16646708 karl raimund popper
TRANSCRIPT
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
1/10
Epistemologi Konjektur dan FalsikasionismePopper
A. Biografi Popper
Karl Raimund Popper adalah seorang filosof sains keturunan Inggris-
Austria. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal Juli 1902 dan kemudian meninggal pada
Agustus 1994. Dia anak ketiga dan kedua kakaknya adalah perempuan, Bapaknya
Simon Sigmund Carl Popper, adalah seorang doktor hukum dari University of
Vienna, yang beragama yahudi. Ibunya Jenny Schiff adalah seorang ahli musik.
Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup
variatif dan terkesan menjadi seorang yanganti terhadap kemapanan. Hal ini dapat
dilihat dari beberapa indikasi yaitu;Pertama, pada usia 16 tahun Popper
meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang
disajikan sangat membosankan.Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas
Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas
tersebut.Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Dalam
pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar
kebenaran1.
Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham
sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikkan dirinya sebagai
pengikut paham komunis. Tepatnya di saat ia berusia 17 tahun. Sebagaimana
dijelaskan oleh Popper dalam autobiografinya, pada awalnya ia sangat tertarik pada
Marxisme. Namun, kemudian ia menyadari betapa bahayanya paham tersebutbahkan dipandang sangat tidak bertanggung jawab terhadap kebaikan massa2. Hal
ini menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan
marxisme. Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates
Saya tahu bahwa saya tidak tahu. Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan
obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat
1Diunduh dari Priyanto,Falsificationism Karl Popper, http://insancita.4t.com2
Wiliam Berkson & Jhon Wettersten,Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu Karl Popper,terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003), h. 30.
1
http://insancita.4t.com/http://insancita.4t.com/ -
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
2/10
keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar
matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar doctor
filsafat (Ph.D) pada tahun 1928 dengan disertasi tentangZur Methodenfrage der
Denpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran)3.
Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl
Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori
kritis. Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah
indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan
verifikasinya. Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-teori
kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi
dengan falsifikasinya. Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi
juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-
1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan
serangkaian kuliah di Harvard.
Meski pun berada di Wina akan tetapi Popper tidak tergolong bagian dari
anggota mazhab Filsafat Wina atau dikenal juga dengan Lingkaran Wina (Vienna
Circle)4. Bukan saja ia terlepas dari keanggotaan dari gerakan tersebut, ia bahkan
tidak pernah menghadiri pertemuan-pertemuan yang mereka adakan. Meski pun ia
banyak kenal dan sering melakukan kontak dengan aktifis mereka, seperti Viktor
Kraft dan Herbert. Popper sendiri menyebut dirinya sebagai kritikus paling tajam
terhadap kelompok lingkaran Wina, dimana kritikan yang ia kemukan akan kita
lihat selanjutnya.
Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak
menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia.
Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain :Logic der Forschung(logika
penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam Bahasa Inggris
pada tahun 1972 dengan judul The Logic of Scientific Discovery. Ketika di Selandia
3Muslih,Filsafat Ilmu, h, 105.4Lingkaran Wina adalah suatu kelompok diskusi yang terdiri dari para sarjana ilmu pasti
dan alam yang berkedudukan di kota Wina, Austria. Didirikan oleh Moritz Schlick (1882-1936)pada tahun 1974, dengan anggota antara lain Hans Hahn (1880-1934), Otto Neurath (1882-1945),
Viktor Kraft (1880-1975), Harbert Feigl (1902-?) dan Rudolf Carnap (1891-1970). Mereka
merupakan penganut positivisme yang dikembangkan oleh August Comte, sehingga mereka diakujuga dengan neo-positivisme.
2
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
3/10
Baru Popper menulis The Poverty of Historicism diterbitkan pada tahun 1957,dan
The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1966.
Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refutation;
The Growth of Scientific Knowledge (1972). Buku ini berisi tentang problematika
pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian
buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objective Knowledge; An
Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula
teorinya tentang Dunia 3, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis
merupakan asal ilmu pengetahuan5.
B. Konjektur: Membangun Hipotesis untuk Objektifitas
Konjektur secara bahasa berarti berarti dugaan, pra-konsepsi atau dapat juga
disebut dengan asumsi. Konjektur dipandang oleh Popper sesuatu yang harus ada
sebelum seseorang melakukan analisa terhadap suatu objek permasalahan. Dalam
memberikan melakukan penelitian atau mencari jawaban terhadap satu masalah,
seseorang mesti memiliki konjektur (dugaan) dalam hipotesanya (sebelum
penelitian dilakukan). Sehingga Popper menyusun dua asas dalam teorinya.
Pertama, penyelidikan tidak boleh dimulai dengan usaha observasi yang tidak
memihak, tetapi justru harus fokus terhadap satu persoalan. Peneliti harus bertanya:
apa masalahnya? Apa solusi alternatifnya? Bagaimana kekuatan dan
kelemahannya?Kedua, usaha untuk menemukan sebuah solusi tidak boleh
merupakan usaha yang menghindari dari fakta yang ada - hanya memilah fakta
yang mendukung teori yang diyakini akan tetapi mestilah berpegang pada prinsip
penggabungan antara dugaan yang berani dengan kritisisme yang tajam (bold
conjecture and severe critic)6.
Bahkan perkembangan ilmu pengetahuan pada dasarnya berlandaskan
kepada konjektur yang dimiliki oleh para peneliti. Menurut Popper perkembangan
ilmu dimulai dari usulan hipotesis yang imajinatif, yang merupakan insight
individual dan terprediksikan apakah akan menjadi teori. Hipotesis imajinasi
5Lihat Anthony O'Hear (ed.),Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press
Syndicate of The University of Cambridge, 1995), h. 289-290.6Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar , h. 33.
3
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
4/10
tersebut lebih berupa grand theory yang nantinya akan diuji untuk menentukan
layak atau tidaknya ia dijadikan teori yang ilmiah7.
Teori pra-konsepsi tentunya menimbulkan pertanyaan bahwa seorang
peneliti akan terlepas dari sikap objektifitasnya. Dikarenkan dia telah terikat oleh
teori yang ia yakini, tentunya hal ini akan mempengaruhi proses dan hasil penelitian
yang ia hadapi. Berkenaan dengan hal ini, Karl Popper mengatakan bahwa
objektifitas seorang peneliti tidak harus terbebas dari pra-konsepsi. Malah
sebaliknya objektifitas justru diperoleh dengan membuat jelas pra-konsepsi dan
secara kritis membandingkan dengan teori lain.
Pra-konsepsi (konjektur) memiliki peran penting dalam penelitian yaitu
sebagai upaya artikulasi terhadap persoalan yang diteliti. Dengan mengartikulasi
persolaan kita memiliki peluang untuk membandingkan dengan teori, mengkritisi
dan membangun kemapanan teori baru.
Ringkasnya, manusia pada dasarnya melakukan proses belajar dengan cara
menduga dan melakukan penolakan. Proses menduga adalah upaya untuk
memunculkan jawanban sementara (konjektur), selanjutnya melakukan usaha
penolakan terhadap pra-konsepsi/dugaan (konjektur). Apa bila dugaan tersebut
tidak tertolak maka ia diyakini dapat dipandang sebagai teori sementara yang
tentunya masih membuka peluang untuk terus diuji dan dibantah dalam upaya
menuju kesempurnaan pengetahuan dan kebenaran8.
C. Demarkasi antara Ilmu Sejati (True Science) dan Ilmu Semu (Pseudo
Scince)
Seperti telah disinggung di atas, Karl Popper bereaksi terhadap metode-
metode filsafat ilmu yang telah lama berkembang sebelumnya. Disatu pihak ia
bereaksi terhadap metode induksi yang 'mempatenkan' dirinya sebagai metode
ilmiah yang valid, dan di lain pihak ia juga berhadapan dengan metode verifikasi
yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf positivisme, khususnya pengaruh yang ditebar
oleh para filsuf di linkaran Wina.
7
Muhadjir,Filsafat Ilmu, h. 136.8Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 34.
4
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
5/10
Untuk membantah kedua metode tersebut, Karl Popper mengangkat focus
bahasan dalam membedakan/memisahkan antara pernyataan yang mengandung
makna (meaningful) dan pernyataan yang tidak bermakna (meaningless), atau
antara sains sejati (true science) dan sains semu (pseudo sains). Dalam pandangan
tradisional tentang perbedaan antara sains sejati dan sains semu adalah, bahwa
sains sejati berisikan hukum-hukum yang kebenarannya bisa dibuktikan melalui
observasi (pengamatan) dan eksprimen (percobaan). Sebaliknya sains semu hanya
berisikan fantasi yang tidak terbukti dengan fakta9.
Pemisahan antara kedua macam sains di atas dikenal dengan istilah
demarkasi atau dapat juga diartikan dengan garis batas, dalam hal ini dipahami
dengan ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah sebuah pengetahuan. (Muslih, 108).
Persoalan demarkasi merupakan titik tolak Popper untuk membangun metodologi
pengetahuannya. Ia menolak pandangan tradisional mengenai demarkasi yang
dikembangkan oleh kalangan tradisional, dikarenakan Popper memandang bahwa
ungkapan yang tidak bersifat ilmiah tidak dapat dibukitkan dengan observasi dan
eksprimen memiliki kemungkinan sangat bermakna (meaningful). Berapa banyak
munculnya teori-teori dalam ilmu pengetahuan, baik dalam ilmu alam mau pun
sosial, diawali oleh ungkapan-ungkapan yang imajinatif tanpa dapat diajukan
eksprimen terhadapnya.
Hal ini disebabkan bahwa ungkapan imajinatif atau disebut juga insight
individual bukan berasal dari pengamatan partikular (observasi) yang kemudian
berujung kepada proses generalisasi induksi. Sebagai contoh, kemampuan
manusia untuk membangun peradaban dan teknologi banyak lahir dari kemampuan
atau ilham yang tidak diperoleh dengan metode induksi, akan tetapi muncul dalam
tataran umum terlebih dahulu kemudian menjelma secara lebih nyata dalam hal-hal
yang partikular. Dengan demikian, Popper lebih menyetujui metode deduksi yang
sejatinya merupakan metode dalam mendapatkan ilmu pengetahuan.
Dengan diketengahkannya metode deduksi maka membuka kembali makna
ilmiah terhadap kajian-kajian yang selama ini disingkirkan oleh metode induksi-
verifikasi. Kajian dalam teologi dan metafisika dapat dihadirkan kembali dalam
9 Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 30.
5
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
6/10
kerangka ilmu pengetahuan. Maka tidak serta merta seorang peneliti menjustifikasi
bahwa suatu teori tidak ilmiah atau pun ilmiah hanya dengan berpatokan pada
memiliki arti atau tidak memiliki arti, dikarenakan sejatinya segala sesuatu
memiliki arti karena ia dapat dipahami.
Lebih mendasar, Popper mengungkapkan kelemahan dalam metode induksi
dan verifikasi, antara lain:
1. Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk
menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. hukum-hukum umum dalam
ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena, seperti halnya
metafisika, harus diakui seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian
besar terdiri dari hukum-hukum umum) adalah tidak bermakna.
2. Berdasarkan prinsip verifikasi, metafisika disebut tidak
bermakna, tetapi dalam sejarah dapat disaksikan bahwa acap kali ilmu
pengetahuan lahir dari pandangan-pandangan metafisis atau bahkan mistis
tentang dunia. Suatu ungkapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi
bisa juga benar, meski pun baru menjadi ilmiah kalau sudah diuji dan dites.
3. Untuk menyelidiki bermakna tidaknya suatu ungkapan atau teori,
lebih dulu harus bisa dimengerti. Sehingga bagaimana bisa dimengerti jika
tidak bermakna, lantas apa yang disebut teori?10
Ketiga hal di atas menjadi landasan oleh Popper untuk melakukan
sanggahan terhadap verifikasi yang diklaim sebagai ciri utama teori ilmiah.
Verifikasi hanya berupaya untuk menunjukkan kelebihan dari satu teori sehingga
mengkaburkan sisi keburukan dan kesalahan yang dikandungnya, sebagai contoh
tes atau uji terhadap teori hanya diberlakukan untuk membuktikan benarnya suatu
teori dengan mengedepankan contoh-contoh yang mendukung kebenaran teori
tersebut (proses ini berlangsung dengan metode induksi-generalisasi terhadap
particular yang ada). Metode ini tentunya hanya menampilkan sisi baik dari sebuah
teori berdasarkan akumulasi kebenaran yang sudah terencana.
Sikap seperti ini merupakan karakter dari verifikasi-induktif, di satu sisi
yang paling terlihat akan menunjukkan kebenaran suatu teori. Sebagai ilustrasi
10Muslih,Filsafat Ilmu, h, 108.
6
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
7/10
sederhana, seorang peneliti menyampaikan hasil penelitiannya bahwa seluruh angsa
berwarna putih, kemudian ia memperlihatkan 100 ekor angsa yang berwarna putih
dan mengabaikan angsa-angsa lain yang tidak berwarna putih. Sehingga dengan
demikian diakui secara ilmiah bahwa semua angsa berwarna putih. Hasil seperti ini
tentunya merupakan kebenaran semu dan palsu.
Melihat hal ini, Popper mengemukakan solusi baru terhadap masalah
demarkasi (pemisahan antara ilmu sejati dan ilmu semu) dan ciri utama kebenaran
ilmiah. Popper menaikkan ke permukaan metode deduksi dan teori falsifikasi yang
sejatinya merupakan karakter ilmiah suatu teori.
D. Falsifikasi: Dugaan dan Penolakan (Conjectures & Refutations)
Baik secara morfologis maupun semantik, perlu diuraikan bagaimana kata
falsifikasi. Falsifikasi secara otomatis terkandung pada falsibilitas. Katafalsify itu
sendiri adalah kata kerja jadian yang terbentuk dari kata sifatfalse yang berarti
salah dan ditambahkan kepadanya akhiran ify yang berarti menyebabkan 'menjadi'.
Adapunfalsification adalah bentuk kata benda dari kata kerjafalsify.
Dengan demikian jelaslah bahwa kata sifatfalse diubah menjadi kata kerja dengan
menambahkan akhiran ify sehingga menjadifalsify dan dibendakan dengan
menambahkan akhiran action sehingga ia berubah menjadifalsification yang
dindonesiakan menjadi falsifikasi yang berarti 'hal pembuktian salah'.11
Facere merumuskan beberapa pengertian diantaranya:
1. Cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan
menggunakan pelawannya, ini dilakukan dengan membandingkan asumsi
bersangkutan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen, falsifikasi
didasarkan pada postulat (dalil) logika formal, postulat itu berbunyi bahwa
proposisi teoritis tidak terbukti bila pendapat sebaliknya turun dari aneka
pernyataan yang cocok satu sama lain, kendatipun pernyataan-pernyataan
yang digunakan itu didasarkan pada observasi.
2. Berdasarkan postulat logis ini Popper melawan prinsip verifikasi
kaum neo-positivisme dengan prinsip falsifikasi, Popper menafsirkan
prinsip falsifikasi bukan sebagai cara untuk menentukan komprehensibilitas
11Diunduh dari Ulum Bondowoso,Karl Popper, http://ulumbondowoso.blogspot.com
7
http://ulumbondowoso.blogspot.com/http://ulumbondowoso.blogspot.com/ -
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
8/10
dari suatu pernyataan ilmiah, tetapi sebagai suatu metode yang membedakan
antara ilmiah dan tidak ilmiah, Popper menyatakan bahwa hanya
pernyataan-pernyataan yang dapat dibuktikan dengan prinsip falsifikasi
adalah ilmiah sedangkan yang tidak dapat dibuktikan dengan prinsip
falsifikasi tidak ilmiah.12.
Falsifikasi adalah lawan dari verifikasi. Istilah verifikasi dipakai oleh para
ilmuwan dan filosof yang menjadi anggota Lingkaran Wina yang memegang teguh
metode induksi dan yang semisal dengan mereka. Sebaliknya, Popper tidak percaya
pada induksi sama sekali meskipun dia benar-benar mempercayai empirisme.
Sebelum lebih jauh, maka akan diperlihatkan bagaimana Popper menjawab
persoalan demarkasi dan mengangkat falsifikasi dalam ranah filsafat ilmu.Dalam
hal ini, akan dikemukakan bagaimana seorang memperoleh pengetahuan dan
selanjutnya pengetahauan tersebut dapat diputuskan ilmiah atau tidak ilmiah, atau
bagian dari true sciences atau bagian dari pseudo scinces.
Menurut Popper, Manusia dalam memperoleh pengetahuanberdasarkan
rasio yang ia miliki. Pandangan ini sesuai dengan pandangan kaum rasionalis yang
mengakui bahwa ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh
manusia. Dari prinsip-prinsip ini diperoleh pengetahuan deduksi yang ketat tentang
dunia. Prinsip-prinsip pertama ini bersumber dalam budi manusia dan tidak
dijabarkan pengalaman, bahkan apa yang dialami dalam pengalaman emprisis
bergantung pada prinsip-prinsip ini.13
Dengan demikian, pengetahuan muncul dalam diri seseorang atau dari
insightindividual (pengetahuan terdalam seseorang). Sehingga dengan demikian
pengetahauan dalam tataran teologis, metafisis bahkan mistis sekalipun dapat
dianggap sebagai ungkapan (pengetahuan) yang bermakna (meaningful).
Persoalan selanjutnya adalah bagaimana untuk membuktikan pengetahuan
tersebut, apakah ia merupakan teori ilmiah atau ilmu sejati, atau ia tidak ilmiah dan
hanya merupakan pengetahuan semu belaka. Untuk ini Popper mengajukan criteria
ilmiah tidaknya pengetahuan adalah kemampuannya atau kualitasnya untuk diuji
12Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996), h.22713
Prinsip-prinsip ini diikenalkan dengan istilah substansi, Rene Descartes menyebutnyadengan ide bawaan (innate ideas), Leibniz menyebutnya dengan pusat-pusat kesadaran (monade).
8
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
9/10
dalam lingkup; bias diuji (testability), bisa disalahkan (falsibility) dan bisa
disangkal (refutability). Maka dengan konsep keterujian dan penolakan ia
menjawab persoalan demarkasi, apabila teori dapat diuji dan memenuhi kompenen
untuk disangakal maka ia telah memenuhi syarat keilmuan.
Perlu ditekankan bahwa tes terhadap teori bukan berorientasi mencari
pendukung kebenaran suatu teori akan tetapi tes dilakukan dengan prinsip
falsifikasi, yaitu upaya untuk membantah, menyangkal dan menolak teori tersebut.
Maka rangkaian tes berisi komponen-komponen penolakan terhadap teori tersebut,
maka Popper lebih memilih hipotesa untuk menyebut teori yang diuji, dikarenakan
ia akan selamanya hanya berupa hipotesa (dugaan sementara) yang akan terus
menerus diuji. Inilah prinsip ilmu sejati, dan tentunya seorang ilmuwan sejati tidak
akan takut untuk menghadapi penolakan, bantahan, kritik, terhadap hipotesa yang
dikemukakannya. Bahkan sebaliknya, ia akan terus mengharapkan sanggahan untuk
tercapai kebenaran sejati.
Karakter berpikir Popper banyak dilandaskan oleh pengamatannya
khususnya dalam bidang ilmu alam, dimana pada masanya kemapanan fisika
Newton akhirnya dapat digugurkan oleh teori relativitas Einstein. Maka dengan
demikian ilmu mencapai hasil yang terus mendekati kebenaran. Dan secara sadar
diakui bahwa hal ini berawal dari pengetahuan terdalam manusia yang menjelma
menjadi suatu hipotesa, kemudian mengalami kritikan terus-menerus sepanjang
masa sehingga memunculkan hipotesa baru yang nantinya juga terbuka untuk terus
dikritisi.
Pandangan ini menunjukkan bahwa proses pengembangan ilmu bukanlah
diawali dengan membantah setiap pengetahuan sebelum diuji, dan juga bukan
dengan proses akumulasi, dalam arti mengumpulkan bukti-bukti positif untuk
mendukung suatu teori, sebagaimana pandangan neo-positivisme. Bagi Popper,
proses pengembangan ilmu adalah dengan jalan eliminasi terhadap kemungkinan
kekeliruan dan kesalahan (error elimination). Semakin sebuah teori dapat bertahan
dari penyangkalan dan penolakan maka ia akan semakin kokoh dalam keilmuan, ini
juga disebut Popper sebagai teori pengokohan (theory of corroboration)14. Teori
14 Berkson & Wettersten,Psikologi Belajar, h. 70.
9
-
8/2/2019 16646708 Karl Raimund Popper
10/10
inilah yang kemudian mengantarkan Popper sehingga dipandang sebagai Filsuf
sekaligus Epitemolog Rasional-Kritis.
Daftar Pustaka
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta:PT Gramedia pustaka utama 1996).
Berkson, Wiliam & Wettersten, Jhon,Psikologi Belajar dan Filsafat Ilmu KarlPopper, terj. Ali Noer Zaman (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2003).
Muhadjir, Noeng,Filsafat Ilmu: Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme (Yogyakarta: Rakesarasin, 2001).
Muslih, Mohamad,Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, cet. Ke-2 (Yogyakarta: Belukar, 2005)
O'Hear, Anthony (ed.),Karl Popper: Philosophy and Problems, (Cambridge: Press
Syndicate of The University of Cambridge, 1995).
Yusuf, Akhryar. Falsifikasionisme Karl Raimund Popper dalam Materi Kuliah
Filsafat Ilmu dan Metodologi. 2011
http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011
http://insancita.4t.com/15/11/2011
10
http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011http://insancita.4t.com/15/11/2011http://ulumbondowoso.blogspot.com/15/11/2011http://insancita.4t.com/15/11/2011