159969748 preskas syok hipovolemik stase anestesi
DESCRIPTION
syokTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Syok hipovolemik merupakan kondisi medis atau bedah dimana terjadi
kehilangan cairan dengan cepat dan berakhir pada kegagalan beberapa fungsi
organ yang disebabkan oleh volume sirkulasi yang tidak adekuat dan berakibat
pada perfusi yang tidak adekuat. Keadaan yang paling sering menyebabkan syok
hipovelemik adalah akibat kehilangan darah dalam kurun waktu yang cepat (syok
hemoragik) seperti kehilangan darah akibat suatu trauma tajam atau perdarahan
gastrointestinal yang berat.
Prioritas pada penatalaksanaan pasien dengan syok hipovolemik adalah
untuk memastikan adekuasi ventilasi dan oksigenasi, mengendalikan perdarahan,
dan mengembalikan perfusi ke organ-organ vital. Berbagai cara dilakukan untuk
mengatasi perdarahan dan melakukan resusitasi untuk menggantikan kehilangan
cairan (darah) yang telah terjadi.
Komplikasi syok dapat menyebabkan berbagai masalah mulai dari depresi
sistem kardiorespirasi, gangguan koagulasi, gangguan sistem imun, dan bahkan
dapat menyebabkan kematian. Untuk itu, diperlukan pemahaman yang baik
mengenai penanganan syok hipovolemik.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik adalah terganggunya system sirkulasi akibat dari
volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini dapat terjadi akibat
perdarahan yang massif atau kehilangan plasma darah.
2.2 Etiologi Syok Hipovolemik
Penyebab tersering syok hipovolemik adalah kehilangan darah akibat
trauma termasuk kehilangan darah selama atau setelah pembedahan. Trauma yang
dimaksud dapat berupa trauma tajam (Penetrating Trauma) seperti fraktur pelvis
atau fraktur femur dan trauma tumpul seperti trauma tumpul abdomen (ruptur
hepar, spleen, dan perforasi organ berongga) maupun trauma tumpul dada (seperti
pneumothorax, hemothorax atau hemopericardium dan temponade). Ruptur
anuerisme aorta dan perdarahan gastrointestinal merupakan penyebab kedua
tersering dari syok hipovolemik.
Penyebab syok hipovolemik non –trauma termasuk diabetes mellitus yang
tidak terkontrol dan insufisiensi akut korteks adrenal yang menyebabkan
kehilangan cairan tubuh yang banyak melalui ginjal. Mual muntah hebat, diare,
dan luka bakar dapat menimbulkan kehilangan cairan plasma. Berikut adalah
tabel yang menggambarkan penyebab syok hipovolemik.
Tabel 2.1 Penyebab syok hipovolemik
Causes of Hypovolemic ShockLoss of Blood Internally- rupture of vessels, spleen,
liver, extrauterine pregnancyExternally- Trauma, gastrointestinal, pulmonary,renal blood loss
Loss of Plasma Burn Wound, gastrointestinal losses (diarrhea, ileus, pancreatitis)
Loss of Fluids and Electrolytes Gastrointestinal and renal losses
2
(uncontrolled diabetes mellitus, adrenocortical insufficiency)
Terkadang hemoptisis masif yang timbul akibat dari suatu tumor,
tuberculosis, infeksi jamur atau bronkietasis dapat menjadi penyebab syok
hipovolemik. Kehilangan darah merupakan penyebab yang esensial dari syok
hipovolemik namun trauma itu sendiri menyebabkan pelepasan dari mediator
inflamasi yang menyebabkan perburukan syok.
2.3 Patofisiologi Syok Hipovolemik
Tubuh manusia merespon perdarahan akut dengan mengaktivasi sistem
fisiologi utama yaitu sistem hematologi, kardiovaskuler, ginjal, dan sistem
neuroendokrin.
Sistem hematologi berespon terhadap kehilangan darah yang berat dan
akut dengan mengaktivasi kaskade koagulasi dan vasokonstriksi pembuluh darah
(melalui pelepasan tromboksan A2 lokal). Selain itu, platelet diaktivasi (melalui
pelepasan tromboksan A2 lokal) dan membentuk bekuan darah immatur pada
sumber perdarahan. Pembuluh darah yang rusak menghasilkan kolagen, yang
selanjutnya menyebabkan penumpukan fibrin dan menstabilkan bekuan darah.
Dibutuhkan waktu sekitar 24 jam untuk menyempurnakan fibrinasi dari bekuan
darah dan menjadi bentuk yang sempurna.
Sistem kardiovaskuler pada awalnya berespon terhadap syok hipovolemik
dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas miokard, dan
vasokonstriksi pembuluh darah perifer. Respon ini terjadi akibat peningkatan
pelepasan norepinefrin dan penurunan ambang dasar tonus nervus vagus (diatur
oleh baroreseptor di arcus caroticus, arcus aorta, atrium kiri, dan penbuluh darah
pulmonal). Sistem kardiovaskuler juga berespon dengan mengalirkan darah ke
otak, jantung, dan ginjal dengan mengurangi perfusi kulit, otot, dan traktus
gastrointestinal.
Sistem renalis berespon terhadap syok hipovolemik dengan peningkatan
sekresi renin dari apparatus juxtaglomeruler. Renin akan mengubah
angiotensinogen menjadi angiotensin I, yang selanjutnya akan dikonversi menjadi
angiotensin II di paru-paru dan hati. Angotensin II mempunyai 2 efek utama,
yang keduanya membantu perbaikan keadaan pada syok hipovolemik, yaitu
3
vasokonstriksi arteriol otot polos, dan menstimulasi sekresi aldosteron dari
korteks adrenal. Aldosteron bertanggungjawab pada reabsorbsi aktif natrium dan
akhirnya akan menyebabkan retensi air.
Sistem neuroendokrin berespon terhadap syok hipovolemik dengan
peningkatan Antidiuretik Hormon (ADH) dalam sirkulasi. ADH dilepaskan dari
glandula pituitari posterior sebagai respon terhadap penurunan tekanan darah
(dideteksi oleh baroreseptor) dan terhadap penurunan konsentrasi natrium (yang
dideteksi oleh osmoreseptor). Secara tidak langsung ADH menyebabkan
peningkatan reabsorbsi air dan garam (NaCl) pada tubulus distalis, duktus
kolektivus, dan lengkung Henle.
Patofisiologi dari syok hipovolemik telah tercakup dalam mekanisme
diatas. Mekanisme yang rumit tersebut efektif dalam memenuhi perfusi organ
vital pada kehilangan darah yang berat. Tanpa resusitasi cairan dan darah dan atau
koreksi pada keadaan patologi yang mendasari perdarahan akan mengakibatkan
berkurangnya perfusi jantung, dan kegagalan berbagai organ akan segera terjadi.
2.4 Manifestasi klinis Syok Hipovolemik
Syok hipovolemik membutuhkan diagnosa dini untuk mencegah
keterlambatan terapi. Resusitasi cairan intravena harus segera diberikan dengan
kanul besar. Perjalanan klinis pasien dengan syok hipovolemik ditentukan oleh
penyebab syok tersebut. Pasien dapat mengeluhkan haus, diaphoresis, dan nafas
yang pendek dan dangkal. Kesadaran umumnya tidak terganggu kecuali pada
syok berat pasien dapat menjadi apatis.
Diagnosa klinis untuk syok yaitu hipotensi dan gejala klinis dari iskemia
organ. Tanda klinis pasien syok dapat dikenali dari penurunan tekanan darah
sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan darah lebih dari 40 mmHg dibawah
presyok level dengan nadi yang lemah. Pada syok hipovolemik dapat ditandai
dengan orthostatik hipotensi, postural dizziness, takikardi dan hipotensi adalah
gejala dan tanda awal dari syok hipovolemik. Gejala lainnya yang dapat timbul
yaitu mukosa membrane yang kering, penurunan turgor kulit, takipneu, oliguria,
sianosis perifer, supine hipotensi dan gejala klinis lainnya yang mungkin timbul
tidak mempunyai nilai diagnostik bermakna. Tingkat keparahan pada syok
4
hipovolemik akibat perdarahan dapat dikelompokkan berdasarkan tanda dan
gejala klinis seperti yang tertera pada tabel sebagai berikut.
Table 2.2 Clinical classes of severity of Hypovolemic shock after hemorrhage
Class I Class II Class III Class IVBlood lossmL%
<750<15%
750-150015-30%
>1500-2000>30-40%
>2000> 40%
Heart Rate (beat/min)
<100 >100 >120 >140
Systolic blood pressure
Normal Normal Decreased Decreased
Pulse pressure
Normal Decreased Decreased Decreased
Capillary refill time
Delayed Delayed Delayed Delayed
Respiratory rate/min
14-20 20-30 30-40 >35
Urine output (ml/h)
>30 20-30 5-15 <5
Mental Status
Slightly anxious
Anxious Confused Confused and lethargic
2.5 Diagnosis Syok Hipovolemik
1. Anamnesa
Riwayat penyakit penting untuk menentukan penyebab dan untuk
penanganan langsung. Syok hipovolemik akibat kehilangan darah dari luar
biasanya nyata dan mudah didiagnosis. Perdarahan dalam kemungkinan tidak
nyata, biasanya pasien hanya mengeluhkan kelemahan, letargi, atau perubahan
status mental. Pada pasien trauma, menentukan mekanisme cedera dan menggali
beberapa informasi lain akan memperkuat kecurigaan terhadap cedera tertentu
misalnya, cedera akibat tertumbuk kemudi kendaraan, atau gangguan
kompartemen pada pengemudi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik seharusnya selalu dimulai dengan penanganan jalan
napas, pernapasan, dan sirkulasi. Ketiganya dievaluasi dan distabilkan secara
bersamaan. Sistem sirkulasi harus dievaluasi untuk tanda-tanda dan gejala –
gejala syok. Jangan hanya berpatokan pada tekanan darah sistolik sebagai
5
indikator utama syok; hal ini menyebabkan diagnosis lambat. Mekanisme
kompensasi mencegah penurunan tekanan darah sistolik secara signifikan hingga
pasien kehilangan 30% dari volume darah. Sebaiknya nadi, frekuensi pernapasan,
dan perfusi kulit lebih diperhatikan. Juga, pasien yang mengkonsumsi beta bloker
mungkin tidak mengalami takikardi, tanpa memperhatikan derajat syoknya.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium awal yang sebaiknya dilakukan antara lain:
analisis Complete Blood Count (CBC), kadar elektrolit (Na, K, Cl, HCO3, BUN,
kreatinin, kadar glukosa), PT, APTT, AGD, dan urinalisis (pada pasien yang
mengalami trauma). Darah sebaiknya ditentukan tipenya dan dilakukan
pencocokan agar memudahkan bilamana diperlukan darah.
4. Pemeriksaan Radiologi
Pasien dengan hipotensi atau dengan kondisi tidak stabil harus pertama
kali diresusitasi secara adekuat. Penanganan ini lebih utama daripada
pemeriksaan radiologi dan menjadi intervensi segera dan membawa pasien cepat
ke ruang operasi. Pasien trauma dengan syok hipovolemik membutuhkan
pemeriksaan ultrasonografi di unit gawat darurat jika dicurigai terjadi aneurisma
aorta abdominalis. Jika dicurigai terjadi perdarahan gastrointestinal, sebaiknya
dipasang selang nasogastrik, dan gastric lavage harus dilakukan. Foto polos dada
posisi tegak dilakukan jika dicurigai ulkus perforasi atau Sindrom Boerhaave.
Endoskopi dapat dilakukan (biasanya setelah pasien tertangani) untuk selanjutnya
mencari sumber perdarahan.
2.6 Penatalaksanaan Syok Hipovolemik
Tiga tujuan penanganan kegawatdaruratan pasien dengan syok
hipovolemik antara lain:
1. Memaksimalkan pengantaran oksigen-dilengkapi dengan ventilasi yang
adekuat, peningkatan saturasi oksigen darah, dan memperbaiki aliran darah. Jalan
napas pasien sebaiknya dibebaskan segera dan stabilisasi jika perlu. Kedalaman
dan frekuensi pernapasan, dan juga suara napas, harus diperhatikan. Jika terjadi
keadaan patologi (seperti pneumothoraks, hemothoraks, dan flail chest) yang
mengganggu pernapasan, harus segera ditangani. Tambahan oksigen dalam
jumlah besar dan bantuan ventilator harus diberikan pada semua pasien. Ventilasi
6
tekanan positif yang berlebihan dapat berbahaya pada pasien yang mengalami
syok hipovolemik dan sebaiknya dihindari.
Sebaiknya dibuat dua jalur intravena berdiameter besar. Hukum Poeseuille
mengatakan bahwa aliran berbanding terbalik dengan panjang kateter infus dan
berhubungan langsung dengan diameter. Sehingga kateter infus intravena yang
ideal adalah pendek dan diameternya lebar; diameter lebih penting daripada
panjangnya. Jalur intravena dapat ditempatkan pada vena antecubiti, vena
saphena, atau vena tangan, atau pada vena sentralis dengan menggunakan teknik
Seldinger. Jika digunakan jalur utama vena sentralis maka digunakan kateter infus
berdiameter lebar. Pada anak kurang dari 6 tahun dapat digunakan jalur
intraosseus. Faktor yang paling penting dalam melakukannya adalah skill dan
pengalaman. Pengadaan infus arteri perlu dipertimbangkan pada pasien dengan
perdarahan hebat. Untuk pasien ini, infus arteri akan memonitoring tekanan darah
secara berkala dan juga analisa gas darah.
Pada jalur intravena, cairan yang pertama digunakan untuk resusitasi
adalah kristaloid isotonik, seperti Ringer Laktat atau Saline Normal. Bolus awal
1-2 liter pada orang dewasa (20 ml/kgBB pada pasien anak), dan respon pasien
dinilai. Jika tanda vital sudah kembali normal, pasien diawasi agar tetap stabil dan
darah pasien perlu dikirim untuk dicocokkan. Jika tanda vital membaik
sementara, infus kristaloid dilanjutkan dan dipersiapkan darah yang cocok. Jika
perbaikan yang terjadi tidak bermakna atau tidak ada, infus kristaloid harus
dilanjutkan, dan darah O diberikan (darah tipe O rhesus (-) harus diberikan
kepada pasien wanita usia subur untuk mencegah sensitasi dan komplikasi lanjut).
Jika pasien sekarat dan hipotensi berat (syok derajat IV), diberikan cairan
kristaloid dan darah tipe O. Pedoman pemberian kristaloid dan darah tidak diatur,
terapi yang diberikan harus berdasarkan kondisi pasien.
Posisi pasien dapat digunakan untuk memperbaiki sirkulasi; salah satu
contohnya menaikkan kedua kaki pasien sementara cairan diberikan. Contoh lain
dari posisi yang bermanfaat adalah memiringkan pasien yang sementara hamil
dengan trauma kearah kirinya, dengan tujuan memposisikan janin menjauhi vena
cava inferior dan meningkatkan sirkulasi. Posisi Trendelenburg tidak dianjurkan
untuk pasien dengan hipotensi karena dikhawatirkan terjadi aspirasi. Posisi
7
Trendelenburg juga tidak memperbaiki keadaan kardiopulmonal dan dapat
mengganggu pertukaran udara.
2. Mengontrol kehilangan darah lebih lanjut
Kontrol perdarahan tergantung sumber perdarahan dan sering memerlukan
intervensi bedah. Pada pasien dengan trauma, perdarahan luar harus diatasi
dengan menekan sumber perdarahan secara langsung, perdarahan dalam
membutuhkan intervensi bedah. Fraktur tulang panjang ditangani dengan traksi
untuk mengurangi kehilangan darah.
Pada pasien dengan nadi yang tidak teraba di unit gawat darurat atau awal
tibanya, dapat diindikasikan torakotomi emergensi dengan klem menyilang pada
aorta diindikasikan untuk menjaga suplai darah ke otak. Tindakan ini hanya
bersifat paliatif dan butuh segera dibawa di ruang operasi.
Pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal, vasopressin intravena dan
H2 bloker telah digunakan. Vasopressin umumnya dihubungkan dengan reaksi
negatif, seperti hipertensi, aritmia, gangren, dan iskemia miokard atau splanikus.
Oleh karena itu, harus dipertimbangkan untuk penggunaanya secara tetap. H2
Bloker relatif aman, tetapi tidak terlalu menguntungkan. Infus somatostatin dan
ocreotide telah menunjukkan adanya pengurangan perdarahan gastrointestinal
yang bersumber dari varises dan ulkus peptikum. Obat ini membantu kerja
vasopressin tanpa efek samping yang signifikan.
Pada pasien dengan perdarahan varises, penggunaan Sengstaken-
Blakemore tube dapat dipertimbangkan. Alat ini memiliki balon gaster dan balon
esofagus. Balon gaster pertama dikembangkan dan dilanjutkan balon esofagus
bila perdarahan berlanjut. Penggunaan selang ini dikaitkan dengan akibat yang
buruk, seperti ruptur esofagus, asfiksi, aspirasi, dan ulserasi mukosa. Oleh karena
alasan tersebut, penggunaan ini dipertimbangkan hanya sebagai alat sementara
pada keadaan yang ekstrim.
Pada dasarnya penyebab perdarahan akut pada sistem reproduksi
(contohnya kehamilan ektopik, plasenta previa, solusio plasenta, ruptur kista,
keguguran) memerlukan intervensi bedah.Konsultasi segera dan penanganan yang
tepat adalah kuncinya. Tujuan penanganan kegawatdaruratan adalah untuk
menstabilkan keadaan pasien hipovolemik, menentukan penyebab perdarahan,
8
dan menyediakan penanganan yang tepat sesegera mungkin. Jika perlu untuk
membawa pasien ke rumah sakit lain, hal ini harus dilakukan segera.
Pada pasien trauma, jika petugas unit gawat darurat mengindikasikan telah
terjadi cedera yang serius, ahli bedah (tim trauma) harus diberitahukan segera
tentang kedatangan pasien. Pada pasien yang berusia 55 tahun dengan nyeri
abdomen, sebagai contohnya, ultrasonografi abdomen darurat perlu utnuk
mengidentifikasi adanya aneurisma aorta abdominalis sebelum ahli bedahnya
diberitahu. Setiap pasien harus dievaluasi ketat karena keterlambatan penanganan
yang tepat dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
3. Resusitasi Cairan.
Pasang kanul intravena ukuran besar, lakukan pemeriksaan laboratorium
(croosmatch, hemoglobin, hematocrit, thrombosit, elektrolit, creatinin, analisis
gas darah dan pH, laktat, parameter koagulasi, transamine, albumin). Nilai
kebutuhan oksigen, intubasi, atau ventilasi (PO2 > 60 mmHg dan saturasi oksigen
> 90%).
Resusitasi cairan dilakukan dengan perbandingan kristaloid dan koloid
sebesar 3:1. Bila kehilangan darah>25% maka perlu diberikan eritrosit konsentrat,
sementara kehilangan darah > 60% maka perlu juga diberikan fresh frozen plasma
(setelah 1 jam pemberian konsentrasi eritrosit atau lebih cepat jika fungsi hati
terganggu). Tujuan utama terapi syok hipovolemik adalah penggantian volume
sirkulasi darah. Penggantian volume intravascular sangat penting untuk
kebutuhan cardiac output dan suplai oksigen ke jaringan. Syok hipovolemik yang
disebabkan oleh kehilangan darah dalam jumlah besar sering perlu dilakukan
transfusi darah. Adapun indikasi transfusi darah atau komponen darah pada syok
hipovolemik yaitu:
Tabel 2.3 Indikasi transfusi komponen darah
Indication for blood component therapyComponent Indication Usual strating dosePacked RBC Replacement of Oxygen-
carrying capacity2-4 units IV
Platelets Thrombocytopenia with 6-10 units IV
9
bleedingFresh frozen plasma Coagulopaty 2-6 units IVCrycoprecipitate Coagulopaty with fibrinogen 10-20 units IV
Pemilihan cairan sebaiknya didasarkan atas status hidrasi pasien,
konsentrasi elektrolit dan kelainan metabolic yang ada. Berbagai larutan
parenteral telah dikembangkan menurut kebutuhan fisiologis berbagai kondisi
medis. Terapi cairan intravena atau infus merupakan salah satu aspek terpenting
yang menentukan dalam penanganan dan perawatan pasien.
Terdapat beberapa jenis cairan resusitasi yaitu cairan koloid, kristaloid
dan darah. koloid merupakan cairan dengan tekanan osmotik yang lebih tinggi
dibandingkan plasma (cairan hiperonkotik). Hipertonik dan hiperonkotik adalah
cairan plasma expander karena kemampuan untuk memindahkan cairan
intrselular dan interstisial selama resusitasi dan dengan cepat menggantikan
volume plasma (seperti albumin, dextran, dan starch). Cairan kristaloid adalah
cairan yang mengandung air, elektrolit dan atau gula dengan berbagai campuran.
Cairan ini bisa isotonik, hipotonik, dan hipertonik terhadap cairan plasma.
Sedangkan cairan koloid yaitu cairan yang Berat Molekulnya tinggi. Cairan
kristaloid terdiri dari:
1. Cairan Hipotonik
Cairan ini didistribusikan ke ekstraseluler dan intraseluluer. Oleh karena
itu penggunaannya ditujukan kepada kehilangan cairan intraseluler seperti pada
dehidrasi kronik dan pada kelainan keseimbangan elektrolit terutama pada
keadaan hipernatremi yang disebabkan oleh kehilangan cairan pada diabetes
insipidus. Cairan ini tidak dapat digunakan sebagai cairan resusitasi pada
kegawatan (dextrosa 5%).
2. Cairan Isotonik
Cairan isotonik terdiri dari cairan garam faali (NaCl 0,9%), ringer laktat
dan plasmalyte. Ketiga jenis cairan ini efektif untuk meningkatkan isi
intravaskuler yang adekuat dan diperlukan jumlah cairan ini 4x lebih besar dari
kehilangannya. Cairan ini cukup efektif sebagai cairan resusitasi dan waktu yang
diperlukan relatif lebih pendek dibanding dengan cairan koloid.
3. Cairan Hipertonik
10
Cairan ini mengandung natrium yang merupakan ion ekstraseluler utama.
Oleh karena itu pemberian natrium hipertonik akan menarik cairan intraseluler ke
dalam ekstraseluler.Peristiwa ini dikenal dengan infus internal. Disamping itu
cairan natrium hipertonik mempunyai efek inotropik positif antara lain
memvasodilatasi pembuluh darah paru dan sistemik. Cairan ini bermanfaat untuk
luka bakar karena dapat mengurangi edema pada luka bakar, edema perifer dan
mengurangi jumlah cairan yang dibutuhkan, contohnya NaCl 3%. Beberapa
contoh cairan kristaloid :
1) Ringer Laktat (RL)Larutan yang mengandung konsentrasi Natrium 130 mEq/L, Kalium 4
mEq/l, Klorida 109mEq/l, Kalsium 3 mEq/l dan Laktat 28 mEq/L. Laktat pada
larutan ini dimetabolisme didalam hati dan sebagian kecil metabolisme juga
terjadi dalam ginjal. Metabolisme ini akan terganggu pada penyakit yang
menyebabkan gangguan fungsi hati. Laktat dimetabolisme menjadi piruvat
kemudian dikonversi menjadi CO2 dan H2O (80% dikatalisis oleh enzimpiruvat
dehidrogenase) atau glukosa (20% dikatalisis oleh piruvat karboksilase). Kedua
proses ini akan membentuk HCO3. Sejauh ini Ringer Laktat masih merupakan
terapi pilihan karena komposisi elektrolitnya lebih mendekati komposisi elektrolit
plasma. Cairan ini digunakan untuk mengatasi kehilangan cairan ekstra seluler
yang akut. Cairan ini diberikan pada dehidrasi berat karena diare murni dan
demam berdarah dengue. Pada keadaan syok, dehidrasi atau DSS pemberiannya
bisa diguyur.
2) Ringer AsetatCairan ini mengandung Natrium 130 mEq/l, Klorida 109 mEq/l, Kalium 4
mEq/l, Kalsium 3mEq/l dan Asetat 28 mEq/l. Cairan ini lebih cepat mengoreksi
keadaan asidosis metabolik dibandingkan Ringer Laktat, karena asetat
dimetabolisir di dalam otot, sedangkan laktat didalam hati. Laju metabolisme
asetat 250 ± 400 mEq/jam, sedangkan laktat 100 mEq/jam.Asetat akan
dimetabolisme menjadi bikarbonat dengan cara asetat bergabung dengan ko-
enzim A untuk membentuk asetil ko-A., reaksi ini dikatalisis oleh asetil ko-A
sintetase danmengkonsumsi ion hidrogen dalam prosesnya. Cairan ini bisa
mengganti pemakaian Ringer Laktat.‡ Glukosa 5%, 10% dan 20%Larutan yang
berisi Dextrosa 50 gr/liter , 100 gr/liter , 200 gr/liter.9 Glukosa 5%
11
digunakanpada keadaan gagal jantung sedangkan Glukosa 10% dan 20%
digunakan pada keadaan hipoglikemi , gagal ginjal akut dengan anuria dan gagal
ginjal akut dengan oliguria.
3) NaCl 0,9%Cairan fisiologis ini terdiri dari 154 mEq/L Natrium dan 154 mEq/L
Klorida, yang digunakan sebagai cairan pengganti dan dianjurkan sebagai awal
untuk penatalaksanaan hipovolemia yang disertai dengan hiponatremia,
hipokloremia atau alkalosis metabolik. Cairan ini digunakan pada demam
berdarah dengue dan renjatan kardiogenik juga pada sindrom yang berkaitan
dengan kehilangan natrium seperti asidosis diabetikum, insufisiensi
adrenokortikaldan luka bakar. Pada anak dan bayi sakit penggunaan NaCl
biasanya dikombinasikan dengancairan lain, seperti NaCl 0,9% dengan Glukosa
5%. Adapun Jenis-jenis cairan koloid adalah :
1) Albumin.Terdiri dari 2 jenis yaitu:
a) Albumin endogen. Albumin endogen merupakan protein utama yang
dihasilkan dihasilkan di hati dengan BM antara 66.000 sampai dengan 69.000,
terdiri dari 584 asam amino. Albumin merupakan protein serum utama dan
berperan 80% terhadap tekanan onkotik plasma. Penurunan kadar Albumin 50 %
akan menurunkan tekanan onkotik plasmanya 1/3nya.
b) Albumin eksogen. Albumin eksogen ada 2 jenis yaitu human serum albumin,
albumin eksogen yang diproduksiberasal dari serum manusia dan albumin
eksogen yang dimurnikan (Purified protein fraction)dibuat dari plasma manusia
yang dimurnikan.8Albumin ini tersedia dengan kadar 5% atau 25% dalam garam
fisiologis. Albumin 25% biladiberikan intravaskuler akan meningkatkan isi
intravaskuler mendekati 5x jumlah yangdiberikan.Hal ini disebabkan karena
peningkatan tekanan onkotik plasma. Peningkatan inimenyebabkan translokasi
cairan intersisial ke intravaskuler sepanjang jumlah cairan intersisial mencukupi.
Komplikasi albumin adalah hipokalsemia yang dapat menyebabkan depresi
fungsi miokardium, reaksi alegi terutama pada jenis yang dibuat dari fraksi
protein yangdimurnikan. Hal ini karena factor aktivator prekalkrein yang cukup
tinggi dan disamping ituharganya pun lebih mahal dibanding dengan kristaloid.
Larutan ini digunakan padasindroma nefrotik dan dengue syok sindrom.
12
2) HES (Hidroxy Ethyl Starch). Merupaka senyawa kimia sintetis yang
menyerupai glikogen. Cairan ini mengandung partikel dengan BM beragam dan
merupakan campuran yang sangat heterogen. Tersedia dalam bentuk larutan 6%
dalam garam fisiologis. Tekanan onkotiknya adalah 30 mmHg dan
osmolaritasnya 310 mosm/l. HES dibentuk dari hidroksilasi aminopektin, salah
satu cabang polimer glukosa. Pada penelitian klinis dilaporkan bahwa HES
merupakan volume ekspander yang cukup efektif. Efek intarvaskulernya dapat
berlangsung 3-24 jam. Pengikatan cairan intravasuler melebihi jumlah cairan
yang diberikan oleh karena tekanan onkotiknya yang lebih tinggi. Komplikasi
yang dijumpai adalah adanya gangguan mekanisme pembekuan darah. Hal ini
terjadi bila dosisnya melebihi 20ml/ kgBB/ hari.
3) Dextran. Merupakan campuran dari polimer glukosa dengan berbagai macam
ukuran dan berat molekul. Dihasilkan oleh bakteri Leucomostoc mesenteriodes
yang dikembangbiakkan di mediasucrose. BM bervariasi dari beberapa ribu
sampai jutaan Dalton. Ada 2 jenis dextran yaitu dextran 40 dan 70. Dextran 70
mempunyai BM 70.000 (25.000-125.000). Sediaannya terdapat dalam konsentrasi
6% dalam garam fisiologis. Dextran ini lebih lambat dieksresikan dibandingkan
dextran 40. Oleh karena itu dextran 70 lebih efektif sebagai volume ekspander
dan merupakan pilihan terbaik dibadingkan dengan dextran 40. Dextran 40
mempunyai BM 40.000 tersedia dalam konsentrasi 10% dalam garam fisiologis
atau glukosa 5%. Molekul kecil ini difiltrasi cepat oleh ginjal dan dapat
memberikan efek diuretik ringan. Sebagian kecil dapat menembus membran
kapiler dan masuk ke ruang intertisial dan sebagian lagi melalui sistim limfatik
kembali ke intravaskuler. Pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok
dan kegawatan menghasilkan perubahan hemodinamik berupa peningkatan
transpor oksigen. Cairan ini digunakan pada penyakit sindroma nefrotik dan
dengue syok sindrom. Komplikasi antara lain payah ginjal akut, reaksi anafilaktik
dan gangguan pembekuan darah.
4) Gelatin. Cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada
orang dewasa. Terdapat 2 bentuk sediaan yaitu:1.Modified Fluid Gelatin (MFG)
2.Urea Bridged Gelatin (UBG). Kedua cairan ini punya BM 35.000. Kedua jenis
13
gelatin ini punya efek volume expander yang baik pada kegawatan. Komplikasi
yang sering terjadi adalah reaksi anafilaksis. Cairan ini digunakan sebagai cairan
rumatan pada penyakit bronkopneumonia, status asmatikus dan bronkiolitis.
Pemilihan cairan resusitasi pada syok hipovolemik hingga saat ini masih
menjadi perdebatan. Pemberian infus koloid (plasma/albumin) pada syok
hipovolemik post operative dapat meningkatkan pengambilan okisgen lebih cepat
dibandingkan infus kristaloid. Inisial resusitasi pada syok hipovolemik sering
dimulai dengan hypertonic dan isotonic kristaloid yang kemudian dilanjutkan
dengan cairan koloid dan infuse eritrosit dan plasma.
Resusitasi syok hipovolemik pada luka bakar dimana terjadi kehilangan
plasma maka dilakukan resusitasi dengan kombinasi kristaloid dan koloid. Pada
kasus diabetes yang tidak terkontrol, diare dan insufisiensi korteks adrenal yang
menyebabkan kehilangan cairan plasma dan elektrolit maka cairan resusitasi
terpilih adalah cairan kristaloid. Cairan ini dapat mempertahankan volume
intravascular, interstisial, dan intraselular. Pembarian transfusi darah
diindikasikan pada kasus dengan kehilangan darah >40% atau syok derajat IV.
Menurut CPG 2007 resusitasi cairan optimal pada syok hipovolemik yang
disebabkan oleh trauma adalah penggunaan darah. Bila transfusi darah tidak
tersedia maka penggunaan kristaloid isotonic lebih dianjurkan karena kristaloid
menghasilkan peningkatan cardiac output yang dapat diperkirakan dan secara
umum didistribusikan ke ekstraselular. Compound Sodium Lactat adalah
alternative pilihan yang dianjurkan untuk resusitasi awal pasien
hipovolemik.compound sodium lactate mengandung precursor bicarbonate yang
ketika dimetabolisme dapat membantu memperbaiki asidosis metabolic.
Pemberian cairan ini dihentikan pada pasien dengan gangguan hati. Alternative
lain yang dapat diberikan yaitu normal saline (NaCl 0.9%) meskipun
pemberiannya dalam dosis besar dapat menyebabkan asidosis metabolic.
2.7 PrognosisSyok hipovolemik merupkan kondisi yang mengancam jiwa dan bila tidak
ditangani segera maka dapat menjadi ireversibel. Resusitasi yang cepat dan
adekuat dibutuhkan untuk meyelamatkan hidup.
14
BAB III
ILUSTRASI KASUS
3.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. TT
No. RM : 01239027
Usia : 22 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Alamat : Depok
Berat Badan : 60 kg
Diagnosa : Tamponade jantung
3.2 ANAMNESIS
Asma (-), Alergi (-). Hipertensi (-), Diabetes Melitus (-), penyakit jantung (-),
riwayat operasi sebelumnya (-), riwayat TB (-).
3.3 Keadaan Intraoperasi 6 Juni 2013 (Catatan Anestesia)
Diagnosa PreOp : Tamponade jantung
Jenis Operasi : Torakotomi anterior
Lama Operasi : 14.30 – 17.30 (3 jam)
Lama Anestesi : 13.30 – 17.45 (4 jam 15 menit)
Premedikasi : Midazolam 5 mg, Fentanyl 300 mcg
Induksi : Ketamin 50 mg, Atracurium 30 mg
Teknik Anestesi : General anestesia
Respirasi : Ventilator, VT 500 ml, RR 14 x/mnt
Jalan Napas : ETT 7.5, Cuff (+)
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kiri – Vasofix G18 / Kaki kanan – Vasofix G18
CVC
Syringe pump : Vascon® 0.2mcg/kgBB/mnt
Dobutamin 5mcg/kgBB/mnt
15
Keadaan Prabedah:
BB : 60 kg
TD : 74/39 mmHg
RR : 20 x/menit
N : 135 x/menit
Temp. : afebris
Hb : 14.7 g/dL
HT : 47
Monitoring Saat Operasi:
JAMTEKANAN
DARAH NADIOBAT
13.30 74 / 39 mmHg 135 x/menit13.45 72 / 38 mmHg 137 x/menit14.00 73 / 40 mmHg 130 x/menit14.15 80 / 42 mmHg 129 x/menit14.30 75 / 40 mmHg 125 x/menit Fentanyl 50 mcg
Atracurium 10 mg14.45 79 / 38 mmHg 111 x/menit15.00 88 / 45 mmHg 115 x/menit15.15 90 / 53 mmHg 108 x/menit15.30 87 / 45 mmHg 117 x/menit Fentanyl 50 mcg
Atracurium 10 mg15.45 79 / 42 mmHg 120 x/menit16.00 70 / 39 mmHg 0 x/menit16.15 73 / 40 mmHg 30 x/menit16.30 75 / 45 mmHg 70 x/menit Fentanyl 50 mcg
Atracurium 10 mg16.45 78 / 51 mmHg 90 x/menit17.00 85 / 55 mmHg 88 x/menit Ca glukonas
1 ampul17.15 118 / 68 mmHg 84 x/menit17.30 109 / 58 mmHg 85 x/menit Fentanyl 50 mcg
Atracurium 10 mgTramadol 100 mgOndansetron 4 mg
17.45 84 / 52 mmHg 81 x/menit
16
Keadaan Akhir Pembedahan:
TD : 84 / 52 mmHg
N : 81 x / menit
CRT : > 2 detik
CVC : 13
Muntah : (-)
Mual : (-)
Sianosis : (-)
3.4 Balans cairan
KEBUTUHAN CAIRAN
Jenis Operasi : 8 cc/kg x 60 kg = 480 cc
Maintenance : (4x10) + (2x10) + (1x40) = 100 cc
Puasa : 4 x 100 cc = 400 cc
1 jam pertama : M + O + ½ P = 100 + 480 + 200 = 780 cc
1 jam kedua : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 100 = 680 cc
1 jam ketiga : M + O + ¼ P = 100 + 480 + 100 = 680cc
Setiap 1 jam selanjutnya : M + O = 100 + 480 = 580 cc
Intake cairan seharusnya selama operasi : 780 + 680 + 680 + 1(580) = 2720 cc
Cairan masuk
Infus : RL 500 ml x 6 3000 ml
NaCl 500 ml x 5 2500 ml
HES 500 ml x 2 1000 ml
Gelofusin 500 ml x 3 1500 ml
Darah : PRC 250 ml x 5 1250 ml
FFP 300 ml 300 ml +
9550 ml
Cairan keluar
Urin : 100 ml
Perdarahan : ± 5000 ml
IWL : ± 500 ml =
` 5600 ml
17
Balans : 9550 – 5600 = 3950 cc
Estimate Blood Volume (EBV) = 75 cc/kg x 60 kg = 4500 cc
18
BAB IV
ANALISIS KASUS
Berdasarkan ilustrasi kasus sebelumnya, pasien ini ditegakkan diagnosis
syok hipovolemik berat berdasarkan adanya tanda-tanda klinis sebagai berikut.
atau dapat juga ditegakkan berdasarkan criteria berikut ini :
Class I Class II Class III Class IVBlood lossmL%
<750<15%
750-150015-30%
>1500-2000>30-40%
>2000> 40%
Heart Rate (beat/min)
<100 >100 >120 >140
Systolic blood pressure
Normal Normal Decreased Decreased
Pulse pressure
Normal Decreased Decreased Decreased
Capillary refill time
Delayed Delayed Delayed Delayed
Respiratory rate/min
14-20 20-30 30-40 >35
Urine output (ml/h)
>30 20-30 5-15 <5
Mental Status
Slightly anxious
Anxious Confused Confused and lethargic
Berdasarkan 2 kriteria diatas, maka pada pasien ini ditegakkan diagnosis
syok hipovolemik berat atau syok hipovolemik class III-IV. Oleh karena itu
penatalaksanaan yang harus diberikan adalah sesuai dengan algoritma dibawah
19
Terapi cairan yang diberikan pada pasien ini sudah benar. Pasien
diberikan cairan berupa kristaloid, koloid, FFP, dan PRC. Kristaloid memiliki
berat molekul yang lebih kecil dengan distribusi lebih cepat sehingga lebih cepat
pula mengisi dan meninggalkan vascular menuju intertisial. Oleh karena itu terapi
cairan perlu dikombinasikan dengan koloid. Molekul-molekul koloid lebih besar,
dapat bertahan lebih lama di dalam vascular dibanding kristaloid sehingga dapat
lebih lama pula mempertahankan volume intravaskular.
Pada pasien ini total kebutuhan cairan selama operasi 2720 cc. Pasien
diberikan kristaloid sebanyak 5500 cc berupa RL dan NaCl. RL mengandung Na
131 mEq, K 5 mEq, Ca 2, Cl 111, HCO3 29 dan NaCl mengandung Na 154, Cl
154. Selain kristaloid, pasien ini juga mendapatkan cairan koloid sebanyak 2500
cc berupa gelofusin dan HES. Gelofusin berasal dari gelatin yang diambil dari
hidrolisis kolagen bovine. Penggunaan gelofusin pada pasien ini sudah tepat
20
karena gelofusin dapat menambah volume plasma dan mempunyai efek
antikoagulan, namun lebih kecil dibandingkan HES. Penggunaan gelofusin harus
hati-hati karena dapat menimbulkan reaksi alergi. Selain gelofusin, pasien juga
mendapatkan cairan HES. HES mengandung Starches yang tersusun atas 2 tipe
polimer glukosa, yaitu amilosa dan amilopektin. Penggunaan HES pada pasien ini
juga sudah tepat karena pada resusitasi post trauma dapat menurunkan
permeabilitas pembuluh darah, sehingga dapat menurunkan resiko kebocoran
kapiler. Reaksi alergi pada HES lebih kecil dibandingkan dengan gelofusin.
Pasien ini juga mendapatkan transfusi darah berupa FFP (300 cc) dan PRC
(1250 cc). Indikasi transfusi pada pasien ini adalah karena perdarahan yang
dialami selama operasi > 20 % dari estimasi volume darah. Pada pasien ini
didapatkan estimasi volume darah adalah = 75 cc/kg x 60 kg = 4500 cc dimana
perdarahan yang terjadi selama operasi melebihi dari estimasi volume darah itu
sendiri.
PRC (packed red blood cell) merupakan sel darah merah pekat berisi
eritrosit, trombosit, leukoist, dan sedikit plasma. Indikasi pemberian PRC sendiri
adalah untuk meningkatkan jumlah sel darah merah pada pasien yang
menunjukkan gejala anemia, yang memerlukan massa sel darah merah pembawa
oksigen saja misalnya pada pasien gagal ginjal dan anemia karena keganasan.
Pada pasien ini tidak ada indikasi untuk diberikan PRC sehingga pemberian PRC
pada pasien ini kurang tepat. PRC dapat diganti dengan WBC. WBC (whole
blood cell) merupakan darah lengkap yang berisi sel darah merah, leukosit,
trombosit, dan plasma. Indikasi pemberian WBC adalah untuk meningkatkan
jumlah sel darah merah dan volume plasma dalam waktu yang bersamaan,
misalnya pada perdarahan massif dengan kehilangan lebih dari 25-30% volume
darah total.
FFP (fresh frozen plasma) merupakan plasma segar beku yang berisi
plasma, semua factor-faktor pembekuan, komplemen,dan protein plasma. Indikasi
pemberian FFP sendiri adalah untuk pasien dengan gangguan pemebekuan bila
tidak tersedia factor pembekuan pekat atau kriopresipitat, misalnya pada penyakit
hati, KID, TIP, dan dilusi koagulopati akibat transfusi massif. Pasien ini diberiakn
FFP karena pasien ini telah menerima transfusi darah yang massif.
21
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Syok hipovolemik adalah keadaan tersering yang menyebabkan kegagalan
sirkulasi. Penyebab tersering syok hipovolemik adalah trauma. Bila keadaan
perfusi jaringan yang tidak adekuat tidak segera dikenali dan ditangani maka
akan menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan yang memicu ke arah
kegagalan multiorgan (Multiple Organ Failure) dan dapat berakhir dengan
kematian.
Sehingga dapat dimengerti bahwa shok hipovolemik merupakan suatu kondisi
yang mengancam jiwa, membutuhkan penegakan diagnosa dini dan terapi
awal yang adekuat untuk mencegah terjadinya kegagalan sistem organ dan
kematian.
Prinsip utama penatalaksanaan syok hipovolemik yaitu penggantian volume
sirkulasi darah secara cepat dan penatalaksanaan terhadap sumber atau
penyebab yang mendasarinya.
Penatalaksanaan syok hipovolemik bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan
sirkulasi dan oksigenasi jaringan. Hal ini lebih cepat terpenuhi dengan
pemberian koloid dibandingkan cairan kristaloid. Transfusi darah
diindikasikan pada keadaan kehilangan darah seperti pada trauma.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2009
2. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2009
3. Longo DL, et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 18th edition.
USA: The McGraw-Hill Companies; 2012
4. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi.
Jakarta: PT Indeks: 2010
5. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI; 2010
6. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia. 5 th edition. USA:
Lippincott Williams & Wilkins; 2006
7. Rull G. Resuscitation in Hypovolaemic Shock. Available online at:
http://patient.co.uk. Assessed June 9th 2013
23