2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · kemampuan suatu negara untuk menghasilkan ......

17
2. TINJAUAN PUSTAKA Teori Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi digunakan untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta meningkatkan kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya. Investasi juga semakin berkembang dan akan menambah barang modal dan teknologi yang digunakan. Di samping itu, tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Menurut Arsyad (1999) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB)/Pendapatan Nasional Bruto (PNB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi atau tidak. Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada ”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu, pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisis sehingga kebijakan- kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008). Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk (Arsyad,1999). Unsur pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 1994). Persamaannya adalah : Δ Y = f (ΔK, ΔL) Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi Δ K = tingkat pertambahan barang modal Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja Model Pertumbuhan Harrod-Domar Model pertumbuhan yang paling terkenal dalam teori neo-keynesian adalah model pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan ini menjelaskan mekanisme perekonomian yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model pertumbuhan Harrod-Domar adalah sebagai berikut: Δ Y = s Δ Y = tingkat perubahan atau tingkat pertumbuhan PNB (yaitu, angka persentase perubahan PNB) s = rasio tabungan nasional k = rasio modal-output nasional

Upload: dangcong

Post on 10-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

2. TINJAUAN PUSTAKA

Teori Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai perkembangan kegiatan dalam perekonomian

yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan

kemakmuran masyarakat meningkat (Sukirno, 2000). Jadi pertumbuhan ekonomi digunakan

untuk mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian serta meningkatkan

kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa. Kemampuan yang meningkat

ini disebabkan oleh pertambahan faktor-faktor produksi baik dalam jumlah dan kualitasnya.

Investasi juga semakin berkembang dan akan menambah barang modal dan teknologi yang

digunakan. Di samping itu, tenaga kerja bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk

seiring dengan meningkatnya pendidikan dan keterampilan mereka. Menurut Arsyad (1999)

pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB)/Pendapatan

Nasional Bruto (PNB) tanpa memandang apakah kenaikan tersebut lebih besar atau lebih

kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi terjadi

atau tidak. Sasaran pembangunan ekonomi daerah adalah meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi daerah. Pertumbuhan ekonomi daerah diukur dengan pertumbuhan Pendapatan

Domestik Regional Bruto (PDRB) menurut harga konstan. Laju pertumbuhan PDRB akan

memperlihatkan proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang. Penekanan pada

”proses”, karena mengandung unsur dinamis, perubahan atau perkembangan. Oleh karena itu,

pemahaman indikator pertumbuhan ekonomi biasanya akan dilihat dalam kurun waktu

tertentu, misalnya tahunan. Aspek tersebut relevan untuk dianalisis sehingga kebijakan-

kebijakan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintah untuk mendorong aktivitas

perekonomian domestik dapat dinilai efektifitasnya (Rustiono, 2008).

Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik

Menurut ekonom Klasik, Smith, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua faktor

utama yakni pertumbuhan output total dan pertumbuhan penduduk (Arsyad,1999). Unsur

pokok dari sistem produksi suatu negara ada tiga, yaitu sumberdaya alam, sumberdaya

manusia dan stok modal. Menurut Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik, pertumbuhan

ekonomi bergantung pada faktor-faktor produksi (Sukirno, 1994). Persamaannya adalah :

Δ Y = f (ΔK, ΔL)

Δ Y = tingkat pertumbuhan ekonomi

Δ K = tingkat pertambahan barang modal

Δ L = tingkat pertambahan tenaga kerja

Model Pertumbuhan Harrod-Domar

Model pertumbuhan yang paling terkenal dalam teori neo-keynesian adalah model

pertumbuhan Harrod-Domar. Model pertumbuhan ini menjelaskan mekanisme perekonomian

yang mengandalkan peningkatan investasi demi mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model

pertumbuhan Harrod-Domar adalah sebagai berikut: Δ Y

𝑌 =

s

𝑘

Δ Y

𝑌 = tingkat perubahan atau tingkat pertumbuhan PNB (yaitu, angka

persentase perubahan PNB)

s = rasio tabungan nasional

k = rasio modal-output nasional

Agar dapat tumbuh dengan pesat, maka setiap perekonomian haruslah menabung dan

menginvestasikan sebanyak mungkin bagian dari PNB-nya. Semakin banyak yang ditabung

kemudian diinvestasikan, maka laju pertumbuhan perekonomian itu akan semakin cepat

(Todaro, 2003).

Model Pertumbuhan Solow

Dalam model pertumbuhan ekonomi Neo Klasik Solow (Solow Neo Classical Growth

Model) ini merupakan pengembangan dari formulasi Harrod-Domar dengan menambahkan

faktor kedua yaitu tenaga kerja serta memperkenalkan variabel independen ketiga yakni

teknologi ke dalam persamaan pertumbuhan.

Y = Kα . (AL)

1-α

Y = Produk Domestik Bruto

K = stok modal fisik dan modal manusia

L = tenaga kerja non terampil

A = konstanta yang merefleksikan tingkat teknologi dasar

α = melambangkan elastisitas output terhadap model, yakni persentase kenaikan PDB yang

bersumber dari 1% penambahan modal fisik dan modal manusia. Menurut teori pertumbuhan

Neo Klasik Tradisional, pertumbuhan output selalu bersumber dari satu atau lebih dari 3

(tiga) faktor yakni kenaikan kualitas dan kuantitas tenaga kerja, penambahan modal

(tabungan dan investasi) dan penyempurnaan teknologi (Todaro, 2003).

Investasi

Investasi sering disebut juga sebagai penanaman modal atau Pembentukan Modal Tetap

Bruto (PMTB). Investasi menghubungkan pasar uang dengan pasar barang, masa kini dan

masa datang. Selain itu, fluktuasi investasi berpengaruh besar pada proses bisnis. Poin yang

menonjol adalah investasi dalam jangka panjang, menentukan jumlah stok modal dan

berperan dalam pertumbuhan ekonomi jangka panjang (Blanchard, 2006). Sukirno (2000)

mendefinisikan investasi sebagai pengeluaran-pengeluaran untuk membeli barang-barang

produksi dengan tujuan untuk mengganti dan menambah barang-barang modal dalam

perekonomian yang akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa di masa depan.

Tujuan investasi ini adalah untuk meningkatkan kapasitas memproduksi suatu perekonomian.

Ada 3 jenis investasi menurut Dornbusch and Fischer (1997), Mankiw (2003), Sukirno

(2000) yaitu: (1) Investasi tetap bisnis (Business Fixed Investment) yaitu pengeluaran

perusahaan untuk pembelian pabrik dan peralatan baru, (2) Investasi residensi (residential

investment, yaitu pembelian perumahan baru oleh rumah tangga dan tuan tanah, (3) Investasi

dalam persediaan (inventory investment) yaitu bahan baku, barang setengah jadi, dan barang

jadi yang disimpan oleh perusahaan untuk kemudian dijual. Menurut Dornbusch and Fischer

(1992) ada dua sudut pandang investasi yaitu:

1. Investasi dalam arti sempit yaitu penambahan persediaan fisik modal, atau disebut juga

investasi riil,

2. Investasi dalam arti luas, yang mencakup investasi finansial dan sumber daya manusia.

Investasi dan pertumbuhan mempunyai hubungan yang tidak dapat dipisahkan,

besarnya investasi di daerah akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan daerah tersebut.

Untuk itu perlu di uraikan lebih lanjut hubungan antara investasi dan pertumbuhan.

Investasi dan Pertumbuhan

Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007, penanaman modal (investasi) adalah

segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun

penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Secara

garis besar, penanaman modal dalam rangka investasi ditinjau dari sumbernya dibagi 2 (dua),

yaitu investasi pemerintah seta investasi swasta. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 1

tahun 2008, Investasi Pemerintah adalah penempatan sejumlah dana dan/atau barang oleh

pemerintah dalam jangka panjang untuk investasi pembelian surat berharga dan Investasi

Langsung untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Investasi swasta dikelompokan menjadi dua yaitu penanaman modal dengan modal

berasal dari dalam negeri dan penanaman modal dengan modal dari pihak asing / luar negeri.

Penanaman modal dalam negeri adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di

wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri

dengan menggunakan modal dalam negeri. Penanaman modal asing adalah kegiatan

menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang

dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya

maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri (Undang-Undang Nomor 25

Tahun 2007).

Di negara berkembang seperti Indonesia, investasi sangat dibutuhkan untuk

memutuskan lingkaran setan kemiskinan yang ada. Hal ini dikarenakan investasi dapat

meningkatkan pendapatan nasional suatu negara. Sesuai dengan teori yang dicetuskan oleh

Mankiw (2000) yaitu setiap kenaikan jumlah pendapatan sebagai akibat dari pertambahan

investasi akan menaikkan pendapatan dengan jumlah yang berlipat ganda (multiplied effect).

Peningkatan pendapatan khususnya dalam bentuk uang akan meningkatkan permintaan

barang secara keseluruhan (Aggregate Demand). Dengan demikian, terdapat sebuah tuntutan

untuk memenuhi permintaan sehingga mempengaruhi kebutuhan peralatan maupun uang

dalam bentuk modal sebagai akibat kenaikan produksi, sehingga secara tidak langsung akan

meningkatkan investasi. Kenaikan tabungan masyarakat karena peningkatan pendapatan

merupakan investasi secara langsung melalui lembaga keuangan dan secara matematis dapat

dituliskan sebagai berikut :

Y = C + S

Di mana :

Y = Pendapatan masyarakat

C = Konsumsi

I = Investasi

dengan asumsi keseimbangan yaitu S=I, maka akan didapatkan :

Y = C + I

Secara keseluruhan gambaran mengenai peningkatan pendapatan masyarakat yang

disebabkan oleh kenaikan investasi dan tingkat konsumsi dapat dilihat pada Gambar 1 berikut

:

Harga (P)

AD2

AD1

Pendapatan Nasional (Y)

Y1 Y2

Gambar 1. Hubungan Pendapatan, Investasi dan Konsumsi Sumber: Mankiw (2000)

Gambar 1 dapat menjelaskan bahwa adanya investasi mampu mendorong peningkatan

Aggregate Demand (AD). Dengan demikian, peningkatan investasi menggeser kurva AD ke

kanan atas, dari AD1 ke AD2. Dengan meningkatnya AD, maka pertumbuhan ekonomi dan

tingkat pendapatan perkapita di suatu wilayah pun akan meningkat (Y1 ke Y2).

Menurut Mankiw (2000) faktor yang mempengaruhi peningkatan investasi adalah

tingkat suku bunga. Persamaan yang mengaitkan investasi dan suku bunga riil adalah sebagai

berikut:

I = I (r)

Investasi bergantung pada suku bunga riil r karena suku bunga merupakan biaya

peminjaman. Ketika biaya peminjaman (r) meningkat, maka keuntungan yang didapat

investor dapat menurun dengan asumsi ceteris paribus sehingga hal tersebut dapat

menurunkan investasi yang ditanamkan. Sebaliknya, jika biaya peminjaman turun, maka

investor akan meningkatkan jumlah investasinya mengingat keuntungan yang didapat juga

akan meningkat. Hal ini dapat dijelaskan melalui Gambar 2.

b) Perpotongan Keynessian

Pengeluaran (E)

a) Fungsi Investasi

c) Kurva IS

Gambar 2. Investasi Perpotongan Keynesian dan Kurva IS Sumber: Mankiw (2000)

Gambar 2 merupakan kombinasi antara fungsi investasi dengan diagram perpotongan

Keynessian dan grafik kurva IS. Bagian (a) menjelaskan hubungan terbalik antar investasi

dan tingkat bunga. Penurunan tingkat bunga dari r1 ke r2 akan mengakibatkan jumlah

investasi yang ditanamkan meningkat dari I (r1) ke I (r2). Peningkatan investasi yang

direncanakan akan menggeser fungsi pengeluaran yang direncanakan ke atas dari AE1 ke

AE2, sebagaimana yang terlihat dalam bagian (b). Peningkatan pengeluaran yang

Y

2

Y

1

AE2

AE

1 Pendapatan,

Output, Y

Tingkat

bunga, r

Ivestasi, I

Tingkat

bunga,r

Pendapatan,

Output, Y

r1 r2

I1 I2

direncanakan ini akan mengakibatkan tingkat pendapatan nasional meningkat dari Y1 ke Y2.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa satu dari berbagai upaya meningkatan

pendapatan wilayah dengan meningkatkan jumlah investasi pada wilayah tersebut sehingga

akan terjadi pertumbuhan ekonomi. Secara ringkas, grafik hubungan investasi dan

pendapatan nasional dapat dijelaskan oleh gambar 3

Gambar 3. Grafik hubungan Output (Y) dengan Investasi (I) Sumber: Mankiw (2000)

Dalam konteks pembangunan nasional dewasa ini, kepentingan peningkatan investasi

sesungguhnya memiliki tujuan yang lebih luas daripada hanya sekedar penciptaan

pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Menurut Mankiw (2000) berkaitan dengan isu

dan permasalahan yang dihadapi, misi peningkatan investasi pada dasarnya mencakup tiga

tujuan yang saling berkaitan, yaitu: (1) penciptaan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan

lapangan kerja; (2) berkurangnya jumlah penduduk miskin, dan pada gilirannya (3)

terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan. Berkenaan dengan tujuan

tersebut, upaya peningkatan investasi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan kualitas

pelayanan terhadap masyarakat. Dalam kaitan inilah, diperlukan kepemimpinan yang visioner

untuk mengintegrasikan berbagai kepentingan dan upaya memobilisasi para pelaku,

organisasi dan sumberdaya.

Dengan adanya desentralisasi diharapkan pertumbuhan ekonomi di daerah lebih baik,

untuk itu akan dibahsa lebih lanjut keterkaitan desentralisasi dan pertumbuhan ekonomi

Hubungan Desentralisasi Fiskal dan Pertumbuhan Ekonomi

Pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi yang diikuti oleh perubahan-

perubahan dalam corak dan struktur aktivitas ekonomi yang bertujuan untuk mengurangi atau

menghapuskan kemiskinan, ketimpangan dalam distribusi pendapatan, dan ketimpangan

dalam penggangguran di suatu daerah. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa

pembangunan ekonomi adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang

meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka mewujudkan tujuan

negara. Dalam berbagai teori dinyatakan bahwa nilai inti pembangunan adalah :

Terciptanya keperluan hidup yang berkelanjutan

Terciptanya harga diri masyarakat suatu negara

Terciptanya kemerdekaan

Pembangunan ekonomi itu sendiri bertujuan untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang

tangguh. Pertumbuhan ekonomi juga adalah mengukur prestasi dari perkembangan

perekonomian suatu negara (perkembangan jumlah produksi barang, pertambahan jumlah

perkantoran, sekolah, pusat-pusat pariwisata dll). Pertumbuhan ekonomi dapat diukur melalui

persentase tambahan dari pendapatan nasional riil, yakni pendapatan nasional riil dapat

dihitung baik dengan cara pengeluaran, produk bruto maupun dengan cara pendapatan.

Pendapatan, Output, Y

Ivestasi

Dalam mengkaji hubungan antara desentralisasi fiskal dengan pertumbuhan ekonomi

beberapa pengujian telah dilakukan seperti (Chema dan Rondinelli, 1983, Mankiw, Romer,

and Weil, 1992). Hasilnya diperoleh sebagai berikut:

Untuk negara-negara dengan tiga perangkat/level pemerintahan, hubungan antara

desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi cukup kuat.

Untuk negara-negara industri, desentralisasi fiskal mempengaruhi pertumbuhan

ekonomi apabila peran pemerintah pusat yang lebih kecil muncul akibat peran

pemerintah pusat lebih luas dibandingkan dengan peranan propinsi.

Untuk negara-negara sedang berkembang desentralisasi fiskal akan mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi apabila peranan pemerintah pusat yang lebih kecil muncul

akibat peranan pemerintah propinsi yang lebih besar dibanding pemerintah di

bawahnya.

Otonomi daerah merupakan saat yang tepat bagi pemerintah daerah untuk berbenah

diri, dengan adanya otonomi daerah semua kewenangan dan urusan anggaran menjadi

tanggungjawab daerah otonom. Pertumbuhan ekonomi, pengangguran dan kemiskinan yang

merupakan indikator dari perekonomian daerah juga ditentukan bagaimana tata kelola

ekonomi daerah tersebut. tata kelola ekonomi daerah yang baik diharapkan akan

meningkatkan Perekonomian Daerah.

Otonomi daerah membawa konsekwensi pada pelimpahan wewenang dan urusan pusat

ke daerah, Tata Kelola sebagai satu dari berbagai hal yang menjadi urusan pusat yang

kemudian dalam era otonomi daerah menjadi urusan daerah.

Pengertian Tata Kelola

Dixit (2001) mendefinisikan tata kelola secara luas menyangkut interaksi interaksi

antara para pelaku pasar dengan kelembagaan-kelembagaan yang dilakukan oleh pemerintah.

Sedangkan beberapa peneliti lain memisahkan tata kelola menjadi konsep yang berbeda dan

lebih sederhana, seperti korupsi (Wei 2000), transparansi (Kaufmann et al. 2003), dan

peraturan (Djankov et al. 2002). Busse et al (2007) menggunakan tata kelola pemerintahan

(governance) sebagai proxy kualitas institusi. North (1990) memasukkan birokrasi sebagai

salah satu unsur dari institusi, sehingga tata kelola pemerintahan merupakan gambaran

kualitas desentralisasi birokrasi.

Menurut Asian Development Bank (2009), terdapat empat prinsip pokok tata kelola

pemerintahan yang baik, antara lain:

1. Accountability, yaitu pejabat dapat mempertanggung-jawabkan kebijakannya, kebijakan

dilakukan berdasarkan hukum dan aturan yang berlaku, dan setiap pekerjaan dilaporkan

secara benar dan akurat.

2. Participation, yaitu pegawai diberikan peran dalam pembuatan keputusan, adanya

pemberdayaan masyarakat, khususnya penduduk miskin, melalui pemenuhan hak akan akses

untuk memperoleh kehidupan yang layak.

3. Predictability, yaitu adanya kepastian hukum melalui penegakan hukum, aturan, dan

kebijakan secara adil dan konsisten.

4. Transparency, yaitu ketersediaan informasi yang murah dan mudah dipahami masyarakat

guna mendukung akuntabilitas yang efektif, dan adanya kejelasan hukum, aturan, dan

kebijakan.

World Bank Institute (2008) mengukur tata kelola pemerintahan menggunakan enam

indikator. Keenam indikator tersebut antara lain: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2)

stabilitas politik dan ketiadaan kekerasan/terorisme, (3) efektifitas pemerintahan, kualitas

peraturan, (5) penegakan hukum, dan (6) kontrol terhadap korupsi.

Menurut dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata kelola

pemerintahan adalah penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna

mengelola urusan-urusan negara pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh

mekanisme, proses dan lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok-kelompok

masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi

kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan di antara mereka. Good

Governance menurut Bank Dunia adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan

yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang

efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara

politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and

political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha. Masyarakat Transparansi

mendefinisikan Good Governance sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata „baik‟

disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip

dasar Good Governance. Tata kepemerintahan yang baik (good governance) menurut Buku

Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (2007) merupakan suatu

konsepsi tentang penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, demokratis dan efektif, serta di

dalamnya mengatur pola hubungan yang sinergis dan konstruktif antara pemerintah, dunia

usaha swasta dan masyarakat. Tata kepemerintahan yang baik meliputi tata kepemerintahan

untuk sektor publik (good public governance) yang merujuk pada lembaga penyelenggara

negara (eksekutif, legislatif dan yudikatif) dan tata kepemerintahan untuk dunia usaha swasta

(good corporate governance), serta adanya partisipasi aktif dari masyarakat (civil society).

Para pihak inilah yang sering disebut sebagai 3 (tiga) pilar penyangga penyelenggaraan

pemerintahan yang baik.

Gambar 4. Pola Interaksi Tiga Pilar Good Governance Sumber: KPPOD (2007)

good governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat.

Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance lebih banyak

berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban melakukan investasi untuk

mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti pendidikan kesehatan dan

infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat warga yang kompeten

dibutuhkan melalui diterapkannya sistem demokrasi, rule of law, hak asasi manusia, dan

dihargainya pluralisme. Good governance sangat terkait dengan dua hal yaitu (1) good

governance tidak dapat dibatasi hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak

dapat dicapai tanpa prasyarat politik tertentu.

Prinsip Good Governance

UNDP merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik,

kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi,

akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen sektor publik yang efisien,

kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan

World Bank mengungkapkan sejumlah karakteristik good governance adalah masyarakat

sipil yang kuat dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi,

eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum. Masyarakat

Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti : transparansi, akuntabilitas,

kewajaran dan kesetaraan, kesinambungan, partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi

hukum serta efektivitas dan efisiensi. Jelas bahwa terdapat berbagai prinsip yang melandasi

tata pemerintahan yang baik dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke pakar

lainnya. Namun ada tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu Akuntabilitas,

Transparansi, dan Partisipasi Masyarakat.

Tata Kelola Ekonomi yang baik merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, sehingga perlu di uraikan hubungan antara keduanya.

Hubungan Tata Kelola dan Pertumbuhan Ekonomi

Hubungan tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi hingga kini masih

menjadi dilema. Namun, beberapa penelitian membuktikan bahwa ada hubungan kuat antara

tata kelola pemerintahan dengan pertumbuhan ekonomi. Rodrik et all (2004) meneliti

hubungan institusi, integrasi ekonomi (perdagangan internasional) dan geografi terhadap

pembangunan ekonomi di beberapa negara dengan menggunakan data cross section. Kualitas

institusi ditemukan memiliki dampak yang lebih besar terhadap tingkat akumulasi modal fisik

dibandingkan modal manusia. Semakin pentingnya peranan institusi mampu memberikan

insentif yang lebih kuat bagi para pelaku ekonomi untuk berinvestasi sehingga akumulasi

modal fisik meningkat yang akhirnya akan meningkatkan perekonomian. Studi empiris

lainnya dilakukan oleh Abdellatif (2003) menyimpulkan bahwa tata kelola pemerintahan

berhubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi. Fakta menunjukkan ada hubungan yang

signifikan secara statistik antara kebebasan politik (tata kelola pemerintahan yang

demokratis) terhadap petumbuhan. Dalam model yang digunakan, tata kelola pemerintahan

yang demokratis mempengaruhi pertumbuhan dengan menghambat tindakan korupsi dan

meghendaki keterbukaan keuangan pemerintah kepada publik sehingga keuangan publik

dapat dipertanggungjawabkan. Tetapi, tata kelola pemerintahan yang demokratis berkorelasi

dengan pertumbuhan ekonomi hanya jika kualitas institusi meningkat. Jika tidak, tata kelola

pemerintahan yang demokratis hanya memberikan dampak yang kecil terhadap pertumbuhan.

Kaufmann dan Kraay (2002) memperkuat pemikiran bahwa hubungan antara tata kelola

pemerintahan dan pertumbuhan ekonomi dapat bersifat dua arah. Hasil penelitian tesebut

ditemukan hubungan sebab akibat yang positif yang kuat dari tata kelola pemerintahan

terhadap pertumbuhan.

Tata Kelola Ekonomi Daerah

Ada dua pihak yang secara garis besar berinteraksi dalam menentukan kinerja

perekonomian daerah yaitu pemerintah daerah dan pelaku usaha. Pemerintah daerah sebagai

pembuat kebijakan publik yang terkait dunia usaha memiliki peran yang besar dalam

penentuan bentuk kompetisi pasar di daerah. Sedangkan pelaku usaha sebagai pencipta nilai

tambah ekonomi turut menentukan kinerja perekonomian daerah melalui peranan investasi

yang berasal dari pemodalan swasta. Faktor Penggerak Produktivitas Daerah terbentuk pada

suatu daerah merupakan sebuah mekanisme dinamika yang terjadi pada sektor swasta. Hal ini

terlihat pada Gambar 5 di bawah. Kompetisi dan inovasi dari adanya kehadiran perusahaan

dan tenaga kerja yang berkualitas baik diharapkan dapat menciptakan tingkat investasi

tertentu. Peranan sektor swasta di daerah dapat menjadi faktor penggerak produktivitas

daerah yang mencerminkan keadaan berusaha yang baik. Berdasarkan hipotesis ini,

keberadaan perusahaan di kabupaten/kota tertentu menjadi sangat penting (KPPOD, 2007).

Gambar 5 Faktor Penggerak Produktivitas Perekonomian Daerah

Sumber: KPPOD 2007

Kebijakan Pemerintah Daerah terutama tercermin pada berbagai Peraturan Daerah

(PERDA), di antaranya perda tentang APBD. Melalui APBD yang merupakan alat kebijakan

utama, Pemda membuat kebijakan pengeluaran untuk memperbaiki kualitas pelayanan

publik. Di samping itu, melalui kebijakan pendapatannya, Pemda diharapkan mampu

mendorong kegiatan berusaha ekonomi sehingga diharapkan tercipta sejumlah pemasukan

yang berasal dari pajak dan retribusi daerah yang cukup memadai. Setelah fungsi pelayanan

publik mendapatkan perbaikan kualitas, maka tahapan berikutnya pada proses pembangunan

berkelanjutan adalah penciptaan keadaan berusaha yang mendukung pergerakan ekonomi

daerah. Pengembangan usaha swasta harus menjadi motor penggerak ekonomi lokal karena

APBD memiliki banyak keterbatasan dalam hal jumlah dan cakupan program pembangunan

yang dapat dibiayainya. Dengan berbagai bentuk kewenangan yang telah didesentralisasikan,

Pemda berperan besar dalam hal meningkatkan kompetisi antar perusahaan di daerah

bersangkutan dan mendorong berbagai inovasi yang berasal dari perkembangan praktek

berusaha yang mendorong kepada penggunaan teknologi.

Dalam penelitian ini selain melihat pengaruh TKED terhadap kinerja perekonomian

daerah, juga melihat bagaimana pengaruh proses perencanaan dan penganggaran APBD

sehingga perlu dibahas lebih lanjut perencanaan pembangunan daerah.

peningkatkan

kompetisi

mendorong insentif

positif bagi

keadaan berusaha

investasi

dimodal fisik

meningkat

kan tingkat

inovasi

perusahaan

PEMDA

Inovasi Kompetisi

Investasi

Keahlian manajemen

meningkatkan kinerja

kewirausahaan

dan bisnis daerah

perusahaan baru

meningkatkan

kompetisi pasar

perusahaan baru meningkat permintaan terhadap

tenaga kerja ahli

tingkat keahlian

mendorong

perusahaan

menggunakan dan

mengembangkan

teknologi baru

Keahlian Perusahaan

PEMDA

meningkatkan kompetisi pasar mendorong

tingkat inovasi

Perencanaan Pembangunan Daerah

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional (SPPN), “Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan

tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber

daya yang tersedia”. Sedangkan “Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan

oleh semua komponen bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara”. Perencanaan secara

umum dapat diartikan sebagai usaha menentukan cara terbaik guna mencapai tujuan yang

telah ditetapkan. SPPN 2004 menetapkan ada lima dokumen perencanaan pembangunan yang

perlu disusun oleh badan perencana, baik pada tingkat nasional maupun tingkat daerah, yaitu

:

a. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional/Daerah adalah dokumen

perencanaan jangka panjang untuk periode selama 20 tahun. Bersifat umum dan

menyeluruh seperti visi dan misi daerah serta arah pembangunan jangka panjang.

RPJP ini selanjutnya dijadikan dasar dalam penyusunan RPJM dan dokumen

perencanaan lainnya yang terkait.

b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional/Daerah adalah dokumen

perencanaan jangka menengah untuk periode 5 tahun ke depan yang berisikan jabaran

lebih kongkrit dari visi dan misi presiden (pada tingkat nasional) atau visi dan misi

kepala daerah (untuk tingkat propinsi, kabupaten, dan kota).

c. Rencana Strategis, lazim disebut sebagai Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat

Daerah yang berisikan jabaran dari visi dan misi kepala SKPD yang diturunkan dari

visi dan misi Kepala Daerah. Renstra SKPD lebih rinci sampai ke kegiatan karena

ruang lingkupnya lebih kecil, yaitu sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi

(TUPOKSI) dari institusi bersangkutan. Renstra SKPD merupakan dokumen

perencanaan SKPD untuk periode 5 tahun.

d. Rencana Kerja Pemerinta/Rencana Kerja Pemerintah Daerah merupakan rencana

jabaran dari RPJM yang berisikan kebijakan, program, dan kegiatan untuk 1 tahun

(annual planning) sesuai dengan sumber daya yang tersedia pada tahun bersangkutan,

khususnya dana. RKPD selanjutnya dijadikan dasar untuk penyusunan Rencana

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD).

e. Rencana Kerja Institusi (Renja) atau Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah

(Renja SKPD) juga merupakan rencana tahunan bersifat operasional yang isinya

merupakan jabaran dari Renstra yang dibuat oleh masing-masing SKPD sesuai

dengan tupoksinya.

Musrenbang dan Forum SKPD

Untuk menyusun Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang berfungsi sebagai

dokumen perencanaan tahunan, Pemerintah Daerah menyelenggarakan forum Musyawarah

Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) secara berjenjang, mulai dari tingkat

desa/kelurahan, kecamatan, hingga kabupaten/kota, termasuk penyelenggaraan Forum Satuan

Kerja Perangkat Daerah (Forum SKPD) di tingkat kabupaten.

Musrenbang adalah forum multi-pihak terbuka yang secara bersama mengindentifikasi

dan menentukan prioritas kebijakan pembangunan masyarakat. Kegiatan ini berfungsi

sebagai proses negosiasi, rekonsiliasi, dan harmonisasi perbedaan antara pemerintah dan

pemangku kepentingan non pemerintah, sekaligus mencapai konsensus bersama mengenai

prioritas kegiatan pembangunan berikut anggarannya. Selain itu, pada tingkat kecamatan dan

kabupaten/kota terdapat pula kegiatan serupa yang disebut Forum SKPD, yang membahas

sektor-sektor spesifik seperti kesehatan, dan pendidikan. Kegiatan ini memungkinkan setiap

SKPD memadukan program-program mereka dengan perspektif dan prioritas masyarakat.

Hasil dari Musrenbang kecamatan menjadi bahan diskusi pada Forum SKPD, dan hasilnya

kemudian dibawa ke Musrenbang kabupaten/kota untuk dibahas lebih lanjut.

Keterkaitan Antar Dokumen Perencanaan Pembangunan

Keterkaitan antara perencanaan pembangunan nasional dan daerah terdapat pada setiap

tingkatan perencanaan. Adanya otonomi dengan memberi kewenangan luas kepada Kepala

Daerah memerlukan koordinasi dan pengaturan untuk lebih mengharmoniskan dan

menyelaraskan pembangunan, baik pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun

pembangunan antar daerah.

Konsep Keuangan Daerah

Menurut Mardiasmo (2002), anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi

kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran

finansial, sedangkan penganggaran adalah proses atau metode untuk mempersiapkan suatu

anggaran. Sistem anggaran kinerja pada dasarnya merupakan sistem yang mencakup kegiatan

penyusunan program dan tolok ukur kinerja sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan

sasaran program. Penetapan sistem anggaran kinerja dalam penyusunan anggaran dimulai

dengan perumusan program dan penyusunan struktur organisasi pemerintah yang sesuai

dengan program tersebut. Kegiatan tersebut mencakup pula penentuan unit kerja yang

bertanggung jawab atas pelaksanaan program, serta penentuan indikator kinerja yang

digunakan sebagai tolok ukur dalam mencapai tujuan program yang telah ditetapkan.

Anggaran menurut Freeman (2003) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh

organisasi sektor publik untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya ke dalam

kebutuhan-kebutuhan yang tidak terbatas. Pengertian tersebut mengungkap peran strategis

anggaran selain pengelolaan kekayaan dalam organisasi sektor publik, organisasi sektor

publik tentunya berkeinginan memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat, tetapi

sering kali keinginan tersebut terkendala oleh terbatasnya sumber daya yang dimiliki

(Nordiawan, 2006).

Perencanaan dan penganggaran merupakan proses yang terintegrasi, oleh karenanya

output dari perencanaan adalah penganggaran. Perumusan program di dalam perencanaan

pada akhirnya berimplikasi pada besarnya kebutuhan anggaran yang harus disediakan,

sehingga keberhasilan penggunaan anggaran dimulai dari perencanaannya.

Prosedur Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Penyusunan APBD dimulai dari penentuan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok

kebijakan fiskal oleh Pemerintah. Dokumen ini disampaikan kepada DPR untuk dibahas

sebagai pembicaraan pendahuluan penyusunan Rancangan APBN. Sedangkan di tingkat

daerah, penyusunan APBD diawali oleh Pemerintah Daerah dengan menyusun Kebijakan

Umum APBD (KUA) sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). KUA

disampaikan kepada DPRD untuk dibahas sebagi pembicaraan pendahuluan Rancangan

APBD. Setelah kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR atau Pemerintah Daerah dengan

DPRD pada pembicaraan pendahuluan, Pemerintah bersama Wakil Rakyat menyusun

Kebijakan Umum dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (PPAS) sebagai dasar bagi

tiap unit kerja untuk penyusunan Rencana Kerja Anggaran (RKA). Adapun sinkronisasi

penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD berdasarkan Undang-Undang

Nomor 17 Tahun 2003, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 (Gambar 7).

Gambar 6 Alur Perencanaan dan Penganggaran Sumber: UU No 25/2004, UU No 17/2003(BAPPENAS)

Konsep Konsistensi

Perencanaan dan penyusunan APBD tidak terlepas dari sistem perencanaan

pembangunan secara keseluruhan, penjelasan tentang perencanaan pembangunan dimuat

dalam Undang-Undang Nomor 25 tahun 2004 tentang sistem Perencanaan Pembangunan

Nasional sedangkan pengaturan bagaimana penyusunan APBD terdapat dalam Undang-

Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Dari kedua peraturan perundangan

tersebut yang harus benar-benar dipahami adalah bagaimana menterjemahkan dokumen

perencanaan pembangunan ke dalam dokumen penganggaran, pengalaman empiris selama ini

kesulitan terbesar dalam penyusunan APBD adalah menjaga tujuan perencanaan

pembangunan secara konsisten agar dapat diwujudkan melalui penganggaran yang tepat.

Konsistensi adalah terjemahan dari kata consistency yang berasal dari kata consistent

yang mengandung pengertian dalam hal ini konsisten adalah terhadap rencana dan anggaran

yang telah disepakati dalam dokumen perencanaan dan penganggaran. Bahkan pengertian

konsisten tidak sebatas itu, konsistensi antara aturan main dengan pelaksanaan, janji dengan

implementasi, peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan yang lebih rendah, dan tidak ada

perlakuan diskriminatif dalam berbagai bidang. Namun dalam hal ini perencanaan yang

konsisten terjadi apabila terdapat kesinambungan program dan kegiatan dan sinkronisasi dan

sinergitas setiap program dan kegiatan.

UU No 25/2004 UU No

17/2003

Kinerja Pengelolaan Keuangan Daerah

Penilaian Kinerja

Solihin (2007) menyampaikan bahwa pengertian indikator kinerja adalah uraian

ringkas dengan menggunakan ukuran kuantitatif atau kualitatif yang mengindikasikan

pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan.

Kegunaan/manfaat indikator kinerja adalah sebagai dasar penilaian kinerja, baik dalam

tahap perencanaan, pelaksanaan maupun setelahnya. Jenis-jenis indikator kinerja dapat

dikelompokkan sesuai proses pengelolaan anggaran (Solihin 2007) yang meliputi:

Indikator inputs, menggambarkan segala sesuatu yang dibutuhkan, baik berupa sumber dana,

sumber daya alam, sumber daya manusia maupun yang berupa teknologi dan informasi, agar

pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran.

Indikator process, menggambarkan upaya yang dilakukan di dalam mengolah masukan

menjadi keluaran. Indikator ini umumnya dikaitkan dengan keterlibatan stakeholders

termasuk penerima manfaat serta dikaitkan dengan mekanisme pelaksanaannya, termasuk

koordinasi dan hubungan kerja antar organisasi.

Indikator output, indikator yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan, baik

berupa fisik maupun berupa non-fisik.

Indikator outcome, menunjukkan telah dicapainya maksud dan tujuan dari kegiatan-

kegiatan yang telah selesai dilaksanakan atau indikator yang mencerminkan berfungsinya

keluaran kegiatan pada jangka menengah

Indikator benefit adalah indikator yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan

kegiatan.

Indikator impacts, menunjukkan pengaruh baik positif maupun negatif yang

ditimbulkan pada setiap pelaksanaan kebijakan/program/kegiatan dan asumsi yang telah

ditetapkan.

Persyaratan Indikator Kinerja disebut baik apabila memenuhi kriteria SMART

(Spesific, Measureable, Acceptable, Realistic,Timely) (Solihin 2007):

a. Spesific (spesifik dan jelas) indikator kinerja yang disusun harus jelas, tepat dan sesuai

kebutuhan agar tidak ada kemungkinan kesalahan interpretasi.

b. Measureable (dapat diukur secara objektif) indikator kinerja yang disusun harus

menggambarkan sesuatu yang jelas ukurannya, menunjukkan tempat dan cara untuk

pencapaian indikator sesuai data dasar yang jelas.

c. Acceptable (dapat diterima), indikator kinerja yang ditetapkan maknanya harus dipahami

dan diterima oleh stakeholder pelaksana karena dinilai bermanfaat untuk kepentingan

pengambilan keputusan.

d. Realistic (realistis), indikator kinerja harus dapat dilaksanakan sesuai dengan

kemampuan dan ruang linkup kewenangan stakeholder pelaksana.

e. Time-dependent (rentang waktu), pencapaian indiktor kinerja yang disusun harus

didukung oleh ketersediaan waktu, jadwal pentahapan data yang dapat tersedia.

Penganggaran Berbasis Kinerja

Pendekatan kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kekurangan yang terdapat dalam

pendekatan tradisional karena tidak adanya tolak ukur yang dapat digunakan untuk mengukur

kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik (Nordiawan, 2006).

Penggunaan anggaran berbasis kinerja secara teori dapat memberikan kelebihan

dibandingkan dengan pendekatan lain. Hasil pendekatan ini pengalokasian sumber daya yang

terbatas dimaksimalkan pada program yang bersifat prioritas dengan ukuran yang jelas untuk

kinerja yang ingin dicapai sehingga dapat dikatakan pendekatan kinerja dapat memberikan

pengaruh terhadap efisiensi alokasi anggaran.

Penganggaran berbasis kinerja adalah pendekatan penganggaran yang mengutamakan

upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input.

Mahmudi (2005) mengatakan bahwa proses perencanaan dan pengendalian anggaran

didahului dengan tujuan oleh manajemen puncak dan penetapan strategi untuk mencapainya.

Tujuan merupakan hasil yang diinginkan sedangkan strategi adalah cara untuk mencapai

tujuan tersebut. Proses pengelolaan keuangan daerah terdiri dari beberapa tahap yaitu:

a. Perumusan strategi

b. Perencanaan strategik

c. Pembuatan program

d. Penganggaran

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah

Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM) menurut Salvatore Schiavo-Campo

dalam Managing Government Expenditure (1999) adalah seluruh kebijakan strategik

pemerintah di antara para pengguna anggaran dan tanggung jawab terbesar adalah

mengalokasikan sumber daya. Kunci keberhasilan KPJM adalah adanya mekanisme institusi

yang dapat memfasilitasi keseimbangan secara agregat untuk disandingkan prioritas dari

pemerintah.

Pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah merupakan pendekatan

penganggaran berdasarkan kebijakan, pengambilan keputusan berdasarkan kebijakan tersebut

dilakukan dalam perspektif lebih dari satu tahun anggaran dengan mempertimbangkan

implikasi biaya keputusan yang bersangkutan pada tahun berikutnya yang dituangkan dalam

prakiraan maju. Prakiraan maju merupakan perhitungan kebutuhan dana untuk tahun

anggaran berikutnya dari tahun yang direncanakan guna memastikan kesinambungan

program dan kegiatan yang telah disetujui dan menjadi dasar penyusunan anggaran tahun

berikutnya (Bappenas, 2009).

Studi-studi Terdahulu

Istiandari (2009) menganalisis tata kelola ekonomi daerah dan kesejahteraan

masyarakat di Indonesia dengan mengunakan metode OLS. Data yang digunakan dalam

penelitian tersebut adalah data sekunder. Data sekunder tersebut merupakan data cross

section dari 205 kabupaten dan kota di Indonesia. Data mengenai tata kelola ekonomi daerah

tahun 2007 yang diperoleh dari KPPOD, data Pendapatan Asli Daerah tahun 2006 diperoleh

dari Departemen Keuangan RI serta Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2005 dari

Badan Pusat Statistik. Dari pengujian secara ekonometri terlihat bahwa terdapat indikasi

suatu daerah harus mencapai tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi daerah tertentu agar

tata kelola ekonomi mampu berdampak positif terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat di

daerah yang bersangkutan. Selain itu juga, ditemukan indikasi bahwa tata kelola ekonomi

daerah lebih cepat dirasakan dampaknya terhadap laju pertumbuhan pendapatan regional di

wilayah kota dibandingkan dengan wilayah kabupaten. Namun demikian, tata kelola ekonomi

daerah kurang lebih memiliki efek yang sama terhadap proporsi penduduk miskin baik di

wilayah kota maupun kabupaten. Mengingat masih terdapat kesenjangan dalam pelaksanaan

tata kelola ekonomi daerah yang ditunjukkan oleh masih cukup banyak daerah yang belum

mencapai nilai indeks tata kelola ekonomi tertentu, maka khususnya bagi daerah yang masih

memiliki tingkat pelaksanaan tata kelola ekonomi yang kurang, agar perlu ditingkatkan

kualitas tata kelola ekonomi di daerah tersebut supaya dampak positif dari tata kelola

ekonomi daerah terhadap kesejahteraan masyarakat dapat dirasakan di daerah-daerah yang

bersangkutan.

Januar (2009) yang menganalisis keterkaitan iklim investasi berdasarkan persepsi

pelaku usaha dan realisasi investasi pada kasus provinsi Jawa Barat dengan mengunakan

metode OLS. Data yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah data sekunder. Data

sekunder tersebut merupakan data cross section dari data sembilan indikator iklim investasi

berdasarkan persepsi pelaku usaha di 25 kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat tahun

2007 yang diperoleh dari KPPOD serta data realisasi investasi Provinsi Jawa Barat tahun

2007 yang diperoleh dari Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah

(BKPPMD) Provinsi Jawa Barat. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa secara

keseluruhan pelaku usaha menilai iklim usaha di Provinsi Jawa Barat sudah cukup kondusif

yang terlihat dari nilai indeks TKED yang berada di atas nilai 50 persen. Lima kabupaten dan

kota yang memiliki iklim investasi paling kondusif di Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten

Ciamis, Kota Banjar, Kabupaten Kuningan, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten

Sumedang. Namun pada kenyataannya, iklim investasi tersebut kurang mampu mendorong

realisasi investasi di Provinsi Jawa Barat. Hal ini terlihat dari menurunnya jumlah investasi

tahun 2007 jika dibandingkan dengan jumlah investasi tahun 2006. Jika dilihat berdasarkan

distribusi penyebaran investasi di Provinsi Jawa Barat, hanya ada 16 kabupaten dan kota yang

mendapatkan realisasi investasi tersebut. Ada lima kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang

mendapatkan realisasi investasi terbesar, yaitu Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi,

Kabupaten Bogor, Kabupaten Cirebon, dan Kabupaten Purwakarta. Ada lima indikator iklim

investasi berdasarkan pelaku usaha dalam penelitian ini yang berpengaruh signifikan terhadap

realisasi investasi di Jawa Barat. Kelima indikator tersebut adalah indikator interaksi pemda

dan pelaku usaha, indikator program pengembangan usaha swasta, dan indikator pajak

daerah, retribusi daerah dan biaya transaksi lain berpengaruh negatif terhadap realisasi

investasi di Provinsi Jawa Barat. Sedangkan indikator kapasitas dan integritas kepala daerah

dan indikator kualitas peraturan daerah berpengaruh positif terhadap realisasi investasi di

Provinsi Jawa Barat.

McCulloch dan Malesky (2010) berusaha menjawab apakah Tata Kelola

Pemerintahan Daerah yang lebih baik meningkatkan Kinerja Pertumbuhan Ekonomi Daerah

di Indonesia? Data yang digunakan dalam penelitian tersebut merupakan data sekunder yang

berasal dari dua sumber utama, yaitu data survei resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan

data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) mengenai kualitas tata

kelola ekonomi daerah. Pengukuran utama terhadap kinerja perekonomian adalah Produk

Domestik Bruto (PDB) di tingkat daerah, baik termasuk minyak dan gas maupun tidak

termasuk minyak dan gas. Metode analisis yang digunakan adalah model regresi berganda

dan model panel dengan menggunakan Indeks TKED tahun 2007. Hasil analisis

menunjukkan bahwa hubungan antara tata kelola pemerintahan daerah dan pertumbuhan

daerah lebih rumit dari pandangan sekilas. Secara mengejutkan penelitian ini mengemukakan

bahwa hanya sedikit atau bahkan tidak ada hubungan statistik yang signifikan antara berbagai

pengukuran tipikal tata kelola perekonomian daerah dengan kinerja pertumbuhan daerah.

Hasil tersebut didorong oleh beberapa kemungkinan, yakni rendahnya kualitas data, hasil

penelitian tersebut ditutupi karena beberapa variabel struktural yang mempengaruhi

pertumbuhan, juga berpengaruh terhadap kualitas tata kelola pemerintahan daerah, tetapi

tidak harus ke arah yang sama.

Irawan (2009) meneliti pengaruh penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas

pengendalian keuangan terhadap kinerja keuangan pada pemerintah daerah di propinsi Jawa

Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penganggaran berbasis kinerja dan efektivitas

pengendalian keuangan mempunyai pengaruh cukup kuat terhadap kinerja keuangan di

kabupaten/kota di Jawa Barat.

Rosmana (2010) meneliti tentang pengaruh implementasi kerangka pengeluaran jangka

menengah, penganggaran terpadu dan penganggaran kinerja terhadap implementasi anggaran

dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik serta implementasinya terhadap

kinerja keuangan pemerintah daerah di propinsi jawa tengah. Penelitian ini dilakukan dengan

metode sensus pada 36 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Data yang digunakan adalah data

primer dan sekunder. Pengumpulan data primer diperoleh melalui quesioner, data sekunder

dengan menggunakan hasil laporan audit laporan keuangan pemerintah daerah oleh badan

pemeriksa keuangan (BPK). Responden penelitian adalah pejabat pengelola keuangan daerah.

Hasil dari penelitian tersebut adalah: terdapat hubungan yang tinggi antara implementasi

pendekatan KPJM, penganggaran terpadu, dan penganggaran berbasis kinerja. implementasi

KPJM penganggaran terpadu dan penganggaran berbasis kinerja berpengaruh secara simultan

maupun parsial terhadap implementasi anggaran pemerintah daerah. Implementasi KPJM,

penganggaran terpadu, penganggaran berbasis kinerja dan implementasi anggaran

pemerintah daerah secara simultan maupun parsial terhadap prinsip-prinsip tata kelola

pemerintah daerah yang baik.

Agus dan Rasida (2011) meneliti masalah pengaruh penganggaran berbasis kinerja

dan kerangka pengeluaran jangka menengah terhadap efisiensi operasional. Hasil yang

didapat adalah : implementasi penganggaran berbasis kinerja dan kerangka pengeluaran

jangka menengah pada satuan kerja secara rata-rata kurang/rendah, implementasi

penganggaran berbasis kinerja berpengaruh terhadap operasional efisiensi. Jadi semakin baik

penganggaran berbasis kinerja, maka akan meningkatkan efisiensi operasional. Implementasi

kerangka pengeluaran jangka menengah berpengaruh terhadap efisiensi operasional. Hal ini

mengandung makna bahwa kerangka pengeluaran jangka menengah cukup kuat untuk

meningkatkan operasional efisiensi.

Sutarsono (2012) meneliti masalah hubungan tatakelola pemerintahan, infrastruktur

dan pertumbuhan di Indonesia. Hasil yang didapatkan adalah Kualitas institusi daerah dan

penyediaan infrastruktur baik jalan, air bersih, maupun listrik di Indonesia belum merata,

baik antar wilayah administrasi maupun geografis. Kualitas institusi dan penyediaan

infrastruktur di kota lebih baik dibandingkan kabupaten, dan kabupaten/kota di Jawa lebih

baik dibandingkan kabupaten/kota di luar Jawa. Tata kelola pemerintahan daerah secara

disagregat mempunyai pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, baik secara langsung

maupun tidak langsung melalui penyediaan infrastruktur jalan dan listrik. Hal ini menjawab

mengapa hubungan secara agregat dan langsung penelitian sebelumnya tidak diketemukan

hubungan yang signifikan.

Santi (2012) meneliti masalah keterkaitan antara tata kelola pemerintahan dengan

realisasi investasi di kabupaten/kota Jawa Timur. Hasil yang didapatkan adalah variabel-

variabel yang berhubungan positif terhadap PMDN maupun PMA antara lain tingkat

kebijakan non diskriminatif Pemda, interaksi Pemda yang kecil hambatannya terhadap pelaku

usaha, pelayanan izin usaha yang bebas pungli, izin usaha yang kecil hambatannya terhadap

kinerja perusahaan, dampak PPUS terhadap kinerja perusahaan, kapasitas integritas

bupati/walikota yang kecil hambatannya terhadap dunia usaha, biaya transaksi yang kecil

hambatannya terhadap dunia usaha, kualitas infrastruktur jalan dan infrastruktur yang kecil

hambatannya terhadap dunia usaha. Variabel tata kelola yang berhubungan negatif terhadap

PMA maupun PMDN antara lain: penggusuran lahan oleh Pemda, tingkat pemecahan

masalah oleh Pemda, pengaruh kebijakan pemda terhadap pengeluaran usaha, tingkat

kepastian hukum terkait dunia usaha, tingkat dukungan Pemda terhadap pelaku usaha daerah,

tingkat kebijakan Pemda yang mendorong iklim investasi, pelayanan izin usaha belum bebas

KKN, ketegasan kepala daerah terhadap korupsi birokratnya, tindakan kepala daerah yang

menguntungkan dirinya sendiri, kualitas penanganan masalah kriminal oleh polisi, kualitas

penanganan kasus demonstrasi buruh oleh polisi.

Kebaruan Penelitian (Novelty)

I. Tidak menggunakan indeks komposit TKED seperti yag dilakukan oleh Mc Culloch

dan Malesky (2010) tetapi menggunakan variabel indikator TKED, sehingga secara

metodologi berbeda.

II. Dalam menganalisis kinerja perekonomian daerah memasukkan pengaruh proses

perencanaan dan penganggaran sehingga dimensinya lebih luas.