2. tinjauan pustaka april 2010

29
II. TINJAUAN PUSTAKA Pilihan ekonomi nelayan terhadap alat tangkap legal dan terlarang merupakan bagian dari lapangan studi ekonomi kegiatan illegal. Dalam bidang perikanan dikenal dengan teori ekonomi illegal fishing, yang menjelaskan sebab- sebab dilakukannya kegiatan penangkapan ikan yang melanggar aturan atau illegal. Teori tersebut juga menjelaskan pendekatan ekonomi untuk mencegah (deterrence) penangkapan ikan secara tidak sah (illegal). Teori ini disajikan pada bagian awal bab ini. Penelitian mengenai respon nelayan terhadap aturan perikanan dengan menggunakan pendekatan ekonomi bukan suatu pekerjaan yang baru. Berdasarkan hasil penelusuran literatur terhadap hasil penelitian sebelumnya, sekurang- kurangnya terdapat duabelas artikel terpilih yang menggunakan pendekatan ekonomi tersebut. Dari hasil penelusuran tersebut dapat dipetik pengalaman para ahli ekonomi di dalam mengaplikasikan pendekatan ekonomi, dan dapat dibangun sebuah diskusi terhadap masalah tingkat

Upload: yuhka-sundaya

Post on 27-Jun-2015

232 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

II. TINJAUAN PUSTAKA

Pilihan ekonomi nelayan terhadap alat tangkap legal dan terlarang merupakan

bagian dari lapangan studi ekonomi kegiatan illegal. Dalam bidang perikanan dikenal

dengan teori ekonomi illegal fishing, yang menjelaskan sebab-sebab dilakukannya

kegiatan penangkapan ikan yang melanggar aturan atau illegal. Teori tersebut juga

menjelaskan pendekatan ekonomi untuk mencegah (deterrence) penangkapan ikan

secara tidak sah (illegal). Teori ini disajikan pada bagian awal bab ini.

Penelitian mengenai respon nelayan terhadap aturan perikanan dengan

menggunakan pendekatan ekonomi bukan suatu pekerjaan yang baru. Berdasarkan

hasil penelusuran literatur terhadap hasil penelitian sebelumnya, sekurang-kurangnya

terdapat duabelas artikel terpilih yang menggunakan pendekatan ekonomi tersebut.

Dari hasil penelusuran tersebut dapat dipetik pengalaman para ahli ekonomi di dalam

mengaplikasikan pendekatan ekonomi, dan dapat dibangun sebuah diskusi terhadap

masalah tingkat kepatuhan nelayan. Hasil penelusuran literatur ini disajikan pada

bagian dua.

2.1. Pilihan Alat Tangkap Legal dan Terlarang : Dimensi Ekonomi dan Non Ekonomi

Analisa teoritis mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi

perikanan dapat dipelajari dari Nikijuluw (2008), Kuperan dan Sutinen (1998) dan

Bekcer (1968). Pelanggaran atau kepatuhan terhadap hukum ditentukan oleh

beberapa faktor, yaitu adanya insentif ekonomi, pelaksanaan penegakan hukum,

obligasi moral dan tekanan sosial. Hubungan tersebut dikerangka pada Gambar 1.

Page 2: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

Kepatuhan Hukum

Penegakan Hukum Keuntungan Legal/Illegal

Obligasi Moral & Tekanan Sosial

Deteksi

Sanksi

Legitimasi Pengembangan Moral & Nilai-Nilai Individu

Sanksi Hasil

Keadilan Keadilan

Efisiensi Keefektifan

Bujukan Moral

14

Sumber : Nikijuluw (2008)Gambar 1. Faktor Penentu Kepatuhan Hukum

Insentif ekonomi muncul dari harapan keuntungan (expected profit) yang

dapat diperoleh dari tindakan melanggar regulasi perikanan. Harapan keuntungan

tersebut merupakan selisih antara harapan penerimaan (expected revenue) dengan

harapan biaya (expected costs). Nelayan akan cenderung melakukan tindakan

terlarang bila harapan keuntungannya positif, yaitu dalam kondisi dimana harapan

penerimaannya lebih besar dari harapan biaya. Sebaliknya, nelayan akan cenderung

mematuhi regulasi perikanan tertentu bila harapan keuntungannya negatif, yaitu bila

harapan penerimaannya lebih rendah dari harapan biaya. Besarnya harapan biaya

tersebut dapat ditingkatkan dengan memberikan sanksi yang lebih besar bagi nelayan

Page 3: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

15

yang melanggar regulasi. Pengaruh insentif ekonomi terhadap tingkat kepatuhan

nelayan ini dikenal dengan model dasar pencegahan atau basic deterrence models

(Nikijuluw, 2008).

Menurut Becker (1968), secara umum, kepatuhan mencakup dua perspektif

dasar, yaitu instrumental dan normatif. Perspektif instrumental menganggap bahwa

individu secara murni digerakan oleh kepentingan diri (self-interest) serta merespon

perubahan insentif yang bersifat segera, dan hukuman yang terkait dengan tindakan

yang menjadi pilihannya. Dalam perspektif ini peubah kunci tingkat kepatuhan

didasari oleh besaran sanksi. Sedangkan perspektif normatif menekankan

pertimbangan keadilan dan moral individu. Individu cenderung untuk mematuhi

hukum bila ia merasakan bahwa hukum tersebut pantas dan konsisten dengan norma

yang diinternalisasikannya. Peubah kunci yang mendasari tingkat kepatuhannya

adalah perspepsi individu mengenai keadilan serta kepantasan dan lembaga

hukumnya.

Obligasi moral individu dan tekanan sosial yang diterima nelayan menentukan

perilakunya terhadap aturan yang berlaku. Obligasi moral yang dimaksud selanjutnya

ditentukan oleh pengembangan moral dan nilai-nilai individu yang dianut. Obligasi

moral ini sangat subyektif sifatnya dan bervariasi antar individu. Pengetahuan,

pengalaman, pendidikan, ketaatan agama, keadilan, kejujuran, pementingan diri,

pementingan kelompok, kebersamaan, nilai-nilai keberlanjutan lingkungan, dan

keutamaan pemerataan merupakan peubah yang menentukan kepatuhan seseorang

terhadap hukum. Dalam kaitan itu, seorang nelayan akan memiliki pandangan

tertentu jika dia menghadapi sesama nelayan lain yang mematuhi atau melanggar

Page 4: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

16

hukum. Nelayan bisa melanggar atau mematuhi hukum sesuai lingkungannya.

Namun, dia pun bisa berbeda tindakan dengan masyarakatnya (Nikijuluw, 2008).

Menurut Nikijuluw (2008), jika seorang nelayan tinggal dan hidup di antara

masyarakat yang melanggar atau mematuhi hukum, dia akan menerima tekanan yang

mungkin sama atau berbeda dengan obligasi sosialnya. Namun pada umumnya,

nelayan akan mengorbankan obligasi sosial karena tekanan lingkungan. Namun, tidak

dipungkiri bahwa di tengah lingkungan yang demikian, masih ada nelayan yang

memiliki nilai kebenaran dan patuh terhadap norma hukum sehingga berbeda dengan

lingkungannya.

Kepatuhan terhadap hukum atau regulasi juga dipengaruhi oleh tanggapan

individu terhadap legitimasi dan aparat penegak hukumnya. Legitimasi adalah

penilaian normatif individu mengenai kepantasan tindakan aparat penegak hukum

untuk membatasi perilakunya. Kepatuhan akan tinggi bila individu menaruh tingkat

legitimasi yang tinggi terhadap aparat penegak hukum. Menurut Kuperan dan Sutinen

(1998), Tyler (1990) menekankan peubah hasil dan proses. Peubah hasil adalah

peubah yang terkait dengan hasil akhir sebuah regulasi yang memiliki dua kriteria :

tidak terkait langsung dengan keadilan, dan terkait langsung dengan keadilan

distributif. Peubah proses juga memiliki dua kriteria : efisiensi atau efektifitas, dan

keadilan prosedural. Sebagai contoh, regulasi perikanan yang bertujuan untuk

menciptakan konservasi dapat menghasilkan kenaikan stok biomassa ikan, yaitu

sebuah hasil yang tidak terkait dengan keadilan, sementara itu pihak yang

memperoleh banyak ikan sebagai efek dari regulasi merupakan sebuah keluaran yang

terkait dengan kriteria keadilan distributif. Seberapa cepat dan sering para pelanggar

Page 5: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

17

terdeteksi, ditangkap dan dihukum adalah peubah proses yang terkait dengan efisiensi

dan efektivitas. Kemudian, bagaimana pelanggar diperlakukan, dan bagaimana

hukum ditegakan secara konsisten adalah peubah proses yang terkait dengan keadilan

prosedural (Kuperan dan Sutinen, 1998).

Mengkuantifisir obligasi moral dan nilai sosial seseorang terhadap

pelaksanaan hukum cukup sulit. Untuk kasus perikanan illegal di Indonesia,

Malaysia, dan Filipina, Kuperan et al.(1997) menggunakan peubah pendidikan,

pengalaman, dan tekanan sosial untuk mewakili peubah obligasi moral dan nilai

sosial (Nikijuluw, 2008).

2.2. Studi Literatur Penelitian TerdahuluMasalah tingkat kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan telah menarik

cukup banyak perhatian para ahli ekonomi, baik melalui penelitian empiris maupun

konseptual. Kebanyakan para ahli ekonomi tersebut mengembangkan gagasannya

dari model yang dikenal dengan model dasar pencegahan (deterrence model), dan

sebagian lagi mengembangkannya dari principle-agent model. Kemudian, sejauh

penelusuran literatur di Indonesia, penelitian mengenai tingkat kepatuhan nelayan

terhadap regulasi perikanan nampaknya masih langka. Penelitian terkait penangkapan

ikan secara illegal di Indonesia nampak berkembang di Irian Jaya dan Sulawesi,

meski secara disipliner tidak terkait dengan model dasar pencegahan yang telah

dikembangkan oleh para ahli ekonomi sebelumnya.

Dalam literatur yang telah terpilih, artikel Kuperan dan Sutinen (1998) tampak

menjadi pelopor yang membuka studi mengenai tingkat kepatuhan nelayan terhadap

regulasi perikanan. Model penelitiannya banyak digunakan dan diperluas oleh para

Page 6: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

18

ahli ekonomi berikutnya, seperti Charles et al.(1999), Nielsen dan Mathiasen (1998),

Schmidt (2005), Sumaila dan Keith (2006), Shaw dan Sutinen (2006), Arnason

(2007), Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009), King dan Sutinen (2009), dan

Girvan (2009).

Kemudian, terdapat dua hal yang menjadi subyek perhatian para ahli ekonomi

tersebut, yaitu derajat tingkat kepatuhan nelayan dan model dasar pencegahan. Para

ahli ekonomi mengidentifikasi tiga macam derajat tingkat kepatuhan nelayan, yaitu

nelayan patuh (non-violator), nelayan moderat (opportunistic atau alternating) dan

nelayan kronis atau pelanggar mapan (persistent violator).

Di dalam menjelaskan tingkat kepatuhan nelayan Peninsular-Malaysia

terhadap regulasi zona penangkapan ikan, Kuperan dan Sutinen (1998) melihat bahwa

terdapat dorongan kentara (tangible), dan tak kentara (intangible) bagi nelayan.

Dorongan tersebut mencakup potensi manfaat tindakan illegal, tinggi rendahnya dan

kepastian sanksi, pengembangan moral individu, persepsi individu terhadap upaya

penegakan untuk menjamin keadilan dan tegaknya moral, dan pengaruh lingkungan

sosial.

Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan dua metode ekonometrika, probit

dan tobit, untuk menguji perilaku kepatuhan (compliance behavior) nelayan

Peninsular Malaysia yang menghadapi regulasi kegiatan penangkapan ikan

disepanjang zona pantai. Model ekonometrika yang mereka estimasi menjelaskan

kecenderungan nelayan untuk melanggar atau mematuhi aturan perikanan yang

ditetapkan pemerintah Malaysia. Mereka menggunakan jenis data cross section untuk

mengestimasi parameter model probit dan tobit. Dimana, secara umum sampelnya

Page 7: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

19

dipecah menjadi dua : (1) keseluruhan nelayan, dan (2) nelayan yang hanya

melakukan pelanggaran.

Hasil estimasinya menunjukkan bahwa peubah perbedaan antara hasil

tangkapan per unit upaya (catch per unit effort, CPUE) di wilayah terlarang dan

wilayah yang diperbolehkan, signifikan mempengaruhi keputusan pelanggaran

nelayan. Peubah tersebut merefleksikan perbedaan keberlimpahan stok dan

pendapatan potensial pada zona dekat pantai dan lepas pantai, dan peubah tersebut

memainkan peran utama dalam keputusan nelayan untuk mematuhi aturan.

Penjelasan lainnya, hasil tangkapan yang lebih tinggi di wilayah terlarang

dibandingkan hasil tangkapan dari wilayah legal menjadi motivasi nelayan untuk

melanggar peraturan. Kemudian, mereka juga mengungkapkan bahwa aspek moral

dan sosial merupakan determinan penting perilaku kepatuhan. Berikutnya, mereka

juga menemukan bahwa peran legitimasi tidak begitu kuat untuk meredam tindakan

pelanggaran yang dilakukan oleh neyalan. Tidak satupun peubah mengenai legitimasi

yang secara konsisten dengan tanda yang diprediksi oleh teori legitimasi. Sementara

itu, menurut Tyler (1990) serta Eggert dan Lokina (2008) peubah tersebut merupakan

kekuatan penting dalam menjelaskan perilaku kepatuhan nelayan. Menurut Kuperan

dan Sutinen terdapat dua alasan atas perbedaan tersebut. Pertama, ada kesalahan

dalam teori legitimasi, dan karenanya harus dimodifikasi. Dimana perilaku nelayan

secara utama dimotivasi oleh sesuatu yang nyata (tangible), yaitu pendapatan. Kedua,

terdapat kelemahan dalam pengukuran peubah legitimasi yang mereka gunakan

Page 8: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

20

sendiri. Mereka juga menyadari ada ketidaksempurnaan dalam pengukuran peubah

legitimasi tersebut.1

Secara konseptual, model pencegahan telah dikembangkan oleh Charles et al.

(1999), Sumaila dan Keith (2006), Arnason (2007), Eggert dan Lokina (2008),

Akpalu (2009), dan Girvan (2009) untuk menangkap fenomena aktual yang lebih

kompleks. Charles et al.(1999) memandang bahwa perilaku mikroekonomi nelayan

perlu dibedakan menurut jenis regulasi yang dihadapinya, yaitu regulasi input dan

output. Regulasi input merupakan aturan yang mencegah nelayan dari penggunaan

alat tangkap destruktif yang dinilai illegal. Sedangkan regulasi output merupakan

aturan yang mencegah nelayan dari kelebihan hasil tangkapan atas kuota

penangkapan yang dimilikinya. Melalui menggunakan pendekatan matematika

ekonomi, Charles et al.(1999) dapat mengidentifikasi bahwa dalam menghadapi

regulasi input perikanan, terdapat beberapa faktor yang berpotensi mendorong

nelayan untuk melanggar regulasi alat tangkap illegal, yaitu harga ikan, upaya

penegakan, biaya pengadaan input illegal dan biaya yang timbul dari kegiatan

penghindaran (avoidance) terhadap upaya penegakan regulasi. Proposisinya

menyatakan bahwa tingginya harga ikan dapat mendorong nelayan untuk tidak

1 Peubah legitimasi yang mereka gunakan diproksi dengan beberapa peubah kualitatif yang digali dari pertanyaan mengenai :1) Alasan dasar pembatasan jarak penangkapan ikan 5 mil terhadap pengguna trawl untuk

melestarikan (conserve) dan melindungi sumber daya perikanan;2) Alasan dasar pembatasan jarak penangkapan ikan sepanjang 5 mil terhadap pengguna trawl

untuk menghindari konflik antara nelayan dekat pantai dengan lepas pantai;3) Tanggapan terhadap keadilan regulasi zona penangkapan ikan sepanjang 5 mil;4) Tanggapan terhadap peningkatkan keseluruhan kesejahteraan nelayan dari dampak regulasi

zona penangkapan ikan sepanjang 5 mil dalam jangka panjang;5) Taggapan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan dekat pantai dalam jangka panjang;

dan6) Tanggapan terhadap peningkatan kesejahteraan nelayan lepas pantai dalam jangka panjang.

Page 9: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

21

mematuhi regulasi input. Sedangkan, tingginya upaya penegakan dapat menimbulkan

tingginya biaya penghindaran, sehingga memiliki potensi untuk meningkatkan

kepatuhan nelayan, begitupun halnya dengan perubahan dalam biaya pengadaan input

illegal.

Sumaila dan Keith (2006) menangkap bahwa faktor moral dan sosial tidak

dapat dipisahkan dari pengambilan keputusan nelayan di dalam memilih kegiatan

legal dan terlarang. Longgarnya pertimbangan moral dan sosial dalam pengambilan

keputusan menimbulkan konsekuensi kehilangan moral, dan munculnya sanksi atau

tekanan secara sosial. Pendekatan matematika ekonomi yang mereka mengemukakan

bahwa faktor moral dan sosial menjadi pembobot atau moderasi terhadap

pertimbangan manfaat marjinal dari penggunaan alat tangkap terlarang. Proposisi

yang muncul adalah meskipun manfaat marjinal dari alat tangkap terlarang dinilai

besar dari biaya marjinalnya, tapi bila nelayan menaruh bobot yang lebih besar pada

resiko kehilangan moral dan sanksi sosial, maka mereka akan cenderung mematuhi

regulasi perikanan. Karena itu, dapat juga dicatat bahwa ketidakpatuhan nelayan

terhadap regulasi perikanan disebabkan oleh rendahnya pertimbangan moral dan

pendirian sosial. Sumaila dan Keith (2006) mengaplikasikan pendekatan tersebut

untuk mengkaji faktor ekonomi yang mempengaruhi kegiatan perikanan illegal secara

global, yaitu di Australia, Chili, Rusia, Argentina, Jepang, Meksiko, Mauritius,

Kanada dan Uruguay. Mereka melihat bahwa manfaat ekonomi dari perikanan illegal

cukup signifikan memotivasi nelayan untuk melakukan tindakan illegal.

Arnason (2007) kemudian memperluas model Charles et al.(1999) dengan

mempertimbangkan unsur stokastik yang melekat dalam regulasi output. Alasannya

Page 10: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

22

adalah terdapat perbedaan sikap terhadap resiko diantara nelayan, dan fungsi

keuntungan nelayan tidak dapat diketahui dengan sempurna karena sifat variabilitas

harga ikan. Fokus gagasannya adalah pada aspek upaya penegakan yang optimal. Di

bawah unsur ketidakpastian, tingkat penegakan regulasi perikanan akan lebih tinggi

dibandingkan di bawah kondisi yang tidak mempertimbangkan unsur ketidakpastian,

dan harapan manfaat sosialnya akan lebih tinggi juga.

Eggert dan Lokina (2008) tidak hanya mengembangkan model pencegahan

secara konseptual, lebih dari itu pengembangan modelnya ia gunakan untuk

melakukan penelitian empiris di Danau Victoria. Mereka memandang bahwa model

pencegahan tidak dapat memberikan alasan logis mengapa terdapat nelayan yang

patuh terhadap regulasi. Ini menjadi fokus studinya. Hasil penggunaan model ordered

probit menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan nelayan secara signifikan dijelaskan

oleh peubah sosial-ekonomi, peubah penolakan, peubah sosial, dan legitimasi.

Berbeda dengan Kuperan dan Sutinen (1998) yang menemukan bahwa peubah

legitimasi tidak memiliki tidak konsisten secara teoritis. Peubah sosial ekonomi yang

mencakup faktor pendidikan nelayan, kepemilikan motor tempel, dan sifat

menghindari resiko terbukti dapat meredam tingkat pelanggaran, sedangkan faktor

ekonomi yang mengurangi tingkat kepatuhan adalah tidak terlibatnya pemilik

menjadi kru atau nakhoda. Dalam peubah pencegahan yang mencakup perkiraan beda

nilai antara tangkapan legal dan illegal per anggota kru, mengartikan bahwa semakin

sedikit perbedaannya, maka akan meredam tingkat pelanggaran. Kemudian, tanda dan

besaran peubah sosial menjelaskan bahwa bila nelayan menilai regulasi ukuran mata

jaring menguntungkan sedikit nelayan, maka mereka cenderung akan melanggar

Page 11: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

23

regulasi tersebut. Selanjutnya, bila regulasi tersebut terlihat adil, dan pencegahan di

zona perikanan mencukupi, maka mereka tidak akan melanggar, dan tingginya denda

dapat mendorong tingkat kepatuhan.

Kontras dengan Eggert dan Lokina (2008), Akpalu (2009) lebih fokus kepada

faktor yang menimbulkan nelayan menjadi pelanggar kronis. Secara konseptual

Proposisinya menyatakan bahwa untuk mendorong tingkat kepatuhan nelayan

terhadap regulasi mata jaring legal, syaratnya adalah hukuman optimal bagi pelanggar

harus ditetapkan lebih tinggi pada rejim open akses teregulasi dibandingkan rejim

manajemen atau pengelolaan. Rejim pengelolaan yang dimaksud adalah masyarakat

nelayan memiliki hak territorial tertentu, sedangkan rejim open akses teregulasi

adalah aturan yang membolehkan nelayan untuk menangkap ikan di wilayah

manapun sepanjang regulasi ukuran mata jala dipatuhi.

Girvan (2009) kemudian mengoreksi asumsi dibalik model dasar pencegahan.

Pekerjaan tersebut ia lakukan untuk mengembangkan model ekonomi pencegahan

yang ia pandang lebih realistik. Menurutnya, asumsi yang digunakan oleh Becker

(1968), dan ahli ekonomi yang mengikutinya adalah meningkatnya peluang

tertangkap dan kerugian akibat tertangkap dapat meredam tindak kejahatan. Girvan

(2009) menginternalisasikan peranan kendali sosial (social control), kendala

struktural (misalnya kemiskinan), dan keragaman sub-budaya dan sub kelompok

masyarakat.

Girvan (2009) mempertimbangkan pengaruh reputasi tindak kejahatan sub

kelompok ke dalam model dasar pencegahan. Dengan memasukan sub kelompok

individu, status sub kelompoknya, dan pengaruh reputasi tersebut terhadap penegakan

Page 12: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

24

hukum kriminal, ia menjelaskan bagaimana keragaman reputasional menunjang

pencegahan kriminal yang mengubah efektivitas dan efisiensi beragam alternatif

hukuman kejahatan serta memprediksi bagaimana tingkat hukuman tertentu akan

menghasilkan konsentrasi ekternalitas negatif terkait kejahatan dan hukuman pada

anggota sub kelompok rendah. Ia telah menunjukkan bahwa model pencegahan yang

diperluas ini membuka tambahan alternatif strategi pencegahan yang dapat dicapai

masyarakat secara optimal.

Meskipun perluasan model pencegahan tersebut diklaimnya lebih prediktif,

tapi belum ditemukan peneliti yang mengaplikasikannya melalui penelitian empiris,

termasuk Girvan (2009) sendiri. Beberapa variabel yang sulit untuk dikuantifisir

dalam model konseptualnnya adalah mengenai keragaman sub-budaya dan sub-

kelompok masyarakat.

Secara empiris, model pencegahan telah digunakan juga oleh King dan

Sutinen (2009), Nielsen dan Mathiasen (1998), dan Schmidt (2005). King dan

Sutinen (2009) melakukan penelitian empiris dengan menggunakan model

pencegahan. Lebih dari itu, mereka coba membuat indek Illegal Fishing Deterrence

(IFD). Obyek penelitiannya adalah nelayan yang bekerja di Northeast Ground

Fishery. IFDnya diduga sebesar 0,21 artinya tingkat harapan keuntungan dari

penagkapan ikan secara illegal, lima kali lebih tinggi dari harapan biayanya. Ia

kemudian menyimpulkan bahwa faktor ekonomi merupakan faktor yang paling besar

kekuatannya untuk mendorong ketidakpatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan.

Nielsen dan Mathiasen (1998) menggunakan metode survey untuk mengkaji

lima aspek dari nelayan, yaitu struktur industri, pengendalian dan penegakan regulasi,

Page 13: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

25

isi regulasi, norma dan moral nelayan, dan prosedur pembuatan regulasi perikanan.

Mereka juga menemukan bahwa struktur industri merupakan faktor penting dalam hal

kepatuhan nelayan terhadap regulasi perikanan. Struktur industri tersebut mencakup

manfaat ekonomi, kemampuan armada, komposisi armada, demografi, dan

penyebaran demografi nelayan.

Metode survey yang sama digunakan Schmidt (2005). Ia menemukan bahwa

aspek manfaat-biaya menjadi faktor yang dominan bagi tingkat kepatuhan nelayan.

Faktor lain yang mendorong ketidakpatuhan mencakup tingginya hasil tangkapan dari

kegiatan terlarang dibandingkan dengan penangkapan ikan legal, tidak adanya

pembeda antara harga ikan hasil tangkapan legal dengan illegal, kapal IUU dapat

mengurangi biaya (bahan bakar, pajak, pekerja, monitoring-surveilance-controlling,

registrasi, reparasi dan pemeliharaan, perlengakapan keamanan, penipuan, moral,

asuransi, dan tindakan penghindaran), dan rendahnya biaya investasi kapal.

Saw dan Sutinen (2006) mengkaji persepsi nelayan terhadap manajemen

perikanan, penegakan dan kepatuhan di perikanan demersal Northsea, yaitu armada

di Atlantik Utara antara Inggris dan Skandinavia. Mereka menggunakan kerangka

pemikiran legitimasi prosedural yang dikemukakan oleh Tyler (1990). Kerangka ini

digunakan juga oleh Kuperan dan Sutinen (1998), yang ringkasannya disajikan pada

catatan kaki kedua. Teknik survey mereka gunakan untuk menjelaskan perspektif

nelayan terhadap efektivitas dan keadilan manajemen perikanan. Lebih dari itu

mereka juga menggali informasi mengenai pengembangan dan sosialisasi regulasi

perikanan, regulasi konservasi khusus, metode penegakan dan perspektifnya terhadap

kepatuhan pada regulasi perikanan yang disertai alasannya. Hasil penelitiannya

Page 14: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

26

memberikan informasi bahwa pengelola perikanan dapat meningkatkan kepatuhan

nelayan dengan cara mengembangkan rasa keadilan, efisiensi dan efektivitas rencana

pengelolaan dan hasil akhir regulasi.

Berbeda dengan para ahli ekonomi lainnya, Vestergaard (2000) dan Bailey

(2007) menjelaskan masalah ketidakpatuhan nelayan dari kerangka kerja principle-

agent. Vestergaard (2000) melakukan kajian mengenai illegal landing di Timur Laut.

Illegal landing adalah jumlah tangkapan nelayan yang melebihi kuota yang dijual

melalu saluran illegal. Nelayan di Timur Laut bekerja di bawah sistem kuota hasil

tangkapan, tapi terdapat indikasi bahwa hasil tangkapan aktual secara keseluruhan

lebih besar dari jumlah hasil tangkapan yang ditetapkan untuk mengantisipasi

menurunnya stok ikan sebagai akibat dari kelebihan penangkapan. Kegiatan

pengamatan terhadap hasil tangkapan oleh regulator terlihat sulit untuk diamati.

Karena itu Vestergaard (2000) memandang masalah illegal landing sebagai masalah

moral hazard, yaitu tindakan agen, dalam hal ini adalah nelayan, yang tidak bisa

diamati oleh pihak principal atau pengelola perikanan. Vestergaard (2000)

membangun model matematika ekonomi, dan mensimulasinya untuk menemukan

alternatif kebijakan ekonomi dalam meredam illegal landing. Hasilnya mereka

mempromosikan skema insentif dengan instrument subsidi dan pajak. Bila stok ikan

aktual lebih besar dari stok optimal, maka nelayan akan memperoleh subsidi yang

sepadan dengan perbedaan stok tersebut dikalikan dengan tingkat subsidi variabel

individual. Sebaliknya, bila stok ikan aktual lebih kecil dari stok optimal, maka

nelayan akan dikenakan pajak yang sepadan dengan perbedaan jumlah stok tersebut

dikalikan dengan tingkat pajak variabel ditambah denda tetap. Skema insentif tersebut

Page 15: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

27

dapat membuat semua hasil tangkapan individu menjadi teramati dan pendugaan

ukuran stok menjadi lebih tepat.

Kemudian, Bailey (2007) mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas

Kelautan dan Perikanan (DKP) Raja Ampat-Irian Jaya dengan nelayan. Dimana DKP

setempat memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas

untuk mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan nelayan sebagai

agen yang mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Model empiris yang

dibangun Bailey (2007) termasuk ke dalam model optimisasi. Asumsinya, nelayan

harus memutuskan upaya sepanjang waktu, dengan menggunakan cara legal dan

illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih atau diskonto rente ekonomi sepanjang

waktu. Mencermati hasil analisa Bailey (2007) terhadap hasil simulasi modelnya,

terungkap bahwa pengawasan (monitoring) dan penegakan (enforcement) serta denda

atas illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun

tingginya denda atas illegal fishing, tanpa pengawasan yang mempertinggi peluang

terdeteksinya tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing

tersebut yang mengancam tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari.

Selain di Irian Jaya, kepulauan Sulawesi juga telah mengundang beberapa

penelitian. Hasil temuan Soede et al.(1999) di Indonesia dapat menambah ilustrasi

mengenai dampak dan biaya-manfaat ekonomi dari blast fishing. Blast fishing adalah

kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Obyek studinya

adalah rumahtangga nelayan skala individu yang menggunakan bahan peledak (bom)

di Sulawesi Tenggara. Hasil analisa biaya-manfaat menunjukkan bahwa setelah 20

tahun operasi blast fishing, di daerah yang memiliki potensi pariwisata dan

Page 16: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

28

perlindungan pantai yang tinggi, kerugiannya diduga sebesar US$ 306 800 per

kilometer persegi terumbu karang. Sedangkan di daerah yang memiliki potensi

pariwisata dan perlindungan pantai terendah kerugiannya diduga sebesar US$ 33 900

per kilometer persegi terumbu karang. Peubah biaya dikuantifisir melalui hilangnya

fungsi perlindungan pantai, hilangnya manfaat pariwisata dan hilangnya manfaat

perikanan yang ramah lingkungan. Biaya ekonomi bagi masyarakat diduga empat kali

lebih tinggi dari manfaat blast fishing secara privat di daerah yang memiliki potensi

pariwisata dan perlindungan pantai yang tinggi.

Mukhtar (2008)2 melakukan penelitian bersama dengan Yayasan Pelestarian

Laut dan Pantai mengenai illegal fishing di Waworini Sulawesi Tenggara. Dari hasil

pengamatan dan wawancara yang dilakukan terhadap responden (masyarakat biasa,

nelayan, anggota kelompok masyarakat pengawas, dan pemerintah kelurahan),

ditemukan 2 (dua) komponen kegiatan illegal fishing di Kelurahan Langara Laut,

yaitu : menggunakan bahan peledak dan bahan kimia seperti bom (dengan bahan

berupa pupuk cap matahari, beruang, obor), bius (kalium cianida) dan tuba (akar

tuba), dan pelanggaran administrasi. Berdasarkan hasil identifikasi secara perorangan

terhadap pembom aktif dan non aktif, tersusun beberapa alasan utama kegiatan illegal

fishing di Kelurahan Langara Laut dengan menggunakan bom ikan dan berupa racun

(bius dan tuba). Pertama, adanya pelaku bom dari pihak luar. Pelaku bom dari pihak

luar sangat berpengaruh terhadap nelayan lokal seperti: nelayan Pulau Cempedak,

Desa Mekar, Bajo Indah, dan Saponda. Nelayan lokal mengikuti cara demikian,

2 Kepala Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Kendari, Pengawas Perikanan Muda Bidang Penangkapan Ikan, PPNS Perikanan.

Page 17: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

29

walaupun mereka memahami bahwa kegiatan sangat beresiko (ancaman jiwa akibat

bom dan mendapat hukuman jika tertangkap oleh petugas). Kedua, adanya pengedar

bahan baku yang masuk di Kelurahan Langara Laut. Ketiga, adanya pengedar bahan

baku berupa pupuk dari luar daerah (Kabupaten Buton), sangat besar pengaruhnya

terhadap aktivitas illegal fishing. Informasi awal tertangkapnya pelaku pengedar ini

adalah atas laporan kelompok masyarakat pengawas. Dari kasus ini, menunjukkan

bahwa secara nurani, penduduk lokal sudah tidak senang atau siap membantu

pemerintah dalam pengawasan terhadap kelestarian lingkungan perairan. Keempat,

rendahnya tingkat pendidikan masyarakat. Terakhir, mereka merasakan bahwa

mereka dianggap sebagai golongan minoritas yang terabaikan.

Page 18: 2. Tinjauan Pustaka April 2010

30

II. TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................13

2.1. Dimensi Ekonomi dan Non Ekonomi Dalam Memilih Alat Tangkap Legal dan

Terlarang......................................................................................................................13

2.2. Studi Literatur Penelitian Terdahulu................................................................17

2. Faktor Penentu Kepatuhan Hukum.........................................................................14