2. tinjauan pustaka april 2010
TRANSCRIPT
II. TINJAUAN PUSTAKA
Pilihan ekonomi nelayan terhadap alat tangkap legal dan terlarang merupakan
bagian dari lapangan studi ekonomi kegiatan illegal. Dalam bidang perikanan dikenal
dengan teori ekonomi illegal fishing, yang menjelaskan sebab-sebab dilakukannya
kegiatan penangkapan ikan yang melanggar aturan atau illegal. Teori tersebut juga
menjelaskan pendekatan ekonomi untuk mencegah (deterrence) penangkapan ikan
secara tidak sah (illegal). Teori ini disajikan pada bagian awal bab ini.
Penelitian mengenai respon nelayan terhadap aturan perikanan dengan
menggunakan pendekatan ekonomi bukan suatu pekerjaan yang baru. Berdasarkan
hasil penelusuran literatur terhadap hasil penelitian sebelumnya, sekurang-kurangnya
terdapat duabelas artikel terpilih yang menggunakan pendekatan ekonomi tersebut.
Dari hasil penelusuran tersebut dapat dipetik pengalaman para ahli ekonomi di dalam
mengaplikasikan pendekatan ekonomi, dan dapat dibangun sebuah diskusi terhadap
masalah tingkat kepatuhan nelayan. Hasil penelusuran literatur ini disajikan pada
bagian dua.
2.1. Pilihan Alat Tangkap Legal dan Terlarang : Dimensi Ekonomi dan Non Ekonomi
Analisa teoritis mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi
perikanan dapat dipelajari dari Nikijuluw (2008), Kuperan dan Sutinen (1998) dan
Bekcer (1968). Pelanggaran atau kepatuhan terhadap hukum ditentukan oleh
beberapa faktor, yaitu adanya insentif ekonomi, pelaksanaan penegakan hukum,
obligasi moral dan tekanan sosial. Hubungan tersebut dikerangka pada Gambar 1.
Kepatuhan Hukum
Penegakan Hukum Keuntungan Legal/Illegal
Obligasi Moral & Tekanan Sosial
Deteksi
Sanksi
Legitimasi Pengembangan Moral & Nilai-Nilai Individu
Sanksi Hasil
Keadilan Keadilan
Efisiensi Keefektifan
Bujukan Moral
14
Sumber : Nikijuluw (2008)Gambar 1. Faktor Penentu Kepatuhan Hukum
Insentif ekonomi muncul dari harapan keuntungan (expected profit) yang
dapat diperoleh dari tindakan melanggar regulasi perikanan. Harapan keuntungan
tersebut merupakan selisih antara harapan penerimaan (expected revenue) dengan
harapan biaya (expected costs). Nelayan akan cenderung melakukan tindakan
terlarang bila harapan keuntungannya positif, yaitu dalam kondisi dimana harapan
penerimaannya lebih besar dari harapan biaya. Sebaliknya, nelayan akan cenderung
mematuhi regulasi perikanan tertentu bila harapan keuntungannya negatif, yaitu bila
harapan penerimaannya lebih rendah dari harapan biaya. Besarnya harapan biaya
tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan sanksi yang lebih besar bagi nelayan
15
yang melanggar regulasi. Pengaruh insentif ekonomi terhadap tingkat kepatuhan
nelayan ini dikenal dengan model dasar pencegahan atau basic deterrence models
(Nikijuluw, 2008).
Menurut Becker (1968), secara umum, kepatuhan mencakup dua perspektif
dasar, yaitu instrumental dan normatif. Perspektif instrumental menganggap bahwa
individu secara murni digerakan oleh kepentingan diri (self-interest) serta merespon
perubahan insentif yang bersifat segera, dan hukuman yang terkait dengan tindakan
yang menjadi pilihannya. Dalam perspektif ini peubah kunci tingkat kepatuhan
didasari oleh besaran sanksi. Sedangkan perspektif normatif menekankan
pertimbangan keadilan dan moral individu. Individu cenderung untuk mematuhi
hukum bila ia merasakan bahwa hukum tersebut pantas dan konsisten dengan norma
yang diinternalisasikannya. Peubah kunci yang mendasari tingkat kepatuhannya
adalah perspepsi individu mengenai keadilan serta kepantasan dan lembaga
hukumnya.
Obligasi moral individu dan tekanan sosial yang diterima nelayan menentukan
perilakunya terhadap aturan yang berlaku. Obligasi moral yang dimaksud selanjutnya
ditentukan oleh pengembangan moral dan nilai-nilai individu yang dianut. Obligasi
moral ini sangat subyektif sifatnya dan bervariasi antar individu. Pengetahuan,
pengalaman, pendidikan, ketaatan agama, keadilan, kejujuran, pementingan diri,
pementingan kelompok, kebersamaan, nilai-nilai keberlanjutan lingkungan, dan
keutamaan pemerataan merupakan peubah yang menentukan kepatuhan seseorang
terhadap hukum. Dalam kaitan itu, seorang nelayan akan memiliki pandangan
tertentu jika dia menghadapi sesama nelayan lain yang mematuhi atau melanggar
16
hukum. Nelayan bisa melanggar atau mematuhi hukum sesuai lingkungannya.
Namun, dia pun bisa berbeda tindakan dengan masyarakatnya (Nikijuluw, 2008).
Menurut Nikijuluw (2008), jika seorang nelayan tinggal dan hidup di antara
masyarakat yang melanggar atau mematuhi hukum, dia akan menerima tekanan yang
mungkin sama atau berbeda dengan obligasi sosialnya. Namun pada umumnya,
nelayan akan mengorbankan obligasi sosial karena tekanan lingkungan. Namun, tidak
dipungkiri bahwa di tengah lingkungan yang demikian, masih ada nelayan yang
memiliki nilai kebenaran dan patuh terhadap norma hukum sehingga berbeda dengan
lingkungannya.
Kepatuhan terhadap hukum atau regulasi juga dipengaruhi oleh tanggapan
individu terhadap legitimasi dan aparat penegak hukumnya. Legitimasi adalah
penilaian normatif individu mengenai kepantasan tindakan aparat penegak hukum
untuk membatasi perilakunya. Kepatuhan akan tinggi bila individu menaruh tingkat
legitimasi yang tinggi terhadap aparat penegak hukum. Menurut Kuperan dan Sutinen
(1998), Tyler (1990) menekankan peubah hasil dan proses. Peubah hasil adalah
peubah yang terkait dengan hasil akhir sebuah regulasi yang memiliki dua kriteria :
tidak terkait langsung dengan keadilan, dan terkait langsung dengan keadilan
distributif. Peubah proses juga memiliki dua kriteria : efisiensi atau efektifitas, dan
keadilan prosedural. Sebagai contoh, regulasi perikanan yang bertujuan untuk
menciptakan konservasi dapat menghasilkan kenaikan stok biomassa ikan, yaitu
sebuah hasil yang tidak terkait dengan keadilan, sementara itu pihak yang
memperoleh banyak ikan sebagai efek dari regulasi merupakan sebuah keluaran yang
terkait dengan kriteria keadilan distributif. Seberapa cepat dan sering para pelanggar
17
terdeteksi, ditangkap dan dihukum adalah peubah proses yang terkait dengan efisiensi
dan efektivitas. Kemudian, bagaimana pelanggar diperlakukan, dan bagaimana
hukum ditegakan secara konsisten adalah peubah proses yang terkait dengan keadilan
prosedural (Kuperan dan Sutinen, 1998).
Mengkuantifisir obligasi moral dan nilai sosial seseorang terhadap
pelaksanaan hukum cukup sulit. Untuk kasus perikanan illegal di Indonesia,
Malaysia, dan Filipina, Kuperan et al.(1997) menggunakan peubah pendidikan,
pengalaman, dan tekanan sosial untuk mewakili peubah obligasi moral dan nilai
sosial (Nikijuluw, 2008).
2.2. Studi Literatur Penelitian TerdahuluMasalah tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan telah menarik
cukup banyak perhatian para ahli ekonomi, baik melalui penelitian empiris maupun
konseptual. Kebanyakan para ahli ekonomi tersebut mengembangkan gagasannya
dari model yang dikenal dengan model dasar pencegahan (deterrence model), dan
sebagian lagi mengembangkannya dari principle-agent model. Kemudian, sejauh
penelusuran literatur di Indonesia, penelitian mengenai tingkat kepatuhan nelayan
terhadap regulasi perikanan nampaknya masih langka. Penelitian terkait penangkapan
ikan secara illegal di Indonesia nampak berkembang di Irian Jaya dan Sulawesi,
meski secara disipliner tidak terkait dengan model dasar pencegahan yang telah
dikembangkan oleh para ahli ekonomi sebelumnya.
Dalam literatur yang telah terpilih, artikel Kuperan dan Sutinen (1998) tampak
menjadi pelopor yang membuka studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap
regulasi perikanan. Model penelitiannya banyak digunakan dan diperluas oleh para
18
ahli ekonomi berikutnya, seperti Charles et al.(1999), Nielsen dan Mathiasen (1998),
Schmidt (2005), Sumaila dan Keith (2006), Shaw dan Sutinen (2006), Arnason
(2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), King dan Sutinen (2009), dan
Girvan (2009).
Kemudian, terdapat dua hal yang menjadi subyek perhatian para ahli ekonomi
tersebut, yaitu derajat tingkat kepatuhan nelayan dan model dasar pencegahan. Para
ahli ekonomi mengidentifikasi tiga macam derajat tingkat kepatuhan nelayan, yaitu
nelayan patuh (non-violator), nelayan moderat (opportunistic atau alternating) dan
nelayan kronis atau pelanggar mapan (persistent violator).
Di dalam menjelaskan tingkat kepatuhan nelayan Peninsular-Malaysia
terhadap regulasi zona penangkapan ikan, Kuperan dan Sutinen (1998) melihat bahwa
terdapat dorongan kentara (tangible), dan tak kentara (intangible) bagi nelayan.
Dorongan tersebut mencakup potensi manfaat tindakan illegal, tinggi rendahnya dan
kepastian sanksi, pengembangan moral individu, persepsi individu terhadap upaya
penegakan untuk menjamin keadilan dan tegaknya moral, dan pengaruh lingkungan
sosial.
Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan dua metode ekonometrika, probit
dan tobit, untuk menguji perilaku kepatuhan (compliance behavior) nelayan
Peninsular Malaysia yang menghadapi regulasi kegiatan penangkapan ikan
disepanjang zona pantai. Model ekonometrika yang mereka estimasi menjelaskan
kecenderungan nelayan untuk melanggar atau mematuhi aturan perikanan yang
ditetapkan pemerintah Malaysia. Mereka menggunakan jenis data cross section untuk
mengestimasi parameter model probit dan tobit. Dimana, secara umum sampelnya
19
dipecah menjadi dua : (1) keseluruhan nelayan, dan (2) nelayan yang hanya
melakukan pelanggaran.
Hasil estimasinya menunjukkan bahwa peubah perbedaan antara hasil
tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE) di wilayah terlarang dan
wilayah yang diperbolehkan, signifikan mempengaruhi keputusan pelanggaran
nelayan. Peubah tersebut merefleksikan perbedaan keberlimpahan stok dan
pendapatan potensial pada zona dekat pantai dan lepas pantai, dan peubah tersebut
memainkan peran utama dalam keputusan nelayan untuk mematuhi aturan.
Penjelasan lainnya, hasil tangkapan yang lebih tinggi di wilayah terlarang
dibandingkan hasil tangkapan dari wilayah legal menjadi motivasi nelayan untuk
melanggar peraturan. Kemudian, mereka juga mengungkapkan bahwa aspek moral
dan sosial merupakan determinan penting perilaku kepatuhan. Berikutnya, mereka
juga menemukan bahwa peran legitimasi tidak begitu kuat untuk meredam tindakan
pelanggaran yang dilakukan oleh neyalan. Tidak satupun peubah mengenai legitimasi
yang secara konsisten dengan tanda yang diprediksi oleh teori legitimasi. Sementara
itu, menurut Tyler (1990) serta Eggert dan Lokina (2008) peubah tersebut merupakan
kekuatan penting dalam menjelaskan perilaku kepatuhan nelayan. Menurut Kuperan
dan Sutinen terdapat dua alasan atas perbedaan tersebut. Pertama, ada kesalahan
dalam teori legitimasi, dan karenanya harus dimodifikasi. Dimana perilaku nelayan
secara utama dimotivasi oleh sesuatu yang nyata (tangible), yaitu pendapatan. Kedua,
terdapat kelemahan dalam pengukuran peubah legitimasi yang mereka gunakan
20
sendiri. Mereka juga menyadari ada ketidaksempurnaan dalam pengukuran peubah
legitimasi tersebut.1
Secara konseptual, model pencegahan telah dikembangkan oleh Charles et al.
(1999), Sumaila dan Keith (2006), Arnason (2007), Eggert dan Lokina (2008),
Akpalu (2009), dan Girvan (2009) untuk menangkap fenomena aktual yang lebih
kompleks. Charles et al.(1999) memandang bahwa perilaku mikroekonomi nelayan
perlu dibedakan menurut jenis regulasi yang dihadapinya, yaitu regulasi input dan
output. Regulasi input merupakan aturan yang mencegah nelayan dari penggunaan
alat tangkap destruktif yang dinilai illegal. Sedangkan regulasi output merupakan
aturan yang mencegah nelayan dari kelebihan hasil tangkapan atas kuota
penangkapan yang dimilikinya. Melalui menggunakan pendekatan matematika
ekonomi, Charles et al.(1999) dapat mengidentifikasi bahwa dalam menghadapi
regulasi input perikanan, terdapat beberapa faktor yang berpotensi mendorong
nelayan untuk melanggar regulasi alat tangkap illegal, yaitu harga ikan, upaya
penegakan, biaya pengadaan input illegal dan biaya yang timbul dari kegiatan
penghindaran (avoidance) terhadap upaya penegakan regulasi. Proposisinya
menyatakan bahwa tingginya harga ikan dapat mendorong nelayan untuk tidak
1 Peubah legitimasi yang mereka gunakan diproksi dengan beberapa peubah kualitatif yang digali dari pertanyaan mengenai :1) Alasan dasar pembatasan jarak penangkapan ikan 5 mil terhadap pengguna trawl untuk
melestarikan (conserve) dan melindungi sumber daya perikanan;2) Alasan dasar pembatasan jarak penangkapan ikan sepanjang 5 mil terhadap pengguna trawl
untuk menghindari konflik antara nelayan dekat pantai dengan lepas pantai;3) Tanggapan terhadap keadilan regulasi zona penangkapan ikan sepanjang 5 mil;4) Tanggapan terhadap peningkatkan keseluruhan kesejahteraan nelayan dari dampak regulasi
zona penangkapan ikan sepanjang 5 mil dalam jangka panjang;5) Taggapan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan dekat pantai dalam jangka panjang;
dan6) Tanggapan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan lepas pantai dalam jangka panjang.
21
mematuhi regulasi input. Sedangkan, tingginya upaya penegakan dapat menimbulkan
tingginya biaya penghindaran, sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan
kepatuhan nelayan, begitupun halnya dengan perubahan dalam biaya pengadaan input
illegal.
Sumaila dan Keith (2006) menangkap bahwa faktor moral dan sosial tidak
dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan nelayan di dalam memilih kegiatan
legal dan terlarang. Longgarnya pertimbangan moral dan sosial dalam pengambilan
keputusan menimbulkan konsekuensi kehilangan moral, dan munculnya sanksi atau
tekanan secara sosial. Pendekatan matematika ekonomi yang mereka mengemukakan
bahwa faktor moral dan sosial menjadi pembobot atau moderasi terhadap
pertimbangan manfaat marjinal dari penggunaan alat tangkap terlarang. Proposisi
yang muncul adalah meskipun manfaat marjinal dari alat tangkap terlarang dinilai
besar dari biaya marjinalnya, tapi bila nelayan menaruh bobot yang lebih besar pada
resiko kehilangan moral dan sanksi sosial, maka mereka akan cenderung mematuhi
regulasi perikanan. Karena itu, dapat juga dicatat bahwa ketidakpatuhan nelayan
terhadap regulasi perikanan disebabkan oleh rendahnya pertimbangan moral dan
pendirian sosial. Sumaila dan Keith (2006) mengaplikasikan pendekatan tersebut
untuk mengkaji faktor ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perikanan illegal secara
global, yaitu di Australia, Chili, Rusia, Argentina, Jepang, Meksiko, Mauritius,
Kanada dan Uruguay. Mereka melihat bahwa manfaat ekonomi dari perikanan illegal
cukup signifikan memotivasi nelayan untuk melakukan tindakan illegal.
Arnason (2007) kemudian memperluas model Charles et al.(1999) dengan
mempertimbangkan unsur stokastik yang melekat dalam regulasi output. Alasannya
22
adalah terdapat perbedaan sikap terhadap resiko diantara nelayan, dan fungsi
keuntungan nelayan tidak dapat diketahui dengan sempurna karena sifat variabilitas
harga ikan. Fokus gagasannya adalah pada aspek upaya penegakan yang optimal. Di
bawah unsur ketidakpastian, tingkat penegakan regulasi perikanan akan lebih tinggi
dibandingkan di bawah kondisi yang tidak mempertimbangkan unsur ketidakpastian,
dan harapan manfaat sosialnya akan lebih tinggi juga.
Eggert dan Lokina (2008) tidak hanya mengembangkan model pencegahan
secara konseptual, lebih dari itu pengembangan modelnya ia gunakan untuk
melakukan penelitian empiris di Danau Victoria. Mereka memandang bahwa model
pencegahan tidak dapat memberikan alasan logis mengapa terdapat nelayan yang
patuh terhadap regulasi. Ini menjadi fokus studinya. Hasil penggunaan model ordered
probit menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan nelayan secara signifikan dijelaskan
oleh peubah sosial-ekonomi, peubah penolakan, peubah sosial, dan legitimasi.
Berbeda dengan Kuperan dan Sutinen (1998) yang menemukan bahwa peubah
legitimasi tidak memiliki tidak konsisten secara teoritis. Peubah sosial ekonomi yang
mencakup faktor pendidikan nelayan, kepemilikan motor tempel, dan sifat
menghindari resiko terbukti dapat meredam tingkat pelanggaran, sedangkan faktor
ekonomi yang mengurangi tingkat kepatuhan adalah tidak terlibatnya pemilik
menjadi kru atau nakhoda. Dalam peubah pencegahan yang mencakup perkiraan beda
nilai antara tangkapan legal dan illegal per anggota kru, mengartikan bahwa semakin
sedikit perbedaannya, maka akan meredam tingkat pelanggaran. Kemudian, tanda dan
besaran peubah sosial menjelaskan bahwa bila nelayan menilai regulasi ukuran mata
jaring menguntungkan sedikit nelayan, maka mereka cenderung akan melanggar
23
regulasi tersebut. Selanjutnya, bila regulasi tersebut terlihat adil, dan pencegahan di
zona perikanan mencukupi, maka mereka tidak akan melanggar, dan tingginya denda
dapat mendorong tingkat kepatuhan.
Kontras dengan Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009) lebih fokus kepada
faktor yang menimbulkan nelayan menjadi pelanggar kronis. Secara konseptual
Proposisinya menyatakan bahwa untuk mendorong tingkat kepatuhan nelayan
terhadap regulasi mata jaring legal, syaratnya adalah hukuman optimal bagi pelanggar
harus ditetapkan lebih tinggi pada rejim open akses teregulasi dibandingkan rejim
manajemen atau pengelolaan. Rejim pengelolaan yang dimaksud adalah masyarakat
nelayan memiliki hak territorial tertentu, sedangkan rejim open akses teregulasi
adalah aturan yang membolehkan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah
manapun sepanjang regulasi ukuran mata jala dipatuhi.
Girvan (2009) kemudian mengoreksi asumsi dibalik model dasar pencegahan.
Pekerjaan tersebut ia lakukan untuk mengembangkan model ekonomi pencegahan
yang ia pandang lebih realistik. Menurutnya, asumsi yang digunakan oleh Becker
(1968), dan ahli ekonomi yang mengikutinya adalah meningkatnya peluang
tertangkap dan kerugian akibat tertangkap dapat meredam tindak kejahatan. Girvan
(2009) menginternalisasikan peranan kendali sosial (social control), kendala
struktural (misalnya kemiskinan), dan keragaman sub-budaya dan sub kelompok
masyarakat.
Girvan (2009) mempertimbangkan pengaruh reputasi tindak kejahatan sub
kelompok ke dalam model dasar pencegahan. Dengan memasukan sub kelompok
individu, status sub kelompoknya, dan pengaruh reputasi tersebut terhadap penegakan
24
hukum kriminal, ia menjelaskan bagaimana keragaman reputasional menunjang
pencegahan kriminal yang mengubah efektivitas dan efisiensi beragam alternatif
hukuman kejahatan serta memprediksi bagaimana tingkat hukuman tertentu akan
menghasilkan konsentrasi ekternalitas negatif terkait kejahatan dan hukuman pada
anggota sub kelompok rendah. Ia telah menunjukkan bahwa model pencegahan yang
diperluas ini membuka tambahan alternatif strategi pencegahan yang dapat dicapai
masyarakat secara optimal.
Meskipun perluasan model pencegahan tersebut diklaimnya lebih prediktif,
tapi belum ditemukan peneliti yang mengaplikasikannya melalui penelitian empiris,
termasuk Girvan (2009) sendiri. Beberapa variabel yang sulit untuk dikuantifisir
dalam model konseptualnnya adalah mengenai keragaman sub-budaya dan sub-
kelompok masyarakat.
Secara empiris, model pencegahan telah digunakan juga oleh King dan
Sutinen (2009), Nielsen dan Mathiasen (1998), dan Schmidt (2005). King dan
Sutinen (2009) melakukan penelitian empiris dengan menggunakan model
pencegahan. Lebih dari itu, mereka coba membuat indek Illegal Fishing Deterrence
(IFD). Obyek penelitiannya adalah nelayan yang bekerja di Northeast Ground
Fishery. IFDnya diduga sebesar 0,21 artinya tingkat harapan keuntungan dari
penagkapan ikan secara illegal, lima kali lebih tinggi dari harapan biayanya. Ia
kemudian menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling besar
kekuatannya untuk mendorong ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan.
Nielsen dan Mathiasen (1998) menggunakan metode survey untuk mengkaji
lima aspek dari nelayan, yaitu struktur industri, pengendalian dan penegakan regulasi,
25
isi regulasi, norma dan moral nelayan, dan prosedur pembuatan regulasi perikanan.
Mereka juga menemukan bahwa struktur industri merupakan faktor penting dalam hal
kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan. Struktur industri tersebut mencakup
manfaat ekonomi, kemampuan armada, komposisi armada, demografi, dan
penyebaran demografi nelayan.
Metode survey yang sama digunakan Schmidt (2005). Ia menemukan bahwa
aspek manfaat-biaya menjadi faktor yang dominan bagi tingkat kepatuhan nelayan.
Faktor lain yang mendorong ketidakpatuhan mencakup tingginya hasil tangkapan dari
kegiatan terlarang dibandingkan dengan penangkapan ikan legal, tidak adanya
pembeda antara harga ikan hasil tangkapan legal dengan illegal, kapal IUU dapat
mengurangi biaya (bahan bakar, pajak, pekerja, monitoring-surveilance-controlling,
registrasi, reparasi dan pemeliharaan, perlengakapan keamanan, penipuan, moral,
asuransi, dan tindakan penghindaran), dan rendahnya biaya investasi kapal.
Saw dan Sutinen (2006) mengkaji persepsi nelayan terhadap manajemen
perikanan, penegakan dan kepatuhan di perikanan demersal Northsea, yaitu armada
di Atlantik Utara antara Inggris dan Skandinavia. Mereka menggunakan kerangka
pemikiran legitimasi prosedural yang dikemukakan oleh Tyler (1990). Kerangka ini
digunakan juga oleh Kuperan dan Sutinen (1998), yang ringkasannya disajikan pada
catatan kaki kedua. Teknik survey mereka gunakan untuk menjelaskan perspektif
nelayan terhadap efektivitas dan keadilan manajemen perikanan. Lebih dari itu
mereka juga menggali informasi mengenai pengembangan dan sosialisasi regulasi
perikanan, regulasi konservasi khusus, metode penegakan dan perspektifnya terhadap
kepatuhan pada regulasi perikanan yang disertai alasannya. Hasil penelitiannya
26
memberikan informasi bahwa pengelola perikanan dapat meningkatkan kepatuhan
nelayan dengan cara mengembangkan rasa keadilan, efisiensi dan efektivitas rencana
pengelolaan dan hasil akhir regulasi.
Berbeda dengan para ahli ekonomi lainnya, Vestergaard (2000) dan Bailey
(2007) menjelaskan masalah ketidakpatuhan nelayan dari kerangka kerja principle-
agent. Vestergaard (2000) melakukan kajian mengenai illegal landing di Timur Laut.
Illegal landing adalah jumlah tangkapan nelayan yang melebihi kuota yang dijual
melalu saluran illegal. Nelayan di Timur Laut bekerja di bawah sistem kuota hasil
tangkapan, tapi terdapat indikasi bahwa hasil tangkapan aktual secara keseluruhan
lebih besar dari jumlah hasil tangkapan yang ditetapkan untuk mengantisipasi
menurunnya stok ikan sebagai akibat dari kelebihan penangkapan. Kegiatan
pengamatan terhadap hasil tangkapan oleh regulator terlihat sulit untuk diamati.
Karena itu Vestergaard (2000) memandang masalah illegal landing sebagai masalah
moral hazard, yaitu tindakan agen, dalam hal ini adalah nelayan, yang tidak bisa
diamati oleh pihak principal atau pengelola perikanan. Vestergaard (2000)
membangun model matematika ekonomi, dan mensimulasinya untuk menemukan
alternatif kebijakan ekonomi dalam meredam illegal landing. Hasilnya mereka
mempromosikan skema insentif dengan instrument subsidi dan pajak. Bila stok ikan
aktual lebih besar dari stok optimal, maka nelayan akan memperoleh subsidi yang
sepadan dengan perbedaan stok tersebut dikalikan dengan tingkat subsidi variabel
individual. Sebaliknya, bila stok ikan aktual lebih kecil dari stok optimal, maka
nelayan akan dikenakan pajak yang sepadan dengan perbedaan jumlah stok tersebut
dikalikan dengan tingkat pajak variabel ditambah denda tetap. Skema insentif tersebut
27
dapat membuat semua hasil tangkapan individu menjadi teramati dan pendugaan
ukuran stok menjadi lebih tepat.
Kemudian, Bailey (2007) mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat-Irian Jaya dengan nelayan. Dimana DKP
setempat memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas
untuk mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan nelayan sebagai
agen yang mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Model empiris yang
dibangun Bailey (2007) termasuk ke dalam model optimisasi. Asumsinya, nelayan
harus memutuskan upaya sepanjang waktu, dengan menggunakan cara legal dan
illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih atau diskonto rente ekonomi sepanjang
waktu. Mencermati hasil analisa Bailey (2007) terhadap hasil simulasi modelnya,
terungkap bahwa pengawasan (monitoring) dan penegakan (enforcement) serta denda
atas illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun
tingginya denda atas illegal fishing, tanpa pengawasan yang mempertinggi peluang
terdeteksinya tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing
tersebut yang mengancam tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari.
Selain di Irian Jaya, kepulauan Sulawesi juga telah mengundang beberapa
penelitian. Hasil temuan Soede et al.(1999) di Indonesia dapat menambah ilustrasi
mengenai dampak dan biaya-manfaat ekonomi dari blast fishing. Blast fishing adalah
kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Obyek studinya
adalah rumahtangga nelayan skala individu yang menggunakan bahan peledak (bom)
di Sulawesi Tenggara. Hasil analisa biaya-manfaat menunjukkan bahwa setelah 20
tahun operasi blast fishing, di daerah yang memiliki potensi pariwisata dan
28
perlindungan pantai yang tinggi, kerugiannya diduga sebesar US$ 306 800 per
kilometer persegi terumbu karang. Sedangkan di daerah yang memiliki potensi
pariwisata dan perlindungan pantai terendah kerugiannya diduga sebesar US$ 33 900
per kilometer persegi terumbu karang. Peubah biaya dikuantifisir melalui hilangnya
fungsi perlindungan pantai, hilangnya manfaat pariwisata dan hilangnya manfaat
perikanan yang ramah lingkungan. Biaya ekonomi bagi masyarakat diduga empat kali
lebih tinggi dari manfaat blast fishing secara privat di daerah yang memiliki potensi
pariwisata dan perlindungan pantai yang tinggi.
Mukhtar (2008)2 melakukan penelitian bersama dengan Yayasan Pelestarian
Laut dan Pantai mengenai illegal fishing di Waworini Sulawesi Tenggara. Dari hasil
pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap responden (masyarakat biasa,
nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan),
ditemukan 2 (dua) komponen kegiatan illegal fishing di Kelurahan Langara Laut,
yaitu : menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti bom (dengan bahan
berupa pupuk cap matahari, beruang, obor), bius (kalium cianida) dan tuba (akar
tuba), dan pelanggaran administrasi. Berdasarkan hasil identifikasi secara perorangan
terhadap pembom aktif dan non aktif, tersusun beberapa alasan utama kegiatan illegal
fishing di Kelurahan Langara Laut dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun
(bius dan tuba). Pertama, adanya pelaku bom dari pihak luar. Pelaku bom dari pihak
luar sangat berpengaruh terhadap nelayan lokal seperti: nelayan Pulau Cempedak,
Desa Mekar, Bajo Indah, dan Saponda. Nelayan lokal mengikuti cara demikian,
2 Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan, PPNS Perikanan.
29
walaupun mereka memahami bahwa kegiatan sangat beresiko (ancaman jiwa akibat
bom dan mendapat hukuman jika tertangkap oleh petugas). Kedua, adanya pengedar
bahan baku yang masuk di Kelurahan Langara Laut. Ketiga, adanya pengedar bahan
baku berupa pupuk dari luar daerah (Kabupaten Buton), sangat besar pengaruhnya
terhadap aktivitas illegal fishing. Informasi awal tertangkapnya pelaku pengedar ini
adalah atas laporan kelompok masyarakat pengawas. Dari kasus ini, menunjukkan
bahwa secara nurani, penduduk lokal sudah tidak senang atau siap membantu
pemerintah dalam pengawasan terhadap kelestarian lingkungan perairan. Keempat,
rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Terakhir, mereka merasakan bahwa
mereka dianggap sebagai golongan minoritas yang terabaikan.
30
II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................13
2.1. Dimensi Ekonomi dan Non Ekonomi Dalam Memilih Alat Tangkap Legal dan
Terlarang......................................................................................................................13
2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu................................................................17
2. Faktor Penentu Kepatuhan Hukum.........................................................................14