2 elmu sidad
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
SIAPAKAH SIDAT ?
Migrasi atau dalam dunia perikanan lebih dikenal juga dengan istilah
ruaya merupakan suatu proses perpindahan ikan ke tempat yang
memungkinkan untuk hidup, tumbuh, dan berkembang biak. Heape (1931)
dalam Lucas & Baras (2001) menyebutkan migrasi adalah sebuah proses
siklus yang “mendorong” migran (hewan yang melakukan migrasi) untuk
kembali ke wilayah di mana migrasi dimulai, tempat untuk bereproduksi,
menemukan makanan serta tempat yang memiliki iklim tepat untuk
sintasannya. Lucas & Baras (2001) menyebutkan secara umum migrasi
merupakan pergerakan suatu spesies pada stadia tertentu dalam jumlah
banyak ke suatu wilayah. Perubahan iklim akan memacu ikan untuk
melakukan proses migrasi atau perpindahan (Nikolsky, 1963; Harden Jones,
1968 dalam Lucas & Baras 2001) namun kondisi ini tidak ditemukan di daerah
yang beriklim tropis dan subtropis Northcote (1978). Northcote (1978)
menyebutkan bahwa ada tiga habitat sebagai tempat yang menjadi tujuan
saat melakukan migrasi, yaitu tempat untuk reproduksi, tempat untuk makan
dan tempat untuk berlindung dari serangan predator di mana ketiga habitat
tersebut tidak selalu sama dan akan dikunjungi oleh ikan pada stadia tertentu.
Setiap ikan yang melakukan kegiatan migrasi selalu berangkat dari dan
menuju suatu lokasi yang sama atau hampir sama dengan tempat di mana
dilahirkan. Migrasi menuju tempat reproduksi umumnya dilakukan setiap
tahun atau setiap musim pemijahan. Namun migrasi yang dilakukan oleh ikan
yang masih kecil (juvenile) untuk mencari makan dapat dilakukan berulang
kali hingga masa pemijahan dimulai. Ikan yang dapat melakukan pemijahan
lebih dari satu kali akan melakukan ruaya pemijahan kedua tidak selalu sama
dengan ruaya yang pertama namun karakter lokasi yang menjadi tujuan tetap
sama (Mc Keown, 1984). Hal ini juga ditemukan pada ikan yang melakukan
migrasi untuk mencari makanan, di mana area kedua dan sebelumnya tidak
selalu sama namun memiliki karakter sumberdaya yang hampir sama.
Lebih dari seratus tahun yang lalu di perairan Lofoten, New Foundland
banyak ditemukan ikan cod ( Gadus sp.) pada musim-musim tertentu. Para
nelayan waktu itu menduga bahwa ikan tersebut berasal dari Atlantik Utara,
namun tidak ada bukti yang menunjukkan pergerakan ikan tersebut.
Setelah ditemukannya metoda tagging maka pada tahun 1913 misteri
keberadaan ikan cod ini pun mulai diketahui, bahwa ikan tersebut merupakan
stok yang bergerak dari Bear Island menuju perairan Lofoten untuk melakukan
pemijahan (Woodhead, 1963 dalam Gunarso, 1988).
Fenomena lain dalam migrasi ikan adalah perpindahan ikan Sidat
( Anguilla sp.) dari air tawar menuju laut untuk melakukan pemijahan
(katadromus). Matsui (1993) menduga lokasi pemijahan ikan sidat berada
pada kedalaman lebih dari 500 m. Leptochephalus yang baru menetas
bergerak kearah permukaan laut dan berenang secara diurnal.
Leptochephalus mengalami metamorfosis menjadi glass eel yang ditandai
dengan terbentuknya sirip dan panjang badan mulai memendek selanjutnya
glass eel tersebut berenang mengikuti arah arus hingga mencapai air tawar.
MENGAPA HARUS SAYA TULIS TENTANG SIDAT ?
Pada dasarnya, siapapun “mereka” yang hendak melakukan bisnis
budidaya sidat merasa begitu siap dan mengerti hanya dari googling.
Sesungguhnya ketika ini terjadi mereka telah membodohi diri sendiri yang
akan berakibat fatal ketika proses budidaya itu berlangsung di lapangan.
Pemahaman pada azas otodidak yang seringkali dibanggakan sebagai
sebuah terobosan memenangkan kelemahan dan kebodohan; telah banyak
membuat sebagian besar teman dan sahabat saya menjadi pecundang dan
jungkir jumpalitan ketika tahap “bekerja” tengah berjalan. Otodidak seringkali
dan selalu terjadi terus menerus dalam tiap generasi, otodidak berjalan
beriringan dengan semangat sangat meletup-letup dan sebanding lurus
dengan hilangnya pemahaman pada tahap pelaksanaan.
Dalam kata-kata tegas, saya sampaikan kepada rekan dan saudaraku…
“jangan pernah coba-coba berbisnis sidat, jika Anda adalah “The
Googling Master”, STOP dan berhati-hatilah! Lebih baik mencoba dan
mengupayakannya secara bertahap dan membaca banyak literatur
ilmiah tentang sidat, pola hidupnya, pola makannya dan sikap-sikap
bijak dalam keilmuan pemuliaan air dan tanah”
Saya mendaur ulang tulisan ini dari para senior, dengan tujuan agar kita…
Mengetahui proses migrasi ikan Sidat (kaitannya pada suplai benih)
Mengetahui cara reproduksi ikan Sidat (kaitannya pada musim suplai
benih)
Mengetahui siklus hidup ikan Sidat (kaitannya pada pola budidaya)
Untuk mengetahui potensi bisnis ikan Sidat (kaitannya pada konsep
budidaya)
Dan manfaat yang di dapat ialah menjadi sumber informasi kepada rekan-
rekan oportunis sejati akan bagusnya komoditas ikan Sidat.
TINJAUAN PUSTAKA
KLASIFIKASI DAN MORFOLOGI
Menurut Nelson (1994) ikan sidat diklasifikasikan sebagai berikut:
Filum : Chordata
Kelas : Actinopterygii
Subkelas : Neopterygii
Division : Teleostei
Ordo : Anguilliformes
Famili : Anguillidae
Genus : Anguilla
Species : Anguilla spp.
Nama spesies : Anguilla bicolor
Sidat (Anguilla spp.) merupakan ikan konsumsi yang memiliki nilai
ekonomis penting baik untuk pasar lokal maupun luar negeri. Permintaan
pasar akan ikan sidat sangat tinggi mencapai 500.000 ton per tahun terutama
dari Jepang dan Korea. Pemasok utama sidat adalah China dan Taiwan
(Anonim, 2006). Sidat yang dikenal dengan ’unagi’ di Jepang sangat mahal
harganya karena memiliki kandungan protein 16,4% dan vitamin A yang tinggi
sebesar 4700IU (Pratiwi, 1998).
1. Morfologi
Tubuh sidat berbentuk bulat memanjang, sekilas mirip dengan belut
yang biasa dijumpai di areal persawahan. Salah satu karakter/bagian tubuh
sidat yang membedakannya dari belut adalah keberadaan sirip dada yang
relatif kecil dan terletak tepat di belakang kepala sehingga mirip seperti
daun telinga sehingga dinamakan pula belut bertelinga. Bentuk tubuh yang
memanjang seperti ular memudahkan bagi sidat untuk berenang diantara
celah-celah sempit dan lubang di dasar perairan.
Nama-nama alias dari sidat di berbagai daerah berbeda-beda.
Menghindarkan kebingungan tentang siapa sidat berikut nama di tiap
daerah :
SUNDA moa, lubang, uling- JAWA pelus, larak (Djajadiredja, 1952) -
SULAWESI sogili
Panjang tubuh ikan sidat bervariasi tergantung jenisnya yaitu antara
50-125 cm. Ketiga siripnya yang meliputi sirip punggung, sirip dubur dan
sirip ekor menyatu. Selain itu terdapat sisik sangat kecil yang terletak di
bawah kulit pada sisi lateral. Perbedaan diantara jenis ikan sidat dapat
dilihat antara lain dari perbandingan antara panjang preanal (sebelum sirip
dubur) dan predorsal (sebelum sirip punggung), struktur gigi pada rahang
atas, bentuk kepala dan jumlah tulang belakang.
2. Kebiasaan Makan Ikan Sidat
Berdasarkan analisis isi lambung ikan sidat dewasa didapatkan jenis
makanannya adalah kepiting, udang dan keong. Sedangkan pada elver dan
glass eel, jenis makanannya tidak teridentifikasi. Berdasarkan penelitian
Pirzan dan Wardoyo (1979) ikan sidat pada stadia elver memakan
plankton, ikan kecil, udang-udangan dan insekta. Sedangkan glass eel yang
baru masuk ke cabang sungai isi lambungnya kosong. Menurut Sutardjo
dan Mahfudz (1971) ikan sidat yang berukuran 14,5 B 66,3 cm sebagian
besar makanannya berupa udang.
Jenis-jenis makanan ikan sidat tersebut sesuai dengan keberadaan
jenis-jenis organism yang tersedia di habitatnya. Oleh karena itu
pertumbuhan dan kehidupan ikan sidat sangat tergantung pada kehidupan
organism bentik baik insekta, moluska maupun dekapoda.
Di alam ikan sidat memakan bermacam-macam insekta, cacing dan
ikan kecil. Ikan sidat jantan akan matang gonad pada umur 3-4 tahun,
sedangkan sidat betina 4-5 tahun. Setelah ikan dewasa akan kembali ke
laut dan mencari spawning ground lalu mati setelah memijah (spawn). Jika
habitatnya dalam mall sidat makan donat, kentang goreng dan ayam
goreng crispy
3. Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup
Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran baik panjang volume atau
berat dalam satu waktu tertentu (Effendie, 1997). Weatherley (1972) dalam
Sriati (1998) mengemukakan bahwa pada stadia juvenil, ikan sidat
mempunyai laju pertumbuhan yang cepat, di mana panjang berat bersifat
linier. Hal ini disebabkan karena pada stadia juvenil belum terjadi
perkembangan gonad, sehingga kelebihan energi yang masuk seluruhnya
digunakan untuk pertumbuhan. Umumnya di daerah tropis makanan
merupakan faktor yang sangat berpengaruh demi pertumbuhan ikan sidat.
Pada keadaan normal, ikan akan mengkonsumsi makanan relatif lebih
banyak sehingga pertumbuhannya sangat cepat. Selain itu keberhasilan
dalam mendapatkan makanan akan menentukan pertumbuhan ikan
tersebut (Affandi dan Riani ; 1994). Hasil penelitian mereka menunjukkan
bahwa khusus untuk daerah tropis, pertumbuhan terjadi pada bulan April
hingga September, dan pada periode tersebut ikan sidat aktif dalam
mencari makan.
Beberapa penyebab pertumbuhan larva lambat adalah nafsu makan
kurang, kualitas pakan tambahan rendah dan jumlah pakan yang kurang,
serta padat penebaran yang terlalu tinggi. Selain itu faktor yang dapat
mempengaruhi rendahnya kelangsungan hidup benih ikan sidat, adalah
persiapan bak atau wadah pemeliharaan benih yang kurang sempurna,
padat penebaran yang terlalu tinggi, adanya serangan penyakit ekor putih
(Sasongko dkk., 2007).
4. Aspek Budidaya
Budidaya sidat sudah dilakukan di beberapa negara (Jepang, China,
Taiwan, dan Itali) sejak awal abad 20 (Matsui, 1982); sedangkan di
Indonesia baru dirintis sekitar tahun 1995-1997 namun kurang
berkembang karena tidak terjaminnya pasokan benih yang siap tebar
(Herianti, 2005). Hal ini sejalan dengan pendapat Setiadi dkk.(2006) dan
Prahyudi (Pers Com) yang mengatakan bahwa kendala utama dalam
budidaya sidat yang dihadapi adalah tingginya mortalitas pada saat glass
eel sampai elver yang mencapai 70-80%. Begitu pula dengan Peni (1993)
dan Keni (1993) yang menyatakan bahwa pemeliharaan benih sidat pada
tahap awal merupakan masa yang paling sulit dengan tingkat
kelangsungan hidup sebesar 30-50%.
Selain mortalitas yang tinggi, masalah lain dalam budidaya sidat
adalah laju pertumbuhannya yang lambat yaitu kurang dari 3,1% (Bromage
et al.,1992). Kepadatan tebar juga perlu diperhatikan karena berpengaruh
terhadap mortalitas dan pertumbuhannya. Degani dan Lavenon dalam
Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa kelangsungan hidup elver dalam
pemeliharaan berkisar antara 37-55% yang tergantung pada padat
penebarannya. Matsui (1982) menambahkan bahwa kepadatan yang
optimal pada pemeliharaan sidat adalah 1,1-1,9 kg per 3,3 meter persegi.
Untuk memacu pertumbuhan ikan sidat perlu disediakan pakan
berprotein hewani yang tinggi karena sifatnya yang karnivora (Peni, 1993;
Sarwono, 1999; Kamil dkk., 2000). Aktivitas makan sidat paling tinggi
terjadi pada malam hari karena sifatnya nokturnal (Matsui, 1982; Sarwono,
1999). Dengan demikian manipulasi penetrasi cahaya diduga akan
mempengaruhi aktivitas makan yang secara tidak langsung akan
berdampak pula pada meningkatnya pertumbuhan.
Dalam masa awal pemeliharaan salinitas juga perlu diperhatikan,
Affandi & Riani (1995) melaporkan bahwa saat kritis pemeliharaan benih
sidat yang ditangkap dari alam adalah pada pemeliharaan larvanya (glass
eel-elver), kisaran salinitas air yang baik untuk pemeliharaan diperkirakan
antara 0-7‰.
Satu hal lagi yang perlu diperhatikan adalah proses dan cara
pengangkutan. Penanganan yang baik pada saat di lapangan maupun
pengangkutan akan menekan tingkat mortalitas. Matsui (1982) melaporkan
bahwa benih sidat yang berasal dari Selandia Baru yang sebelumnya
diberok selama dua hari pada air mengalir bersuhu 14 oC dan pada saat
pengangkutan dipacking dalam box bersuhu 5-8oC ternyata tidak ada
kematian dalam pengangkutan selama 32 jam. Suhu dalam box
pengangkutan terkait dengan tingkat metabolisme tubuh dan aktivitas
glass eel, dimana pada suhu rendah metabolisme dan aktivitasnya akan
menurun sehingga pengeluaran bahan beracun terutama CO2 dan amoniak
akan berkurang begitu pula dengan konsumsi oksigen akan lebih rendah.
Kegiatan budidaya sidat tahap pembesaran dilakukan mulai tahap
elver (sebesar pensil) sampai ukuran konsumsi yang beratnya sekitar 250-
300 gr/ekor. Salah satu cara/tempat pemeliharaan adalah menggunakan
jaring apung yang ditempatkan pada situ, danau, atau kolam ukuran besar.
Pakan yang diberikan biasanya berupa pellet dengan kandungan protein di
atas 30%.
SIFAT DASAR DAN SIFAT HIDUP SIDAT
Migrasi Atau Ruaya Ikan Sidat (Anguilla bicolor)
Ikan sidat ketika sudah dewasa dan siap untuk kawin biasanya mereka
akan mencari jalan ke laut dalam atau samudera untuk berpijah, perjalanan
ikan sidat dari air tawar ke air laut biasa disebut sebagai ruaya ikan sidat,
sedangkan arti ruaya secara luas adalah merupakan satu mata rantai daur
hidup bagi ikan untuk menentukan habitat dengan kondisi yang sesuai bagi
keberlangsungan.
Studi mengenai ruaya ikan menurut Cushing (1968) merupakan hal
yang fundamental untuk dunia perikanan karena dengan mengetahui
lingkaran ruaya ikan akan diketahui daerah dimana stok atau sub populasi
itu hidup. Ruaya ini mempunyai arti penyesuaian, peyakinan terhadap
kondisi yang menguntungkan untuk eksistensi dan untuk reproduksi spesies
seperti ikan sidat.
Pergerakan ruaya ikan ke daerah pemijahan (sanes anu di Tasik yah
Bray….) mengandung tujuan penyesuaian dan peyakinan tempat yang
paling menguntungkan untuk perkembangan telur dan larva. Sejak telur
dibuahi sampai menetas. Terus menjadi larva meruapakan saat yang
kritis karena mereka tidak dapat menghindarkan diri dari serangan
predator.
1. Fenomena Plastisity Pada Ikan Migrasi
Fenotipik plastisity pada ikan migrasi dapat dilihat dari perubahan-
perubahan yang terjadi pada morfologi dan fisiologi ikan selama proses
migrasi. Perubahan lingkungan selama proses migrasi akan diikuti oleh
perubahan morfologi dan fisiologi ikan sebagai upaya adaptasi. Pada ikan
sidat perubahan morfologi terlihat mulai dari fase lepthochepalus hingga
fase silver eel, meliputi pigmentasi, morfologi, dan perkembangan organ-
organ tertentu. Sedangkan perubahan fisiologi umumnya terjadi pada saat
memasuki fase pemijahan atau perkembangan organ reproduksi dan pada
saat memasuki perairan yang memiliki karakter fisika dan kimia berbeda.
Berikut ini merupakan perubahan-perubahan yang dialami oleh ikan
sidat selama proses migrasi, baik perubahan morfologi maupun perubahan
fisika.
1) Adaptasi Morfologi
Adaptasi merupakan proses penyesuaian organisme, struktur
organisme, tingkah laku untuk meningkatkan fitness (kemampuan
hidup) sehingga bisa berkembang biak. Ikan sidat memiliki berbagai
macam strategi beradaptasi terhadap morfologinya. Di antara adaptasi
morfologi yang ada pada ikan sidat adalah bentuk badan, warna kulit,
organ pernafasan, organ sensorik, mata, dan lain-lain. Adaptasi bentuk
badan ikan sidat pertama kali mulai terlihat pada fase leptocephalus,
yaitu bentuk badan yang pipih menyerupai daun. Hal ini sangat penting
dimiliki oleh ikan yang akan melakukan migrasi secara pasif ( pasif
transported) mengikuti pola arus. Di samping bentuk badan yang pipih
lapthocephalus juga memiliki warna badan yang transparan sebagai
upaya adaptasi terhadap serangan predator. Pada saat memasuki
perairan tawar ikan sidat mulai mengalami metamorfosis yaitu bentuk
badan berubah menjadi oval dan panjang. Bentuk badan ini sangat
memudahkan ikan untuk bergerak/ berenang dengan cepat saat
memasuki muara sungai, dan melakukan tingkah laku meliang dalam
lumpur. Di samping itu, kelenturan badan berperan dalam membantu
ikan sidat bersembunyi dibalik batu untuk menghindari serangan
predator.
Pigmetasi ikan sidat akan beradaptasi terhadap perubahan
lingkungan pada tahap larva ikan tidak memiliki warna atau transparan,
sehingga memudahkan larva mengindar dari serangan predator. Seiring
dengan pertambahan ukuran badan pigmen ikan sidat mulai muncul,
hingga ukuran matang gonad warna badan ikan akan semakin terang
untuk mengikat pasangan.
Ikan sidat mempunyai bagian badan yang sensitif terhadap
getaran terutama di bagian lateral. Bagian badan yang sensitif ini
sangat membantu ikan sidat dalam bergerak karena kemampuan
penglihatannya kurang baik. Di samping itu, ikan sidat juga memiliki
organ penciuman yang sangat baik untuk membantu mengatasi
kelemahan penglihatannya.
Organ pernafasan sidat terdiri atas insang dan kulit. Lamela-
lamela yang ada dalam insang memberi kemampuan padanya untuk
mengambil oksigen langsung dari udara, selain oksigen yang terlarut
dalam air. Untuk mempertahankan kelembaban dalam rongga
branchial, sidat dilengkapi dengan tutup insang berupa organ yang
sangat kecil terletak di bagian belakang kepala dan sangat sulit dilihat
(Tesch, 2003).
Mata ikan sidat akan beradaptasi saat memasukan perairan laut
dalam. Pembesaran mata ikan sidat mencapai empat kali lipat ukuran
normal, hal ini dilakukan untuk meningkatan kemampuan melihat
karena lingkungan perairannya sudah mulai gelap. Pankhrust (1982)
menyatakan pada saat memasuki perairan laut dalam komposisi sel
retina akan mengalami perubahan, menyesuaikan intensitas cahaya.
2) Adaptasi Fisiologi
Pada saat ikan sidat menyiapkan diri untuk memijah dan
bermigrasi dari perairan tawar menuju laut dalam yang jaraknya sekitar
3.000 km terjadi perubahan pada badan yaitu diameter mata
membesar. Pankhrust (1982) menyatakan bahwa membesarnya mata
saat memijah mencapai empat kali dari sebelumnya. Selain mata,
perubahan badan lainnya ketika akan memijah antara lain warna sirip
pektoral yang makin gelap, perubahan komposisi sel pada retina,
perubahan warna badan menjadi silver, sisik membesar, dermis
menebal, densitas sel mukus meningkat terutama pada betina, bentuk
kepala agak pipih, adanya peningkatan panjang dan diameter kapiler
pada gelembung renang, peningkatan aktivitas Na+/K+-ATP ase pada
insang, usus mengalami peningkatan bobot namun jumlah lipatannya
menurun, serat otot tonus meningkat, penumpukan glikogen dalam hati
dan lain-lain. Mekanisme perubahan badan tersebut banyak melibatkan
hormon-hormon dalam badan, karena perubahan lingkungan akan
mempengaruhi hipotalamus, yang seterusnya mempengaruhi hipofisa
dan organ-organ target di bawahnya.
Menurut Tesch (1977), perkembangan gonad sidat terbagi
menjadi delapan tingkatan mulai dari gonad berbentuk benang tipis
hingga berupa pita berwarna putih. Scott (1979) mengemukakan faktor
lingkungan yang dominan yang mempengaruhi perkembangan gonad
adalah suhu, pakan, periode cahaya, dan musim.
Faktor suhu sangat berpengaruh terhadap determinasi kelamin.
Pada keadaan temperatur sedang (20°C–23°C) akan menghasilkan lebih
banyak jantan sedangkan pada temperatur rendah dan tinggi akan
didominasi oleh betina. Perkembangan gonad sangat terkait dengan
ketersediaan pakan, selama melakukan migrasi ikan sidat tidak makan
sehingga mempengaruhi energi untuk reproduksi. Kondisi malnutrisi ini
dapat mempengaruhi fungsi hipofisis gonadotropin yang berakibat pada
penghambatan pertumbuhan gonad. Pada kondisi ini ikan akan
memanfaatkan energi yang ada dalam badan untuk maintenance dan
perkembangan gonad. Simpanan energi dalam badan ikan berasal dari
konsumsi pakan dengan kadar lemak tinggi.
Periode pencahayaan dan musim sangat berpengaruh pada
kematangan gonad ikan sidat sub tropis. Untuk spesies tropik musim
hujan dan banjir sangat mempengaruhi kematangan gonad hal ini
disebabkan oleh perubahan konsentrasi garam-garam dalam air, dan
pasokan pakan akibat banjir akan memacu perkembangan gonad.
Querat et al. (1987) menduga bahwa salinitas merupakan faktor
lingkungan yang dapat menginduksi kematangan gonad pada sidat,
dengan cara menstimulasi ekskresi estradiol 17. Pengaruh periode
cahaya dan salinitas terhadap perkembangan gonad ikan sidat telah
diteliti oleh Herianti (2005) dari hasil penelitian yang dilakukan
didapatkan bahwa cahaya dan salinitas mempengaruhi perkembangan
ovarium ikan sidat pada fase yellow eel. Pencahayaan yang
diperpanjang memacu perkembangan ovarium ikan sidat dalam
lingkungan air tawar. Perkembangan ovarium meningkat pada suhu
yang lebih tinggi berkaitan
Adaptasi fisiologis, juga dilakukan oleh ikan sidat pada saat
menghadapi kondisi lingkungan yang kurang baik. Secara umum, ikan
sidat lebih tahan terhadap konsentrasi oksigen yang rendah jika
dibandingkan dengan jenis ikan lainnya. Pada kondisi “ apnoea”, yaitu
keadaan di mana otot-otot pernafasan dan alat pernafasan lainnya
(insang, paru-paru) dalam kondisi istirahat, elver (benih sidat) mampu
bernapas selama 30 menit. Selama 30 menit tersebut, elver hanya
menggunakan oksigen yang tersimpan dalam darahnya, tanpa
mengambil oksigen dari luar. Kemampuan ini merupakan bukti bahwa
ikan sidat mampu hidup dalam kondisi hipoxia (kekurangan oksigen).
Ikan sidat mampu bernafas melalui permukaan kulit dan pada kondisi
tertentu insang ikan sidat juga mampu mengambil oksigen langsung
dari udara (Tesch, 2003).
Sidat berukuran 100 g mampu mengatur dan mengkompensasi
oksigen yang rendah, tetapi tidak tahan terhadap konsentrasi
karbondioksida yang tinggi ( hypercapnia). Daya tahan yang tinggi
terhadap hypoxia pada sidat ukuran 100 g diduga mengurangi daya
tahannya terhadap hypercapnia. Sedangkan pada sidat berukuran 100–
300 g, kemampun bertahan pada kondisi hypoxia juga diimbangi
dengan kemampuan bertahan dalam kondisi hypercapnia. Ikan sidat
mempunyai toleransi yang tinggi terhadap suhu hal ini disebabkan
karena secara alami ikan yang melakukan aktivitas migrasi memiliki
toleransi yang luas terhadap suhu dan salinitas. Daya toleransi terhadap
suhu juga akan meningkat sejalan dengan bertambahnya ukuran badan
ikan. Glass eel (larva sidat) spesies Anguilla australis mampu hidup
pada suhu 28°C, elver 30,5°C–38,1°C dan sidat dewasa 39,7°C. Ikan
sidat tropis ( A. bicolor, A. marmorata ) kemungkinan besar mempunyai
toleransi terhadap suhu yang lebih tinggi dari A. australis .
Ikan sidat dalam beberapa stadia hidupnya akan melakukan
adaptasi terhadap salinitas. Stadia glass eel (larva) lebih menyukai air
laut dan bersifat osmoregulator kuat. Sedangkan elver (benih sidat)
yang sudah mengalami pigmentasi penuh lebih menyukasi perairan
tawar.
Salinitas media pemeliharaan juga mempengaruhi respons ikan
sidat terhadap tekanan lingkungan. Glass eel A. anguilla yang dipelihara
di air tawar dan mampu hidup 60 hari tanpa makan sedikitpun. Pada
salinitas 10 dan 20 ppt, glass eel mampu berpuasa 37 dan 35 hari.
Dengan demikian, salinitas mampu meningkatkan daya tahan glass eel
terhadap kelangkaan makanan. Glass eel yang sedang bermetamorfosa
ke stadia elver lebih tahan terhadap kelaparan jika berada di perairan
tawar daripada periaran payau. Ketahanan terhadap kelaparan diduga
berhubungan dengan kapasitas ikan sidat dalam melakukan proses
osmoregulasi dan penurunan konsumsi energi untuk proses
metabolisme.
2. Cara Reproduksi Ikan Sidat
Perkembangan gonad sidat sangat unik dan jenis kelaminnya
berkembang sesuai dengan kondisi lingkungannya. Pada saat anakan kondisi
seksualnya berganda sehingga tidak mempunyai jaringan yang jelas antara
jantan dan betinanya. Pada tahap selanjutnya sebagian gonad akan
berkembang menjadi ovari (indung telur) dan sebagian lagi menjadi testis
dengan perbandingan separuh dari populasinya adalah jantan dan separuh
lagi betina.
Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu
yang panjang di perairan tawar, sidat dewasa yang lebih dikenal dengan
yellow eel berkembang menjadi silver eel (matang gonad) yang akan
bermigrasi ke laut untuk memijah (Rovara dkk., 2007).
Sidat termasuk hewan yang bersifat katadormus karena pada ukuran
anakan sampai dewasa tinggal di perairan tawar namun ketika akan memijah
beruaya ke laut dalam. Pemijahan diperkirakan berlangsung pada kedalaman
400-500 meter dengan suhu 16-17 oC dan salinitas 35 permill. Jumlah telur
yang dihasilkan (fekunditas) setiap individu betina berkisar antara 7 juta - 13
juta butir dengan diameter sekitar 1 mm (Matsui, 1982). Telur akan menetas
dalam waktu 4-5 hari. Setelah memijah induk sidat biasanya akan mati.
Benih sidat yang baru menetas berbentuk lebar seperti daun yang
dinamakan leptocephalus yang memiliki pola migrasi vertikal, yaitu cenderung
naik ke permukaan pada malam hari dan siang hari turun ke perairan yang
lebih dalam. Selanjutnya benih akan berkembang dalam beberapa tahapan
menjadi agak silindris dengan warna agak buram yang dikenal dengan nama
glass eel. Pada tahap glass eel biasanya sudah mulai terdapat pigmentasi
pada bagian ekor dan kepala bagian atas (Tesch, 1977). Umur glass eel yang
tertangkap di muara sungai diperkirakan antara 118-262 hari dengan umur
rata-rata 182,8 hari (Setiawan dalam Rovara, 2007). Panjang tubuh glass eel
antara 5 – 6 cm dengan berat sekitar 0,2 gram.
Keberadaan glass eel sangat tergantung pada musim. Hal ini lebih
dipertegas lagi dari hasil wawancara dengan pengumpul benih sidat di
Pelabuhan Ratu Sukabumi yang mengatakan bahwa ketersediaan benih sidat
sangat tergantung dengan musim dan umumnya lebih banyak pada musim
penghujan (Nopember – April). Jumlah glass eel yang tertangkap selama kurun
waktu tersebut sangat berfluktuasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Tesch
(1977) bahwa glass eel akan bermigrasi masuk ke perairan tawar pada saat
salinitas di muara sungai relatif rendah (1-2 ppt). Salinitas rendah seperti ini
akan banyak terkondisikan pada musim hujan.
Penangkapan benih sidat pada umumnya dilakukan pada malam hari
ketika bulan mati/gelap dengan menggunakan sirip (hanco dengan mesh size
halus) dengan penerangan lampu petromax. Jumlah nelayan penangkap benih
sidat di Pelabuhan Ratu bila sedang musimnya mencapai ratusan orang dan
hasilnya dijual ke pengumpul.
3. Siklus Hidup Ikan Sidat
Daur hidup ikan sidat dibagi menjadi 3 fase yaitu :
Fase hidup di laut , yaitu pada saat telurnya menetas menjadi larva
(leptocephali) berbentuk seperti pita transparan.
Fase hidup di daerah estuari , dimana larva telah berkembang menjadi
elver atau “glass eel” dengan ciri-ciri tubuh masih tembus pandang. Pada
fase ini larva aktif bermigrasi dari laut dalam ke arah estuari (atau muara
sungai) mencari salinitas yang lebih rendah, pada fase ini pigmentasi mulai
berkembang.
Fase hidup di sungai , untuk tumbuh menjadi individu dewasa.
Dalam siklus hidupnya, setelah tumbuh dan berkembang dalam waktu
yang panjang di perairan tawar sidat dewasa yang lebih dikenal yellow eel
berkembang menjadi silver eel (matang gonad) dan selanjutnya silver eel
akan bermigrasi ke perairan laut dalam untuk memijah. Stadia perkembangan
ikan sidat Anguillid eel umumnya sama, baik tropic maupun yang berada pada
daerah empat musim (temperate), yaitu stadia leptocephalus, stadia
metamorphosis, stadia glass eel atau elver, yellow eel dan silver eel (sidat
dewasa matang gonad). (Setiawan, dkk 2003).
Sidat memijah pada zona lapisan tengah dimana memiliki karakteristik
temperature optimum 20 derajat Celsius dan salinitas tinggi. Dalam tempo 2-
10 hari telur tersebut menetas. Larva tersebut masih berbentuk seperti pita
transparan. Stadia ini disebut leptocephali. Jumlah telur yang di hasilkan
kurang lebih 3 juta telur per kilogram berat induk betinanya (Boetius, 1980
dalam Deelder, 1984). Temperatur dan salinitas sangat kuat mempengaruhi
migrasi ikan ke sungai. Elver akan memilih periode dimana terjadi perbedaan
temperature air sungai dan temperature air laut yang paling kecil. Factor
lingkungan lainnya yang berpengaruh adalah pasang surut, angin, sinar
matahari.
4. Mengetahui Potensi Bisnis Ikan Sidat
Sidat memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan menjadi
komoditi perikanan unggulan karena permintaan dunia yang sangat tinggi.
Pada tahun 1995 permintaan akan sidat mencapai 205.000 ton yang senilai
dengan 3,1 milyar dollar Amerika dan sebagian besar (92%) dihasilkan dari
budidaya (Rovara dkk., 2007). Sayangnya pasokan benih terus menurun
secara drastis pada beberapa negara yang teknik budidaya sidatnya sudah
maju (Jepang, China, Taiwan, Itali dan Belanda).
Sebaliknya Indonesia yang memiliki sidat dengan jenis yang cukup
beragam belum dimanfaatkan secara optimal. Kebanyakan sidat yang
dipasarkan merupakan hasil tangkapan dari alam. Sampai saat ini jumlah
pembudidaya sidat masih sangat terbatas, padahal potensi benih sidat (glass
eel) di Indonesia cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa antara jumlah
produksi benih yang dihasilkan dari alam belum sepadan dengan
pemanfaatnnya untuk pembesaran. Dengan demikian perlu diwaspadai karena
kenyataan di lapangan justru permintaan ekspor terhadap benih sidat (glass
eel) semakin meningkat, misalnya dengan dalih untuk penelitian.
Saat ini pengkonsumsi ikan sidat terbesar adalah negara Jepang dengan
150 ribu ton pertahun dari total 250 ribu ton konsumsi ikan sidat di seluruh
dunia. Namun produksi negari sakura itu hanya 21 ribu ton per tahun dan
sisanya dipenuhi dengan mengimpor dari negara lain termasuk Indonesia
(sebagian sangat kecil). Negara peng ekspor sidat terbesar saat ini adalah
Tiongkok, namun itupun masih sangat jauh dari dari total kebutuhan dunia
akan ikan sidat dan ditambah lagi saat ini ikan sidat produksi Tiongkok mulai
dijauhi karena banyak mengandung bahan kimia. Harga ikan sidat yang
mencapai 70 ribu / kg nya dan kebutuhan yang jauh melebihi supplai tentu
menjadikan bisnis pembesaran ikan sidat ini sebagai salah satu bidang usaha
yang sangat layak untuk dilirik. Sebagai gambaran sederhana perhitungan
bisnis pembesaran ikan sidat dengan modal awal 15 juta bisa menghasilkan
laba kotor hingga 13 juta dengan lama waktu 3 bulan.
1) Kandungan gizi daging ikan sidat
IKAN SIDAT IKAN SALMON
DHA 1.337 mg / 100 gr 820 mg / 100 gr
EPA 742 mg / 100 gr 492 mg / 100 gr
Dan mengandung :
Vitamin B1 25 kali lipat dari susu sapi
Vitamin B2 5 kali lipat dari susu sapi
Vitamin A 45 kali lipat dari susu sapi
Zinc (emas otak) 9 kali lipat dari susu sapi
Asam lemak omega 3 tinggi, 10.9 gr/100 gr
Gizi tinggi, kaya protein, vitamin D dan E serta asam amino lemak
ganggang dan asam ribonukleat
Mempunyai rentang salinitas sangat tinggi
2) Manfaat daging ikan sidat bagi kesehatan
Menurunkan kandungan lemak jahat dalam darah
Menghindari penyakit aterosklerosis dan mengurangi keletihan
Mendorong terbentuknya lemak fosfat dan perkembangan otak besar
Meningkatkan daya ingat
Memperbaiki sirkulasi kapiler
Mempertahankan tekanan darah normal
Mengobati pembuluh darah otak, rabun jauh, rabun dekat, glaukoma
dan penyakit mata kering karena kelelahan
Meningkatkan imunitas tubuh sebagai antioksidan
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, R. & Riani. 1995.
Pengaruh Salinitas Terhadap Derajat Kelangsungan Hidup Pertumbuhan Benih Ikan
Sidat (Elver), Anguilla bicolor. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Vol. 3(1): 39-
48.
Bromage, N., J. Shephred & J. Roberts. 1992.
Farming Systems And Husbandry Practice. Blackwell Scientific Publications,
Cambridge.
Herianti, I. 2005.
Rekayasa Lingkungan Untuk Memacu Perkembangan Ovarium Ikan Sidat (Anguilla
bicolor). Oseanologi dan Limnologi No. 37: 25-41.
Kamil, M.T., R. Affandi, I. Mokognita & D. Jusadi. 2000.
Pengaruh Kadar Asam Lemak O 6 Yang Berbeda Pada Kadar Asam Lemak O 3 Tetap
Dalam Pakan Terhadap Pertumbuhan Ikan Sidat (Anguilla bicolor). Jurnal Central
Kalimantan Fisheries Vol. 1(1): 34-40.
Keni. 1993.
Atraktan Dalam Pakan Sidat. Majalah Perikanan Techner No. 09 September 1993.
Matsui, I. 1982.
Theory And Practice Of Eel Culture. AA. Balkema/Rotterdam.
Nelson, J.S. 1994.
Fishes Of The World, 3rd editions. John Wiley & Sons, Inc., New York, xv+600
pp.
Peni, S.P. 1993.
Tiga Jenis Sidat Laku Ekspor. Trubus No. 285 Th.XXIV.
Pratiwi, E. 1998.
Mengenal Lebih Dekat Tentang Perikanan Sidat (Anguilla spp.). Warta Penelitian
Perikanan Indonesia Vol. 4(4): 8-12.
Rovara, O., I.E. Setiawan & M.H. Amarullah. 2007.
Mengenal Sumberdaya Ikan Sidat.BPPT- HSF, Jakarta.
Sarwono, B. 1999.
Budidaya Belut Dan Sidat. Penebar Swadaya, Jakarta.
Sutardjo & Machfudz. 1982.
Percobaan pendahuluan penangkapan dan pengangkutan elver (Anguilla bicolor).