2. disertasi edit....$-,$1 3867$.$ .216(3 /$1'$6$1 7(25, '$1 02'(/ 3(1(/,7,$1 .dmldq...
TRANSCRIPT
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Untuk menjaga orisinalitas penelitian ini, ditampilkan hasil-hasil
penelitian terdahulu yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Kajian pustaka
yang menjadi rujukan dalam penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh
Riza (2009)yang berjudul “Analisis Faktor-Faktor yang Memengaruhi Produksi
Kelapa Sawit: Studi pada Petani Pindah Profesi dari Karet ke Kelapa Sawit di
Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi tahun 2008”. Penelitian Riza (2009) ini
dilakukan dalam rangka penyelesaian tugas akhir program magister di Universitas
Gadjah Mada. Dalam kajian itu Riza membeberkan hasil penelitian dengan
mencantumkan beberapa poin.Pertama, faktor-faktor yang dianggap penting yang
menjadi pertimbangan dalam memilih pindah profesi dari karet ke kelapa sawit.
Kedua, jumlah produksi kelapa sawit dipengaruhi oleh faktor produksi jumlah
tenaga kerja dan faktor biaya pupuk dan obat-obatan yang memilih elastisitas
yang inelastis. Faktor pertama dipengaruhi oleh beberapa hal yakni (a) faktor
kemudahan pemasaran, (b) faktor peningkatan penghasilan, (c) faktor bantuan
teknologi dan modal, (d) faktor kerja lebih ringan, dan (e) faktor pendampingan
pengelolaan. Menurut Reza, elastisitas produksi faktor input terdiri atas obat-
obatan dan pupuk adalah 0,7376. Hal itu mengindikasikan bahwa jika ada
penambahan faktor produksi input sebanyak satu persen, akan terjadi peningkatan
11
12
hasil produksi (output) sebanyak 0,7376 persen dengan catatan apabila faktor-
faktor lain dianggap tetap (ceteris paribus).
Analisis penelitian Riza lebih meniktiberatkan pada analisis faktor
produksi kelapa sawit yang menyebabkan petani pindah profesi.Penelitian Riza ini
sangat bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai industri kelapa sawit
dan kondisi pekerjanya. Hal ini membatu penelitian penulis dalam mengungkap
berbagai ragam pengalaman yang di alami para pekerja kelapa sawit khususnya
pekerja perempuan.Penekanan dalam penelitian yang dilakukan Riza lebih
ditujukan pada faktor perpindahkan pekerja karet ke industri kelapa sawit yang
dipengaruhi oleh faktor produksinya. Penelitian Riza dan penelitian penulis sama-
sama mengambil bidang industri kelapa sawit sebagai objek penelitian.Namun,
dalam hal fokus pengkajian menunjukkan hal yang berbeda, yakni penulis lebih
menekankan pada aspek marginalisasi pekerja perempuan.
Penelitian lain yang erat kaitannya dengan penelitian penulis ialah tesis
yang ditulis oleh Haris. Haris memberikan nama proyek penelitiannya dengan
judul “Kontribusi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap Penyerapan Tenaga Kerja
dan Peningkatan Pendapatan Pekerja Lokal Kabupaten Gunung Mas (Kasus PT
Archipelago Timur Abadi). Tesis yang ditulis tahun 2011 ini bertujuan untuk
mengetahui seberapa besar kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap
penyerapan tenaga kerja dan peningkatan pendapatan pekerja lokal Kabupaten
Gunung Mas. Lebih jauh, penelitian ini juga hendak mengecek apakah ada
perbedaan pendapatan pekerja lokal dengan upah minimum Provinsi Kalimantan
13
Tengah dan pendapatan per kapita Kabupaten Gunung Mas. Perlu dicatat bahwa
studi kasus ini dilakukan di PT Archipelago Timur Abadi.
Hasil penelitian diperoleh melalui uji beda dua rata-rata. Data keseluruhan
ditunjukkan dengan nilai Z hitung sebesar 5,42358 yang lebih besar dari pada Z
tabel sebesar 1,96. Artinya, pendapatan pekerja lokal Kabupaten Gunung Mas
perbulan lebih tinggi 28,28% dari pada upah minimum Provinsi Kalimantan
Tengah. Fakta ini juga menunjukkan kenyataan bahwa pendapatan pekerja lokal
lebih tinggi 125,97% dari pada pendapatan per kapita Kabupaten Gunung Mas.
Penelitian yang dilakukan oleh Haris mengenai kontribusi perkebunan kelapa
sawit terhadap penyerapan tenaga kerja ini sangat bermanfaat bagi penelitian
penulis. Hal tersebut menunjang analisis penulis dalam menganalisis aspek
perekrutan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit. Penelitian Haris dan
penelitian penulis sama-sama mengambil perkebunan kepala sawit sebagai objek
penelitian, tetapi berbeda dalam hal fokus kajian. Haris hanya menekankan pada
unsur kontribusi perusahaan dalam penyerapan tenaga kerja, sedangkan
penelilitan penulis lebih difokuskan dan dispesifikan pada aspek marginalisasi
pekerja, khususnya pekerja perempuan.
Alisyahbana (2007), juga mengangkat isu pemberdayaan masyarakat di
perkebunan sawit. Tulisan yang disusun untuk memenuhi sebagian gelar master
ini berjudul “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Program Perkebunan Kelapa
Sawit pada PT Sungai Rangit di Kecamatan Kota Waringin Lama: Studi Kasus
Pola Kemitraan Inti Plasma”. Tesis ini berakhir pada simpulan bahwa tingkat
14
keberhasilan pemerintah dalam mengakomodasikan kepentingan masyarakat
terhadap kebijakan pengembangan SDM belum sepenuhnya berhasil.
Alisyahbana menunjukkan bahwa PT Sungai Rangit belum optimal
memberikan kontribusinya pada pelaksanaan kebijakan pemberdayaan masyarakat
oleh Pemerintah Kecamatan Kota Waringin Lama. Ada beberapa faktor yang
mengaruhi pelaksanaan program pemberdayaan tersebut, yaitu sosialisasi program
yang merata, partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program, kelembagaan
masyarakat yang efektif, kemudahan dalam memperoleh bantuan, dan kesadaran
masyarakat. Sementara itu, di pihak lain, ada beberapa hambatan yang dirasa
cukup berarti, yakni birokrasi yang rumit, dana yang terbatas, belum jelasnya
pembagian kerja, kurangnya koordinasi kelembagaan, kurangnya pemahaman
masyarakat terhadap maksud program, kurangnya monitoring pemerintah, dan
pengelolaan keuangan yang masih belum tertib. Penelitian yang dilakukan oleh
Alisyahbana memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan penulis, yakni
sama-sama melakukan penelitian di perkebunan kelapa sawit.Akan tetapi, terdapat
perbedaan yang sangat mendasar, yakni Alisyahbana menitikberatkan pada
pembedayaan masyarakat melalui program perkebunan kelapa sawit, sedangkan
fokus penelitian yang dikerjakan penulis lebih meniktiberatkan pada aspek
marginalisasi pekerja perempuan. Namun, penelitian Alisyahbana tetap
memberikan sumbungan informasi yang berharga, khususnya yang kerkaitan
dengan analisis akses dan kontrol pada karyawan perkebunan kepala sawit.
Bajuri (2004) juga mengadakan penelitian di lokasi penanaman kelapa
sawit. Ia menuliskan judul penelitiannya dengan redaksi “Pengaruh Produksi
15
Kelapa Sawit terhadap Pendapatan Petani dengan Pola PIR di Kecamatan Long
Ikis, Kabupaten Pasir, Provinsi Kalimantan Timur”. Tesis ini tidak diterbitkan dan
menjadi koleksi perpustakaan pusat UGM. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh produksi kelapa sawit terhadap pendapatan petani plasma
dengan pola perkebunan inti rakyat di Kecamatan Long Ikis, Kabupaten Pasir.
Beberapa indikator yang digunakan ialah pengaruh umur, luas, dan faktor
produksi terhadap produksi sawit. Di samping itu, juga mengetahui tingkat
efisiensi penggunaan input produksi.
Analisis regresi dengan metode kuadrat terkecil mampu mengidentifikasi
variabel umur dan tenaga kerja yang diketahui berpengaruh secara signifikan
terhadap produksi sawit. Akan tetapi, penggunaan input produksi yang belum
optimal menunjukkan fakta bahwa diperlukan penambahan jumlah input agar
produksi total dapat meningkat. Tingkat kemampuan petani plasma terhadap
pengembalian pinjaman kredit kebun sawit diketahui berdasarkan perhitungan
pada saat umur sawit dewasa dengan range umur 13 tahun ke atas. Buktinya,
pinjaman tersebut dapat dilunasi selama 2,33 tahun. Penelitian yang dilakukan
oleh Bajuri itu memiliki titik kesamaan dengan yang dikerjakan penulis, yakni
terletak pada sama-sama melakukan penelitian di perkebunan kelapa sawit.
Namun, aspek dan fokus kajian menunjukkan perbedaanyang sangat signifikan.
Hal ini terlihat pada penelitian yang dilakukan penulis lebih difokuskan pada
aspek marginalisasi pekerja perempuan, sedangkan Bajuri lebih pada pengaruh
produksi kelapa sawit terhadap pendapatan petani. Walaupun menujukkan
perbedaan, penelitian Bajuri tersebut tetap menjadi acuan yang relevan, khususya
16
terkait dengan penganalisisan pada aspek upah karyawan yang bekerja di
perkebunan kelapa sawit.
Tahwali (2011) menulis penelitian yang lebih fokus pada program
kemitraan demi pengembangan perkebunan sawit. Tesis yang disusun tahun 2011
ini bertajuk “Gerakan Masyarakat Petani Merespons Program Kemitraan
Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Singkoyo Kabupaten Banggai”.
Dengan menggunakan logika contentious politics, penelitian ini menyimpulkan
bahwa pergerakan masyarakat petani Singkoyo melawan kekuasaan ekonomi
diupayakan melalui berbagai bentuk perlawanan. Hal itu bertujuan untuk
memperkuat posisi tawar masyarakat dalam sistem kemitraan pola inti plasma.
Kepercayaan publik dapat diraih melalui organisasi gerakan memobilisasi
massa dengan memanfaatkan peluang otonomi daerah, isu demokratisasi, dan
pemilihan kepala daerah. Organisasi itu dilengkapi dengan membingkai kejadian-
kejadian kontemporer sehingga menimbulkan kepercayaan publik. Pergerakan
masyarakat petani dilakukan melalui upaya perjuangan secara konvensional atau
formal (demonstrasi, mediasi, arbitrasi, konsolidasi, dan legalisasi) dan secara
inkonvensional atau mengamuk (pendudukan, sabotase, dan tindakan destruktif).
Proses perjuangan yang dilakukan mendorong respons aktor-aktor pemerintah dan
swasta (perusahaan) dengan berbagai motif kepentingan. Secara teoretik
penelitian ini juga mengambarkan fungsi teori proses kunci contention politics
dalam menjelaskan proses pergerakan masyarakat petani Singkoyo. Penelitian
yang dilakukan oleh Tahwali memiliki relevansi dengan penelitian ini dalam hal
sama-sama mengungkap persoalan yang dihadapi pekerja di industri kelapa sawit.
17
Namun, pada sisi yang lain juga menujukkan perbedaan yang signifikan, yakni
penelitian ini mengangkat isu bias gender dalam bentuk marginalisasi pekerja
perempuan, sedangkan penelitian Tahwali lebih fokus pada perlawanan petani
melawan kekuasaan ekonomi perusahaan. Pada sisi yang lain penelitian Tahwali
ini membantu peneliti dalam mengungkapperlawanan demi perlawanan pekerja
perempuan akibat pengaruh kekuasaan perusahaan.
Wiasti (1998) ikut memberikan sumbangan berharga dalam tesisnya
berjudul “Konstruksi Gender pada Masyarakat Bali: Kasus Wanita Pekerja
Kerajinan Bambu di Banjar Kebon, Desa Belega, Blahbatuh, Gianyar. Penelitian
yang dilakukan oleh Wiasti (1998) ini bertujuan untuk memahami perbedaan
status dan peran laki-laki dan wanita pada masyarakat Bali. Penelitian tersebut
menggunakan kerangka pemikiran Peter L. Berger mengenai pendekatan
konstruksi sosial, yang menjelaskan hubungan dialektis individu dengan
masyarakat. Salah satu hasil penelitian tersebut, yaitu adanya perbedaan status dan
peran laki-laki dan wanita yang termanifestasi pada dua hal, yakni pada
pembagian pekerjaan dan pembagian upah. Wanita terkonsentrasi pada pekerjaan
tidak terampil dan semiterampil, sedangkan laki-laki tertampung pada pekerjaan
semiterampil dan terampil. Dalam penelitian ituWiasti (1998) menyimpulkan
bahwa perbedaan status dan peran antara laki-laki dan wanita yang terjadi dalam
kerajinan bambu merupakan konstruksi sosial budaya Bali, yang dikenal dengan
perbedaan gender. Penelitian yang dilakukan oleh Wiasti memberikan kontribusi
sangat positif bagi penelitian ini. Hubungan penelitian Wiasti dengan penelitian
ini adalah sama-sama mengangkat isu gender, yakni pada pekerja perempuan
18
sebagai titik sentral kajian. Namun, memiliki perbedaan yang menonjol, yakni
Wiasti lebih mengonsentrasikan penelitiannya pada konstruksi gender pada
masyarakat Bali, sedangkan penelitian penulis ini lebih dikosentrasikan pada
aspek marginalisasi pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit. Akan tetapi,
penelitian Wiasti tersebut tetap memberikan sumbangan informasi yang sangat
berharga terkait dengan penganalisisan pembagian peran antara laki-laki dan
perempuan.
Peneltiaan Muniarsih (2004)yang berjudul “Strategi Adaptasi Kelompok
Buruh Cimahi Selatan dalam Memperjuangkan Hak-Hak Kesejahteraan
Sosialnya: Suatu Tinjauan Gender” juga menjadi bahan referensi. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dan menerapkan teori strukturasi, gender, dan
kritis masyarakat yang dikemukakan oleh Habermas dan Karl Marx. Hasil
penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelompok buruh Cimahi Selatan dapat
digolongkan sebagai organisasi sosial yang bersifat paguyuban di luar sistem
pabrik. Selain itu, kelompok buruh Cimahi Selatan bermakna penting dalam
upaya peningkatan social ekonomi kaum buruh. Dalam penelitian Muniarsih juga
dikemukakan bahwa perjuangan kelompok buruh Cimahi Selatan menghadapi
kendala dari luar, yakni kebijakan pabrik yang masih otoriter dan dukungan LSM
yang masih belum efektif sehingga perjuangan kelompok buruh tersebut tidak
selalu berhasil. Penelitian yang dilakukan Muniarsih dengan penelitian ini
menujukkan sisi persamaan, yakni sama-sama mengkaji buruh dengan tinjauan
gender. Namun, memiliki juga sisi perbedaan yang sangat menonjol, yakni pada
penelitian Muniarsih lebih difokuskan pada strategi buruh dalam memperjuangkan
19
hak-hak kesejahteraannya, sedangkan analisispada penelitian ini lebih fokus pada
aspek marginalisasi pekerja perempuan di perkebunan kelapa sawit. Penelitian
Muniarsih ini sangat relevan sebagai sumbungan informasi analisis aspek
marginalisasi yang dikaji dari segi tingkat kesejahteraan yang dapat diukur, baik
melalui upah yang didapatkan maupun dari sisi perlindungan pekerja perempuan,
baik mencakup kesehatan maupun keselematan kerjanya.
Beberapa penelitian di atas mempertegas apa yang selama ini telah
dicurigai. Gilligan mengklaim bahwa kebanyakan ahli dalam teori perkembangan
moral telah secara keliru menggunakan norma laki-laki sebagai norma manusia
untuk mengukur perkembangan moral perempuan dan laki-laki. Dengan
demikian, kebanyakan ahli itu telah secara keliru menyimpulkan bahwa secara
moral perempuan kurang berkembang dibandingkan dengan laki-laki.
Menurutnya, tipe penalaran moral perempuan tidak lebih buruk daripada
penalaran moral laki-laki (Tong, 2010:224--229).
Berdasarkan kajian pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini
menujukkan perbedaan dengan penelitian-penelitian terdahulu. Artinya, yang
menjadi titik sentral dan fokus permasalahan atau isu utama penelitian ini
adalahmarginalisasi pekerja perempuan. Aspek-aspek yang menjadi marginalisasi
dalam penelitian ini terdiri atas partisipasi, akses, kontrol, dan manfaat. Selain itu,
penelitian ini melihat lebih jauh faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
marginalisasi dan implikasinya terhadap kehidupan pekerja perempuan dengan
menggunakan pendekatan kultural studies. Penelitian ini juga menggunakan teori
kritis sebagai landasan analisis, yaitu teori feminisme, gender, dan relasi kuasa.
20
Walaupun penelitian-penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian ini,
secara keseluruhan terdapat sejumlah relevansi yang dapat dimanfaatkan untuk
memudahkan dan memperkaya analisis penelitian ini. Hasil penelitian Wiasti
(1998) memberikan sumbangan, khususnya terkait dengan perbedaan status dan
peran laki-laki dan perempuan dalam hal pembagian kerja dan pembagian upah.
Penelitian yang dilakukan oleh Riza (2009), Haris (2011), Alisyahbana (2007),
Bajuri (2004), dan Tahwali (2011) memberikan sumbangan pemikiran mengenai
kondisi para pekerja di kebun kelapa sawit, khususnya terkait dengan adanya
gerakan perlawanan para petani akibat kekuasaan ekonomi perusahaan. Muniarsih
(2004) memberikan sumbangan dalam hal pemanfaatan teori gender dalam
menganalisis data perjuangan hak-hak kesejahteraan para buruh, khususnya yang
terkait dengan penempatan perempuan sebagai the second sex.
2.2 Konsep
Penelitian ini memiliki sejumlah konsep yang perlu dijelaskan untuk
memberikan pemahaman yang baik mengenai tujuan penelitian. Adapun, konsep-
konsep tersebut dijabarkan sebagai berikut.
2.2.1 Pekerja Perempuan
Untuk mendalami konsep ini perlu diketahui pengertian kerja dan pekerja
untuk lebih memahami pekerja perempuan itu sendiri. Moore dalam Saptari dan
Holzner (1997) mengemukakan bahwa kerja merupakan hal yang dikerjakan oleh
seorang individu baik untuk substansi, dipertukarkan atau diperdagangkan,
maupun menjaga kelangsungan hidup keluarga atau masyarakat. Sementara
21
Saptari dan Holzner (1997) mengategorikan pekerjaan perempuan dalam tiga
kategori, yakni (1) produksi atau reproduksi, kategori ini di dasarkan pada hasil
yang diberikan oleh pekerjaan yang dilakukan, (2) domestik atau bukan domestik,
kategori ini didasarkan atas tempat dilakukannya kegiatan pekerjaan, (3) kerja
upahan atau bukan upahan, batasan perbedaan kerja ini tidak terlalu tajam seperti
pada kedua ketegori di atas.
Di dalam UU No. 13, Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dinyatakan
pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Biasanya buruh lapangan pada perusahaan kelapa
sawit tidak dituntut memiliki pendidikan tinggi.Mereka hanya diharapkan
memilikiketerampilan(skill) di bidang yang dikerjakan.Perusahaan umumnya
memberikan beberapa pelatihan atau bimbingan dan pedoman kepada para buruh
sebelum mulai diperkerjakan.
Pekerja adalah seseorang yang bekerja dan mendapatkan sejumlah upah
dari pengusaha (Semaoen, 2000). Pekerja terbagi dalam dua kategori, yaitu
pekerja tetap dan pekerja lepas. Pekerja perempuan yang bekerja di pabrik
memiliki karakteristik tertentu yang dapat diamati dari ekonomi dan sosial
(Hutagaulunget al., 1992). Berdasarkan latar belakang sosial, pekerja perempuan
biasanya berasal dari keluarga golongan menengah ke bawah. Pekerja tersebut
memiliki keterbatasan dalam segi keahlian. Di pihak lain dari segi ekonomi
mereka memiliki pendapatan ekonomi yang lemah dan berpendidikan rendah.
Pada dasarnya pekerja perempuan memiliki upah yang sama dengan laki-laki,
yang berbeda adalah kesempatan dalam memperoleh upah yang lebih tinggi.
22
Hutagalunget al.(1992) mengemukakan bahwa biasanya pekerja
perempuan masuk kerja dengan mengajukan lamaran pada perusahaan atau juga
biasanya melalui calo. Selain itu, pekerja perempuan masuk kerja juga dengan
bantuan teman atau keluarga yang di bekerja di pabrik yang berstastus pekerja
juga di pabrik itu dengan menjadi pekerja lepas atau pekerja harian. Pada sisi yang
lain, pekerja perempuan yang bekerja di pabrik besar, biasanya masih berusia
muda, yaitu 18 sampai 28 tahun. Pekerja perempuan dalam konteks penelitian ini
adalah setiap orang yang bekerja di PT Damai Jaya Lestari yang berjenis kelamin
perempuan dan berumur diatas 18 tahun. Pekerja perempuan tersebut dapat
berupa buruh harian, kontrak, atau pekerja tetap di PT Damai Jaya Lestari.
2.2.2 Genderdan Ketidakadilan Gender
Untuk memahami konsep gender terlebih dahulu harus dibedakan antara
kata gender dan kata seks (jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan
penafsiran atau pembagian dua jenis antara laki-laki dan perempuan yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada setiap jenis kelamin tertentu.
Misalnya, jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki jekala (kala menjing) dan
memproduksi sperma. Sebaliknya perempuan memiliki alat reproduksi seperti
rahim dan saluran melahirkan dalam arti bahwa alat-alat tersebut secara biologis
tidak dapat dipertukarkan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan
ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat
(Fakih, 2013:8).
Gender merupakan suatu sifat yang melekat baik pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Misalnya,
23
perempuan itu dikenal lebih lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, atau perkasa. Ciri atau sifat tersebut
dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah, lembut, serta
keibuan, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Semua
hal yang dapat dipertukarkan antara sifat laki-laki dan perempuan itu bisa berubah
dari waktu ke waktu serta berbeda, baik dari tempat ke tempat lainnya maupun
dari suatu kelas ke kelas lainnya (Fakih, 2013:8--9).
Gender adalah konstruksi sosial yang mengacu pada perbedaan sifat
perempuan dan laki-laki yang tidak didasarkan pada perbedaan biologis, tetapi
pada nilai-nilai sosial budaya yang menentukan peranan perempuan dan laki-laki
dalam kehidupan perseorangan (pribadi) dan dalam tiap gender masyarakat yang
menghasilkan peran gender. Dengan kata lain gender mengacu pada hubungan
perempuan dengan laki-laki serta cara dan proses implementasi gender
dikonstruksikan di masyarakat (Hubies, 2010:79).
Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak
melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi
persoalan, ternyata perbedaan gender ini telah menimbulkan ketidakadilan, baik
bagi kaum laki-laki maupun kaum perempuan. ketidakadilan gender
termanifestasi dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yaitu seperti berikut.
1. Marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi
Proses marginalisasi banyak mengakibatkan kemiskinan dalam masyarakat
atau negara yang menimpa kaum laki-laki dan perempuan, tetapi dominan
dialami oleh perempuan. Perempuan termarginalisasi dan terpinggirkan dari
24
program pembangunan pemerintah yang lebih mengutamakan laki-laki. Pada
sisi yang lain perempuan juga termarginalisasi dalam rumah tangga,
masyarakat, atau kulturnya. Marginalisasi juga diperkuat,baik oleh adat
istiadat maupun tafsir keagamaan (Fakih, 2013:15).
2. Subordinasi merupakan anggapan bahwa perempuan itu irasional sehingga
perempuan tidak bisa tampil memimpin. Hal itu mengakibatkan munculnya
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Bentuk
ini merupakan suatu keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih
penting atau lebih utama dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.
Penomorduaan (subordinasi) melahirkan munculnya pembedaan perlakuan
terhadap salah satu identitas social. Pelabelan negatif (stereotype) pada
perempuan mengakibatkan kaum perempuan kurang dilibatkan dalam proses
pengambilan keputusan (DeVries, 2006).
3. Stereotipe pada dasarnya merupakan pelabelan atau penandaan terhadap suatu
kelompok. Pandangan ini selalu bersifat negatif dan cenderung selalu
merugikan dan sering menimbulkan ketidakadilan. Misalnya, masyarakat
memiliki anggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani
suami. Akibatnya, perempuan dipaksa tunduk dan peran-peran perempuan
sering kali dianggap tidak penting dan kurang dihargai dibandingkan dengan
laki-laki.
4. Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi, baik terhadap fisik maupun
integrasi mental psikologi seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia
pada dasarnya berasal dari berbagai sumber.Namun, salah satu kekerasan
25
terhadap satu jenis kelamin tertentu disebabkan oleh anggapan gender. Bentuk
pemerkosaan, tindakan pemukulan, penyiksaan, ancaman, kekerasan seksual,
baik pada laki-laki ataupun perempuan yang mangalaminya akan tertekan dan
terganggu kehidupannya.
5. Beban kerja, yakni adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat
memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga.
Hal itu mengakibatkan semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab perempuan. Akhirnya, karena anggapan gender ini, sejak dini
telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di pihak lain,
kaum laki-laki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis
pekerjaan domestik itu. Semua ini telah memperkuat pelanggengan secara
kultural dan struktural beban kerja kaum perempuan.
2.2.3 Ketimpangan Peran Genderdalam Sistem Kerja
Pembeda tubuh biologis perempuan dan laki-laki yang mengumandangkan
laki-laki sebagai sosok perkasa dan perempuan sosok yang lemah tidak benar.
Perbedaan biologis hanya berlaku pada aspek reproduktif, yaitu haid, hamil,
melahirkan dan menyusui serta kemampuan menghasilkan sperma pada laki-laki
yang bersifat komplemen. Hal ini mengisyaratkan bahwa perlu adanya repersepsi
atau reimage yang mengacu pada suatu pengakuan bahwa laki-laki atau
perempuan sebagai seorang manusia adalah sama dalam hal tanggungjawab
terhadap keluarga juga dalam hal kemampuan berprestasi diluar rumah, Hubies
(2010:74).
26
Selanjutnya, Hubies (2010:83--84) menyatakan bahwa secara universal
peran gender untuk perempuan dan laki-laki diklasifikasikan dalam tiga peran
pokok, yaitu peran reproduktif (domestik), peran produktif (publik), dan peran
sosial (masyarakat). Peran reproduktif adalah kegiatan yang sangat penting dalam
melestarikan kehidupan keluarga, tetapi jarang dipertimbangkan sebagai bentuk
pekerjaan yang konkret. Kegiatan reproduktif pada umumnya memerlukan waktu
yang lama, bersifat rutin, cenderung sama dari hari ke hari, dan hampir selalu
merupakan tanggungjawab perempuan dan anak perempuan. Peran produktif
menyangkut pekerjaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk dikonsumsi dan
diperjualbelikan (petani, nelayan, konsultan, jasa, dan lain-lain). Pembagian kerja
dalam peran produktif dapat memperlihatkan dengan jelas perbedaan
tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan. Pekerjaan ini dapat dikerjakan,
baik oleh gender laki-laki maupun perempuan dan dibayar dengan uang (tunai)
atau natura.
Seperti telah dijelaskan bahwa pada dasarnya perbedaan gender tidak
menjadi persoalaan, tetapi ternyata perbedaan ini tetap menimbulkan masalah dan
selalu melibatkan perempuan sebagai pihak yang dirugikan. Fakih (2013:13)
menyatakan bahwa salah satu bentuk ketimpangan gender itu adalah
marginalisasi. Magrinalisasi merupakan bentuk peminggiran perempuan.
Scott dalam Saptari dan Holzner (1997) mengemukakan bahwa bentuk
marginalisasi meliputi empat dimensi, yakni(1) pengucilan, perempuan dikucilkan
dari pekerjaanya;(2) pergeseran perempuan ke pinggiran, yaitu adanya
kecenderungan perempuan memasuki pekerjaan dengan upah rendah dan dinilai
27
tidak memiliki keterampilan yang memadai;(3) feminisasi atau segresi, yaitu
pemutusan tenaga kerja perempuan pada jenis-jenis pekerjaan tertentu atas dasar
jenis kelamin atau biologis; dan(4) ketimpangan ekonomi yang meningkat, yaitu
ketimpangan ekonomi antara laki-laki dan perempuan akibat perbedaan upah serta
perbedaan akses keuntungan dan fasilitas kerja, termasuk askes pelatihan untuk
pengembangan karier.
2.2.4 Implikasi
Menurut Ali (1998:114)dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia implikasi
didefinisikan sebagai akibat langsung atau konsekuensi atas temuan hasil suatu
penelitian.Akan tetapi, secara bahasa memiliki arti sesuatu yang telah tersimpul di
dalamnya.
Dalam laman http://www.pengertianmenurutparaahli.com/pengertian-
implikasi/yang diakses 25 April 2018disebutkan bahwa implikasi adalah akibat
langsung yang terjadi karena suatu hal, misalnya penemuan atau karena hasil
penelitian. Kata implikasi memiliki makna yang cukup luas sehingga maknanya
cukup beragam. Implikasi bisa didefinisikan sebagai suatu akibat yang terjadi
akibat suatu hal. Implikasi memiliki makna bahwa sesuatu telah disimpulkan
dalam suatu penelitian yang lugas dan jelas.
Menurut Islamy (2002:114--115),implikasi adalah segala sesuatu yang
telah dihasilkan dengan adanya proses perumusan kebijakan. Dengan kata lain
implikasi adalah dampak, akibat, dan konsekuensi yang timbul akibat
dilaksanakannya suatu kebijakan atau keputusan tertentu.Menurut Winarno
28
(2002:171--174),setidaknya ada lima dimensi yang harus dibahas dalam
memperhitungkanimplikasi dari sebuah kebijakan. Dimensi-dimensi tersebut
adalah sebagai berikut.Pertama,implikasi kebijakan pada masalah-masalah publik
dan implikasi kebijakanpada orang-orang yang terlibat. Kedua, kebijakan
mungkin mempunyaiimplikasi pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok
diluar sasaran atautujuan kebijakan. Ketiga, kebijakan mungkin akan mempunyai
implikasi padakeadaan-keadaan sekarang dan yang akan datang. Keempat,
evaluasi jugamenyangkut unsur yang lain, yakni biaya langsung yang dikeluarkan
untukmembiayai program-program kebijakan publik. Kelima, biaya-biaya
tidaklangsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota
masyarakatakibat adanya kebijakan publik.
Berdasarkan beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan implikasi dalam penelitian ini adalah suatu dampak yang terjadi
atau ditimbulkan dari suatu peristiwa marginalisasi pekerja perempuan di industri
kelapa sawit PT Damai Jaya Lestari Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe
Utara.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Feminisme
Ritzer (2011:403--404) mengemukakan bahwa teori feminisme adalah
sebuah generalisasi dari berbagai sistem gagasan mengenai kehidupan sosial dan
pengalaman manusia yang dikembangkan dari perspektif yang terpusat pada
wanita. Teori ini terpusat pada wanita dalam tiga hal. Pertama, sasaran utama
29
studi, titik tolak seluruh penelitian, situasi dan pengalaman wanita dalam
masyarakat. Kedua, dalam proses penelitian, wanita dijadikan “sasaran” sentral,
artinya melihat dunia khusus dari sudut pandang wanita terhadap dunia sosial.
Ketiga, teori feminisme dikembangkan oleh pemikir kritis dan aktivis atau
pejuang demi kepentingan wanita, yang mencoba menciptakan kehidupan yang
lebih baik untuk wanita. Di pihak lain Fakih (2013:6) mendefinisikan feminisme
sebagai gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum
perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi serta usaha untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi tersebut.
2.3.1.1Variasi Teori Feminisme
Tipologi teori feminisme didasarkan atas pertanyaan paling mendasar “apa
peran wanita?” secara esensial ada jawaban untuk pertanyaan tersebut. Pertama,
posisi dan pengalaman perempuan dari kebanyakan situasi berbeda dari yang
dialami laki-laki. Kedua, posisi wanita dalam kebanyakan situasi tak hanya
berbeda, tetapi juga kurang menguntungkan atau tak setara dibandingkan dengan
laki-laki. Ketiga, bahwa situasi wanita harus pula dipahami dilihat dari sudut
hubungan kekuasaan langsung antara laki-laki dan wanita. Wanita “ditindas”
dalam arti dikekang, disubordinasi, dibentuk, dan digunakan, serta disalahgunakan
oleh laki-laki. Keempat, wanita mengalami pembedaan, ketimpangan, dan
berbagai penindasan berdasarkan posisi total mereka dalam stratifikasi atau faktor
penindasan dan hak istimewakelas, ras, etnisitas, umur, status perkawinan, dan
posisi global (Ritzer, 2011:416).
30
Feminisme kultural pada dasarnya berkaitan lebih erat dengan peningkatan
nilai-nilai perbedaan perempuan dibandingkan dengan menjelaskan asalusulnya.
Perbedaan gender yang utama menyatakan bahwa gender ditentukan oleh jenis
kelamin (sex). Di samping itu, sex juga menentukan sebagian besar factor, seperti
kepribadian, kecerdasan, kekuatan fisik, dan kapasitas menjadi pemimpin
masyarakat. Argumen perbedaan gender yang kekal ini pertama kali dipakai
untuk melawan perempuan dalam diskurus patriarkis laki-laki untuk mengklaim
bahwa perempuan adalah inferior dan tunduk pada laki-laki. Akan tetapi, argumen
itu dibalikkan oleh beberapa feminisme gelombang pertama yang menciptakan
teori feminisme kultural, yang memuji aspek positif dari apa yang dilihat seperti
“karakter perempuan” atau “personalitas perempuan”. Para teoretis seperti
Margaret Fuller, Frances Willard, Jane Addams yang merupakan proponen
feminisme kultural yang mengatakan bahwa dalam mengatur negara, masyarakat
memerlukan nilai-nilai perempuan, seperti kerja sama, perhatian, pasifisme, dan
penyelesaian konflik tanpa menggunakan kekerasan (Deegan dan Hill, 1998;
Donovan, 1985; Lengermann dan Niebrugge-Brantley 1993 dalam Ritzer, 2011:
418). Dalam implikasinya yang lebih luas untuk perubahan sosial, feminisme
kultural mengatakan bahwa cara perempuan dalam menjalani hidup dan
mendapatkan pengetahuan bisa menjadi model yang lebih baik untuk
menghasilkan masyarakat yang adil daripada preferensi tradisional dari kultur
androsentris laki-laki.
31
2.3.1.2 Feminisme Radikal
Feminisme radikal didasarkan atas dua keyakinan sentral, yaitu (1) wanita
mempunyai nilai positif mutlak sebagai wanita, suatu keyakinan yang ditegaskan
untuk menentang apa yang dinyatakan sebagai devaluasi wanita universal dan (2)
dimana-mana wanita ditindas dengan keras oleh sistem patriarki. Feminisme
radikal melihat bahwa di dalam setiap institusi dan di dalam masyarakat yang
paling mendasar terdapat sistem penindasan, yaitu orang tertentu mendominasi
orang lain. Penindasan itu terjadi antarseks (jenis kelamin), kelas, kasta, etnis,
umur, dan warna kulit. Struktur penindasan paling mendasar terdapat dalam
sistem patriarki, yaitu penindasan laki-laki atas wanita (Ritzer, 2011:432).
Patriarki eksis sebagai bentuk sosial yang hampir bersifat universal karena
laki-laki dapat menghimpun sumber kekuatan sangat mendasar, yaitu kekuatan
fisik untuk menegakkan kontrol. Laki-laki menciptakan dan mempertahankan
patriarki tidak hanya karena mereka mempunyai sumber daya untuk berbuat
demikian, tetapi juga mempunyai kepentingan nyata dalam menjadikan wanita
sebagai pelayan yang selalu mengalah. Dalam satu hal wanita adalah tenaga kerja
yang bermanfaat. Mereka pun dapat dijadikan lambang penghias status dan
kekuasaan laki-laki. Feminisme radikal memberikan penjelasan tentang
penindasan gender universal dan sebuah model untuk memahami perbedaan jenis
penindasan ini menurut kultur.
Jaggar dalam Fafik (2013:85) menyatakan bahwa penindasan terhadap
kaum perempuan oleh laki-laki dianggap berakar pada jenis kemalin laki-laki itu
sendiri berserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian, kaum laki-laki, baik
32
secara biologis maupun politis, merupakan bagian dari permasalahan. Aliran
feminisme ini menganggap bahwa patriarki merupakan dasar dari ideologi
panindasan dan sistem hierarki seksual,artinya laki-laki memiliki kekuasaan
superior dan privilege ekonomi (Eisenstein dalam Fakih, 2013:85).
2.3.1.3 Feminisme Marxis
Menurut Fakih (2013:86),feminisme marxis merupakan kelompok yang
menolak kayakinan kaum feminis radikal yang menyatakan biologi sebagai dasar
pembedaan gender. Padahal, pada prinsinya penindasan perempuan merupakan
bagian dari penindasan kelas dalam hubungan produksi. Persoalan perempuan
selalu diletakkan dalam kerangka kritik atas kapatalisme. Menurut Marx
hubungan suami dan istri serupa dengan hubungan antara proletar dan borjuis.
Selain itu, tingkat kemajuan masyarakat dapat diukur dari status perempuannya.
Pada zaman kapitalisme, penindasan perempuan malah dilanggengkan
oleh berbagai cara dan alasan karena menguntungkan. Pertama, melalui apa yang
disebut eksploitasi pulang ke rumah, yakni suatu proses yang diperlukan untuk
membuat laki-laki yang dieskploitasi di pabrik bekerja lebih produktif. Buruh
laki-laki yangbekerja di pabrik dan dieksploitasi oleh kapitalis, selanjutnya pulang
ke rumah dan terlibat dalam suatu hubungan kerja dengan istrinya masing-masing.
Dalam analisis ini sistem dan struktur hubungan antara kapitalis, buruh, dan
istrinya merupakansistem yang akhirnya menguntungkan pihak kapitalis. Kedua,
kaum perempuan dianggap bermanfaat bagi sistem kapitalisme dalam reproduksi
buruh murah. Ketiga, masuknya perempuan sebagai buruh juga dianggap oleh
mereka menguntungkan sistem kapitalisme karena dua alas an, yaitu (1) upah
33
buruh perempuan seringkali lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki, dan (2)
masuknya perempuan dalam sektor perburuhan juga dianggap menguntungkan
sistem kapitalisme karena proses itu dianggap sebagai proses penciptaan buruh
cadangan yang tek terbatas. Feminisme Marxian memandang bahwa subordinasi
perempuan tidak berasal dari aspek biologis yang dianggap kekal, tetapi berasal
dari relasi sosial yang menempatkan divisi kelas bekerja di kapitalisme dalam
sistem ekonomi modern (Ritzer, 2011:438)
Menurut penganut feminisme marxis, penindasan perempuan merupakan
kelanjutan dari sistem eksploitasi yang bersifat struktural. Artinya feminisme
marxis tidak menganggap patriarki ataupun laki-laki sebagai permasalahan, tetapi
sistem kapitalisme yang sesungguhnya merupakan penyebab masalahnya. Dengan
demikian, penyelesaiannya pun harus bersifat struktural, yakni hanya dengan
melakukan perubahan struktur kelas dan pemutusan hubungan dengan sistem
kapitalisme internasional (Fakih, 2013:89).
2.3.1.4 Feminisme Sosialis
Ritzer (2011:436) menyebutkan bahwa penekanan teori feminisme sosialis
dikembangkan di seputar tiga tujuan, yaitu (1) mencapai kritik yang distingtif dan
saling berkaitan terhadap penindasan patriarki dan kapitalisme dari sudut pandang
pengalaman perempuan; (2) mengembangkan metode yang eksplisit dan memadai
untuk analisis sosial yang berasal dari pemahaman materialisme historis yang
diperluas; dan (3) menggabungkan pemahaman terhadap signifikansi ide dengan
analisis materialis atas determinasi persoalan manusia. Dalam kerangka teori
feminisme sosial ini dapat dibagi menjadi tiga penekanan yang berbeda. Pertama,
34
feminisme materialis menekankan dan meletakkan relasi gender dalam struktur
sistem kelas kapitalis kontemporer, khususnya sistem yang dewasa ini berlaku
secara global. Di dalam kapitalis global, perempuan menerima upah yang lebih
rendah daripada laki-laki karena ideologi patriarki menetapkan status rendah bagi
perempuan. Karena patriarki menempatkan tanggung jawab rumah tangga sebagai
tugas mereka, perempuan secara struktural diposisikan lebih berbahaya di dalam
pekerjaan bergaji daripada laki-laki sehingga lebih sulit berorganisasi.Kedua,
relasi kuasa, yaitu proses dominasi patriarki kapitalis diperkuat melalui sistem
kontrol interdependen yang tidak hanya meliputi sistem ekonomi, tetapi juga
mencakup negara dan profesi istimewa. Ketiga, diskursusfeminisme sosial
direpresentasikan oleh apa yang dideskripsikan sebagai materialisme kultural oleh
feminism materialis.
Fakih (2013:90) menyatakan bahwa bagi feminisme sosialis penindasan
perempuan terjadi di kelas mana pun, bahkan revolusi sosialis tidak serta merta
menaikkan posisi perempuan. Feminism sosialis menganggap bahwa penindasan
perempuan dapat melahirkan kesadaran revolusi, tetapi bukan revolusi model
perempuan sebagai jenis kelamin (women as sex) yang diproklamasikan oleh
feminis radikal. Pandangan feminis tidak saja memodifikasi teori marxis, tetapi
juga menggunakan fakta universal subordinasi perempuan (yang berbeda isinya
dari masa ke masadan di bawah perbagai mode of production) sebagai landasan
studi perbandingan dan praksis baru.
35
2.3.1.5 Feminisme Liberal
Ekspresi utama teori ketimpangan gender adalah feminisme
liberal.Feminisme liberal berargumen bahwa perempuan dapat mengklaim
kesamaan dengan laki-laki atas dasar kapasitas esensial manusia sebagai agen
moral yang bernalar, ketimpangan gender adalah akibat dari pola eksis dan
patriarki divisi kerja, kesetaraan gender dapat dicapai dengan mengubah divisi
kerja, dan keseteraan gender dapat dicapai dengan mengubah divisi kerja melalui
pemolaan ulang institusi-institusi kunci hukum, pekerjaan, keluarga, pendidikan,
dan media (Bem dalam Ritzer, 2011:420).
Ritzer (2011:421) mengemukakan bahwa feminisme liberal berdasarkan
beberapa kayakinan. Adapun keyakinan tersebut adalah (1) semua manusia
mempunyai ciri esensial tertentu, yaitu kapasitas sebagai agen moral, nalar, dan
aktualisasi diri; (2) pelaksaaan kapasitas ini dapat dijamin melalui pengakuan
legal hak-hak universal; (3) ketimpangan antara lelaki dan perempuan diciptakan
secara sosial (socially constructed) dan tidak ada dasarnya dalam “alam”, dan (4)
perubahan sosial untuk kesetaraan dapat dicapai dengan mengajak kontemporer
mengembangkan argumen-argumen ini dengan memperkenalkan konsep gender
sebagai cara untuk memahami semua ciri socially constructed dari ide-ide
identitas kelamin dipakai untuk dianggap perempuan.
36
2.3.2 Teori Relasi Gender
2.3.2.1 Perbedaan Gender
Ritzer (2011:417) menyatakan bahwa dalam sejarah pemikiran feminisme,
“perbedaan” menjadi masalah dalam beberapa perdebatan penting. Semua teori
perbedaan gender menghadapi persoalan yang biasanya diistilahkan sebagai
“argumen esensial”, yaitu tesis bahwa perbedaan fundamental antara laki-laki dan
perempuan adalah kekal (immutable). Kekekalan itu biasanya dapat dirunut ke
dalam tiga factor, yaitu (1) biologis, (2) kebutuhan institusional laki-laki dan
perempuan untuk mengisi peran yang berbeda-beda, khususnya tetapi tidak
semata-mata, dalam keluarga, dan (3) kebutuhan eksistensial atau fenomenologis
manusia untuk menghasilkan “other” sebagai bagian dari tindakan definisi diri.
Gender mengacu ke peran perempuan dan laki-laki yang dikonstruksikan
secara sosial. Peran tersebut berubah dari waktu ke waktu dan beragam menurut
budaya dan antarbudaya. Sebaliknya, identitas seks biologis ditentukan oleh ciri-
ciri genetika dan anatomis. Sebagaimana dikemukakan oleh Nasarudin Umar
bahwa gender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi social budaya. Ann Oakley
salah saorang feminisme pertama dari Inggris yang menggunakan konsep gender
mengatakan bahwa gender adalah masalah budaya, merujuk pada klasifikasi sosial
laki-laki dan perempuan menjadi maskulin dan feminin, berbeda karena waktu
dan tempat. Sifat tetap jenis kelamin harus diakui, demikian juga sifat tidak tetap
gender. Perbedaan jenis kelamin atau perbedaan biologis merupakan perbedaan
dari kodrat Tuhan, sementara gender adalah perbedaan yang diciptakan oleh kaum
37
laki-laki dan perempuan melalui proses sosial dan budaya yang panjang
(Istibsyaroh, 2004:59).
Anak laki-laki dan perempuan tumbuh menjadi laki-laki dan perempuan
(dewasa) dengan nilai-nilai dan kebaikan gender yang khas, yaitu (1)
merefleksikan pentingnya keterpisahan pada kehidupan laki-laki keterkaitan pada
kehidupan perempuan dan (2) berfungsi untuk membudayakan laki-laki dan
melemahkan perempuan dalam masyarakat patriarkat (Tong, 2010:224). Struktur
sosial masyarakat yang membagi-bagi antara laki-laki dan perempuan sering kali
merugikan perempuan. Perempuan diharapkan dapat mengurus dan mengerjakan
berbagai pekerjaan rumah tangga walaupun mereka bekerja di luat rumah tangga.
Sebaliknya, tanggung jawab laki-laki dalam mengurus rumah tangga sangat kecil
Istibsyaroh (2004:65) menyatakan bahwa peran laki-laki dan perempuan
mempunyai perbedaan berdasarkan komunitas, status, dan kekuasaan mereka.
Perbedaan peran gender dalam masyarakat disebabkan oleh berbagai faktor,
mulai dari lingkungan alam hingga cerita dan mitos-mitos yang digunakan untuk
memecahkan teka-teki perbedaan jenis kelamin. Ia melanjutkan bahwa
genderadalah konsep yang melihat peran laki-laki dan perempuan dari segi sosial
budaya, tidak dilihat dari jenis kelamin. Di pihak lain relasi gender
mempersoalkan posisi perempuan dan laki-laki dalam pembagian sumber daya
dan tanggung jawab, manfaat, hak-hak, kekuasan, dan previlese.
2.3.2.2 Ketimpangan Gender
Ritzer (2004:41420) mengemukakan bahwa munculnya marginalisasi di
tengah-tengah kehidupan kaum wanita merupakan suatu fenomena ketimpangan
38
gender. Ada empat tema yang menandai ketimpangan gender. Pertama, lelaki dan
wanita diletakkan dalam masyarakat tak hanya secara berbeda, tetapi juga
timpang. Secara spesifik, wanita memperoleh sumber daya material, status sosial,
kekuasaan, dan peluang untuk mengaktualisasikan diri lebih sedikit daripada yang
diperoleh laki-laki yang membagi-bagi posisi mereka berdasarkan kelas, ras,
pekerjaan, suku, agama, pendidikan, kebangsaan, atau berdasarkan faktor sosial
penting lainnya. Kedua, ketimpangan ini berdasarkan organisasi masyarakat,
bukan perbedaan biologis atau kepribadian penting antara laki-laki dan wanita.
Ketiga, meskipun manusia individual agak berbeda ciri dan tampangnya satu
sama lain, tidak ada perbedaan pola alamiah signifikan yang membedakan laki-
laki dan wanita. Keempat, semua teori ketimpangan gender menganggap, baik
laki-laki maupun wanita, akan menanggapi situasi dan struktur sosial yang makin
mengarah kepersamaan derajat (egalitarian) dengan mudah dan secara alamiah.
Pada dasarnya identitas gender dapat dijelaskan melalui tiga teori
psikologi, yaitu teori psikoanalisis Freud, teori sosialisasi, dan teori
perkembangan kognitif (Nugroho, 2008:54). Teori psikoanalisis menjelaskan
bahwa perilaku seseorang terkait dengan faktor biologis, seperti evolusi, gen, dan
anatomi. Sebaliknya, teori sosialisasi menjelaskan berdasarkan konsep
naturenurture dan melihat bahwa perbedaan peran gender merupakan hasil dari
tuntutan dan harapan lingkungan. Di pihak lain teori perkembangan kognitif
merupakan teori interaksi yang menekankan pada interaksi antara keadaan
organisasi atau perkembangan kognitif dan informasi yang ada dalam lingkungan
budaya.
39
1. Teori Nurture
Menurut teori nurture, perbedaan perempuan dan laki-laki adalah
konstruksi sosial budaya yang menghasilkan peran dan tugas yang berbeda.
Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan
kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki–laki dalam
perbedaan kelas. Laki–laki diidentikkan dengan kelas borjuis, sedangkan
perempuan sebagai kelas proletar.
2. Teori nature
Menurut teori nature, pembedaan laki–laki dan perempuan adalah
kodratyang harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan
implikasi bahwa kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang
berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak
dapat karena memang bebeda secara kodrat alamiah.
2.3.3 Teori Relasi Kuasa
Menurut Foucault, kekuasaan bukan milik sekelompok orang seperti yang
dikemukakan oleh Marx bahwa kekuasaan adalah milik golongan kapitalis.Akan
tetapi,Foucault memandang bahwa semua golongan memiliki potensi untuk
mendapatkan kekuasaan. Yang dibutuhkan untuk memperoleh kekuasaan adalah
strategi bukan kekerasan ataupun penindasan. Strategi tersebut berlangsung
40
dimana-mana yang didalamnya termuat serangkain sistem, aturan, susunan, dan
regulasi. Bagi Foucault, suatu kekuatan akan selalu ada selama sebuah relasi dan
iteraksi terus berkembang. Pada proses itu selalu ada pihak yang mendominasi
dan didominasi. Bahkan, kekuasaan itu ada disetiap tempat dan menuggu untuk
ditempati.
Gagasan mengenai kuasa merupakan inti atau pusat pemikiran dan
pandangan filosofis Foucault. Foucault mengakui bahwa ada sekian banyak
kekuatan dan kuasa yang menyebar luas dalam relasi antarmanusia. Kekuatan-
kekuatan ini ditemukan dalam berbagai aspek relasi antarmanusia, misalnya relasi
antarmanusia dan relasi manusia dengan lingkungan dan situasi mereka, dan lain-
lain (Beoang, 1997:50--51).
Perlu diperhatikan di sini bahwa pengertian tentang kekuasaan menurut
Foucault sama sekali berbeda dengan pengertian yang dipahami oleh masyarakat
selama ini. Pada umumnya kekuasaan dipahami dan dibicarakan sebagai daya
atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga untuk memaksakan
kehendaknya kepada pihak lain. Dalam konteks ini kekuasaan diartikan secara
represif dan kadangkala malah impresif,yakni adanya dominasi antara subjek dan
objek kekuasaan. Semisal kekuasaan negara pada masyarakat, raja pada
rakyatnya, suami pada istri, pemilik modal kepada para karyawannya
(Haryatmoko, 2002:10).
Kekuasaan beroperasi secara tak sadar dalam jaringan kesadaran
masyarakat. Kekuasaan tidak datang dari luar,tetapi menentukan susunan, aturan-
aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Di sini dapat disebutkan,misalnya
41
hubungan keluarga yang menormalkan bahwa suami yang harus bekerja untuk
mencari nafkah, sementara istri hanya bertugas mengurusi rumah tangga dan
merawat anak-anaknya. Contoh lain tentang karyawan yang secara berdisiplin
bekerja sesuai dengan tugas-tugasnya. Ketaatan karyawan tersebut bukan karena
adanya represi dari bos atau pimpinan,melainkan karena adanya regulasi-regulasi
dari dalam yang menormalkan. Mereka bekerja dengan giat bukan hanya karena
ada ancaman atau tekanan,melainkan juga karena adanya semacam struktur
diskursif yang mengatakan akan ada penghargaan bagi karyawan yang berprestasi
dalam bekerja.
Menurut Foucault, kekuasaan selalu teraktualisasi lewat pengetahuan dan
pengetahuan selalu mempunyai efek kuasa. Penyelenggaraan pengetahuan
menurut Foucault selau memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaan.
Hampir tidak mungkin kekuasaan tidak ditopang dengan suatu ekonomi wacana
kebenaran. Pengetahuan bukan merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi
kuasa, artinya pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa
memproduksi pengetahuan, bukan hanya karena pengetahuan berguna bagi kuasa.
Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa
pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi bahwa untuk
mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan
yang melandasi kekuasaan. Hal itu terjadi karena setiap kekuasaan disusun,
dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana
tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu, yang menimbulkan
efek kuasa. Semula orang beranggapan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah
42
bidang yang netral. Kesadaran orang tumbuh ketika Foucault untuk pertama
kalinya mempertentangkan bahwa pengetahuan ternyata mengandung kekuasaan
(power). Jadi, antara pengetahuan dan kekuasaan tidak dapat dipisahkan (Fakih,
2013:55).
Foucault mendefinisikan strategi kekuasaan sebagai sesuatu yang melekat
pada kehendak untuk mengetahui. Melalui wacana, kehendak untuk mengetahui
terumus dalam pengetahuan. Wacana muncul begitu saja, tetapi diproduksi oleh
zamannya masing-masing. Wacana ini mampu menepis segala hal yang tidak
termasuk dalam garis ketentuannya, tetapi juga bisa memasukkan apa yang
dianggap oleh struktur diskursif yang membentuknya benar. Dalam hal ini objek
bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif dibuat. Hal itu menyebabkan
objek berubah,seperti bakteri di lautan yang dahulu dikategorikan sebagai hewan,
tetapi kini dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai tumbuhan. Dalam hal ini
tidak ada yang berubah dari objek bakteri tersebut.Namun, ada struktur diskursif
yang melingkupinya kemudian kita memperlakukan, mempelajari, dan
menempelkan sifat-sifat makhluk itu pada tumbuhan.
Nietzsche juga ikut berkonstribusi dalam memberikan pandangannya
mengenai kekuasaan, khususnya kehendak untuk berkuasa. Lubis (2014:16)
mengemukakan pandangan Nietzsche yang menyatakan bahwa realitas dunia
bukanlah kehendak untuk eksis, melainkan kehendak untuk berkuasa. Kehendak
berkuasa merupakankemampuan individu dalam memiliki semangat yang lebih
tinggi, keberanian, daya imajinasi, dan kreaktif yang tinggi tanpa terbentur oleh
aturan-aturan dan nilai-nilai masyarakat.
43
Semua teori yang diuraikan di atas dijadikan sebagai dasar atau acuan
dalam manganalisis permasalahan penelitian ini. Teori-teori tersebut digunakan
secara eklektik atau bersama dalam menjawab semua rumusan masalah penelitian.
Ketimpangan dan bias gender yang mengakibatkan termarginalisasinya pekerja
perempuan dianalisis dengan teori feminisme (feminisme radikal dan feminisme
marxis)dan teori relasi gender. Di pihak lain pengaruh kekuasan yang
mendominasi dan melemahkan pekerja perempuan dianalisis dengan teori relasi
kuasa.
2.4 Model Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian yang telah disebutkan pada bab 1, perlu
digambarkan model penelitian untuk memberikan pedoman penelitian. Model
penelitian ini mengarahkan peneliti untuk dapat menganalisis data secara
sistematis sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Selain itu, model penelitian ini
dapat memberikan arah yang jelas dan mengarahkan penelitian ini tidak keluar
dari tujuan yang ingin dicapai.Adapun, model penelitian tersebut dapat dilihat
pada bagan berikut.
44
Keterangan:
: garis yang menujukkan saling mengaruhi
: garis yang memberikan hubungan atau pengaruh secara sepihak
: garis yang memberikan pengaruh tidak langsung secara sepihak
Model penelitian di atas dapat dibaca sebagai berikut. Budaya global dan
budaya lokal saling memengaruhi satu sama lain. Hasil salingmengaruhi kedua
aspek tersebut menimbulkan berbagai fenomena yang menarik untuk dikaji.
Marginalisasi Pekerja Perempuan di PT Damai Jaya
Lestari
Bentuk-bentuk marginalisasi pekerja perempuan di PT
Damai Jaya Lestari
Dimensi sosial budaya yang melatarbelakangi terjadinya
marginalisasi pekerja perempuan di PT Damai Jaya
Lestari
Implikasi marginalisasi pekerja perempuan di PT
Damai Jaya Lestari terhadap kehidupan mereka
Teori: Feminisme, Analisis Gender, dan Relasi Kuasa
Analisis: Deskriptif Kualitatif
TemuanPenelitian
Budaya Global:
Ekonomi, Pendidikan, Kemajuan Teknologi, dan Ilmu Pengetahuan
Budaya Lokal : Tradisi, Adat Istiadat,
Organisasi Kemasyarakatan
45
Fenomena menarik yang dikaji dalam penelitian ini,yaitu pekerja perempuan
dalam industri kelapa sawit PT Damai Jaya Lestari di Kecamatan Wiwirano,
Kabupaten Konawe Utara. Kajian ini menfokuskan pada aspek gender, yaitu
kondisi pekerja perempuan di perusahaan tersebut dalam sudut pandang kultural
studies. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, yaitu bentuk-bentuk marginalisasi
pekerja perempuan di PTDamai Jaya Lestari,dimensi sosial budaya yang
melatarbelakangi terjadinya marginalisasi pekerja perempuan di PT Damai Jaya
Lestari, dan implikasi marginalisasi pekerja perempuan di PT Damai Jaya Lestari
terhadap kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini dicapai dengan menganalisis data, baik data primer
yang diperoleh dari wawancara dan observasi maupun data sekunder yang
diperoleh dari hasil studi dokumen dan penelitian-penelitian terdahulu. Kedua
jenis data tersebut dianalisis secara deskriptif kualitatif menggunakan teori
feminisme, analisisgender, dan relasi kuasa. Melalui analisis data menggunakan
ketiga teori tersebut, dihasilkan temuan penelitian.