-
6
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tsunami
2.1.1 Definisi dan Karakteristik Umum
Tsunami adalah sebuah ombak yang terjadi setelah sebuah gempa bumi,
gempa laut, gunung meletus, atau hantaman meteor dilaut. Tsunami tidak terlihat
saat masih berada jauh ditengah lautan, namun begitu mencapai wilayah
dangkal, gelombangnya yang bergerak cepat ini akan segera membesar. Tenaga
setiap tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelanjutannya.
Apabila gelombang menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat sementara
kelanjutannya menurun. Gelombang tersebut bergerak pada kelajuan tinggi,
hampir tidak dapat dirasakan efeknya oleh kapal laut (misalnya) saat melintasi
dilaut dalam, tetapi menimgkat ketinggian hingga mencapai 30 meter atau lebih
di daerah pantai tsunami bias menyebabkan kerusakan erosi dan korban jiwa
pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan (Trianawati, 2008).
Gelombang tsunami merupakan perairan dangkal (shallow water wave),
dimana panjang gelombangnya bisa mencapai beberapa ratus kilometer dengan
amplitude gelombang yang kecil berkisar 1 meter diperairan dalam. Gelombang
perairan dangkal ini memiliki kecepatan yang berbanding lurus dengan akar
kedalaman laut dan dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi. Hubungan antara
kecepatan rambat gelombang dan kedalaman laut ditunjukkan sebagai ,
dimana, c merupakan kecepatan rambat tsunami (m/s), g merupakan percepatan
gravitasi (m/s2), dan h adalah kedalaman laut (m).
Berdasarkan rumus diatas maka semakin besar kedalaman lautnya makin
semakin besar pula kecepatan gelombangnya. Kecepatan rambat gelombang
tsunami adalah 800 km/jam untuk perairan dalam, 200 km/jam untuk perairan
menengah, dan 25 km/jam ketika di darat (Latief, 2000).
-
7
Lebih lanjut menurut Sugito (2008), tsunami merupakan istilah yang
berasal dari Jepang. Tsu berarti “pelabuhan”, dan nami berarti gelombang”,
sehingga tsunami dapat diartikan sebagai “gelombang pelabuhan”. Istilah ini
pertama kali muncul di kalangan nelayan Jepang dikarenakan panjang
gelombang tsunami sangat besar pada saat berada ditengah laut sehingga para
nelayan tidak merasakan adanya gelombang ini. Namun setibanya kembali ke
pelabuhan, mereka mendapati wilayah di sekitar pelabuhan tersebut rusak parah.
Karena itulah mereka menyimpulkan bahwa gelombang tsunami hanya timbul di
wilayah sekitar pelabuhan, dan tidak di tengah lautan yang dalam
Tsunami sendiri terjadi akibat gempa tektonik yang besar dilaut ( lebih
besar dari 7.5 skala Richter dan kedalaman episentrum lebih kecil dari 70 km)
yang mengakibatkan terjadinya patahan/rekahan vertikal memanjang (kasus
Aceh patahan mencapai ribuan kilometer) sehingga air laut terhisap masuk
dalam patahan dan kemudian secara hukum fisika air laut tadi terlempar kembali
setelah patahan tadi mencapai keseimbangan. Kecepatan air/gelombang yang
sangat cepat terjadi. Pada kasus Tsunami di Aceh kecepatannya dapat
mencapai ratusan kilometer per jam nya. Antara terjadinya gempa dan Tsunami
ada jeda waktu yang dapat digunakan untuk memberikan peringatan dini pada
masyarakat. Pengalaman di Aceh menunjukkan peringatan dini belum berjalan
(Ilyas, 2006).
Indonesia masuk kedalam salah satu negara yang aktifitas seismic-nya
paling aktifitas di dunia. Hal ini karena Indonesia dikelilingi oleh lempeng Indo-
Australia dan Pelat Laut Filipina yang meretas di bawah lempeng Eurasia.
Dengan lima pulau besar dan beberapa semenanjung, Indonesia telah
mengalami ribuan gempa bumi dan ratusan tsunami pada rentang empat ratus
tahun terakhir (Aydan, 2008). Gambar 1 dan Gambar 2 memperlihatkan
-
8
banyaknya kejadian sismik di wilayah Indonesia yang dapat berpotensi terjadinya
bencana tsunami.
Secara geologis, pesisir selatan Pulau Jawa berada di pertemuan dua
lempeng besar yang saling bertemu, Eurasia dan Indo-Australia, dimana
pergerakan lempeng tektonik di area ini akan menyebabkan gempa yang dapat
memicu terjadinya tsunami.
Gambar 1. Peta zonasi ancaman bencana tsunami di Indonesia
(Sumber: BNPB, 2011)
-
9
Gambar 2. Peta Sebaran Seismik di Indonesia Tahun 1973-2010
(Sumber: BMKG, 2011)
2.1.2 Penyebab Tsunami
Beberapa penyebab dari terjadinya bencana tsunami menurut Sugito
(2008) adalah sebagai berikut:
1] Gempa bumi bawah laut
Gempa bumi bawah laut merupakan salah satu gempa yang terjadi karena
pergerakan lempeng bumi. Apabila gempa semacam ini terjadi di bawah laut,
air yang di atas wilayah lempeng yang bergerak dapat berpindah dari posisi
ekulibriummnya. Jika wilayah yang luas pada dasar laut bergerak naik
ataupun turun, tsunami dapat terjadi.
Syarat terjadinya tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi:
Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun
Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 skala richter
Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 – 30 km)
-
10
Tidak semua tsunami terjadi akibat gempa, hal ini tergantung dari beberapa
faktor utama seperti kemiringan sudut lempeng (dip angle), tipe sesaran (fault
type), dan kedalaman pusat gempa (hypocenter). Gempa yang memiliki
karakteristik tertentu akan menghasilkan tsunami yang sangat mematikan dan
berbahaya, yaitu:
1. Tipe sesaran naik (thrust/reverse fault)
Tipe ini sangat efektif memindahkan volume air yang berada di atas
lempeng bumi untuk bergerak sebagai awal terjadinya tsunami
2. Kemiringan sudut tegak antar lempeng yang bertemu.
Semakin tinggi sudut antar lempeng yang bertemu (mendekati 900), maka
tsunami yang terbentuk akan semakin efektif terjadi.
3. Kedalaman pusat gempa yang dangkal (
-
11
(subduction). Gempa subduksi sangat efektif membangkitkan gelombang
tsunami.
Tsunami dapat terjadi salah satunya karena adanya pergeseran lempeng
bumi (gempa dibawah laut). Ilustrasi dari jenis pergerakan lempeng bumi ini
digambarkan pada Gambar 2. Pergerakan antara satu lempeng dengan
lempeng lainnya yang berdampingan membentuk suatu interaksi. Ini
dibedakan menjadi tiga macam berdasarkan jenis pergerakannya (Meissner
2002), yaitu:
A] Divergen
Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling menjauh
satu dengan yang lain dimana gaya yang bekerja pada gerak ini adalah
gaya tarikan (tensional). Divergen ini menyebabkan naiknya magma dari
pusat bumi yang akan membentuk lantai samudera atau kerak samudera.
Contohnya adalah MOR (Mid Ocean Ridges) di dasar samudera Atlantik.
B] Konvergen
Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling
mendekati satu dengan yang lain dimana gaya yang bekerja pada gerak
ini adalah gaya kompresional. Ada tiga jenis pergerakan konvergen yaitu:
Subduksi: Pergerakan konvergen diantara lempeng benua dengan
lempeng samudera, dimana lempeng samudera akan menunjam ke
bawah lempeng benua karena berat jenis lempeng benua lebih ringan
dibandingkan dari lempeng samudera. Contohnya adalah palung yang
memanjang dari sebelah barat Sumatra, selatan Jawa, hingga ke
sealatan Nusa Tenggara Timur.
Obduksi: Pergerakan konvergen diantara kerak benua dengan kerak
samudera, dimana kerak benua menunjam di bawah kerak samudera.
http://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.htmlhttp://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.html
-
12
Penunjaman ini terjadi karena perubahan dari batas lempeng divergen
menjadi konvergen yang kemudian penunjaman tersebut membawa
kerak benua berbenturan dengan kerak samudera.
Kolisi: Pergerakan konvergen diantara lempeng benua dengan
lempeng benua. Kedua lempeng tersebut memiliki massa jenis yang
sama sehingga membentuk pegunungan lipatan yang sangat tinggi.
Contohnya: Pegunungan Himalaya.
C] Transform
Pergerakan lempeng dimana lempeng-lempeng bergerak saling
berpapasan. Gerakan ini sejajar dan tidak tegak lurus dimana
menghasilkan sesar mendatas jenis Strike Slip Fault. Contohnya adalah
sesar San Andreas di Amerika Serikat.
Gambar 3. Jenis-jenis Gerak Lempeng
(Meissner, R. 2002)
3] Aktivitas vulkanik
Pergeseran lempeng yang terjadi di dasar laut selain dapat mengakibatkan
gempa juga seringkali menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanik pada
gunung berapi. Dari kedua hal ini dapat menggoncangkan air laut di atas
http://ilmubatugeologi.blogspot.com/2015/04/apa-pengertian-dari-divergen-konvergen.html
-
13
lempeng tersebut. Meletusnya gunung merapi yang terletak di dasar
samudera juga dapat menaikan air dan membangkitkan gelombang tsunami.
4] Tumbukan benda luar angkasa
Tumbukan dari benda luar angkasa yang jatuh ke bumi seperti meteor
merupakan gangguan terhadap air laut yang datangnya dari arah permukaan.
Tsunami yang timbul karena sebab tumbukan benda luar angkasa ini terjadi
sangat cepat dan jarang mempengaruhi wilayah pesisir yang jauh dari sumber
gelombang. Apabila pergerakan lempeng dan tabrakan benda luar cukup
besar, kedua dari peristiwa ini dapat menciptakan tsunami yang sangat besar
atau megatsunami.
2.1.2 Kategori Tsunami
Tsunami menurut BMKG (2012) berdasarkan jaraknya dibagi menjadi 2,
yaitu tsunami jarak dekat atau lokal (near field/ local field tsunami) dan tsunami
jarak jauh (far field tsunami).
1] Tsunami Lokal (near field/local field tsunami)
Ini adalah tsunami yang terjadi dimana jarak antara pusat gempa dan daerah
bencana tsunami kurang dari 100 km (ITIC, 2006). berdasarkan segi waktu
terjadinya tsunami, tsunami lokal terjadi antara 5 sampai 40 menit setelah
gempa utamanya. Hal ini yang menyebabkan secara teoritis kejadian tsunami
lebih mudah diprediksi dibandingkan dengan kejadian gempa (Puspito,
2007).
Adanya tenggang waktu antara terjadinya gempa dan tibanya tsunami di
pantai memungkinkan tindakan untuk dapat menganalisis apakah suatu
gempa dapat menimbulkan tsunami atau tidak. Secara umum tsunami yang
terjadi di Indonesia adalah tsunami lokal dan mengingat sistem informasi di
Indonesia belum memadai maka biasanya sebelum informasi kejadian
tsunami sampai ke masyarakat, gelombang tsunami telah menyapu pantai.
-
14
Hal ini menyebabkan Indonesia belum bias memaksimalkan sistem
peringatan dini tsunami (Tsunami Early Warning System) (Puspito, 2007).
2] Tsunami Jarak Jauh (far field tsunami)
Ini merupakan tsunami yang diakibatkan oleh gempa laut yang jaraknya
ribuan kilometer dari pantai (ITIC, 2006). Waktu datang tsunami berkisar
antara beberapa jam sampai 24 jam setelah gempa utamanya. Contoh
tsunami jarak jauh ini adalah tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004, dimana
gelombang tsunami tersebut merambat menyebrangi Samudera Hindia
sampai ke Pantai Afrika Selatan.
2.2 Kerentanan Pesisir Terhadap Tsunami
Secara umum definisi kerentanan adalah tingkatan suatu sistem yang
mudah terkena atau tidak mampu menganggulangi bencana. Kerentanan adalah
sekumpulan kondisi atau suatu akibat keadaan (faktor fisik, sosial, ekonomi, dan
lingkungan) yang berpengaruh buruh terhadap upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan bencana (Bappenas, 2010).
Kerentanan adalah suatu keadaan atau kondisi yang dapat mengurangi
kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi bahaya
atau ancaman bencana; dimana kerentanan ini bersamaa-sama dengan hazard
akan menghasilkan resiko bencana. Pada dataran rendah atau wilayah pesisir
kerentanan yang terjadi meliputi polusi, gangguan ekosistem dan banjir Wilayah
ini akan menjadi wilayah pertama yang mengalami banjir, dampak polusi yang
dibawa oleh aliran sungai menuju laut, peristiwa tsunami dan kenaikan muka air
laut. Kerentanan pesisir yang banyak diakibatkan oleh kejadian alam ini tidak
bisa langsung dipengaruhi oleh tindakan manusia. Ketahanan lingkungan umum
dapat dibangun dengan mempertahankan ataupun meningkatkan tutupan hutan,
-
15
melalui praktek-praktek penggunaan lahan yang baik serta mengurangi tekanan
pada dataran rendah (SOPAC, 2005).
Kerentanan tsunami dapat dikaji dari berbagai faktor antara lain
kerentanan fisik (misalnya jenis bahan dan kekuatan struktur bangunan),
kerentanan lingkungan (ketinggian dan morfologi), kerentanan infrastruktur
(sarana dan prasarana penting), kerentanan sosial kependudukan (jumlah
penduduk dan kepadatan penduduk, struktur penduduk lanjut usia dan balita),
kerentanan sosial ekonomi (jumlah/proporsi penduduk miskin dan
pengangguran), dan kerentanan kelembagaan (Diposaptono dan Budiman,
2006).
Adapun faktor pendukung analisis kerentanan terhadap bencana tsunami
adalah keberadaan pulau penghalang dan ekosistem pesisir yang berada di
sekitar wilayah yang diteliti sebagai berikut:
1] Keberadaan Pulau Penghalang
Keberadaan dari pulau penghalang memegang peran penting dalam faktor
pendukung tingkat kerentanan terhadap tsunami. Energi dari gelombang
tsunami akan mengalami reduksi dengan adanya pendangkalan kedalaman
perairan pada pulau penghalang. Sehingga, energi dari gelombang yang akan
dirasakan oleh pulau-pulau di belakangnya akan menjadi lebih kecil dari
energi awal atau adanya pulau penghalang bisa mengurangi energi tsunami
yang menghantam daratan pada pulau di belakangnya. Menurut McDaris
(2008), pulau penghalan relatif sempit yang berada di sepanjang pantai
hingga daratan dan pulau penghalang terbentuk karena gelombang dan arus
yang melindungi pantai dari efek laut.
-
16
2] Ekosistem Pesisir
Ekosistem pesisir seperti mangrove dan hutan pantai memegang peranan
penting sebagai pelindung pantai yang dimana berguna dalam mereduksi
energi dari gelombang tsunami (Sengaji, 2009). Ekosistem mangrove
berperan penting dalam kemampuannya untuk meredam energi dan kekuatan
tsunami, mengurangi kecepatan dan dalamnya aliran,serta membatasi wilayah
penggenangan (Kusmana, 2014).
Analisis kerentanan ditujukan untuk mengidentifikasi dampak terjadinya
tsunami yang berupa berapa korban jiwa dan kerugian ekonomi baik dalam
jangka pendek yang berupa hancurnya permukiman, sarana dan prasarana,
serta bangunan lainnya, maupun jangka panjang yang berupa terganggunya
roda perekonomian akibat trauma dan kerusakan sumber daya alam lainnya.
Analisis kerentanan tersebut didasarkan beberapa aspek, antara lain tingkat
kepadatan pemukiman, tingkat ketergantungan perekonomian masyarakat pada
sektor kelautan, keterbatasan akses transportasi untuk evakuasi serta
keterbatasan akses komunikasi (Harismanni, 2008)
2.3 Parameter Kerentanan Bencana Tsunami
Kerentanan wilayah pesisir merupakan suatu kondisi dimana terjadi
peningkatan proses kerusakan di wilayah pesisir yang diakibatkan oleh beberapa
faktor, baik faktor alam maupun dari aktivitas manusia. Berdasarkan penelitian
Gornitz (1991), terdapat beberapa parameter yang mempengaruhi kerentanan
diantaranya variabel geologi (Geomorfologi, perubahan garis pantai, dan elevasi)
dan variabel fisik (kenaikan muka laut, tunggang pasang surut, dan tinggi
gelombang). Selain enam parameter yang digunakan dalam penentuan
kerentanan pesisir berdasarkan penelitian Basir et al. (2010) yaitu pengamatan
visual kerusakan, litologi atau material pembentuk struktur pantai, dan pengaruh
-
17
angin. Selain parameter yang disebutkan, Sambah et al. (2014) yang melakukan
kajian kerentanan tsunami di Tohoku Jepang terdapat beberapa parameter yang
mempengaruhi kerentanan tsunami diantaranya adalah elevasi, slope, jarak dari
garis pantai, jarak dari sungai, dan penggunaan lahan. Pada penelitian ini,
parameter kerentanan pesisir yang digunakan mengacu pada parametet yang
dikemukakan oleh Sambah et al. (2014)
2.3.1 Ketinggian (Elevasi) Pantai
Ketinggian daerah pesisir mengacu kepada rata-rata ketinggian pada
daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut. Kajian mengenai
ketingggian daerah pesisir sangat penting untuk dipelajari secara mendalam
untuk mengidentifikasi dan mengestimasi luas daratan yang terancam oleh
dampak kenaikan paras laut di masa yang akan datang (Kumar, 2010).
2.3.2 Slope (Kemiringan)
Kemiringan merupakan parameter penting dalam menentukan tingkat
kerentanan tsunami di suatu daerah. Kemiringan daratan akan mempengaruhi
tinggi run up tsunami yang akan terjadi. Semakin curam suatu daratan, maka
tinggi run up akan semakin rendah (Sengaji, 2009).
2.3.3 Jarak dari garis pantai
Jarak dari garis pantai mempengaruhi tingkat kerentanan terhadap
tsunami diketahui bahwa semakin dekat dengan garis pantai akan semakin
rentan pula terhadap gelombang tsunami, sedangankan semakin jauh dengan
garis pantai semakin tikda rentan terhadap gelombang tsunami. Jarak dari garis
pantai digunakan untuk mengetahui kemampuan dari masyarakat dalam
melakukan evakuasi secara horisontal sejauh-jauhnya dari terjangan gelombang
tsunami dan dapat dijadikan dasar dalam membangun tempat tinggal
(Gersanandi et al., 2013)
-
18
2.3.4 Jarak dari sungai
Pada daerah yang menyempit seperti sungai, akan terjadi peningkatan
kecepatan dan ketinggian muka air laut karena dengan debit masssa air yang
sama harus menjalar melalui celah yang sempit. Oleh karena itu, dalam
penataan ruang harus memperhatikan jarak dari sungai (Sengaji, 2009).
2.3.5 Penggunaan Lahan (Land Use)
Kawasan pesisir termasuk dalam kerentanan yang tinggi terhadap
bencana tsunami. Konsep penggunaan lahan harus melihat jarak dari garis
pantai agar dapat melindungi daratan dari hantaman gelombang tsunami.
Penggunaan lahan pada kawasan pesisir harus memperhitungkan antara tata
guna lahan dan tingkat hunian penduduk dengan besar kecilnya resiko bahaya
tsunami. Penggunaan lahan yang berkaitan dengan berbagai aktivitas manusia
seharusnya tidak dibangun pada daerah yang sangat rawan tsunami (Irfani,
2005).
2.4 Teknologi Penginderaan Jauh & SIG dalam Penelitian Kerentanan
Wilayah terhadap Bencana Tsunami
2.4.1 Penginderaan Jauh
Aplikasi penginderaan jauh digunakan untuk mendapatkan informasi yang
berkaitan dengan kondisi penutupan vegetasi dan atau penggunaan lahan saat
ini (present land use/land cover), yang didapatkan dengan cara interprestasi citra
satelit. Dari proses tersebut didapatkan informasi mengenai sebaran (distribusi)
dan kondisi penutupan lahan dan vegetasi permanen. Penginderaan jauh
merupakan teknologi yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan peta yang
mutakhir dengan waktu, tenaga dan biaya yang relative kecil untuk kawasan
yang sangat luas. Salah satu penginderaan jauh merupakan data diigital
-
19
sehingga memerlukan pengelohannya untuk memperoleh informasi yang
disajikan dalam peta tematik (Rahmi, 2009).
Penginderaan jauh adalah ilmu umtuk memperoleh informasi tentang
objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu
alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji
(Lillesand dan Kiefer, 1997).
Untuk riset tsunami, citra satelit baik secara global, visual, digital dan
multi temporal dapat memberikan informasi mengenai dinamika yang terjadi di
daerah pesisir, baik sebelum, sewaktu maupun sesudah tsunami (Diposaptono
dan Budiman, 2006). Oleh karena itu, penginderaan jauh (remote sensing)
merupakan salah satu alat mutakhir yang sangat menunjang kegiatan riset
tsunami, terutama jika diintegrasikan dengan SIG. Data penginderaan jauh
seperti citra satelit merupakan input yang terpenting bagi SIG karena
ketersediannya secara berkala dan mencakup are yang relatif luas. Kita bisa
memperoleh berbagai jenis citra satelit untuk beragam tujuan pemakaian karena
saat ini terdapat bermacam-macam satelit di ruang angkasa dengan
spesifikasinya masing-masing (GIS Konsorsium, 2007).
2.4.2 Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG) adalah kumpulan yang terorganisir dari
perangkat keras, perangkat lunak, data geografi dan personal yang dirancang
secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi,
menganalisis dan menyajikan semua bentuk informasi yang berefensi geografis
(Prahasta, 2002 dalam Sengaji (2009)).
SIG dibagi menjadi 2 yaitu sistem manual (analog) dan sistem otomatis
(yang berbasis digital komputer), keduanya memiliki perbedaan yang mendasar
yang terletak pada cara pengelolaannnya, pada Sistem Informasi yang bersifat
-
20
manual biasanya menggabungkan beberapa data seperti peta, lembar
transparansi untuk tumpang susun (overlay), foto udara, laporan statistik dan
laporan survey lapangan sedangkan Sistem Informasi yang bersifat otomatis
telah menggunakan komputer yang sebagai sistem pengolah data melalui proses
digitasi dengan sumber data berupa citra satelit atau foto udara yang terdigitasi
(Sugandi, 2009).
Sebagian besar data yang ditangani dalam SIG merupakan data spasial
yaitu sebuah data yang berorientasi geografis, memiliki sistem koordinat tertentu
sebagai dasar referensinya dan mempunyai dua bagian penting yang
membuatnya berbeda dari data lain, yaitu informasi lokasi (spasial) dan
indormasi deskriptif (attribute) (GIS Konsorsium, 2007)
Struktur spasial ini dapat dibagi menjadi dua yaitu model data raster dan
model data vector (Gambar 4). Data raster merupakan data yang disimpan dalam
bentuk kotak segi empat (grid) atau sel sehingga terbentuk suatu ruang yang
teratur, sedangkan data vektor adalah data yang direkam dalam bentuk koordinat
titik yang menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan
menggunakan titik, garis, atau are (polygon).
Gambar 4. Perbedaan data vektor dan raster
-
21
Data vektor dan data raster mempunyai kelebihan dan kekurangannya
masing masing sesuai dengan tujuan yang diinginkan. Kelebihan data vektor
adalah ketepatan dalam mempresentasikan fitur titik, batasan, dan garis lurus
yang berguna untuk analisa yang membutuhkan ketepatan posisi, misalnya pada
basis data batas-batas kadaster namun data vektor memiliki kelemahan yaitu
ketidakmampuan dalam mengakomodasi perubahan gradual, sedangkan pada
data raster, resolusi tergantung pada ukuran pixelnya yaitu semakin kecil ukuran
permukaan bumi yang direpresentasikan oleh satu sel, semakin tinggi
resolusinya yang sangat baik untuk merepresentasikan batas-batas yang
berubah secara gradual seperti jenis tanah, vegetasi dan suhu tanah. Namun
mempunyai kelemahan pada besarnya ukuran file (Ariyanto, 2012).
2.3.3 ASTER GDEM
ASTER GDEM merupakan produk DEM (Digital Elevation Model) yang di
luncurkan oleh METI dan NASA melalui Earth Remote Sensing Data Analysis
Center (ERSDAC) dan NASA Land Processes Distributed Active Archieve Center
(LP DAAC). ASTER GDEM adalah DEM dalam bentuk format GeoTiff yang
memiliki resolusi 30 meter. File yang didapat yaitu data file DEM dan penilaian
kualitas berkas (QA), dimana menunjukan jumlah kontribsi terhadap nilai Dem
pada tiap lokasi pixel dan sumber data yang digunakan untuk melakukan koreksi
(ASTER GDEM, 2009). Format dan spesifikasi data ASTER GDEM tersaji pada
Tabel 1.
DEM merupakan data digital yang berformat raster memiliki informasi
koordinat x dan y dan elevasi (z) pada setiap pixel atau sel (Gambar 5). Hasil
pengolahan data DEM harus didukung dengan survey lapang sehingga
kenampakan topografi wilayah yang direkam meiliki keakuratan. Akurasi data
DEM sangat tergantung pada sumber titik tinggi dan resolusi spasial. Resolusi
spasial DEM pada penelitian ini adalah 90 x 90 m. Semakin tinggi resolusi
-
22
spasial maka semakin tinggi pula akurasi data yang didapatkan. DEM merupakan
salah satu data penting dalam analisis daerah rawan bencana tsunami (Hajar
(2007) dalam Sengaji (2009)).
Gambar 5. Ilustrasi DEM/DTM dan DSM
(Sumber : http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/ dan http://www.geoimage.com.au/DEMS/dems-overview)
http://www.gisresources.com/confused-dem-dtm-dsm/http://www.geoimage.com.au/DEMS/dems-overview
-
23
Tabel 1. Format dan spesifikasi data ASTER GDEM
(Sumber : http://www.jspacesystems.or.jp/ersdac/GDEM/E/2.html)
2.4 Cell Based Modelling
Cell Based Modelling merupakan metode atau suatu analisis spasial yang
banyak digunakan pada saat ini untuk memodelkan keadaan alam. Permodelan
ini akan merepresentasikan kekompleksitasan interaksi di alam dengan
penyederhanaan yang akan membantu untuk mengerti, menggambar dan
memprediksikan semua kejadian di alam (ESRI, 2001).
Ada dua model yang dikenal dalam analisis spasial yaitu:
1. Representation models dapat menggambarkan kenampakan di muka bumi
seperti bangunan, taman, hutan dan lain-lain. SIG dapat menampilkan objek
tersebut melalui layer-layer. Analisis spasial layer-layer tersebut bisa berupa
raster. Layer raster akan menampilkan objek tersebut dengan bidang
bujursangkar yang saling bertautan yang disebut yang disebut gridan setiap
lokasi dilayer raster akan berupa grid cell yang mempunyai nilai tertentu.
2. Process models menggambarkan interaksi dari objek di bumi yang terdapat
di dalam Representation Models.Model ini dapat menggambarkan suatu
-
24
proses yang terjadi di alam, tetapi lebih sering dipergunakan untuk
memperkirakan apa yang terjadi pada suatu lokasi tertentu di alam. Salah
satu konsep dasar dari model ini adalah analisis dua data raster yang dapat
dilakukan operasi matematik aljabar, sesuai dengan perkembangan maka
konsep dasar ini dapat dilakukan pada berbagai macam operasi aljabar pada
lebih dari pada lebih dari dua data raster.
Menurut ESRI, (2001) Cell Base Modelling digunakan dalam beberapa
model seperti:
1. Suitability modeling : analisis spasial yang bertujuan untuk menentukan lokasi
yang paling optimal, seperti lokasi yang paling sesuai untuk mendirikan
sekolah dan tempat wisata dan lain-lain.
2. Distance modeling : analisis ini bertujuan untuk menentukan jarak yang
paling efisien dari satu lokasi ke lokasi yang lain.
3. Hidrolic modeling : analisis ini untuk menentukan arah aliran air di suatu
lokasi.
4. Surface modeling : analisis ini untuk mengkaji tingkat penyebaran polusi
suatu lokasi.
Keunggulan mempergunakan metode ini antara lain pembuatan jarak dan
pengkelasan paramater lebih mudah karena dilakukan secara cepat dan teratur
tiap sel. Keunggulan lain adalah data raster memiliki struktur yang lebih
sederhana dan mudah untuk digunakan dalam permodelan dan analisis.
Kelemahannya adalah membutuhkan space yang sangat besar dalam
pengolahannya di dalam komputer dan memiliki tampilan yang kurang estetis
karena berupa data raster yang berbentuk sel (De By et al., 2000).
-
25
(Sumber : https://courses.washington.edu/gis250/lessons/introduction_gis/spatial_data_model.html)
Pembentukan data vektor dari permukaan bumi yang dibentuk menjadi
data raster seperti pada gambar 6 yang terdiri dari data luasan vegetasi pohon,
jalan, elevasi dan bangunan yang di olah lagi menjadi data vektor.
Gambar 6. Model data spasial dalam SIG (representasi data raster/cell)