2. uu kip antara harapan dan kenyataan oleh suko widodo

Upload: kanal-jurnal-ilmu-komunikasi

Post on 11-Feb-2018

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    1/10

    UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

    ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

    Suko Widodo

    (Staff Pengajar Departemen Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya)

    ABSTRAK

    Keterbukaan Informasi publik merupakan salah satu perwujudan dari

    penyelenggaraan pemerintahaan yang baik (good governance). Dimana

    keterbukaan informasi publik merupakan kewajiban pemerintah dan badan public.Hal tersebut mengingat informasi public adalah milik public bukanlah milik

    pemerintah maupun badan publik. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi hal

    tersebut maka lahirlah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)

    sebagai wadahnya. Walaupun pada kenyataannya UU KIP belum begitu

    memasyarakat dengan baik, sehingga masih diperlukan upaya sosialisasi baik

    dikalangan pemerintah maupun badan publik.

    Kata Kunci : Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemerintahan.

    PUBLIC INFORMATION DISCLOSURE LAW

    BETWEEN HOPE AND REALI TY

    ABSTRACT

    Disclosure of public information is one manifestation of the

    implementation of good governance where the public information disclosure is the

    duty of government and public institutions. It refers to the fact that the public

    information is public property and is not owned by the government and publicinstitutions. Therefore, to be able to meet these conditions, the Freedom of

    Information Law was established, despite the fact that the law is not so popular in

    the community, so it is still necessary to socialize it among governments and

    public institutions.

    Keywords :Freedom of Information Law, Governance.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    2/10

    122 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

    PENDAHULUAN

    Keterbukaan informasi selain menjadi bagian penting dalampenyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), merupakan aspek

    mendasar pemerintahan yang bebas korupsi. Melalui keterbukaan, setiap badan

    publik membuka akses informasi kepada publik sebagai wujud pemenuhan hak

    untuk tahu. Pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi publik.

    Sesuai dengan amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

    Informasi Publik (UU KIP), hal terpenting dalam pemenuhan hak akses informasi

    salah satunya adalah layanan informasi kepada masyarakat. Sejalan dengan

    konsep pemerintahan terbuka, kebijakan pelayanan informasi mencakup beragam

    aspek antara lain (1) peningkatan layanan informasi publik, (2) pengembanganintegritas publik, (3) pengelolaan sumber daya publik, (4) pengembangan dan

    pelibatan komunitas, serta (5) akuntabilitas lembaga (Bappenas, 2011).

    Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi merupakan

    kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental, sebuah

    informasi adalah milik publik bukan milik pemerintah atau badan publik. Akan

    tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup

    informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik

    tetap harus didahulukan.

    Di Indonesia, pelaksanaan UU KIP ini tidaklah mudah, karena menghadapibanyak kendala, baik yang sifatnya stuktural maupun kultural. Birokrasi yang

    memiliki akar sejarah dari kultur feodal menanamkan nilai-nilai yang tidak

    kondusif bagi sistem pelayanan yang lancar dan transparan. Warisan kultural

    semacam itu mengalami penguatan pada pemerintahan otoriter era Orde Baru,

    sehingga birokrasi tampil begitu perkasa dan kultur pelayanan publik tidak

    berkembang.

    Bahkan yang terjadi, birokrasi pemerintah justru minta dilayani. Lebih dari

    itu, birokrasi pemerintah tidak dikontrol masyarakat, tetapi justru menjadi

    instrumen rezim yang berkuasa dalam mengontrol masyarakat secara efektifmelalui politik perizinan. Kultur yang berkembang dalam jajaran aparat badan

    publik semacam itu, bagaimanapun masih tertanam hingga sekarang.

    Kondisi tersebut membuat implementasi UU KIP di Indonesia masih

    berpotensi memunculkan berbagai permasalahan. Mulai dari kultur masyarakat

    yang masih cenderung pasif sehingga memengaruhi akses terhadap informasi,

    hingga persoalan di birokrasi dalam hal pengelolaan dan layanan informasi yang

    asal-asalan dan tidak berkualitas, serta pendokumentasian informasi yang kurang

    menjadi budaya knowledge management.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    3/10

    123Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

    Dengan semangat UU KIP yang sangat demokratis itu mestinya mampu

    mendorong tingginya permintaan informasi ke badan-badan publik negara

    sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan

    publik, pengelolaan badan publik, dan pengawasan atas jalannya pembangunan.

    Namun, kenyataannya sejak UU KIP berlaku secara efektif per 1 Mei 2010

    sampai dengan pertengahan tahun 2012 jumlah kasus sengketa informasi publik

    yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat masih berkisar 600-an, tetapi lebih

    dari separuh kasus diadukan oleh seorang pemohon (Muhammad HS), dan sisanya

    adalah pemohon dari kalangan LSM (seperti ICW, TI, ISAI, dan Pattiro).

    MENGIKUTI HARAPAN AMANATKeterbukaan informasi publik mulai bersemi di tanah air. Pengesahan

    Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada

    tanggal 30 April 2008 yang berlaku secara nasional dua tahun kemudian atau 1

    Mei 2010 telah membuka seluas-seluasnya akses informasi bagi masyarakat

    dengan pengecualian yang terbatas.

    Konsekuensi dari kehadiran Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang

    Keterbukaan Informasi Publik adalah setiap badan publik dewasa ini tidak lagi

    berwenang menyembunyikan beragam informasi publik kepada masyarakat,

    kecuali memang yang dilarang sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku.Bila sebelumnya semua informasi di badan publik itu seolah-olah milik sendiri,

    kini ada mekanismenya agar bisa diakses masyarakat dengan cepat, tepat waktu,

    dan murah.

    Informasi publik merupakan hak dasar yang mesti dipenuhi oleh lembaga

    publik untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Informasi ini ketika dikemas

    sedemikian rupa akan dapat mendukung berkembangnya partisipasi publik dan

    hubungan yang ideal antara masyarakat dengan badan publik.

    Ada beragam informasi yang wajib disediakan dan diumumkan kepada

    publik. Pertama, informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara

    berkala. Kedua, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Ketiga,

    informasi yang wajib tersedia setiap saat. Namun, keterbukaan informasi publik

    tentu ada batasnya sehingga ada pula informasi yang dikecualikan sebagaimana

    diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 14 tahun 2008.

    UU KIP mewajibkan pula pengelolaan dan pelayanan informasi

    dilaksanakan oleh badan publik agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-

    luasnya terhadap informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan publik.Upaya

    mengimplementasikan kegiatan layanan informasi publik, tentu bukan hal yang

    mudah. Masih panjang jalan yang akan ditempuh dan bisa jadi banyak kendala

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    4/10

    124 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

    menghadang. Akan tetapi, mau tidak mau semua lembaga harus mulai berbenah

    untuk menjalankan amanah UU KIP.

    Walau demikian, beragam hambatan dan masalah mengiringi implementasi

    Undang-Undang No. 14 tahun 2008 antara lain mengenai kesulitan badan-badan

    publik dalam mengelola informasi dan dokumentasi yang dimilikinya. Kendala

    yang yang muncul itu mengakibatkan masih ada badan publik yang belum

    kunjung mengimplementasikan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 sehingga

    menghambat hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik.

    MELACAK KENYATAAN

    Berdasarkan sejumlah studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga baik

    LSM maupun lainnya dapat diketahui bahwa sejak diberlakukannya secara efektif

    UU KIP dua tahun lalu sampai pertengahan 2012 pelaksanaannya terasa belum

    optimal. Pada masa awal implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi

    Publik, banyak kajian mengenai kesiapan lembaga publik untuk melaksanakan

    keterbukaan informasi publik sesuai amanat UU KIP. Misalnya yang dilakukan

    oleh ICW (2012), ICEL-Indonesian Center for Environmental Law (2012),

    BPPKI Kementerian Kominfo (2011), Balitbang SDM Kominfo (2009, 2010).

    Setelah dua tahun UU KIP disahkan dan sosialisasi pelaksanaan UU KIP

    dilaksanakan oleh berbagai pihak termasuk kalangan LSM, kajian mengenai UU

    KIP banyak dilakukan mencakup uji akses informasi pubik misalnya yang

    dilakukan oleh ICW (2012), Koalisi Kebebasan Informasi (2008)., Article 9-

    Yayasan TIFA (2009), PATTIRO dan FITRA. Sementara kajian mengenai

    implementasi UU KIP pernah dilakukan Centre for Law and Democracy- Yayasan

    28 terhadap badan publik pusat (2011), Pemprov Jawa Timur (2012) dan

    Bappenas (2010).

    Dalam perspektif pemerintah, indikator terlaksananya secara optimal UU

    KIP ditandai oleh beberapa hal, antara lain: (1) terbentuknya Komisi Informasi di

    semua Provinsi disertai dukungan yang memadai dari segi anggaran, SDM,

    sarana, prasarana, dan sistem politik yang kondusif, (2) telah ditunjuknya PPID di

    semua Badan Publik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, (3) PPID

    berfungsi secara optimal dalam pelaksanaan pelayanan informasi publik, dan (4)

    terbentuknya kultur masyarakat untuk mau mengajukan permohonan informasi

    publik secara individual.

    Empat indikator penting itu ternyata sampai sekarang belum juga dipenuhi.

    Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan

    Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (2012)

    memperlihatkan bahwa tingkat pencapaian pembentukan PPID pada badan-badan

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    5/10

    125Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

    publik negara baik di tingkat pusat maupun daerah sampai Oktober 2012 baru

    mencapai 25,3% dari jumlah keseluruhan 693 badan publik negara. Sebagaimana

    tabel berikut ini:

    Tabel 1 Pembentukan PPID di Badan Publik Negara

    No Lembaga Jumlah

    Telah Menunjuk Pejabat

    Pengelola Informasi dan

    Dokumentasi (PPID)

    Persenta

    se (%)

    1 Kementerian 34 33 97.1

    2

    Lembaga Negara

    /Lembaga Setingkat

    Menteri /LNS/LPP

    129 34 26.4

    3 Provinsi 33 16 48.5

    4 Kabupaten 399 69 17.3

    5 Kota 98 23 23.5TOTAL 693 175 25.3

    Sumber: Ditjen IKP- Kementerian Kominfo, Oktober 2012

    Jumlah badan publik yang memiliki PPID tersebut masih kurang dari 50

    persen. Hal ini menandakan masih minimnya keseriusan badan publik untuk

    menaati UU KIP No: 14/2008 tentang KIP yang menjamin hak publik

    mendapatkan informasi.

    Dalam praktik kebanyakan belum ditunjuknya PPID disebabkan kelalaian

    atau juga perasaan takut atau terancam karena UU KIP ini dapat membuat publik

    menuntut transparansi penyelenggaraan pemerintah. Dalam kasus tertentu terdapatpula anggapan bahwa UU KIP ini digunakan untuk mencari alasan agar dapat

    menekan pemerintah. Kondisi itu bisa disebabkan karena tiadanya sanksi bagi

    Badan Publik yang tidak melaksanakan UU KIP (dalam pasal 61 UU KIP 2008).

    Namun sesungguhnya satu permasalahan yang cukup sering muncul adalah

    masalah anggaran, SDM, kordinasi, dan sosialisasi. Selain itu lemahnya peran

    masyarakat dalam menuntut pelaksanaan UU KIP ini telah mendorong pimpinan

    daerah untuk tidak segera membentuk PPID. Warga dan kelompok kelompok

    masyarakat tidak peduli dengan masalah keterbukaan informasi publik. Tuntutan

    diberlakukannya dan permohonan informasi lebih terbatas pada sebagian wargameasyarakat seperti LSM, media dan universitas.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    6/10

    126 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

    Jika dilihat untuk Jawa Timur, data yang dirilis oleh Komisi Informasi

    Provinsi Jawa Timur menunjukkan sebaran seperti berikut ini:

    Tabel 2 Pembentukan PPID di Jawa Timur berdasar keluar SKPPID Level Provinsi PPID Level Kabupaten/Kota

    Jawa Timur (2 Agustus 2011)

    1. Kota Surabaya (17 Januari 20112. Sampang (8 April 2011)3. Kota Malang (30 Mei 2011)4. Madiun (6 Juni 2011)5. Blitar (2 Agustus 2011)6. Sumenep (27 Februari 2012)7. Gresik 11 Agustus 2011)8. Probolinggo (18 Januari 2012)9.

    Kota Batu (2011)10. Bangkalan (24 Februari 2011)

    11. Mojokerto (15 Juli 2011)12. Kota Mojokerto (15 Juli 2012)13. Sidoarjo (4 Juni 2012)14. Tuban (23 Juli 2012)

    Sumber: Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (2012), Ditjen IKP (2012)

    Dalam konteks yang lebih luas, lemahnya peran masyarakat dan komitmen

    pimpinan badan publik negara ini dipengaruhi juga oleh lemahnya pelaksanaan

    UU KIP oleh badan publik nonpemerintah (parpol, ormas, LSM, universitas, dan

    media massa yang menggunakan atau mengelola dana publik). Hal itu kembali

    pada tiadanya sanksi yang tegas bagi semua badan publik yang tidak

    melaksanakan UU KIP ini. Atmosfir ini mengkonstruksi realitas sosial bahwa

    pelaksanaan UU KIP atau masalah keterbukaan informasi publik tidaklah atau

    belum penting atau bukan prioritas (untuk saat ini).

    Pada dasarnya, tantangan badan publik adalah bagaimana mengembangkan

    komitmen dan konsistensi dalam menjalankan UU KIP tersebut. Hambatan

    terbesar dalam pelaksanaan akses terhadap informasi dan komunikasi di negara-

    negara berkembang, yaitu adanya kesenjangan antara kebijakan komunikasi dan

    informasi, perspektif perencanaan dan realisasi kebijakan. Kondisi itu makin rumit

    ketika ada kecenderungan struktur birokrasi pemerintahan untuk mempertahankan

    status quo dari pada mengembangkan kapasitas publik dalam mengakses

    informasi (Linden, 1999).

    Belum lagi persoalan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya

    SDM pemerintah dan lembaga publik lainnya, khususnya dalam mengubah

    paradigma, pola pikir (mindset) sebagai persyaratan kunci agar sikap dan tindakan

    pelayanan informasi kepada publik bisa lebih baik dan pelaksanaan komunikasi

    publik berlangsung lebih profesional.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    7/10

    127Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

    Jika sebagian besar badan publik masih belum mengimplementasikan UU

    KIP dengan baik, maka akan rentan memunculkan sengketa informasi akibat tidak

    dipenuhinya permintaan informasi dari pemohon informasi. Sementara itu saat ini

    juga masih banyak berkembang persepsi keliru tentang keterbukaan informasi,

    sedikitnya permohonan informasi, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam

    implementasi UU KIP (Komisi Informasi Pusat, 2011).

    MENIMBANG PERAN WARGA

    Satu prinsip lagi dalam berdemokrasi yaitu partisipasi. Dalam

    pembangunan berlangsung secara demokratis, karena semua telah melibatkan

    warga masyarakat dan berlangsung dari bawah (bottom-up). Akan tetapi memangharus diakui tidak semua warga berani mengungkapkan pendapatnya, karena itu

    dominasi tokoh masyarakat masih terasa.

    Di Jawa Timur, sebenarnya cukup banyak warga yang sudah mengetahu UU

    KIP serta paham dan pernah memenuhi hak untuk memperoleh informasi tersebut,

    dengan cara mendatangi kantor lembaga pemerintah atau telepon langsung ke

    lembaga tersebut.Sebagian warga mendapatkan informasi melalui internet dengan

    mengakses website lembaga pemerintah, dan sebagian juga mendapatkan

    informasi dengan mengandalkan mesin pencari seperti Google (Ditjen IKP, 2012).

    Namun diakui oleh sebagian besar bahwa informasi yang mereka dapatlebih banyak dari berita yang ditayangkan oleh media massa.Mereka yang sudah

    pernah mengakses informasi di lembaga tertentu masih belum merasa puas

    mengenai ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi. Sebagian juga

    mengeluhkan kesesuaian informasi yang diberikan dengan kebutuhan. Namun,

    informasi yang sudah didapat dikatakan sudah jelas. Masyarakat cenderung

    menilai bahwa informasi yang diberikan serta layanan informasi lembaga

    setempat masih biasa saja. Sebagian besar mengharapkan bahwa informasi publik

    dapat diakses kapanpun dan oleh siapapun (Puskakom, 2012).

    Sedikitnya jumlah pemohon dan pengguna menunjukkan bahwa wargamerasa tidak tertarik jika diminta berpartisipasi untuk melakukan koreksi pada

    badan publik. Oleh karena itu, aspek proactive transparency yakni adanya data

    spesifik (APBD yang rinci, Kebijakan Ijin usaha) yang harus dicantumkan

    (dipublikasikan) perlu lebih ditingkatkan.

    Pola ini lebih dapat mendorong partisipasi warga dibandingkan dengan

    Reactive Tranparency (pola UU KIP) yakni adanya data yang tersedia yang

    dapat diminta oleh pemohon. Singkatnya bagi warga, data yang telah dipublikasi

    lebih menarik dibandingkan data yang hanya tersedia tetapi harus dimohon dulu

    agar dapat diketahui.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    8/10

    128 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.

    PENUTUP

    Secara umum dapat dikatakan bahwa transparansi Pemerintah Jatimmengalami perkembangan menarik, bersamaan dengan implementasi UU KIP.

    Perubahan sistem politik sejak berakhirnya Orde Baru juga menjadi faktor

    menentukan terhadap semakin transparansinya pemerintah daerah. Bersamaan

    dengan itu, suara masyarakat luas, terutama dari kalangan LSM cukup aktif

    mengawasi jalanya pemerintahan, sehingga pemerintah cukup hati-hati. Namun

    demikian, UU KIP ini belum begitu memasyarakat, sehingga perlu sosialisasi di

    semua level yang dilakukan melalui berbagai media. Banyak warga yang tidak

    tahu apa itu KIP, bahkan di kalangan pemerintah sendiri juga tidak tahu, dan

    kurang peduli.

    Bagaimanapun pemerintah dan badan publik lain harus tetap memiliki

    komitmen tinggi yang ditunjukkan pada kesediaan mengalokasikan anggaran

    untuk berbagai kegiatan implementasi UU KIP. Terutama bagi daerah Provinsi

    yang belum memiliki KI dan PPID, harus segera melaksanakan UU KIP sebagai

    perwujudan komitmen terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.

    Sementara itu, di kalangan masyarakat sikap kritis konstruktif perlu terus

    dikembangkan sebagai prasyarat dasar bagi keterlibatan secara aktif dalam

    mengimplementasikan UU KIP. Tanpa adanya sikap kritis yang berkembang

    dalam masyarakat, maka tingkat partisipasi dalam bentuk permohonan informasi

    akan tetap rendah, karena informasi dianggap tidak urgen dalam upaya

    menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari.

    DAFTAR RUJUKAN

    Balitbang-SDM Depkominfo. (2009). Kajian Persepsi Masyarakat terhadap

    UU ITE dan UU KIP. Jakarta: Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM

    Depkominfo.Balitbang-SDM Depkominfo.(2010). Studi Kesiapan Pengelolaan Informasi

    Publik pada Lembaga Kemitraan Koinfo di Daerah . Jakarta: Puslitbang

    Aptel SKDI Balitbang SDM Depkominfo.

    Center for Law and Democracy. 2011. A Burst of Sunlight but Darkness

    Looms:Indonesia s Draft Law on State Secrecy ThreatensFreedom of

    Information. Jakarta: CLD- Yayasan SET

    Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (2012). Pelaksanaan UU Keterbukaan

    Informasi Publik. Studi Evaluasi di 10 Provinsi di Indonesia. Jakarta:

    Kominfo- UI.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    9/10

    129Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan

    ICW. (2012). Laporan Independen Implementasi Open Government

    Partnership (OGP) di Indonesia. Jakarta: ICW- YAPPIKA- MediaLink -

    KontraS -IBC- IPC- Yayasan TIFAISAI. (2008). Uji Akses Informasi Terhadap Enam Badan Publik tingkat

    Pusat. Jakarta: ISAI

    Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. (2010).

    Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010

    tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)

    Tahun 2010-2014. Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang

    Pembangunan. BAB VI Politik. Jakarta: BAPPENAS.

    Komisi Informasi Pusat. (2011). LAPORAN TAHUNAN Komisi Informasi

    Pusat 2011. Jakarta: Komisi Informasi Pusat.

    Linden, Ank. (1999). "Communication Policies and Planning in Third World

    Countries Overt Intentions and Covert Agendas: Discourse onFormulating". Dalam International Communication Gazette 1999;

    Halaman 61-153.

    Mendel, Toby. (2004). Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey

    Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A

    Comparative Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta:

    UNESCO.

    Muchtar, Adinda Tenriangke; Antonius Wiwan Koban; Benni Inayatulla; Endang

    Srihadi; Lola Amelia. (2012). Pembahasan RUU APBN dan Isu

    Perbatasan di DPR: Studi Terkini tentang Akses untuk Informasi dan

    Partisipasi Publik. Jakarta: The Indonesian Institute.

    Puskakom Surabaya. (2012). Evaluasi Pelaksanaan Layanan Informasi Publik.

    Surabaya: Puskakom.

    RTI International. (2009). Local Governance Support Program Final Report.

    Jakarta: USAID

    Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas. (2002). Public

    Good Governance, Sebuah Paparan Singkat. Bappenas. Jakarta.

  • 7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo

    10/10

    130 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.