16646708 karl raimund popper

Upload: maulidha-dewi

Post on 05-Apr-2018

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    1/10

    Epistemologi Konjektur dan FalsikasionismePopper

    A. Biografi Popper

    Karl Raimund Popper adalah seorang filosof sains keturunan Inggris-

    Austria. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal Juli 1902 dan kemudian meninggal pada

    Agustus 1994. Dia anak ketiga dan kedua kakaknya adalah perempuan, Bapaknya

    Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor hukum dari University of

    Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff adalah seorang ahli musik.

    Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup

    variatif dan terkesan menjadi seorang yanganti terhadap kemapanan. Hal ini dapat

    dilihat dari beberapa indikasi yaitu;Pertama, pada usia 16 tahun Popper

    meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang

    disajikan sangat membosankan.Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas

    Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas

    tersebut.Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Dalam

    pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar

    kebenaran1.

    Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham

    sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya sebagai

    pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun. Sebagaimana

    dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada

    Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebutbahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa2. Hal

    ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan

    marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates

    Saya tahu bahwa saya tidak tahu. Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan

    obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat

    1Diunduh dari Priyanto,Falsificationism Karl Popper, http://insancita.4t.com2

    Wiliam Berkson & Jhon Wettersten,Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper,terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), h. 30.

    1

    http://insancita.4t.com/http://insancita.4t.com/
  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    2/10

    keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar

    matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar doctor

    filsafat (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentangZur Methodenfrage der

    Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran)3.

    Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl

    Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori

    kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah

    indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan

    verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-teori

    kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi

    dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi

    juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-

    1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan

    serangkaian kuliah di Harvard.

    Meski pun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari

    anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna

    Circle)4. Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan

    tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia

    banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor

    Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam

    terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita

    lihat selanjutnya.

    Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak

    menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia.

    Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain :Logic der Forschung(logika

    penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris

    pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di Selandia

    3Muslih,Filsafat Ilmu, h, 105.4Lingkaran Wina adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti

    dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Didirikan oleh Moritz Schlick (1882-1936)pada tahun 1974, dengan anggota antara lain Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945),

    Viktor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902-?) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Mereka

    merupakan penganut positivisme yang dikembangkan oleh August Comte, sehingga mereka diakujuga dengan neo-positivisme.

    2

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    3/10

    Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun 1957,dan

    The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1966.

    Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refutation;

    The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi tentang problematika

    pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian

    buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objective Knowledge; An

    Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula

    teorinya tentang Dunia 3, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis

    merupakan asal ilmu pengetahuan5.

    B. Konjektur: Membangun Hipotesis untuk Objektifitas

    Konjektur secara bahasa berarti berarti dugaan, pra-konsepsi atau dapat juga

    disebut dengan asumsi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu yang harus ada

    sebelum seseorang melakukan analisa terhadap suatu objek permasalahan. Dalam

    memberikan melakukan penelitian atau mencari jawaban terhadap satu masalah,

    seseorang mesti memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesanya (sebelum

    penelitian dilakukan). Sehingga Popper menyusun dua asas dalam teorinya.

    Pertama, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak

    memihak, tetapi justru harus fokus terhadap satu persoalan. Peneliti harus bertanya:

    apa masalahnya? Apa solusi alternatifnya? Bagaimana kekuatan dan

    kelemahannya?Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi tidak boleh

    merupakan usaha yang menghindari dari fakta yang ada - hanya memilah fakta

    yang mendukung teori yang diyakini akan tetapi mestilah berpegang pada prinsip

    penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam (bold

    conjecture and severe critic)6.

    Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan

    kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan

    ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight

    individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi

    5Lihat Anthony O'Hear (ed.),Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press

    Syndicate of The University of Cambridge, 1995), h. 289-290.6Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar , h. 33.

    3

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    4/10

    tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan

    layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah7.

    Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang

    peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenkan dia telah terikat oleh

    teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian

    yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan bahwa

    objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari pra-konsepsi. Malah

    sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan

    secara kritis membandingkan dengan teori lain.

    Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu

    sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi

    persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi

    dan membangun kemapanan teori baru.

    Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara

    menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga adalah upaya untuk

    memunculkan jawanban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha

    penolakan terhadap pra-konsepsi/dugaan (konjektur). Apa bila dugaan tersebut

    tidak tertolak maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang

    tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya

    menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran8.

    C. Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo

    Scince)

    Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-

    metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia

    bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode

    ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi

    yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar

    oleh para filsuf di linkaran Wina.

    7

    Muhadjir,Filsafat Ilmu, h. 136.8Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 34.

    4

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    5/10

    Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat focus

    bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung

    makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau

    antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan

    tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa

    sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui

    observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya

    berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta9.

    Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah

    demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami

    dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. (Muslih, 108).

    Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi

    pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang

    dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa

    ungkapan yang tidak bersifat ilmiah tidak dapat dibukitkan dengan observasi dan

    eksprimen memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak

    munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam mau pun

    sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan

    eksprimen terhadapnya.

    Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight

    individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian

    berujung kepada proses generalisasi induksi. Sebagai contoh, kemampuan

    manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan

    atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam

    tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal

    yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang

    sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.

    Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna

    ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksi-

    verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam

    9 Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 30.

    5

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    6/10

    kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi

    bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada

    memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya segala sesuatu

    memiliki arti karena ia dapat dipahami.

    Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi

    dan verifikasi, antara lain:

    1. Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk

    menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam

    ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya

    metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian

    besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.

    2. Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak

    bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu

    pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis

    tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi

    bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.

    3. Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori,

    lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika

    tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori?10

    Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan

    sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah.

    Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga

    mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh

    tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu

    teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori

    tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap

    particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah

    teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.

    Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi

    yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi

    10Muslih,Filsafat Ilmu, h, 108.

    6

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    7/10

    sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa

    berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih

    dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan

    demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini

    tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.

    Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah

    demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran

    ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang

    sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.

    D. Falsifikasi: Dugaan dan Penolakan (Conjectures & Refutations)

    Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata

    falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Katafalsify itu

    sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifatfalse yang berarti

    salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'.

    Adapunfalsification adalah bentuk kata benda dari kata kerjafalsify.

    Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifatfalse diubah menjadi kata kerja dengan

    menambahkan akhiran ify sehingga menjadifalsify dan dibendakan dengan

    menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadifalsification yang

    dindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.11

    Facere merumuskan beberapa pengertian diantaranya:

    1. Cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan

    menggunakan pelawannya, ini dilakukan dengan membandingkan asumsi

    bersangkutan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen, falsifikasi

    didasarkan pada postulat (dalil) logika formal, postulat itu berbunyi bahwa

    proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka

    pernyataan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan-pernyataan

    yang digunakan itu didasarkan pada observasi.

    2. Berdasarkan postulat logis ini Popper melawan prinsip verifikasi

    kaum neo-positivisme dengan prinsip falsifikasi, Popper menafsirkan

    prinsip falsifikasi bukan sebagai cara untuk menentukan komprehensibilitas

    11Diunduh dari Ulum Bondowoso,Karl Popper, http://ulumbondowoso.blogspot.com

    7

    http://ulumbondowoso.blogspot.com/http://ulumbondowoso.blogspot.com/
  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    8/10

    dari suatu pernyataan ilmiah, tetapi sebagai suatu metode yang membedakan

    antara ilmiah dan tidak ilmiah, Popper menyatakan bahwa hanya

    pernyataan-pernyataan yang dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi

    adalah ilmiah sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan prinsip

    falsifikasi tidak ilmiah.12.

    Falsifikasi adalah lawan dari verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para

    ilmuwan dan filosof yang menjadi anggota Lingkaran Wina yang memegang teguh

    metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya

    pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar mempercayai empirisme.

    Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper menjawab

    persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu.Dalam

    hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan

    selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau

    bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces.

    Menurut Popper, Manusia dalam memperoleh pengetahuanberdasarkan

    rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang

    mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh

    manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang

    dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak

    dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis

    bergantung pada prinsip-prinsip ini.13

    Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari

    insightindividual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian

    pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat

    dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful).

    Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan

    tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan

    hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan criteria

    ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji

    12Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996), h.22713

    Prinsip-prinsip ini diikenalkan dengan istilah substansi, Rene Descartes menyebutnyadengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat-pusat kesadaran (monade).

    8

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    9/10

    dalam lingkup; bias diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa

    disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia

    menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen

    untuk disangakal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan.

    Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari

    pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip

    falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut.

    Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori tersebut,

    maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan

    ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus

    menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak

    akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang

    dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk

    tercapai kebenaran sejati.

    Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya

    khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika

    Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan

    demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar

    diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma

    menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang

    masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk terus

    dikritisi.

    Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah

    diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan

    dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk

    mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper,

    proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan

    kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat bertahan

    dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, ini

    juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of corroboration)14. Teori

    14 Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 70.

    9

  • 8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper

    10/10

    inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga dipandang sebagai Filsuf

    sekaligus Epitemolog Rasional-Kritis.

    Daftar Pustaka

    Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996).

    Berkson, Wiliam & Wettersten, Jhon,Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu KarlPopper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003).

    Muhadjir, Noeng,Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post

    Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001).

    Muslih, Mohamad,Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan

    Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005)

    O'Hear, Anthony (ed.),Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press

    Syndicate of The University of Cambridge, 1995).

    Yusuf, Akhryar. Falsifikasionisme Karl Raimund Popper dalam Materi Kuliah

    Filsafat Ilmu dan Metodologi. 2011

    http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011

    http://insancita.4t.com/15/11/2011

    10

    http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011http://insancita.4t.com/15/11/2011http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011http://insancita.4t.com/15/11/2011