anak-anak penduduk perbatasan lahir di rumah sakit yang ada di Sarawak Malaysia. Di daerah perbatasan pelayanan kesehatan sangat memprihatinkan sehingga untuk menjaga kesehatan ibu dan bayinya, penduduk yang akan melahirkan lebih memilih ke Malaysia yang fasilitasnya sangat memadai dan jaraknya cukup dekat dibandingkan dengan ke Kabupaten. Ketiga, motif ekonomi; yang terjadi karena faktor kesenjangan ekonomi dengan Serawak. Juga, karena minimnya infrastruktur dan

83keterbelakangan ekonomi di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Dampak migrasi terhadap Penduduk Perbatasan adalah antara lain terhadap regenerasi penduduk dan terhadap pertahanan dan keamanan. Berdasarkan data demografi kawasan perbatasan terlihat, bahwa kepadatan penduduk wilayah perbatasan sangatlah tidak berimbang dengan luasnya wilayah geografisnya. Rata-rata kepadatan penduduk wilayah perbatasan mencapai 8 jiwa/km2, bahkan di sebagian daerah seperti Kapuas Hulu ada yang hanya 1 orang/km2. Kondisi ini tentu sangat berpengaruh terhadap pembangunan sosial dan ekonomi serta kedaulatan negara di wilayah perbatasan. Apalagi apabila penduduk perbatasan kemudian hijrah ke Sarawak karena motif ekonomi.

81 Ibid.

82 Ibid.

83 Ibid.

Dalam kasus yang berbeda, studi terhadap perbatasan di Papua dan Nusa Tenggara Timur, menunjukkan fenomena yang lain. Apabila pada kasus Kalbar-Serawak terlihat fenomena migrasi karena alasan ekonomi dari Kalbar ke Serawak, sebaliknya pada kasus di Perbatasan Papua-Papua New Guinea (khususnya Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Keerom) serta perbatasan NTT-Timor Leste (khususnya Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu) fenomena hijrah massal tersebut tak terlihat. Hal ini terjadi karena karena 'rumput tetangga tidak lebih hijau'. Kesejahteraan di Papua New Guinea dan di Timor Leste tidak lebih baik daripada di Papua dan di Nusa Tenggara Timur. Sebaliknya, tidak jarang penduduk negeri tetangga yang menyambangi Papua dan NTT untuk berbelanja kebutuhan pokok. Namun, ada hal yang menimbulkan kecemburuan warga dan pejabat NTT, yaitu ketika masih bergabung dalam NKRI Provinsi Timor Timur cenderung mendapat perhatian khusus dari Jakarta, alias di-anakemas-kan. Sehingga secara fisik Provinsi termuda tersebut banyak mengalami pembangunan. Kemudian pascajajak pendapat, ketika di bawah pantauan PBB, negeri ini juga banyak mendapatkan bantuan internasional untuk membangun kembali negerinya pascakonflik. Hal yang tidak terjadi di NTT.

Di luar fenomena migrasi, fenomena yang harus dianggap serius juga adalah ancaman keamanan di perbatasan berupa arus keluar masuk orang maupun barang yang illegal. Apakah berbentuk human trafficking, drug trafficking, ataupun arms trafficking. Juga fenomena keluar masuk orang secara tradisional karena penduduk kedua perbatasan sesungguhnya banyak yang bersaudara karena dahulunya berada dalam kesatuan masyarakat hukum adat yang sama sebelum terbelah menjadi dua negara modern. Hal ini dimungkinkan karena panjang perbatasan begitu luas, pintu perbatasan resmi hanya sedikit dengan petugas yang terbatas. Sebaliknya, jalan 'tikus' untuk menyeberang ke perbatasan begitu banyak dan tanpa penjagaan sama sekali.

Dari sisi pertahanan dan keamanan, eksistensi penduduk di wilayah perbatasan dalam perspektif pertahanan dan keamanan selain menjadi indikator pelaksanaan kedaulatan negara di garda depan, juga sangat signifikan dalam mendukung kebijakan pertahanan dan keamanan negara. Hakikat pertahanan negara adalah segala upaya pertahanan bersifat semesta yang penyelenggaraannya didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara serta keyakinan pada kekuatan sendiri. Sistem pertahanan negara dilakukan oleh TNI sebagai komponen utama dengan didukung oleh komponen cadangan dan komponen pendukung. Komponen

80 81Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 90: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

cadangan terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Dalam konteks ini maka keberadaan penduduk sangatlah penting untuk mendukung pertahanan negara, terutama di wilayah perbatasan negara.

Mufti Makarimal Akhlak menyebutkan bahwa penanganan persoalan pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan RI juga dituntut untuk melakukan penyesuaian, baik dari segi pembacaan persoalan yang berdimensi pembangunan, administrasi pemerintahan, keamanan dan pertahanan, maupun dari segi pengambilan keputusan dan pembagian peran di tingkat eksekutif-legislatif-yudikatif, pusat-daerah, serta pemerintah-aktor keamanan. Tantangan di atas juga mensyaratkan suatu policy yang komprehensif terkait dasar hukum yang kuat, struktur operasional yang baik dan terkoordinir antar instansi, anggaran yang memadai, serta pengawasan

84dan pertanggungjawaban yang akuntabel.

Pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan NKRI juga harus dipahami sebagai fungsi-fungsi yang bersifat permanen, selama eksistensi Negara ada. Yang selalu akan berubah dan mengalami penyesuaian adalah analisis ancaman (threat assessment) yang mempengaruhi besaran sumber daya dan kekuatan yang diperlukan dan bagaimana sumber daya dan kekuatan itu diorganisir untuk keperluan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan. Analisis ancamanlah yang menentukan apakah ancaman tersebut bersifat eksternal atau internal serta apakah penanganannya bersifat defensive atau ofensif. Termasuk apakah penanganan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan akan lebih dititikberatkan pada kawasan tertentu dengan memperhatikan derajat ancaman atau potensi ancaman

85berdasarkan kondisi geografis sebuah Negara.

84Mufti Makarimal Akhlak, Strategi Pengelolaan dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara RI : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, dalam Jurnal Hukum Internasional FHUI, Vol. 6 No. 4 Juli 2009, hal 507.

85 Ibid., hal. 508.

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan

Isu-isu perbatasan negara merupakan isu yang bersifat universal. Artinya hampir seluruh negara di dunia menghadapi persoalan-persoalan seputar dengan wilayah perbatasan negaranya. Pada dasarnya permasalahan di daerah perbatasan dapat dibagi menjadi dua yaitu persoalan penegasan batas-batas negara secara fisik, dan pengelolaan daerah-daerah perbatasan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara lain yakni Malaysia, PNG, Timor Leste, Australia, India, Thailand, Singapura, Vietnam, Palau, dan Filipina. Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain. Dengan panjang garis perbatasan ±1.840 km menyimpan sejumlah persoalan yang berdimensi daerah, nasional maupun regional.

Temuan kepustakaan dan data lapangan mengemukakan bahwa implementasi pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini dirasakan belum dilakukan secara komprehensif. Artinya pengelolaan dilakukan secara parsial, sporadis dan ad-hoc. Akibatnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tidak dapat diselesaikan secara menyeluruh. Terisolirnya daerah-daerah perbatasan, minimnya sarana dan prasarana, rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, penyelundupan, illegal logging, human trafficking, hingga potensi degradasi rasa nasionalisme masyarakat perbatasan merupakan masalah krusial yang harus segera diatasi.

82 83Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 91: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

cadangan terdiri atas warga negara, sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat komponen utama. Dalam konteks ini maka keberadaan penduduk sangatlah penting untuk mendukung pertahanan negara, terutama di wilayah perbatasan negara.

Mufti Makarimal Akhlak menyebutkan bahwa penanganan persoalan pengelolaan dan pertahanan di wilayah perbatasan RI juga dituntut untuk melakukan penyesuaian, baik dari segi pembacaan persoalan yang berdimensi pembangunan, administrasi pemerintahan, keamanan dan pertahanan, maupun dari segi pengambilan keputusan dan pembagian peran di tingkat eksekutif-legislatif-yudikatif, pusat-daerah, serta pemerintah-aktor keamanan. Tantangan di atas juga mensyaratkan suatu policy yang komprehensif terkait dasar hukum yang kuat, struktur operasional yang baik dan terkoordinir antar instansi, anggaran yang memadai, serta pengawasan

84dan pertanggungjawaban yang akuntabel.

Pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan NKRI juga harus dipahami sebagai fungsi-fungsi yang bersifat permanen, selama eksistensi Negara ada. Yang selalu akan berubah dan mengalami penyesuaian adalah analisis ancaman (threat assessment) yang mempengaruhi besaran sumber daya dan kekuatan yang diperlukan dan bagaimana sumber daya dan kekuatan itu diorganisir untuk keperluan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan. Analisis ancamanlah yang menentukan apakah ancaman tersebut bersifat eksternal atau internal serta apakah penanganannya bersifat defensive atau ofensif. Termasuk apakah penanganan pengelolaan dan pertahanan wilayah perbatasan akan lebih dititikberatkan pada kawasan tertentu dengan memperhatikan derajat ancaman atau potensi ancaman

85berdasarkan kondisi geografis sebuah Negara.

84Mufti Makarimal Akhlak, Strategi Pengelolaan dan Pertahanan Wilayah Perbatasan Udara RI : Tantangan Aspek Politik, Yuridis dan Operasional, dalam Jurnal Hukum Internasional FHUI, Vol. 6 No. 4 Juli 2009, hal 507.

85 Ibid., hal. 508.

BAB VPENUTUP

A. Kesimpulan

Isu-isu perbatasan negara merupakan isu yang bersifat universal. Artinya hampir seluruh negara di dunia menghadapi persoalan-persoalan seputar dengan wilayah perbatasan negaranya. Pada dasarnya permasalahan di daerah perbatasan dapat dibagi menjadi dua yaitu persoalan penegasan batas-batas negara secara fisik, dan pengelolaan daerah-daerah perbatasan oleh pemerintah pusat maupun daerah.

Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara lain yakni Malaysia, PNG, Timor Leste, Australia, India, Thailand, Singapura, Vietnam, Palau, dan Filipina. Wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan daerah-daerah Indonesia yang berbatasan dengan negara-negara lain. Dengan panjang garis perbatasan ±1.840 km menyimpan sejumlah persoalan yang berdimensi daerah, nasional maupun regional.

Temuan kepustakaan dan data lapangan mengemukakan bahwa implementasi pengelolaan wilayah perbatasan yang dilakukan Pemerintah Indonesia selama ini dirasakan belum dilakukan secara komprehensif. Artinya pengelolaan dilakukan secara parsial, sporadis dan ad-hoc. Akibatnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan dihadapi oleh masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan tidak dapat diselesaikan secara menyeluruh. Terisolirnya daerah-daerah perbatasan, minimnya sarana dan prasarana, rendahnya tingkat kesejahteraan penduduk, penyelundupan, illegal logging, human trafficking, hingga potensi degradasi rasa nasionalisme masyarakat perbatasan merupakan masalah krusial yang harus segera diatasi.

82 83Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 92: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Temuan lapangan selama penelitian menunjukkan adanya masalah-masalah sebagai berikut (contoh di Kalimantan Barat) : ketimpangan pembangunan fisik, kelangkaan fasilitas dan infrastruktur-listrik, jaringan transportasi, fasilitasi kesehatan, ketimpangan akses informasi, ekonomi dan perdagangan, disharmoni antara aparat militer dan masyarakat dan kekesalan masyarakat terhadap perilaku pejabat. Masalah di Papua sedikit berbeda, antara lain adalah kerawanan keamanan, penyelundupan senjata, amunisi dan narkoba, konflik pertanahan, kelangkaan fasilitas dan infrastruktur kesehatan, ketimpangan akses ekonomi dan perdagangan, kapasitas SDM yang rendah, budaya minum minuman keras yang pada derajat tertentu bias mengarah destruktif, serta masalah disharmoni antara penduduk asli dan pendatang.

Sementara itu masalah di perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timur Leste sedikit berbeda dengan di Kalimantan Barat dan Papua. Karena Timor Leste sempat mengalami masa bersama Republik Indonesia, sehingga ketika terjadi peralihan kekuasaan, terjadi pula gelombang exodus besar-besaran dari Timor Leste ke Indonesia. Sampai saat ini proses pengungsian dan resettlement para pengungsi tersebut masih bermasalah. Kenyataan lain adalah tidak terlalu nampak perbedaan kesejahteraan antara kedua wilayah tersebut. Karena bisa dikatakan, antara Timor Leste dan NTT sama-sama wilayah yang tertinggal dari sisi pembangunan. Walaupun, Timor Leste banyak mendapat prioritas pembangunan ketika bergabung dengan Indonesia, juga beberapa tahun setelah jajak pendapat yang disokong oleh PBB.

Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Pemerintah Indonesia pada daerah-daerah perbatasan menyebabkan wilayah-wilayah di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah Sarawak dan Sabah, Malaysia. Dari kondisi sarana dan prasarana, pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan penduduk, harus diakui terjadi kesenjangan yang cukup signifikan antara daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Perubahan paradigma untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai “halaman depan” (front yard) negara oleh pemerintah perlu didukung oleh sejumlah perangkat kebijakan. Dimensi kelembagaan merupakan salah satu perangkat penting. Sejauh ini lembaga atau institusi yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengelola perbatasan Indonesia tersebar di sejumlah instansi pusat dan daerah. Lebih lanjut, pada era otonomi daerah yang sedang berlangsung saat ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih untuk mengelola daerahnya masing-masing, termasuk daerah yang berbatasan dengan negara lain. Terjadinya tumpang tindih kewenangan, kurang harmonisnya hubungan kerja dan tingginya ego sektoral adalah konsekuensi dari banyaknya instansi yang terlibat.

Akhirnya, pemikiran yang mengemuka adalah bahwa mengelola perbatasan bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat).

Salah satu kasus yang mengemuka dan menunjukkan dampak kependudukan yang krusial terhadap keamanan di perbatasan Indonesia adalah seperti yang terjadi di Kecamatan Entikong, yaitu berupa 'eksodus' alias migrasi besar-besaran warga Indonesia ke Malaysia karena alasan ekonomi., bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi.

Fenomena di atas harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya (degradasi nasionalisme. Degradasi nasionalisme barangkali terjadi di beberapa daerah secara kasuistik dan temporal, namun sejatinya jiwa nasionalisme masyarakat

84 85Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 93: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Temuan lapangan selama penelitian menunjukkan adanya masalah-masalah sebagai berikut (contoh di Kalimantan Barat) : ketimpangan pembangunan fisik, kelangkaan fasilitas dan infrastruktur-listrik, jaringan transportasi, fasilitasi kesehatan, ketimpangan akses informasi, ekonomi dan perdagangan, disharmoni antara aparat militer dan masyarakat dan kekesalan masyarakat terhadap perilaku pejabat. Masalah di Papua sedikit berbeda, antara lain adalah kerawanan keamanan, penyelundupan senjata, amunisi dan narkoba, konflik pertanahan, kelangkaan fasilitas dan infrastruktur kesehatan, ketimpangan akses ekonomi dan perdagangan, kapasitas SDM yang rendah, budaya minum minuman keras yang pada derajat tertentu bias mengarah destruktif, serta masalah disharmoni antara penduduk asli dan pendatang.

Sementara itu masalah di perbatasan Nusa Tenggara Timur dengan Timur Leste sedikit berbeda dengan di Kalimantan Barat dan Papua. Karena Timor Leste sempat mengalami masa bersama Republik Indonesia, sehingga ketika terjadi peralihan kekuasaan, terjadi pula gelombang exodus besar-besaran dari Timor Leste ke Indonesia. Sampai saat ini proses pengungsian dan resettlement para pengungsi tersebut masih bermasalah. Kenyataan lain adalah tidak terlalu nampak perbedaan kesejahteraan antara kedua wilayah tersebut. Karena bisa dikatakan, antara Timor Leste dan NTT sama-sama wilayah yang tertinggal dari sisi pembangunan. Walaupun, Timor Leste banyak mendapat prioritas pembangunan ketika bergabung dengan Indonesia, juga beberapa tahun setelah jajak pendapat yang disokong oleh PBB.

Pendekatan keamanan (security approach) yang diterapkan Pemerintah Indonesia pada daerah-daerah perbatasan menyebabkan wilayah-wilayah di Kalimantan Barat maupun Kalimantan Timur tertinggal bila dibandingkan dengan wilayah Sarawak dan Sabah, Malaysia. Dari kondisi sarana dan prasarana, pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan penduduk, harus diakui terjadi kesenjangan yang cukup signifikan antara daerah perbatasan Indonesia dan Malaysia.

Perubahan paradigma untuk menjadikan daerah perbatasan sebagai “halaman depan” (front yard) negara oleh pemerintah perlu didukung oleh sejumlah perangkat kebijakan. Dimensi kelembagaan merupakan salah satu perangkat penting. Sejauh ini lembaga atau institusi yang bertugas dan memiliki kewenangan untuk mengelola perbatasan Indonesia tersebar di sejumlah instansi pusat dan daerah. Lebih lanjut, pada era otonomi daerah yang sedang berlangsung saat ini, pemerintah daerah mempunyai kewenangan lebih untuk mengelola daerahnya masing-masing, termasuk daerah yang berbatasan dengan negara lain. Terjadinya tumpang tindih kewenangan, kurang harmonisnya hubungan kerja dan tingginya ego sektoral adalah konsekuensi dari banyaknya instansi yang terlibat.

Akhirnya, pemikiran yang mengemuka adalah bahwa mengelola perbatasan bagi pemerintah Indonesia tak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan keamanan tradisional yang bertumpu pada pendekatan kemiliteran (hankam) belaka. Pendekatan kemiliteran tetap penting, utamanya dalam menangani masalah di perbatasan laut ataupun tindak pidana di perbatasan darat seperti illegal logging, smuggling, ataupun human trafficking. Namun pendekatan kemiliteran saja tidak cukup karena persoalan perbatasan fisik jauh lebih kompleks daripada masalah kemiliteran belaka (goes far beyond military threat).

Salah satu kasus yang mengemuka dan menunjukkan dampak kependudukan yang krusial terhadap keamanan di perbatasan Indonesia adalah seperti yang terjadi di Kecamatan Entikong, yaitu berupa 'eksodus' alias migrasi besar-besaran warga Indonesia ke Malaysia karena alasan ekonomi., bergantinya kewarganegaraan sejumlah besar WNI menjadi warga negara Malaysia, ataupun lintas batas secara illegal tanpa melalui pintu yang resmi.

Fenomena di atas harus dipahami dalam perspektif mengejar kesejahteraan ekonomi (economic security) dan juga keamanan pangan (food security), daripada sebagai pembangkangan anak bangsa terhadap negaranya (degradasi nasionalisme. Degradasi nasionalisme barangkali terjadi di beberapa daerah secara kasuistik dan temporal, namun sejatinya jiwa nasionalisme masyarakat

84 85Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 94: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Indonesia di perbatasan masih sangat tinggi. Hanya saja kesulitan sosial ekonomi dan jarak yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi membuat masyaraka t pe rba tasan kesu l i tan mengekspresikan jiwa nasionalismenya.

Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994.

Kebijakan hankam sebagai paradigma utama dalam pembangunan wilayah perbatasan yang telah berjalan puluhan tahun lamanya, terbukti kurang memberikan kemajuan di bidang sosial ekonomi bagi penduduk wilayah perbatasan. Kondisi tersebut menyebabkan terisolirnya wilayah perbatasan dari pembangunan nasional, sehingga orientasi kehidupan sosial dan ekonomi penduduk wilayah perbatasan cenderung ke negara tetangga (dalam kasus Kalbar-Sarawak). Dengan semakin berkurangnya jumlah penduduk di kawasan perbatasan maka hal itu dapat beimplikasi negatif terhadap daya dukung pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan, terutama dari unsur masyarakat sebagai salah satu komponen pentingdalam desain kebijakan hankam Indonesia. Yang pada gilirannya dalam jangka panjang akan memperlemah kedaulatan negara di garda depan.

Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.

B. Rekomendasi

1. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah di perbatasan dengan melibatkan para pemangku kepentingan harus serius menangani masalah keamanan di perbatasan Indonesia baik dengan perspektif keamanan tradisional maupun non tradisional yang menekankan pada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

2. Perbatasan Indonesia harus diapresiasi sebagai halaman depan (frontyard) negara daripada halaman belakang (backyard), sehingga tidak boleh terjadi ketimpangan pembangunan yang terlalu drastis antara daerah perbatasan dengan daerah-daerah pusat pertumbuhan lain di Indonesia di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota. Juga, jangan terjadi ketimpangan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi yang amat drastis dengan Negara tetangga.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dengan Negara tetangga dapat menimbulkan dampak kependudukan yang amat serius seperti eksodus penduduk ke negeri tetangga, berkurangnya jumlah penduduk di desa perbatasan (yang merupakan ancaman terhadap masalah hankam juga), berpindahnya kewarganegaraan penduduk Indonesia, hilangnya atau bergesernya wilayah Indonesia dan anggapan bahwa program KB tidak lagi diperlukan karena penduduk desa sendiri sudah berkurang akibat eksodus ke Negara tetangga.

4. Perlu dipikirkan membuat pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan seperti pasar atau pusat perniagaan/jual beli ataupun toko/kios yang menjual kebutuhan hidup yang dapat berkompetisi dengan toko/kios di Negara tetangga.

5. Perlu dipikirkan membuat jalan raya di sepanjang perbatasan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi di perdesaan sepanjang perbatasan yang terhubung juga dengan Ibukota

86 87Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 95: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Indonesia di perbatasan masih sangat tinggi. Hanya saja kesulitan sosial ekonomi dan jarak yang jauh dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi membuat masyaraka t pe rba tasan kesu l i tan mengekspresikan jiwa nasionalismenya.

Maka, dalam konteks ini, perhatian terhadap pendekatan keamanan non tradisional dalam mengelola masalah perbatasan menjadi amat penting, utamanya adalah perhatian terhadap aspek-aspek human security sebagaimana dimaksud dalam laporan UNDP tahun 1994.

Kebijakan hankam sebagai paradigma utama dalam pembangunan wilayah perbatasan yang telah berjalan puluhan tahun lamanya, terbukti kurang memberikan kemajuan di bidang sosial ekonomi bagi penduduk wilayah perbatasan. Kondisi tersebut menyebabkan terisolirnya wilayah perbatasan dari pembangunan nasional, sehingga orientasi kehidupan sosial dan ekonomi penduduk wilayah perbatasan cenderung ke negara tetangga (dalam kasus Kalbar-Sarawak). Dengan semakin berkurangnya jumlah penduduk di kawasan perbatasan maka hal itu dapat beimplikasi negatif terhadap daya dukung pertahanan dan keamanan di wilayah perbatasan, terutama dari unsur masyarakat sebagai salah satu komponen pentingdalam desain kebijakan hankam Indonesia. Yang pada gilirannya dalam jangka panjang akan memperlemah kedaulatan negara di garda depan.

Kemudian, belajar dari Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan serta Pulau Miangas di perbatasan laut dengan Philippina, negara RI harus juga mengupayakan perhatian terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Negara harus memposisikan pulau-pulau tersebut sebagai halaman depan (frontyard) Indonesia dan bukannya laksana halaman belakang (backyard) yang boleh diabaikan begitu saja. pembangunan mesti dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk dan keamanan di pulau-pulau terluar tersebut. Sehingga, dengan demikian klaim Indonesia terhadap pulau-pulau tersebut tidak hanya kuat secara yuridis namun juga secara sosiologis.

B. Rekomendasi

1. Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah di perbatasan dengan melibatkan para pemangku kepentingan harus serius menangani masalah keamanan di perbatasan Indonesia baik dengan perspektif keamanan tradisional maupun non tradisional yang menekankan pada pendekatan kesejahteraan (prosperity approach).

2. Perbatasan Indonesia harus diapresiasi sebagai halaman depan (frontyard) negara daripada halaman belakang (backyard), sehingga tidak boleh terjadi ketimpangan pembangunan yang terlalu drastis antara daerah perbatasan dengan daerah-daerah pusat pertumbuhan lain di Indonesia di tingkat Provinsi maupun kabupaten/kota. Juga, jangan terjadi ketimpangan kesejahteraan dan pembangunan ekonomi yang amat drastis dengan Negara tetangga.

3. Ketimpangan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan dengan Negara tetangga dapat menimbulkan dampak kependudukan yang amat serius seperti eksodus penduduk ke negeri tetangga, berkurangnya jumlah penduduk di desa perbatasan (yang merupakan ancaman terhadap masalah hankam juga), berpindahnya kewarganegaraan penduduk Indonesia, hilangnya atau bergesernya wilayah Indonesia dan anggapan bahwa program KB tidak lagi diperlukan karena penduduk desa sendiri sudah berkurang akibat eksodus ke Negara tetangga.

4. Perlu dipikirkan membuat pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan seperti pasar atau pusat perniagaan/jual beli ataupun toko/kios yang menjual kebutuhan hidup yang dapat berkompetisi dengan toko/kios di Negara tetangga.

5. Perlu dipikirkan membuat jalan raya di sepanjang perbatasan yang menghubungkan sentra-sentra ekonomi di perdesaan sepanjang perbatasan yang terhubung juga dengan Ibukota

86 87Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 96: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kecamatan/Kota/Kabupaten/Provinsi, demi menggairahkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

6. Perlu dipikirkan untuk kembali mengkonsentrasikan dan memprioritaskan pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, permukiman, pertanian, pertanian dan perluasan kesempatan kerja di daerah-daerah perbatasan.

7. Program Keluarga Berencana di daerah perbatasan perlu memikirkan pendekatan program yang lebih khusus dan spesifik untuk kelompok penduduk dan desa yang memang penduduknya sudah sedikit dan terus berkurang akibat eksodus ke negeri tetangga karena alasan ekonomi.

8. Perlunya sinergisitas dan harmonisasi program antar kementerian dan lembaga Negara yang sama-sama menangani masalah perbatasan supaya tidak terjadi tumpang tindih dan ketidakefektifan pelaksanaan program di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Keerom dalam Angka, 2011.

Badan Pusat Statistik, Belu dalam Angka, 2011.

Darmaputra, Rizal. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Masyarakat Sipil : Sebuah ToolKit. Jakarta, IDSPS, 2009.

Flassy, Angela.et.al. Luka Papua HIV, Otonom Khusus dan Perang Suku. Jakarta, Spasi dan VHR Books, 2008.

Jurnal Hukum Internasional FHUI Vol. 6 No. 3 April 2009

Jurnal Hukum Internasional FHUI Vol. 6 No. 4 Juli 2009

Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan : Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, artikel pada Universitas Pertahanan Indonesia.

Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen W

Perda Kalbar No. 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 2007-2027.ilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadie, Kawasan Sangihe Talaud Sitaro, Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan, Yogyakarta, Fuspad, 2008.

Online Resources

Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan P e n d e k a t a n K e a m a n a n N o n T r a d i s i o n a l , p a d a http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Harmen Batubara, Wilayah Perbatasan Halaman Depan Bangsa yang Terlupakan, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

88 89Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 97: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Kecamatan/Kota/Kabupaten/Provinsi, demi menggairahkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat.

6. Perlu dipikirkan untuk kembali mengkonsentrasikan dan memprioritaskan pembangunan bidang pendidikan, kesehatan, permukiman, pertanian, pertanian dan perluasan kesempatan kerja di daerah-daerah perbatasan.

7. Program Keluarga Berencana di daerah perbatasan perlu memikirkan pendekatan program yang lebih khusus dan spesifik untuk kelompok penduduk dan desa yang memang penduduknya sudah sedikit dan terus berkurang akibat eksodus ke negeri tetangga karena alasan ekonomi.

8. Perlunya sinergisitas dan harmonisasi program antar kementerian dan lembaga Negara yang sama-sama menangani masalah perbatasan supaya tidak terjadi tumpang tindih dan ketidakefektifan pelaksanaan program di lapangan.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik, Keerom dalam Angka, 2011.

Badan Pusat Statistik, Belu dalam Angka, 2011.

Darmaputra, Rizal. Manajemen Perbatasan dan Reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan untuk Masyarakat Sipil : Sebuah ToolKit. Jakarta, IDSPS, 2009.

Flassy, Angela.et.al. Luka Papua HIV, Otonom Khusus dan Perang Suku. Jakarta, Spasi dan VHR Books, 2008.

Jurnal Hukum Internasional FHUI Vol. 6 No. 3 April 2009

Jurnal Hukum Internasional FHUI Vol. 6 No. 4 Juli 2009

Moeldoko, Kompleksitas Pengelolaan Perbatasan : Tinjauan dari Perspektif Kebijakan Pengelolaan Perbatasan Indonesia, artikel pada Universitas Pertahanan Indonesia.

Pusat Kajian Administrasi Internasional Lembaga Administrasi Negara, Kajian Manajemen W

Perda Kalbar No. 7 tahun 2008 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah tahun 2007-2027.ilayah Perbatasan Negara, Jakarta, 2004.

Salindeho, Winsulangi dan Pitres Sombowadie, Kawasan Sangihe Talaud Sitaro, Daerah Perbatasan Keterbatasan Pembatasan, Yogyakarta, Fuspad, 2008.

Online Resources

Heru Susetyo, Mengelola Perbatasan Indonesia Malaysia dengan P e n d e k a t a n K e a m a n a n N o n T r a d i s i o n a l , p a d a http://ahmeddzakirin.blogspot.com/2011/01/mengelola-perbatasan-indonesia-dan_28.html

Harmen Batubara, Wilayah Perbatasan Halaman Depan Bangsa yang Terlupakan, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

88 89Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana NasionalKajian Kesejahteraan dan Keamanan PendudukWilayah Perbatasan Indonesia

Page 98: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Sobar Sutisna dalam “Pengamanan Wilayah Perbatasan RI dan Kepastian (online article at http://idu.ac.id)

http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Harmen Batubara, Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Grand Design BNPP, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/pengelolaan-perbatasan-dalam-persfektip-grand-design-bnpp/

Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua, Munculnya Fakta Pembiaran, pada http://www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-papua-munculnya-fakta-pembiaran/

I w a n S a n t o s a , H a l a m a n D e p a n Te r l u p a , d a l a m : h t tp : / / ce tak .kompas .com/ read /2011 /10 /01 / 03553434 / halaman.depan.terlupa

Iwan San tosa , “S isa Sengke ta Wi layah R I -Timor Les te ” http://entertainment.kompas.com/read/2011/10/12/01593133/Sisa.Sengketa.Wilayah.RI-Timor.Leste.

http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=5305

90Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional

Page 99: 2012_Nasional_Kajian Kesejahteraan Dan Keamanan Penduduk Di Wilayah Perbatasan Indonesia_opt

Sobar Sutisna dalam “Pengamanan Wilayah Perbatasan RI dan Kepastian (online article at http://idu.ac.id)

http://www.wilayahperbatasan.com/wilayah-perbatasan-halaman-depan-bangsa-yang-dilupakan/

Harmen Batubara, Pengelolaan Perbatasan dalam Perspektif Grand Design BNPP, dalam http://www.wilayahperbatasan.com/pengelolaan-perbatasan-dalam-persfektip-grand-design-bnpp/

Harmen Batubara, Pembangunan Perbatasan Papua, Munculnya Fakta Pembiaran, pada http://www.wilayahperbatasan.com/pembangunan-perbatasan-papua-munculnya-fakta-pembiaran/

I w a n S a n t o s a , H a l a m a n D e p a n Te r l u p a , d a l a m : h t tp : / / ce tak .kompas .com/ read /2011 /10 /01 / 03553434 / halaman.depan.terlupa

Iwan San tosa , “S isa Sengke ta Wi layah R I -Timor Les te ” http://entertainment.kompas.com/read/2011/10/12/01593133/Sisa.Sengketa.Wilayah.RI-Timor.Leste.

http://regionalinvestment.bkpm.go.id/newsipid/id/displayprofil.php?ia=5305

90Direktorat Analisis Dampak Kependudukan

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional