2. tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · juga dapat dilakukan analisis data pada kawasan waktu...

12
3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Side Scan Sonar Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar memancarkan pulsa suara pada kisaran frekuensi 100-500 kHz. Semakin besar nilai frekuensi maka resolusi data yang dihasilkan akan semakin tinggi akan tetapi area cakupannya semakin sempit (MacLennan dan Simmonds, 2005). Pemanfaatan Side Scan Sonar sangat luas dalam bidang kelautan seperti digunakan dalam kegiatan pemetaan dasar laut, pencarian kapal yang karam hingga penentuan jenis sedimen dasar laut seperti pada Gambar 1. . Sumber: http://gulfofmexico.marinedebris.noaa.gov Gambar 1. Aplikasi Pemanfaatan Side Scan Sonar dalam Penentuan Jenis Sedimen. Side scan sonar merupakan sistem dual frekuensi yang memungkinkan dapat bekerja secara simultan dengan resolusi yang berbeda dan biasanya digunakan pada

Upload: truongtruc

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Side Scan Sonar

Side Scan Sonar merupakan peralatan observasi dasar laut yang dapat

memancarkan beam pada kedua sisi bagiannya secara horizontal. Side scan sonar

memancarkan pulsa suara pada kisaran frekuensi 100-500 kHz. Semakin besar nilai

frekuensi maka resolusi data yang dihasilkan akan semakin tinggi akan tetapi area

cakupannya semakin sempit (MacLennan dan Simmonds, 2005). Pemanfaatan Side

Scan Sonar sangat luas dalam bidang kelautan seperti digunakan dalam kegiatan

pemetaan dasar laut, pencarian kapal yang karam hingga penentuan jenis sedimen

dasar laut seperti pada Gambar 1.

.

Sumber: http://gulfofmexico.marinedebris.noaa.gov

Gambar 1. Aplikasi Pemanfaatan Side Scan Sonar dalam Penentuan Jenis Sedimen.

Side scan sonar merupakan sistem dual frekuensi yang memungkinkan dapat

bekerja secara simultan dengan resolusi yang berbeda dan biasanya digunakan pada

4

perairan yang relatif dangkal (Lurton, 2002). Frekuensi yang digunakan bervariasi

sehingga memungkinkan untuk membatasi panjang array dibawah satu meter dengan

jangkauan mencapai kisaran ratusan meter. Sinyal yang dipancarkan memiliki durasi

sekitar 0,1 mdtk, sehingga resolusi spasial dapat mencapai 0,1 m (Lurton, 2002).

Gambar 2 menunjukkan salah satu jenis side scan sonar yaitu Klein system 3000.

Sumber: http://www.l-3klein.com

Gambar 2. Side Scan Sonar (Klein system 3000)

Secara umum prinsip kerja side scan sonar digambarkan sesuai dengan

Gambar 3. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh recorder dikirim ke towfish melalui

towcable. Pulsa-pulsa listrik tersebut diubah menjadi energi mekanik. Hasil dari

perubahan tersebut berupa sinyal ultrasonik yang kemudian dipancarkan ke dasar

laut. Sinyal-sinyal tersebut dipantulkan kembali oleh dasar laut dan diterima kembali

ke towfish. Interval waktu dari pengembalian sinyal tersebut tergantung dari jarak

antara towfish dengan titik pemantulannya, selain itu besarnya amplitudo dan

frekuensi sinyal ultrasonik juga berbeda sesuai dengan jenis objek yang memantulkan

sinyal ultrasonik tersebut. Sinyal ultrasonik yang diterima oleh towfish diubah

kembali menjadi pulsa-pulsa listrik dan diteruskan ke recorder untuk proses

5

perekaman. Hasil rekaman yang terdapat pada kertas recorder kemudian

diinterpretasikan jenis objek di dasar laut atau keadaan topografi di dasar laut.

Gambar 3. Blok Diagram Prinsip Kerja Side Scan Sonar

2.2. Interpretasi Citra Side Scan Sonar

Terdapat dua tahapan dalam pengolahan citra Side Scan Sonar, yaitu real time

processing dan post processing. Real time processing bertujuan memberikan koreksi

selama pencitraan berlangsung sedangkan post processing bertujuan meningkatkan

pemahaman akan suatu objek melalui interpretasi. Interpretasi pada post processing

dapat dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Interpretasi secara kualitatif

dilakukan untuk mendapatkan sifat fisik material dan bentuk objek, baik dengan

mengetahui derajat kehitaman (hue saturation), bentuk (shape), dan ukuran (size) dari

objek atau target. Berdasarkan bentuk eksternalnya, secara umum target dapat

dibedakan menjadi buatan manusia (man made targets) atau objek alam (natural

targets). Objek buatan manusia biasanya memiliki bentuk yang tidak beraturan (Klein

Associates Inc, 1985).

Tujuan interpretasi secara kuantitatif adalah mendefinisikan hubungan antara

posisi kapal, posisi towfish dan posisi objek sehingga diperoleh besaran horizontal

dan vertikal. Besaran horizontal meliputi nilai posisi objek ketika lintasan towfish

RECORDER TOWFISH OBJEK/DASAR

LAUT

6

sejajar dengan lintasan kapal maupun ketika lintasan dengan towfish berbentuk sudut.

Besaran vertikal meliputi tinggi objek dari dasar laut serta kedalaman objek

(Mahyuddin, 2008).

Prinsip penginterpretasian data side scan sonar sama seperti pada

penginderaan jarak jauh. Terdapat tiga faktor yang menentukan kesempurnaan

interpretasi citra side scan sonar, yaitu tuning recorder (light or dark), towing

operation, dan kelihaian operator. Pengaruh ketiga faktor tersebut sangat besar dalam

penginterpretasian citra side scan sonar.

2.3. Sedimen Dasar Laut

Sedimen didefinisikan sebagai kerak bumi (regolith) yang ditransportasikan

melalui proses hidrologi dari suatu tempat ke tempat yang lain, baik secara vertikal

maupun secara horizontal. Seluruh permukaan dasar laut ditutupi oleh partikel-

partikel sedimen yang diendapkan secara perlahan-lahan dalam jangka waktu berjuta-

juta tahun (Garrison, 2005). Klasifikasi dasar sedimen dapat dilakukan dengan

menggunakan ukuran-ukuran yang berbeda dari tiap sedimen. Klasifikasi berdasarkan

ukuran partikelnya menurut Wentworth (1922) dalam Wibisono (2005) dapat dilihat

pada Tabel 1.

7

Tabel 1. Ukuran Besar Butir Sedimen menurut Skala Wentworth (Wibisono,2005)

Fraksi Sedimen Partikel Ukuran Butir (mm)

Batu

Bongkahan >256

Krakal 64 - 256

Kerikil 4 - 64

Butiran 2 – 4

Pasir

Pasir sangat kasar 1 – 2

Pasir kasar 0,5 -1

Pasir sedang 0,25 - 0,5

Pasir halus 0,125 - 0,25

Pasir sangat halus 0,063 - 0,125

Lumpur

Lumpur kasar 0,031 - 0,063

Lumpur sedang 0,016 - 0,031

Lumpur halus 0,008 - 0,016

Lumpur sangat halus 0,004 - 0,008

Lempung

Lempung kasar 0,002 - 0,004

Lempung sedang 0,001 - 0,002

Lempung halus 0,0004 - 0,001

Lempung sangat halus 0,0002 - 0,0004

Klasifikasi campuran sedimen dapat dilakukan berdasarkan komposisi

partikel di dalam sedimen itu sendiri. Komposisi partikel sedimen dapat dipetakan di

dalam diagram yang digambarkan dalam bentuk segitiga (Gambar 4) untuk

mendapatkan campuran yang pas dari komposisi yang ada.

8

Gambar 4. Diagram Sand, Silt and Clay (Blott dan Kenneth, 2001)

2.4. Acoustic Backscattering Strength Dasar Laut

Nilai backscattering yang diberikan oleh dasar perairan biasanya memiliki

intensitas tertentu, namun diperlukan threshold agar nilai backscattering dari dasar

laut yang ingin diamati dapat terekam dengan baik. Backscattering akustik pada dasar

berbatu memberikan nilai yang lebih besar dibandingkan dengan dasar berlumpur

(Manik, 2011). Urick (1983) menjelaskan bahwa pada dasarnya tidak terdapat

hubungan yang kuat antara frekuensi yang digunakan dengan nilai backscattering

strength yang dihasilkan dari dasar laut dengan tipe batu dan pasir berbatu dan pasir

yang mengandung cangkang kerang. Hal ini diakibatkan oleh tekstur permukaan

dasar yang cenderung lebih kasar sehingga energi suara yang mengenai dasar

9

tersebut. Pada kasus sedimen berpasir, nilai backscattering yang didapatkan

cenderung meningkat dengan meningkatnya frekuensi (Greenlaw et al., 2004).

Penggunaan frekuensi tinggi memberikan nilai backscattering yang dominan

dihasilkan oleh permukaan sedimen dibandingkan backscattering yang diberikan oleh

volume sedimen. Pada frekuensi yang lebih rendah nilai backscattering yang

diperoleh dipengaruhi juga oleh backscattering dari volume sedimen (Chakraborty et

al., 2007). Manik (2006) menjelaskan bahwa dengan menggunakan nilai SS, nilai

backscattering pasir lebih besar dari pada nilai SS pada substrat lumpur dan nilai SS

meningkat dengan kenaikan diameter partikel dasar laut.

2.5. Transformasi Wavelet

Transformasi wavelet mulai diperkenalkan pada tahun 1980-an oleh Morlet

dan Grossman sebagai fungsi matematis untuk merepresentasikan data atau fungsi

sebagai alternatif transformasi-transformasi matematika yang lahir sebelumnya untuk

menangani masalah resolusi. Sejak saat itu wavelet kemudian dikembangkan dalam

beberapa area disiplin ilmu atau aplikasi seperti matematika, fisika, pemrosesan citra,

pemrosesan sinyal digital, analisis numeric, pengolahan citra, dan geofisika. Metode

Transformasi Wavelet ini dapat digunakan untuk menapis data, menghilangkan

sinyal-sinyal (data) yang tidak diinginkan atau meningkatkan mutu kualitas data.

Mendeteksi kejadian-kejadian tertentu, seta dapat digunakan untuk memampatkan

data (Foster et al., 1994).

10

Transformasi Wavelet merupakan transformasi yang terpadu menggunakan

kernel terintegrasi yang dinamakan wavelet. Wavelet mampu melakukan analisis

lokal dengan window sekecil mungkin terhadap suatu sinyal. Sebuah wavelet

merupakan gelombang singkat (small wave) yang energinya terkonsentrasi pada suatu

selang waktu untuk memberikan kemampuan analisis transien, ketidakstasioneran ,

atau fenomena berubah terhadap waktu (time varying). Karakteristik dari wavelet

antara lain atau berosilasi singkat, translasi (pergeseran), dan dilatasi (skala). Wavelet

ini dapat digunakan dalam dua cara, yaitu sebagai kernel terintegrasi untuk analisis

serta mengekstraksi informasi suatu data dan sebagai suatu basis penyajian atau

karakterisasi suatu data. Contoh penerapan transformasi wavelet yaitu karakterisasi

sinyal akustik dari target dasar laut dilakukan oleh Charnila (2010).

Wavelet merupakan fungsi matematik yang membagi-bagi data menjadi

beberapa komponen frekuensi yang berbeda-beda, kemudian dilakukan analisis untuk

masing-masing komponen menggunakan resolusi yang sesuai dengan skalanya

(Graps, 1995). Kepentingan penggunaan Transformasi Wavelet ini berdasarkan fakta

bahwa dengan Transformasi Wavelet akan diperoleh resolusi waktu dan frekuensi

yang jauh lebih baik daripada metode-metode lainnya seperti Transformasi Fourier

maupun Transformasi Fourier Waktu Pendek (STFT=Short Time Fourier

Transform), selain itu analisis data pada kawasan waktu dan frekuensi penting dan

harus dilakukan untuk mempelajari perilaku sinyal-sinyal non-stasioner, selain itu

juga dapat dilakukan analisis data pada kawasan waktu dan amplitudo serta kawasan

frekuensi dan daya (spektrum).

11

2.6. Continous Wavelet Transform (CWT)

Continous wavelet transform (CWT) atau transformasi wavelet kontinu

merupakan salah satu jenis wavelet yang digunakan untuk menganalisis sinyal non

stasionari dengan sifat statistiknya berubah sepanjang waktu. Spetrum puncak

amplitude dapat ditampilkan berbeda karena masing-masing komponen sinyal

transien dapat dideteksi dan memiliki nilai yang besar dalam amplitudo. Gambar 5 di

bawah ini memiliki puncak yang berbeda nyata pada frekuensi dari dua amplitudo

yang signifikan. Fase spektrum dapat memberikan informasi ke lokasi komponen

pada waktunya.

Amplitudo Spektrum

(a)

Fase Spektrum

Gambar 5. Amplitudo dan Fase Spektrum (Castleman, 1996).

CWT didefinisikan sebagai jumlah sinyal yang dikalikan dari fungsi wavelet

yang diskala (scaling) dan digeser (shifting) pada keseluruhan waktu. Faktor skala (a)

menyimpan informasi tentang frekuensi dan faktor pergeseran (b) menyimpan

informasi mengenai waktu dimana memiliki range dari – π sampai dengan π (Burrus

et al., 1998). CWT menganalisis sinyal secara menyeluruh (kontinyu) menggunakan

seperangkat fungsi dasar yang saling berhubungan dengan penskalaan dan transisi

sederhana, yaitu sinyal yang dianalisis dapat direpresentasikan ke dalam seluruh

kemungkinan frekuensi yang ada. Percival dan Walden (2000) menjabarkan CWT

12

sebagai kaitan antara input data dengan urutan satu set fungsi yang dihasilkan oleh

mother wavelet, yang digunakan untuk menguraikan fungsi waktu lanjut menjadi

wavelet.

2.7. Koefisien Refleksi dan Impedansi Akustik

Perhitungan Koefisien Refleksi dilakukan untuk melihat seberapa besar nilai

pantulan dari suatu target yang terdeteksi dimana nilainya sangat dipengaruhi oleh

akustik impedansi. Akustik impedansi bergantung pada densitas dan kecepatan

gelombang kompresi dari masing-masing target. Perhitungan akustik impedansi dan

koefisien refleksi menggunakan persamaan 1 dan 2

Z = ρ x c ………………………………….….. (1)

.................................................... (2)

Keterangan:

Z = Akustik Impedansi (kg/m2 dtk) ρ = densitas (kg/m

3)

R = Koefisien Refleksi c = kecepatan gelombang suara dilaut (m/dtk)

Fenomena refleksi didasarkan pada hamburan (backscattering). Refleksi

dapat terjadi ketika sebuah pancaran gelombang suara berinteraksi dengan permukaan

dasar laut, Refleksi dapat berhubungan dengan gelombang yang tercermin dalam arah

sudut datang. Koefisien refleksi tergantung pada kontras impedansi dan grazing

angle.

13

2.8. Geologi Selat Sunda

Selat Sunda merupakan daerah peralihan pola tunjaman vulkanik dan

morfotektonik yang menghasilkan karakter geologi berbeda. Kedalaman dasar laut

yang mencolok, yaitu antara Laut Jawa yang dangkal dengan kedalaman maksimal 50

meter dan Samudera Hindia dengan kedalaman 6.000 meter mencerminkan topografi

parit (trench), punggungan (ridge), cekungan (basin) dan laut dangkal. Data sub-

bottom profiling dihasilkan peta sebaran struktur geologi, zona kestabilan dan zona

resiko landslide. Struktur geologi yang berkembang di Selat Sunda memiliki dua

arah, yaitu barat laut – tenggara dan timur laut barat daya. Morfologi permukaan

dasar laut dipengaruhi oleh struktur geologi dan tektonik yang aktif, terutama terlihat

di bagian sebelah timur Pulau Sangiang berupa palung dengan kedalaman berkisar

lebih dari 130 meter berarah timur laut-barat daya.

Perairan Selat Sunda memiliki gunung api bawah laut, yaitu Gunung Api

Krakatau, yang keberadaannya adalah konsekuensi dari pertemuan antara Lempeng

India-Australia dengan Lempeng Eurasia. Kondisi morfologi dasar laut yang

didasarkan pada hasil pengukuran kedalaman dasar laut (Kuntoro, 1990),

memperlihatkan penampakan pola alur dasar laut berupa lembah yang dalam dan di

beberapa tempat menyempit dengan kelerengan yang terjal. Hal ini menunjukkan

bahwa sekitar perairan ini merupakan daerah berarus cukup kuat dan berpotensi

membentuk longsoran di dasar laut (mass movement).

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Selat Sunda mengenai

peletakan kabel bawah laut diketahui bahwa pada bagian sisi lokasi Sumatera kondisi

14

pantainya sangat rata dan dipengaruhi oleh aktifitas pasang surut sejauh 2 km

sedangkan pada sisi Jawa morfologi dasar lautnya ditandai dengan lereng yang

curam. Berdasarkan hasil analisis megaskopis diketahui bahwa secara umum sedimen

di daerah Selat Sunda terdiri atas pasir untuk lapisan atas dan tanah liat di lapisan

bagian bawah. Distribusi permukaan pasir dibagian atas sangat tipis, dengan

ketebalan antara 3 dan 9 cm (Noviadi, 2010).