180531030 bab 10 inhibitor kolinesterase

10
BAB 10 INHIBITOR KOLINESTERASE Konsep Pokok 1. Penggunaan utama inhibitor kolinesterase atau disebut antikolinesterase adalah membalikkan hambatan otot non-depolarisasi. 2. Asetilkolin adalah neurotransmiter untuk seluruh sistem saraf parasimpatis (ganglion dan sel efektornya), sebagian sistem simpatis (ganglion, medulla adrenal, dan kelenjar ludah), beberapa neuron sistem saraf pusat, dan nervus somatis yang menginervasi otot skeletal. 3. Transmisi neuromuskuler dihambat ketika relaksan otot non-depolarisasi berkompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik. Inhibitor kolinesterase secara tidak langsung meningkatkan kadar asetilkolin yang mampu berkompetisi dengan agen non-depolarisasi, sehingga menyeimbangkan transmisi neuromuskuler. 4. Dalam dosis berlebihan, inhibitor asetilkolinesterase dapat secara paradoks meningkatkan hambatan neuromuskuler non-depolarisasi. Sebagai tambahan, obat ini dapat memperpanjang depolarisasi hambatan suksinilkolin. 5. Pemanjangan kerja relaksan otot non-depolarisasi akibat insufisiensi hepar maupun renal akan diiringi dengan peningkatan durasi kerja kolinesterase inhibitor. 6. Waktu yang diperlukan untuk pembalikkan total hambatan non-depolarisasi tergantung beberapa faktor, termasuk jenis dan dosis inhibitor kolinesterase, agen relaksan otot yang dilawan, dan lama hambatan sebelum diberikan inhibitor. 7. Agen pembalik harus diberikan secara rutin pada pasien yang direlaksasi ototnya menggunakan agen non-depolarisasi, kecuali jika secara klinis dapat ditunjukkan pembalikkan penuh proses relaksasi, atau rencana pascaoperasi meliputi intubasi dan relaksasi. 8. Dalam pengawasan proses pemulihan pasien dari hambatan neuromuskuler, nilai klinisnya adalah tetanus yang dipertahankan selama 5 detik sebagai respon

Upload: shofie-sabatini-verayunia

Post on 27-Dec-2015

24 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

BAB 10

INHIBITOR KOLINESTERASE

Konsep Pokok

1. Penggunaan utama inhibitor kolinesterase atau disebut antikolinesterase adalah

membalikkan hambatan otot non-depolarisasi.

2. Asetilkolin adalah neurotransmiter untuk seluruh sistem saraf parasimpatis

(ganglion dan sel efektornya), sebagian sistem simpatis (ganglion, medulla

adrenal, dan kelenjar ludah), beberapa neuron sistem saraf pusat, dan nervus

somatis yang menginervasi otot skeletal.

3. Transmisi neuromuskuler dihambat ketika relaksan otot non-depolarisasi

berkompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan reseptor kolinergik

nikotinik. Inhibitor kolinesterase secara tidak langsung meningkatkan kadar

asetilkolin yang mampu berkompetisi dengan agen non-depolarisasi, sehingga

menyeimbangkan transmisi neuromuskuler.

4. Dalam dosis berlebihan, inhibitor asetilkolinesterase dapat secara paradoks

meningkatkan hambatan neuromuskuler non-depolarisasi. Sebagai tambahan, obat

ini dapat memperpanjang depolarisasi hambatan suksinilkolin.

5. Pemanjangan kerja relaksan otot non-depolarisasi akibat insufisiensi hepar

maupun renal akan diiringi dengan peningkatan durasi kerja kolinesterase

inhibitor.

6. Waktu yang diperlukan untuk pembalikkan total hambatan non-depolarisasi

tergantung beberapa faktor, termasuk jenis dan dosis inhibitor kolinesterase, agen

relaksan otot yang dilawan, dan lama hambatan sebelum diberikan inhibitor.

7. Agen pembalik harus diberikan secara rutin pada pasien yang direlaksasi ototnya

menggunakan agen non-depolarisasi, kecuali jika secara klinis dapat ditunjukkan

pembalikkan penuh proses relaksasi, atau rencana pascaoperasi meliputi intubasi

dan relaksasi.

8. Dalam pengawasan proses pemulihan pasien dari hambatan neuromuskuler, nilai

klinisnya adalah tetanus yang dipertahankan selama 5 detik sebagai respon

Page 2: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

stimulus 100 Hz pada pasien teranestesi atau pasien yang sadar mampu

mempertahankan mengangkat kepala. Jika tidak ada satupun yang dicapai, pasien

harus tetap diintubasi dan diberikan ventilasi kontinu.

Penggunaan klinis primer inhibitor kolinesterase, juga disebut

antikolinesterase, adalah membalik hambatan otot relaksan non-depolarisasi.

Akan tetapi, kelompok obat ini dapat berikatan dengan reseptor kolinergik pada

end-plate neuromuskuler. Bab ini menjelaskan farmakologi kolinergik,

mekanisme inhibisi asetilkolinesterase, dan kemungkinan farmakologi klinis

inhibitor kolinesterase yang sering digunakan (neostignin, edrofonium,

piridostigmin, dan fisostigmin).

Farmakologi Kolinergik

Istilah kolinergik mengacu pada dampak neurotransmiter asetilkolin,

seperti efek adrenergik pada noradrenalin (norepinefrin). Asetilkolin disintesis di

akhiran saraf oleh enzimkolin asetiltransferase, yang mengkatalisis reaksi

asetilkoenzim A dan kolin. Setelah pelepasannya, asetilkolin dihidrolisis dengan

cepat oleh asetilkolinesterase (kolinesterase sejati) menjadi asetat dan kolin.

Asetilkolin adalah neurotransmiter untuk seluruh sistem saraf parasimpatis

(ganglion dan sel efektornya), sebagian sistem simpatis (ganglion, medulla

adrenal, dan kelenjar ludah), beberapa neuron sistem saraf pusat, dan nervus

somatis yang menginervasi otot skeletal.

Reseptor kolinergik telah dibagi dalam 2 kelompok besar berdasarkan

reaksi terhadap alkaloid muskarinik dan nikotin. Nikotin menstimulasi ganglion

otonom dan reseptor otot skeleton (reseptor nikotinik), sedang muskarin

mengaktifkan sel efektor pada end-organ pada otot polos bronkiale, kelenjar

salivasi, dan nodus SA (reseptor muskarinik). Sistem saraf pusat memiliki kedua

jenis reseptor, nikotinik dan muskarinik. Reseptor nikotinik dihambat oleh

relaksan otot, dan reseptor muskarinik dihambat oleh obat antikolinergik seperti

atropin. Walaupun reseptor nikotinik dan muskarinik berbeda responnya dalam

menghadapi agen agonis (nikotin dan muskarin) dan beberapa antagonis (atropin,

pancuronium), keduanya bereaksi terhadap asetilkolin. Agonis kolinergik yang

Page 3: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

tersedia dalam praktek melawan hidrolisis oleh kolinesterase. Metakolin dan

betanekol adalah agonis muskarinik primer, sedang karbakol memiliki kedua

kemampuan agonis terhadap muskarinik dan nikotinik. Metakolin inhalasi

digunakan dalam uji provokasi asma, betannekol digunakan dalam atonia vesica

urinaria, dan karbakol digunakan secara topikal untuk glaukoma sudut lebar.

Dalam membalik hambatan neuromuskuler, tujuan utamanya adalah

memaksimalkan transmisi nikotinik dan meminimalkan efek samping

muskariniknya.

Mekanisme Kerja

Transimisi neuromuskuler normal biasanya amat tergantung pada

pengikatan dengan reseptor kolinergik nikotinik pada end plate motorik. Relaksan

otot non-depolarisasi berkompetisi dengan asetilkolin untuk berikatan dengan

reseptor ini, sehingga mampu menghambat transmisi neuromuskuler. Pembalikan

hambatan tergantung difusi bertingkat, metabolisme redistribusi, dan ekskresi

agen relaksan otot dari tubuh (secara spontan) atau dengan memasukan agen

pembalik yang spesifik (secara farmakologis). Inhibitor kolinesterase secara tidak

langsung meningkatkan kadar asetilkolin yang mampu berkompetisi dengan agen

non-depolarisasi, sehingga menyeimbangkan transmisi neuromuskuler.

Inhibitor kolinesterase menonaktifkan asetilkolinesterase dengan berikatan

reversibel dengan enzim tersebut. Stabilitas ikatan mempengaruhi durasi kerja,

gaya tarik elektrostatik dan ikatan hidrogen pada edrofonium bersifat jangka

pendek, sedangkan ikatan kovalen neostigmin dan piridostigmin lebih lama.

Organofosfat. Merupakan kelas tersendiri dalam inhibitor kolinesterase,

yang membentuk ikatan yang sangat stabil dan ireversibel terhadap enzim

asetilkolinesterase. Digunakan dalam oftalmologi, dan lebih sering lagi sebagai

pestisida. Lama kerja agen golongan ini yang digunakan dalam anestesi mungkin

paling dipengaruhi kecepatan eliminasi obat dari plasma darah. Perbedaan durasi

dapat diminimalisir dengan penyesuaian dosis. Inhibitor kolinesterase juga

digunakan dalam diagnosis dan terapi miasthenia gravis.

Page 4: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

Mekanisme kerja lainnya inhibitor kolinesterase adalah dalam

mengembalikan fungsi neuromuskuler. Edrofonium tampaknya memiliki

kemampuan prejunctional untuk meningkatkan pelepasan asetilkolin. Neostigmin

memiliki efek agonis langsung (namun lemah) terhadap reseptor nikotinik.

Pergerakan asetilkolin dan pengeluarannya dari sel saraf juga meningkat (melalui

mekanisme presinaps).

Dalam dosis berlebih, inhibitor kolinesterase secara paradoks

meningkatkan hambatan neuromuskuler non-depolarisasi. Neostigmin dalam

dosis tinggi dapat menyebabkan hambatan channel asetilkolin. Sebagai tambahan,

obat-obat ini memperpanjang hambatan depolarisasi suksinilkolin. Dua

mekanisme yang dapat menjelaskan efek yang disebut terakhir: peningkatan

asetilkolin (yang akan meningkatkan depolarisasi end-plate motorik) dan

hambatan aktivitas pseudokolinesterase. Neostigmin dan kadang piridostigmin,

menunjukkan aktivitas pseudokolinesterase yang terbatas. Edrofonium hanya

memiliki sedikit, kadang tidak ada efek pseudokolinesterase. Karenanya,

walaupun neostigmin dapat memperlambat metabolisme mivacurium,

keseluruhan efeknya adalah meningkatkan kecepatan pembalikan hambatan

mivacurium. Dalam dosis besar, neostigmin dapat menyebabkan hambatan

neuromuskuler depolarisasi yang lemah.

Farmakologi Klinis

Karakteristik Farmakologis Umum

Peningkatan asetilkolin sebagai akibat inhibitor kolinesterase tidak hanya

mempengaruhi reseptor nikotinik otot lurik saja. Inhibitor kolinesterase dapat

bertindak pada reseptor kolinergik dari beberapa sistem organ, termasuk di

antaranya :

Reseptor Kardiovaskuler. Efek muskarinik yang predominan pada

jantung adalah bradikardi yang mirip dengan yang diakibatkan nervus vagus, dan

dapat melanjut menjadi sinus arest. Efek ini telah dilaporkan pada jantung yang

Page 5: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

baru saja ditransplantasikan (didenervasi), tetapi lebih sering nampak pada

jantung yang telah ditransplantasikan lebih dari 6 bulan sebelumnya (telah re-

inervasi).

Reseptor Pulmoner. Stimulasi muskarinik dapat mengakibatkan

terjadinya bronkospasme (kontraksi otot polos) dan meningkatkan sekresi traktus

respiratorius.

Reseptor Serebral. Physostigmin adalah inhibitor kolinesterase yang

dapat melewati sawar darah otak, dan menyebabkan difusi aktif pada EEG dengan

menyebabkan reseptor muskarinik dan nikotinik dalam SSP terstimulasi.

Inaktivasi reseptor asetilkolin nikotinik dapat berperan dalam anestesi umum.

Reseptor Gastrointestinal. Stimulasi muskarinik meningkatkan aktivitas

peristaltik (esofagus, gaster, dan intestinum) serta sekresi glandula (saliva serta

parietal). Kebocoran anastomosis usus besar perioperasi, mual dan muntah serta

inkontinensia fekal, telah dikaitkan dengan penggunaan inhibitor kolinesterase.

Efek samping muskarinik yang tidak diinginkan diminimalisir dengan

pemberian obat antikolinergik sebelum atau setelahnya seperti sulfas atropin atau

glikopirolat.

Durasi kerja semua inhibitor kolinesterase hampir sama. Klirens terjadi

akibat metabolisme hepatik (25-50%) dan ekskresi ginjal (50-75%). Karenanya,

tindakan pemanjangan aksi relaksan otot non-depolarisasi pada pasien dengan

insufisiensi renal atau hepatik akan dibarengi dengan peningkatan durasi kerja

inhibitor kolinesterase.

Kebutuhan dosis inhibitor kolinesterase tergantung pada derajat hambatan

neuromuskuler yang ingin dibalik. Hal ini biasanya dihitung menggunakan

stimulator saraf perifer. Sebagai contoh, pada keadaan tidak adanya respons tetani

yang didapatkan dalam stimulator saraf tepi, tidak ada dosis inhibitor

kolinesterase yang cukup besar untuk mampu membalikkan keadaan hambatan

tersebut. Hambatan sangat intensif seperti stimulasi tetani 50 Hz selama 5 menit

yang tidak menghasilkan twitch tunggal yang dapat diraba juga tidak dapat

dibalikkan. Dosis inhibitor kolinesterase yang berlebihan dapat memperpanjang

proses pemulihan. Beberapa bukti pemulihan spontan (seperti pada twitch pertama

Page 6: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

setelah stimulus TOF) akan nampak sebelum terjadi pemulihan. Hitungan

postetani (jumlah twitch pertama yang dapat diraba setelah stimulus tetanus)

biasanya berhubungan dengan waktu kembalinya setelah twitch pertama yang

dapat diraba setelah stimulus TOF. Agen kerja sedang, seperti atracurium dan

vecuronium, jumlah twitch pertama yang dapat diraba setelah stimulus tetanus

tampak 10 menit sebelum pemulihan spontan yang ditunjukkan dengan twitch

pertama yang dapat diraba setelah stimulus TOF. Sebaliknya, agen kerja lama

seperti pancuronium, twitch pertama yang dapat diraba setelah stimulus TOF

tampak 40 menit setelah twitch pertama yang dapat diraba setelah stimulus tetani.

Waktu yang dibutuhkan untuk kembali dari hambatan non-depolarisasi

tergantung pada beberapa faktor, termasuk dosis dan pilihan inhibitor

kolinesterase yang digunakan, jenis relaksan otot yang dipakai, dan luasnya

hambatan yang akan dilawan. Contohnya, pembalikan dengan edrofonium lebih

cepat daripada neostigmin, dosis besar neostigmin menyebabkan pembalikan

lebih cepat daripada dosis kecilnya, relaksan kerja sedang dapat dibalikkan lebih

cepat daripada relaksan kerja lama, dan blok dangkal lebih mudah dibalikkan

daripada blok dalam (tingginya twitch >10%). Relaksan otot kerja sedang dan

cepat membutuhkan dosis inhibitor kolinesterase yang lebih rendah (dengan

derajat hambatan yang sama) daripada agen kerja lama, dan tahap ekskresi atau

metabolisme membantu proses pembalikkan secara proporsional pada agen

relaksan otot kerja cepat dan sedang. Keuntungan ini dapat menghilang pada

kondisi-kondisi tertentu terutama berkaitan dengan penyakit organ tahap berat

(penggunaan vecuronium pada pasien dengan gagal hepar) atau defisiensi enzim

(mivacurium pada pasien dengan pseudokolinesterase homozigot atipikal).

Tergantung dosis relaksan ototnya, pemulihan spontan sampai tingkat

farmakologis membutuhkan waktu lebih dari 1 jam pada agen relaksan kerja

lambat karena proses metabolismenya yang tidak signifikan dan proses

eliminasinya yang berjalan lambat. Faktor yang dihubungkan dengan proses

pembalikan yang lebih cepat juga dihubungkan dengan insidensi paralisis residual

yang lebih rendah pada ruangan pemulihan dan resiko komplikasi pascaoperasi

respirasi yang lebih rendah.

Page 7: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

Agen pembalik harus diberikan secara rutin pada pasien yang direlaksasi

ototnya menggunakan agen non-depolarisasi, kecuali jika secara klinis dapat

ditunjukkan pembalikkan penuh proses relaksasi, atau adanya rencana

pascaoperasi yang meliputi intubasi dan relaksasi.

Stimulator saraf tepi harus digunakan untuk mengawasi kecepatan dan

kemampuan proses pembalikkan. Umumnya, semakin tinggi frekuensi stimulasi,

semakin besar sensitivitas uji ini (100 Hz tetanus > 50 Hz tetanus atau TOF >

tingginya twitch-tunggal). Karena stimulasi saraf perifer bersifat tidak nyaman,

stimulasi double-burst dan tes fungsi neuromuskuler alternatif digunakan pada

pasien yang sadar. Ada juga perbedaan sensitivitas (mempertahankan

pengangkatan kepala > kekuatan inspirasi > kapasitas vital > volume tidal).

Karenanya, end-points pemulihan yang diinginkan adalah respons tetani selama 5

detik dengan stimulus 100 Hz pada pasien teranestesi, atau mempertahankan

pengangkatan kepala pada pasien yang sadar. Jika tidak ada satupun syarat

tersebut, pasien harus tetap diintubasi dan ventilasi dipertahankan.

Inhibitor Kolinesterase Spesifik

Neostigmin

Struktur Fisik

Neostigmin terdiri dari struktur karbamat dan kelompok amonium

kuaterner. Karbamat dapat berikatan kovalen dengan asetilkolinesterase.

Amonium kuarterner menyebabkan strukturnya tidak larut lemak, sehingga tidak

dapat melewati sawar darah otak.

Dosis & Pengemasan

Dosis maksimal yang direkomendasikan adalah 0,08 mg/kg (sampai 5 mg

pada dewasa), tetapi jumlah yang lebih kecil sudah mencukupi. Neostigmin

biasanya dikemas dalam larutan 1mg/mL sebanyak 10 mL, juga tersedia

konsentrasi 0,5 dan 0,25 mg/mL.

Pertimbangan Klinis

Dampak neostigmin (0,04 mg/kg) tampak dalam 5-10 menit, memuncak

setelah 10 menit, dan bertahan selama sekitar 1 jam. Jika tidak terjadi

Page 8: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

pembalikkan penuh dalam 10 menit setelah diberikan dosis 0,08 mg/kg, waktunya

mungkin bervariasi tergantung agen non-depolarisasi yang digunakan dan

intensitas hambatan yang dilawan. Dalam prakteknya, banyak klinisi

menggunakan dosis 0,04 mg/kg jika hambatan nya ringan-sedang, dan dosis 0,08

mg/kg jika paralisis berat. Anak dan pasien usia lanjut tampaknya lebih sensitif

terhadap dampaknya, awitan pembalikkan lebih cepat dan membutuhkan dosis

lebih kecil. Durasi kerjanya diperpanjang pada pasien geriartri. Efek samping

muskarinik diminimalisir dengan pemberian agen antikolinergik sebelum atau

setelahnya. Awitan kerja glikopirolat (0,2 mg glikopirolat setiap 1 mg neostigmin)

sesuai dengan neostigmin dan berkaitan dengan insidensi takikardi yang lebih

rendah, daripada dengan pemberian atropin (0,4 mg atropin setiap 1 mg

neostigmin). Telah dilaporkan bahwa neostigmin dapat melintasi plasentayang

mengakibatkan bradikardi pada fetus. Karenanya, atropin mungkin merupakan

pilihan anti kolinergik yang lebih baik daripada glikopirolat pada wanita hamil

yang diberikan neostigmin. Neostigmin juga digunakan untuk menerapi

miasthenia gravis, atonia VU, dan ileus paralitik. Neostigmin (50-100 µg)

digunakan sebagai tambahan anestesi intrathekal untuk memperpanjang hambatan

sensorimotorik, yang mungkin diakibatkan penguraian asetilkolin spinal. Akan

tetapi, efek samping yang mungkin terjadi, mual muntah, inkontinensia fekal,

pemanjangan waktu di ruang pemulihan, dan bradikardi yang resisten terhadap

pemberian atropin terjadi pada dosis yang lebih tinggi (200 µg).

Piridostigmin

Struktur Fisik

Piridostigmin secara struktural mirip dengan neostigmin, kecuali amonium

kuarterner dimasukkan dalam cincin fenol. Piridostigmin memiliki ikatan kovalen

neostigmin terhadap asetilkolinesterase dan sifat tidak larut lemaknya.

Dosis & Pengemasan

Piridostigmin sebanding dengan potensi 20% neostigmin, dan dapat

diberikan sampai 0,4 mg/kg (pada dewasa total 20 mg). tersedia dalam kemasan 5

mg/mL.

Pertimbangan Klinis

Page 9: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

Awitan kerja piridostigmin lebih lambat (10-15 menit) dan durasinya

sedikit lebih panjang (> 2jam). Glikopirolat (0,05 mg per 1 mg piridostigmin)

atau atropin (0,1 mg per 1 mg piridostigmin) harus diberikan untuk mencegah

bradikardia. Glikopirolat lebih disukai karena awitan kerjanya lebih lambat

sehingga lebih sesuai dengan piridostigmin, dan dengan resiko takikardi lebih

sedikit.

Edrofonium

Struktur Fisik

Tidak memiliki kelompok karbamat, edrofonium berikatan non-kovalen

dengan enzim asetilkolinesterase. Kelompok amonium kuarterner membatasi

kelarutan lemak.

Dosis & Pengemasan

Edrofonium 10% kurang poten dibandingkan neostigmin. Dosis yang

direkomendasikan sebesar 0,5-1 mg/kg. Edrofonium disediakan dalam bentuk

kombinasi dengan atropin (10 mg edrofonium dan 0,14 mg atropin/ mL)

Pertimbangan Klinis

Edrofonium memiliki onset kerja paling cepat (1-2 menit) dan durasi kerja

paling pendek dari semua inhibitor kolinesterase. Dosis lebih tinggi akan

memperpanjang durasi kerjanya sampai melebihi 1 jam. Pasien dengan usia

sangat muda dan sangat tua tidak lebih sensitif terhadap efeknya (tidak seperti

pada neostigmin). Edrofonium mungkin tidak seefektif neostigmin dalam

membalikkan proses hambatan neuromuskuler dalam, tetapi lebih efektif dalam

menghambat mivacurium. Pada dosis yang sebanding, efek muskarinik

edrofonium kurang nyata jika dibandingkan dengan neostigmin atau

piridostigmin, sehingga anti kolinergik yang dibutuhkan hanya setengahnya.

Awitan kerjanya seimbang dengan atropin (0,014 mg atropin untuk 1 mg

edrofonium). Walaupun glikopirolat (0,007 mg per 1 mg edrofonium) juga dapat

digunakan, sebaiknya diberikan beberapa menit sebelum edrofonium untuk

menghindari kemungkinan terjadinya bradikardia.

Fisostigmin

Struktur Fisik

Page 10: 180531030 BAB 10 Inhibitor Kolinesterase

Fisostigmin adalah amina tersier, memiliki kelompok karbamat, tetapi

tidak memiliki amonium kuarterner. Karenanya, agen ini larut lemak dan

merupakan satu-satunya inhibitor kolinesterase yang dapat melewati sawar darah

otak.

Dosis & Pengemasan

Dosis fisostigmin sebesar 0,01-0,03 mg/kg. dikemas dalam solusi dengan

konsentrasi 1 mg/mL.

Pertimbangan Klinis

Kelarutan lemak dan kemampuannya memasuki SSP membatasi kegunaan

fisostigmin sebagai agen pembalik untuk hambatan non-depolarisasi, tetapi efektif

dalam terapi toksisitas anti kolinergik sentral yang disebabkan overdosis atropin

dan skopolamin. Sebagai tambahan, fisostigmin membalikkan depresi SSP dan

delirium yang berhubungan dengan penggunaan benzodiazepin dan anestesi

inhalasi. Fisostigmin (0,04 mg/kg) terbukti efektif dalam pencegahan menggigil

pascaoperasi. Dapat melawan secara parsial depresi nafas yang diakibatkan

morfin, mungkin karena morfin melawan pelepasan asetilkolin di otak. Efek ini

bersifat sementara, dan dosis lanjutan mungkin diperlukan. Bradikardia jarang

terjadi pada jangkauan dosis yang direkomendasikan, tetapi perlu dipersiapkan

atropin atau glikopirolat. Karena glikopirolat tidak melintasi sawar darah otak,

tidak dapat membalikkan efek fisostigmin di SSP. Kemungkinan efek samping

muskarinik lainnya adalah salivasi berlebihan, muntah, dan kejang. Berkebalikan

dengan inhibitor kolinesterase lainnya, fisostigmin dimetabolisme hampir

menyeluruh oleh esterase plasma, sehingga ekskresi melalui ginjalnya hampir

tidak bermakna.