sam bung an

Upload: learningandpracticing-englishandcivilengineering

Post on 09-Jul-2015

768 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

1 mekanisme tumpu pada sambunganBiasanya judul dan isi adalah sama, jika di atas tertulis tentang mekanisme tumpu pada sambungan maka materi selanjutnya adalah penjelasan tentangnya. Tetapi kali ini agak berbeda, saya ingin mendapatkan masukan dari pembaca blog ini, karena saya tahu mayoritas pembacanya adalah mahasiswa atau alumni dari jurusan teknik sipil. Jadi tidak salah jika saya ingin tahu dari mereka tentang isi judul di atas.

Ini penting karena setahu saya, materi struktur baja di jurusan teknik sipil adalah minimal 4 sks, yaitu struktur baja 1 dan struktur baja 2. Bahkan di jurusan teknik sipil UPH mendapat 7 sks, yaitu struktur baja 1 (2 sks), struktur baja 2 (3 sks) dan struktur baja 3 (2 sks). Di level S2 juga minimal 2 sks atau bahkan ada yang memberi bobot 3 sks. Jadi seorang sarjana teknik sipil dan juga magister teknik sipil mestinya telah mendapat pembekalan yang cukup tentang materi struktur baja. Oleh karena itu saya juga heran jika seorang magister teknik sipil masih saja bertanya tentang hal ini :

pak wir, saya baca dari blog bapak, ada kalimat bapak begini

dari blog: http://wiryanto.wordpress.com/2010/02/25/semuanya-las-kapan-pakai-bautnya/ Jika tanpa pretensioning khusus, yaitu baut cukup dikencangkan pada kondisi Snug to Tight (pakai kunci biasa sekuat rata-rata tenaga seorang pekerja) maka mekanisme yang dapat diharapkan adalah mekanisme tumpu.

pak, mengenai teknik pengencangan tanpa kunci torque, yaitu dgn kencang pas tenaga manusia, mekanisme yang diharapkan adalah tumpu. kira-kira literatur atau teori yang mendukung pendapat ini, dari buku apa ya pak ? makasih pak. Pertanyaannya adalah apakah materi di atas tidak pernah diungkapkan dalam perkuliahan struktur baja yang ada. Jika tidak diberikan, lalu apa yang dibahas pada perkuliahan baja yang ada. Membaca pertanyaan di atas saya jadi ingat komentar ibu Lanny Hidayat, pakar jembatan dari PU, yang pernah mengungkapkan bahwa anak-anak lulusan sekarang belum tentu tahu mekanisme slip kritis dan bedanya dengan mekanisme tumpu pada baut mutu tinggi. Padahal sambungan baut mutu tinggi dengan mekanisme slip kritis adalah sangat penting bagi struktur jembatan yang rawan fatig. Untuk gedung memang tidak pernah dikenal penggunaannya, karena ribet, mahal dan perlu pengawasan ketat. Padahal dampaknya tidak signifikan. Jadi jika digunakan mekanisme slip kritis untuk gedung maka itu adalah sesuatu yang memboroskan. Mohon saya diberi masukan yang jujur, karena siapa tahu saya berminat untuk mengisi literatur tentang hal-hal tersebut. Siapa tahu.

2 mekanisme tumpu pada sambunganTulisan ini adalah kelanjutan dari thread sebelumnya di sini. Perlu dipisahkan karena akan ada materi baru yang disampaikan, yang menurutku tidak banyak dibahas secara mendetail di text-books yang sudah ada.

2.1 pendapat umumSebagai pengantar, ada baiknya aku ambil komentar pembaca dari thread sebelumnya , sbb:

sianip // 25 Juni 2010 pada 04:28 | Topiknya menarik, pak Wir.. menurut saya, mungkin karena slip critical sendiri istilahnya baru muncul di spesifikasi RCSC mengenai Baut ASTM A325 & A490 tahun 1985 (dipakai juga oleh ASD tahun 89). Spesifikasi tersebut secara garis besarnya membagi joint typenya menjadi snug tight joint (utk mekanisme tumpu) dan slip critical joint utk baut yg dibebani geser atau kombinasi geser dan tarik. Tapi di spesifikasi RCSC 2004 (paling terbaru ?) menambah 1 lagi yaitupretensioned joint. Hampir sama dengan slip critical, hanya pretensioned joint tidak terlalu memperhatikan faying surface(bidang kontak steel dengan steel yang dijoint dengan baut) jadimasih memperbolehkan slip kalau terjadi. Saya kurang setuju untuk pernyataan bahwa slip critical tidak dikenal untuk gedung. Karena untuk bangunan pabrik (masuk klasifikasi gedung bukan ya?) yang berisi equipment yang menghasilkan vibrasi dan reverse load harus didesain dgn slip criticalutk meningkatkan serviceability dan juga mengurangi kemungkinankeruntuhan akibat fatique. Kadang2 juga sambungan kolom gedung dan bracing juga didesain utk slip critical utk menghindari deformasi berlebihan pada gedung, jadi tergantung kriteria desain yang dikehendaki oleh engineernya. Btw pak Wir, sepertinya textbook struktur baja seperti Salmon (edisi LRFD) sudah sangat jelas sekali mendeskripsikan (sampai ke freebody diagramnya) jenis joint yang tumpu atau slip kritikal bgitu pak pendapat dari saya. Kalau mungkin yg magister belum kenal istilah2 tersebut, mgkn karena dulu S1 nya sebelum tahun 85 pak. CMIIW

Komentar pak Sianip terhadap artikel saya sebelumnya cukup berbobot. Saya kira tidak sembarang orang yang tidak pernah membaca tentang hal itu dapat menanggapi seperti itu, ditambah dengan rujukanrujukannya yang cukup bagus. Tetapi terus terang, dari kesamaan persepsi dengan yang ada dalam pemikiranku, aku merasa ada beberapa dari pernyataannya yang membuat bingung, seperti misalnya:

slip critical joint utk baut yg dibebani geser atau kombinasi geser dan tarik pretensioned joint. Hampir sama dengan slip critical, hanya pretensioned joint tidak terlalu memperhatikan faying surface . . . . jadi masih memperbolehkan slip kalau terjadi . . . slip critical utk menghindari deformasi berlebihan pada gedung.

Jika saya saja bingung, maka saya yakin akan banyak teman-teman yang lain juga bingung. Jadi ada baiknya aku akan menceritakaan tentang sambungan baut mutu tinggi secara penuh dahulu, sehingga akan terlihat mengapa ke-3 item di atas dapat membingungkan.

2.2 sistem sambungan bajaPemahaman tentang sambungan pada suatu perancangan struktur baja adalah sangat penting, dan merupakan bagian yang kritis, yang perlu mendapat perhatian seksama. Kompleksitas suatu struktur baja ditentukan oleh sistem sambungan yang digunakan. Jadi untuk proyek struktur baja yang besar, yang memang secara geometri cukup kompleks, maka jenis sambungan yang digunakan adalah standar (yang telah teruji), sekuat profil. Sepintas boros, tetapi itulah cara mengeliminasi besarnya resiko yang kemungkinan timbul.

Ada dua sistem sambungan yang saat ini telah menjadi andalan, dan telah terbukti sukses, yaitu [1] sistem sambungan dengan teknologi las, dan [2] sistem sambungan dengan baut mutu tinggi.

Teknologi las dapat dianggap suatu sistem sambungan yang cukup perfect karena dapat menyambung baja menjadi dua bagian yang homogen, tetapi sistem tersebut memerlukan lokasi kerja yang tertentu, yang umumnya dapat dipenuhi di bengkel kerja dengan pekerja las yang khusus. Sehingga keterbatasan sambungan las untuk proyek-proyek konstruksi adalah tergantung dari seberapa besar komponen utuh struktur yang dapat diangkut dari bengkel kerja tersebut ke site project. Jadi sistem sambungan dengan baut mutu tinggi adalah solusi akhir untuk menggabungkan komponenkomponen besar yang dapat diangkut tersebut untuk akhirnya dirakit / disatukan menjadi struktur yang sebenarnya. Dalam praktek bisa saja ada las di lapangan, tetapi untuk struktur yang serius kondisi tersebut sebisa mungkin dihindari karena mutu sambungan las tergantung pelaksanaan di lapangan. Untuk menunjukkan contoh pemakaian ke dua sistem sambungan pada proyek real, maka ada baiknya kita lihat salah satu foto Kerja Praktek mahasiswa UPH :

Gambar 1. Sdr Tejo dan sdri Mita (teknik sipil UPH angkatan 2007) berpose di depan struktur rangka baja untuk proyek pembangkit energi PLN di salah satu daerah di Propinsi Banten.

Perhatikan pada rangka baja di belakangnya, yang berwarna coklat itu adalah tempat sambungan lapangan dengan sistem sambungan baut mutu tinggi. Perhatikan, penempatan sambungan baut tersebut hanya secukupnya(seminimal mungkin) dimana sisanya mengandalkan sambungan las. Juga mengapa bentuknya mirip satu dengan yang lainnya, yaitu berulang, itukah yang dimaksud dengan sambungan baut standar. (?)

2.3 sambungan baut mutu tinggiTentu kita tidak membahas sistem sambungan las, yang tergantung teknologi yang digunakan dan cara pengerjaannya. Pada umumnya untuk sistem rangka seperti Gambar 1 di atas, maka jika digunaan dua sistem sepert itu yang kritis akan terjadi pada sistem sambungan bautnya.

Oleh karena itu mari kita membahas tentang baut mutu tinggi, yang terdiri dari komponen-komponen sebagai berikut.

Gambar 2. Komponen-komponen alat sambung baut mutu tinggi. Untuk konstruksi baja maka standar mutu baut mutu tinggi banyak memakai ASTM A325 atau ASTM A490, yang mana kode standarnya biasa tercantum pada kepala baut (hex head).

Gambar 3. Kode mutu pada baut mutu tinggi.

Kecuali baut mutu tinggi di atas, ada juga baut biasa / baut mesin / baut hitam. Adapun standar mutu baut biasa adalah standar ASTM A307. Jenis baut seperti ini tidak diperbolehkan untuk bangunan struktur utama.

Dengan mengetahui alat sambung baut maka perlu juga mengetahui kekuatan baut tersebut, khususnya terhadap arah gaya yang bekerja padanya. Secara prinsip baut lebih kuat menerima gaya tarik aksial dibanding gaya geser. Itu dapat dilihat dari tabel AISC berikut:

Meskipun kuat tarik lebih besar 1.5 kali dibanding kuat geser, tetapi karena detail sambungan dan kemudahanan pemasangannnya menyebabkan baut diorientasikan tarik tidak mudah diusahakan. Sebagai gambaran dapat dilihat dari suatu sambungan balok-kolom sbb:

Gambar 4 Beberapa detail sambungan beam-column (Geschwindner 2008)

Perhatikan Gambar 4, dari empat variasi sambungan dengan baut untuk balok-kolom, maka alat sambung baut yang dapat diorientasikan hanya menerima gaya tarik hanya detail (h), yaitu end-plate. Penggunaan alat sambung baut untuk detail yang lain mengandalkan geser terjadi pada baut, yang tentunya tidak akan seoptimal jika tarik. Meskipun demikian itu dipilih karena kemudahan dalam pembuatan detail dan pemasangan sambungan tersebut.

2.4 sistem sambungan geserCara penempatan baut pada suatu detail sambungan adalah suatu hal yang penting. Hal ini menyangkut kemudahan detail sambungan di konstruksi dan optimalisasi penggunaan alat sambung baut tersebut. Karena alat sambung baut mutu tinggi relatif mahal dibanding las, dan karena sistem yang mudah dikonstruksi adalah sistem sambungan geser, yaitu detail sambungan yang menyebabkan baut menerima gaya geser.

Gambar 5. Typical sistem sambungan geser

Pada gambar 5 terlihat siku yang disambung dengan pelat-pelat dikanan-kirinya dan disatukan dengan alat sambung baut mutu tinggi. Siku tersebut jelas tidak akan dibebani tegak lurus batangnya (momen) tetapi searah sumbu aksial siku, dengan demikian baut-baut tersebut semunya menerima gaya geser.

2.5 mekanisme kerja sambungan geserJika sistem sambungan seperti pada gambar 5 digunakan baut mutu tinggi makamekanisme kerjanya tergantung dari bagaimana baut mutu tinggi tersebut dikencangkan. Berbeda dengan baut biasa, jika digunakan baut mutu tinggi maka dapat diberikan pre-tensioning. Baut mutu tinggi yang diberi pre-tensioning dapat menghasilkan [a] mekanisme slip kritis, dan [b] mekanisme tumpu. Keduanya tentu tidak terjadi secara bersama-sama, tergantung dari gaya sambungan yang bekerja. Meskipun memakai baut mutu tinggi, tetapi tidak diberi pre-tensioning maka sambungan hanya dapat menghasilkan mekanisme tumpu saja. Apa itu mekanisme slip-kritis dan apa mekanisme tumpu maka ada baiknya dijelaskan dalam bentuk gambar.

Gambar 6. Mekanisme slip-kritis pada sistem sambungan geser (Dewobroto 2009). Illustrasi di atas sengaja saya ambil dari Disertasi saya, maklum gambar free-body dari Salmon menurutku kurang jelas. Jadi karena aku juga drafter, maka aku gambar sendiri.

Untuk bisa memahami mekanisme di atas maka perlu dipahami bahwa lubang baut pada pelat adalah lebih besar dari pada diameter baut tersebut. Ini adalah ketentuan AISC sebagai kompromi untuk toleransi pelaksanaan. Jadi pada gambar di atas, shank baut dapat terpisah (gap) dari lubang baut di pelat. Jadi pelat atas dan pelat bawah dapat tersambung karena adanya gaya clamping dari pretensioning. Gaya clamping menghasilkan tahanan friksi pada bidang kontak efektif permukaan pelat yang disambung. Dalam hal ini tentu saja kondisi permukaan pelat sangat menentukan. Itulah mengapa pada Gambar 1, pada sambungan warnanya berbeda dengan yang lain (belum boleh di cat). Jika gaya aksi-reaksi pada sambungan diperbesar dan melebihi tahanan friksi pada bidang kontak efektif maka shank baut (badan baut) akhirnya bergerakmenuju pelat sambungan. Proses pergeseran dalam sistem sambungan tersebut disebut SLIP. Pada saat SLIP mulai terjadi maka mekanisme kerja slip-kritis berakhir(dianggap hilang kekuatannya) dan diganti oleh mekanisme tumpu yang gambarannya adalah sebagai berikut.

Gambar 7. Mekanisme tumpu pada sistem sambungan geser (Dewobroto 2009)

Jadi mekanisme tumpu baru terjadi jika telah terjadi SLIP, baik oleh pelat sisi atas dan pelat sisi bawah. Adanya deformasi yang disebut SLIP inilah yang arahnya tergantung dari beban yang bekerja maka untuk

kasus-kasus struktur tertentu seperti jembatan menjadi suatu kelemahan. Pada komponen sambungan yang menerima beban bolak-balik maka dapat terjadi kegagalan akibat fatig, bahkan jika pengencangan tidak baik maka bautnya bisa lepas. Itulah mengapa harus disyarakat beban yang bekerja tidak boleh melebihi kondisi yang menyebabkan SLIP. Itulah mengapa disebut sambungan slip-kritis. Pada mekanisme tumpu ini maka semua komponen akan bekerja sampai ultimate, dan kekuatan sambungan ditentukan oleh komponen yang mempunyai kekuatan terkecil sebagaimana terlihat pada illustrasi berikut :

Gambar 8. Berbagai kemungkinan kegagalan akibat mekanisme tumpu

Dari penjabaran secara kronologi di atas maka tentunya dapat dipahami bahwakedua mekanisme tersebut tidak dapat terjadi secara bersama-sama. Untuk mendapatkan gambaran secara keseluruhan bagaimana suatu sambungan geser dengan baut mutu tinggi yang diberi pre-tensioned bekerja, dapat dilihat kurva perilaku sambungan dari Kulak sbb.

Gambar 9. Perilaku gaya-deformasi sambungan geser yang dibebani (Kulak et.al 2001)

Perhatikan gambar di atas khususnya pada Major slip yang mana terlihat tanda terputus-putus. Kondisi gaya sebesar nol sampai sebelum kurva terputus-putus dapat dikatakan bahwa sambungan memanfaatkan mekanisme slip kritis, selanjutnya setelah terjadi major slip sambungan berubah memanfaatkan mekanisme tumpu.

Jadi dapat juga dikatakan bahwa untuk kapasitas gaya rencana yang sama maka perencanaan dengan mengandalkan mekanisme slip-kritis memerlukan jumlah baut yang lebih banyak dibanding mekanisme tumpu biasa. Lebih mahal gitu lho. Itulah mengapa mekanisme tumpu lebih populer untuk konstruksi gedung yang memang secara nature tidak terlalu signifikan pengaruhnya, apalagi kalau hanya digunakan sebagai strategi memperkaku gedung. Itu cara yang mahal boo. Saya kira sudah dapat menjadi gambaran sekarang apa itu mekanisme tumpu.

2.6 Pretensioning pada baut mutu tinggiJadi kata kunci terjadinya mekanisme slip-kritis adalah memberikan gaya pretensioning pada baut mutu tinggi yang digunakan pada sambungan tersebut. Kecuali itu, kondisi permukaan komponen sambung juga sangat menentukan. Salah satu cara manual dalam memberikan pretensioning baut mutu tinggi dapat dilakukan dengan metode Turn-of-Nut (AISC 2005). Petunjuknya sendiri relatif sederhana, tetapi prakteknya anda bisa lihat sendiri

anak-anak UPH 2005 (sekarang sudah alumni) ketika membantuku sewaktu menyelesaikan disertasi tempo hari. Tidak gampang !

Gambar 10. Pretensioning baut mutu tinggi dengan cara Turn-of-Nut (Dewobroto 2009)

Dalam foto Rendy (baju biru), Anggi (baju merah), Jerry (baju putih berkacamata), Nata (baju biru), paling kanan Firtz (baju ungu, saat ini sedang ambil S2 bidang Struktur di Kanada).

Ternyata memberikan pretensioining baut mutu tinggi tidak semudah menuliskannya, pada kenyataannya proses tersebut ternyata telah dapat menimbulkan bisnis tersendiri dalam mewujudkannya.

Lain kali jadi cerita lagi ya.

10 RESPONSES TO MEKANISME TUMPU PADA SAMBUNGAN

1.

Laksana | 5 Juli 2010 pukul 17:14 | BalasTingkat S1 saya belum diajarkan sampai pengaruh pre-tensioning tetapi yang lain its oke. Terima kasih atas pencerahan.

2. salam

selly | 6 Juli 2010 pukul 15:09 | Balasterimakasih atas informasinya.

3.

sianip | 7 Juli 2010 pukul 07:49 | BalasSelamat siang Pak Dewobroto,

Jelas dan sangat menarik sekali pak penjabarannya di atas. Kalau tulisan saya di atas, tidak terlalu jelas dan membingungkan, harap maklum pak.. coba-coba sharing saja. Mau menambahkan lagi boleh ya pak..

Untuk slip critical memang hanya dipakai pada desain untuk sambungan yang menerima transfer beban geser atau kombinasi transfer beban geser dan tarik saja (transfer beban yang diterima oleh baut). Untuk transfer murni beban tarik saja, mekanisme slip critical tidak diperlukan (bisa dilihat dari freebody diagram yg dilampirkan pak Dewobroto di atas, bahwa tidak ada gunanya desain slip critical utk beban murni tarik terhadap baut).

Untuk freebody diagramnya, saya sempatkan lagi mengecek di bukunya Salmon (edisi 4 LRFD) hal 115/116 utk tipe tumpu dan pretensioned. Khusus di pretensioned, digambarkan adanya faktor mean yg kalau rumus fisika kita sebut juga sbg koefisien friksi. Teori fisikanya, bila ada beban normal (tegak lurus suatu bidang) maka akan ada gaya gesek (searah bidang). Nah, disinilah beda dari faktor mean utk sambungan pretensioned dan slip critical yang disyaratkan oleh RCSC 2004. Biarpun sama-sama menggunakan persyaratan yang sama untuk cara pemasangan bautnya yg memberikan tension di awal, namun untuk sambungan slip critical memerlukan persiapan untuk permukaan kontak pelat yang disambung (faying surface nya, ada class2 nya spt utk uncoated dan blast cleaned surface berbeda harga mean nya).

Bila melihat dari foto kerja praktek di atas, saya hampir yakin bahwa sambungan yang dipakai adalah slip critical dengan faying surface type B (uncoated blast cleaned steel surface buktinya steelnya agak coklat karena sedikit korosi enviro), selain juga karena merupakan tipe sambungan bolted splice (karena terlihat merupakan sambungan yang menyatukan baja bracing, beam dan column) dengan sambungan rigid (jenisnya kalau saya tidak salah lihat fotonya adalah three plates splice di bagian flange dan each side plate di bagian web). Kalau juga melihat bangunan tersebut didesain untuk pembangkit PLN, berarti juga jenis beban yang akan diterima oleh struktur bangunan dihasilkan dari mesin turbogenerator yg merupakan mesin high speed rotary, jadi untuk desain sebaiknya dianalisis secara dinamik agar struktur yang menopang masih memberikan amplitudo vibrasi yang diijinkan bagi mesin tersebut (terkait defleksi atau deformasi struktur dan juga menghindari kegagalan fatiq pada struktur). Hal tersebut cocok bila sambungan didesain secara slip critical juga. Kemudian karena jumlah baut yang dipasang juga cukup banyak (feeling mengatakan jumlah nya terlalu banyak utk tipe tumpu).

Untuk di lapangan sendiri, instalasi untuk pretensioned dan slip critical menggunakan impact wrench (tenaga angin atau listrik) yang dikalibrasi atau juga praktisnya menggunakan turn of nut ala impact wrench (tentu saja dengan beberapa tes lapangan sebelum melakukan pemasangan).

Jadi kondisi snug tight dicapai pada saat impact wrench pertama kali terhambat putarannya, dan kemudian masih menggunakan impact wrench, nut atau baut diputar setengah putaran lagi dari posisi snug tight. Atau untuk praktisnya saya lihat di lapangan banyak dipakai DTI, semacam indikator dengan tonjolan2nya yang dapat diamati bila tension sudah tercapai (tonjolannya akan rata).

Demikian pak, memang diskusi masalah sambungan ini menarik sekali, karena di lapangan juga saya lihat ada beberapa cara lain yang dipakai. Namun tentu saja di drawing erection harus dicantumkan jenis sambungan yang diminta. Karena bisa berabe, kalau didesain tumpu tapi di lapangan diberi pretensioned.. terbayang kan jadinya.

4. cat).

badaruddin | 7 Juli 2010 pukul 08:56 | BalasItulah mengapa pada Gambar 1, pada sambungan warnanya berbeda dengan yang lain (belum boleh di

Pak Wir, mohon penjelasannya sekiranya saat kapan bagian sambungan dengan sistem slip kritis boleh dicat?

salam badar

5. @sianip

wir | 7 Juli 2010 pukul 11:06 | Balassambungan yang menerima kombinasi transfer beban geser dan tarik saja (transfer beban yang diterima oleh baut) biasa dijumpai pada sambungan end-plate (lihat gambar 4). Sistem sambungan tersebuttidak bisa mengandalkan mekanisme slip-kritis, dia akan bekerja mengandalkan mekanisme tumpu. pretensioned sampai min 70% kuat ultimate adalah salah satu syarat terjadinya mekanisme slip-kritis. Efektif tidaknya mekanisme tersebut juga ditentukan oleh kondisi permukaan bidang kontak.

Nilai mean. Memang besarnya koefisien friksi ditentukan oleh besaran statistik, tidak bisa mutlak. Ingat diberi pretensioned tapi kondisi permukaan tidak disiapkan maka mekanisme slip-kritis tidak bisa dijaminkan, jika demikian adanya maka pada sambungan tersebut hanya bisa diharapkan mekanisme tumpu.

Hal yang penting, adalah tidak ada masalah dalam perencanaan ketika desainnya adalah mekanisme tumpu tetapi dalam prakteknya diberi pretensioned. Yang berabe adalah jika desain-nya slip-kritis tetapi

pretensioned dan permukaan bidang kontaknya tidak disiapkan, apalagi jika tidak di check perilaku mekanisme tumpu-nya.

Memang sih pada kebanyakan kasus, khususnya untuk sistem sambungan pada profil hot-rolled (pelat tebal) maka kapasitas mekanisme tumpu umumnya lebih besar dibanding kapasitas slip-kritis, jadi hasilnya pasti lebih besar kuat ultimate-nya (lihat Gambar 9 di atas), tetapi jika slip menjadi masalah seperti misalnya ada beban bolak-balik maka kerusakan fatique bisa terjadi. Fatique adalah kerusakan di bawah beban ultimate. @Badaruddin Jika telah diberi pretensioned (min 70% kuat ultimate baut mutu tinggi) maka sisi luarnya boleh dicat. O ya, untuk jembatan maka biasanya di galvanized, jika demikian maka koefisien friksi akan jauh di bawah baja tanpa galvanized. Maka jumlah bautnya lebih banyak jika dipaksakan memakai mekanisme slip-kritis.

Adanya galvanized tidak berpengaruh pada mekanisme tumpu.

6. Pak Wir,

Sanny Khow | 17 Juli 2010 pukul 07:11 | Balas

Sungguh menarik pembahasan ini, saya cuma mau tambah sedikit:

slip critical di disain *untuk stress reversal (beban gempa) dan fatique *kalau connectionnya required oversized holes or slotted. these holes are needed to get easy installation. biasanya contractor yang minta. atau to allow some relative movement among different stuctural members. *joints that experience axial tension.

kebetulan di proyek saya, ada pemakaian 490 bolts berdiameter besar. karena jembatan ini di atas laut, mereka nggak mau bolts nya di galvanize, karena jadi brittle.

semua bolts ini harus di test, yaitu rotational capacity (rocap test).

Contract Plans biasanya mengindikasi where the slip critical connections are required.

ada juga pengalaman menarik dari lapangan, seorang civil engineer not a structural engineer di suruh inspeksi di lapangan. dia ngak tau what is slip critical, so he allowed the painters to paint the whole surface. akhirnya, ownernya wrote a CCO to have the faying surface prepared to have a class B surface

3 High-Strength Bolts installation calibrated wrenchDari judul di atas dapat diketahui bahwa materi tulisan saya kali ini adalah tentang pemasangan baut mutu tinggi pada struktur baja. Maklum salah satu kegiatan kesehariannya khan menjadi dosen struktur baja, jadi tulisan ini dapat digunakan untuk melihat bagaimana usahanya menekuni profesi tersebut. Jika ceritanya adalah tentang pemasangan baut mutu tinggi, apa ya yang kira-kira dapat dibayangkan. Bagi awam yang tahu itu baut maka tentunya dapat membayangkan bahwa cara pemasangannya pasti tidak akan berbeda jauh. Mula-mula kepala baut dipasangkan pada komponen yang akan disambung, yang tentunya pasti sudah dilobangi. Selanjutnya dipasang washer dan mur, lalu diputar kencang-kencang dengan kunci pas atau kunci inggris atau spud wrench (ini istilah di AISC), sekuat tenaga. Jika tenaga kita kurang kuat dapat juga memakai Impact Wrench, itu lho wrench yang digerakan secara pneumatik atau listrik. Simple, selesai bukan.

Jika hanya seperti itu, maka tulisan ini sudah selesai dong. He, he, apa bener hanya seperti itu.

Nah inilah bedanya jika penulisnya mempunyai latar belakang engineer, bekerja sebagai guru dan penganut ngelmu titen. Tentu akan berbeda meskipun topik yang ditulisnya hanya tentang pemasangan baut yang bagi orang awam terlihat kecil. Jadi jika masih tetap tertarik silahkan saja dilanjut. O ya sebagai catatan bahwa tulisan ini tidak sekedar hasil copy and paste, tetapi betul-betul original. Penulis sebagai seorang pembaca juga di bidang tersebut bahkan belum pernah menemukan tulisan serupa yang berbahasa Indonesia.

Mari kita buktikan. Berbicara tentang sistem sambungan pada struktur baja adalah sangat menarik, bagaimana tidak, elemen profil baja kebanyakan buatan pabrik yang sudah tertentu bentuk dan ukurannya. Jadi baru bisa terbentuk menjadi bangunan struktur seperti yang kita harapkan jika telah disambungkan satu dengan yang lainnya. Padahal sambungannya tidak dibuat oleh pabrik baja. Jadi perencanaan struktur baja pada dasarnya hanya sekedar memilih ukuran dan bentuk profil baja dan membuat detail cara penyambungannya. Berbicara tentang cara penyambungan maka saat ini secara mainstream hanya dikenal dua, yaitu sistem pengelasan dan sistem dengan baut mutu tinggi.Meskipun demikian ternyata tidak setiap orang mempunyai pendapat yang sama tentang keduanya, ada yang prefer sistem pengelasan dan ada yang memilih baut mutu tinggi. Kalau tidak percaya baca saja artikel saya yang ini, termasuk komentarkomentar yang masuk, seru lho. O ya, di jaman dahulu, di jaman pembuatan jembatan rel KA (jaman belanda) dikenal juga sistem sambungan dengan paku keling panas (hot rivet), tetapi sekarang sudah nggak ada lagi. Jadi nggak kita bahas alat sambung tersebut.

Setelah membaca threat artikel saya tersebut maka terkesan ada pendapat bahwa jika telah dapat digunakan alat sambung baut di lapangan maka hasilnya pasti ok. Beres. Ternyata ada fakta yang berbicara lain. Hari Jumat seminggu yang lalu, saya dan asisten baja di Jurusan Teknik Sipil yaitu saudara Hendrik Wijaya mendapat undangan dari ibu Ir. Lanny Hidayat, MSi. (pakar jembatan) untuk berkunjung ke workshop pabrik baja milik PT. Waagner Biro Indonesia di daerah Balaraja Tangerang. Maklum ibu Lanny ini memaklumi banget kemampuanku dalam menulis, tempo hari khan sudah membaca draft tulisan saya tentang jembatan yang saya tulis dengan dukungan beliau, juga kalau ketemu beliau maka yang diomongkan khan hanya sekitar dunia baja. Jadi dengan maksud agar terjadi link-and-match antara dunia baja di akademisi dan praktek (industri) maka beliau mengajak kami. Trims ya bu, nggak setiap dosen baja mempunyai kesempatan seperti ini. Workshop yang dimaksud terletak di jl. Raya Serang Km 28, Desa Sukamurni, Balaraja, Tangerang. Karena kampus UPH terletak di Tangerang juga, maka perjalanan kita relatif lancar, masuk tol Karawaci dan keluar ke Balaraja Barat. Lebih gampang lagi karena di pintu tol sudah menunggu pak Demson (bridge engineer dari Waagner Biro) yang sehari-harinya ada di kantor pusat, yaitu di jalan T.B. Simatupang. Trim ya pak Demson atas budi baiknya. Selanjutnya di workshop kami juga ketemu dengan bapak Peter Szigetkozi (manager produksi), orang Hongaria yang pinter berbahasa Indonesia, dan bapak Arif Yulianto (welding engineer dan manager QA). Setelah bertemu ketiga orang inilah maka ketahuan, kalau memasang baut itu tidak sekedar mengencangkan kuat-kuat, ada faktor-faktor yang perlu diketahui sebelumnya. Bahkan diketahui pula, jika memasangnya tidak baik maka resiko terjadinya relaksasi pada sambungan baut mutu tinggi pada jembatan akan sangat besar. Jika itu terjadi maka resiko terjadinya kegagalan fatiq akan terjadi. Tahu khan fatiq, yaitu kerusakan di bawah tegangan leleh akibat beban dinamik kendaraan.

diskusi tentang baut , nampak Peter Szigetkozi, saya dan ibu Lanny Hidayat Sambungan baut pada konstruksi jembatan berbeda dibanding konstruksi gedung. Untuk jembatan maka mekanisme slip kritis yang digunakan untuk perencanaan sambungan baut, dan bukan mekanisme tumpu. Sampai disini anda paham tidak dengan apa yang saya tulis, jika anda masih bingung tentang apa itu mekanisme slip kritis dan apa itu mekanisme tumpu, maka baca dulu tulisan saya tentang hal itu, di sini. Mekanisme slip kritis yang memungkinkan sistem sambungan baut tidak mengalami slip ketika dibebani adalah sangat penting sekali untuk menghindari terjadinya kegagalan akibat fatiq. Resiko untuk terjadinya kegagalan fatiq pada jembatan adalah sangat besar karena adanya beban bergerak yang relatif besar dibanding berat sendirinya. Maklum, jembatan khan memang ditujukan untuk beban bergerak tersebut, yaitu kendaraan yang berlalu-lalang di atasnya. Meskipun secara teori statik, suatu sambungan baut yang

direncanakan terhadap mekanisme slip kritis juga harus direncanakan terhadap mekanisme tumpu, sehingga secara teori dapat diketahui bahwa ketika mekanisme slip kritis gagal, yaitu terjadi slip, maka sistem sambungan tidak langsung rusak karena kemudian dapat bekerja baut tersebut dalam mekanisme tumpu, tetapi jika kemudian tidak diberikan gaya pretensioned lagi pada baut tersebut maka dalam perjalanan waktu, jembatan tersebut akhirnya dapat rusak karena fatiq tersebut. Jadi proses pemasangan baut agar menghasilkan gaya pretensioned baut adalah sesuatu yang sangat penting, bahkan vital bagi kelangsungan hidup jembatan tersebut. Metode apa saja yang dapat digunakan untuk pemasangan baut tersebut. Mari kita baca petunjuk dari AISC tentang itu :

Jadi ada [1] turn-of-nut method; [2] direct tension indicator; [3] calibrated wrench; dan [4] alternative design bolt.

Cara [1] adalah yang paling sederhana dan tidak perlu alat-alat khusus, tetapi agar dapat menghasilkan seperti yang diharapkan maka diperlukan verifikasi terlebih dahulu misalnya dengan cara [3] calibrated wrench. Adapun cara [2] perlu washer khusus dan cara [4] perlu baut dan kunci pas yang khusus pula bahkan para praktisi tersebut berbagi pengalaman bahwa ditemui meskipun katanya produk tersebut memenuhi standar ASTM yang sama tetapi di lapangan hasilnya berbicara lain.

Cara [1] saya sudah pernah memakainya, yaitu ketika penelitian disertasi yang dibantu anak-anak mahasiswa UPH. Yang jelas, tidak semua baut yang dikencangkan dengan cara pasti hasilnya memuaskan. Maklum tidak dilakukan pengukuran gaya pretensioned pada bautnya. Selanjutnya saya akan menceritakan tentang cara [3] yaitu calibrated wrench.

Meskipun jelas-jelas tertulis calibrated wrench, tetapi saya yakin tidak semua memahami apa yang dimaksud dengan istilah tersebut. Bagi yang hanya mengenal baut secara teoritis maka istilah di atas akan dikaitkan dengan penggunaan alat yaitu wrench yang telah dikalibrasi. Betul bukan.

Pertanyaannya adalah, siapa yang mengkalibrasi alat tersebut.

Ya jelas dong pak, pasti di Laboratorium Kalibrasi yang sudah diakreditasi oleh Lembaga Akreditasi Nasional yaitu Komite Akreditasi Nasional ( KAN ). Betul khan pak. Saya yakin banyak yang akan menjawab seperti itu. Jika demikian maka yang bersangkutan adalah belum mengetahui dunia per-bautan, termasuk saya ketika itu.

Ternyata untuk mendapatkan jawaban yang benar, kita harus tahu teori dan juga praktisnya. Prinsip dasar dari pemasangan baut mutu tinggi yang akan dikerjakan dengan mekanisme slip-kritis, yaitu pada baut harus terjadi gaya pretensioned seperti yang tercantum pada AISC, lihat tabel berikut.

Jadi jika mau pakai baut diameter 20, yaitu M20 maka pemasangan yang baik adalah jika setelah pemasangan pada baut tersebut terdapat gaya pretensioned sebesar 142 kN, itu kalau baut mutu ASTM A325. Ingat itu adalah gaya minimum, jadi boleh saja lebih tinggi, resikonya paling-paling bautnya putus. :)

Mekanisme standar pengencangan baut dan gaya-gaya yang terjadi

Masalahnya adalah bahwa gaya yang tercantum pada tabel J3.1 adalah gaya pada baut (Tension in bolt pada gambar di atas), yaitu kN atau Kips, padahal kalau mengencangkan pakai wrench yang dilengkapi dengan torque meter yang dapat dibaca adalah gaya torsinya. Ini contoh dial pembacaan yang dapat dilihat pada wrench yang dilengkapi torque meter.

pembacaan pada wrench yang dilengkapi torque-meter Jadi intinya, kalau hanya mengandalkan wrench terkalibrasi saja maka jelas adalah sangat sulit atau dapat dikatakan tidak bisa memenuhi ketentuan yang ada pada tabel J3.1 tersebut. Jadi ?

Yah seru khan. Inilah perlunya saya menulis ini. Masih mau lanjut.

Baik, tapi kita lihat dulu ya bahwa materi ini kelihatannya kecil tetapi ternyata dapat menjadi industri besar, industri untuk menyediakan alat-alat pengencang baut yang dilengkapi dengan torsi-meter, lihat saja ada banyak macamnya lho.

COMPUTORQ3 Electronic Torque Wrench (BlueTools.com)

Dial Type Wrenches (Consolidated Devices Inc.)

Memory Needle Dial (CDI)

Dial Measuring Torque Wrenches (Norbar Torque Tools Pty Ltd) Yah masih banyak lagi, jika penasaran Google aja. Ok.

Jadi dari data-data di atas dapat diketahui ada alat atau prosedur lain yang diperlukan untuk mengkonversi antara besarnya gaya torsi pengencangan (torsi yaitu misalnya kN-m) dengan gaya internal baut yang dihasilkan (kN). Di workshop Connel Wagner itu mendapat jawabannya, yaitu diperlukan alat yang namanya Skidmore-Wilhem. Ini bentuknya :

SkidmoreWilhem alat pengukur gaya pretensioned pada baut Kelihatannya kecil, tetapi menurut bapak Peter Szigetkozi ini harganya cukup mahal, katanya 90 jutaan. He, he, dapat dipastikan di universitas kita tidak ada yang punya. Kalau punya, maka dapat dipastikan juga bahwa riset tentang baut-nya pasti hebat. Betul nggak.

Dari penjelasan bapak Peter, pakar baja asal Hongaria yang fasih berbahasa Indonesia tersebut diperoleh penjelasan bahwa peralihan antara torsi (akibat pengencangan) menjadi gaya internal baut (pretensioned baut) itu dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti misalnya:

Mutu baut itu sendiri, seperti misalnya pembuatan ulir atau threat dari baut itu sendiri, mutu washer. Oleh karena itu disimpulkan bahwa baut hanya boleh dipasang jika baut, mur dan washer dihasilkan oleh pabrik yang sama.

Cara pemberian lapisan hot-dip galvanish. Seperti diketahui bahwa baut untuk jembatan harus dilindungi karat dengan hot-dip galvanish. Cara tersebut memberikan tambahan lapisan pada baut, yang mana itu berpengaruh pada permukaan ulis dan mur-nya, jadi bisa membuat seret pada waktu pengencangannnya. Jadi bisa-bisa gaya torsinya besar tetapi tidak berubah menjadi gaya internal baut. Bahkan jika dipaksa maka lapisan galvanish baut bisa lecet > suatu saat nanti bisa menjadi pemicu korosi. Umur jembatan turun.

Cara pemberian lubricant. Wah betul, baut itu dipasang dengan diberikan lubricant. Bagi kita yang mungkin awam, pemberian lubricant atau semacam pelumas pada baut tentu memberi rasa kuatir, bagaimana nanti bisa copot. Saya dulu juga berpikir demikian. Tetapi ternyata pemberian pelumas /

lubricant ini sangat berpengaruh pada pengalihan gaya toris ke gaya tarik baut, bahkan bisa melindungi lapisan galvanish ketika dikencangkan mur-nya tidak rusak. Macam lubricant-nya ternyata juga tertentu. Kemarin diuji-cobakan di bengkel Connel Wagner ketika digunakan oli biasa, maka ketika dilihat bautnya terlihat secara visual bahwa lapisan hot-dip-galvanishnya lecet. Adapun lubricant yang disarankan adalah lubricant yang berbasis Molybdenum. Adanya parameter-parameter tersebut menyebabkan besarnya torsi yang diberikan pada wrench tidak bisa konstan untuk setiap proyek. Jadi pada suatu proyek, ketika sudah ditetapkan pasokan baut mutu tingginya, maka sebelum proses pemasangannya perlu dilakukan proses kalibrasi dengan alat tersebut. Dicocokkan besarnya gaya torsi yang diperlukan dan besarnya gaya pretensionied baut yang dihasilkan, tentunya memakai beberapa sample baut yang akan digunakan. Ini prosesnya:

proses kalibrasi wrench, terlihat pak Demson (engineer Connel Wagner) Pada gambar terlihat proses pencatatan besarnya gaya torsi yang diperlukan untuk menghasilkan gaya pretensioned sesuai tabel J3.1 yang terlihat dari mesin Skidmore-Wilhem. Dari situ selanjutnya dapat diketahui berapa gaya torsi yang akan digunakan untuk pengencangan baut agar dihasilkan baut dengan mekanisme slip-kritis.

Yah, ternyata ngelmu pemasangan baut itu tidak gampang, tidak bisa diperoleh sekedar membaca dari buku. Itulah perlunya link-and-match antara perguruan tinggi dan industri. Untunglah konsep link-andmatch tersebut mudah aku usahakan karena adanya blog ini.

Kenang-kenangan dalam rangka link-and-match.

Penulis di Workshop Connel Wagner di Balaraja (4 Februari 2011)

> Ada data tambahan berkaitan pengencangan baut mutu tinggi dari bapak Sanny Khow, bridge engineer di California. Foto diambil dari Facebook beliau.

Computerized Skidmore Wilhelm for bolt testing, mesin ini akan mengeluarkan semua data data seperti inspection torque, bolt tension.

Hydraulic wrench for bolt installation and testing for areas not accesible by other type of wrenches.

5 RESPONSES TO HIGH-STRENGTH BOLTS INSTALLATION CALIBRATED WRENCH

1.

Dedhi | 12 Februari 2011 pukul 11:38 | BalasHmm, tapi kalau pakai baut, nanti seperti Jembatan Suramadi. Ndak berapa lama jalan, bautnya sudah di tangan penadah besi tua

2.

Sanny Khow | 12 Februari 2011 pukul 15:46 | Balas1. kompatibilitas HS bolts, nuts, washers bolts dan nuts di buat oleh fabricator dan di kategorikan dalam Rotational Capacity (RC) sets. Setiap RC set harus di simpan dan tdk boleh di mixed dgn komponen dari RC yang berbeda.

2. Menyambung slip-critical joints joint ini gagal jika terjadi slip. ketika bolt di tension terjadi clamping force antara permukaan baja. karena gaya gaya di transferred melalui friksi antara pelat baja, permukaan baja harus memiliki blast profile (roughness) dari contact (faying) surface dengan koefisien friksi yang tertentu (misal 0.5). biasanya semua connections yang dibuat dari HS bolts adalah slip critical connection. karena semua baja selalu di paint (cat), maka cat itu harus memenuhi kriteria slip critical connection. Cat harus di test sehingga bisa develop the friction required between faying surfaces.

3. Installation method 3.1 turn-of-the nut 3.2 turn of the bolt head ada tempat tempat tertentu dimana turn of the nut tdk praktis. washer selalu harus di tempatkan dibawah turned element, regardless of whether the nut or bolt is the turned element

4. bolt pre-installation testing test for rotational capacity test for minimum tension verification test for minimum bolt pretension check bolt threads for stripping

5. Stick-out minimum, bolt end harus flush dengan face of the nut. Ini supaya nut sudah fully engaged maximum 6mm

6. menentukan Inspection Torque, buat inspeksi di lapangan

7. menentukan Inspection pressure kalau hydraulic wrench yang dipakai, buat inspeksi di lapangan

o

wir | 12 Februari 2011 pukul 16:17 | BalasTerima kasih atas informasinya. Hal-hal seperti ini tidak mudah dicari literaturnya, di buku-buku struktur baja bahkan rasa-rasanya belum ada yang menyinggungnya.

3.

Sanny Khow | 12 Februari 2011 pukul 16:28 | Balas

Pak, iya memang semua belajar di lapangan. Hal hal seperti ini lebih kearah construction management. Dulu waktu kuliah kan kita diajar sambungan mungkin satu dua minggu, itupun ada weld dan bolt.

Ternyata weld dan bolt itu adalah dua ilmu yang sangat detail. Kalau ada orang bilang bolting itu mudah; itu tidak benar sama sekali. Kita sering menjumpai failed connections dan bolt nya harus di ganti semua. Satu biji bolt yang kita pakai harganya bisa sampai USD 50 atau Rp 500.000 diameter 30mm dan panjang 250mm

4 sambungan las pada jembatanArtikel ini mencoba menanggapi adanya pendapat bahwa sambungan las tidak boleh digunakan pada konstruksi jembatan baja. Terus terang sampai sejauh ini saya tidak pernah menjumpai literatur yang membenarkan pendapat di atas, atau dengan kata lain bahwa pendapat di atas adalah tidak benar. Tetapi karena yang menyatakan pendapat tersebut adalah seorang ahli jembatan dari Kementrian PU, yang karirnya adalah memang menangani pembangunan jembatan-jembatan di Indonesia, maka tentu saja pendapat di atas tidak dapat aku abaikan begitu saja. Saya yakin jika pendapat tersebut didengar oleh dosen lain, maka pasti itu akan dijadikan rujukan perkuliahannya tanpa perlu bertanya-tanya lagi, maklum pendapat di atas khan disampaikan oleh orang jembatan. Tetapi bagiku, karena merasa tidak sesuai dengan pengetahuan yang aku miliki bahkan menimbulkan pertentangan pikiran, maka perlu dipikirkan : Apa benar pendapat beliau tersebut. Tertarik dengan diskusi ini. Jika iya, silahkan lanjut berikutnya.

Sebelumnya ada baiknya aku ceritakan latar belakang mengapa pakar jembatan tersebut berpendapat seperti di atas. Kasusnya dimulai dari rapat penjurian KJI. Seperti diketahui pada lomba Kompetisi Jembatan Indonesia ada sesi model jembatan baja, dimana model jembatan dibagi dalam empat segmen jembatan yang terpisah. Meskipun ada juga yang menggunakan alat sambung baut semua, tetapi umumnya bagi peserta yang tahu, maka mereka akan menggunakan dua sistem sambungan, yaitu [1] sambungan las bagi segmen jembatan yang dapat dikerjakan di bengkel; dan [2] sambungan baut bagi segmen jembatan yang dipasang di arena lomba. Kondisi yang terakhir ini menurutku telah merepresentasikan keadaan yang sebenarnya dalam pembangunan jembatan, yaitu bahwa sistem sambungan dengan las boleh dikerjakan tetapi hanya di bengkel kerja yang kualitasnya dapat dikontrol dan diawasi dengan baik, sedangkan untuk penyambungan di lapangan hanya boleh digunakan sistem sambungan baut mutu tinggi. Selama ini memang tidak ada yang mempermasalahkan kondisi di atas, meskipun acara KJI sendiri telah berlangsung selama lima tahun berturut-turut lamanya. Tapi tahun ini berbeda, pada rapat juri ada masukan atau tepatnya usulan dari praktisi tersebut, bahwa sebaiknya sistem sambungan las tidak boleh dipakai di acara KJI berikutnya, alasannya bahwa sambungan las tidak boleh digunakan pada konstruksi jembatan baja.

Terhadap pendapat tersebut, para juri lain terkesan mengamini. Maklum dari sisi pengalaman dan juga jabatan birokrasi yang disandangnya maka memang beliau dapat dikatakan paling senior di bidang jembatan. Akupun mengakuinya, sehingga argumentasi lesan yang aku sampaikan pastilah tidak akan banyak didengar oleh teman yang lain. Untuk itulah aku mencoba menyusun argumentasi tertulis yang berkaitan dengan hal tersebut.

Pertama-tama aku akan mempelajari spesifikasi tertulis yang biasa digunakan di Indonesia, dalam hal ini adalah yang diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Bina Marga, Direktorat Bina Program, yaitu : JalanPeraturan Perencanaan Teknik Jembatan Jilid 1, atau biasa disebut Bridge Management System. Dalam dokumen setebal 714 halaman tersebut tidak ada sepatah kalimatpun yang menyatakan bahwa sambungan las tidak boleh digunakan di konstruksi jembatan, bahkan dijumpai bab khusus yang mengatur cara penggunaan las, yaitu Bridge Design Code Section 7: Structural Steel Design (11 May 1992) 7.12.8 Design of Welds, sekitar 14 halaman sendiri (p 176 p190). Mungkin itu dokumen di atas oleh praktisi jembatan tersebut sudah dianggap out-of-dated, sudah lama. Oleh karena itu aku mencoba mencari tahu, karena kelihatannya tidak ada dokumen baru lagi tentang jembatan yang dikeluarkan PU yang menganulis peraturan di atas maka aku merujuk pada peraturan international, dalam hal ini adalah AASHTO LRFD Bridge Design Specifications SI Units 3rd Edition (2005), bukunya lebih tebal lagi dibanding yang peraturan kita, yaitu terdiri dari 1436 halaman. Setelah membuka-buka cukup lama, ternyata di AASHTO juga tidak aku temukan pernyataan bahwa las tidak boleh digunakan pada jembatan. Pada buku tersebut bahkan juga ditemukan petunjuk pemakaian las di jembatan yaitu di section 6.13.3 Welded Connections. Jadi sampai sejauh ini pengetahuanku bahwa sambungan las juga dapat diterapkan di jembatan didukung oleh code yang berlaku, baik di Indonesia (BMS 1992) maupun di Amerika (AASHTO 2005), meskipun dalam hal ini berbeda dengan pendapat yang disampaikan praktisi jembatan di atas.

Jadi kenapa ya, sampai-sampai bapak tersebut berpendapat seperti itu. Mungkin saja karena pengetahuan empirisnya selama ini. Hal itu dapat dimaklumi, teman-teman engineer di tempat kita, di Indonesia, umumnya masih mengandalkan budaya lesan, yang umumnya didasarkan oleh pengetahuan inderawi yang ditemui. Jarang mereka secara teratur membaca literatur-literatur, kecuali buku spesifikasi yang memang harus dibaca dan dikuasai. Jika membaca saja jarang, apalagi menuliskannya. Untuk itu maka ada baiknya aku mengikuti cara beliau, yaitu berdasarkan bukti empiris jembatan-jembatan baja yang ada di Indonesia. Untunglah, dari tempo hari menulis satu chapter tentang jembatan-jembatan di Indonesia (sedang dalam proses diterbitkan) maka aku mempunyai beberapa data primer tentang jembatan di Indonesia. Mari kita lihat dan amati.

Ini detail jembatan Transfield atau dikenal sebagai Trans-Bakrie

Gambar 1. Prespektif Jembatan Transfield (Trans-Bakrie)

Pada jembatan di atas, teknologi las meskipun hanya terbatas pada pemasangan pelat stiffner, dan Top Cord End Beam ternyata juga digunakan. Adapun sistem sambungan utamanya adalah baut mutu tinggi, seperti terlihat pada detail typical Bottom Chord berikut.

Gambar 2. Tipikal Detail Sambungan pada Jembatan Transfield

Gambar 3. Jembatan Poncol (Jateng) dengan tipe Transfield Kecuali tipe jembatan Transfield, maka jembatan baja yang umum digunakan dan yang dijadikan jembatan standar oleh Departemen PU adalah tipe jembatan sebagai berikut.

Gambar 4. Jembatan Standar PU

Detailnya mirip dengan jembatan Transfield dimana sistem sambungan dengan baut digunakan secara mayoritas pada jembatan tersebut.

Gambar 5. Jembatan baja tipe Austria

Gambar 6. Jembatan baja tipe Calender Hamilton Tipe Austria maupun tipe Calender Hamilton juga terlihat seperti Transfield, yaitu memakai baut mutu tinggi sebagai sistem sambungannya. Sistem serupa juga terlihat pada jembatan-jembatan non-standar seperti :

Gambar 7. Jembatan Martadipura dalam masa pembangunan

Gambar 8. Jembatan Kapuas

Gambar 9. Jembatan Pela, Kutai Kartanegara Ternyata memang benar, banyak fakta empiris yang menunjukkan bahwa jembatan baja di Indonesia umumnya banyak menggunakan sistem sambungan baut. Sedangkan sistem las, kecuali detail-detail yang kecil kesannya tidak ada. Mungkin karena fakta-fakta empiris yang dijumpai seperti itulah maka akhirnya membentuk pengetahuan bahwa semua jembatan baja yang sukses (yang berdiri) adalah jembatanjembatan yang memakai sambungan baut mutu tinggi dan bukan sistem sambungan las, meskipun itu pemakaiannya di fabrikasi.

Jadi intinya, insinyur senior jembatan tersebut berpendapat hanya mengandalkan pengetahuan empiris yang diketahuinya. Nggak salah sih, buktinya jembatan-jembatan tersebut dapat sukses berdiri dan aman sampai sekarang.

Kalau begitu masalah apa dong pak ? He, he, itu yang perlu saya sampaikan. Pertama-tama saya ingin menegaskan bahwa pendapat bapak insinyur senior jembatan di sidang juri KJI bahwa pada jembatan baja hanya boleh digunakan sistem sambungan baut mutu tinggi adalah atas dasar pengetahuan empiris beliau sendiri selama ini. Pengalaman beliau yang telah secara sukses mengelola jembatan-jembatan di Indonesia yang memang pada umumnya sistemnya seperti itu, pakai sambungan baut mutu tinggi, sebagaimana contoh-contoh yang aku sampaikan di atas.

Itu tidak salah, karena selama ini beliau mempunyai pengalaman empiris bahwa jembatan dengan sambungan baut pasti sukses (dapat dibangun). Tetapi jika kemudian pengalamannya tersebut diterapkan secara umum bahwa tidak boleh ada sambungan las pada konstruksi baja, maka jelas itu tidak betul. Codecode perencanaan jembatan yang ada saja tidak ada yang melarang.

Meskipun secara mayoritas sistem sambungan yang ada adalah baut mutu tinggi tetapi saya bisa membuktikan bahwa sebenarnya sistem sambungan baja yang paling efisien adalah sistem sambungan las. Hanya saja sistem sambungan tersebut tidak boleh digunakan di lapangan, pertama-tama adalah karena mutunya tidak bisa diawasi secara baik, yang kedua sistem sambungan las di lapangan maka sistem tersebut beresiko terkena korosi. Oleh karena itu sistem sambungan las (di bengkel kerja) diterapkan pada segment-segment yang memungkinkan untuk dapat diangkut dan diereksi secara mandiri. Selanjutnya segment-segment tersebut disambung / dirakit di lapangan dengan baut mutu tinggi.

Konsep tersebut sudah diterapkan secara sukses juga di Indonesia, kalau tidak percaya lihat saja fakta berikut.

Gambar 10. Jembatan KA di Jalur Utara Jawa Contoh di atas adalah jembatan baja untuk jalur KA, di lintas utara Jawa. Getaran pada jalur lalu lintas kereta api jelas lebih besar dibanding lalu lintas jalan raya, kondisi itu biasanya berdampak pada resiko fatique yang besar, yang umumnya terjadi pada sistem sambungan, daerah dengan kondisi tegangan terkonsentrasi yang besar. Jadi jembatan baja untuk jalur lalu lintas KA umumnya mempunyai spesifikasi sambungan yang ketat. Pertama kali dulu harus menggunakan sistem paku keling, kemudian meningkat dengan digantikannya dengan sistem baut mutu tinggi. Sekarang dengan berkembangnya sistem las, maka daerah-daerah sambungan yang rumit dibuat dengan sistem sambungan las di bengkel kerja (fabrikasi), tetapi untuk memudahkan dirakit di lapangan maka tetap disediakan sistem sambungan baut mutu tinggi. Tetapi lokasinya bisa dipindah ke titik-titik yang detailnya tidak terlalu rumit sebagai terlihat pada Gambar 10 di atas. Artinya bahwa sistem sambungan las dapat secara efektif digunakan pada jembatan baja, meskipun itu jalur KA. Masih ragu ya, karena jembatan yang ditampilkan adalah untuk KA. Kalau begitu coba aku cari contoh jembatan jalan raya yang menerapkan sistem sambungan las dan juga baut.

Gambar 11. Segment box girder pada jembatan Suramadu Gambar 11 adalah segmen girder baja pada jembatan Suramadu, disana terlihat bahwa sistem sambungan yang utama adalah las, adapun sistem baut mutu tinggi digunakan agar erection di lapangan dimungkinkan.

Jadi sejauh ini dapat ditunjukkan bahwa meskipun jembatan-jembatan di Indonesia secara mayoritas memakai sistem sambungan baut mutu tinggi , tetapi itu tidak bisa dijadikan bukti bahwa sistem sambungan las tidak baik digunakan pada konstruksi jembatan baja. Pertama tentu karena tidak ada larangan hal itu pada code-code perencanaan yang ada seperti (BMS 1992 atau AASHTO 2005). Kedua, bahwa ada bukti juga bahwa sambungan las dapat dipakai secara baik di jembatan KA yang tentunya resiko kena fatique lebih besar dibanding lalu-lintas jalan raya. Bahkan jembatan Suramadu yang baru saja diresmikan, segment-segmentnya dibentuk dengan sistem sambungan las, adapun sistem sambungan baut dipasang untuk kemudahan proses pemasangan di lapangan saja. Kesimpulan lain yang dapat diungkapkan dari tulisan ini adalah bahwa pengalaman empiris subyektif tidak dapat dijadikan referensi satu-satunya untuk suatu keputusan yang bersifat umum. Perlu dilihat juga berbagai sumber literatur lain agar dapat diperoleh suatu pengetahuan yang solid.

Kesimpulan akhir, bahwa pengetahuanku tentang sistem sambungan las dan baut sejauh ini tidak perlu dikoreksi.

Bagaimana pendapat anda ?

.

.

Bapak Sanny Khow, orang Indonesia yang saat ini bekerja sebagai bridge engineer di San Fransisco ternyata mendukung pendapat saya, bahwa sambungan las juga dipakai pada konstruksi jembatan. Dukungan yang diberikan tidak sekedar komentar tetapi juga disertai fakta-fakta yang ada pada proyekproyek beliau. Ini ada beberapa foto yang saya down-load dari face book beliau.

Pak Sanny Khow dengan latar belakang erection segment kolom jembatan di ZPMC, Shanghai. Menurutnya : column ini semuanya di CJP welding di setiap sisi pertemuan steel skin plates. Steel skin plates ini ada yang 100mm tebal.

Komentar pak Sanny di fb : Orthotropic box girder semuanya di CJP welding between the segments.

Komentar pak Sanny di fb :Box girder loaded to temp. truss

Komentar pak Sanny di fb :West Coast Lifter, OBG Segment, Versa Bar Lifting Frame

Ini pak Sanny Khow, praktisi jembatan di negeri paman Sam (USA). Komentar beliau tentang artikel ini dapat dilihat di sini. Beliau bisa berbahasa Indonesia karena memang orangnya kelahiran Menado dan menamatkan pendidikan teknik sipil S1 di UNPAR, Bandung. Ingin kontak lebih lanjut hubungi saja beliau di fb-nya di sini. .

.

Tulisanku yang lain tentang sistem sambungan pada konstruksi baja

mekanisme tumpu pada sambungan #2 2 Juli 2010 mekanisme tumpu pada sambungan #1 13 Juni 2010 semuanya las, kapan pakai bautnya 25 Februari 2010

34 RESPONSES TO SAMBUNGAN LAS PADA JEMBATAN

1.

qym | 22 November 2010 pukul 01:33 | Balaspak saya salut sama kontribusinya khususnya di dunia blog, yang ingin saya tanyakan apakah ada dosen yang seperti bapak tapi bidang keilmuannya adalah fisika terapan. Jadi kalo di jurusan itu ya seperti fisika teknik, seperti membahas tentang energi terbarukan, instrumentasi medis, laser, acoustica.

o

wir | 22 November 2010 pukul 01:39 | Balas

Kalau yang ahli, saya kira banyak dik. Masalahnya adalah selain ahli juga perlu hobby menulis. Wah kalau itu sih memang jarang saya jumpai, bahkan di bidang yang saya geluti. Ketemunya ya itu-itu saja, sedikit memang dik.

2.

sanny khow | 22 November 2010 pukul 03:33 | Balassambungan las tidak boleh digunakan pada konstruksi jembatan baja? Saya disagree 100%. Contoh sambungan las pada jembatan: 1. pada orthotropic box girder dari baja, segment segment decknya di las pakai complete joint penetration CJP. Ini field CJP welding. Kenapa bolting lebih di prefer di lapangan, karena bolting lebih mudah installationnya sedangkan welding sangat susah terutama di elevasi yang tinggi. Bayangkan kita bawa welding equipment di tempat yang tinggi. sangat susah. meskipun begitu ada sambungan sambungan tertentu yang tidak bisa dihindari dan harus pakai welding. 2. Bridge tower yang dari baja selalu disambung pakai welding. bayangkan kalau kita column yang berbentuk pentagon. tentu satu sisi dengan sisi yang lain harus di weld. disini bolting tidak memungkinkan. Saya lihat karena Indonesia biasanya kolomnya dari conrete jadi welding tak perlu. 3. Gusset plate banyak juga yang di weld. 4. Biasanya welding untuk jembatan, di temukan pada jembatan jembatan bentang panjang.

Saya pikir pakar itu mungkin mengatakan las tidak boleh dalam konteks tertentu yang beliau tidak jabarkan.

o

wir | 22 November 2010 pukul 07:44 | BalasTrims atas masukan yang diberikan pak Sanny.

Pengalaman anda dengan proyek-proyek jembatan di San Fransisco di tempat anda tinggal sekarang, tentunya menjadi nilai tambah terhadap komentar di atas, karena bagaimanapun informasi tersebut bukan sekedar hasil membaca dari buku (teori) tetapi juga didasarkan fakta di lapangan (pengalaman praktis).

Saya minta ijin ambil foto-foto proyek anda di facebook ya pak. Salam

3.

gayuh[dot]com | 22 November 2010 pukul 06:06 | Balaskayaknya lebih kuat dengan baut ya bung ketimbang dengan las

4.

Surya | 22 November 2010 pukul 10:13 | Balasterima kasih pak wir atas info-info baru dan reviewnya memancing untuk kembali buka buku lama, baca kembali dasar-dasar keilmuannya tks

5.

Achmad | 22 November 2010 pukul 10:31 | BalasTerimakasih atas pencerahannya pak. Langsung saja dibuat papernya untuk seminar HAKI 2011 . Kalau memang benar, perlu ada pelurusan paradigma yang sudah ada selama ini.

6. baja).

Usman Hasan | 22 November 2010 pukul 21:37 | BalasPak Wir, mungkin saya sedikit menanggapi, karena saya cukup lama berkecimpungan di bidang steel (

Mungkin pendapat bapak PU tersebut ada benarnya, soalnya seperti yang kita tahu berapa banyak insinyur kita yang tahu detail las yang benar.

Jawabannya sangat minim, bahkan detail las yang namanya CP (complete penetration) pun mereka nggak tahu, lalu bagaimana nanti pelaksanaan di lapangannya, apa mutu las yang dihasilkan bisa dipertanggungjawabkan. Khan jadi masalah juga. Belum lagi budaya kita yang selalu suka melanggar code.

Coba bapak periksa mana ada satu bangunan di kita yang seratus persen follow code, dan para ahli kita juga tidak apply code dengan tegas, untuk amannya pakailah cara konservatif sambungan baut, lebih mudah ngontrolnya, sudah banyak dikuasai tukang.

7.

Robby Permata | 24 November 2010 pukul 11:02 | BalasSaya setuju 100% dengan pak wir..

tetapi pendapat pak Umar Hassan di atas juga benar. kondisi di dunia konstruksi sipil memang jauh dr ideal (kl konstruksi migas sy dengar udh ketat dan prakteknya lebih baik). Jika ada pejabat PU yg melarang pemakaian sambungan las utk jembatan, mungkin bukan karena beliau tidak tahu, tp lebih kepada beliau sangat hati2 dg mutu konstruksi. Artinya, drpd mengambil resiko mengijinkan pengelasan di lapangan sementara tukang las yg certified masih jarang, atau prosedur standar masih sering dilanggar, amannya ya dilarang sekalian. (tau sendiri lah, menghadapi ngeles nya kontraktor di lapangan itu bisa2

lebih memusingkan drpd mendesain strukturnya sendiri.. hehe saya juga pernah jd pengawas, ampun deh.. )

masalahnya, jika hal itu disampakan pada rapat proyek mgkn gak terlalu masalah (sebenarnya masalah sih, tp utk keamanan dan kepraktisan bolehlah.. hehe), tp lain halnya jika disampaikan di forum ilmiah. Naah, bisa misleading jadinya..

btw, umumnya penampang jembatan kan built up, karena umumnya butuh dimensi yg besar atau tidak cocok bila menggunakan profil umum hot rolled yg ada di pasaran. nah, jika built up, pelat2 tersebut tentu harus disambung. dan setau saya, umumnya sambungan antar pelat pada penampang built up itu las semua deh hehehe temasuk utk jembatan standar binamarga.. hehehe

regards, Rp

o

wir | 25 November 2010 pukul 19:55 | BalasArtinya, drpd mengambil resiko mengijinkan pengelasan di lapangan sementara tukang las yg certified masih jarang, atau prosedur standar masih sering dilanggar, amannya ya dilarang sekalian. Disetiap artikel tentang las yang saya tulis, saya juga tidak setuju jika dilakukan pengelasan di lapangan, harus di bengkel kerja dengan fasilitas kerja yang memadai. Di kaitkannya dengan lomba KJI pun, jelas tidak akan ada pengelasan di lapangan karena memang tidak diperbolehkan untuk itu. Jadi jika ada larangan tidak boleh pakai las khan berarti ditujukan pada setiap pemakaian las, bahkan di bengkel kerja jg tidak.

8.

Yanuar | 25 November 2010 pukul 19:06 | BalasDalam konstruksi rangka baja kita banyak mempelajari tentang sambungan, baik baut maupun las. Kita ketahui juga kalo perilaku join struktur itu sendi maka sambungan dengan baut, sedangkan jepit sempurna maka dilas. Asal kita tahu saja mana join/elemen yang perilaku jepit dan mana yang perilaku sendi, maka struktur tersebut bisa di pabrikasi baut/las.

cukup setuju dengan pak wir! Asal sistem monitoring pengelasan terjamin mutunya! Bisa ndak ?

cukup setuju buat ahli PU! Karena SDM kontraktor mungkin kurang bisa dipercaya!

o

wir | 25 November 2010 pukul 19:48 | BalasKita ketahui juga kalo perilaku join struktur itu sendi maka sambungan dengan baut, sedangkan jepit sempurna maka dilas. Begitu ya, jika demikian perilaku struktur di Gambar 10. Jembatan KA di Jalur Utara Jawa di atas, itu bagaimana penjelasannya. Apakah itu berarti jepit sempurna, padahal konstruksinya khan TRUSS yang dominan di gaya-gaya aksial saja.

ary | 27 November 2010 pukul 02:19 |apa mungkin pak kalau joint (pada truss jembatan) di-las masih bisa berperilaku sebagai sendi/ berotasi? maaf kalau boleh tau maksud bapak dengan jepit sempurna itu seperti apa? apa artinya pengelasan pada joint itu tidak secara sempurna berperilaku sebagai jepit? thx pak wir..

9.

Dien Fahriyandy | 26 November 2010 pukul 05:25 | BalasSalam kenal.. Sayang sekali ya Pa Wir, klo dalam forum akademis seperti KJI, dimana seharusnya mahasiswa bisa bebas berinovasi selama tidak bertentangan dengan code yg ada, sambungan las yang dalam code sendiri tidak ada larangan, jadi ga boleh digunakan hanya karena pengalaman empiris seseorang yg belum tentu sepenuhnya benar. Karena ternyata berdasarkan pengalaman empiris yang lainnya, sambungan las sangat banyak digunakan. Setuju dilakukan pembatasan, dengan penjelasan dan catatan untuk kondisi-kondisi tertentu yg dalam pelaksanaan di lapangan kita mengalami kesulitan, dimana kondisi ideal tidak bisa kita penuhi. Tapi, untuk forum akademis seperti KJI, sebaiknya kebebasan berinovasi jangan dibatasi. Siapa tau dari forum ini akan lahir teknologi baru yg dapat bermanfaat bagi kemajuan dunia konstruksi.

10.

donaldessenst | 26 November 2010 pukul 05:41 | BalasTambahan satu pak Wir, rasanya beliau makin yakin dengan pernyataannya karena kasus Jembatan Timpah di Kaltim yang rubuh tempo lalu itu pak. Kalau tidak salah waku itu chordnya di las ke kolom yang sebetulnya dari laporannya karena salah posisi pengelasan bukan karena las tidak diijinkan di lapangan.

11.

handout | 26 November 2010 pukul 10:34 | Balas

terima kasih banyak sudah berbagi,. moga sukses selalu. Kunjungi saya ..di.. click this dan kunjugni juga koleksi kami di.. click this

12.

bekisarnet | 26 November 2010 pukul 22:36 | Balassaya setuju dengan pendapat tidak boleh dengan las karena alasan kesiapan sdm pelaksananya. kalau secara teknis why not

13.

sanny khow | 27 November 2010 pukul 01:25 | BalasPak Wir, ada salam dari Bapak Petrus Mulia dulu pernah jadi Director di WA. Saya kebetulan ketemu pak Petrus pada perayaan thanksgiving di rumah bapak Wira Tjong SE, dan bapak Dario Rosidi Phd. GE. Baru pertama kali ini kita berkumpul sesama insiyur sipil utk merayakan thanksgiving.

o

wir | 3 Desember 2010 pukul 11:26 | BalasWah panjang umur untuk pak Petrus, tanggal 25 Nov kemarin saya diundang Prof. Wiratman pada saat peluncuran buku barunya, di sana ketemu bapak Harianto Djohan yang menceritakan juga tentang bapak Petrus yang sudah lama bekerja di USA. Mohon disampaikan juga salam kembali ke beliau.

14.

indra | 27 November 2010 pukul 13:30 | Balassetuju dengan pak wir!!!^^ ilmu saya belom banyak,,,,jadi blom bisa komen dengan pengetahuan cuman saya setuju dengan pendapat bapak kalo pengalaman empiris itu ga salah,,,tp kalo lgsg ngelarang pengelasan kyny ag terlalu jauh.nice blog!!

15.

sudana | 1 Desember 2010 pukul 11:43 | BalasPendapat yang disampaikan Bp. Usman Hasan dan Bp. Robby Permata saya rasa benar.

Pejabat PU itu tentu memandang dari segi praktisnya untuk masalah di lapangan saja, dari segi akademis tentu tidak ada masalah untuk penyambungan dengan las. Bilamana diijinkan pemakaian sambungan las bila dikerjakan di bengkel, dengan asumsi di bengkel pengawasan bisa lebih sempurna, prakteknya di lapangan bisa jauh berbeda.

Pekerjaan jembatan sering dilakukan di daerah terpencil dengan pengawasan yang sangat mungkin amat terbatas, bilamana kontraktornya nakal dan pengawas lengah, bisa saja mereka tetap melakukan sambungan las di site walaupun spesifikasinya menyebutkan las di bengkel, kemudian diakuinya sambungan las dilakukan di bengkel.

Jadi menurut pejabat di PU, biar aman, dilarang saja sambungan las untuk jembatan.

16.

Blog Berita | 1 Desember 2010 pukul 14:04 | BalasMakasih ya infonya ini

17.

Andina | 4 Desember 2010 pukul 11:58 | Balaswuih ternyata bikin jembatan ribet banget ya harus melihat faktor yang lain juga, makasih banget informasinya.

18.

harjanto | 5 Desember 2010 pukul 09:50 | BalasMungkin keputusan Departemen PU untuk melarang penyambungan las pada jembatan ini sudah banyak menyelamatkan nyawa dan dana.

Tentunya keputusan ini diambil dari hasil pengamatan dan pengalaman empiris mereka di lapangan. Suatu keputusan yang bijak mengingat kondisi saat ini di negara kita.

Keputusan yang patut untuk mendapat pujian.

19.

Luhur Budi | 6 Desember 2010 pukul 20:03 | BalasSelamat malam Pak Wir, Salam kenal, Saya Luhur Budi, seorang pegawai BUMN yang saat ini sedang mengerjakan proyek PLTU di NTB. Saat ini, saya sedang mengerjakan pekerjaan pondasi tiang bor pada proyek tersebut. Yang menjadi masalah, setelah pile selesai dicor beton, kemudian dilakukan pengukuran ulang pada koordinat pondasi tiang bor, ternyata diketahui bahwa terjadi eksentrisitas antara tiang bor dengan kolom (posisi tiang bor bergeser dari posisi rencana). Dan eksentrisitas yang terjadi cukup besar, yaitu sebesar 30 cm. Yang ingin saya tanyakan, 1. apakah eksentrisitas ini, akan menambah besar beban aksial yang bekerja pada pile?

2. apakah eksentrisitas ini, akan menambah momen yang bekerja pada tie beam? Atas bantuan bapak, saya ucapkan terimakasih banyak.

o

wir | 6 Desember 2010 pukul 21:00 | Balas@Luhur Jawabannya bisa ya bisa tidak, karena informasi anda belum lengkap. Seperti misalnya di bawah kolom tersebut ada berapa tiang bor yang mendukung, dan bagaimana dengan adanya tie-beam.

Adanya eksentrisitas pada umumnya memang akan menghasilkan momen tambahan, tetapi jika dibawahnya ada pile-group maka momen tadi akan didistribusikan ke tiang-tiang tersebut, sehingga mungkin ada tiang yang over-stress dan sisa lainnya under-stress. Untuk kondisi seperti itu, adanya tiebeam tentu akan membantu sekali.

Hal yang penting untuk dicheck adalah apakah eksentristas tadi menghasilkan mekanisme pada peralihan kolom ke tiang bornya. Jika itu terjadi maka harus dihindari, seperti misalnya dengan memberikan pilecap khusus.

20.

sewa mobil di surabaya | 11 Desember 2010 pukul 11:19 | Balasbanyak jenis jembatan dan dengan jembatanpun kita bisa melewati jalur yang susah sekalipun

21.

Hendrik Sudharsono | 11 Desember 2010 pukul 21:03 | BalasPak Wiryanto yth,

Apa kabar, semoga masih ingat saya. Pak Wir,saya tertarik untuk nimbrung tentang jembatan baja dan pengelasan. Memang harus diakui di Indonesia masih perlu sosialisasi tentang baja dan pengelasan. Jika perlu literatur dan sharing pengalaman kami sebagai produsen jembatan baja, welcome di forum ini, karena pengelasan dan membuat jemabatan baja buat kami adalah pekerjaan rutin dalam waktu 17 tahun terakhir, dan membuat girder welded baik box type atau H -beam 25 tahun.

Tidak ada hal yang sulit jika kita mengetahui bagaimana cara mengelas yang baik dan benar, dan bukan karena kurang informasi maka pengelasan dilarang untuk jembatan baja.

Semoga masih ada yang meragukan las utk jembatan, welcome dan bila perlu lihat langsung ke pabrik kami.

Salam hangat,

Hendrik Sudharsono, PT.Cigading Habeam Centre

o

wir | 11 Desember 2010 pukul 21:47 | BalasTerima kasih pak Hendrik atas komentar yang Bapak berikan.

Tentang Bapak, wah saya jelas masih ingat dong. Sejak kunjungan Bapak ke kampus Karawaci tempo hari dan kemudian bertemu lagi di Seminar INKINDO 2009 waktu itu maka tentu saya tidak akan melupakannya. Kapan-kapan moga-moga dapat bertemu dan berdiskusi lagi, bagaimanapun sebagai dosen struktur baja di UPH, tentu saya akan senang bisa bertemu dengan orang baja. Kembali lagi ke komentar Bapak. Tanggapan anda sangat penting di sini. Bagaimanapun juga karena Bapak salah satu pimpinan di Cigading Habeam Centre, anak perusahaan Krakatau Steel yang dikenal luas berpengalaman dalam pemakaian teknologi las untuk menghasilkan produk-produknya sehingga kompetensi tentang las tidak perlu diragukan. Oleh karena itu maka komentar Bapak tersebut seakan-akan dapat meng-amini apa yang saya sampaikan dalam artikel saya di atas. Itu penting dan membuat saya mantap dalam mengajarkan materi struktur baja bagi anak-anak didik kami di Jurusan Teknik Sipil UPH. Sekali lagi diucapkan banyak terima kasih. Semoga Tuhan memberkati Bapak selalu. Amin.

22.

eko | 14 Desember 2010 pukul 12:05 | Balashttp://video.vivanews.com/read/11836-hebatmembangun-hotel-15-lantai-hanya-6-hari-_1

23.

martin | 15 Desember 2010 pukul 11:15 | BalasIngin ikut memberi tanggapan atas topik yang menarik ini.

Menurut saya, pendapat dari pejabat PU dan dari pak Wir, keduanya benar, yang terjadi hanya miss communication saja, karena masing2 pihak hanya meninjau dari sudut pandangnya sendiri.

Pejabat PU dalam pernyataannya di penjurian KIJ, mungkin beranggapan, karena ini mengenai pekerjaan jembatan di Indonesia, maka sistim pengerjaannya juga disesuaikan dengan keadaan di Indonesia, jadi ya dipakai sambungan baut saja, tanpa memberi alasan/penjelasan mengapa dipakai sambungan baut ini. Rekan2 yang lain telah memberikan alasan pemakaian sambungan baut ini dengan argumentasi yang kuat dan jelas.

Pak Wir, pengamat yang amat kritis (dalam arti yang baik) meninjau pelarangan memakai sambungan las ini dari segi akedemik saja, tentu saja tidak akan ketemu jawabannya. Sambungan dengan las pada jembatan, asal semua persyaratan tehnisnya dipenuhi, tentu sah saja, rekan2 lain juga sudah menjelaskan hal ini dengan argumentasi yang kuat dan jelas.

Menurut saya, yang perlu adalah kerja sama yang baik antara tehnisi di lapangan dan para perencana struktur, input2 dari pihak lapangan, mengenai hal2 yang non tehnis (misalnya kalau kontraktor nakal, juga sudah dijelaskan oleh para rekan) sangat dibutuhkan oleh perencana struktur, agar design yang dihasilkan bisa sesuai dengan situasi dan kondisi setempat, sehingga aman dalam pelaksanaan dan penggunaannya oleh masyarakat.

24.

martua siagian | 15 Desember 2010 pukul 13:19 | BalasApa Kabar Pak Wir..?, . terkait dengan pembahasan tentang sambungan las pada kontruksi jembatan baja tidak dibolehkan. Nah. yang mau saya tanya : Apakah memang tidak diperhitungkan Las yang ada pada Bottom Chord Bracing (pada sudut tambahan Plat baja/sebagai pengikat walaupun nantinya dibaut dengan batang plat baja bottom chord bracing tadi (lihat gambar 1), karena dilapangan saya lihat itu dilakukan pengelasan.

5 pengaruh sambungan pada batang tekan dan batang tarikPertanyaan saudara Ghomari cukup menarik. Mari kita baca bersama-sama: MUHAMMAD GHOMARI Submitted on 2011/01/27 at 17:28 Selamat sore Pak wir Apa kabarnya pak ?

Menarik pembahasannya tentang AISC dan SNI. Seperti artikel yang pernah saya baca (kalo gak salah pak wir sendiri yang buat ) Bahwa SNI mengadopsi dari AISC, dengan beberapa point yang berbeda. Tanpa dilengkapi komentar atau pun penjelasan sumbernya. Sehingga pemakaiannya pun seringkali membingungkan. Kalau saya sendiri lebih mudah memahami AISC daripada SNI karena lebih banyak literatur yang mendukung. Saya harapkan ada penjelasan dari Tim Penyusun SNI mengenai isi dari standar yang mereka keluarkan. (Seperti ACI Commentary gitu)

==> Mumpung lagi bahas tentang AISC dan SNI Baja. Saya berharap pak wir berkenan menjawab pertanyaan saya.

Berikut pertanyaan saya :Ketika pada perencanaan batang yang menerima beban aksial tarik dalam kontrol perhitungannya (kondisi batas) diperhitungkan juga mekanisme sambungan (adanya faktor Shear lag U dan blok shear rupture). Tetapi tidak pada perencanaan batang aksial tekan. Apakah sistem sambungan tidak mempengaruhi kekuatan batas pada batang tekan??? Begitu pertanyaan saya pak, mohon dibantu

Saya terus terang senang dengan pertanyaan semacam ini, karena yang bersangkutan telah berusaha mempelajarinya terlebih dahulu. Jadi jawabannya juga bisa lebih bermutu tentunya.

Catatan : Pembahasan saya akan mengacu pada AISC 2005, jika belum punya down load di sini. Langkah pertama sebelum kita membahas lebih lanjut adalah membaca baik-baik materi code tersebut. Ini spesifikasi perencanaan untuk batang tarik.

Chapter D terbatas untuk perencanaan gaya aksial tarik saja (axial tension acting through the centroidal axis). Dalam prakteknya tentu perlu dipertimbangkan eksentrisitas yang mungkin terjadi akibat cara penyambungan batang. Ingat ini belum tercover pada perhitungan Ae (effective net area) meskipun sudah memperhitungkan shear-lag. Tidak adanya batas kelangsingan (slenderness limitation) menunjukkan bahwakekuatan batang tarik ditentukan oleh kegagalan material dan bukan oleh stabilitas (buckling). Ini juga menunjukkan bahwa pemakaian material untuk batang tarik adalah sangat efisien, atau dengan kata lain bahwa penggunaan material mutu tinggi untuk batang tarik adalah tepat dan optimal.

Karena material menentukan, maka perlu terlebih dahulu mempelajari perilaku keruntuhan material dalam hal ini adalah baja konstruksi. Perilakunya dapat dilihat dari hubungan tegangan-regangan batang baja yang diuji uni-aksial sbb:

Ada dua kriteria kegagalan, yaitu [1] yielding dan [2] rupture. Ingat yang kita bahas adalah baja konstruksi, baja yang lain yang bukan termasuk baja konstruksi misalnya baja untuk mesin kendaraan atau baja untuk senjata militer. Baja konstruksi adalah baja yang kedua perilaku keruntuhan di atas dapat ditentukan secara jelas, dan juga kondisi keruntuhan keduanya tidak terjadi secara bersama-sama (itu artinya bajanya mempunyai daktilitas tertentu). Untuk dapat mengkaitkan perencanaan batang tarik, tekan dan sambungan maka perilaku keruntuhan materila baja di atas perlu dipahami secara baik.

Apa yang dimaksud keruntuhan yielding. Jangan bayangkan keruntuhan yang dimaksud adalah seperti keruntuhan batu-bata yang jatuh berhamburan ketika ditata tinggi-tinggi tanpa perekat kemudian digoyang dari bawah. Bukan seperti itu. Mungkin penggunaan istilah keruntuhan untuk yielding disini agak kurang tepat, tetapi yang jelas ingin ditekankan bahwa keruntuhan yielding adalah bila tegangan pada penampang telah mengalami kondisi yielding. Apa itu yielding, yaitu suatu kondisi dimana ketika diberi gaya tambahan (lebih) ternyata pada penampang tidak terjadi peningkatan tegangan tetapi hanya terjadi penambahan deformasi. Pada gambar di atas adalah pada daerah PLASTIC. Adanya penambahan deformasi ini menyebabkan terjadinya redistribusi tegangan, sehingga pada keseluruhan penampang mengalami tegangan leleh(yielding). Deformasi yang terjadi menyebabkan batang tarik bertambah panjang. Ingat dalam hal ini tidak terjadi retak. Lalu bagaimana pengaruh adanya lobang pada saat distribusi tegangan tersebut.

Adanya lobang, menyebabkan pada penampang tersebut akan mengalami yielding terlebih dahulu. Ingat itu timbul karena tegangan ditentukan oleh luas penampang. Karena tercapai terlebih dahulu, maka bagian ini akan mengalami deformasi (regangan) yang lebih dahulu pula, yang akhirnya akan mencapai kondisi tegangan strain-hardening terlebih dahulu juga. Ingat dari gambar tegangan-regangan di atas terlihat bahwa ketika strain hardening, maka tegangannya akan meningkat dan lebih besar dari tegangan leleh (fy). Adanya peningkatan tegangan akan menyebabkan pengaruh lubang menjadi tidak signifikan sehingga distribusi tegangan berpindah ke bagian lain yang tidak ada lobangnya. Itulah mengapa pada persamaan D2-1, yaitu keruntuhan yielding ditentukan oleh penampang bruto (lobang tidak diperhitungkan). Dari penjelasan perilaku yielding di atas, maka jelas perilaku strain hardeninghanya terjadi pada daerah dengan penampang yang lebih kecil, dalam hal ini disebabkan oleh lubang pada baut. Adanya proses strain-hardening maka dimungkinkan pula mencapai kondisi tegangan ultimate-nya. Dimana jika itu dicapai maka batang akan mulai mengalami necking, mengecil dan tidak lama lagi akhirnya rupture (sobek / retak) . Akhirnya batangnya putus sama sekali. Kondisi ultimate dan putus, sangat cepat (non-daktail). Untuk menghindari terjadinya keruntuhan ini maka digunakanlah persamaan D2-2. Lalu bagaimana dengan batang tekan. Mari kita lihat materi code-nya.

Perhatikan pada penjelasan umum di atas. Bahwa nyata-nyata yang menentukan kekuatan tekan suatu batang adalah kondisi stabilitasnya (buckling) yang ditentukan oleh geometri penampang (bentuk penampang dan panjangnya). Juga tidak terlihat batasan terhadap kekuatan material (yielding dan rupture). Itu menunjukkan bahwa buckling lebih menentukan.

Dalam mengevaluasi kekuatan tekuk (buckling) mari kita lihat perilaku tekuk lentur yang umumnya terjadi pada pada double simetri.

Perhatikan yang digunakan adalah luas bruto dan tegangan yielding. Tidak ada penggunaan fu (atau tengangan ultimate) yang keruntuhannya berupa rupture (retak). Ingat jika baja mengalami retak dan kemudian diberikan gaya tekan sentris maka otomatis retak tersebut akan menutup (hilang). Jika diteruskan maka baja mengalami yielding. Ini menunjukkan bahwa faktor lokal pada batang yang umumnya berupa detail sambungan tidak menentukan. Jadi jelas, dalam memperhitungkan batang desak, maka perilaku lokal (sambungan) tidak mempunyai pengaruh. Meskipun demikian perlu juga diperhatikan bahwa itu tidak berarti melupakan sistem sambungannya. Karena bagaimanapun maka sistem sambungan yang dipilih harus mampu menerima gaya yang bekerja pada batang tersebut. Moga-moga membantu.

9 RESPONSES TO PENGARUH SAMBUNGAN PADA BATANG TEKAN DAN BATANG TARIK1. Pingback: Tweets that mention pengaruh sambungan pada batang tekan dan batang tarik | The works of Wiryanto Dewobroto -- Topsy.com

2.

anggry | 30 Januari 2011 pukul 22:36 | BalasSelamat Malam Pak Wir. Salam Sejahtera.

Saya salah satu mahasiswa perguruan tinggi di Surabaya. Saya termasuk salah satu penggemar tulisantulisan Bapak terutama yang ada sangkut pautnya sama struktur baja. Mumpung masih membahas soal Tension & Compression , yang ingin saya tanyakan : Untuk sambungan bracing ke balok induk ( Misalnya untuk sistem rangka bracing konsentrik khusus) yang menggunakan plat baja (plat simpul) sebagai alat sambungnya, apakah cukup dikontrol tarik (adanya faktor Shear lag U dan blok shear rupture) pada plat simpulnya , ataukah juga perlu di kontrol tekuk (akibat tekan ) pada plat simpul tersebut ? Terima Kasih.

o

wir | 30 Januari 2011 pukul 22:59 | BalasBracing konsentrik khusus > untuk sistem struktur penahan lateral ya, gempa ?

Ingat, bracing konsentrik perilaku keruntuhannya tidak daktail lho sehingga harus direncanakan sebagai element yang berperilaku elastis ketika menerima beban lateral.

Jika tidak direncanakan terhadap beban tekan, dan hanya tarik maka bisa saja ketika menerima gaya tekan akan mengalami buckling (tertekuk) ketika hal tersebut terjadi dan jika bracing-nya saling menyilang maka yang akan bekerja adalah bracing yang menerima gaya tarik. Tetapi jika posisi bracing hanya satu arah, maka ketika menerima gaya tekan akan fail.

Untuk plat simpul, pakai plat samping ya sehingga mekanisme kerja yang terjadi pada bautnya adalah geser. Jika demikian maka sebenarnya tidak ada perbedaan antara tarik atau tekan pada sistem sambungan tersebut. Tahunya hanya geser. Tentang tekuk pada plat tersebut, nah ini tergantung dari detailnya. Umumnya detail pelat sambungan dibuat sedekat mungkin sehingga daerah bebas juga tidak terlalu banyak (banyak kejepitnya) maka biasanya tekuk pelat tidak menentukan. Tetapi jika detailnya khusus, pelatnya terlihat banyak bebasnya, maka tentu perlu dichek terhadap tekuk. Yah, perlu judgement begitulah untuk detail sambungannya.

3.

MUHAMMAD GHOMARI | 31 Januari 2011 pukul 15:32 | BalasSebelumnya makasih pak Wir telah berkenan menjawab pertanyaan ini. Agak bingung nih pak, dengan statement berikut : Ingat jika baja mengalami retak dan kemudian diberikan gaya tekan sentris maka otomatis retak tersebut akan menutup (hilang). Jika diteruskan maka baja mengalami yielding. Ini menunjukkan bahwa faktor lokal pada batang yang umumnya berupa detail

sambungan tidak menentukan. Baru tahu pak ada kasus seperti itu (maklum masih kurang baca buku pak apa ada dokumentasi dan referensi mengenai kasus ini. Makasih sebelumnya Salam kembali dari Unsri Indralaya, Sumatera Selatan ). Kalau boleh pak wir,

o

wir | 31 Januari 2011 pukul 15:56 | BalasBaru tahu pak ada kasus seperti itu

Lho apa dosennya tidak mengajarkan perilaku keruntuhan baja daktail, yaitu, [1] yielding dan [2] rupture. Jika yielding sifatnya liat, material baja masih tetap solid (menyatu) hanya mengalami deformasi besar. Kondisi tersebut mengakibatkan redistribusi gaya-gaya, dan merupakan faktor penting pada baja konstruksi. Fenomena yielding itu yang selama ini banyak dijadikan kriteria batas untuk perencanaan elastis. Sedangkan fenomena rupture, pada kondisi dimana material baja mengalami semacam retak (terpisah) sifatnya lokal, yaitu mula-mula kecil dan jika tegangan tarik terjadi terus maka retak bertambah dan pada akhirnya putus. Fenomena terjadinya cepat sekali (non-daktail) , o ya perilaku keruntuhan ini terjadi sesaat tegangan ultimate tercapai, dan hanya dipertimbangkan pada perencanaan ultimate. Retak adalah kondisi mulai terpisah yang saling menjauh, itu hanya terjadi jika menerima gaya tarik. Sedangkan jika diberikan gaya yang berlawanan (tekan) maka retak akan menutup. Selanjutnya jika batangnya langsing maka stabilitas penampang (buckling) akan terjadi, tetapi jika efek kelangsingan tidak dominan maka terjadiyielding (dan terjadi penyebaran gaya). Yah belajar baja memang jangan mengandalkan diktat saja.

4.

MUHAMMAD GHOMARI | 1 Februari 2011 pukul 12:19 | BalasHmm ternyata memang harus hati-hati angkat bicara dalam forum sebesar ini. Salah memilih kata, alhasil kebodohan lah yang terlihat. Tapi gak apa-apa kok Pak Wir, yang penting saya dapat belajar banyak dari salah satu dosen terbaik di Indonesia. Jadi ingat kata-kata Yohannes Surya Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini, yang ada hanyalah orang yang tidak mendapat kesempatan belajar dari guru yang baik. Saya sangat senang belajar dengan Pak Wir, membaca blog ini merasa membuat jadi orang yang pintar.

Saya mengerti dengan penjelasan pak Wir, pak wir menjelaskan filosofinya. Memang selama ini yang selalu saya lakukan hanya mengandalkan rumus, sedikit sekali mengerti filosofi nya.

pak Wir, makasih atas jawabannya. Saya masih perlu belajar lagi, mumpung masih mahasiswa harus mempersiapkan diri untuk dunia kerja ke depan. Jangan nanti tanpa mempersiapkan diri, sudah memikul tanggung jawab yang membahayakan masyarakat banyak. Terima Kasih.

o

wir | 1 Februari 2011 pukul 12:54 | BalasKata-kata pak Yohanes Surya betul sekali, kesempatan mendapatkan guru-guru yang baiklah kadang yang membedakan orang satu dengan yang lainnya. Pengalaman saya 10 tahun di dunia real, dan 10 tahun di dunia pendidikan, termasuk menempuh program doktoral tentu saja merupakan bekal yang dapat dianggap sebagai suatu anugrah, yang mana itu semua tentu saja tidak ada gunanya jika tidak disebarkan kepada masyarakat. Oleh karena itulah maka saya menulis di blog ini. Bahkan ternyata dengan memberikan ke publik, banyak juga akhirnya masukan-masukan dari masyarakat yang mungkin jika ketemu langsung adalah para pakar, yang akhirnya ilmu pengetahuan yang diperoleh menjadi bertambahtambah saja. Kadang benar juga kata pepatah banyak memberi, banyak menerima. Sdr Gomari, adanya pertanyaan-pertanyaan anda juga ternyata dapat memancing pengetahuan yang mungkin dulu tidak terungkap di bawah sadar saya, sehingga akhirnya menjadi pengetahuan yang nyata dalam bentuk tertulis. Untuk itu diucapkan banyak terima kasih. Saya yakin sikap kritis anda jika dikembangkan, beberapa tahun lagi jelas pasti akan dapat berkembang baik dan harapannya akan lebih baik dari yang sekarang-sekarang yangd disebut para senior. Semoga anda menikmati bidang rekayasa struktur.

5.

Tan | 1 Februari 2011 pukul 21:01 | BalasSaya juga sangat familiar dan lancar dengan AISC apalagi AISC yang paling up to date.. kalau SNI sih saya kurang gitu paham, soalnya dari dulu saya belajar pake AISC . I love AISC

6.

agus | 7 Februari 2011 pukul 23:04 | Balasmalam pak, maaf mengganggu.. saya mau nanya masalah peraturan gempa yg terbaru, apakah sudah diterbitkan? boleh dong bagi situs download gratisnya hehehehe ditunggu, pak

6 semuanya las, kapan pakai bautnyaSebagai dosen struktur baja di Jurusan Teknik Sipil UPH, maka rasanya ada kewajiban untuk menjawab pertanyaan saudara Andri sbb

Andri // 23 Februari 2010 pada 02:06 ) Selamat siang Pak Wir,

Saya termasuk orang baru di dunia civil, blog bapak benar2 sangat memotivasi saya untuk terjun lebih dalam di dunia civil engineering, bapak pun sudah saya anggap guru saya meski secara tidak langsung. Ada beberapa pertanyaan sederhana saya

1. Apakah semua sambungan baja bisa di buat moment connection ? Karena ada teman saya yg mendesign struktur baja dan semua sambungannya di las, termasuk rangka atap (struktur truss) dan sambungan sub beam ke main beam, alasannya karena katanya lebih mudah pengerjaannya.. (terus terang sekarang sayapun jarang melihat ada struktur baja yg menggunakan baut pada sambungannya, di sini semuanya main las). 2. Kapan kita mesti menggunakan sambungan las dan kapan kita mesti menggunakan sambungan baut ? 3. Apa yg terjadi kalau kita menganalisis dan memodelkan struktur dengan 100% release terhadap moment, tapi kita mendesign sambungan dengan menggunakan las ? (karena ada juga kejadian seperti itu, untuk membuat simple pekerjaan jadi semua sambungan di las) 4. Bila kita memodelkan struktur Truss pada SAP2000, apakah kita bisa merelease member 100% terhadap moment, mengingat rasanya tidak ada sambungan baja yg betul-betul 100% bebas moment (mohon koreksi jika saya salah), dan bagaimana kita menentukan persentase yg mesti kita release terhadap moment? Sekian dulu Pak Wir, terimakasih sebelumnya.

Andri

Saya kira dari pertanyaan saudara Andri di atas, kita bisa berdiskusi tentang materi baja.

Konstruksi baja mempunyai karakter yang khas, yang disusun dari element profil baja yang merupakan produk pabrik, yang tentunya mempunyai kontrol mutu pembuatan yang lebih baik. Kualitasnya dapat terprediksi secara lebih cermat, sesuai dengan spesifikasi produk yang ditawarkan. Kalaupun ternyata antara brosur dan produk terjadi perbedaan yang menyolok maka itu tentu disebabkan oleh kualitas pabrik. Jika itu yang terjadi maka nama pabriknya bisa di black-list. Ya seperti motor jepang dengan motor cina

yang dijumpai di Indonesia tempo hari, jadi yang nggak sesuai janji maka lama-lama pabriknya juga akan hilang. Jadi pada intinya nama pabrik pembuatnya bisa dijadikan jaminan, tentang kualitas baja produksinya. Panjang profil baja yang dihasilkan pabrik juga tertentu, relatif panjang, seperti misalnya profil H atau profil I panjangnya 12 m atau bisa juga mungkin lebih panjang disesuaikan alat angkut yang tersedia. Profil L (siku) panjangnya adalah 6 m. Dengan panjang seperti itu, dan juga melihat ukuran bangunan gedung yang umumnya kurang dari 12 m, maka mestinya tanpa sambunganpun dapat dibuat lantai jika ukurannya kurang dari 12 m. Kalau lebih besar dari itu maka itu hanya dimungkinkan jika profil-profil baja tersebut disambung. Jika profil baja mutunya terjamin karena buatan pabrik, maka sambungan adalah tidak demikian halnya. Detail sambungan tidak disediakan pabrik, sedangkan bentuk dan jenisnya bisa bervariasi di lapangan, oleh karena itu mutu dan kinerjanyapun juga bervariasi. Jika demikian maka sambungan baja adalah bagian kritis yang menentukan kekuatan dan kekakuan struktur bangunan baja. Itu dibuktikan dengan mempelari data statistik maupun pengamatan yang menunjukkan bahwa sebagian besar kerusakan atau bahkan kegagalan struktur bangunan baja ditentukan oleh kinerja sistem sambungan yang digunakan. Oleh karena itulah maka bagi seorang engineer pengetahuan mengenai perilaku sistem sambungan yang akan digunakan adalah sangat penting. Bahkan sangat penting. Jika check stress dan tekuk pada penampang dapat dikerjakan (dievaluasi) oleh program komputer melalui opsi post-processing (misalnya SAP2000 dan STAAD-pro) secara otomatis, maka pemodelan struktur dalam menentukan perilaku sambungan tidak secara otomatis dapat dipilih oleh komputer. Biasanya komputer sudah menetapkannya secara otomatis sebagai joint continue, istilah sederhana dari sambungan momen. Tapi apakah seperti itu kenyataannya. Belum tentu bukan. O ya, ingat : continue itu tidak hanya momen saja lho, bisa torsi, bisa momen sumbu lemah (dan kuat) dsb-nya. Pada konstruksi baja, jika struktur dimodelkan sebagai joint continue maka prakteknya, untuk menghasilkan sambungan yang continue seperti itu perlueffort khusus. Ini berbeda dengan konstruksi beton yang prakteknya dapat dengan mudah menghasilkan konstruksi yang menyatu, khususnya untuk konstruksi beton cast-in-situ. Bahkan untuk menghasilkan sambungan yang berperilaku sebagai pin pada konstruksi beton adalah lebih kompleks. Susah (mahal) ! Kembali kepada struktur baja, untuk baja profil hot-rolled atau baja pelat tebal maka alat sambung yang dikenalnya hanya dua, yaitu las (weld) dan baut, khususnya baut mutu tinggi. Ini tentu berbe