2008 sam
TRANSCRIPT
MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah)
SAMSURI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi di manapun. Sumber informasi yang berasal dan dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir dari tesis ini.
Bogor, Agustus 2008
Samsuri NIM 051040021
ABSTRACT SAMSURI. Spatial Model of Land and Forest Fire Risk Index, Case Study in Central Kalimantan Province. Under the direction of I NENGAH SURATI JAYA and LAILAN SYAUFINA
Forest fire is one of the causing factors of deforestation. According to hotspot data from NOAA 12 satellite, Central Kalimantan is one of Indonesia province with the most number of hotspot during 2002‐2006 year. Forest fire prevention is an effort to reduce forest degradation rate.
This paper describes spatial models of land and forest fire risk in Central Kalimantan. The models were established base on human factor and biophysical factor approaches. The main objective of this research is to map out forest fire risk index in Central Kalimantan as well as to identify the major factor that significantly affects the forest fire risk itself.
Materials used in this research were thematic maps within vector format. They were soil type map, land system map, road map, river map, village map, land cover map, city map, land allocation map and hotspot data.
The study use CMA (Composite Mapping Analysis) method to develop spatial model of land and forest fire risk. The mathematical model obtained from this study is: y = ‐0,00004x2 + 0,021x – 0,356 having R2 about 54 %. The significant factors that affect the forest fire risk are land allocation, land cover, land system and soil type. Model validation shows that the model can predict the risk fire index providing 66,76 % of accuracy.
Keywords: Central Kalimantan, forest fire risk, CMA
RINGKASAN
SAMSURI. Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah. Di bawah bimbingan I NENGAH SURATI JAYA dan LAILAN SYAUFINA
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di berbagai negara. Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan yang signifikan terhadap lingkungan, hilangnya keanekaragaman hayati dari hutan, polusi udara dan kerugian ekonomi lainnya. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 ha, tahun 1994 seluas 161.798 ha, dan yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 519.752 ha (Suratmo et al. 2003). Kebakaran hutan dan lahan memberikan dampak signifikan terhadap sosial ekonomi, dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998 berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan faktor‐faktor yang menjadi faktor utama pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan, serta menganalisis data curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan; dan mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan lahan. Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah lain di Indonesia.
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan, penggunaan lahan, jaringan sungai, jaringan jalan, pusat desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah, Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan , dan data curah hujan harian. Sedangkan alat yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi personal computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2, Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi band, kompas, GPS Garmin XL dan kamera digital.
Metode yang digunakan untuk menyusun model adalah metode Composite Mapping Analysis (CMA). Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan dibuat berdasarkan pada distribusi kejadian titik panas di propinsi Kalimantan Tengah, khususnya pada bulan‐bulan di mana jumlah hotspot mencapai puncaknya. Penelitian ini melibatkan 8 faktor yang dapat mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan yaitu tutupan lahan (x1), jarak terhadap sungai (x2), jarak terhadap jalan (x3), jarak terhadap pusat desa (x4), jarak terhadap pusat kota (x5), penggunaan lahan (x6), tipe tanah (x7) dan sistem lahan (x8).
Hasil analisis menunjukkan bahwa berdasarkan tingkat kepadatan hotspot, tutupan lahan semak belukar merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspotnya tertinggi sebesar 0.5070 per km2. Berdasarkan fungsi kawasannya, kawasan yang berfungsi sebagai kawasan hutan tanaman industri memiliki tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, dan disusul oleh kawasan konservasi gambut tebal. Tingginya kepadatan hotspot di kawasan hutan tanaman industri diduga disebabkan oleh aktivitas penyiapan
lahan HTI dengan cara membakar, selain aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga diduga merembet ke area HTI sehingga terjadi kebakaran di luar area HTI. Jumlah hotspot pada tipe sistem lahan shallow peat (gambut dangkal) sebesar 1,613 adalah tertinggi disusul hotspot pada deeper peatswamp forest (rawa gambut dalam) sebanyak 1 491. Gambut dangkal pada musim kemarau lebih cepat kering yang berarti kadar air rendah. Kandungan kadar air yang rendah memerlukan energi yang relative lebih kecil umtuk menyalakan bahan bakar sehingga menjadi hotspot (Chandler et al 1983, Pyne et al 1996). Untuk menghitung nilai koinsidensi antara skor kerawanan dan kejadian kebakaran, maka dipilih sebanyak 1.775 poligon berdasarkan area yang tercover oleh titik pengamatan lapangan. Empat faktor yaitu tutupan lahan, tipe tanah, sistem lahan dan fungsi kawasan, dan enam faktor (empat faktor ditambah jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jaringan jalan) menunjukkan potensi korelasi cukup baik dengan tingkat kepadatan hotspot. Dengan menggunakan koefisien persamaan regresi bobot masing‐masing faktor dapat ditentukan. Bobot masing‐masing faktor digunakan untuk menghitung skor komposit.
Bobot masing‐masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap respon model. Fungsi kawasan memiliki pengaruh yang relatif lebih besar dibanding faktor lainnya yaitu sebesar 30,4 %. Perbedaan fungsi kawasan sebagai kawasan hutan produksi maupun kawasan bukan produksi dapat menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Hasil uji signifikansi model menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara model terpilih yang diuji yang ditunjukkan oleh nilai Z hitung lebih kecil dari nilai kritis Z nya pada taraf nyata 5 %. Hasil perhitungan matrik koinsidensi model terpilih menunjukkan bahwa model terbaik mempunyai akurasi sebesar 52,56 %. Hasil uji akurasi menunjukkan juga bahwa pengkelasan ke dalam tiga kelas meningkatkan akurasi dari 52,56 % menjadi 66,76 %.
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa semua daerah dengan kerawanan sangat tinggi sekali (extremely high) berada di lahan gambut yaitu seluas 85,018.70 ha (0.56 % dari total area studi), sedangkan area non gambut lebih banyak masuk ke dalam kelas sedang yaitu seluas 7,025,208.798 ha (46.02 % dari area studi). Hal ini karena tipe lahan gambut di Indonesia pada umumnya berupa gambut kayuan (Hutagalung et al 1998), yang pada saat musim kering sisa‐sisa kayu akan muncul dan akan sangat mudah terbakar. Kebakaran gambut sangat berbahaya dan sulit dideteksi karena tipe kebakaran gambut penjalarannya melalui bawah permukaan gambut dan membentuk cekungan (Syaufina, 2004). Menurut tipe tutupan lahannya, maka area dengan tipe tutupan lahan semak seluas 80.708,99 ha (0,53 % total area studi) adalah area dengan tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan paling tinggi (extremely high). Hal ini disebabkan karena semak merupakan jenis bahan bakar yang lebih halus dibandingan dengan hutan, sehingga lebih mudah terbakar. Berdasarkan fungsi kawasannya, maka fungsi hutan produksi merupakan area paling terluas yaitu 3.264.012,86 ha atau 21,38% dari area studi dengan tingkat kerawanan sangat tinggi, sebaliknya kawasan hutan penelitian paling kecil luasanya, hanya 1.175,37 ha yang masuk kelas resiko tinggi sekali. Hutan produksi merupakan
kawasan yang terbuka dan dapat diakses oleh masyarakat, sehingga kemungkinan terjadinya kebakaran lebih tinggi. Jika dilihat dari tipe sistem lahannya, maka tiga sistem lahan yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran adalah sistem lahan deeper peat swamp, shallow peat, dan shallower peat. Hal ini ditunjukkan oleh model yang disusun dimana seluruh kawasan dengan tingkat resiko sangat tinggi sekali berada di tiga sistem lahan tersebut yaitu deeper peat swamp (8.188,44 ha atau 0,54 %), shallow peat (1.958,96 ha atau 0,01 % ) dan shallower peat (1.175,37 ha atau 0,01 %). Gambut terdiri dari sisa kayu, serasah dan ranting yang belum terdekomposisi yang pada musim kering akan mudah terbakar jika ada pemicunya. Makin dalam lapisan gambut, makin banyak kandungan sisa‐sisa kayu sehingga makin dalam lapisan gambut tingkat resiko kebakaran juga makin tinggi.
Berdasarkan analisis kecenderungan pola data antara data curah hujan bulanan dan jumlah hotspot menunjukkan bahwa jumlah hotspot dipengaruhi oleh besarnya curah hujan dengan koefisien determinasi 66.7 %.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (1) ada empat faktor (tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan) utama yang berpengaruh terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan nilai koefisien determinasi yang cukup (54 %), dan dapat digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2, (2). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan empat faktor memiliki akurasi sebesar 66,76 % untuk pengkategorian ke dalam tiga kelas, dan 52,6 % untuk pengkategorian ke dalam lima kelas, (3) besarnya curah hujan memiliki pengaruh terhadap jumlah hotspot, dengan nilai koefisien determinasi sebesar 66,7 %, (4) tingkat kepadatan hotspot kurang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan tingkat, dimana nilai koefisien determinasinya hanya sebesar 1,7 %.
Hasil pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa seluruh area dengan tipe tanah gambut merupakan daerah dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extremely high risk). Oleh karena itu disarankan untuk melakukan penelitian yang mendalam, dengan menambahkan faktor ketebalan gambut untuk mengetahui perbedaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan berdasarkan ketebalan gambut.
©Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi undang‐undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa menyebutkan
sumber : a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB.
MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN: Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
SAMSURI
Tesis sebagai salah salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. M. Buce Saleh, MS
Judul Tesis : MODEL SPASIAL TINGKAT KERAWANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah
Nama : Samsuri NIM : E051040021
Disetujui
Komisi pembimbing
P
Diketahui Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya, M. Agr.Ketua
Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc.Anggota
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS
Tanggal lulus :
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal ujian : 1 Juli 2008
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia‐Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Topik penelitian yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan dari bulan Maret 2008 ini adalah pemodelan spasial, dengan judul Model Spasial Tingkat Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan:Studi Kasus di Wilayah Propinsi Kalimantan Tengah.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. I Nengah Surati Jaya,M.Agr dan Ibu Dr. Ir. Lailan Syaufina, M.Sc. yang dengan penuh kesabaran dan dedikasi yang tinggi membimbing dan mengarahkan selama masa studi, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi.
2. Bapak Dr. Ir. M Buce Saleh, MS selaku penguji luar komisi atas nasehat, komentar, saran dan masukan untuk perbaikan tulisan.
3. Bapak Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS, wakil Program Studi IPK yang memberikan saran, kritikan dan nasehat sehingga tulisan ini menjadi lebih baik.
4. Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara atas ijin dan dukungannya yang besar dalam melanjutkan studi pascasarjana
5. Internasional Research Institute (IRI), atas bantuannya sehingga penulis dapat melakukan survey lapangan.
6. Keluarga besar H Hamzah Zainuddin dan Lamiran atas dukungan dan doanya yang tiada henti
7. Pak Uus dan Kang Edwin yang membantu mempersiapkan data; teman‐teman di Laboratorium Remote Sensing dan Sistem Informasi Geografis atas kebersamaannya; Mr & Mrs. Cupri atas bantuannya dalam seminar.
8. Rekan‐rekan dari Universitas Sumatera Utara, wadyabala IPK’2004; mbak Tina UNPAR, Anderson dan mas Niin atas dukungannya selama di Kalimantan Tengah; serta semua kawan‐kawan yang tidak dapat disebutkan di sini.
9. Penulis sangat berterima kasih kepada yang penulis sayangi dan cintai istriku Nita serta anak‐anakku Najla dan Ziyan atas doa, pengorbanan dan kasih sayangnya selama menyelesaikan studi.
Mudah‐mudah tulisan ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan yang membaca tulisan ini.
Bogor, Agustus 2008
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 9 Januari 1974 dari ayah Lamiran dan ibu Yaini. Penulis merupakan putra pertama dari dua bersaudara.
Setelah menyelesaikan studi di SMA I Ponorogo pada tahun 1993, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada Jurusan Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).
Pada tahun 2000 penulis diangkat menjadi staf pengajar di Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara sampai sekarang. Penulis melanjutkan studi S2 di Sekolah Pascasarjana IPB tahun 2004 pada program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS DIKTI Departemen Pendidikan Nasional.
Penulis menikah dengan Anita Zaitunah pada bulan Februari 2001, dan telah dianugerahi seorang putri yang kami beri nama Najla Azaria Alifa yang lahir pada tahun 2006 dan seorang putra yang kami beri nama Muhammad Ziyan Rasyad Andaru yang lahir pada tahun 2007.
kupersembahkan buat nita istriku,
najla dan ziyan permata hatiku
i
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ..................................................................................................... i DAFTAR TABEL ............................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... iv DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi I. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ....................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................................. 3 C. Kerangka Pemikiran ............................................................................... 4 D. Tujuan Penelitian ................................................................................... 8 E. Manfaat Penelitian ................................................................................ 8
II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................... 9 A. Kebakaran Hutan .................................................................................. 9 B. Faktor‐Faktor Yang Mempengaruhi Kebakaran Hutan dan Lahan ...... 10 C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan .................................................. 15 D. Pemodelan Spasial ................................................................................ 17
III. METODE PENELITIAN ................................................................................... 23 A. Tempat dan Waktu ................................................................................ 23 B. Bahan dan Alat ...................................................................................... 23 C. Metode Penelitian ................................................................................. 24 1. Pengumpulan Sekunder ................................................................... 24 2. Pengumpulan Data Lapangan ........................................................... 25 D. Metode Analisis Data ............................................................................ 27 1. Tingkat Kerusakan ............................................................................ 27 2. Analisis Data Spasial ......................................................................... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 33 A Sebaran Hotspot .................................................................................... 33 B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan .................................. 37 1. Jumlah hotspot dan tipe tutupan lahan .......................................... 37 2. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan sungai ....................... 39 3. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan jalan ........................... 41 4. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa ............................... 42 5. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat kota ............................... 45 6. Jumlah hotspot dan jenis penggunaan lahan ................................... 47 7. Jumlah hotspot dan tipe tanah ......................................................... 50 8. Jumlah hotspot dan tipe sistem lahan ............................................. 52 C. Pemberian Skor ..................................................................................... 54 1. Analisis koefisien determinasi skor masing‐masing peubah dan kepadatan hotspot ........................................................................... 54 2. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 1 M1 (X1,X6 dan X7) 60
ii
3. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 2 M2 (X1,X6,X7, dan X8) .............................................................................................. 62 4. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 3 M3 (X1, X3, X4, X6, X7 dan X8) ...................................................................................... 64 5. Kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual .... 65 D. Validasi Model ...................................................................................... 67 E. Uji Akurasi Model. ................................................................................ 69 F. Implementasi Model ............................................................................ 70 G. Kerusakan Area Bekas Kebakaran ......................................................... 75
V. SIMPULAN DAN SARAN .............................................................................. 78 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 79 LAMPIRAN ............................................................................................................. 83
iii
DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model ............. 27
2. Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan kebakaran hutan dan lahan ........................................................................... 28
3. Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah. .................................. 35
4. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan ................................. 38
5. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai .............. 34
6. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan ............... 41
7. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat desa ..................... 44
8 Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota ..................... 46
9. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak berbagai jenis penggunaan kawasan .................................................................................. 48
10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak tipe tanah .................................... 51
11 Kepadatan hotspot pada berbagai sistem lahan. .......................................... 52
12. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model ............. 61
13. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2 ............. 62
14. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3 ............. 67
15. Model hubungan antara skor komposit beberapa faktor dan tingkat kepadatan hotspot ........................................................................... 68
16. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 ................................ 68
17. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 3 ................................ 59
18. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 dan model 3 ........... 69
19. Matrik koinsidensi model terpilih dan hasil observasi ................................. 70
iv
DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman 1. Kerangka pemikiran ......................................................................................... 5
2. Tahapan pengolahan data ............................................................................... 24
3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam :
(a) pohon mati komersial (a) pohon mati komersial, (b). pohon hidup, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus ........................ 26
4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002). ............................... 33
5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah . ....................................................................................................... 34
6. Diagram kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah kabupaten . ........................................................................................ 35
7. Diagram prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di di wilayah eks PLG ...................................................................... 36
8 Pubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot ............................ 37
9. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan). ................... 39
10. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai. ....................................................................................................... 40
11. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan. ....................................................................................................... 42
12. Pola jumlah hotspot per km2 pada berbagai jarak terhadap pusat desa/pemukiman). ........................................................................................... 44
13. Pola sebaran hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota kecamatan. ...................................................................................................... 48
14. Sebaran jumlah hotspot pada berbagai fungsi kawasan ................................. 49
15. Area yang terbakar dengan tutupan lahan didominasi alang‐alang ............... 50
16. Diagram jumlah hotspot pada tipe tanah gambut dan non gambut .............. 50
17. Diagram kepadatan hotspot pada berbagai tipe sistem lahan ....................... 53
18. Pola sebaran hotspot pada berbagai tipe sistem lahan .................................. 54
19. Diagram pencar skor tipe tutupan lahan terhadap jumlah hotspot per km2 ............................................................................................................. 55
20. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan sungai terhadap jumlah hotspot per km2 ................................................................................... 55
21. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan jalan terhadap jumlah hotspot per km2 ............................................................................................... 56
v
22. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat desa ........................................................................................ 57
23. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat kota km2 ................................................................................. 58
24. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor fungsi kawasan ................................................................................................. 59
25. Hubungan antara skor masing‐masing tipe tanah dan tingkat kepadatan hotspot ........................................................................................... 59
26. Hubungan antara skor masing‐masing tipe sistem lahan dan kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 60
27. Hubungan antara skor komposit (X1, X6 dan X8) dengan tingkat kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 61
28. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 ............................................................................. 64
29. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 ................................................................. 65
30. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ........................................................ 66
31. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7,dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual) ............................................ 67
32. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (5 kelas) ............................................................................ 71
33. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (3 kelas) ............................................................................ 73
34. Kondisi tutupan lahan di area bekas terbakar pada area dengan tingkat kerawanan sangat tinggi sekali ........................................................... 74
35 Kondisi area bekas terbakar di area bekas kebakaran (a). Pohon terbakar bertunas kembali (hidup merana), dan (b) . Pohon mati hangus ....................................................................................................... 75
36. Hubungan antara persentase pohon hidup sehat di area bekas kebakaran dengan jumlah hotspot .................................................................. 76
37. Peta tingkat kerusakan tegakan hasil analisis data lapangan ......................... 77
vi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks
1. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tutupan lahan .................... 83
2. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap sungai ................ 84
3. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan jalan .................................................................................................................. 85
4. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa .................................................................................................................. 86
5. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa .................................................................................................................. 88
6. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor fungsi kawasan .......................... 90
7. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tanah .................................. 91
8. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe sistem lahan ....................... 92
9. Data hasil pengukuran vegetasi di area bekas terbakar .................................. 93
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kejadian kebakaran hutan di Indonesia telah menarik perhatian
masyarakat internasional karena dampak terhadap lingkungan, sosial dan
ekonomi yang ditimbulkan oleh kejadian kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia. Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap
pembangunan daerah dan nasional, juga berpengaruh langsung terhadap
kanekaragaman hayati, mata pencaharian dan kesehatan masyarakat setempat.
Dampak negatif juga menimpa infrastruktur transportasi dan industri.
Kebakaran hutan dan lahan yang hebat di Indonesia pada tahun
1981/1982 terjadi di Kalimantan Timur yang mencapai luas 3,6 juta Ha (Suratmo
et al 2003). Menurut PHPA‐JICA 1998 dalam Suratmo 2003 dalam kurun waktu
tahun 1985‐1990 luas kebakaran hutan di Indonesia berkisar antara 25.000 dan
50.000 Ha per tahun. Kebakaran yang merusakkan area cukup luas terjadi lagi
pada tahun 1991 yang mencapai 118.831 Ha, tahun 1994 seluas 161.798 Ha, dan
yang lebih luas lagi pada tahun 1997‐1998 mencapai 9.655.000 Ha Bappenas
(1999) dalam Ganz (2002)
Menurut data Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
Alam dalam Statistik Kehutanan tahun 2006, luas kebakaran hutan dan lahan di
Indonesia dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2006 berturut‐turut adalah
7.089,95 Ha, 4.868,78 Ha 13.742,01 dan 55.933,55 Ha. Luas kebakaran
cenderung naik dari tahun 2003 sampai tahun 2006.
Berdasarkan data hotspot satelit NOAA 12 dari JICA tahun 2002 sampai
tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah titik panas di Indonesia mencapai
puncaknya pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober. Sedangkan
berdasarkan penyebarannya, jumlah hotspot paling tinggi tahun 2002‐2006
berada di Kalimantan dan Sumatera. Di wilayah Kalimantan, jumlah titik panas
terbanyak kurun waktu tahun 2002‐2006 terdapat di Kalimantan Tengah yang
2
diikuti oleh Kalimantan Barat, sedangkan di pulau Sumatera terbanyak berada di
propinsi Sumatera Selatan dan Riau.
Kebakaran hutan dan lahan berdampak negatif terhadap sosial ekonomi,
dimana diperkirakan kerugian yang ditimbulkan kebakaran tahun 1997‐1998
berkisar US$ 8.7 juta sampai US$ 9.6 juta. Menurut WWF dalam Suratmo 2003
kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997 mencapai 4.5 juta dollar
AS.
Kebakaran hutan dan lahan juga menambah volume gas rumah kaca.
Emisi gas rumah kaca diperkirakan berasal dari lebih dari 12 juta Ha hutan yang
terbakar di Sumatera, Kalimantan, Brasilia dan Meksiko (Murdiyarso dan
Adiningsih, 2006) dan diperkirakan Indonesia berkontribusi sekitar 1.45 Gt C ke
atmosfer pada tahun itu. Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia tahun
1997/1998 mengeluarkan emisi gas yang menyebabkan efek rumah kaca lebih
dari 700 milliar metrik ton CO2 ke atmosfer.
Kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah tahun 1997 ini telah
menghilangkan lapisan gambut setebal 35‐70 cm (Jaya et al 2000) berakibat atas
kestabilan lingkungan, karena kehilangan lapisan gambut setebal itu setara
dengan pelepasan karbon (C) sebanyak 0,2–0,6 Gt (Siegert, 2002).
Kebakaran tahun 2006 juga menimbulkan asap, yang berimplikasi pada
tertundanya penerbangan dan kegiatan pariwisata. Greenomic (2006) memperkirakan
potensi kerugian di bidang penerbangan dan pariwisata akibta kebakaran sebesar 4,89
miliar rupiah.
Dari segi kesehatan kebakaran hutan mengakibatkan gangguan pada
kesehatan diantaranya adalah adanya gas toksik seperti CO, O3, NO2,
hydrocarbons, aldehydes, particles and polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs)
Gas‐gas ini diketahui dapat menyebabkan infeksi saluran pernafasan akut.
Masyarakat juga kekurangan mata pencaharian akibat hilangnya sumberdaya
hutan dan sumberdaya hayati lainnya.
3
Diperlukan usaha‐usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan
lahan untuk menghindari berbagai dampak negatif yang telah diketahui
menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dalam bidang sosial, ekonomi dan
ekologi melalui pendekatan berbagai faktor penyebab dan pendukung terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Tindakan pencegahan merupakan komponen
terpenting dari seluruh sistem penanggulangan bencana termasuk kebakaran.
Bila pencegahan dilaksanakan dengan baik, seluruh bencana kebakaran dapat
diminimalkan atau bahkan dihindarkan. Pencegahan kebakaran diarahkan untuk
meminimalkan atau menghilangkan sumber api di lapangan.
Salah satu usaha untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan
adalah melalui pengembangan sistem peringatan dini akan bahaya kebakaran.
Sistem peringatan dini akan lebih memberikan informasi jika dilengkapi dengan
data spasial.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka usaha pencegahan kebakaran
hutan merupakan langkah pertama dalam pengurangan kerusakan dan kerugian
yang disebabkan oleh kebakaran. Salah satu usaha untuk melakukan
pencegahan kebakaran hutan diantaranya adalah melalui sistem peringatan dini.
Sistem peringatan dini yang dapat digunakan antara lain peta tingkat kerawanan
kebakaran hutan dan lahan. Pengetahuan tentang tingkat kerawanan kebakaran
hutan dan lahan suatu wilayah sangat penting bagi keberhasilan kegiatan
pencegahan kebakaran hutan.
Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan dapat dibuat dengan
menggunakan pemodelan hubungan antara kejadian kebakaran hutan dan lahan
dengan faktor‐faktor yang mempengaruhinya. Karena faktor‐faktor tersebut
sebagian besar bereferensi keruangan, maka pemodelan ini dapat didekati dan
dibangun dalam suatu sistem informasi geografis.
Kebakaran hutan dan lahan akan terjadi jika 3 kondisi sebagai syarat
terjadinya kebakaran tersedia yaitu bahan bakar (biomass), dryness (kekeringan)
4
dan faktor pemicunya. Oleh karenanya pemahaman perilaku kebakaran sangat
diperlukan dalam rangka menyusun rencana dan usaha pencegahan kebakaran
hutan dan lahan. Perilaku kebakaran merupakan hasil interaksi dari faktor
lingkungan dimana api menyala yang dinyatakan dalam konsep lingkungan api.
Tiga unsur kebakaran yang menyusun segitiga api yaitu bahan bakar, oksigen
atau udara dan sumber panas merupakan unsur yang saling terkait. Pelemahan
satu unsur akan mengurangi peluang terjadinya penyalaan api.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia
diduga lebih banyak disebabkan oleh aktivitas manusia dan hanya sebagian kecil
yang disebabkan oleh kejadian alam. Menurut Saharjo dan Husaeni (1998)
dalam Soewarso (2003), kebakaran yang disebabkan proses alam sangat kecil
dan sebagai contoh untuk kasus Kalimantan kurang dari 1%. Walaupun
demikian, belum diketahui dengan pasti faktor‐faktor apa saja yang signifikan
sebagai pemicu kebakaran hutan dan lahan khususnya di Indonesia baik dari segi
manusia maupun lingkungan fisiknya. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini
mencoba untuk menjawab permasalahan antara lain:
- Faktor‐faktor apa saja yang menjadi faktor utama yang memicu terjadinya
kebakaran hutan dan lahan ?
- Bagaimana kondisi tegakan di areal bekas kebakaran hutan dan lahan ?
C. Kerangka Pemikiran
Kondisi hutan dan lahan Indonesia rentan terhadap bahaya kebakaran
terutama yang disebabkan oleh berbagai aktivitas di dalam hutan dan lahan,
sehingga perlu usaha‐usaha pencegahan untuk mengurangi dan mencegah
terjadinya kebakaran hutan. Walaupun sudah dilakukan namun pelaksanaannya
di lapangan belum efektif dalam mengurangi kejadian kebakaran hutan dan
lahan.
5
Faktor manusia
Kebakaran Hutan
Data Spasial
Cara pencegahan/peringatan
dinin
Kerugian ekonomi, kerusakan lingkungan
Prediksi kebakaran/pemodelan
Faktor paling berpengaruh
Tindakan pencegahan
Data atribut
meminimalkan
perlu
Faktor Alam
Fire risk Fire behaviour
Gambar 1. Diagram kerangka pemikiran.
Bagian penting dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan
diantaranya adalah melakukan analisis tingkat resiko serta penyebab kebakaran
hutan dan lahan. Dalam usaha pencegahan kebakaran hutan dan lahan akan
sangat berguna jika disajikan juga data dan informasi tentang penyebab utama
kebakaran, kerawanan suatu lokasi dan lokasi yang harus dilindungi. Informasi
umum yang harus dimuat dalam petunjuk pencegahan kebakaran diantaranya
adalah peta kejadian kebakaran, statistik kebakaran, peta tingkat kerawanan
kabakaran, peta bahaya kebakaran dan peta kerja.
Kebakaran hutan dan lahan tidak akan terjadi jika ketiga unsur dalam
segitiga api tidak berinteraksi. Interaksi antar unsur‐unsur kebakaran akan lebih
cepat dan lebih sering jika ada faktor‐faktor penyebabnya. Dari Gambar 1 dapat
dijelaskan bahwa kejadian kebakaran hutan dan lahan dipengaruhi antara lain
oleh faktor cuaca, faktor biofisik dan faktor manusia. Faktor biofisik yang dapat
mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan antara lain tipe tutupan lahan, tipe
sistem lahan, dan tipe tanah; sedangkan faktor manusia yang mempengaruhi
6
adalah aktivitas masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya jaringan jalan,
jaringan sungai, pusat pemukiman dan lahan‐lahan budidaya.
Faktor tipe tutupan lahan diduga sebagai faktor yang berpengaruh
terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan dalam hubungannya dengan
ketersediaan bahan bakar. Tipe tutupan lahan yang berbeda menentukan sifat‐
karakteristik dan volume potensi bahan bakar.
Tipe sistem lahan dan tipe tanah menjadi salah satu faktor penentu
tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan karena tipe sistem lahan dan tipe
tanah menentukan karakteristik penyusun tanah. Pada tipe tanah dan sistem
lahan yang berbeda, mengandung kadar bahan organik yang berbeda di mana
bahan organik ini dapat memberikan pengaruh pada tingkat resiko kebakaran
hutan dan lahan yang berbeda
Faktor manusia yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan dan lahan
berkaitan dengan aktivitas manusia. Jaringan jalan diduga berpengaruh terhadap
kejadian kebakaran hutan dan lahan, karena jaringan jalan merupakan sarana
bagi manusia untuk mendatangi suatu kawasan hutan atau lahan. Demikian
juga dengan jaringan sungai juga menjadi salah satu prasarana transportasi
khususnya di Kalimantan Tengah. Jika manusia memasuki suatu lahan tertentu,
dapat diduga bahwa peluang terjadinya kebakaran lebih tinggi dibandingkan
dengan jika tidak ada aktivitas manusia.
Pusat‐pusat pemukiman baik berupa desa maupun kota menjadi salah
satu faktor yang diduga mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan
lahan. Penduduk yang tinggal di pusat‐pusat pemukiman akan memanfaatkan
sumberdaya alam yang berada pada lahan yang lebih mudah dijangkau dari
tempat tinggal mereka. Penggunaan lahan‐lahan di sekitar pusat pemukiman ini
diduga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sehingga pada area
yang lebih dekat dengan pusat pemukiman peluang terjadinya kebakaran hutan
dan lahan akan lebih tinggi.
Faktor manusia lainnya yang mempengaruhi kejadian kebakaran hutan
dan lahan adalah fungsi kawasan. Penetapan kawasan yang berfungsi lindung
7
menyebabkan masyarakat tidak akan memasuki kawasan tersebut karena
adanya sanksi‐sanksi jika melakukan pemanfaatan lahan di kawasan yag
dilindungi. Sedangkan penetapan kawasan sebagai kawasan produksi dan
pengembangan budidaya menyebabkan masyarakat memasuki kawasan ini,
sehingga peluang terjadinya kebakaran hutan dan lahan diduga akan lebih tinggi
dibandingkan di kawasan yang dilindungi.
Identifikasi dan analisis dilakukan terhadap faktor‐faktor tersebut,
sehingga dapat ditemukan faktor‐faktor mana yang paling berpengaruh terhadap
terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Faktor‐faktor ini akan digunakan untuk
menyusun model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang
dapat digunakan dalam penyusunan sistem peringatan dini.
Jika sistem peringatan dini ini dapat dijalankan secara effektif dan benar
maka pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat berhasil. Keberhasilan
pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dinilai dari penurunan kejadian
kebakaran, dan pengurangan dampak akibat kebakaran.
Oleh karena itu penelitian ini akan mengkaji faktor yang diduga sebagai
faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan yaitu faktor alam dan faktor
manusia yaitu aktivitas masyarakat termasuk aksesibilitasnya. Kebakaran hutan
dan lahan dalam penelitian ini dijadikan sebagai peubah respon.
Analisis spasial maupun stastistik dari komponen prediktor diharapkan
mampu mendapatkan beberapa faktor utama yang memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan sehingga akan diperoleh
model spasial kerawanan kebakaran hutan dan lahan sebagai masukan untuk
melengkapi berbagai peraturan yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pemerintah dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan
dan lahan khususnya di Kalimantan Tengah.
8
D. Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penelitian ini adalah mendapatkan faktor‐faktor utama
penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Di samping tujuan utama tersebut terdapat beberapa tujuan tambahan yaitu :
a. Mendapatkan hubungan antara kondisi penggunaan lahan yang
direpresentasikan oleh penutupan lahan dengan kejadian kebakaran hutan
dan lahan
b. Mengidentifikasi hubungan curah hujan dan tingkat kerawanan kebakaran
hutan dan lahan
c. Mendapatkan tingkat kerusakan tegakan di area bekas kebakaran hutan dan
lahan
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh melalui identifikasi dan penemuan faktor‐
faktor utama penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan di wilayah
penelitian antara lain :
• Bahan masukan dalam upaya penyusunan sistem informasi pengendalian,
khususnya pencegahan kebakaran hutan dan lahan di wilayah penelitian
• Menambah informasi sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan
kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di wilayah
penelitian
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai proses reaksi cepat oksigen dan
unsur‐unsur lainnya, dan ditandai dengan panas, cahaya serta biasanya menyala.
Proses kebakarannya menyebar bebas dengan mengkonsumsi bahan bakar
berupa vegetasi yang masih hidup maupun mati, serasah, humus, semak dan
gulma (Brown dan Davis 1973).
Penyebab utama kebakaran hutan yang disebutkan adalah konversi ke
penggunaan lahan lain (terutama pertanian), hama dan penyakit, kebakaran,
over eksploitasi hasil hutan (kayu industri, kayu bakar), praktek pemanenan yang
buruk, penggembalaan berlebih, polusi udara dan badai (FAO 2001).
Dalam dua puluh tahun terakhir, kebakaran telah menjadi salah satu
ancaman terbesar bagi hutan hujan tropis terutama di Indonesia. Kebakaran
merupakan hal yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatra, membakar
areal dengan luas terbesar pada tahun 1986, 1991, 1994 dan 1997.
Kondisi tersebut diperparah oleh fenomena El Nino tahun 1997/1998,
kebakaran tak terkendali telah menghancurkan areal sangat luas dari hutan
hujan dan semak belukar di Indonesia. Kerugian ekonomi dan kerusakan
ekologis begitu luar biasa (IFFM/GTZ 1998 dalam Sunuprapto 2000).
Hutan hujan Indonesia terbakar karena beberapa faktor yang saling
berhubungan yang berkaitan dengan manusia dan alam. Kemungkinan
terbakarnya suatu hutan bergantung pada tingkat bahaya dan resiko api. Bahaya
api adalah ukuran tentang jumlah, jenis dan kekeringan bahan bakar potensial
yang ada di hutan. Tingkat resiko api umumnya berhubungan dengan tindakan
manusia, seperti melakukan pembakaran di dekat hutan saat bahaya kebakaran
tinggi (Glover dan Jessup 2002).
Kebakaran hutan merupakan salah satu penyebab utama deforestasi di
berbagai negara. Banyak penelitian yang menelaah faktor‐faktor yang
10
berpengaruh dalam proses kebakaran hutan. Upaya pencegahan kebakaran
hutan telah mulai menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG). SIG
digunakan untuk menghasilkan model yang dapat menunjukkan zona kerawanan
kebakaran hutan.
Pencegahan kebakaran hutan merupakan langkah yang harus diambil
guna mencegah kerusakan hutan lebih lanjut. Informasi mengenai daerah rawan
kebakaran hutan menjadi sangat penting bagi pengelola hutan. Model spasial
yang menunjukkan daerah dengan tingkat kerawanan akan kebakaran hutan
yang berbeda dapat menjadi salah satu masukan bagi upaya pencegahan
kebakaran hutan.
B. Faktor‐faktor yang mempengaruhi kebakaran hutan dan lahan
1. Faktor aktivitas manusia
Penyebab kebakaran hutan di Indonesia umumnya adalah manusia baik
sengaja maupun karena unsur kelalaian, dimana kegiatan konversi
menyumbang 34 %, peladang liar 25 %, pertanian 17 %, kecemburuan social
14 %, proyek transmigrasi 8 % dan hanya 1 % yang disebabkan oleh alam
(Dephut, 2003).
Boonyanuphap (2001) menyatakan bahwa pemukiman merupakan
faktor aktivitas manusia yang paling signifikan menentukan resiko kebakaran
hutan dan lahan selain jaringan jalan, jaringan sungai, dan penggunaan lahan.
Faktor aktivitas manusia sekitar hutan berpengaruh nyata terhadap kejadian
kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip, yaitu pengeluaran rumah
tangga, dan kegiatan masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003).
Meningkatnya akses manusia ke dalam kawasan hutan meningkatkan
kemungkinan terjadinya pembalakan liar, pembukaan lahan dengan
pembakaran.
Kebakaran yang dilakukan oleh masyarakat dilatarbelakangi oleh faktor
sosial ekonomi. Faktor ini sangat erat hubungannya dengan konsep
11
penggunaan lahan oleh masyarakat, dimana masyarakat yang luas lahannya
kecil/tidak memiliki lahan akan berupaya membuka lahan baru atau ikut
kerjasama dengan masyarakat pendatang dalam bentuk kelompok tani,
yayasan, atau koperasi (Pratondo 2007).
Beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem budidaya padi
sonor (dimana padi ditanam pada lahan‐lahan gambut yang sengaja dibakar
pada musim kemarau), diduga menjadi sumber pemicu terjadinya kebakaran
hutan dan lahan (PFFSEA 2003). Demikian juga pembukaan lahan oleh
petani hutan bertujuan untuk membuka ladang baru atau memperluas lahan
miliknya yang penyiapan lahannya dilakukan dengan sistem tebas, tebang dan
membakar. Semak merupakan area dengan kemungkinan aktivitas peladang
berpindah.
Pada umumnya mereka membuat sekat bakar, melakukan pembakaran
balik, menjaga nyala api sampai padam. Hardjanto (1998) menyatakan bahwa
pembakaran dilakukan oleh petani untuk menambah kesuburan dan biasanya
satu keluarga hanya mampu membakar ladang seluas 1 ha. Pembukaan
lahan juga dilakukan oleh perambah hutan, namun tujuannya adalah untuk
mencari kayu. Perambahan hutan pada umumnya dilakukan di area milik
perusahaan (Pratondo 2007). Kebakaran akan semakin luas dengan
bertambahnya pendatang baru yang akan membuka ladang dengan
pembakaran.
Pratondo (2007) menyatakan bahwa masyarakat maupun pengembang
berupaya mengkonversi hutan secara besar‐besaran. Di Kalimantan Barat
menurut dia, penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah kegiatan
pembukaan lahan secara besar‐besaran untuk kelapa sawit, dimana setelah
IUPHHK memanen kayu komersial, maka selanjutnya terjadi perubahan status
lahan dari hutan menjadi perkebunan sawit atau IUPHHK HT. Dalam
penyiapan lahannya mereka menggunakan api untuk membersihkan bahan
bakar yang terdapat di atas permukaan tanah. Berdasarkan studi Bappedalda
Kaltim tahun 1998 menunjukkan bahwa sebesar 22 % kebakaran disebabkan
12
oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) sedangkan sebesar
41 % oleh Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK
HT).
2. Faktor lingkungan biofisik
(a). Karakteristik bahan bakar
Karakteristik bahan bakar di hutan tropis bervariasi antara tempat dan
waktu. Hutan gambut berkayu merupakan bahan bakar yang baik karena
mengandung nilai kalor yang sangat tinggi atau kapasitas panas tinggi.
Pembangunan HTI dengan spesies eksotis seperti Acacia mangium, Gmelina
arborea atau Eucalyptus spp. bisa menyumbangkan tingkat resiko bahaya
kebakaran, khususnya selama musim kering karena akan ada muatan bahan
bakar yang tinggi di lantai hutan.
Brown dan Davis, (1973) dan Chandler (1983) menyebutkan bahwa
terdapat 3 tipe bahan bakar yaitu (1) bahan bakar bawah terdiri atas duff,
akar, dan gambut; (2) bahan bakar permukaan terdiri atas serasah, ranting,
kulit kayu dan cabang pohon yang semua belum terurai, termasuk juga
rumput, tumbuhan bawah, anakan dan semai; (3) bahan bakar tajuk terdiri
atas bahan bakar hidup ataupun yang sudah mati berada di atas dan
menutupi kanopi menyebar dari tanah dengan tinggi 1,2 meter.
Wright dan Bailey (1982) menyatakan bahwa jenis bahan bakar semak
dan anakan, penutup tanah serta serasah merupakan bahan bakar halus
yang sangat mudah menyala. Demikian juga cabang yang mati dan sisa
tebangan adalah bahan bakar potensial dan mudah menyala sehingga dalam
jumlah banyak dapat menyebabkan area kebakaran yang sangat luas. Makin
kecil ukuran bahan bakar, maka proses transfer panas melalui radiasi,
konveksi dan konduksi dari titik yang sedang terbakar ke bahan yang belum
terbakar dapat berlangsung bersamaan sehingga suhu penyalaan cepat
tercapai (Davis 1959).
13
Menurut Clar dan Chatten (1954) ada beberapa hal yang mempengaruhi
kebakaran yaitu :
1. Ukuran bahan bakar, bahan bakar yang halus lebih cepat kering dan lebih
mudah terbakar sedangkan bahan bakar kasar lebih sulit terbakar
2. Susunan bahan bakar, bahan bakar yang menyebar secara horizontal
mempercepat meluasnya kebakaran
3. Volume bahan bakar, bahan bakar dalam jumlah besar akan
memperbesar nyala api, temperatur tinggi dan sulit dipadamkan
4. Kerapatan bahan bakar, kayu akan terbakar dengan baik pada kerapatan
tinggi dan pada bila kerapatan rendah; sedangkan rumput akan lebih
mudah terbakar pada saat kerapatan rendah dan berhenti bila kerapatan
tinggi
5. Kadar air bahan bakar, bahan bakar yang banyak mengandung air lebih
sulit terbakar
Kadar air bahan bakar sebagai kandungan air pada partikel bahan
bakar (Chandler et al. 1983, dan Pyne et al. 1996) adalah faktor yang
mempengaruhi perilaku kebakaran hutan dan lahan. Selain itu kandungan
air yang tinggi dari bahan bakar, memerlukan panas yang tinggi sebelum
bahan bakar dibakar api sehingga tingkat kebakaran dan daya nyala bahan
bakar akan berkurang. Kadar air bahan bakar berubah seiring dengan
perubahan kondisi cuaca, baik musiman maupun selama periode waktu yang
lebih pendek. Kadar air gambut (peat moisture) ditentukan ketebalan
gambut. Kadar air gambut jauh lebih besar dibandingkan dengan kadar air
tanah mineral. Kadar air gambut yang belum mengalami perombakan
berkisar antara 500 % ‐ 1000 %, sedangkan kadar air gambut yang telah
mengalami perombakan berkisar 200 % ‐ 600 % (Boelter, 1996 diacu dalam
14
Noor, 2001). Kemampuan gambut yang terbakar dalam memegang air turun
sekitar 50 % (Rieley et al. 1996 dalam Noor 2001).
(b). Tipe tanah
Kejadian kebakaran hutan dan lahan di wilayah Kalimantan Tengah
lebih banyak terjadi pada tipe tanah gambut (peat soil). Hutan gambut yang
tumbuh di atas tanah tipe gambut adalah tipe hutan rawa gambut (peat
swamp forest). Kejadian kebakaran hutan dan lahan di daerah bergambut
pada umumnya dipengaruhi oleh kandungan air gambut, jumlahnya sesuai
dengan curah hujan dikurangi dengan evapotranspirasi (Rahayu B. 1998), dan
dipengaruhi oleh kondisi drainase (Kusmana et al. 2008). Selanjutnya
Kusmana et al. 2008 juga menyatakan bahwa tanah gambut yang sudah
terbuka dan dimanfaatkan cenderung padat, menjadi lebih kering sehingga
mudah terbakar.
Kebakaran di lahan gambut merupakan jenis kebakaran yang paling
berbahaya bila dibandingkan dengan tipe kebakaran hutan yang lainnya yang
sulit dideteksi dan dikendalikan. Kebakaran di tanah gambut menembus ke
bawah lapisan tanah dan membentuk lubang corong, kemudian api
menyebar di bawah permukaan secara horizontal (Syaufina 2002). Lebih
lanjut Syaufina (2002) menjelaskan bahwa variasi iklim berperan penting
dalam mempengaruhi kebakaran rawan gambut. Secara statistik, musim
mempengaruhi kandungan air, bulk density, potassium, magnesium, sodium
dan tinggi muka air. Kecenderungan peningkatan ditemui pada bulk density
dan kandungan magnesium terjadi pada musim kemarau, di samping terjadi
kecenderungan penurunan kadar air, potassium, sodium dan tinggi muka air.
Menurut Harahap dan Hutagalung (1998), tanah gambut di
Indonesia pada umumnya merupakan gambut kayuan dimana
pembentukannya berasal dari pohon dan semak belukar yang tertimbun di
daerah yang umumnya tergenang air. Lebih lanjut dijelaskan bahwa
15
berdasarkan kedalamannya gambut digolongkan ke dalam 3 kriteria yaitu
gambut dangkal (0.6 – 1 m), gambut sedang (1‐2 m) dan gambut dalam (> 2
m). Sebagai contoh daerah Palangkaraya umumnya bergambut tipis (shallow
peat) dengan lapisan pasir kwarsa di bawahnya (van Veen 1998).
Tanah gambut memiliki daya penahan air yang sangat besar, dan
akan menyusut serta menurun permukaannya bergantung pada sistem
drainase. Gambut yang mengkerut tidak akan kembali lagi (irreversible
drying) yang sangat mudah terbakar dan tererosi baik oleh air maupun
angin. Susutnya air dalam gambut memunculkan sebagian besar sisa batang
dan tunggul pohon, yang akan mudah terbakar. Kebakaran merambat sangat
cepat dan sulit dideteksi karena merambat di bawah permukaan tanah
(Syaufina 2004). Api pada kebakaran gambut tidak bergerak cepat tetapi
dapat berlangsung berminggu‐minggu sampai sebulan atau lebih lama (de
Bano et al. 1998).
C. Kejadian Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Hotspot
Kejadian kebakaran hutan dan lahan dapat diamati dengan
menggunakan teknik penginderaan jauh. Sensor yang paling luas dan banyak
digunakan untuk mendeteksi kebakaran hutan dan lahan dalam jangka
panjang dan dalam area yang luas adalah Advance Very High Resolution
(AVHRR) yang terpasang pada satelit orbit polar NOAA AVHRR. Sensor
AVHRR melakukan perekaman setiap hari pada resolusi sedang (1 km).
Kisaran spektral yang dimiliki oleh NOAA AVHRR sangat luas yaitu dari visible
(ch 1 0.66 um), near infra red mempunyai dua manfaat dalam monitoring
kebakaran hutan dan lahan.
Di Indonesia terdapat tiga sumber penyedia data hot spot yaitu JICA
(Japan International Cooperation Agency), LAPAN (Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional) dan ASMC (ASEAN Specialized Meteorology Center).
16
Perbedaan antara ketiga sumber tersebut terletak pada ambang batas
(threshold) suhu terendah sehingga suatu hasil perekaman dapat dinyatakan
sebagai sebuah hot spot (fire exist) Hidayat et al. (2003) menyebutkan
bahwa LAPAN menggunakan threshold (suhu minimum) sebesar 322 o K.
Sedangkan JICA menurut FFMP2 2004, memakai ambang batas suhu 315 o K
pada siang hari dan 310 o K pada malam hari lebih rendah dibandingkan
dengan ASMC yang memakai threshold sebesar 320 o K pada siang hari dan
314 o K pada malam hari.
2. Kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan
Dampak dari kejadian kebakaran hutan dan lahan adalah rusaknya
vegetasi yang tumbuh di area yang terbakar. Jaya dan Husaeni (1998)
melakukan studi dampak kebakaran terhadap kerusakan tegakan di area HTI
PT ITCI Kalimantan Timur, menemukan bahwa sebagian besar tegakan yang
dikategorikan ke dalam kerusakan berat berada pada area bekas tebangan
setelah 5 tahun. Kerusakan berat juga terjadi di area bekas tebangan 20 – 23
tahun yang lalu. Selanjutnya Jaya dan Husaeni (1998) mengkategorikan
tingkat kerusakan tegakan bekas terbakar ke dalam 4 kelas yaitu :
a. Kelas hutan terbakar ringan, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan
persentase pohon hidup yang sehat lebih besar dari 75 %
b. Kelas hutan terbakar sedang, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan
persentase pohon hidup yang sehat berkisar 50 % ‐ 75 %
c. Kelas hutan terbakar berat, yaitu area bekas kebakaran hutan dengan
persentase pohon hidup yang sehat berkisar 25 % ‐ 50 %
d. Kelas hutan terbakar sangat berat yaitu area bekas kebakaran hutan
dengan persentase pohon hidup yang sehat kurang dari 75 %
17
D. Pemodelan Spasial
1. Sistem Informasi Geografis
Sejarah penggunaan komputer untuk pemetaan dan analisis spasial
menunjukkan adanya perkembangan bersifat paralel dalam pengambilan data
secara otomatis, analisis data dan presentasi pada berbagai bidang terkait,
seperti pemetaan kadastral dan topografi, kartografi tematik, teknik sipil,
geografi, studi matematika dari variasi spasial, ilmu tanah, survei dan
fotogrametri, perencanaan pedesaan dan perkotaan, utility networks, dan
penginderaan jauh serta analisis citra (Burrough 1986).
Burrough 1986 mengatakan bahwa SIG mempunyai tiga komponen
penting, yaitu perangkat keras komputer, sekumpulan modul aplikasi perangkat
lunak, dan konteks organisasi yang baik. Ketiganya harus dalam keseimbangan
agar sistem berjalan memuaskan.
Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang
cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan.
GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti
vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam
Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model
dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan
dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model
bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah
geografis resiko kebakaran kedalamnya.
Chuevieco et al. 1999 dalam Sunuprapto 2000 menyebutkan beberapa
peubah spasial yang telah luas digunakan untuk membangun kerawanan
kebakaran hutan, peubah tersebut adalah:
1. Topografi (elevasi, slope, aspek dan iluminasi)
2. Vegetasi (tipe bahan bakar, kadar kelembaban)
18
3. Pola cuaca (suhu, kelembaban relatif, angin dan presipitasi)
4. Aksesibilitas terhadap jalan dan infrastruktur lain
5. Tipe kepemilikan lahan atau tipe penggunaan lahan
6. Jarak dari kota atau pemukiman
7. Tanah dan bahan bawah tanah
8. Sejarah kebakaran atau catatan kebakaran dan
9. Ketersediaan air
Sistem informasi geografis (SIG) telah menjadi solusi bagi pengguna yang
menginginkan kemudahan memasukkan data dan informasi keruangan,
memadukan beberapa informasi menjadi keluaran informasi yang terpadu. Data
dan informasi saat ini telah memungkinkan penyimpanan secara digital.
2. Pemodelan spasial
Pemodelan spasial adalah proses manipulasi dan analisis data spasial atau
geografis untuk membangkitkan informasi yang lebih berguna bagi pemecahan
permasalahan yang komplek. Model spasial dapat digunakan untuk memprediksi
berbagai fenomena alam karena beberapa alasan diantaranya :
- penemuan hubungan antar bentang alam geografis untuk pemahaman,
dan mengkaitkan permasalahan utama
- pendefinisian masalah jelas dan logis
- penyediaan kerangka pemahaman proses di dunia nyata
- simulasi untuk mengekstrak informasi yang tidak mungkin dan terlalu
mahal untuk diukur
Pemodelan (modelling) juga menjadi salah satu alternatif aplikasi bagi
pengelolaan sumberdaya alam. Pemodelan memungkinkan seseorang untuk
melakukan prediksi terhadap suatu fenomena yang menjadi perhatiannya,
contohnya model yang memberi informasi mengenai tingkat kerawanan kawasan
terhadap bencana alam.
19
Geographical Information System (GIS) disarankan sebagai alat yang
cocok untuk memetakan distribusi data spasial dari bahaya kebakaran hutan.
GIS dapat juga memadukan secara spasial beberapa peubah bahaya, seperti
vegetasi, topografi dan sejarah kebakaran (Chuvieco and Salas 1993 dalam
Sunuprapto 2000).
Informasi spasial merupakan input mendasar untuk lingkungan model
dalam ruang tertentu. GIS berkenaan dengan data spasial dan dapat digunakan
dengan sejumlah aturan untuk memodelkan proses spasial. Beberapa model
bahaya kebakaran hutan telah dikembangkan dengan memadukan peubah
geografis resiko kebakaran kedalamnya. Pemodelan digunakan dalam beberapa
cara dan beberapa arti. Sebagai representasi beberapa bagian dari kondisi nyata
di permukaan bumi dapat dipertimbangkan menggunakan sebuah model bagi
bagian bumi tersebut. Keterwakilan tersebut akan memiliki karakteristik yang
umum dengan kondisi nyata bumi (de By 2001).
Sebuah model merupakan penyederhanaan fenomena‐fenomena yang
terjadi di bumi. Sebuah model yang baik harus memiliki kemampuan untuk
memprediksi keluaran dari sebuah input. Model‐model adalah penyederhanaan
bagi realita yang merepresentasikan atau menggambarkan bagian terpenting
elemen‐elemen dan interaksinya. Proses pemodelan bertujuan pada
peningkatan pemahaman dan perkiraan pengaruh proses‐proses alam dan sosial
ekonomi dan interaksinya. Model mendiskripsikan perilkau sebuah fenomena
yang direpresentasikan oleh lapangan, jejaring dan agen individu dengan
berbagai tipe interaksi spasial pada tingkat lokal, regional dan global.
Beberapa penelitian tentang tingkat kerawanan kebakaran hutan dan
lahan telah dilakukan di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan,
Sunuprapto (2000) telah memformulasikan model regresi linear ganda berbasis
keruangan yang menyatakan hubungan antara intensitas kebakaran hutan dan
lahan dengan peubah‐peubah penduganya yaitu : Intensitas kerusakan
kebakaran = ‐0,709 + 0,206 (penutupan lahan) + 0,02531 (penggunaan lahan) +
0,160 (tipe tanah) + 0,0000001881 (jarak dari rel) – 0,00001769 (jarak dari
20
sungai) + 0,00004779 (jarak dari pemukiman). Selain itu dia juga berhasil
menyusun model penduga area terbakar dengan menggunakan persamaan
regresi logistik (logistics regression) yaitu : log (ODDS) area terbakar = ‐18,03 +
1,6848 (penutupan lahan) + 0,9784 (penggunaan lahan) + 2,3129 (tipe tanah) +
0,0003 (jarak dari rel) – 0,0002 (jarak dari kanal) + 0,0003 (jarak dari
pemukiman).
Faktor lingkungan fisik dan aktivitas manusia merupakan dua kelompok
utama faktor resiko kebakaran hutan dan lahan. Pusat perkampungan, jaringan
jalan, jaringan sungai, tipe vegetasi dan penutupan lahan merupakan faktor
manusia yang mempengaruhi tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan
(Boonyanuphap 2001). Lapan (2004) berhasil memetakan kelas kebakaran hutan
dari yang sulit terbakar sehingga sangat mudah terbakar yaitu kelas kerawanan
kebakaran sangat rendah, rendah, sedang, agak tinggi, tinggi dan sangat tinggi
berdasarkan kriteria dan bobot tertentu terhadap faktor‐faktor penyebabnya.
Faktor aktivitas masyarakat sekitar hutan yang berpengaruh nyata terhadap
kejadian kebakaran hutan dan lahan dengan korelasi positip adalah kegiatan
masyarakat di dalam kawasan hutan (Soewarso 2003).
Purnama dan Jaya (2007) dalam penelitiannya di propinsi Riau
menyatakan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan
memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat
penduduk (5,4 %), jarak terhadap jaringan jalan (16,1 %), dan jarak terhadap
jaringan sungai (24,7 %). Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan yang
disusun adalah skor kerawanan kebakaran = (0,514 (0,054 JPP+0,161 JJL+0,247
JSN + 0,538 PGL))+(0,486(0,476 CH + 0,202 NDVI + 0,322 NDWI)).
Berdasarkan hasil kajiannya di Riau, Hadi 2006 menyatakan bahwa dalam
penentuan kelas kerawasan kebakaran di lahan gambut Riau faktor infrastruktur
lebih besar peranannya dibandingkan dengan faktor lingkungan. Persamaan
model penduga tingkat kerawanan kebakaran hutan dengan metode regresi
linear di Bengkalis yang diajukan oleh Hadi 2006 adalah V = {0,345 [(0,25 x1) +
(0,25*x2) + (0,25*x3)] + 0,658*(0,25y1) dimana x1: skor sub faktor sub faktor
21
ketebalan gambut, x2: skor sub faktor sub faktor tipe tutupan lahan dan vegetasi,
x3: skor sub faktor sub faktor tingkat kehijauan dan y1: skor sub faktor sub faktor
jarak jalan ; dengan validasi 85 %.
Disamping model di atas, peluang kebakaran hutan dan lahan daerah
kabupaten Bengkalis juga dimodelkan oleh Thoha (2006) dengan metode regresi
logistik menghasilkan formula log(ODDS) peluang kebakaran hutan = ‐0,47426 +
0,0015784 (curah hujan) – 0,0050383 (ketebalan gambut) – 3,8829293 (NDVI) –
0,000895 (jarak dari sungai) ‐ 0,0000233 (jarak dari HPH/HTI) – 0,0000191 (jarak
dari perkebunan) + 0,0000322 (jarak dari lahan pertanian) dengan nilai akurasi
69,5 %.
Arianti (2006) menyatakan bahwa dalam kejadian kebakaran hutan dan
lahan faktor manusia lebih dominan dibandingkan dengan faktor biofisik. Lebih
lanjut dia menyatakan bahwa di sub das Kapuas Propinsi Kalimantan Barat model
terbaik untuk menentukan tingkat kerawanan dan lahan menggunakan metode
CMA yaitu TKB (tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan) = [(a(0,54 (NDVI)
+ 0,40 * (NDVI wetness index) + 0,06 (curah hujan)) + (b(0,22*(jarak sungai) +
0,24*(jarak jalan) + 0,27 (jarak pemukiman) + 0.27 tutupan lahan))]; dimana “a”
adalah bobot makro faktor biofisik, dan “b” adalah bobot makro aktivias
manusia.
Mutaqin 2008 berhasil menyusun model peluang kebakaran gambut dan
kebakaran non gambut gambut di Propinsi Kalimantan Tengah menggunakan
metode regresi linear untuk memetakan daerah kerawanan kebakaran. Model
skor peluang kebakaran hutan dan lahan di daerah gambut diformulakan
dengan: (skor penutupan lahan x (‐2,947)) + (skor buffer jalan x 0,713)) dengan
koefisien determinasi 56 % dan (skor penutupan lahan x 0,013) + (skor buffer
jalan x 10,850) dengan koefisien determinasi 72 %.
3. Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan
Tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan merupakan suatu
terminologi yang berhubungan dengan adanya peluang terjadinya kebakaran
22
dan kondisi bahan bakar. Dalam kaitannya dengan bahan bakar, fire hazard
digunakan untuk menyatakan keadaan kompleks bahan bakar yang ditentukan
oleh volume, tipe, kondisi, keteraturan, dan lokasi yang menentukan derajat
kemudahan pembakaran dan ketahanan terhadap pengendalian (Hardy 2005).
“Fire hazard” (bahaya kebakaran) merupakan perilaku potensi kebakaran
berdasarkan tipe bahan bakar, tidak berhubungan dengan tipe cuaca bahan
bakar‐pengaruh kelembaban bahan bakar yang penilaiannya didasarkan pada ciri
fisik bahan bakar.
Sementara itu, NFDRS dalam Hardy 2005 menyatakan bahwa “fire risk”
(kerawanan kebakaran) adalah suatu kesempatan kebakaran dapat terjadi
sebagai akibat pengaruh dari faktor alamiah dan agen penyebab kejadian
(incident of causative agent). The Fire Danger Rating System (Deeming et al,
1972 dalam Hardy 2005) menyatakan bahwa kejadian kebakaran hutan dan
penjalaran kebakaran hutan dapat dikategorikan ke dalam “fire risk”. Sumber‐
sumber fire risk dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok yaitu lighting risk
(LR) dan man cause risk (MCR). LR ditentukan oleh kejadian kebakaran pada saat
ini dan kejadian harapan yang akan datang, yang dinyatakan dalam peluang
kebakaran, sedangkan MCR diturunkan dari tingkat relatif aktivitas manusia,
manusia sebagai aktor utama dalam kebakaran. Kedua nilai tersebut di atas
dapat dinyatakan dalam skala 1‐100, dan jika keduanya dijumlahkan maka
maksimal nilainya juga 100.
23
III. METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kalimantan Tengah yang
merupakan daerah dengan hotspot lebih banyak dibandingkan dengan wilayah
lain di Indonesia.
Analisis data dilakukan di Laboratorium Inventarisasi Hutan dan
Laboratorium Kebakaran Hutan dan Lahan ‐ Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Maret 2008
sedangkan pengolahan data dilakukan pada bulan April 2008.
B. Bahan dan Alat
Bahan‐bahan yang digunakan pada penelitian ini meliputi:
1. Peta digital (format vektor) yaitu tipe sistem lahan, penutupan lahan,
penggunaan lahan, jaringan sungai, jaringan jalan, pusat
desa/perkampungan, kota kecamatan, batas administrasi, dan jenis
tanah wilayah propinsi Kalimantan Tengah
2. Sebaran dan lokasi (koordinat) hot spot Kalimantan dari satelit NOAA –
AVHRR tahun 1996 sampai dengan 2006 yang diperoleh dari SIPONGI.
3. Data cuaca yang meliputi suhu maksimum harian dan curah hujan harian,
kecepatan angin dari stasiun pengamat cuaca Badan Meteorologi dan
Geofisika
4. Data‐data penunjang lainnya dari Biro Pusat Statistik
C. Software, Hardware dan Peralatan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Personal Computer dan paket software ArcView GIS versi 3.2
2. Printer
3. Alat pengukuran vegetasi yaitu Spiegel Relaskop Bitterlich (SRB), phi
band, kompas dan meteran
4. GPS Garmin XL
5. Kamera digital
24
D. Metode Penelitian
Secara ringkas tahapan penelitian disajikan dalam diagram alir pengolahan data
seperti tertera pada Gambar 2.
Pengumpulan data
Pra pengolahan data
Data terpilih
Operasi spasial Analisis statistik
Model-model Spasial
Validasi
Ya
Visualisasi
Tidak
Mulai
Analisis Spasial
Model Terplih
Selesai
1. Pengumpulan data sekunder
Tahap pengumpulan data meliputi: perolehan data spasial, kodifikasi
data, penyeragaman sistem proyeksi peta, konversi format data sesuai dengan
perangkat lunak yang dipakai dalam menjalankan prosedur sistem informasi
geografi (SIG). Input data yang digunakan sebagai peubah pembangun model
Gambar 2. Tahapan pengolahan data.
25
adalah data spasial faktor biofisik, aktifitas manusia, data hot spot (titik panas)
hasil olahan dari citra NOAA AVHRR.
Sistem proyeksi yang digunakan sesuai standar nasional untuk data
spasial adalah proyeksi UTM (Universal Tranverse Mercator). Adapun data yang
digunakan pada penelitian ini sudah berbentuk digital sehingga tidak dilakukan
lagi proses digitasi.
Faktor‐faktor yang dipilih untuk membangun prediksi kejadian kebakaran
adalah jarak dari jalan, jarak dari sungai, jarak dari pemukiman, jarak dari kota
kecamatan, tipe sistem lahan, tipe tanah, jenis penggunaan lahan, curah hujan
dan kelas penutup lahan. Metode yang dipakai adalah metode analisis data
CMA dan regresi.
2. Pengumpulan data lapangan
Data lapangan yang diambil terutama adalah data vegetasi diperoleh
dengan cara melakukan inventarisasi dengan metode point sampling. Plot ini
diletakan pada lokasi‐lokasi bekas kebakaran hutan dan lahan (hot spot) yang
ditentukan secara sengaja berdasarkan distribusi hot spot, tipe penutupan lahan
(land cover) dan pola penggunaan lahan (land use). Parameter pohon yang
diukur adalah tinggi pohon dan luas bidang dasar tegakan.
Selain parameter pohon tersebut, diamati secara visual dan dicatat
kondisi tegakan bekas terbakar, dan dikelompokan ke dalam pohon hidup sehat,
pohon hidup merana, pohon mati komersial dan pohon mati hangus (Gambar 4).
26
Gambar 3. Pengelompokan kondisi pohon di area bekas terbakar ke dalam : (a) Pohon mati komersial, (b). pohon hidup sehat, (c) pohon hidup merana, dan (d) pohon mati hangus.
(a) (b)
(c) (d)
27
E. Metode Analisis Data
1. Tingkat kerusakan tegakan
Data hasil pengukuran lapangan dianalisis untuk mengetahui persentase
pohon hidup yang sehat di area bekas terbakar. Persentase pohon sehat
merupakan rasio antara jumlah pohon hidup sehat dalam satu plot
terhadap jumlah total pohon dalam satu plot yang dinyatakan dalam persen.
Berdasarkan data koordinat plot dan data persentase pohon sehat hasil
analisis dibuat peta tingkat kerusakan tegakan akibat kebakaran hutan.
2. Analisis data spasial
a. Pengkelasan masing‐masing peubah
Masing‐masing faktor yang akan digunakan dalam penyusunan model, dibagi
ke dalam beberapa kelas seperti tercantum pada Tabel 1
Tabel 1. Pengkelasan faktor yang akan digunakan dalam menyusun model
Peubah Faktor KelasX1 Tutupan lahan • Hutan Pegunungan
• Semak belukar • Lahan terbuka • Perkebunan • Hutan sekunder • Hutan dataran rendah • Ladang
X2 Jarak terhadap sungai Buffer dengan interval 1000 m (1 km) X3 Jarak terhadap jalan Buffer dengan interval 1000 m (1 km) X4 Jarak terhadap pusat desa Buffer dengan interval 1000 m ( 1 km) X5 Jarak terhadap pusat kota Buffer dengan interval 1000 m (1 km)
28
Tabel 1. (lanjutan)
Peubah Faktor Kelas X6 Penggunaan lahan • Penelitian dan Perlindungan Hutan
• Taman Wisata • Konservasi Air Hitam • Kawasan Handil Rakyat • Perairan • Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain • Penelitian Hutan • Hutan Produksi Tetap • Hutan Produksi • Kawasan Perkebunan dan Pengembangan
Budidaya • Konservasi Flora Fauna • Transmigrasi • Konservasi Hidrologi • Konservasi Gambut Tebal • Hutan Tanaman Industri
X7 Tipe tanah • Non gambut (non peat) • Gambut (peat)
X8 Sistem lahan • Alluvial fans dan mountain • Back swamps • Meander belt • Tidak ada data • Sedimentary ridges • Inter tidal‐mudflat • Minor valey floor • Coalescent estuarine • Permanently water logged • Shalower peat • Undulating sandy • Swampy floodplains • Shallow peat • Deeper peat swamps
b. Penentuan bobot
Salah satu penentuan bobot suatu peubah spasial yang dilakukan secara
empiris adalah dengan metode Analisis Pemetaan Komposit (Composite
Mapping Analysis/CMA). Dalam kasus ini hubungan antara jumlah
hotspot per km2 dengan faktor‐faktor penyusun kerawanan kebakaran
hutan dan lahan dianalisis untuk menurunkan nilai skor masing‐masing
29
faktor. Faktor‐faktor yang memiliki korelasi yang relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan faktor lain dipilih dan digunakan untuk menyusun
model regresi linear berganda. Bobot masing‐masing peubah adalah
proporsi masing‐masing koefisien korelasi dari regresi linear terhadap
total seluruh koefesien regresinya.
c. Penghitungan nilai skor
Nilai skor masing‐masing sub faktor dapat dihitung dengan menggunakan
formula (1) dan (2)
∑ ⎟⎟⎠
⎞⎜⎜⎝
⎛⎥⎦
⎤⎢⎣
⎡=
i
ii
ii
eo
100 x eo
X ………………………………………….………(1)
⎥⎦⎤
⎢⎣⎡=
100F x T Ei ..…………………………………………………………..(2)
Dimana :
Xi = skor kelas (sub faktor) pada masing‐masing faktor Oi = jumlah hotspot yang ada pada masing‐masing kelas (obserbved
hotspot) Ei = jumlah hotspot yang diharapkan pada masing‐masing kelas
(expected hotspot) T = jumlah total hot spot F = persentase luas pada masing‐masing kelas
d. Penghitungan skor dugaan
Berdasarkan pola kecenderungan (trend line nya) hubungan antara skor
setiap faktor dan kepadatan hotspot dihitung nilai skor dugaan menurut
pola (persamaan regresi) yang memiliki koefisien determinasi yang
relative lebih tinggi.
30
e. Penghitungan nilai skor skala (rescalling score)
Untuk mendapatkan standar skor yang sama diantara semua faktor yang
akan digunakan dalam menyusun model, maka skor dihitung lagi untuk
mendapatkan nilai skor skala dengan menggunakan formula Jaya et al.
(2007) seperti pada Persamaan 3.
Score Rout = [(ScoreEinput – ScoreEmin)*(ScoreRmax–ScoreRmin)]+ ScoreRmin…………(3) Score E‐max – Score E‐min
Dimana :
Score Rout = nilai skor hasil rescalling Score Einput = nilai skor dugaan (estimated score) input Score Emin = nilai minimal skor dugaan Score Emax = nilai maksimal skor dugaan Score Rmax = nilai skor tertinggi hasil rescalling Score Rmin = nilai skor terendah hasil rescalling
f. Pembuatan persamaan matematik
Skor hasil rescalling score masing‐masing faktor digunakan untuk
menghitung skor komposit beberapa faktor. Model regresi yang memiliki
korelasi determinasi yang tinggi akan digunakan untuk menentukan skor
komposit. Skor komposit ditentukan dengan metode CMA, dengan bobot
yang diturunkan dari koefisien masing‐masing faktor penyusun komposit.
Berdasarkan skor komposit, disusun persamaan statistik yang
menyatakan hubungan antara jumlah hot spot per km2 dengan skor
komposit faktor‐faktor penyusunnya.
g. Uji signifikansi model
Pengujian signifikansi model dimaksudkan untuk memilih model terbaik
yang memiliki akurasi tertinggi. Uji ini untuk membuktikan apakah suatu
model berbeda nyata terhadap kenyataan di lapangan atau tidak.
31
Hipotesis :
H0: μ1 = μ2 atau H0: μ1 – μ2 = 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model tidak
berbeda dengan nilai rata‐rata lapangan (observasi).
Ha: μ1 − μ2 atau Ha: μ1 − μ2 ≠ 0 yaitu nilai rata‐rata hasil model berbeda
dengan nilai rata‐rata lapangan (observasi)
Statistik uji yang digunakan adalah uji z – test two sample for mean yang
dihitung dengan dengan formula:
…………………………………………………………………..………(4)
dimana :
⎯x1, ⎯x2 = nilai rata‐rata dua contoh σ1, σ2 = nilai standar deviasi dua populasi n1, n2 = jumlah/ukuran dua contoh Δ = hipotesis perbedaan rata‐rata populasi (bernilai 0 jika
pengujian terhadap nilai rata‐rata yang sama)
Hipotesis akan diterima jika nilai Z hitung lebih kecil daripada nilai Z
kritisnya pada taraf nyata 0,05.
h. Pembuatan peta kelas kerawanan kebakaran
Berdasarkan ukuran piksel yang digunakan dan radius antar hotspot,
maka kelas kerawanan kebakaran dikelompokan ke dalam lima kelas
seperti tertera pada Tabel 2.
32
1 *100%
n
iii
X
N=
⎡ ⎤⎛ ⎞⎢ ⎥⎜ ⎟⎢ ⎥⎜ ⎟⎢ ⎥⎜ ⎟⎜ ⎟⎢ ⎥⎝ ⎠⎣ ⎦
∑
Tabel 2. Selang nilai yang digunakan untuk membuat kelas kerawanan kebakaran hutan dan lahan
Jumlah hotspot per km2 Luas yang diwakili masing‐masing hotspot (km2)
Kelas kerawanan
>= 1.273 < 0.785 Sangat tinggi sekali0.318 ‐ < 1.273 0.785‐3.141 Sangat tinggi 0.141‐<0.318 3.141‐7.069 Tinggi 0.080‐<0.141 7.069‐12.566 Sedang <=0.080 >12.566 Rendah
Sumber : Jaya et al. 2007
i. Validasi model
Akurasi model ditentukan berdasarkan nilai matrik koinsidensi antara
tingkat kerawanan kebakaran menurut model dan tingkat kerawanan
menurut kepadatan hotspot dengan menggunakan matrik kesalahan
(confusion matrix). Nilai akurasi dihitung dengan formula seperti pada
persamaan 5.
OA = …………………...……………………………………………………(5)
dimana :
OA = overall accuracy
Xii = jumlah kolom ke‐i dan baris ke‐i (diagonal)
N = jumlah semua kolom dan semua baris yang digunakan
j. Visualisasi persamaan matematik menjadi model spasial
Persamaan statistik atau model regresi yang diperoleh dari tahap
sebelumnya diimplementasikan ke dalam model spasial. Adapun
mekanisme implementasinya menggunakan Arc View dengan fasilitas
Calculator.
33
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Sebaran Hotspot
Hotspot merupakan salah satu indikator adanya kejadian kebakaran
hutan dan lahan di suatu wilayah. Berdasarkan data hotspot hasil rekaman
satelit NOAA yang dikeluarkan oleh JICA tahun 2002 sampai dengan 2006 dapat
diketahui pola sebaran hotspot di wilayah Indonesia. Gambar 4 menunjukkan
bahwa pada tahun 2002 jumlah hotspot di pulau Kalimantan relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia. Jumlah hotspot terbanyak di
wilayah Indonesia terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dan Oktober .
Gambar 4. Perbandingan jumlah hotspot di Indonesia tahun 2002.
Gambar 5 menunjukkan bahwa jumlah hotspot tahun 2002 di beberapa
kabupaten di bagian selatan propinsi Kalimantan Tengah yang menempati posisi
teratas dalam jumlah hotspot adalah Kotawaringin Timur, Seruyan dan Pulang
Pisau. Sedangkan di bagian utara Kalimantan Tengah, jumlah hotspot relatif
lebih sedikit. Pada tahun 2002, jumlah hotspot terbanyak terjadi di Kabupaten
Pulang Pisau pada bulan Oktober, sedangkan bulan September tahun 2004 di
Kabupaten Kotawaringin Timur terdapat titik panas terbanyak.
34
Gambar 5. Sebaran hospot pada bulan Oktober 2002 di propinsi Kalimantan Tengah
35
0
5
10
15
20
25
Kep
adat
an p
endu
duk
(jiw
a/ha
)
Sukamara
Kotawaringin Barat
SeruyanKotawaringin Timur
KatinganPulang Pisau
Kapuas
Kabupaten
Gambar 6. Kepadatan penduduk di Kalimantan Tengah menurut wilayah
kabupaten.
Tabel 3. Pola pengolahan lahan petani di Kalimantan Tengah
No Bulan Kegiatan 1 Juli – Agustus Penggarapan lahan (tebas) 2 Agustus – September Pembakaran lahan 3 Oktober – November Penanaman4 November – Desember Tunggu 5 Desember – Januari Penyiangan6 Maret – April Panen
Sumber : Wetland Internasional 2006.
Menurut kepadatan penduduknya, maka kabupaten Kapuas merupakan
kabupaten terpadat diikuti Kotawaringin Timur, Kotawaringin Barat dan Pulang
Pisau. Sedangkan berdasarkan jumlah angkatan kerjanya maka Kabupaten
Kapuas memiliki jumlah angkatan kerja paling tinggi disusul Kabupaten
Kotawaringin Timur, Kotawaringi Barat dan Pulang Pisau (Gambar 6).
Berdasarkan pola bercocok tanam para petani yang tertera pada Tabel 3
dapat diduga bahwa pada bulan Agustus sampai September merupakan masa
pembakaran lahan, sehingga pada bulan ini titik panas yang terdeteksi juga
mencapai jumlah tertinggi dalam masa satu tahun. Pembakaran dilakukan untuk
membersihkan lahan dalam rangka pembukaan lahan baru maupun penyiapan
lahan untuk penanaman komoditas pertanian dan perkebunan.
36
Berdasarkan profesinya sebagian besar masyarakat di Mentangai,
merupakan petani kebun, dan penyadap karet seperti tertera pada diagram
Gambar 7. Dari kondisi ini dapat diduga kemungkinan banyak terjadi kegiatan
konversi lahan ke perkebunan yang rentan terjadi kebakaran.
0
5
10
15
20
25
30
Pers
en
Nelayan sungai
Keramba ikan
Berkebun
Sadap karet
Kebun rotan
Membalak kayu
Anyaman rotan
lain-lain
Profesi
Gambar 7. Prosentase penduduk di Kalimantan Tengah menurut profesinya di di wilayah eks PLG (Sumber : Wetlands International 2006)
Berdasarkan grafik hubungan antara curah hujan yang diolah dari data
curah hujan beberapa stasiun dan jumlah hotspot (Gambar 8), menunjukkan
bahwa makin tinggi curah hujan maka makin sedikit jumlah hotspot yang
teridentifikasi dan sebaliknya makin rendah curah hujan maka makin tinggi
jumlah hotspot yang terdeteksi. Data curah hujan yang diperoleh dari 3 stasiun
di Kalimantan Tengah dan sekitarnya ini juga menunjukkan bahwa jumlah
hotspot mencapai puncak pada saat jumlah curah hujan minimal dan terendah.
Kejadian kebakaran hutan cenderung lebih banyak terjadi pada saat curah
hujan terendah karena pada saat curah hujan rendah, maka kelembaban udara
juga rendah. Kelembaban rendah menyebabkan bahan‐bahan bakar potensial
lebih cepat mencapai suatu nilai ambang kelembaban dimana api akan dapat
membakar bahan bakar ini. Bentuk hubungan antara jumlah hotspot dan curah
37
hujan bulanan mengikuti pola/model power dengan koefisien determinias (R2)
sebesar 66.7 %.
Gambar 8. Hubungan antara jumlah curah hujan dan jumlah hotspot
B. Pemodelan Spasial Kebakaran Hutan dan Lahan
1. Jumlah hotspot dan tipe tutupan lahan
Tabel 3 menunjukkan jumlah hotspot tertinggi berada pada area dengan
tutupan lahan semak belukar dan hutan sekunder, sedangkan jumlah hotspot
paling rendah berada di area dengan tutupan lahan terbuka. Semak belukar juga
merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspot per km2 nya paling tinggi,
karena kejadian kebakaran akan sangat mudah terjadi dengan tingginya jumlah
bahan bakar berupa semak belukar, apalagi jika dalam keadaan kering (kadar air
rendah).
38
Tabel 3. Data kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan
Kode tutupan lahan
Tutupan lahan HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
1 Kebun 0,184 112,791 2072 Lahan terbuka 0,184 33,563 623 Ladang 0,261 687,214 17904 Hutan dataran rendah 0,291 728,653 21235 Hutan sekunder 0,311 4,589 146 Semak belukar 0,508 125,006 635
Berdasarkan tingkat kepadatan hotspotnya, tutupan lahan semak belukar
merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspotnya tertinggi sebesar 0,507
per km2. Tingkat kepadatan hotspot paling rendah (0,188 per km2) berada di
area tidak bervegetasi (terbuka) seperti tertera pada Gambar 10. Hal ini sesuai
dengan pengamatan lapangan, dimana kejadian kebakaran lebih banyak
ditemukan di area semak belukar dan area dengan permudaan galam.
Semak belukar merupakan area yang menjadi tujuan para peladang
berpindah untuk membuka ladang baru (Pratondo 2007) dimana pembersihan
lahannya umumnya dilakukan dengan cara tebang, tebas dan bakar. Selain itu
semak belukar merupakan tipe bahan bakar halus yang lebih cepat kering dan
lebih mudah terbakar dibandingkan dengan bahan bakar yang lebih kasar (Clar
dan Chatten 1954; Wright dan Bailey 1982) berupa kayu maupun tegakan yang
ada di hutan sekunder ataupun di hutan dataran rendah.
39
0.0000
0.1000
0.2000
0.3000
0.4000
0.5000
0.6000
Kebun
Lahan terbuka
Ladang
Hutan dataran rendah
Hutan sekunder
S emak belukar
T ipe tutupan lahan
Jumlah hotspot per km2
Gambar 9. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe tutupan lahan.
2. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan sungai
Jumlah hotspot menunjukkan kecenderungan menurun (0,332 per km2
sampai 0,125 per km2) dengan semakin bertambahnya jarak terhadap jaringan
sungai (Tabel 5) artinya semakin jauh jarak dari jaringan sungai semakin sedikit
jumlah kejadian kebakarannya. Hal ini diduga karena jaringan sungai merupakan
salah satu sarana transportasi utama di Kalimantan Tengah, sehingga semakin
jauh dari jaringan sungai semakin sedikit pelaku pembakaran dapat memasuki
wilayah yang jauh dari jaringan sungai.
Sebaliknya area yang lebih dekat dengan jaringan sungai lebih tinggi
jumlah hotspotnya. Boonyanuphap (2001); Sunuprapto (2000); Suwarso (2003)
juga menyatakan bahwa kejadian kebakaran dipengaruhi oleh jarak terhadap
jaringan sungai; dimana semakin dekat dengan sungai semakin banyak jumlah
hotspot yang ditemukan (Sunuprapto 2000; Hadi 2006; Purnama dan Jaya 2007;
Thoha 2006). Hal ini karena jaringan sungai merupakan sarana transportasi yang
digunakan masyarakat di Kalimantan Tengah termasuk masyarakat yang akan
melakukan kegiatan perladangan, pertanian, perkebunan dan aktivitas lain yang
berhubungan dengan pemanfaatan lahan terutama di daerah‐daerah yang dekat
dengan jaringan sungai.
40
Gambar 10 menunjukkan pola hubungan antara jumlah hotspot per km2
dengan jarak terhadap jaringan sungai yang mengikuti model polinomial dengan
nilai koefisien determinasi sebesar 90,9 %.
Tabel 5. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai
Jarak sungai (km) HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot 1 0,278 740.084 2.059 2 0,316 317.963 1.006 3 0,327 195.085 639 4 0,313 137.971 432 5 0,295 99.927 294 6 0,269 68.536 185 7 0,257 47.855 123 8 0,249 31.637 79 9 0,214 16.498 35 10 0,152 10.508 16 11 0,161 8.065 13 12 0,149 8.574 13 13 0,125 6.754 8 14 0,125 2.153 3 15 0,125 205 0
Gambar 10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan sungai
41
3. Jumlah hotspot dan jarak terhadap jaringan jalan
Jumlah hotspot pada jarak kurang dari 7 km berada pada kisaran 0,24 –
0,38 per km2, mencapai tingkat tertinggi pada jarak 8 km dan menurun dari 0,4
sampai dengan 0,125 per km2 (Tabel 6). Pola sebaran jumlah hotspot
berdasarkan jarak terhadap jaringan jalan mengikuti model polinomial dengan
nilai koefisien determinasi 89,72 % (Gambar 11). Jumlah hotspot cenderung
menurun dengan semakin jauh jarak terhadap jaringan jalan, diduga sulitnya
aksesibilitas dapat mengurangi motivasi orang untuk datang dan menyebabkan
kebakaran hutan dan lahan.
Tabel 6. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan
Jarak jalan (km)
HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Jarak jalan (km)
HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
1 0,252 140.092 354 23 0,163 20.630 34 2 0,255 133.585 341 24 0,173 18.584 32 3 0,279 116.148 324 25 0,183 17.488 324 0,292 109.484 320 26 0,165 18.020 30 5 0,293 103.022 302 27 0,159 16.481 26 6 0,324 95.091 308 28 0,155 15.289 24 7 0,400 85.308 341 29 0,133 11.070 158 0,437 78.194 342 30 0,129 10.047 13 9 0,410 76.743 314 31 0,140 8.951 13 10 0,381 70.239 268 32 0,146 8.207 12 11 0,342 63.679 218 33 0,133 7.451 1012 0,318 61.281 195 34 0,134 6.558 9 13 0,298 57.946 173 35 0,133 5.745 8 14 0,300 55.145 165 36 0,129 5.167 7 15 0,337 46.642 157 37 0,125 4.316 5 16 0,359 37.222 134 38 0,125 3.588 4 17 0,286 34.913 100 39 0,125 2.983 4 18 0,204 31.959 65 40 0,125 2.655 3 19 0,159 29.431 47 41 0,125 2.262 3 20 0,147 27.237 40 42 0,147 1.664 2 21 0,132 25.897 34 43 0,125 981 1 22 0,141 24.043 34 44 0,125 378 0
42
Gambar 11. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap jaringan jalan.
Berdasarkan pengamatan lapangan, ditemukan bahwa kejadian
kebakaran hutan dan lahan lebih banyak terjadi di area‐area yang lebih dekat
dengan jalan, sebagaimana dinyatakan oleh Soewarso (2003), Sunuprapto
(2000), Boonyanuphap (2001), dan Purnama dan Jaya (2007) bahwa faktor jalan
berpengaruh positip terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Selain itu adanya akses jalan, mendorong masuknya orang untuk
membuka lahan baru yang dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan
(Pratondo, 2007). Pada umumnya mereka akan lebih memilih lahan yang dekat
dengan jalan sebagai lahan garapan, karena lebih memudahkan dalam mencapai
lahan serta membawa hasil pertanian pada saat panen nantinya. Sehingga
lahan‐lahan yang lebih dekat dengan jalan pada umumnya banyak
terindentifikasi hotspot.
4. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat desa
Tabel 7 menunjukkan bahwa jumlah hotspot relatif lebih tinggi berada
pada jarak kurang dari 7 km dan terdapat kecenderungan turun dengan
bertambahnya jarak terhadap jaringan jalan. Pada area dengan jarak terhadap
pusat desa lebih dari 7 km, jumlah hotspot per km2 cenderung turun dari 0,403
sampai 0,125 per km2 dengan bertambahnya jarak (Gambar 12). Hal ini
43
memperlihatkan bahwa pada jarak kurang dari 7 km, kebakaran diduga masih
dapat dikendalikan sehingga tidak menjalar ke lokasi lain. Model polinomial orde
3 dapat menjelaskan pola hubungan antara jumlah hotspot dan jarak terhadap
pusat desa dengan koefisien determinasi 87,5 %.
Masyarakat di desa atau pusat pemukiman umumnya merupakan petani
atau berkebun seperti pada umumnya masyarakat di daerah Mentagai (Gambar
7). Para petani dan peladang melakukan perluasan maupun pembukaan ladang
baru menggunakan teknologi pembakaran untuk membersihkan lahannya
(PFFSEA, 2003). Kegiatan pembukaan lahan ini diduga dilakukan pada lokasi‐
lokasi yang berdekatan dengan pusat‐pusat desa dan pemukiman, karena lebih
mudah menjangkau lokasi baik pada saat penyiapan lahan maupun pada saat
melakukan pengelolaan tanaman yang dibudidayakan di ladang. Semakin jauh
dari pusat desa dan pemukiman, semakin berkurang aktivitas pembukaan ladang
baru karena memerlukan waktu yang lama untuk mencapai lokasi, sehingga
dapat diduga bahwa di lokasi yang jauh dari pusat desa dan pemukiman maka
semakin sedikit aktivitas manusia yang menyebabkan terjadinya kebakaran
(Soewarso, 2003; Booyanuphap, 2001).
Banyaknya pendatang yang bermukim di desa‐desa atau pusat‐pusat
pemukiman membutuhkan lahan untuk bercocok tanam sebagai mata
pencahariannya. Pendatang ini bersama dengan masyarakat yang ingin
meluaskan lahan membuka lahan‐lahan baru terutama yang dekat dengan pusat
pemukimannya. Kegiatan ini dapat mendukung terjadinya kebakaran hutan dan
lahan, jika pembukaan lahan dilakukan dengan metode tebang, tebas dan bakar.
44
Tabel 7. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat desa
Jarak desa (km)
HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Jarak desa (km)
HD/km2 Luas (ha)
Jumlah hotspot
1 0,195 4.697 68 20 0,169 33.367 562 0,192 96.178 184 21 0,149 27.396 413 0,212 122.021 258 22 0,143 4.160 354 0,235 125.987 96 23 0,130 21.654 285 0,264 125.455 331 24 0,135 19.816 276 0,306 112.850 346 25 0,143 16.642 247 0,363 98.651 358 26 0,135 14.010 198 0,390 92.396 360 27 0,125 12.179 159 0,404 89.154 360 28 0,125 10.578 1310 0,426 81.217 346 29 0,125 7.428 911 0,405 74.162 300 30 0,125 6.624 812 0,347 69.776 242 31 0,125 5.907 713 0,312 64.379 201 32 0,125 4.741 614 0,291 58.344 170 33 0,125 3.661 515 0,321 54.151 174 34 0,125 2.910 416 0,334 51.436 172 35 0,125 1.971 217 0,353 47.382 167 36 0,125 1.485 218 0,308 41.176 127 37 0,125 494 119 0,233 37.380 87
Gambar 12. Pola jumlah hotspot per km2 pada berbagai jarak terhadap pusat desa/pemukiman.
45
5. Jumlah hotspot dan jarak terhadap pusat kota
Berdasarkan data jumlah hotspot Tabel 8, pada jarak kurang dari 13 km
jumlah hotspot relatif lebih kecil yaitu 0,162 – 0,350 per km2. Sedangkan pada
jarak lebih dari 13 km jumlah hotspot tinggi, dan menurun dengan semakin jauh
jaraknya terhadap pusat kota, serta naik lagi pada jarak terjauh dari kota.
Kecenderungan tersebut mengikuti pola linear dengan koefisien determinasi
51,5 %. Terdapat kecenderungan semakin jauh dari pusat kota, maka semakin
sedikit jumlah hotspot yang terjadi. Model polinomial orde 4 dapat menjelaskan
85,16 % variasi jumlah hotspot.
Jumlah hotspot yang cenderung kecil pada area dengan jarak kurang dari
13 km terhadap pusat kota diduga karena pada jarak ini pihak yang berwenang
masih mampu mengontrol wilayahnya sehingga dapat mencegah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Pada jarak ini, jika terjadi kebakaran yang disengaja
pun pada umumnya masyarakat masih mampu mengendalikan dengan
melakukan manajemen bakar.
Berdasarkan survey lapangan, pada lokasi yang dekat dengan kota‐kota
kecamatan terdapat beberapa pos pengawasan kebakaran dan pemantauan
kebakaran, sehingga pelaku pembakaran enggan melakukan pembakaran.
Selain itu, pelaku pembakar lahan biasanya masih mampu membatasi dan
mengontrol kebakaran sehingga tidak meluas yang diindikasikan oleh jumlah
hotspot yang relatif lebih sedikit. Pada umumnya, pengendalian kebakaran
kebakaran dilakukan dengan cara membuat sekat bakar (Pratondo, 2007),
misalnya dengan membuat parit‐parit yang berisi air.
46
Gambar 13. Pola sebaran hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota
kecamatan.
Tabel 8. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak terhadap pusat kota
Jarak kota (km)
HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Jarak kota (km)
HD/km2 Luas (ha)
Jumlah hotspot
1 0,166 3.834 6 26 0,233 40.761 952 0,164 13.350 22 27 0,237 39.009 933 0,176 27.137 48 28 0,267 35.878 964 0,192 37.403 72 29 0,285 35.531 1015 0,192 41.240 79 30 0,262 35.215 926 0,185 49.587 92 31 0,246 35.411 877 0,185 54.780 102 32 0,242 34.294 838 0,213 53.862 115 33 0,247 33.415 839 0,259 51.283 133 34 0,284 33.434 9510 0,298 48.631 145 35 0,298 32.598 9711 0,297 48.055 143 36 0,302 28.156 8512 0,340 49.639 169 37 0,294 23.260 6813 0,355 52.802 187 38 0,253 18.424 4714 0,406 54.274 220 39 0,286 13.680 3915 0,414 54.440 225 40 0,361 11.800 4316 0,403 57.164 230 41 0,358 10.348 3717 0,368 59.799 220 42 0,245 8.757 2118 0,328 60.291 198 43 0,162 7.492 1219 0,331 60.330 200 44 0,135 6.550 920 0,341 57.025 195 45 0,125 5.236 721 0,342 52.716 180 46 0,125 4.949 622 0,316 52.382 166 47 0,136 4.383 623 0,305 49.458 151 48 0,177 4.207 724 0,272 47.679 130 49 0,239 3.870 925 0,252 42.798 108 50 0,245 3.193 8
51 0,339 2.008 7
47
6. Jumlah hotspot dan jenis penggunaan kawasan
Dalam rencana tata ruang wilayah tahun 2003, wilayah propinsi
Kalimantan Tengah dibagi ke dalam beberapa fungsi penggunaan kawasan (Tabel
9). Berdasarkan fungsi kawasannya, maka kawasan dengan fungsi sebagai
kawasan perkebunan dan pengembangan budidaya memiliki jumlah hotspot
tertinggi. Sedangkan kawasan yang berfungsi sebagai kawasan hutan penelitian
memiliki paling sedikit jumlah hotspotnya. Jumlah hotspot tinggi yang berada di
dalam kawasan perkebunan dan pengembangan budidaya ini sejalan dengan
pengembangan perkebunan secara besar‐besaran di Kalimantan Tengah,
sebagaimana juga terjadi di propinsi Kalimantan Barat (Pratondo 2007).
Di wilayah kabupaten Kapuas, dijumpai kegiatan peladang membuka dan
menyiapkan lahannya dengan cara menebas dan membakar. Pada umumnya
pembakaran yang mereka lakukan masih dapat dikendalikan, karena luasannya
kecil sekitar 1 Ha (Hardjanto, 1998) seperti banyak ditemukan pada saat survey
lapangan. Kegiatan peladang tersebut banyak ditemukan di area eks Proyek
Lahan Gambut yang fungsi kawasannya sebagai kawasan Konservasi Gambut
Tebal (KGT), contohnya di daerah Mentangai Kabupaten Kapuas. Penyiapan
area penanaman oleh petani dan peladang di daerah ini mencakup menebang,
menebas, membakar dan menanam (Wetland Internasional, 1998).
48
Tabel 9. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak berbagai jenis penggunaan kawasan
Fungsi kawasan Fungsi kawasan
HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Penelitian dan Perlindungan Hutan PPH 0,125 779 1 Penelitian Kehutanan PPK 0,125 146 0 Taman Wisata TW 0,125 3.437 4 Konservasi Air Hitam KEAH 0,138 20.090 28 Kawasan Handil Rakyat KHR 0,149 87.136 130 Kawasan Pemukiman dan Penggunaan Lain KPPL 0,194 77.841 151 Perairan DS 0,202 16.315 33 Hutan Produksi Terbatas HPT 0,211 206.717 436 Hutan Produksi HP 0,252 394.239 993 Kawasan Perkebunan dan Pengembangan KPP 0,257 444.399 1.142 Konservasi Flora Fauna KFF 0,313 77.286 242 Transmigrasi T1 0,335 53.304 179 Konservasi Hidrologi KH 0,417 102.778 429 Konservasi Gambut Tebal KGT 0,440 197.709 870 Hutan Tanaman Industri HTI 1,035 9.641 100
Akan tetapi berdasarkan jumlah hotspot per km2 seperti ditampilkan
pada diagram Gambar 14 , maka kawasan yang berfungsi sebagai kawasan
hutan tanaman industri memiliki tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, dan
disusul oleh kawasan konservasi gambut tebal serta konservasi hidrologi.
Kawasan hutan penelitian dan perlindungan memiliki tingkat kepadatan hotspot
terendah yakni 0.125 per km2.
49
0.0000
0.2000
0.4000
0.6000
0.8000
1.0000
1.2000
PPH
PPK TW
KEAH KH
RKPP L DS HP
THP KP
PK FF T1 KH KG
THTI
F ung si kawasan
Nilai sko
r fungsi kaw
asan
Gambar 14. Sebaran jumlah hotspot pada berbagai fungsi kawasan.
Tingginya kepadatan hotspot di kawasan hutan tanaman industri diduga
disebabkan oleh aktivitas penyiapan lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan
cara membakar. Selain itu, aktifitas pembakaran di sekitar kawasan HTI juga
diduga merembet ke area HTI sehingga terjadi kebakaran di area HTI. Adanya
akses jalan yang dibuat untuk membangun HTI menarik orang untuk masuk dan
membuka lahan baru di sekitar HTI. Pembukaan lahan ini akan memicu
terjadinya kebakaran hutan dan lahan, jika dilakukan dengan metode tebang,
tebas dan membakar, sebagaimana terjadi di Kalimantan Barat di mana 41 %
kebakaran hutan dan lahan terjadi di area Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan
Kayu Hutan Tanaman (IUPHHKHT) (Bappelda Kaltim dalam Pratondo 2007)
Di kawasan konservasi gambut tebal tingkat kepadatan hotspot tinggi,
yang sesuai dengan hasil verifikasi lapangan dimana menunjukkan bahwa di area
bekas proyek sejuta hektar gambut banyak ditemukan aktifitas penyiapan lahan
pertanian dengan cara pembakaran. Data pola bercocok tanam di masyarakat
sekitar Mentangai (area gambut) pada Tabel 2 menunjukkan bahwa pada bulan
Agustus, September dan Oktober adalah masa penyiapan lahan dengan cara
pembakaran .
50
Pada umumnya bahan bakar di area‐area ini adalah berupa alang‐alang,
dimana hanya bagian atasnya yang terbakar untuk kemudian tumbuh lagi alang‐
alang dan menjadi potensi bahan bakar (Gambar 15).
Gambar 15. Area yang terbakar dengan tutupan lahan didominasi alang‐alang.
7. Jumlah hotpot dan tipe tanah
Jumlah hotspot pada area bergambut lebih banyak dibandingkan dengan
pada area tidak bergambut (Tabel 10). Demikian juga dengan tingkat kepadatan
hotspotnya, yaitu tingkat kepadatan hotspot di area bergambut lebih tinggi
dibanding kepadatan di area tidak bergambut (Gambar 16).
.
0.0000
0.0500
0.1000
0.1500
0.2000
0.2500
0.3000
0.3500
non peat peat
T ipe tanah
Jumlah hotspot per km2
Gambar 16. Jumlah hotspot pada tipe tanah gambut dan non gambut
51
Tanah gambut merupakan tanah yang banyak mengandung bahan
organik seperti serasah, ranting‐ranting kayu, tunggul dan sisa‐sisa kayu yang
belum terdekomposisi sempurna. Pada tanah gambut yang mengalami
kekeringan karena proses alamiah maupun karena adanya drainase
menyebabkan bahan‐bahan organik kadar airnya rendah (kering) dan akan
mudah terbakar jika ada pemicunya.
Karakter tanah gambut sebagai bahan bakar yang relatif halus yang juga
menyebar secara horizontal memudahkan terjadinya penyalaan api (Clar dan
Chatten 1954). Kadar air gambut juga mempengaruhi intensitas kebakaran,
dimana sifat gambut yang irreversible srink mendukung terjadinya kebakaran
yang lebih lama. Jika gambut dalam keadaan kering, maka gambut akan sulit
menjerap air kembali sehingga apabila mengalami kekeringan dapat diduga
bahwa pada waktu berikutnya gambut ini akan lebih mudah terbakar.
Tabel 10. Kepadatan hotspot pada berbagai jarak tipe tanah
Tipe tanah HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Bukan gambut 0,218 571.918 1.247 Gambut 0,327 1.119.898 3.661
Kemampuan gambut dalam mengkonservasi air akan berubah jika terjadi
pengeringan gambut yang disebabkan oleh konversi, penebangan maupun
pembakaran. Proses peneringan gambut akan mengubah sifat gambut hidrofil
(menyukai air) menjadi hidrofob (tidak menyukai air) sehingga air yang telah
hilang tidak dapat dikembalikan seperti kondisi sebelumnya. Berubahnya sifat
gambut dari hidrofil menjadi hidrofob menyebabkan hutan dan lahan gambut
menjadi rentan terhadap bahaya kebakaran, sebagaimana dinyatakan oleh
Syaufina (2002) bahwa kebakaran gambut merupakan kebakaran paling
berbahaya dan sulit dideteksi karena menembus ke bawah permukaan dan
menyebar secara horizontal. Kebakaran gambut pada tahun 1998 di Kalimantan
berlangsung berbulan‐bulan, karena sulitnya dideteksi karena merambat di baah
permukaan (Syaufina 2004) sehingga sulit dilakukan pemadaman.
52
Di samping itu, tanah gambut memiliki kandungan bahan bakar yang
tinggi, karena kandungan akan bahan organik yang tinggi dimana persentasenya
dapat mencapai lebih dari 65%. Bahan organik yang besar volumenya ini
merupakan bahan bakar potensial, jika dalam keadaan keadaan kering (kadar air
rendah).
Selain itu beberapa aktivitas masyarakat tradisional seperti sistem
budidaya padi sonor di lahan gambut, diduga menjadi pemicu terjadinya
kebakaran di lahan gambut (PFFSA, 2003).
8. Jumlah hotspot dan tipe sistem lahan
Jumlah hotspot pada tipe sistem lahan shallow peat (gambut dangkal)
sebesar 1.475 adalah tertinggi disusul hotspot pada deeper peatswamp forest
(rawa gambut dalam) sebanyak 1.408. Sedangkan tipe sistem lahan alluvial dan
back swamp memiliki jumlah hotspot paling rendah (Tabel 11).
Tabel 11. Kepadatan hotspot pada berbagai sistem lahan
Sistem lahan HD/km2 Luas (ha) Jumlah hotspot
Alluvial fans and mountain 0,125 258 0 Back swamps 0,125 674 1 Meander belt 0,125 1.966 2 Sedimentary ridges 0,125 743 1 Inter‐tidal mudflat 0,125 132 0 Minor valley floors 0,146 18.700 27 Coalescent estuarine 0,169 341.576 577 Permanently waterlogged 0,240 24.403 59 Shallower peat 0,272 159.192 433 Undulating sandy 0,290 208.543 605 Shallow peat 0,301 536.670 1.613 Swampy floodplains 0,308 20.359 63 Deeper peat swamps 0,394 378.599 1.491
Berdasarkan kepadatan hotspotnya (Gambar 17) area deeper swamp
forest merupakan area dengan tingkat kepadatan hotspot paling tinggi, disusul
area shallow peat dan swampy. Hal ini disebabkan gambut dangkal pada musim
kemarau lebih cepat kering, yang berarti kadar air rendah sehingga lebih cepat
53
terbakar. Sedangkan pada gambut dalam proses smolding nya berlangsung
lebih lama. Kandungan kadar air yang rendah memerlukan energi yang relatif
lebih kecil umtuk menyalakan bahan bakar sehingga akan terdeteksi menjadi
hotspot (Chandler et al 1983, Pyne et al 1996).
Area dengan tingkat kepadatan hotspot paling rendah berada di daerah
alluvial dan backswamp. Tanah alluvial pada umumnya merupakan endapan di
tepi‐tepi jalan air/sungai (Mackinnon et al. 1996), sehingga diduga potensi bahan
bakar di dalamnya banyak mengandung air (kadar air tinggi). Banyaknya
kandungan air dalam potensi bahan bakar memerlukan energi panas yang tinggi
untuk menyalakan bahan bakar menjadi kebakaran hutan (relatif lebih sulit
terjadi kebakaran).
0.00000.05000.10000.15000.20000.25000.30000.35000.40000.4500
Back swamps
Meander belt
S edim
entary ridges
Inter‐tidal mudflat
Minor valley floors
Coales cent es tuarine
P ermanently waterlogged
S hallower peat
Undulating sandy
S hallow peat
S wampy floodplains
Deeper peat swamps
T ipe sistem lahan
Jumlah hotspot per km2
Gambar 17. Kepadatan hotspot pada berbagai tipe sistem lahan.
54
Gambar 18. Pola sebaran hotspot pada berbagai tipe sistem lahan.
C. Pemberian skor
Berdasarkan data nilai kepadatan hotspot yang dijelaskan dari Tabel 5 sampai
dengan Tabel 12 di atas, dihitung nilai skor aktual, skor perkiraan dan skor
skala. Data‐data hasil perhitungan ketiga nilai skor di atas dapat dilihat pada
Lampiran 1 sampai dengan Lampiran 8.
1. Analisis koefisien determinasi skor masing‐masing peubah dan kepadatan
hotspot.
Diagram pencar (Gambar 19) menunjukkan pola hubungan antara
kepadatan hotspot dan skor tipe tutupan lahan menunjukkan bahwa model
linear dan model polinomial orde 2 memiliki koefesien determinasi yang tertinggi
yaitu 30,8 % dan 31,0 %. Model polinomial dapat menjelaskan 31,0 % variasi
yang terdapat dalam skor jarak terhadap tipe tutupan lahan. Nilai koefisien
determinasi tersebut relatif rendah dibandingkan dengan koefisien determinasi
yang dimiliki oleh skor tipe fungsi lahan dan skor tipe sistem lahan.
55
Gambar 19. Diagram pencar skor tipe tutupan lahan terhadap jumlah hotspot per km2.
Diagram pencar (Gambar 20) menunjukkan hubungan antara kepadatan
hotspot dan skor jarak terhadap jaringan sungai, dimana model yang dicobakan
hanya memiliki nilai koefisien tertinggi sebesar 11,0 %. Nilai ini sedikit lebih
besar dibandingkan dengan skor jarak terhadap pusat kota.
Gambar 20. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan sungai terhadap jumlah hotspot per km2.
56
Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 21) hubungan antara
kepadatan hotspot dan skor jarak terhadap jaringan jalan menunjukkan bahwa
model polinomial dan model power memiliki koefisien relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan model yang lain, dengan nilai koefisien determinasi
sebesar 14,8 % dan 12,1 %. Dengan demikian model‐model yang dicobakan
hanya dapat menjelaskan dengan baik 14,8 % variasi yang ada dalam skor jarak
terhadap jalan.
Gambar 21. Diagram pencar skor jarak terhadap jaringan jalan terhadap jumlah hotspot per km2.
Diagram pencar hubungan skor jarak terhdap pusat desa dan kepadatan
hotspot (Gambar 22) menunjukkan bahwa model eksponensial dan model power
memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi yaitu sebesar 33,70 % dan 23,40 %.
Dengan demikian sebanyak 33,70 % variasi dalam skor jarak terhadap pusat
desa dapat dijelaskan dengan model eksponensial.
57
Gambar 22. Grafik hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat desa.
Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 23) hubungan antara
kepadatan hotspot dan skor jarak terhadap pusat kota menunjukkan bahwa
semua model yang dicobakan hanya memiliki nilai koefisien dari yang terbesar ke
terkecil yaitu 2,3 %; 1,2 % dan 0,3 %. Dengan demikian model‐model yang
dicobakan tidak dapat menjelaskan dengan baik variasi yang ada dalam skor
jarak terhadap pusat kota.
58
Gambar 23. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor jarak terhadap pusat kota.
Berdasarkan analisis diagram pencar (Gambar 24) hubungan antara
kepadatan hotspot dan skor fungsi kawasan menunjukkan bahwa model power
memiliki koefisien determinasi tertinggi yaitu 49,7 %. Model ini dapat
menjelaskan 49,7 % variasi dalam skor fungsi kawasan. Dibandingkan dengan
faktor yang lain, skor fungsi kawasan memiliki nilai koefisien determinasi tertinggi
dibandingkan dengan faktor‐faktor yang lainnya.
59
Gambar 24. Hubungan antara nilai kepadatan hotspot per km2 dengan skor fungsi kawasan.
Diagram pencar (Gambar 25) hubungan antara kepadatan hotspot dan
skor tipe tanah menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien
determinasi tertinggi sebesar 26,4 %, lebih tinggi dari koefisien determinasi
model linear (22,0 %). Dengan demikian model power dapat menjelaskan 26,4 %
variasi dalam tipe tanah.
Gambar 25. Hubungan antara skor masing‐masing tipe tanah dan tingkat
kepadatan hotspot.
60
Gambar 26 menunjukkan hubungan antara kepadatan hotspot dan skor
tipe sistem lahan, dimana model power memiliki nilai koefisien determinasi
tertinggi sebesar 39,71 %, lebih tinggi dari koefisien determinasi model linear
(32,67 %) dan model ekponensial (37,98 %). Hal ini berarti sebanyak 39,71 %
variasi dalam skor tipe sistem lahan dapat dijelaskan oleh model power.
Koefisien determinasi hubungan antara skor tipe sistem lahan dan
kepadatan hotspot lebih kecil dibandingkan dengan koefisien determinasi
hubungan antara fungsi kawasan; dan lebih besar dari nilai koefisien determinasi
hubungan skor 6 faktor yang lain dengan kepadatan hotspot.
Gambar 26. Hubungan antara skor masing‐masing tipe sistem lahan dan kepadatan
hotspot 2. Kepadatan hotspot dan skor komposit model 1 M1/(X1,X6, dan X7)
Nilai skor komposit dihitung dengan menggunakan peubah yang memiliki
tingkat koefisien determinasi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan faktor‐
faktor lainnya. Besarnya nilai koefisien determinasi secara berurutan adalah
skor fungsi kawasan, skor fungsi tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe
tanah, jarak terhadap pusat desa, jarak terhadap jalan, jarak terhadap sungai,
dan jarak terhadap pusat kota.
61
Gambar 27. Hubungan antara skor komposit (X1, X6 dan X8) dengan tingkat kepadatan hotspot
Model regresi antara nilai kepadatan hotspot dan peubah penduganya
(X1,X6, dan X7) memiliki nilai koefisien korelasi sebesar 53,7 %. Koefisien
ketiga peubah ini (Tabel 12) digunakan untuk menduga skor komposit (X1,X6 dan
X7) menggunakan metode CMA.
Tabel 12. Nilai koefisien dan bobot actor penyusun skor komposit model 1
Peubah koefisien Bobot X1 Tutupan lahan 0.006 0.429 X6 Fungsi kawasan 0.007 0.500 X7 Tipe tanah 0.001 0.071
Analisis hubungan antara skor komposit dan kepadatan hotspot
menghasilkan model yang menunjukkan bahwa model polinomial memiliki nilai
koefisien determinasi paling tinggi diantara model power, linear dan
eksponensial yaitu 53,00 %. Hal ini berarti model polinomial dapat
menjelaskan 53,00 % variasi di dalam kepadatan hotspot dan skor komposit.
62
3. Kepadatan hotspot dan skor komposit M2 (X1,X6,X7,dan X8)
Untuk mendapatkan nilai koefisien determinasi yang tinggi dilakukan
beberapa penambahan faktor dengan mempertimbangkan nilai koefisien
determinasi masing‐masing faktor dengan kepadatan hotspot. Model yang
diperoleh di atas yang menyatakan hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7
dan X8) ditambahkan satu faktor lagi untuk menentukan nilai skor kompositnya.
Model yang kedua disusun dengan menggunakan skor komposit (X1,X6,
X7,dan X8), dimana nilai koefiisien determinasi (R2) model regresi keempat
faktor tersebut adalah 54.0 %. Nilai koefisien persamaan regresinya (Tabel 13)
digunakan untuk menghitung nilai skor komposit dengan metode CMA.
Tabel 13. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 2
Peubah Koefisien Bobot X1 Tutupan lahan 0,005 0,294 X6 Fungsi kawasan 0,008 0,471 X7 Tipe tanah 0,001 0,059 X8 Tipe sistem lahan 0,003 0,176
Bobot masing‐masing faktor menunjukkan tingkat pengaruh faktor
tersebut terhadap respon model. Pada model 2 faktor fungsi kawasan memiliki
pengaruh yang relatif lebih besar dibanding faktor lainnya yaitu sebesar 30,4 %.
Perbedaan fungsi kawasan sebagai kawasan hutan produksi maupun kawasan
bukan produksi dapat menentukan kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Fungsi kawasan yang lebih terbuka terhadap akses masyarakat ke
dalamnya, menunjukkan tingkat kepadatan hotspot relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan fungsi kawasan lain, misalnya kawasan dengan fungsi
sebagai HTI. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Purnama dan Jaya (2007)
yang menemukan bahwa peubah aktivitas manusia berupa penggunaan lahan
memiliki bobot lebih tinggi (53,8 %) dibandingkan dengan bobot jarak dari pusat
penduduk (5,4 %). Pada lahan yang berfungsi sebagai HTI berpeluang terjadi
kebakaran karena aktifitas pembukaan lahan untuk HTI maupun aktifitas lain di
sekitar HTI sebagaimana dijelaskan oleh Dun dan Ray 2003 bahwa salah satu
penyebab utama kebakaran hutan dan lahan adalah konversi lahan.
63
Konversi lahan sangat terkait dengan perubahan tutupan lahan,
sehingga faktor tutupan lahan juga cukup berpengaruh terhadap tingkat
kepadatan hotspot dengan tingkat pengaruh sebesar 29,4 % pada model 2. Hasil
ini sesuai dengan penelitian Sunuprapto (2000) yang menunjukkan bahwa faktor
tutupan lahan juga memiliki pengaruh yang paling tinggi dibandingkan dengan
faktor lainnya sebesar 20,6 %. Tutupan lahan dapat dijadikan sebagai indikator
ketersediaan bahan bakar, terutama untuk tipe kebakaran pada permukaan dan
di atas permukaan tanah.
Tipe tanah dalam model ini membedakan antara jenis tanah gambut dan
non gambut. Analisis hubungan tipe tanah dan kepadatan hotspot
menunjukkan perbedaan yang cukup antara tingkat kebakaran di tipe tanah
gambut dan bukan gambut. Dengan demikian dapat diduga bahwa faktor tipe
tanah sangat berpengaruh dalam menentukan kejadian kebakaran hutan dan
lahan terutama pada tipe kebakaran bawah permukaan. Seperti halnya faktor
tipe tanah, maka tipe sistem lahan menjadi faktor yang berpengaruh karena
adanya perbedaan tingkat kepadatan hotspot yang cukup besar antara sistem
lahan yang mengandung gambut dan tidak mengandung gambut.
Analisis hubungan antara skor komposit (X1,X6, X7,dan X8 ) dan
kepadatan hotspot menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien
determinasi paling tinggi yaitu 55,00 % (Gambar 28).
64
Gambar 28. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7 dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2.
4. Kepadatan hotspot dan skor komposit M3 (X1, X3,X4,X6,X7,dan X8)
Untuk mendapatkan model dengan tingkat koefisien determinasi yang
tinggi ditambahkan lagi faktor yang belum digunakan untuk menghitung skor
komposit. Koefisien korelasi model regresi hubungan keenam faktor penyusun
skor komposit adalah 56,7 %; untuk kemudian nilai koefisien masing‐masing
faktor (Tabel 14) digunakan untuk menentukan skor komposit. Skor komposit
yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat kepadatan hotspot.
Tabel 14. Nilai koefisien dan bobot faktor penyusun skor komposit model 3
Peubah Koefisien Bobot
X1 Tutupan lahan 0.006 0.261
X3 Jarak terhadap jaringan jalan 0.002 0.087
X4 Jarak terhadap pusat desa 0.005 0.217
X6 Fungsi kawasan 0.007 0.304
X7 Tipe tanah 0.001 0.043
X8 Tipe sistem lahan 0.002 0.087
Analisis hubungan antara skor komposit dan kepadatan hotspot
menunjukkan bahwa model power memiliki nilai koefisien determinasi paling
65
tinggi yaitu 55.0 % (Gambar 30) sama dibandingkan dengan model 2 (Gambar
29). Penambahan dua faktor tidak meningkatkan koefisien determinasi untuk
model power. Akan tetapi penambahan dua peubah ini memberikan
peningkatan nilai R2 pada model polinomial, dan model linear.
Gambar 29. Hubungan antara skor komposit (X1,X6, X3,X4,X7, dan X8) dan
tingkat kepadatan hotspot per km2. Pada model 3 ini faktor fungsi kawasan masih memiliki pengaruh paling
tinggi yaitu 30,04 %, disusul oleh faktor tutupan lahan (26,1 %) dan faktor jarak
terhadap pusat desa. Pengaruh terendah dimiliki oleh faktor tipe tanah yaitu
sebesar 4,3 %.
5. Kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual
Skor komposit juga dihitung dengan menggunakan skor aktual sebagai
pembanding terhadap skor komposit yang dihitung menggunakan rescalling
score. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa model hubungan antara
kepadatan hotspot dan skor komposit berdasarkan skor aktual memiliki nilai
koefisien determinasi tertinggi sebesar 52,2 % untuk model polinomial, baik
untuk skor komposit yang dihitung dengan menggunakan 4 faktor (M2) dan
66
menggunakan 6 faktor (M3) (Gambar 30 dan Gambar 31). Nilai koefisien
determinasi ini lebih rendah dibandingkan dengan nilai koefisien determinasi
model power, model linear dan model polinomial hubungan antara kepadatan
hotspot dan skor komposit yang dihitung dengan menggunakan rescalling score.
Dengan demikian model ini tidak dapat dipilih untuk menduga tingkat kepadatan
hotspot berdasarkan skor komposit.
Gambar 30. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X3,X4,X7, dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual).
67
Gambar 31. Hubungan antara skor komposit (X1,X6,X7, dan X8) dan tingkat kepadatan hotspot per km2 (skor aktual).
D. Validasi Model
Validasi model dilakukan untuk menguji dan membandingkan antara nilai
kepadatan hotspot hasil observasi dengan nilai kepadatan hotspot berdasarkan
model. Berdasarkan nilai koefisien determinasinya (Tabel 15) maka dipilih dua
model yaitu model 2 (model power dan model polinomial) dan model 3 (model
power dan polinomial).
Tabel 15. Model hubungan antara skor komposit beberapa faktor dan tingkat
kepadatan hotspot Model Skor komposit
(x) Persamaan Koefisien
determinasi (R2) Model 2 4 faktor y = 0,000x1,746 0,550 y = ‐4E‐05x2 + 0,021x ‐ 0,356 0,540 y = 0,016x ‐ 0,229 0,539 y = 0,863ln(x) ‐ 2,713 0,531 Model 3 6 faktor y = 0,000x1,746 0,550 y = ‐4E‐05x2 + 0,021x ‐ 0,356 0,540 y = 0,086e0,032x 0,504 y = 0,016x ‐ 0,229 0,539
68
Faktor tipe penggunaan lahan dan tutupan lahan merupakan faktor yang
memberikan pengaruh paling tinggi yaitu sebesar 29.4 % dan 40.47 % pada
model 2 serta 30,4 % dan 26,1 % pada model 3.
Hasil uji signifikansi model (Tabel 16 dan 17) menunjukkan bahwa tidak
ada perbedaan yang signifikan antara model 2 dan model 3, yang ditunjukkan
oleh nilai Z hitung lebih kecil dari nilai Z kritisnya pada taraf nyata 5 %. Dengan
demikian tingkat kepadatan hotspot dapat diduga dengan menggunakan model 2
dan model 3.
Tabel 16. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2
Nilai dugaan hotspot hasil observasi
Nilai dugaan hotspot hasil model 2
Nilai tengah 0,64 0,61 Varian 0,20 0,11 Jumlah pengamatan 1775 1775 Perbedaan nilai tengah (hipothesis) 0 Z 1,83P(Z<=z) one‐tail 0,03 z Critical one‐tail 1,65 P(Z<=z) two‐tail 0,07 z Critical two‐tail 1,96 Tabel 17. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 3
Nilai dugaan hotspot hasil
observasi Nilai dugaan hotspot
hasil model 3
Nilai tengah 0,64 0,69 Varian 0,21 0,04 Jumlah pengamatan 1775 1775 Perbedaan nilai tengah (hipothesis) 0 Z ‐5,41 P(Z<=z) one‐tail 3,20z Critical one‐tail 1,65 P(Z<=z) two‐tail 6,39 z Critical two‐tail 1,96
69
Tabel 18. Hasil uji z‐Test: Two Sample for Means untuk model 2 dan model 3
Nilai dugaan hotspot hasil model 2
Nilai dugaan hotspot hasil model 3
Nilai tengah 0,61 0,69 Varian 0,11 0,04 Jumlah pengamatan 1775 1775 Perbedaan nilai tengah (hipothesis) 0 Z ‐9,67 P(Z<=z) one‐tail 0 z Critical one‐tail 1,65 P(Z<=z) two‐tail 0 z Critical two‐tail 1,96
E. Uji akurasi model
Model 2 dan model 3 memberikan hasil dugaan kepadatan hotspot yang
tidak berbeda, berdasarkan nilai uji z‐test two sample mean. Dengan demikian
kedua model tersebut dapat diuji akurasinya dengan menghitung matrik
koinsidensinya. Hasil perhitungan matrik koinsidensi kedua model seperti
tertera pada Tabel 19 yang menunjukkan bahwa model 2 lebih akurat dalam
menduga tingkat kepadatan hotspot dengan akurasi 52,56 %. Sedangkan model
3 hanya menghasilkan nilai akurasi sebesar 35,23 %.
Pengkelasan tingkat resiko kebakaran hutan ke dalam 5 kelas
menimbulkan kesulitan dalam membedakan kelas terutama pada kelas resiko
rendah dan tinggi, karena data observasi tidak mengkelaskan ke dalam kedua
kelas tersebut. Oleh karena itu kelas rendah dan kelas tinggi dalam model ini
dimasukkan ke dalam kelas sedang. Sehingga kelas resiko bahaya kebakaran
hutan dan lahan model dibagi ke dalam 3 kelas yaitu kelas sedang, sangat tinggi
dan sangat tinggi sekali. Hasil uji akurasi menunjukkan bahwa pengkelasan ke
dalam tiga kelas meningkatkan akurasi dari 52.56 % menjadi 66.76 % (Tabel 15)
70
Tabel 19. Matrik koinsidensi model terpilih dan hasil observasi
Jumlah peubah Akurasi (%)
3 kelas 5 kelas
4 peubah (M2) 66,76 52.56 %
6 peubah (M3) ‐ 35.23%
F. Implementasi Model
Berdasarkan nilai akurasi antara model 2 dan model 3 (Tabel 19), maka
dipilih model 2 untuk memetakan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan.
Peta kerawanan kebakaran hutan dan lahan (Gambar 32) menunjukkan bahwa
semua daerah dengan kerawanan sangat tinggi sekali (extremely high) berada di
lahan gambut yaitu seluas 85.018,70 ha (0,56 % dari total area studi), sedangkan
area non gambut lebih banyak masuk ke dalam kelas sedang yaitu seluas
7.025.208,798 ha (46,02 % dari area studi). Dengan demikian area yang
termasuk ke dalam kategori sangat rawan sekali yaitu khususnya tipe tanah
gambut harus mendapatkan penanganan yang lebih serius dalam pencegahan
kebakaran hutan dan lahan.
Menurut tipe tutupan lahannya, maka area dengan tipe tutupan lahan
semak seluas 80.708,99 ha (0,53 % total area studi) adalah area dengan tingkat
resiko kebakaran hutan dan lahan paling tinggi (extremely high). Hutan dataran
rendah dan hutan sekunder sebagian besar termasuk ke dalam area dengan
tingkat resiko kebakaran hutan dan lahan sangat tinggi yaitu masing‐masing
seluas 3.510.057,76 ha (22,9 % dari total area studi) dan 2.573.676,68 ha (16,86 % total
area studi). Tipe hutan pegunungan yang berada di bagian utara propinsi
Kalimantan Tengah (Gambar 33) merupakan area dengan tingkat resiko
kebakaran paling rendah yaitu tingkat sedang. Area dengan tingkat resiko paling
rendah terluas berada di tutupan lahan ladang yaitu seluas 3.232.277,76 ha (21,17
% dari luas area studi).
71
Gambar 32. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (5 kelas)
72
Berdasarkan fungsi kawasannya. maka fungsi hutan produksi merupakan
area paling terluas yaitu 3.264.012,86 ha atau 21.38% dari area studi dengan
tingkat kerawanan sangat tinggi, sebaliknya kawasan HPP paling kecil luasanya
hanya 1.175,37 ha yang masuk kelas resiko tinggi sekali. Sedangkan kawasan
yang berfungsi sebagai KGT seluas 666.045,16 ha merupakan area dengan resiko
kebakaran paling tinggi yaitu sangat tinggi sekali (0,44 % dari area studi).
Sedangkan fungsi kawasan yang termasuk ke dalam kelas kerawanan paling
rendah adalah kawasan PPK, KM, cagar alam dan PPH dimana semua area
terkelaskan ke dalam tingkat resiko sedang.
Jika dilihat dari tipe sistem lahannya, maka tiga sistem lahan yang sangat
rentan terhadap bahaya kebakaran adalah sistem lahan deeper peat swamp,
shallow peat, dan shallower peat. Hal ini ditunjukkan oleh model yang disusun,
dimana seluruh kawasan dengan tingkat resiko sangat tinggi sekali berada di tiga
sistem lahan tersebut yaitu deeper peat swamp (8.188,44 ha atau 0,54 %), shallow
peat (1.958,96 ha atau 0,01 % ) dan shallower peat (1.175,37 ha atau 0,01).
73
Gambar 33. Peta tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan wilayah Kalimantan Tengah (3 kelas)
74
Gambar 34. Kondisi tutupan lahan di area bekas terbakar pada area dengan tingkat kerawanan sangat tinggi sekali.
Lokasi : Kecamatan Jabiren, eks kawasan PLG, sampel PP07
Lokasi : Sekitar Tumbang Nusa, sampel PP08
Lokasi : Kecamatan Bukit Rawi, sampel BR1
Lokasi : Sekitar Tumbang Nusa, sampel PP09
75
G. Kerusakan area bekas kebakaran
Pada umumnya area bekas kebakaran mengalami kerusakan tegakan cukup
serius. Beberapa lokasi sampel bekas kebakaran yang berada pada area dengan
tingkat kerawanan sangat tinggi sekali tertera pada Gambar 34, sebagian besar sudah
ditumbuhi semak belukar dan anakan galam. Sedangkan area yang pernah mengalami
kebakaran hebat pada tahun 1998, sebagian pohon bekas terbakar sudah bertunas
(Gambar 35 a) dan ada juga pohon yang mengalami mati hangus (Gambar 35 b).
Kondisi seperti ini paling sering ditemukan di area bekas kebakaran gambut.
Gambar 35. Kondisi vegetasi bekas terbakar di area bekas kebakaran (a). Pohon terbakar bertunas kembali (hidup merana), dan
(b) . Pohon mati hangus
76
Gambar 36. Hubungan antara persentase pohon hidup sehat di area bekas kebakaran dengan jumlah hotspot
Grafik hubungan antara tingkat kerusakan (persentase jumlah pohon hidup
sehat) seperti tertera pada Lampiran 9 dengan kepadatan hotspot (Gambar 36) tidak
menunjukkan pola yang teratur, sehingga tingkat kerusakan tidak dapat diduga dengan
menggunakan tingkat kepadatan hotspot. Hal ini berarti tingkat kepadatan hotspot
tidak dapat menggambarkan kerusakan akibat kebakaran hutan dan lahan. Pola
hubungan antara tingkat kerusakan area bekas kebakaran kebakaran dengan jumlah
hotspot hanya memiliki koefisien determinasi sebesar 1,2 % saja, sehingga model ini
tidak dapat digunakan.
Akan tetapi berdasarkan hasil overlay antara peta tingkat kerusakan tegakan
dan peta tingkat kerusakan tegakan model (Gambar 37) menunjukkan bahwa area
dengan tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sebesar 99,14% berada di area
yang merupakan area dengan tingkat kerusakan sangat berat. Demikian juga dengan
area tingkat kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extreme high risk) berada di
area dengan tingkat kerusakan vegetasi sangat berat juga.
77
Gambar 37. Peta tingkat kerusakan tegakan hasil analisis data lapangan
78
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Faktor‐faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah tipe sistem
lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah dan fungsi kawasan.
2. Model yang disusun oleh faktor tipe sistem lahan, tipe tutupan lahan, tipe tanah
dan fungsi kawasan memiliki koefisien determinasi yang cukup (54 %), dan dapat
digunakan untuk menduga kepadatan hotspot per km2.
3. Model kerawanan kebakaran hutan dan lahan dengan menggunakan empat
faktor memiliki akurasi sebesar 66,76 % untuk pengkategorian ke dalam tiga
kelas, dan 52,6 % untuk pengkategorian ke dalam lima kelas
4. Tipe tutupan lahan memiliki bobot 29,4 persen dalam menentukan tingkat kejadian
kebakaran hutan dan lahan (kepadatan hotpsot).
5. Besarnya curah hujan memiliki pengaruh terhadap jumlah hotspot (tingkat
kerawanan kebakaran hutan dan lahan), dengan nilai koefisien determinasi
sebesar 66,7 %.
6. Tingkat kepadatan hotspot kurang berpengaruh terhadap tingkat kerusakan
tegakan, dimana nilai koefisien determinasinya hanya sebesar 1,7 %.
7. Sebesar 99,14 % area model dengan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan
lahan sangat tinggi dan 93,88 % area dengan tingkat kerawanan kebakaran
sangat tinggi sekali berada pada area dengan tingkat kerusakan tegakan bekas
kebakaran sangat berat.
B. Saran
Hasil pemetaan tingkat kerawanan kebakaran hutan dan lahan menunjukkan bahwa
seluruh area dengan tipe tanah gambut merupakan daerah dengan tingkat
kerawanan kebakaran sangat tinggi sekali (extremely high risk). Oleh karena itu
disarankan untuk melakukan penelitian yang mendalam, dengan menambahkan
faktor ketebalan gambut untuk mengetahui perbedaan tingkat kerawanan
kebakaran hutan dan lahan berdasarkan ketebalan gambut.
79
DAFTAR PUSTAKA
Arianti I. 2006. Pemodelan Tingkat Dan Zona Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Sistem Informasi Geografis Di Sub Das Kapuas Tengah Propinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Aronoff S. 1997. Geographic Information System: A Management Perpective. WDL Publications. Ottawa. Canada.
Booyanuphap J. 2001. GIS Based‐Method in Developing Wildfire Risk Model: A Case Study in Sasamba, East Kalimantan, Indonesia [Thesis]. Bogor: Graduated Program, Bogor Agricultural University.
Brown AA, and KP Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. McGraw‐Hill Company. New York.
Burrough PA, 1986. Principles of Geographical Information Systems for Land Resources Assessment. Clarendon Press. Oxford.
Chandler C, P Cheney, P Thomas P, L Trabaud L, D Williams. 1983. Fire in Forestry Vol. I. Jhon Wiley and Sons. Canada.
Chuvieco E, and Salas F J. 1996. Mapping the Spatial Distribution of Forest Fire Danger Using GIS. Int. Jour. Geographical Information System. Vol. 10(3), p.333‐345.
Clar, C.R. and L.R. Chatten. 1954. Principles of Forest Fire Management. Department of Natural Resources Division of Forestry. California. 200 pp.
Danny W. 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi dengan Kebakaran di Hutan Propinsi Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor. 33 hal.
Davis, K.P. 1959. Forest Fire: Control and Use. McGraw‐Hill Book Company, Inc. New York. 583 pp.
De Bano LF, DG Neary, and PF Folliot. 1998. Fire’s Effects on Ecosystem. Jhon Willey and Sons. USA
de By RA. 2001. Principles of Geographic Information Sistems, An introductory textbook. ITC. Enschede.
FAO. (2000, 6‐03‐2001). Legal and institutional framework for SFM. FAO. Retrieved 14‐07‐2003, 2003, from the World Wide Web: http://www.fao.org/forestry/fo/country/index.jsp?geo_id=82&lang_id=1
FAO. (2001). Deforestation continues at a high rate in tropical areas; FAO calls upon countries to fight forest crime and corruption. FAO. Retrieved 10‐07‐2003, 2003, from the World Wide Web: http:// www.fao.org/WAICENT/OIS/PRESS_NE/PRESSENG/2001/pren0161.htm
80
FFPMP2 Forest Fire Prevention Management Project 2. 2004. Sistem Deteksi dan Peringatan Dini. http://ffpmp2.hp.infoseek.co.jp/earlypageindo.htm [23 April 2004]
Ganz, D. 2002. Framing Fires: A country‐by‐Country Analysis of Forest and Land Fires in the ASEAN nations. Project Fire Fight South Asia. Jakarta, Indocina: 81 pp.
G van Veen, ISDP dan A van den Eelaart. 1998. Notes on the sustainable utilization of peat soils dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura
Glover, D dan T. Jessup. 2002. Mahalnya Harga Sebuah Bencana; Kerugian Lingkungan/Alibat Kebakaran dan Asap di Indonesia. Penerbit ITB. Bandung.
Hadi, M. 2006. Pemodelan spasial kerawanan kebakaran di lahan gambut : studi kasus kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Harahap AJ, dan L Hutagalung. 1998. Status Tanah Gambut di Sumatera Utara dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura.
Hardy, Colin c. Wildland fire hazard and risk: Problem, definition, and context. Forest Ecology and Management 211 (2005) 73‐82.
Hidayat AD, Kushardono W, Asriningrum, A Zubaedah dan I Effendy. 2003. Laporan Verifikasi dan Validasi Metode Pemantauan Mitigasi Bencana Kebakaran Hutan dan Kekeringan. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh‐LAPAN
Jaya INS, R Boer and Samsuri. 2007. Developing Fire Risk Index in Central Kalimantan. International Research Institute and Bogor Agricultural University. A Project Repport
Kusmana C, BI Setiawan, Istomo, DR Nurrohmat, S Hardjoamidjojo. 2008. Menumbuhkembangkan Implementasi Hutan Tanaman di Indonesia. Departemen Silvikultur‐Fakultas Kehutanan IPB.
LAPAN. Lembaga Atariksa dan Penerbangan Nasional. 2004. Model prediksi dampak el nino/la nina untuk mitigasi bencana kabakaran hutan. http://lapanrs.com/INOVS/IDE2_/view_doc?doc_id=35
Murdiyarso and Adiningsih. 2006. Climate anomalies, Indonesian vegetation fires and terrestrial carbon emissions. Journal Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, Vol XII, No 1, Januari 2007. Springer Netherlands. http://www.springerlink.com/content/p333n657732k0p27/. 2 December 2007
Mutaqin, AIZ. 2008. Aplikasi Sistem Informasi Geografis dalam pemetaan peluang kebakaran hutan dan lahan di kabupaten Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Program Studi Diploma D1 Teknologi
81
Perlindungan Sumberdaya Hutan, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB.
Noor M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius: Jakarta
PFFSEA. 2003. Membakar Lahan Gambut Sama Artinya dengan Membuat Polusi Asap. 3:5. http:///www.pffsea.com
B.J. Pratondo. 2007. Kajian Pembangunan Infrastruktur dan Spasial Nasional (DSN) untuk Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Studi Kasus di Kabupaten Sanggau Kalimantan Barat) [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Purnama, ES. dan INS Jaya. 2007. Pemodelan Spasial Kerawanan Kebakaran Hutan dan Lahan Menggunakan Teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh: Studi Kasus di Propinsi Riau. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Volume XIII, No. 1 Januari‐April 2007: 84‐97.
Rahayu B. 1998. Teknologi Pengendalian Air Gambut dalam Prosiding Seminar Lahan Gambut. Universitas Tanjungpura
Runkel M. and I Bayer. 1991. Application of Remote Sensing and Geographical Information Sistems in Managing Tropical Rainforests and Conserving Natural Resources in the Asean Region. German Foundation for International Development. Feldafing.
Soewarso. 2003. Penyusunan Pencegahan Kebakaran Hutan Rawa Gambut dengan Menggunakan Model Prediksi [disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sunuprapto H. 2000. Forest Fire Monitoring and Damage Assesment Using Remotely Sensed Data and Geographical Information System (A Case Study in South Sumatera Indonesia). [Thesis]. Enschede The Netherland: International Institute for Aero Survey and Earth Science (ITC) .
Suratmo FG, EA Husaini dan INS Jaya. 2003. Pengetahuan Dasar Pengendalian Kebakaran Hutan. Fakultas Kehutanan IPB.
Syaufina L, AA Nuruddin, J Basyarudin, LF See and MRM Yusof. 2004. The Effect of Climatic Variation on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility. Journal of Tropical Forest Management. Vol X, No. 1: 1‐14.
Syaufina L. 2002. The Effect of Climate Variation on Peat Swamp Forest Condition and Peat Combustibility [ Doctoral Thesis]. Faculty of Forestry Universiti Putra Malaysia. Malaysia. Universiti Putra Malaysia.
Thoha, AS. 2006. Penggunaan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis untuk Deteksi dan Prediksi Kebakaran Gambut di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau {tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
82
Wetlands International. 2006. Laporan Akhir (Final Report) Climate Change, Forest and Peatlands in Indonesia Komponen Kalimantan Tengah. Wetlands International‐Indonesia Program
World Wild Foundation. Fire Buletin. End of Year Special Edition. Published 18 January 2007. [Akses tanggal 4 Agustus 2007]
World Wild Foundation. Fire Buletin. No.32/2003. Published 13‐11‐2003. [Akses tanggal 4 Agustus 2007]
Wright, H.A and A.W. Bailey. 1982. Fire Ecology, United Stated and Southern Canada. John Wiley and Sons. New York. 501 pp.
83
Lampiran 1. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tutupan lahan
Tutupan lahan HD/km2 HD/ha Luas %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
Perkebunan 0,1835 0,0018 112.791 0,067 207 322 0,643 10,558 10,895 10,00 Terbuka 0,1841 0,0018 33.563 0,020 62 96 0,645 10,592 11,132 11,28Ladang 0,2605 0,0026 687.214 0,406 1.790 1.962 0,912 14,988 12,921 20,92Hutan dataran rendah 0,2913 0,0029 728.653 0,431 2.123 2.081 1,020 16,760 16,262 38,92 Hutan sekunder 0,3107 0,0031 4.589 0,003 14 13 1,088 17,876 21,155 65,28 Semak belukar 0,5080 0,0051 125.006 0,074 635 357 1,779 29,227 27,600 100,00 Jumlah 1,7381 0,0174 1.691.816 1,00 4.831 4.831 6,0871 100,00 10,895 Rata‐rata 0,4966 0,0050 483.376 0,29 1.380 1.380 1,7392 28,57 27,600
84
Lampiran 2 Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan sungai.
Jarak sungai (km)
HD/km2 HD/ha Luas (ha) %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
1 0,278 0,003 740.084 0,437 2.059 2.145 0,960 8,290 9,620 100,00
2 0,316 0,003 317.963 0,188 1.006 922 1,091 9,426 9,328 96,04
3 0,327 0,003 195.085 0,115 639 565 1,129 9,754 9,008 91,70
4 0,313 0,003 137.971 0,082 432 400 1,080 9,324 8,660 86,98
5 0,295 0,003 99.927 0,059 294 290 1,016 8,776 8,284 81,88
6 0,269 0,003 68.536 0,041 185 199 0,929 8,028 7,880 76,40
7 0,257 0,003 47.855 0,028 123 139 0,885 7,644 7,448 70,54
8 0,249 0,002 31.637 0,019 79 92 0,859 7,420 6,988 64,30
9 0,214 0,002 16.498 0,010 35 48 0,738 6,374 6,500 57,69
10 0,152 0,002 10.508 0,006 16 30 0,526 4,542 5,984 50,69
11 0,161 0,002 8.065 0,005 13 23 0,556 4,801 5,440 43,31
12 0,149 0,001 8.574 0,005 13 25 0,515 4,446 4,868 35,55
13 0,125 0,001 6.754 0,004 8 20 0,431 3,725 4,268 27,41
14 0,125 0,001 2.153 0,001 3 6 0,431 3,725 3,640 18,90
15 0,125 0,001 205 0,000 0 1 0,431 3,725 2,984 10,00
Jumlah 3,356 0,034 1.691.816 1,00 4.904 4.904 11,5772 100,00 2,984
Rata‐rata 0,419 0,004 211.477 0,13 613 613 1,4472 12,50 9,620
85
Lampiran 3. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap jaringan jalan
Jarak jalan (km)
HD/km2 HD/ha Luas (ha) %luas oi ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
1 0,2524 0,003 140.092 0,0828 354 403 0,878 2,673 6,320 100,00 2 0,2553 0,003 133.585 0,0790 341 384 0,889 2,704 6,025 95,25 3 0,2792 0,003 116.148 0,0687 324 334 0,972 2,957 5,738 90,62 4 0,2923 0,003 109.484 0,0647 320 315 1,017 3,096 5,459 86,13 5 0,2932 0,003 103.022 0,0609 302 296 1,020 3,105 5,188 81,76 6 0,3235 0,003 95.091 0,0562 308 273 1,126 3,426 4,925 77,53 7 0,3995 0,004 85.308 0,0504 341 245 1,390 4,231 4,670 73,42 8 0,4373 0,004 78.194 0,0462 342 225 1,522 4,631 4,423 69,44 9 0,4097 0,004 76.743 0,0454 314 220 1,426 4,339 4,184 65,59 10 0,3809 0,004 70.239 0,0415 268 202 1,326 4,034 3,953 61,87 11 0,3419 0,003 63.679 0,0376 218 183 1,190 3,621 3,730 58,28 12 0,3178 0,003 61.281 0,0362 195 176 1,106 3,366 3,515 54,81 13 0,2978 0,003 57.946 0,0343 173 166 1,036 3,154 3,308 51,48 14 0,3001 0,003 55.145 0,0326 165 158 1,044 3,178 3,109 48,27 15 0,3368 0,003 46.642 0,0276 157 134 1,172 3,567 2,918 45,20 16 0,3588 0,004 37.222 0,0220 134 107 1,249 3,800 2,735 42,25 17 0,2857 0,003 34.913 0,0206 100 100 0,994 3,026 2,560 39,43 18 0,2039 0,002 31.959 0,0189 65 92 0,710 2,159 2,393 36,74 19 0,1593 0,002 29.431 0,0174 47 85 0,554 1,687 2,234 34,18 20 0,1467 0,001 27.237 0,0161 40 78 0,511 1,554 2,083 31,75 21 0,1315 0,001 25.897 0,0153 34 74 0,458 1,393 1,940 29,44 22 0,1408 0,001 24.043 0,0142 34 69 0,490 1,491 1,805 27,27 23 0,1634 0,002 20.630 0,0122 34 59 0,569 1,731 1,678 25,22 24 0,1727 0,002 18.584 0,0110 32 53 0,601 1,829 1,559 23,31 25 0,1833 0,002 17.488 0,0103 32 50 0,638 1,941 1,448 21,52 26 0,1651 0,002 18.020 0,0107 30 52 0,575 1,749 1,345 19,86 27 0,1593 0,002 16.481 0,0097 26 47 0,554 1,687 1,250 18,33 28 0,1553 0,002 15.289 0,0090 24 44 0,541 1,645 1,163 16,93 29 0,1334 0,001 11.070 0,0065 15 32 0,464 1,413 1,084 15,65 30 0,1287 0,001 10.047 0,0059 13 29 0,448 1,363 1,013 14,51 31 0,1401 0,001 8.951 0,0053 13 26 0,488 1,484 0,950 13,50 32 0,1462 0,001 8.207 0,0049 12 24 0,509 1,548 0,895 12,61 33 0,1326 0,001 7.451 0,0044 10 21 0,462 1,404 0,848 11,85 34 0,1341 0,001 6.558 0,0039 9 19 0,467 1,420 0,809 11,22 35 0,1330 0,001 5.745 0,0034 8 17 0,463 1,409 0,778 10,72 36 0,1285 0,001 5.167 0,0031 7 15 0,447 1,361 0,755 10,35 37 0,1250 0,001 4.316 0,0026 5 12 0,435 1,324 0,740 10,11 38 0,1250 0,001 3.588 0,0021 4 10 0,435 1,324 0,733 10,00 39 0,1250 0,001 2.983 0,0018 4 9 0,435 1,324 0,734 10,02 40 0,1250 0,001 2.655 0,0016 3 8 0,435 1,324 0,743 10,16 41 0,1250 0,001 2.262 0,0013 3 6 0,435 1,324 0,760 10,43 42 0,1471 0,001 1.664 0,0010 2 5 0,512 1,558 0,785 10,84 43 0,1250 0,001 981 0,0006 1 3 0,435 1,324 0,818 11,37 44 0,1250 0,001 378 0,0002 0 1 0,435 1,324 0,859 12,03
Jumlah 9,442 0,094 1.691.816 1,00 4.861 4.861 32,864 100,00 0,733 Rata‐rata 0,420 0,004 75.192 0,04 216 216 1,461 4,44 6,320
86
Lampiran 4. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat desa
Jarak desa (km)
HD/km2 HD/ha Luas %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
1 0,195 0,002 34.697 0,021 68 99 0,6816 2,3624 8,013 100,002 0,192 0,002 96.178 0,057 184 276 0,6683 2,3164 7,610 94,803 0,212 0,002 122.021 0,072 258 350 0,7385 2,5596 7,219 89,754 0,235 0,002 125.987 0,074 296 361 0,8194 2,8402 6,840 84,855 0,264 0,003 125.455 0,074 331 359 0,9203 3,1898 6,473 80,116 0,306 0,003 112.850 0,067 346 323 1,0693 3,7063 6,118 75,537 0,363 0,004 98.651 0,058 358 283 1,2651 4,3849 5,775 71,108 0,390 0,004 92.396 0,055 360 265 1,3600 4,7139 5,444 66,839 0,404 0,004 89.154 0,053 360 255 1,4103 4,8881 5,125 62,7110 0,426 0,004 81.217 0,048 346 233 1,4874 5,1554 4,818 58,7411 0,405 0,004 74.162 0,044 300 213 1,4127 4,8966 4,523 54,9412 0,347 0,003 69.776 0,041 242 200 1,2114 4,1986 4,240 51,2813 0,312 0,003 64.379 0,038 201 184 1,0875 3,7692 3,969 47,7814 0,291 0,003 58.344 0,034 170 167 1,0159 3,5212 3,710 44,4415 0,321 0,003 54.151 0,032 174 155 1,1192 3,8793 3,463 41,2516 0,334 0,003 51.436 0,030 172 147 1,1656 4,0402 3,228 38,2117 0,353 0,004 47.382 0,028 167 136 1,2316 4,2688 3,005 35,3318 0,308 0,003 41.176 0,024 127 118 1,0735 3,7208 2,794 32,6119 0,233 0,002 37.380 0,022 87 107 0,8146 2,8233 2,595 30,0420 0,169 0,002 33.367 0,020 56 96 0,5884 2,0394 2,408 27,6321 0,149 0,001 27.396 0,016 41 78 0,5204 1,8036 2,233 25,3722 0,143 0,001 24.160 0,014 35 69 0,4991 1,7298 2,070 23,2623 0,130 0,001 21.654 0,013 28 62 0,4519 1,5665 1,919 21,3124 0,135 0,001 19.816 0,012 27 57 0,4715 1,6342 1,780 19,5225 0,143 0,001 16.642 0,010 24 48 0,4987 1,7286 1,653 17,88
87
Lampiran 4. (lanjutan)
Jarak desa (km)
HD/km2 HD/ha Luas %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
26 0,135 0,001 14.010 0,008 19 40 0,4704 1,6306 1,538 16,3927 0,125 0,001 12.179 0,007 15 35 0,4362 1,5120 1,435 15,0628 0,125 0,001 10.578 0,006 13 30 0,4362 1,5120 1,344 13,8929 0,125 0,001 7.428 0,004 9 21 0,4362 1,5120 1,265 12,8730 0,125 0,001 6.624 0,004 8 19 0,4362 1,5120 1,198 12,0031 0,125 0,001 5.907 0,003 7 17 0,4362 1,5120 1,143 11,2932 0,125 0,001 4.741 0,003 6 14 0,4362 1,5120 1,100 10,7433 0,125 0,001 3.661 0,002 5 10 0,4362 1,5120 1,069 10,3434 0,125 0,001 2.910 0,002 4 8 0,4362 1,5120 1,050 10,0935 0,125 0,001 1.971 0,001 2 6 0,4362 1,5120 1,043 10,0036 0,125 0,001 1.485 0,001 2 4 0,4362 1,5120 1,048 10,0637 0,125 0,001 494 0,000 1 1 0,4362 1,5120 1,065 10,28
Jumlah 8,267 0,083 1.691.816 1,00 4.848 4.848 28,85 100,00 1,043 Rata‐rata 0,223 0,002 45.725 0,03 131,02 131,02 0,78 2,70 8,013
88
Lampiran 5. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor jarak terhadap pusat kota
Jarak kota (km)
HD/km2 HD/ha Hektar %luas Ei Oi Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
1 0,166 0,002 3.834 0,0023 6 11 1,729 2,830 0,779 10,002 0,164 0,002 13.350 0,0079 22 38 1,751 2,866 0,803 10,783 0,176 0,002 27.137 0,0160 48 78 1,631 2,669 0,828 11,594 0,192 0,002 37.403 0,0221 72 108 1,497 2,450 0,853 12,435 0,192 0,002 41.240 0,0244 79 119 1,502 2,457 0,879 13,286 0,185 0,002 49.587 0,0293 92 143 1,554 2,542 0,906 14,177 0,185 0,002 54.780 0,0324 102 158 1,553 2,541 0,934 15,088 0,213 0,002 53.862 0,0318 115 155 1,351 2,211 0,962 16,029 0,259 0,003 51.283 0,0303 133 148 1,111 1,819 0,991 16,9910 0,298 0,003 48.631 0,0287 145 140 0,964 1,578 1,022 17,9911 0,297 0,003 48.055 0,0284 143 138 0,969 1,586 1,053 19,0112 0,340 0,003 49.639 0,0293 169 143 0,846 1,384 1,085 20,0713 0,355 0,004 52.802 0,0312 187 152 0,811 1,327 1,118 21,1714 0,406 0,004 54.274 0,0321 220 156 0,708 1,159 1,153 22,2915 0,414 0,004 54.440 0,0322 225 157 0,695 1,137 1,188 23,4516 0,403 0,004 57.164 0,0338 230 164 0,714 1,168 1,224 24,6517 0,368 0,004 59.799 0,0353 220 172 0,783 1,281 1,262 25,8818 0,328 0,003 60.291 0,0356 198 173 0,876 1,434 1,300 27,1519 0,331 0,003 60.330 0,0357 200 174 0,868 1,421 1,340 28,4620 0,341 0,003 57.025 0,0337 195 164 0,843 1,380 1,381 29,8121 0,342 0,003 52.716 0,0312 180 152 0,842 1,378 1,423 31,2022 0,316 0,003 52.382 0,0310 166 151 0,909 1,488 1,467 32,6323 0,305 0,003 49.458 0,0292 151 142 0,945 1,546 1,512 34,1124 0,272 0,003 47.679 0,0282 130 137 1,058 1,731 1,558 35,6325 0,252 0,003 42.798 0,0253 108 123 1,140 1,865 1,606 37,19
89
Lampiran 5. (lanjutan)
Jarak kota (km)
HD/km2 HD/ha Hektar %luas Ei Oi Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
26 0,233 0,002 40.761 0,0241 95 117 1,234 2,019 1,655 38,8127 0,237 0,002 39.009 0,0231 93 112 1,213 1,985 1,705 40,4828 0,267 0,003 35.878 0,0212 96 103 1,076 1,761 1,758 42,1929 0,285 0,003 35.531 0,0210 101 102 1,010 1,653 1,811 43,9630 0,262 0,003 35.215 0,0208 92 101 1,099 1,799 1,867 45,7831 0,246 0,002 35.411 0,0209 87 102 1,168 1,912 1,924 47,6632 0,242 0,002 34.294 0,0203 83 99 1,188 1,944 1,983 49,6033 0,247 0,002 33.415 0,0198 83 96 1,165 1,907 2,043 51,5934 0,284 0,003 33.434 0,0198 95 96 1,013 1,907 2,106 53,6535 0,298 0,003 32.598 0,0193 97 94 0,966 1,907 2,170 55,7736 0,302 0,003 28.156 0,0166 85 81 0,954 1,907 2,237 57,9537 0,294 0,003 23.260 0,0137 68 67 0,978 1,907 2,305 60,2138 0,253 0,003 18.424 0,0109 47 53 1,135 1,907 2,375 62,5239 0,286 0,003 13.680 0,0081 39 39 1,007 1,907 2,448 64,9240 0,361 0,004 11.800 0,0070 43 34 0,797 1,907 2,523 67,3841 0,358 0,004 10.348 0,0061 37 30 0,803 1,907 2,600 69,9242 0,245 0,002 8.757 0,0052 21 25 1,174 1,907 2,680 72,5443 0,162 0,002 7.492 0,0044 12 22 1,772 2,899 2,762 75,2344 0,135 0,001 6.550 0,0039 9 19 2,125 3,477 2,846 78,0145 0,125 0,001 5.236 0,0031 7 15 2,302 3,767 2,933 80,8846 0,125 0,001 4.949 0,0029 6 14 2,302 3,767 3,023 83,8347 0,136 0,001 4.383 0,0026 6 13 2,123 3,475 3,115 86,8748 0,177 0,002 4.207 0,0025 7 12 1,626 2,660 3,211 90,0149 0,239 0,002 3.870 0,0023 9 11 1,203 1,969 3,309 93,2450 0,245 0,002 3.193 0,0019 8 9 1,173 1,920 3,410 96,5751 0,339 0,003 2.008 0,0012 7 6 0,849 1,390 3,514 100,00
Jumlah 13,49 0,13 1.691.816 1,00 4.868 4.868 61,11 102,71 0,78 Rata‐rata 0,26 0,00 33.172,87 0,02 95 95 1,20 2,01 3,51
90
Lampiran 6. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor fungsi kawasan
status HD/km2 HD/ha Luas %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
PPH 0,1250 0,0013 779 0,000 1 2 0,446 2,895 2,295 10,00 PPK 0,1250 0,0013 146 0,000 0 0 0,446 2,895 2,599 12,53 TW 0,1250 0,0013 3.437 0,002 4 10 0,446 2,895 2,944 15,40 KEAH 0,1377 0,0014 20.090 0,012 28 56 0,492 3,190 3,334 18,64 KHR 0,1493 0,0015 87.136 0,052 130 244 0,533 3,458 3,776 22,32 KPPL 0,1939 0,0019 77.841 0,046 151 218 0,693 4,491 4,277 26,48 DS 0,2019 0,0020 16.315 0,010 33 46 0,721 4,677 4,844 31,20 HPT 0,2108 0,0021 206.717 0,122 436 579 0,753 4,883 5,487 36,54 HP 0,2520 0,0025 394.239 0,233 993 1.104 0,900 5,837 6,214 42,59 KPP 0,2570 0,0026 444.399 0,263 1.142 1.244 0,918 5,953 7,039 49,44 KFF 0,3130 0,0031 77.286 0,046 242 216 1,118 7,250 7,972 57,20 T1 0,3350 0,0034 53.304 0,032 179 149 1,196 7,760 9,029 65,99 KH 0,4171 0,0042 102.778 0,061 429 288 1,490 9,662 10,227 75,95 KGT 0,4398 0,0044 197.709 0,117 870 554 1,571 10,187 11,583 87,23 HTI 1,0346 0,0103 9.641 0,006 100 27 3,695 23,965 13,119 100,00 Jumlah 4,317 0,043 1.691.816 1,00 4.737 4.737 15,419 100,00 2,295 Rata‐rata 0,540 0,005 211.477 0,13 592 592 1,927 12,50 13,119
91
Lampiran 7. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe tanah
Tipe tanah HD/km2 HD/ha Luas %luas Oi Ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
Non gambut 0,2181 0,002 571.918 0,338 1.247 1.659 0,752 40,018 40,0 10,00
Gambut 0,3269 0,003 1.119.898 0,662 3.661 3.249 1,127 59,982 60,0 100,00
Jumlah 0,545 0,005 1.691.816 1,00 4.908 4.908 1,879 100,00 40,0
Rata‐rata 0,3633 0,0036 1.127.877 0,67 3.272 3.272 1,2524 66,67 60,0
92
Lampiran 8. Skor masing‐masing sub faktor pada faktor tipe sistem lahan
Tipe sistem lahan
HD/km2 HD/ha Luas (ha) % luas oi ei Oi/Ei Skor aktual
Skor dugaan
skor Rescale
Alluvial fans and mountain
0,1250 0,0013 258 0,0002 0 1 0,434 4,55 4,1330 10,00
Back swamps 0,1250 0,0013 674 0,0004 1 2 0,434 4,55 4,2980 11,52
Meander belt 0,1250 0,0013 1.966 0,0012 2 6 0,434 4,55 4,5810 14,13Sedimentary ridges
0,1250 0,0013 743 0,0004 1 2 0,434 4,55 4,9820 17,82
Inter‐tidal mudflat
0,1250 0,0013 132 0,0001 0 0 0,434 4,55 5,5010 22,60
Minor valley floors
0,1464 0,0015 18.700 0,0111 27 54 0,509 5,33 6,1380 28,47
Coalescent estuarine
0,1688 0,0017 341.576 0,2019 577 983 0,586 7,05 6,8930 35,43
Permanently waterlogged
0,2404 0,0024 24.403 0,0144 59 70 0,835 8,76 7,7660 43,47
Shallower peat 0,2717 0,0027 159.192 0,0941 433 458 0,944 9,90 8,7570 52,60Undulating sandy
0,2899 0,0029 208.543 0,1233 605 600 1,007 10,42 9,8660 62,82
Shallow peat 0,3005 0,0030 536.670 0,3172 1613 1545 1,044 10,95 11,0930 74,13Swampy floodplains
0,3082 0,0031 20.359 0,0120 63 59 1,070 11,23 12,4380 86,52
Deeper peat swamps
0,3938 0,0039 378.599 0,2238 1491 1090 1,368 14,35 13,9010 100,00
Jumlah 2,7447 0,0274 1.691.816,14 1,00 4.870,79 4.870,79 9,5334 101 4,1330 Rata‐rata 0,3921 0,0039 241.688,02 0,14 695,83 695,83 1,3619 14,39 13,9010
93
Lampiran 9. Data hasil pengukuran vegetasi di area bekas terbakar
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse
Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
1 PKY01 Pemukiamn Semak 113.918 -2.270 Ringan Akasia Acacia mangium Akasia Acacia mangium 2 TKL01 2007 Hutan Ladang 113.765 -2.030 Akasia Acacia mangium Sangat berat Akasia Acacia mangium 3 TKL02 2006 Hutan Hutan 113.765 -2.031 Gerunggang Cratoxylon sp. 4 TKL03 2006 Hutan Hutan 113.764 -2.035 Akasia Acacia mangium Ringan Akasia Acacia mangium
5 TKL04 2007 Hutan Hutan campuran 113.767 -2.036 Gerunggang Cratoxylon sp. Sangat berat
Gerunggang Cratoxylon sp. 6 TKL05 2005 Hutan Persemaian 113.765 -2.031 Gerunggang Cratoxylon sp. Sangat berat Gerunggang Cratoxylon sp. Gerunggang Cratoxylon sp. Gerunggang Cratoxylon sp. Gerunggang Cratoxylon sp. Gerunggang Cratoxylon sp. 7 TKL06 2005 Hutan Semak 113.762 -2.038 Tumih Sedang Tumih 8 TKL07 2005 Hutan Ladang 113.768 -2.039 9 TKL08 2007 Hutan Hutan gelam Galam Eugenia sp. 113.770 -2.050 Galam Eugenia sp.
10 TKL09 2006 Hutan Ladang 113.766 -2.060 Gerunggang Cratoxylon sp. Ringan 11 PKY02 2006 Hutan Ladang 113.766 -2.260
94
Lampiran 9. (lanjutan)
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse
Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
12 PKY03 2006 Hutan Ladang 113.872 -2.252 13 PKY04 2006 Hutan Ladang 113.864 -2.24114 PKY05 2006 Hutan Ladang 113.954 -2.277 Tumih Sangat berat 2006 Tumih
15 PKY06 2006 Hutan Ladang 113.989 -2.280 16 PP01 2006 Hutan Semak 114.106 -2.029 17 PP02 2006 Hutan Semak 114.129 -2.363 18 PP03 2006 Hutan Hutan gelam 114.301 -2.698 Galam Eugenia sp. Sangat berat Galam Eugenia sp.
19 PP04 2006 Hutan Anakan galam 114.201 -2.649 20 PP06 2006 Hutan Anakan galam 114.185 -2.632 21 PP07 2006 Hutan Kebun karet 114.176 -2.631
22 PP08 2006 Hutan Hutan campuran 114.067 -2.326 Galam Eugenia sp. Sedang
Galam Eugenia sp. Galam Eugenia sp. Galam Eugenia sp. Galam Eugenia sp. Tumih
23 PP09 2006 Hutan Hutan campuran 114.073 -2.332 Tumih Sangat berat
24 PP10 2006 Hutan Anakan galam 114.149 -2.380
95
Lampiran 9. (lanjutan)
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse
Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
25 BB02 2006 Pemukiman Sawah Galam Eugenia sp. Galam Eugenia sp. Galam Eugenia sp.
27 KPS03 2007 Hutan Hutan campuran 114.574 -2.664 Kalapapak Sangat berat
Lempada Lempada Lempada Lempada PKS02 2007 Hutan Ladang 114.589 -2.744
28 KPS04 2007 Hutan Ladang 114.587 -2.719 Sangat berat 29 KPS05 2007 Hutan Hutan galam 114.584 -2.678 Galam Eugenia sp. Sangat berat30 KPS06 2007 Hutan Hutan galam 114.568 -2.665 Sangat berat 31 KPS07 2007 Hutan Hutan galam 114.587 -2.652 Sangat berat 32 KPS08 2007 Hutan Alang-alang 114.462 -2.604 Sangat berat 33 MTG01 2007 Hutan Hutan galam 114.425 -2.618 Sangat berat 34 MTG02 2007 Hutan Hutan galam 114.201 -2.647 Sangat berat 35 GR01 2007 Hutan Semak 114.201 -2.647 36 GR02 2007 Hutan Semak 114.199 -2.619 37 GR03 2005 Hutan Hutan galam 114.196 -2.647 Sangat berat
96
Lampiran 9. (lanjutan)
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
38 GR04 2005 Hutan Hutan campuran 114.202 -2.647 Katiau Gamma motleyana Sangat berat Katiau Gamma motleyana
39 GR05 2007 Hutan Hutan campuran 114.201 -2.649 Galam Eugenia sp. Sangat berat Galam Eugenia sp.
40 BR01 2006 Hutan Hutan campuran 113.980 -2.880 Meranti merah Shorea fagustiana Sangat berat Meranti merah Shorea fagustiana Meranti putih Shorea leprosula Meranti merah Shorea fagustiana
Resak Hopea bracteata Burk.
Meranti merah Shorea fagustiana Meranti merah Shorea fagustiana Pampaning/baban Meranti merah Shorea fagustiana Meranti putih Shorea leprosula Meranti putih Shorea leprosula
41 BR02 2006 Hutan Hutan campuran 113.993 -1.885 Meranti merah Shorea fagustiana Sangat berat Meranti putih Shorea leprosula Meranti putih Shorea leprosula Meranti merah Shorea fagustiana Meranti merah Shorea fagustiana Meranti merah Shorea fagustiana Meranti merah Shorea fagustiana
97
Lampiran 9. (lanjutan)
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
41 BR02 2006 Hutan Hutan campuran 113.993 -1.885 Meranti merah Shorea fagustiana Sangat berat Meranti merah Shorea fagustiana Meranti putih Shorea leprosula Meranti merah Shorea fagustiana
42 BR03 2006 Hutan Hutan campuran 113.990 -1.887 Gerunggang Cratoxylon sp. Sangat berat Gerunggang Cratoxylon sp. Gerunggang Cratoxylon sp.
43 BR04 2006 Hutan Hutan campuran 113.988 -1.886 Meranti merah Shorea fagustiana Sangat berat Meranti merah Shorea fagustiana Meranti putih Shorea leprosula Meranti merah Shorea fagustiana Meranti merah Shorea fagustiana
44 BR05 2006 Hutan Hutan campuran 113.972 -1.881 Resak Hopea bracteata Burk. Sangat berat Gerunggang Cratoxylon sp. Resak Hopea bracteata Burk. Gerunggang Cratoxylon sp.
45 BR06 2006 Hutan Hutan campuran 113.960 -1.887 Tumih Sangat berat Tumih Tumih Tumih Tumih Tumih
98
Lampiran 9. (lanjutan)
No plot
Kode
Terbakar Tahun
Landuse Tutupan lahan
Koordinat Jenis pohon di area bekas terbakar Klas rusak X Y Nama lokal Nama ilmiah
45 BR06 2006 Hutan Hutan campuran 113.960 -1.887 Tumih Sangat berat Tumih Tumih Tumih
46 BR07 2006 Hutan Hutan campuran 113.964 -1.919 Tumih Sangat berat Tumih Tumih