2 bph fix

22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Benign Prostate Hyperplasia Pembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia > 50 tahun dan ± 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi (Wim de Jong, 2003). Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat (zona transisional) yaitu terjadinya peningkatan jumlah sel stroma dan sel epitel dari kelenjar prostat yang menyebabkan prostat membesar. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior (Purnomo, 2000). 1. Epidemiologi 6

Upload: dianjayaa

Post on 15-Sep-2015

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

A

TRANSCRIPT

19

BAB IITINJAUAN PUSTAKAA. Benign Prostate HyperplasiaPembesaran kelenjar prostat mempunyai angka morbiditas yang bermakna pada populasi pria lanjut usia. Gejalanya merupakan keluhan yang umum dalam bidang bedah urologi. Hiperplasia prostat merupakan salah satu masalah kesehatan utama bagi pria diatas usia 50 tahun dan berperan dalam penurunan kualitas hidup seseorang. Keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia > 50 tahun dan 80% pria yang berusia 80 tahun. Pembesaran kelenjar prostat mengakibatkan terganggunya aliran urine sehingga menimbulkan gangguan miksi (Wim de Jong, 2003).Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) merupakan pertumbuhan jinak pada kelenjar prostat (zona transisional) yaitu terjadinya peningkatan jumlah sel stroma dan sel epitel dari kelenjar prostat yang menyebabkan prostat membesar. Kelenjar prostat adalah salah satu organ genitalia pria yang terletak disebelah inferior buli-buli dan membungkus uretra posterior (Purnomo, 2000).

1. Epidemiologi

Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasi (Purnomo, 2000). Prevalensi yang pasti di Indonesia belum diketahui tetapi berdasarkan kepustakaan luar negeri diperkirakan semenjak umur 50 tahun 20%-30% penderita akan memerlukan pengobatan untuk prostat hiperplasia. Yang jelas prevalensi sangat tergantung pada golongan umur. Sebenarnya perubahan-perubahan kearah terjadinya pembesaran prostat sudah dimulai sejak dini, dimulai pada perubahan-perubahan mikroskopoik yang kemudian bermanifestasi menjadi kelainan makroskopik (kelenjar membesar) dan kemudian baru manifes dengan gejala klinik (Wim de Jong, 2003).Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30 40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%, dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan menyebabkan gejala dan tanda klinik (Purnomo, 2000).

2. Etiologi Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi tua). Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hyperplasia prostat adalah:

a. Teori DihidrotestosteronDihidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5 reduktase dengan bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan dengan reseptor androgen (RA) membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel prostat (Purnomo, 2000).Aktivitas enzim 5-reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal (Sabiston, 1994).

b. Ketidakseimbangan antara estrogen-testosteronPada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatif tetap sehingga perbandingan antara estrogen:testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa prostat jadi lebih besar (Purnomo, 2000).

c. Interaksi stroma-epitelCunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan autokrin, serta mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel epitel maupun sel stroma (Purnomo, 2000).

d. Berkurangnya kematian sel prostatProgram kematian sel (apoptosis) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologi untuk mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel disekitarnya kemudian didegradasi oleh enzim lisosom (Sabiston, 1994).Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat (Sabiston, 1994).

e. Teori sel stemUntuk mengganti sel-sel yang telah menglami apoptosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormon androgen, sehingga jika hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis. Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatan aktivitas sel stem sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel (Wim de Jong, 2003).

3. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi (Wim de Jong, 2003).Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus (Sabiston, 1994). Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Purnomo, 2000).Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Wim de Jong, 2003).

4. Gambaran Klinis

Pemeriksaan colok dubur dapat memberi kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rectum, kelainan lain seperti benjolan di dalam rectum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur, harus diperhatikan konsistensi prostat ( pada pembesaran prostat jinak konsistensinya kenyal ) adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat di raba. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya atau ada prostat asimetri dengan bagian yang lebih keras. Dengan colok dubur dapat pula diketahui batu prostat bila teraba krepitasi (Sabiston, 1994).Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa urin ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Sisa urin lebih dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas untuk indikasi melakukan intervensi pada hyperplasia prostat (Purnomo, 2000).Derajat berat obstruksi dapat pula diukur dengan mengukur pancaran urin pada waktu miksi, yang disebut uroflowmetri (Mansjuoer Akan, 2000).Angka normal pancaran kemih rata-rata 10-12 ml/detik dan pancaran maksimal sampai sekitar 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, pancaran menurun antara 6-8 ml/detik, sedangkan maksimal pancaran menjadi 15 ml/detik atau kurang. Kelemahan detrusor dan obstruksi infravesikal tidak dapat dibedakan dengan pengukuran pancaran kemih (Sabiston, 1994).Obstruksi uretra dapat menyebabkan bendungan saluran kemih sehingga menganggu faal ginjal karena hidronefrosis, menyebabkan infeksi dan urolitiasis. Tindakan untuk menentukan diagnosis penyebab obstruksi maupun menentukan kemungkinan penyulit harus dilakukan secara teratur (Wim de Jong, 2003).

5. Patofisiologi

Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi (Purnomo, 2000).Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus (Sabiston, 1994). Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal (Wim de Jong, 2003). Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh komponen mekanik (Wim de Jong, 2003).

6. Diagnosis

Diagnosis hiperplasia prostat dapat ditegakkan melalui :a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatifb. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan colok dubur atau Digital Rectal Eamination (DRE) sangat penting. Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan (Sabiston, 1994):1) Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)2) Adakah asimetris3) Adakah nodul pada prostate4) Apakah batas atas dapat diraba5) Sulcus medianus prostate6) Adakah krepitasiColok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris (Wim de Jong, 2003).Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi. Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pnielonefritis akan disertai sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui adanya hernia (Purnomo, 2000). Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di daerah meatus (Wim de Jong, 2003).Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kencing yang terisi penuh dan teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat nyeri tekan supra simfisis (Reksoprodjo, 1995).c. Pemeriksaan Laboratorium Darah :1. Ureum dan Kreatinin2. Elektrolit3. Blood urea nitrogen4. Prostate Specific Antigen (PSA) 5. Gula darah Urin :1. Kultur urin + sensitifitas test2. Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik sedimen.3. Pemeriksaan pencitraana. Foto Polos Abdomen (BNO) Dari sini dapat diperoleh keterangan mengenai penyakit ikutan misalnya batu saluran kemih, hidronefrosis, atau divertikel kandung kemih juga dapat untuk menghetahui adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat (Wim de Jong, 2003).

b. Pielografi Intravena (IVP)Pembesaran prostat dapat dilihat sebagai lesi defek isian kontras (filling defect/indentasi prostat) pada dasar kandung kemih atau ujung distal ureter membelok keatas berbentuk seperti mata kail (hooked fish).Mengetahui adanya kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter ataupun hidronefrosis serta penyulit yang terjadi pada buli buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel atau sakulasi buli buli, foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin (Purnomo, 2000).c. Sistogram RetrogradeApabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi. d. Transrektal Ultrasonografi (TRUS)Deteksi pembesaran prostat mengukur volume residu urin.e. MRI atau CT jarang dilakukan, digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam macam potongan (Wim de Jong, 2003).4. Pemeriksaan lain

a. UroflowmetriUntuk mengukur laju pancaran miksi. Laju pancaran urin ditentukan oleh daya kontraksi otot detrusorAngka normal laju pancaran urin ialah 12 ml/detik dengan puncak laju pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan (Wim de Jong, 2003).

b. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju pancaran urin dapat diukur (Purnomo, 2000).

c. Pemeriksaan Volume Residu UrinVolume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume urin yang masih tinggal. Pemeriksaan sisa urin dapat juga diperiksa (meskipun kurang akurat) dengan membuat foto post voiding atau USG (Wim de Jong, 2003).

7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding obstruksi saluran kemih karena hyperplasia prostat.Kelemahan detrusor kandung kemih Gangguan neurologic Kelainan medula spinalis Neuropati diabetes mellitus Pascabedah radikal di pelvis Farmakologik ( obat penenang, penghambat alfa, parasimpatolitik) Kekauan leher kandung kemih Fibrosis Resistensi uretra Hyperplasia prostat ganas atau jinak Kelainan yang menyumbat uretra Uretralitiasis Uretritis akut atau kronik

8. PenatalaksanaanTujuan terapi pada pasien BPH adalah memperbaiki keluhan miksi, meningkatkan kualitas hidup, mengurangi obstruksi infravesika, mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal, mengurangi volume residu urin setelah miksi, dan mencegah progesifitas penyakit. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa (konservatif), pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasive (Purnomo, 2000).

a. Watchfull waitingPilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan ringan yang tidak mengganggu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi penjelasan mengenai suatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya tidak mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam, kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli, batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin, kurangi makanan pedas dan asin, serta jangan menahan kencing terlalu lama (Purnomo, 2000).

b. MedikamentosaTujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi infravesika dengan obat-obatan dengan penghambat adrenergik alfa dan mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon testosteron/dihidrotestosteron (DHT) melalui penghambat 5-reduktase (Katzung, 1997). Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dar testosterone yang dikatalisis oleh enzim 5 alfa-reduktase di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel prostat menurun (Katzung, 1997).Dilaporkan bahwa pemberian obat ini 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penururnan prostat hingga 28%, hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi (Purnomo, 2000).

c. Pembedahan Penyelesaian masalah hyperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah pembedahan, karena pemberian obat atau terapi non invasive lainnya membutuhkan jangka waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi (Wim de Jong, 2003).Prostatektomi terbukaIndikasi: prostat >100gr, ankylosis pada panggul, kontraktur pelvis, striktur urethra, hypospadias repair sebelumnya, batu buli-buli yang besar (>5 mm), hernia inguinal.Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin yaitu melakukan enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan suprapubik transvesika, atau transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH. Prostatektomi terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal atau retropubik infravesikal (Wim de Jong, 2003). Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah inkontinensia urin, ejakulasi retrograd, dan kontraktur leher buli-buli (Mansjuoer Akan, 2000).

TURPReseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades) (Purnomo, 2000).Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremi relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen, tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini adalah sebesar 0,99% (Wim de Jong, 2003).Pada hiperplasi prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP (Transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (Bladder Neck Incision). Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar PSA (Purnomo, 2000).

StentStent prostat dipasang pada uretra prostatika untuk mengatasi obstruksi karena pembesaran prostat. Stent ini dipasang intraluminal di antara leher buli-buli dan di sebelah proksimal verumontanum sehingga urin dapat leluasa melwati lumen uretra prostatika. Stent dapat dipasang secara temporer atau permanen. Yang temporer dipasang selama 6-36 bulan dan terbuat dari bahan yang tidak diserap dan tidak mengadakan reaksi dengan jaringan. Alat ini dipasang dan dilepas kembali secara endoskopi (Wim de Jong, 2003).Pemasangan alat ini diperuntukan bagi pasien yang tidak meungkin menjalani operasi karena resiko pembedahan yang cukup tinggi. Seringkali stent dapat terlepas dari insersinya di uretra posterior atau mengalami enkrustasi. Setelah pemasangan kateter ini pasien mulai merasakan keluhan miksi berupa gejala iritatif, perdarahan uretra, atau rasa tidak enak di daerah penis (Purnomo, 2000).6