2. uu kip antara harapan dan kenyataan oleh suko widodo
TRANSCRIPT
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
1/10
UU KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN
Suko Widodo
(Staff Pengajar Departemen Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya)
ABSTRAK
Keterbukaan Informasi publik merupakan salah satu perwujudan dari
penyelenggaraan pemerintahaan yang baik (good governance). Dimana
keterbukaan informasi publik merupakan kewajiban pemerintah dan badan public.Hal tersebut mengingat informasi public adalah milik public bukanlah milik
pemerintah maupun badan publik. Oleh karena itu, untuk dapat memenuhi hal
tersebut maka lahirlah Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)
sebagai wadahnya. Walaupun pada kenyataannya UU KIP belum begitu
memasyarakat dengan baik, sehingga masih diperlukan upaya sosialisasi baik
dikalangan pemerintah maupun badan publik.
Kata Kunci : Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Pemerintahan.
PUBLIC INFORMATION DISCLOSURE LAW
BETWEEN HOPE AND REALI TY
ABSTRACT
Disclosure of public information is one manifestation of the
implementation of good governance where the public information disclosure is the
duty of government and public institutions. It refers to the fact that the public
information is public property and is not owned by the government and publicinstitutions. Therefore, to be able to meet these conditions, the Freedom of
Information Law was established, despite the fact that the law is not so popular in
the community, so it is still necessary to socialize it among governments and
public institutions.
Keywords :Freedom of Information Law, Governance.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
2/10
122 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
PENDAHULUAN
Keterbukaan informasi selain menjadi bagian penting dalampenyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance), merupakan aspek
mendasar pemerintahan yang bebas korupsi. Melalui keterbukaan, setiap badan
publik membuka akses informasi kepada publik sebagai wujud pemenuhan hak
untuk tahu. Pada gilirannya akan menumbuhkan partisipasi publik.
Sesuai dengan amanat UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (UU KIP), hal terpenting dalam pemenuhan hak akses informasi
salah satunya adalah layanan informasi kepada masyarakat. Sejalan dengan
konsep pemerintahan terbuka, kebijakan pelayanan informasi mencakup beragam
aspek antara lain (1) peningkatan layanan informasi publik, (2) pengembanganintegritas publik, (3) pengelolaan sumber daya publik, (4) pengembangan dan
pelibatan komunitas, serta (5) akuntabilitas lembaga (Bappenas, 2011).
Mendel (2004) menyatakan bahwa membuka akses informasi merupakan
kewajiban bagi pemerintah dan badan publik. Secara fundamental, sebuah
informasi adalah milik publik bukan milik pemerintah atau badan publik. Akan
tetapi pemerintah memang harus menjaga keseimbangan antara menutup
informasi dan kepentingan publik. Namun, bagaimanapun, kepentingan publik
tetap harus didahulukan.
Di Indonesia, pelaksanaan UU KIP ini tidaklah mudah, karena menghadapibanyak kendala, baik yang sifatnya stuktural maupun kultural. Birokrasi yang
memiliki akar sejarah dari kultur feodal menanamkan nilai-nilai yang tidak
kondusif bagi sistem pelayanan yang lancar dan transparan. Warisan kultural
semacam itu mengalami penguatan pada pemerintahan otoriter era Orde Baru,
sehingga birokrasi tampil begitu perkasa dan kultur pelayanan publik tidak
berkembang.
Bahkan yang terjadi, birokrasi pemerintah justru minta dilayani. Lebih dari
itu, birokrasi pemerintah tidak dikontrol masyarakat, tetapi justru menjadi
instrumen rezim yang berkuasa dalam mengontrol masyarakat secara efektifmelalui politik perizinan. Kultur yang berkembang dalam jajaran aparat badan
publik semacam itu, bagaimanapun masih tertanam hingga sekarang.
Kondisi tersebut membuat implementasi UU KIP di Indonesia masih
berpotensi memunculkan berbagai permasalahan. Mulai dari kultur masyarakat
yang masih cenderung pasif sehingga memengaruhi akses terhadap informasi,
hingga persoalan di birokrasi dalam hal pengelolaan dan layanan informasi yang
asal-asalan dan tidak berkualitas, serta pendokumentasian informasi yang kurang
menjadi budaya knowledge management.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
3/10
123Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan
Dengan semangat UU KIP yang sangat demokratis itu mestinya mampu
mendorong tingginya permintaan informasi ke badan-badan publik negara
sebagai bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik, pengelolaan badan publik, dan pengawasan atas jalannya pembangunan.
Namun, kenyataannya sejak UU KIP berlaku secara efektif per 1 Mei 2010
sampai dengan pertengahan tahun 2012 jumlah kasus sengketa informasi publik
yang ditangani oleh Komisi Informasi Pusat masih berkisar 600-an, tetapi lebih
dari separuh kasus diadukan oleh seorang pemohon (Muhammad HS), dan sisanya
adalah pemohon dari kalangan LSM (seperti ICW, TI, ISAI, dan Pattiro).
MENGIKUTI HARAPAN AMANATKeterbukaan informasi publik mulai bersemi di tanah air. Pengesahan
Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada
tanggal 30 April 2008 yang berlaku secara nasional dua tahun kemudian atau 1
Mei 2010 telah membuka seluas-seluasnya akses informasi bagi masyarakat
dengan pengecualian yang terbatas.
Konsekuensi dari kehadiran Undang-Undang No. 14 tahun 2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik adalah setiap badan publik dewasa ini tidak lagi
berwenang menyembunyikan beragam informasi publik kepada masyarakat,
kecuali memang yang dilarang sesuai amanat perundang-undangan yang berlaku.Bila sebelumnya semua informasi di badan publik itu seolah-olah milik sendiri,
kini ada mekanismenya agar bisa diakses masyarakat dengan cepat, tepat waktu,
dan murah.
Informasi publik merupakan hak dasar yang mesti dipenuhi oleh lembaga
publik untuk disebarluaskan kepada masyarakat. Informasi ini ketika dikemas
sedemikian rupa akan dapat mendukung berkembangnya partisipasi publik dan
hubungan yang ideal antara masyarakat dengan badan publik.
Ada beragam informasi yang wajib disediakan dan diumumkan kepada
publik. Pertama, informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara
berkala. Kedua, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Ketiga,
informasi yang wajib tersedia setiap saat. Namun, keterbukaan informasi publik
tentu ada batasnya sehingga ada pula informasi yang dikecualikan sebagaimana
diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 14 tahun 2008.
UU KIP mewajibkan pula pengelolaan dan pelayanan informasi
dilaksanakan oleh badan publik agar masyarakat dapat mendapatkan akses seluas-
luasnya terhadap informasi yang dimiliki dan dikelola oleh badan publik.Upaya
mengimplementasikan kegiatan layanan informasi publik, tentu bukan hal yang
mudah. Masih panjang jalan yang akan ditempuh dan bisa jadi banyak kendala
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
4/10
124 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
menghadang. Akan tetapi, mau tidak mau semua lembaga harus mulai berbenah
untuk menjalankan amanah UU KIP.
Walau demikian, beragam hambatan dan masalah mengiringi implementasi
Undang-Undang No. 14 tahun 2008 antara lain mengenai kesulitan badan-badan
publik dalam mengelola informasi dan dokumentasi yang dimilikinya. Kendala
yang yang muncul itu mengakibatkan masih ada badan publik yang belum
kunjung mengimplementasikan Undang-Undang No. 14 tahun 2008 sehingga
menghambat hak masyarakat untuk memperoleh informasi publik.
MELACAK KENYATAAN
Berdasarkan sejumlah studi yang dilakukan oleh berbagai lembaga baik
LSM maupun lainnya dapat diketahui bahwa sejak diberlakukannya secara efektif
UU KIP dua tahun lalu sampai pertengahan 2012 pelaksanaannya terasa belum
optimal. Pada masa awal implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi
Publik, banyak kajian mengenai kesiapan lembaga publik untuk melaksanakan
keterbukaan informasi publik sesuai amanat UU KIP. Misalnya yang dilakukan
oleh ICW (2012), ICEL-Indonesian Center for Environmental Law (2012),
BPPKI Kementerian Kominfo (2011), Balitbang SDM Kominfo (2009, 2010).
Setelah dua tahun UU KIP disahkan dan sosialisasi pelaksanaan UU KIP
dilaksanakan oleh berbagai pihak termasuk kalangan LSM, kajian mengenai UU
KIP banyak dilakukan mencakup uji akses informasi pubik misalnya yang
dilakukan oleh ICW (2012), Koalisi Kebebasan Informasi (2008)., Article 9-
Yayasan TIFA (2009), PATTIRO dan FITRA. Sementara kajian mengenai
implementasi UU KIP pernah dilakukan Centre for Law and Democracy- Yayasan
28 terhadap badan publik pusat (2011), Pemprov Jawa Timur (2012) dan
Bappenas (2010).
Dalam perspektif pemerintah, indikator terlaksananya secara optimal UU
KIP ditandai oleh beberapa hal, antara lain: (1) terbentuknya Komisi Informasi di
semua Provinsi disertai dukungan yang memadai dari segi anggaran, SDM,
sarana, prasarana, dan sistem politik yang kondusif, (2) telah ditunjuknya PPID di
semua Badan Publik sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, (3) PPID
berfungsi secara optimal dalam pelaksanaan pelayanan informasi publik, dan (4)
terbentuknya kultur masyarakat untuk mau mengajukan permohonan informasi
publik secara individual.
Empat indikator penting itu ternyata sampai sekarang belum juga dipenuhi.
Hasil pemetaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan
Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (2012)
memperlihatkan bahwa tingkat pencapaian pembentukan PPID pada badan-badan
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
5/10
125Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan
publik negara baik di tingkat pusat maupun daerah sampai Oktober 2012 baru
mencapai 25,3% dari jumlah keseluruhan 693 badan publik negara. Sebagaimana
tabel berikut ini:
Tabel 1 Pembentukan PPID di Badan Publik Negara
No Lembaga Jumlah
Telah Menunjuk Pejabat
Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID)
Persenta
se (%)
1 Kementerian 34 33 97.1
2
Lembaga Negara
/Lembaga Setingkat
Menteri /LNS/LPP
129 34 26.4
3 Provinsi 33 16 48.5
4 Kabupaten 399 69 17.3
5 Kota 98 23 23.5TOTAL 693 175 25.3
Sumber: Ditjen IKP- Kementerian Kominfo, Oktober 2012
Jumlah badan publik yang memiliki PPID tersebut masih kurang dari 50
persen. Hal ini menandakan masih minimnya keseriusan badan publik untuk
menaati UU KIP No: 14/2008 tentang KIP yang menjamin hak publik
mendapatkan informasi.
Dalam praktik kebanyakan belum ditunjuknya PPID disebabkan kelalaian
atau juga perasaan takut atau terancam karena UU KIP ini dapat membuat publik
menuntut transparansi penyelenggaraan pemerintah. Dalam kasus tertentu terdapatpula anggapan bahwa UU KIP ini digunakan untuk mencari alasan agar dapat
menekan pemerintah. Kondisi itu bisa disebabkan karena tiadanya sanksi bagi
Badan Publik yang tidak melaksanakan UU KIP (dalam pasal 61 UU KIP 2008).
Namun sesungguhnya satu permasalahan yang cukup sering muncul adalah
masalah anggaran, SDM, kordinasi, dan sosialisasi. Selain itu lemahnya peran
masyarakat dalam menuntut pelaksanaan UU KIP ini telah mendorong pimpinan
daerah untuk tidak segera membentuk PPID. Warga dan kelompok kelompok
masyarakat tidak peduli dengan masalah keterbukaan informasi publik. Tuntutan
diberlakukannya dan permohonan informasi lebih terbatas pada sebagian wargameasyarakat seperti LSM, media dan universitas.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
6/10
126 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
Jika dilihat untuk Jawa Timur, data yang dirilis oleh Komisi Informasi
Provinsi Jawa Timur menunjukkan sebaran seperti berikut ini:
Tabel 2 Pembentukan PPID di Jawa Timur berdasar keluar SKPPID Level Provinsi PPID Level Kabupaten/Kota
Jawa Timur (2 Agustus 2011)
1. Kota Surabaya (17 Januari 20112. Sampang (8 April 2011)3. Kota Malang (30 Mei 2011)4. Madiun (6 Juni 2011)5. Blitar (2 Agustus 2011)6. Sumenep (27 Februari 2012)7. Gresik 11 Agustus 2011)8. Probolinggo (18 Januari 2012)9.
Kota Batu (2011)10. Bangkalan (24 Februari 2011)
11. Mojokerto (15 Juli 2011)12. Kota Mojokerto (15 Juli 2012)13. Sidoarjo (4 Juni 2012)14. Tuban (23 Juli 2012)
Sumber: Komisi Informasi Provinsi Jawa Timur (2012), Ditjen IKP (2012)
Dalam konteks yang lebih luas, lemahnya peran masyarakat dan komitmen
pimpinan badan publik negara ini dipengaruhi juga oleh lemahnya pelaksanaan
UU KIP oleh badan publik nonpemerintah (parpol, ormas, LSM, universitas, dan
media massa yang menggunakan atau mengelola dana publik). Hal itu kembali
pada tiadanya sanksi yang tegas bagi semua badan publik yang tidak
melaksanakan UU KIP ini. Atmosfir ini mengkonstruksi realitas sosial bahwa
pelaksanaan UU KIP atau masalah keterbukaan informasi publik tidaklah atau
belum penting atau bukan prioritas (untuk saat ini).
Pada dasarnya, tantangan badan publik adalah bagaimana mengembangkan
komitmen dan konsistensi dalam menjalankan UU KIP tersebut. Hambatan
terbesar dalam pelaksanaan akses terhadap informasi dan komunikasi di negara-
negara berkembang, yaitu adanya kesenjangan antara kebijakan komunikasi dan
informasi, perspektif perencanaan dan realisasi kebijakan. Kondisi itu makin rumit
ketika ada kecenderungan struktur birokrasi pemerintahan untuk mempertahankan
status quo dari pada mengembangkan kapasitas publik dalam mengakses
informasi (Linden, 1999).
Belum lagi persoalan peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya
SDM pemerintah dan lembaga publik lainnya, khususnya dalam mengubah
paradigma, pola pikir (mindset) sebagai persyaratan kunci agar sikap dan tindakan
pelayanan informasi kepada publik bisa lebih baik dan pelaksanaan komunikasi
publik berlangsung lebih profesional.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
7/10
127Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan
Jika sebagian besar badan publik masih belum mengimplementasikan UU
KIP dengan baik, maka akan rentan memunculkan sengketa informasi akibat tidak
dipenuhinya permintaan informasi dari pemohon informasi. Sementara itu saat ini
juga masih banyak berkembang persepsi keliru tentang keterbukaan informasi,
sedikitnya permohonan informasi, serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam
implementasi UU KIP (Komisi Informasi Pusat, 2011).
MENIMBANG PERAN WARGA
Satu prinsip lagi dalam berdemokrasi yaitu partisipasi. Dalam
pembangunan berlangsung secara demokratis, karena semua telah melibatkan
warga masyarakat dan berlangsung dari bawah (bottom-up). Akan tetapi memangharus diakui tidak semua warga berani mengungkapkan pendapatnya, karena itu
dominasi tokoh masyarakat masih terasa.
Di Jawa Timur, sebenarnya cukup banyak warga yang sudah mengetahu UU
KIP serta paham dan pernah memenuhi hak untuk memperoleh informasi tersebut,
dengan cara mendatangi kantor lembaga pemerintah atau telepon langsung ke
lembaga tersebut.Sebagian warga mendapatkan informasi melalui internet dengan
mengakses website lembaga pemerintah, dan sebagian juga mendapatkan
informasi dengan mengandalkan mesin pencari seperti Google (Ditjen IKP, 2012).
Namun diakui oleh sebagian besar bahwa informasi yang mereka dapatlebih banyak dari berita yang ditayangkan oleh media massa.Mereka yang sudah
pernah mengakses informasi di lembaga tertentu masih belum merasa puas
mengenai ketersediaan dan kemudahan mendapatkan informasi. Sebagian juga
mengeluhkan kesesuaian informasi yang diberikan dengan kebutuhan. Namun,
informasi yang sudah didapat dikatakan sudah jelas. Masyarakat cenderung
menilai bahwa informasi yang diberikan serta layanan informasi lembaga
setempat masih biasa saja. Sebagian besar mengharapkan bahwa informasi publik
dapat diakses kapanpun dan oleh siapapun (Puskakom, 2012).
Sedikitnya jumlah pemohon dan pengguna menunjukkan bahwa wargamerasa tidak tertarik jika diminta berpartisipasi untuk melakukan koreksi pada
badan publik. Oleh karena itu, aspek proactive transparency yakni adanya data
spesifik (APBD yang rinci, Kebijakan Ijin usaha) yang harus dicantumkan
(dipublikasikan) perlu lebih ditingkatkan.
Pola ini lebih dapat mendorong partisipasi warga dibandingkan dengan
Reactive Tranparency (pola UU KIP) yakni adanya data yang tersedia yang
dapat diminta oleh pemohon. Singkatnya bagi warga, data yang telah dipublikasi
lebih menarik dibandingkan data yang hanya tersedia tetapi harus dimohon dulu
agar dapat diketahui.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
8/10
128 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.
PENUTUP
Secara umum dapat dikatakan bahwa transparansi Pemerintah Jatimmengalami perkembangan menarik, bersamaan dengan implementasi UU KIP.
Perubahan sistem politik sejak berakhirnya Orde Baru juga menjadi faktor
menentukan terhadap semakin transparansinya pemerintah daerah. Bersamaan
dengan itu, suara masyarakat luas, terutama dari kalangan LSM cukup aktif
mengawasi jalanya pemerintahan, sehingga pemerintah cukup hati-hati. Namun
demikian, UU KIP ini belum begitu memasyarakat, sehingga perlu sosialisasi di
semua level yang dilakukan melalui berbagai media. Banyak warga yang tidak
tahu apa itu KIP, bahkan di kalangan pemerintah sendiri juga tidak tahu, dan
kurang peduli.
Bagaimanapun pemerintah dan badan publik lain harus tetap memiliki
komitmen tinggi yang ditunjukkan pada kesediaan mengalokasikan anggaran
untuk berbagai kegiatan implementasi UU KIP. Terutama bagi daerah Provinsi
yang belum memiliki KI dan PPID, harus segera melaksanakan UU KIP sebagai
perwujudan komitmen terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis.
Sementara itu, di kalangan masyarakat sikap kritis konstruktif perlu terus
dikembangkan sebagai prasyarat dasar bagi keterlibatan secara aktif dalam
mengimplementasikan UU KIP. Tanpa adanya sikap kritis yang berkembang
dalam masyarakat, maka tingkat partisipasi dalam bentuk permohonan informasi
akan tetap rendah, karena informasi dianggap tidak urgen dalam upaya
menyelesaikan persoalan hidup sehari-hari.
DAFTAR RUJUKAN
Balitbang-SDM Depkominfo. (2009). Kajian Persepsi Masyarakat terhadap
UU ITE dan UU KIP. Jakarta: Puslitbang Aptel SKDI Balitbang SDM
Depkominfo.Balitbang-SDM Depkominfo.(2010). Studi Kesiapan Pengelolaan Informasi
Publik pada Lembaga Kemitraan Koinfo di Daerah . Jakarta: Puslitbang
Aptel SKDI Balitbang SDM Depkominfo.
Center for Law and Democracy. 2011. A Burst of Sunlight but Darkness
Looms:Indonesia s Draft Law on State Secrecy ThreatensFreedom of
Information. Jakarta: CLD- Yayasan SET
Ditjen Informasi dan Komunikasi Publik (2012). Pelaksanaan UU Keterbukaan
Informasi Publik. Studi Evaluasi di 10 Provinsi di Indonesia. Jakarta:
Kominfo- UI.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
9/10
129Suko Widodo, UU KIP Antara Harapan dan Kenyataan
ICW. (2012). Laporan Independen Implementasi Open Government
Partnership (OGP) di Indonesia. Jakarta: ICW- YAPPIKA- MediaLink -
KontraS -IBC- IPC- Yayasan TIFAISAI. (2008). Uji Akses Informasi Terhadap Enam Badan Publik tingkat
Pusat. Jakarta: ISAI
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS. (2010).
Lampiran Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2010
tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
Tahun 2010-2014. Buku II Memperkuat Sinergi Antarbidang
Pembangunan. BAB VI Politik. Jakarta: BAPPENAS.
Komisi Informasi Pusat. (2011). LAPORAN TAHUNAN Komisi Informasi
Pusat 2011. Jakarta: Komisi Informasi Pusat.
Linden, Ank. (1999). "Communication Policies and Planning in Third World
Countries Overt Intentions and Covert Agendas: Discourse onFormulating". Dalam International Communication Gazette 1999;
Halaman 61-153.
Mendel, Toby. (2004). Kebebasan Memperoleh Informasi, Sebuah Survey
Perbandingan Hukum, Judul Asli: Freedom of Information: A
Comparative Legal Survey, Penerjemah: Tim Kawantama, Jakarta:
UNESCO.
Muchtar, Adinda Tenriangke; Antonius Wiwan Koban; Benni Inayatulla; Endang
Srihadi; Lola Amelia. (2012). Pembahasan RUU APBN dan Isu
Perbatasan di DPR: Studi Terkini tentang Akses untuk Informasi dan
Partisipasi Publik. Jakarta: The Indonesian Institute.
Puskakom Surabaya. (2012). Evaluasi Pelaksanaan Layanan Informasi Publik.
Surabaya: Puskakom.
RTI International. (2009). Local Governance Support Program Final Report.
Jakarta: USAID
Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas. (2002). Public
Good Governance, Sebuah Paparan Singkat. Bappenas. Jakarta.
-
7/23/2019 2. UU KIP Antara Harapan Dan Kenyataan Oleh Suko Widodo
10/10
130 KANAL, Vol. 1, No. 2, Maret 2013, Hal. 111-220.