2. tinjauan pustaka 2.1 tsunami 2.1.1 definisi dan ...repository.ub.ac.id/8243/3/bab2.pdf · 9...

20
6 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tsunami 2.1.1 Definisi dan Karakteristik Umum Tsunami adalah sebuah ombak yang terjadi setelah sebuah gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, atau hantaman meteor dilaut. Tsunami tidak terlihat saat masih berada jauh ditengah lautan, namun begitu mencapai wilayah dangkal, gelombangnya yang bergerak cepat ini akan segera membesar. Tenaga setiap tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelanjutannya. Apabila gelombang menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat sementara kelanjutannya menurun. Gelombang tersebut bergerak pada kelajuan tinggi, hampir tidak dapat dirasakan efeknya oleh kapal laut (misalnya) saat melintasi dilaut dalam, tetapi menimgkat ketinggian hingga mencapai 30 meter atau lebih di daerah pantai tsunami bias menyebabkan kerusakan erosi dan korban jiwa pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan (Trianawati, 2008). Gelombang tsunami merupakan perairan dangkal (shallow water wave), dimana panjang gelombangnya bisa mencapai beberapa ratus kilometer dengan amplitude gelombang yang kecil berkisar 1 meter diperairan dalam. Gelombang perairan dangkal ini memiliki kecepatan yang berbanding lurus dengan akar kedalaman laut dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Hubungan antara kecepatan rambat gelombang dan kedalaman laut ditunjukkan sebagai , dimana, c merupakan kecepatan rambat tsunami (m/s), g merupakan percepatan gravitasi (m/s 2 ), dan h adalah kedalaman laut (m). Berdasarkan rumus diatas maka semakin besar kedalaman lautnya makin semakin besar pula kecepatan gelombangnya. Kecepatan rambat gelombang tsunami adalah 800 km/jam untuk perairan dalam, 200 km/jam untuk perairan menengah, dan 25 km/jam ketika di darat (Latief, 2000).

Upload: others

Post on 23-Oct-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 6

    2. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Tsunami

    2.1.1 Definisi dan Karakteristik Umum

    Tsunami adalah sebuah ombak yang terjadi setelah sebuah gempa bumi,

    gempa laut, gunung meletus, atau hantaman meteor dilaut. Tsunami tidak terlihat

    saat masih berada jauh ditengah lautan, namun begitu mencapai wilayah

    dangkal, gelombangnya yang bergerak cepat ini akan segera membesar. Tenaga

    setiap tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelanjutannya.

    Apabila gelombang menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat sementara

    kelanjutannya menurun. Gelombang tersebut bergerak pada kelajuan tinggi,

    hampir tidak dapat dirasakan efeknya oleh kapal laut (misalnya) saat melintasi

    dilaut dalam, tetapi menimgkat ketinggian hingga mencapai 30 meter atau lebih

    di daerah pantai tsunami bias menyebabkan kerusakan erosi dan korban jiwa

    pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan (Trianawati, 2008).

    Gelombang tsunami merupakan perairan dangkal (shallow water wave),

    dimana panjang gelombangnya bisa mencapai beberapa ratus kilometer dengan

    amplitude gelombang yang kecil berkisar 1 meter diperairan dalam. Gelombang

    perairan dangkal ini memiliki kecepatan yang berbanding lurus dengan akar

    kedalaman laut dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Hubungan antara

    kecepatan rambat gelombang dan kedalaman laut ditunjukkan sebagai ,

    dimana, c merupakan kecepatan rambat tsunami (m/s), g merupakan percepatan

    gravitasi (m/s2), dan h adalah kedalaman laut (m).

    Berdasarkan rumus diatas maka semakin besar kedalaman lautnya makin

    semakin besar pula kecepatan gelombangnya. Kecepatan rambat gelombang

    tsunami adalah 800 km/jam untuk perairan dalam, 200 km/jam untuk perairan

    menengah, dan 25 km/jam ketika di darat (Latief, 2000).

  • 7

    Lebih lanjut menurut Sugito (2008), tsunami merupakan istilah yang

    berasal dari Jepang. Tsu berarti “pelabuhan”, dan nami berarti gelombang”,

    sehingga tsunami dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan”. Istilah ini

    pertama kali muncul di kalangan nelayan Jepang dikarenakan panjang

    gelombang tsunami sangat besar pada saat berada ditengah laut sehingga para

    nelayan tidak merasakan adanya gelombang ini. Namun setibanya kembali ke

    pelabuhan, mereka mendapati wilayah di sekitar pelabuhan tersebut rusak parah.

    Karena itulah mereka menyimpulkan bahwa gelombang tsunami hanya timbul di

    wilayah sekitar pelabuhan, dan tidak di tengah lautan yang dalam

    Tsunami sendiri terjadi akibat gempa tektonik yang besar dilaut ( lebih

    besar dari 7.5 skala Richter dan kedalaman episentrum lebih kecil dari 70 km)

    yang mengakibatkan terjadinya patahan/rekahan vertikal memanjang (kasus

    Aceh patahan mencapai ribuan kilometer) sehingga air laut terhisap masuk

    dalam patahan dan kemudian secara hukum fisika air laut tadi terlempar kembali

    setelah patahan tadi mencapai keseimbangan. Kecepatan air/gelombang yang

    sangat cepat terjadi. Pada kasus Tsunami di Aceh kecepatannya dapat

    mencapai ratusan kilometer per jam nya. Antara terjadinya gempa dan Tsunami

    ada jeda waktu yang dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini pada

    masyarakat. Pengalaman di Aceh menunjukkan peringatan dini belum berjalan

    (Ilyas, 2006).

    Indonesia masuk kedalam salah satu negara yang aktifitas seismic-nya

    paling aktifitas di dunia. Hal ini karena Indonesia dikelilingi oleh lempeng Indo-

    Australia dan Pelat Laut Filipina yang meretas di bawah lempeng Eurasia.

    Dengan lima pulau besar dan beberapa semenanjung, Indonesia telah

    mengalami ribuan gempa bumi dan ratusan tsunami pada rentang empat ratus

    tahun terakhir (Aydan, 2008). Gambar 1 dan Gambar 2 memperlihatkan

  • 8

    banyaknya kejadian sismik di wilayah Indonesia yang dapat berpotensi terjadinya

    bencana tsunami.

    Secara geologis, pesisir selatan Pulau Jawa berada di pertemuan dua

    lempeng besar yang saling bertemu, Eurasia dan Indo-Australia, dimana

    pergerakan lempeng tektonik di area ini akan menyebabkan gempa yang dapat

    memicu terjadinya tsunami.

    Gambar 1. Peta zonasi ancaman bencana tsunami di Indonesia

    (Sumber: BNPB, 2011)

  • 9

    Gambar 2. Peta Sebaran Seismik di Indonesia Tahun 1973-2010

    (Sumber: BMKG, 2011)

    2.1.2 Penyebab Tsunami

    Beberapa penyebab dari terjadinya bencana tsunami menurut Sugito

    (2008) adalah sebagai berikut:

    1] Gempa bumi bawah laut

    Gempa bumi bawah laut merupakan salah satu gempa yang terjadi karena

    pergerakan lempeng bumi. Apabila gempa semacam ini terjadi di bawah laut,

    air yang di atas wilayah lempeng yang bergerak dapat berpindah dari posisi

    ekulibriummnya. Jika wilayah yang luas pada dasar laut bergerak naik

    ataupun turun, tsunami dapat terjadi.

    Syarat terjadinya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi:

    Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun

    Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 skala richter

    Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 – 30 km)

  • 10

    Tidak semua tsunami terjadi akibat gempa, hal ini tergantung dari beberapa

    faktor utama seperti kemiringan sudut lempeng (dip angle), tipe sesaran (fault

    type), dan kedalaman pusat gempa (hypocenter). Gempa yang memiliki

    karakteristik tertentu akan menghasilkan tsunami yang sangat mematikan dan

    berbahaya, yaitu:

    1. Tipe sesaran naik (thrust/reverse fault)

    Tipe ini sangat efektif memindahkan volume air yang berada di atas

    lempeng bumi untuk bergerak sebagai awal terjadinya tsunami

    2. Kemiringan sudut tegak antar lempeng yang bertemu.

    Semakin tinggi sudut antar lempeng yang bertemu (mendekati 900), maka

    tsunami yang terbentuk akan semakin efektif terjadi.

    3. Kedalaman pusat gempa yang dangkal (

  • 11

    (subduction). Gempa subduksi sangat efektif membangkitkan gelombang

    tsunami.

    Tsunami dapat terjadi salah satunya karena adanya pergeseran lempeng

    bumi (gempa dibawah laut). Ilustrasi dari jenis pergerakan lempeng bumi ini

    digambarkan pada Gambar 2. Pergerakan antara satu lempeng dengan

    lempeng lainnya yang berdampingan membentuk suatu interaksi. Ini

    dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan jenis pergerakannya (Meissner

    2002), yaitu:

    A] Divergen

    Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling menjauh

    satu dengan yang lain dimana gaya yang bekerja pada gerak ini adalah

    gaya tarikan (tensional). Divergen ini menyebabkan naiknya magma dari

    pusat bumi yang akan membentuk lantai samudera atau kerak samudera.

    Contohnya adalah MOR (Mid Ocean Ridges) di dasar samudera Atlantik.

    B] Konvergen

    Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling

    mendekati satu dengan yang lain dimana gaya yang bekerja pada gerak

    ini adalah gaya kompresional. Ada tiga jenis pergerakan konvergen yaitu:

    Subduksi: Pergerakan konvergen diantara lempeng benua dengan

    lempeng samudera, dimana lempeng samudera akan menunjam ke

    bawah lempeng benua karena berat jenis lempeng benua lebih ringan

    dibandingkan dari lempeng samudera. Contohnya adalah palung yang

    memanjang dari sebelah barat Sumatra, selatan Jawa, hingga ke

    sealatan Nusa Tenggara Timur.

    Obduksi: Pergerakan konvergen diantara kerak benua dengan kerak

    samudera, dimana kerak benua menunjam di bawah kerak samudera.

    http://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.htmlhttp://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.html

  • 12

    Penunjaman ini terjadi karena perubahan dari batas lempeng divergen

    menjadi konvergen yang kemudian penunjaman tersebut membawa

    kerak benua berbenturan dengan kerak samudera.

    Kolisi: Pergerakan konvergen diantara lempeng benua dengan

    lempeng benua. Kedua lempeng tersebut memiliki massa jenis yang

    sama sehingga membentuk pegunungan lipatan yang sangat tinggi.

    Contohnya: Pegunungan Himalaya.

    C] Transform

    Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling

    berpapasan. Gerakan ini sejajar dan tidak tegak lurus dimana

    menghasilkan sesar mendatas jenis Strike Slip Fault. Contohnya adalah

    sesar San Andreas di Amerika Serikat.

    Gambar 3. Jenis-jenis Gerak Lempeng

    (Meissner, R. 2002)

    3] Aktivitas vulkanik

    Pergeseran lempeng yang terjadi di dasar laut selain dapat mengakibatkan

    gempa juga seringkali menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanik pada

    gunung berapi. Dari kedua hal ini dapat menggoncangkan air laut di atas

    http://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.html

  • 13

    lempeng tersebut. Meletusnya gunung merapi yang terletak di dasar

    samudera juga dapat menaikan air dan membangkitkan gelombang tsunami.

    4] Tumbukan benda luar angkasa

    Tumbukan dari benda luar angkasa yang jatuh ke bumi seperti meteor

    merupakan gangguan terhadap air laut yang datangnya dari arah permukaan.

    Tsunami yang timbul karena sebab tumbukan benda luar angkasa ini terjadi

    sangat cepat dan jarang mempengaruhi wilayah pesisir yang jauh dari sumber

    gelombang. Apabila pergerakan lempeng dan tabrakan benda luar cukup

    besar, kedua dari peristiwa ini dapat menciptakan tsunami yang sangat besar

    atau megatsunami.

    2.1.2 Kategori Tsunami

    Tsunami menurut BMKG (2012) berdasarkan jaraknya dibagi menjadi 2,

    yaitu tsunami jarak dekat atau lokal (near field/ local field tsunami) dan tsunami

    jarak jauh (far field tsunami).

    1] Tsunami Lokal (near field/local field tsunami)

    Ini adalah tsunami yang terjadi dimana jarak antara pusat gempa dan daerah

    bencana tsunami kurang dari 100 km (ITIC, 2006). berdasarkan segi waktu

    terjadinya tsunami, tsunami lokal terjadi antara 5 sampai 40 menit setelah

    gempa utamanya. Hal ini yang menyebabkan secara teoritis kejadian tsunami

    lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan kejadian gempa (Puspito,

    2007).

    Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di

    pantai memungkinkan tindakan untuk dapat menganalisis apakah suatu

    gempa dapat menimbulkan tsunami atau tidak. Secara umum tsunami yang

    terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal dan mengingat sistem informasi di

    Indonesia belum memadai maka biasanya sebelum informasi kejadian

    tsunami sampai ke masyarakat, gelombang tsunami telah menyapu pantai.

  • 14

    Hal ini menyebabkan Indonesia belum bias memaksimalkan sistem

    peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System) (Puspito, 2007).

    2] Tsunami Jarak Jauh (far field tsunami)

    Ini merupakan tsunami yang diakibatkan oleh gempa laut yang jaraknya

    ribuan kilometer dari pantai (ITIC, 2006). Waktu datang tsunami berkisar

    antara beberapa jam sampai 24 jam setelah gempa utamanya. Contoh

    tsunami jarak jauh ini adalah tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004, dimana

    gelombang tsunami tersebut merambat menyebrangi Samudera Hindia

    sampai ke Pantai Afrika Selatan.

    2.2 Kerentanan Pesisir Terhadap Tsunami

    Secara umum definisi kerentanan adalah tingkatan suatu sistem yang

    mudah terkena atau tidak mampu menganggulangi bencana. Kerentanan adalah

    sekumpulan kondisi atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi, dan

    lingkungan) yang berpengaruh buruh terhadap upaya-upaya pencegahan dan

    penanggulangan bencana (Bappenas, 2010).

    Kerentanan adalah suatu keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi

    kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya

    atau ancaman bencana; dimana kerentanan ini bersamaa-sama dengan hazard

    akan menghasilkan resiko bencana. Pada dataran rendah atau wilayah pesisir

    kerentanan yang terjadi meliputi polusi, gangguan ekosistem dan banjir Wilayah

    ini akan menjadi wilayah pertama yang mengalami banjir, dampak polusi yang

    dibawa oleh aliran sungai menuju laut, peristiwa tsunami dan kenaikan muka air

    laut. Kerentanan pesisir yang banyak diakibatkan oleh kejadian alam ini tidak

    bisa langsung dipengaruhi oleh tindakan manusia. Ketahanan lingkungan umum

    dapat dibangun dengan mempertahankan ataupun meningkatkan tutupan hutan,

  • 15

    melalui praktek-praktek penggunaan lahan yang baik serta mengurangi tekanan

    pada dataran rendah (SOPAC, 2005).

    Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain

    kerentanan fisik (misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan),

    kerentanan lingkungan (ketinggian dan morfologi), kerentanan infrastruktur

    (sarana dan prasarana penting), kerentanan sosial kependudukan (jumlah

    penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita),

    kerentanan sosial ekonomi (jumlah/proporsi penduduk miskin dan

    pengangguran), dan kerentanan kelembagaan (Diposaptono dan Budiman,

    2006).

    Adapun faktor pendukung analisis kerentanan terhadap bencana tsunami

    adalah keberadaan pulau penghalang dan ekosistem pesisir yang berada di

    sekitar wilayah yang diteliti sebagai berikut:

    1] Keberadaan Pulau Penghalang

    Keberadaan dari pulau penghalang memegang peran penting dalam faktor

    pendukung tingkat kerentanan terhadap tsunami. Energi dari gelombang

    tsunami akan mengalami reduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman

    perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi dari gelombang yang akan

    dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari

    energi awal atau adanya pulau penghalang bisa mengurangi energi tsunami

    yang menghantam daratan pada pulau di belakangnya. Menurut McDaris

    (2008), pulau penghalan relatif sempit yang berada di sepanjang pantai

    hingga daratan dan pulau penghalang terbentuk karena gelombang dan arus

    yang melindungi pantai dari efek laut.

  • 16

    2] Ekosistem Pesisir

    Ekosistem pesisir seperti mangrove dan hutan pantai memegang peranan

    penting sebagai pelindung pantai yang dimana berguna dalam mereduksi

    energi dari gelombang tsunami (Sengaji, 2009). Ekosistem mangrove

    berperan penting dalam kemampuannya untuk meredam energi dan kekuatan

    tsunami, mengurangi kecepatan dan dalamnya aliran,serta membatasi wilayah

    penggenangan (Kusmana, 2014).

    Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya

    tsunami yang berupa berapa korban jiwa dan kerugian ekonomi baik dalam

    jangka pendek yang berupa hancurnya permukiman, sarana dan prasarana,

    serta bangunan lainnya, maupun jangka panjang yang berupa terganggunya

    roda perekonomian akibat trauma dan kerusakan sumber daya alam lainnya.

    Analisis kerentanan tersebut didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat

    kepadatan pemukiman, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada

    sektor kelautan, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi serta

    keterbatasan akses komunikasi (Harismanni, 2008)

    2.3 Parameter Kerentanan Bencana Tsunami

    Kerentanan wilayah pesisir merupakan suatu kondisi dimana terjadi

    peningkatan proses kerusakan di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh beberapa

    faktor, baik faktor alam maupun dari aktivitas manusia. Berdasarkan penelitian

    Gornitz (1991), terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi kerentanan

    diantaranya variabel geologi (Geomorfologi, perubahan garis pantai, dan elevasi)

    dan variabel fisik (kenaikan muka laut, tunggang pasang surut, dan tinggi

    gelombang). Selain enam parameter yang digunakan dalam penentuan

    kerentanan pesisir berdasarkan penelitian Basir et al. (2010) yaitu pengamatan

    visual kerusakan, litologi atau material pembentuk struktur pantai, dan pengaruh

  • 17

    angin. Selain parameter yang disebutkan, Sambah et al. (2014) yang melakukan

    kajian kerentanan tsunami di Tohoku Jepang terdapat beberapa parameter yang

    mempengaruhi kerentanan tsunami diantaranya adalah elevasi, slope, jarak dari

    garis pantai, jarak dari sungai, dan penggunaan lahan. Pada penelitian ini,

    parameter kerentanan pesisir yang digunakan mengacu pada parametet yang

    dikemukakan oleh Sambah et al. (2014)

    2.3.1 Ketinggian (Elevasi) Pantai

    Ketinggian daerah pesisir mengacu kepada rata-rata ketinggian pada

    daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut. Kajian mengenai

    ketingggian daerah pesisir sangat penting untuk dipelajari secara mendalam

    untuk mengidentifikasi dan mengestimasi luas daratan yang terancam oleh

    dampak kenaikan paras laut di masa yang akan datang (Kumar, 2010).

    2.3.2 Slope (Kemiringan)

    Kemiringan merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat

    kerentanan tsunami di suatu daerah. Kemiringan daratan akan mempengaruhi

    tinggi run up tsunami yang akan terjadi. Semakin curam suatu daratan, maka

    tinggi run up akan semakin rendah (Sengaji, 2009).

    2.3.3 Jarak dari garis pantai

    Jarak dari garis pantai mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap

    tsunami diketahui bahwa semakin dekat dengan garis pantai akan semakin

    rentan pula terhadap gelombang tsunami, sedangankan semakin jauh dengan

    garis pantai semakin tikda rentan terhadap gelombang tsunami. Jarak dari garis

    pantai digunakan untuk mengetahui kemampuan dari masyarakat dalam

    melakukan evakuasi secara horisontal sejauh-jauhnya dari terjangan gelombang

    tsunami dan dapat dijadikan dasar dalam membangun tempat tinggal

    (Gersanandi et al., 2013)

  • 18

    2.3.4 Jarak dari sungai

    Pada daerah yang menyempit seperti sungai, akan terjadi peningkatan

    kecepatan dan ketinggian muka air laut karena dengan debit masssa air yang

    sama harus menjalar melalui celah yang sempit. Oleh karena itu, dalam

    penataan ruang harus memperhatikan jarak dari sungai (Sengaji, 2009).

    2.3.5 Penggunaan Lahan (Land Use)

    Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap

    bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis

    pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami.

    Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata

    guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya

    tsunami. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia

    seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami (Irfani,

    2005).

    2.4 Teknologi Penginderaan Jauh & SIG dalam Penelitian Kerentanan

    Wilayah terhadap Bencana Tsunami

    2.4.1 Penginderaan Jauh

    Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk mendapatkan informasi yang

    berkaitan dengan kondisi penutupan vegetasi dan atau penggunaan lahan saat

    ini (present land use/land cover), yang didapatkan dengan cara interprestasi citra

    satelit. Dari proses tersebut didapatkan informasi mengenai sebaran (distribusi)

    dan kondisi penutupan lahan dan vegetasi permanen. Penginderaan jauh

    merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan peta yang

    mutakhir dengan waktu, tenaga dan biaya yang relative kecil untuk kawasan

    yang sangat luas. Salah satu penginderaan jauh merupakan data diigital

  • 19

    sehingga memerlukan pengelohannya untuk memperoleh informasi yang

    disajikan dalam peta tematik (Rahmi, 2009).

    Penginderaan jauh adalah ilmu umtuk memperoleh informasi tentang

    objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu

    alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji

    (Lillesand dan Kiefer, 1997).

    Untuk riset tsunami, citra satelit baik secara global, visual, digital dan

    multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di

    daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu maupun sesudah tsunami (Diposaptono

    dan Budiman, 2006). Oleh karena itu, penginderaan jauh (remote sensing)

    merupakan salah satu alat mutakhir yang sangat menunjang kegiatan riset

    tsunami, terutama jika diintegrasikan dengan SIG. Data penginderaan jauh

    seperti citra satelit merupakan input yang terpenting bagi SIG karena

    ketersediannya secara berkala dan mencakup are yang relatif luas. Kita bisa

    memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian karena

    saat ini terdapat bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan

    spesifikasinya masing-masing (GIS Konsorsium, 2007).

    2.4.2 Sistem Informasi Geografis

    Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari

    perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang

    secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi,

    menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang berefensi geografis

    (Prahasta, 2002 dalam Sengaji (2009)).

    SIG dibagi menjadi 2 yaitu sistem manual (analog) dan sistem otomatis

    (yang berbasis digital komputer), keduanya memiliki perbedaan yang mendasar

    yang terletak pada cara pengelolaannnya, pada Sistem Informasi yang bersifat

  • 20

    manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar

    transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan

    laporan survey lapangan sedangkan Sistem Informasi yang bersifat otomatis

    telah menggunakan komputer yang sebagai sistem pengolah data melalui proses

    digitasi dengan sumber data berupa citra satelit atau foto udara yang terdigitasi

    (Sugandi, 2009).

    Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial

    yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu

    sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang

    membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan

    indormasi deskriptif (attribute) (GIS Konsorsium, 2007)

    Struktur spasial ini dapat dibagi menjadi dua yaitu model data raster dan

    model data vector (Gambar 4). Data raster merupakan data yang disimpan dalam

    bentuk kotak segi empat (grid) atau sel sehingga terbentuk suatu ruang yang

    teratur, sedangkan data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat

    titik yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan

    menggunakan titik, garis, atau are (polygon).

    Gambar 4. Perbedaan data vektor dan raster

  • 21

    Data vektor dan data raster mempunyai kelebihan dan kekurangannya

    masing masing sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kelebihan data vektor

    adalah ketepatan dalam mempresentasikan fitur titik, batasan, dan garis lurus

    yang berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi, misalnya pada

    basis data batas-batas kadaster namun data vektor memiliki kelemahan yaitu

    ketidakmampuan dalam mengakomodasi perubahan gradual, sedangkan pada

    data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixelnya yaitu semakin kecil ukuran

    permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi

    resolusinya yang sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang

    berubah secara gradual seperti jenis tanah, vegetasi dan suhu tanah. Namun

    mempunyai kelemahan pada besarnya ukuran file (Ariyanto, 2012).

    2.3.3 ASTER GDEM

    ASTER GDEM merupakan produk DEM (Digital Elevation Model) yang di

    luncurkan oleh METI dan NASA melalui Earth Remote Sensing Data Analysis

    Center (ERSDAC) dan NASA Land Processes Distributed Active Archieve Center

    (LP DAAC). ASTER GDEM adalah DEM dalam bentuk format GeoTiff yang

    memiliki resolusi 30 meter. File yang didapat yaitu data file DEM dan penilaian

    kualitas berkas (QA), dimana menunjukan jumlah kontribsi terhadap nilai Dem

    pada tiap lokasi pixel dan sumber data yang digunakan untuk melakukan koreksi

    (ASTER GDEM, 2009). Format dan spesifikasi data ASTER GDEM tersaji pada

    Tabel 1.

    DEM merupakan data digital yang berformat raster memiliki informasi

    koordinat x dan y dan elevasi (z) pada setiap pixel atau sel (Gambar 5). Hasil

    pengolahan data DEM harus didukung dengan survey lapang sehingga

    kenampakan topografi wilayah yang direkam meiliki keakuratan. Akurasi data

    DEM sangat tergantung pada sumber titik tinggi dan resolusi spasial. Resolusi

    spasial DEM pada penelitian ini adalah 90 x 90 m. Semakin tinggi resolusi

  • 22

    spasial maka semakin tinggi pula akurasi data yang didapatkan. DEM merupakan

    salah satu data penting dalam analisis daerah rawan bencana tsunami (Hajar

    (2007) dalam Sengaji (2009)).

    Gambar 5. Ilustrasi DEM/DTM dan DSM

    (Sumber : http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/ dan http://www.geoimage.com.au/DEMS/dems-overview)

    http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/http://www.geoimage.com.au/DEMS/dems-overview

  • 23

    Tabel 1. Format dan spesifikasi data ASTER GDEM

    (Sumber : http://www.jspacesystems.or.jp/ersdac/GDEM/E/2.html)

    2.4 Cell Based Modelling

    Cell Based Modelling merupakan metode atau suatu analisis spasial yang

    banyak digunakan pada saat ini untuk memodelkan keadaan alam. Permodelan

    ini akan merepresentasikan kekompleksitasan interaksi di alam dengan

    penyederhanaan yang akan membantu untuk mengerti, menggambar dan

    memprediksikan semua kejadian di alam (ESRI, 2001).

    Ada dua model yang dikenal dalam analisis spasial yaitu:

    1. Representation models dapat menggambarkan kenampakan di muka bumi

    seperti bangunan, taman, hutan dan lain-lain. SIG dapat menampilkan objek

    tersebut melalui layer-layer. Analisis spasial layer-layer tersebut bisa berupa

    raster. Layer raster akan menampilkan objek tersebut dengan bidang

    bujursangkar yang saling bertautan yang disebut yang disebut gridan setiap

    lokasi dilayer raster akan berupa grid cell yang mempunyai nilai tertentu.

    2. Process models menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat

    di dalam Representation Models.Model ini dapat menggambarkan suatu

  • 24

    proses yang terjadi di alam, tetapi lebih sering dipergunakan untuk

    memperkirakan apa yang terjadi pada suatu lokasi tertentu di alam. Salah

    satu konsep dasar dari model ini adalah analisis dua data raster yang dapat

    dilakukan operasi matematik aljabar, sesuai dengan perkembangan maka

    konsep dasar ini dapat dilakukan pada berbagai macam operasi aljabar pada

    lebih dari pada lebih dari dua data raster.

    Menurut ESRI, (2001) Cell Base Modelling digunakan dalam beberapa

    model seperti:

    1. Suitability modeling : analisis spasial yang bertujuan untuk menentukan lokasi

    yang paling optimal, seperti lokasi yang paling sesuai untuk mendirikan

    sekolah dan tempat wisata dan lain-lain.

    2. Distance modeling : analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang

    paling efisien dari satu lokasi ke lokasi yang lain.

    3. Hidrolic modeling : analisis ini untuk menentukan arah aliran air di suatu

    lokasi.

    4. Surface modeling : analisis ini untuk mengkaji tingkat penyebaran polusi

    suatu lokasi.

    Keunggulan mempergunakan metode ini antara lain pembuatan jarak dan

    pengkelasan paramater lebih mudah karena dilakukan secara cepat dan teratur

    tiap sel. Keunggulan lain adalah data raster memiliki struktur yang lebih

    sederhana dan mudah untuk digunakan dalam permodelan dan analisis.

    Kelemahannya adalah membutuhkan space yang sangat besar dalam

    pengolahannya di dalam komputer dan memiliki tampilan yang kurang estetis

    karena berupa data raster yang berbentuk sel (De By et al., 2000).

  • 25

    (Sumber : https://courses.washington.edu/gis250/lessons/introduction_gis/spatial_data_model.html)

    Pembentukan data vektor dari permukaan bumi yang dibentuk menjadi

    data raster seperti pada gambar 6 yang terdiri dari data luasan vegetasi pohon,

    jalan, elevasi dan bangunan yang di olah lagi menjadi data vektor.

    Gambar 6. Model data spasial dalam SIG (representasi data raster/cell)