document1
TRANSCRIPT
![Page 1: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/1.jpg)
1. Bioetika
Dalam perkembangannya, penamaan bioetika diberikan oleh peneliti
kanker Amerika yakni Van Rensselaer Potter. Dalam bukunya yang berjudul
“Bioethics: Bridge to the Future”, dia menekankan jika tanggung jawab peneliti
adalah menjamin kelangsungan hidup manusia dan terdapat syarat-syarat dalam
meningkatkan kualitas kehidupan. Menurut Prof.Dr.K.Bertens yang mengelola
Pusat Pengembangan Etika di Jakarta, Bioetika merupakan “meja bundar” yang
menumpulkan berbagai ilmu yang memperhatikan kehidupan: ilmu-ilmu
biomedis, teologi, hukum, sosiologi, dan tempat khusus untuk etika filosofis.
Dan Brock, dari Brown University menyatakan jika sebenarnya bioetika
merupakan perluasan dari etika kedokteran tradisional (Bertens,2007).
Bioetika bersifat pluralistik/ terbuka karena bioetika juga mengedepankan
kebudayaan, agamawan didengar, suara-suara yang berbeda direspon, dan
dibuka dialog yang rasional. Disamping itu, bioetika memiliki 7 syarat dalam
penelitian:
Syarat Keterangan Alasan etikaKepakaran penilai
1. Nilai sosial dan ilmiah
Penilaian suatu pengobatan, tindakan atau teori yang akan meningkatkan kesehatan atau pengetahuan
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan pemahaman tentang prioritas sosial
![Page 2: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/2.jpg)
2. Validitas ilmiah
Penggunaan prinsip dan metodologi ilmiah, termasuk pengujian statistik yang akan menghasilkan data yang dapat dipercaya dan sahih
Sumberdaya yang terbatas dan prinsip non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait dan metode statistik;Pengetahuan tentang keadaan masyarakat untuk dapat menentukan keberhasilan
3. Pemilihan subyek penelitian yang adil
Pemilihan subyek penelitian dilakukan sedemikian rupa sehingga orang cacat dan rentan menjadi sasaran untuk penelitian yang berisiko tinggi dan golongan sosial atas tidak terpilih untuk penelitian yang kemungkinan besar akan berhasil
Keadilan Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan tenang etika dan hukum
4. Ratio untung-rugi yang baik
Mengurangi bahaya; meningkatkan kemungkinan berhasil; bahaya yang akan dialami subyek seimbang dengan keuntungan yang mungkin diperolehnya atau diperoleh masyarakat
Tidak merugikan orang, menguntungkan, dan non-eksploitasi
Penguasaan ilmu terkait; pemahaman tentang nilai-nilai sosial masyarakat
5. Penilaian oleh pihak independen
Penilaian rancangan penelitian, subyek penelitian dan ratio untung-rugi untuk orang-orang yang tidak terlibat dalam penelitian itu
Akuntabilitas publik; meminimalkan konflik kepentingan
Peneliti yang tidak mempunyai hubungan intelektual, finansial dan independen; pengetahuan ilmiah dan etika
6. Pemberian persetujuan atas
Penjelasan kepada subyek tentang
Penghormatan kepada otonomi
Penguasaan ilmu terkait;
![Page 3: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/3.jpg)
dasar mengerti tujuan, prosedur, bahaya, keuntungan, penelitian ini dan alternatif-alternatif yang tersedia, sehingga subyek mengerti keterangan yang diberikan dan dapat membuat keputusan sukarela untuk turut serta atau tidak
individu pengetahuan hukum, dan etika
7. Penghormatan kepada calon subyek dan subyek penelitian
Penghormatan untuk subyek melalui:
(1- Mengizinkan menarik diri dari proyek penelitian
(2- Melindungi rahasia pribadi
(3- Memberitahu subyek jika ada perkembangan baru dalam bahaya dan keuntungan
(4- Memberitahu subyek tentang hasil penelitian
(5- Menjaga kesejahteraan dan keselamatan subyek
Penghormatan kepada otonomi dan kesejahteraan individu
Penguasaan ilmu terkait; pengetahuan hukum dan etika; pengetahuan tentang masyarakat subyek
Sumber: www.majalah-farmacia.com
Menurut Prof. Dr. Muhammad Kamil Tadjudin, SpAnd, Anggota Komisi
Bioetika UNESCO, selama penelitian memberikan manfaat besar dan disertai
niat dan dikerjakan dengan baik bukanlah suatu masalah. Namun apabila
penelitian berdampak besar negatif pada kehidupan sosial atau kemashlatan
umat, serta melenceng dari tujuh syarat utama penelitian biomedik, maka
melenceng dari bioetika (dalam nilai sosial dan ilmiah).
![Page 4: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/4.jpg)
Dia menambahkan jika permasalahan etika pada Stem Cell hanya terletak
pada sumbernya. Jika sumbernya berasal dari embrio, hal tersebut keluar dari
etika. Tidak ada satupun dari 7 syarat yang terpenuhi jika Embrionic Stem Cell
dilakukan. Dalam nilai sosial, keadilan, penghormatan individu, aspek untung-
rugi, prinsip non eksploitasi, dan terutama konflik yang akan terjadi
(www.majalah-farmacia.com)
Jika sumber Stem Cell yang berasal dari embrio dilegalkan, dapat terjadi
“peternakan embrio” (Tadjudin,2006), “pembunuhan sengaja tanpa rasa
bersalah”, dan terdapat manusia yang tega hamil kemudian menggugurkan
anaknya dengan tujuan mendapatkan stem Cell saja. Hal ini berada di luar akal
rasional manusia.
2. Stem Cell Dan Bioetika
2.1ESC (Embryonic Stem Cell) dalam Masalah Bioetika
Penemuan Stem Cell merupakan penemuan terbaik dalam dunia kedokteran.
Martin Evans dan Mario Capecchi sebagai pionir penemu ESC (Embryonic
Stem Cell) meraih hadiah Nobel Fisiologi atau Kedokteran pada tahun 2007
(www.newscientist.com). Namun penemuan besar ini menimbulkan masalah
baru dalam dunia bioetika.
ESC merupakan stem cell yang bersifat pluripoten yang dapat berdiferensiasi
menjadi berbagai macam jaringan. ESC diambil pada fase zigot menuju
blastosit (awal konsepsi). Setelah dikultur, ESC akan ditransplantasikan ke
pasien. Hal ini membuat ESC berimigrasi ke sel-sel yang degeneraif dan akan
berdiferensiasi menjadi sel-sel yang sebelumnya rusak (M. Saiful Islam,2006).
Karena proses ESC yang membuat zigot tersebut mengalami kematian, ESC
dinilai keluar dari bioetika kedokteran. Karena prinsip dari bioetika sendiri
adalah tidak boleh menyembuhkan orang dengan cara membunuh orang lain.
Perkembangan Teknik ESC (Embryonic Stem Cell) Dalam Masalah Etika
a) Teknik ESC alami
![Page 5: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/5.jpg)
Pada tahap awal, proses ini identik dengan perkembangan embrio.
Setelah terjadi peleburan inti sel telur dan satu inti sperma, terbentuk zigot
dilanjutkan dengan terjadi fase morulla. Pada fase morulla, bentuk embrio
masih menyerupai arbei. Fase ini bersifat totipotent. Totipotent terdapat pada
zigot yang selnya dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis sel dan memiliki
kemampuan untuk membentuk plasenta dan tali pusat. Kemudian menuju fase
blastosit. Blastosit tersusun dari 2 jenis sel, yakni trofektoderm di bagian luar
yang nantinya menjadi plasenta dan ICN (Inner Cell Mass) yang bersifat
pluripotent dimana sel-sel dapat berdiferensiasi menjadi semua jenis tipe sel,
yaitu 3 lapisan germinal meliputi ekstroderm, endoderm, dan mesoderm, namun
tidak bisa menjadi jaringan ekstraembrionik (mis. plasenta). Pada proses ini,
ICN diambil dan diisolasi kemudian ditransplantasikan ke organ-organ
degeneratif. Karena proses pengambilan inilah, embrio tidak dapat berkembang
menjadi matur dan mengalami “pembunuhan” (Kim et al,2005).
Gambar 1: Embryonic stem Cell
Hal ini memicu masalah etika. Walaupun ada beberapa Negara yang
menyetujui akan penelitian ESC, namun tidak sedikit pula yang menolak karena
menyalahi prinsip bioetik, yakni tidak boleh menyembuhkan seseorang dengan
cara membunuh orang lain.
Pada syarat penelitian yang mengacu poin pemilihan subjek penelitian, ratio
untung rugi yang baik, dan penilaian oleh pihak independen dalam aplikasi
penelitian ESC telah keluar dari batas yang diberikan. Tidak ada keadilan bagi
embrio yang oleh sebagian pihak diyakini jika embrio bukan termasuk makhluk
hidup yang terdiri dari sel-sel namun embrio merupakan stem cell-stem cell
yang menjadikan makhluk hidup. Namun hal ini dibantah oleh Scott Klusendorf
jika embrio bukan berasal dari stem cell, mereka makhluk hidup yang memiliki
stem cell. Dan mengekstrak sel-sel ini adalah kematian bagi embrio
(Scott,2007).
![Page 6: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/6.jpg)
b) Teknik SCNT (Somatic Cell Nuclear Transfer)
Teknik SCNT merupakan perkembangan dari ESC dan tekniknya sama dengan
kloning yaitu terjadi terjadinya transfer nukleus. Kloning jenis terapeutik ini
tetap menggunakan sel telur dan nantinya perbedaan dengan teknik ESC biasa
adalah inti dari sel telur dihilangkan dan diganti dengan materi genetik dari
donor/pasien. Setelah materi genetik dimasukkan ke dalam enucleated oocyte
(inti sel telur yang dihilangkan), kemudian diberi beberapa bahan kimia dan
kejut listrik. Kultur secara in vitro ini membutuhkan 3-5 hari hingga pada fase
blastosit. Pada fase blastosit inilah, stem cell dari inner cell mass diambil
kemudian ditransplantasikan (Gardner,2006). Kelebihan SCNT ini karena inti
sel/materi genetiknya berasal dari pasien, maka blastosit itu identik dengan
pasien tersebut dan tidak terjadi GvHD (Graft Versus Host Disease) dan terjadi
kecocokan 100% HLA (Human Leukocyte Antigen).
Gambar 2: Proses Kloning Terapeutik/ SCNT
Sumber: www.kalbe.co.id/cdk
Namun kemajuan dasri ESC menjadi SCNT tidak sinergis dalam segi
bioetik. Hal ini, utamanya di Indonesia masih menolak keabsahan menggunakan
embrio. Namun dengan ditemukannya teknik ini, ternyata membuat para
peneliti dalam maupun dan luar negeri semakin gencar mengembangkan teknik
ini dengan tujuan bagaimana caranya supaya “bahan dasar” ESC dapat diterima
dari aspek bioetik. Scott Klusenderf (2007), seorang peneliti Stem Cell asal
Amerika adalah salah seorang yang kontra akan ESC. Ilmuan itu menyatakan
jika kloning disetujui dalam bioetik maka akan terjadi “pembunuhan” karena
embrio diciptakan untuk dibunuh dengan tujuan penelitian medis.
Pendukung ESC dan SCNT tetap konsisten meneruskan penelitian
mereka dengan berparadigma jika embrio hanyalah organisme yang tiap-tiap
selnya membawa banyak kode genetic dan manusia memiliki potensi sel serupa
![Page 7: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/7.jpg)
dimana setiap sel-sel juga dapat menciptakan embrio. Disamping itu,
pendukung penelitian ESC dan SCNT mempunyai cara yang sedikit “buruk”
demi meyakinkan Negara dengan tujuan disahkannya penelitian tersebut.
pendukung ESC ini menyatakan jika embrio hasil /kloning terapeutik ini
bertujuan dalam menemukan solusi penyembuhan Alzheimer, Parkinson, dll
(Scott,2007). Hal ini dapat menimbulkan empati dari berbagai pihak.
Pendukung ESC tidak mungkin mengatakan jika dengan mereka melakukan
kloning terapeutik, maka harga yang harus dibayar “pembunuhan” embrio.
Berdasarkan pernyataan dan proses yang telah dipahami, benar jika penelitian
stem cell dengan bahan dasar embrionik adalah keluar dari batas bioetik karena
terdapat unsur yang dirugikan disini.
c) Teknik ANT (Altered Nuclear Transfer)
Pendukung ESC berbangga hati dalam penemuan ini. ANT merupakan
perkembangan dari SCNT. Tujuan utama dalam penyempurnaan SCNT menjadi
ANT adalah menjawab masalah etika. Proses tahap awal hampir sama, yakni
materi genetic dimasukkan ke dalam enucleated oocyte. Namun perbedaannya,
sebelum memasukkan materi genetik donor ke oosit tanpa inti, materi genetik
disisipkan RNAi dari pemanfaatan retrovirus. Ternyata dengan adanya RNAi,
embrio tidak terbentuk trofoblas sehingga trofektoderm gagal terbentuk. Materi
gen pembentuk trofoblas yaitu Cdx2 dan RNAi memblok Cdx2. Dengan
kegagalan pembentukan trofoblas, akan terbentuk embrio yang cacat dan tidak
dapat berimplantasi (Robinson,2004).
Pendukung ESC menyatakan jika ANT bebas dari bioetik. Dengan
terhambatnya pembentukan trofoblas, maka tidak akan terbentuk embrio matur
karena tahap ANT berhenti pada fase blastosit tanpa adanya trofektoderm
(Tolkunova et al.,2006). Banyak pihak dari luar negeri, baik dari segi agama,
hukum, budaya mengiyakan jika ANT terbebas dari etika karena tidak akan
munculnya embrio yang matur, karena yang terbentuk embrio cacat tanpa
trofoblas .
![Page 8: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/8.jpg)
Gambar 3: Mekanisme penghambatan ekpresi gen oleh RNAi.
Sumber: www.kalbe.co.id/cdk
Virus pembawa digunakan untuk memasukkan RNAi ke dalam
sitoplasma sel. RNAi dan mRNA akan saling menempel dan membentuk RNA-
Induced Silencing Complex (RISC). Mekanisme penghambatan ekspresi gen
tergantung pada kemiripan urutan basa dari RNAi dan mRNA. Penggunaan
RNAi sangat efektif untuk menghambat ekspresi gen.
Pelegalan dalam penelitian ESC semakin banyak dilakukan. Amerika
dalam pimpinan Barack Obama telah menghilangkan larangan dalam pendanaan
penelitian Stem Cell yang sebelumnya dilarang pada kepemimpinan George
Walker Bush dalam hal ESC . Menurut Ferry Sandra selaku pendiri Stem Cell
Institue dan Cancer di Indonesia, Embryonic Stem Cell (2007) sedang
memperoleh sorotan masalah etis paling berat. Menurut dia, hal ini disebabkan
pikiran negatif, misalnya mengambil embrio atau mematikan embrio. Dia
![Page 9: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/9.jpg)
menambahkan jika bayi tabung yang tidak terpakai lebih baik digunakan
sebagai penelitian ESC daripada dibuang.
Peneliti ESC menyatakan jika saat ini telah ditemukan alternatif yang
lebih baik dalam masalah bioetik yakni ditemukannya sel 8 dari sel embrio.
Mereka menyatakan jika dalam embrio terdapat 8 sel yang mempengaruhi
perkembangan embrio dan jika diambil sel 8 pada embrio, tidak terdapat
kecacatan pada embrio dan jika terjadi masalah, dapat dilakukan pengkulturan
sel lagi (Klimankskaya et al.,2006). Menurut peneliti, hal ini merupakan
pemecahan terbaik dalam hal etika. Namun dalam perkembangannya, belum
dapat dipastikan persentase keberhasilannya. Sehingga aspek etika untuk saat
ini masih jelas, yakni kurangnya nilai social peneliti dan beum ada keadilan
100% bagi embrio karena masih dalam penelitian dengan persentase
keberhasilan yang belum diketahui. Peneliti ESC berharap jika perkembangan
dalam peneltian sel 8 dapat tercapai tanpa menimbulkan kecacatan embrio
sehingga masalah etika tidak menjadi momok bagi penelitian ESC.
Menurut Bernadine Healy, M.D. dan peneliti Stem Cell menyatakan jika
penelitian ESC tergolong kuno karena penelitian tersebut tidak berkembang
dalam segi kemanfaatan karena resiko tumoriogenicity yang sangat besar
walaupun teknik perkembangan telah ditemukan. Dia mengatakan jika akhir
Februari 2009 lalu, para peneliti lebih beralih ke ASC (Adult Stem Cell)
daripada meneruskan ESC bukan karena hal etika lagi, namun karena resiko
pembelahan sel yang terlalu berlebihan. Perlu diketahui jika ESC tidak memiliki
batasan untuk membelah, sehingga hanya sedikit kesalahan dalam penempatan
dan kesalahan penempatan DNA, tumoriogenicity bisa terjadi.
2.2ASC (Adult Stem Cell) yang “Bebas” dari Masalah Etika
Berdasarkan prinsip bioetika yang menekankan jika dilarang melakukan
penelitian dengan cara membunuh orang lain, maka ASC terbebas dari masalah
terbesar yang masih dihadapi ESC. Masalah yang dihadapi ESC terletak pada
![Page 10: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/10.jpg)
sumbernya (embrio), dan sumber ASC berasal dari tubuh manusia yang tidak
menimbulkan kerugian sama sekali, mungkin terkait dengan GvHD karena
HLA yang kurang cocok. Namun hal ini bukan masalah jika terapi
penyembuhan menggunakan ASC yang bersumber dari darah tali pusat
(Umbilical Cord Blood).
ASC memenuhi 7 syarat bioetik dalam melakukan penelitian. Disamping
itu, potensi ASC yang hampir sama dengan ESC membuat peneliti lebih
menyukai teknik ASC. Saat peneliti menginginkan ESC dilegalkan, Peneliti dari
Amerika merekomendasikan jika lebih baik menggunakan ASC karena secara
etika tidak bermasalah. Mereka menambahkan tingkat keberhasilan ASC lebih
tinggi karena resiko tumor yang sangat tinggi jika menggunakan ESC dan
keberhasilan dengan menggunakan ASC telah banyak dilakukan kepada
manusia. Hal ini bertentangan dengan ESC. Data 2002 menyebutkan jika
tingkat keberhasilan ESC dalam menyembuhkan pasien menjadi lebih sehat
kurang dari 4% (Wilmut,2002). Hal ini sepertinya tidak jauh berbeda karena
pernyataan peneliti tahun 2009 hampir sama.
Lisa A. Brown dari Washington (2009) menyatakan jika tidak ada alasan
untuk tidak menggunakan ASC karena keberhasilannya pada manusia telah
terlaksana. Dia menambahkan jika ASC lebih banyak manfaat, lebih mudah dari
pada menggunakan ESC yang terlibat etika, masih dalam perkembangan dengan
keberhasilan dibawah standar
2.3Garis Besar Bioetik terhadap Penelitian Stem Cell
Berdasarkan penjelasan diatas, ESC mendapat sorotan tajam dalam
pelanggaran etika, namun juga terdapat yang menyetujui kelangsungan ESC.
ANT merupakan solusi dalam pemecahan etika, namun terdapat kubu kontra
tidak menyetujuinya.
Pendukung ESC terdapat 2 kelompok (Agus Sofyan,2008). Pendukung
penuh ESC dan pendukung sebagian dengan alasan yang rasional.
![Page 11: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/11.jpg)
1. Kelompok yang mendukung stemcell research secara total dan menilai bahwa
embryonic stemcells tidak mempunyai nilai moral. Kelompok ini mendukung
semua bentuk stemcell research dan cara mendapatkan stemcells tersebut.
2. Kelompok yang memberikan nilai moral kepada embryonic stemcells namun
menganggap bahwa manfaat yang didapatkan dari stemcell research tersebut
jauh lebih besar dari “pengorbanan” yang dilakukan. Kelompok ini umumnya
lebih hati-hati dan lebih menyarankan penggunaan “sisa” embryo dari klinik
bayi tabung sebagai sumber bahan penelitin tersebut. Mereka memperkirakan
bahwa ratusan ribu embryo tidak terpakai tersimpan di berbagai klinik bayi
tabung. Banyaknya sisa embryo tersebut dikarenakan dalam proses pembuatan
bayi tabung biasanya 10 sampai 12 sel telur yang dibuahi, tetapi hanya 3 atau 4
saja yang ditanam di dalam kandungan. Sebagian besar sisa embryo tersebut
umumnya akan dibuang, hanya sebagian kecil saja digunakan oleh pasangan
lain yang menginginkan anak. Dengan demikian penggunaaan sisa embrio
tersebut sebagai bahan stemcell research dianggap lebih baik daripada dibuang
sia-sia. Sebagian dari mereka juga menyarankan pembuatan embrio melalui
SCNT dan kemudian memanen embrio tersebut sebagai bahan stemcell
research. Hal ini banyak disetujui oleh banyak pihak mengenai “sisa” bayi
tabung. Ferry Sandra menyatakan jika sangat disayangkan jika sisa bayi tabung
dibuang atau disimpan dengan menambah pengeluaran. Dia menyatakan dari
pada tidak digunakan, lebih baik digunakan dalam penelitian ESC. Dan Ferry
Sandra bukan hanya pro terhadap sisa bai tabung, dia juga mendukung ASC.
Keduanya saling mendukung.
Sedangkan pihak yang menolak ESC menyatakan jika embrio merupakan
makhuk hidup yang harus dihargai kelangsungan hidupnya seperti manusia
selayaknya. Embrio buatan melalui SCNT maupun sisa embrio dari klinik bayi
tabung tetap merupakan “calon manusia” yang tidak boleh dibunuh atau dirusak
(Scott,2007). Namun umumnya mereka tidak tahu apa sebaiknya yang
![Page 12: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/12.jpg)
dilakukan terhadap sisa embrio dari klinik bayi tabung yang sudah harus
dibuang karena sudah terlalu lama atau tak ada tempat penyimpanannya lagi
(Agus Sofyan,2008). Mereka beranggapan jika ada celah dalam pelegalan ESC
dan nantinya berhasil, tidak dapat diragukan jika pasti terjadi “pembunuhan”
embrio secara besar-besaran atau terjadi “peternakan” embrio yang nantinya
dirusak dan dibunuh karena tingkat kebutuhan yang sangat besar dalam terapi
penyembuhan daripada “sisa” bayi tabung yag tersedia. Dengan jumlah “sisa”
bayi tabung yang tidak sebanding dengan tingkat kebutuhan, “peternakan
embrio” maupun aborsi kemungkinan besar terjadi (Scott,2007). Hal ini
disebabkan dengan digunakan embrio bukan dari “sisa” bayi tabung yang
seharusnya dibuang, hal ini identik dengan pelegalan akan adanya abortus.
Setelah membandingkan pro dan kontra dikorelasikan dengan proses maupun
dampak yang terjadi, ESC dengan alasan apapun tetap keluar dari bioetika.
Sedangkan dalam penelitian ASC, tidak ada masalah dengan bioetik dan
dapat dilakukan baik dari segi pengembangan penelitian maupun segi
kemanfaataan yang mengacu pada 7 syarat bioetik.
ngetahuan gratis
Beranda About
Stem Cell
15 Agu 2012 1 Komentar
by lidiaputri in Uncategorized Kaitkata:embryonic stem cell, transplantasi
Holla semua! Berhubung sekolah sudah memasuki masa libur lebaran, saatnya bersenang-senang prok prok prok. Wekeke sayangnya, karena saya tidak mudik ke luar kota jadinya
Search...
![Page 13: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/13.jpg)
cuma di rumah terus apdet blog -,- Yasudah daripada banyak cing cong mending kita lihat yuk, stem cell punya kita masing masing Maaf kalo isinya abal.
Pengertian Stem Cell
Stem cell itu bahasa Indonesianya sel punca. Apa pula sel punca itu? Yaudah nek masih belom tau sel punca, bahasa alternatifnya sel induk. Ngertikan induk? Jadi stem cell itu adalah sel yang belum terdifferensiasi/terspesialis dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang menjadi banyak jenis sel yang berbeda di dalam tubuh. (sumber: Wikipedia)
Ada dua jenis stem cell, yaitu adult stem cell dan embryonic stem cell. Keduanya bermanfaat untuk kepentingan medis, tapi menurut para ilmuwan, embryonic stem cell mempunyai potensi yang lebih tinggi dalam bidang medis karena kemampuannya menjadi organ tubuh, sedangkan adult stem cell hanya bisa berkembang menjadi jaringan saja.
Sebenernya fungsinya stem cell apa sih? Karena stem cell bisa berkembang menjadi sel tubuh organisme, makanya stem cell bisa menciptakan sel tubuh atau bahkan organ tubuh yang baru yang berguna untuk transplantasi. Contohnya, kalo ada pasien yang katakanlah menderita gagal ginjal, sampai butuh cangkok ginjal, berarti pasien ini butuh donor ginjal yang cocok kan? Nah, donor ini bisa dari orang lain, tapi mencari donor yang cocok sangatlah sulit, makanya terobosannya ginjal baru yang dibuat dari stem cell. Sel tersebut semacam dibiakkan menjadi ginjal. Baru deh dipake buat transplantasi. Selain itu stem cell juga memainkan peranan yang penting dalam pengobatan Parkinson, Alzheimer, osteoporosis, kanker, diabetes, penyakit jantung, pengobatan luka bakar, dll.
![Page 14: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/14.jpg)
blastosit yang nantinya akan dikembangkan jadi Stem Cell
Kontroversi Stem Cell
Meskipun stem sel unyu-unyu berguna bagi kesehatan manusia, banyak perdebatan mengenai etika stem sel terutama Embrionik stem cell. Why? Yak arena Embrionik stem cell berasal dari embrio fase blastosit, yang artinya akan menghancurkan embrio tersebut. Istilahnya kita ngambil sel-selnya si embrio tersebut.
Embrionik stem cell dapat diperoleh dari embrio yang diciptakan dari fertilisasi buatan yang tujuan aslinya untuk membantu masalah kesuburan manusia (mandul) tapi embrio tersebut sudah nggak dipakai lagi, embrio ini disebut embrio cadangan. Pihak pertama berpikir bahwa menciptakan embrio untuk penelitian itu tidak benar, tapi secara moral boleh menggunakan (atau menghancurkan) embrio yang nantinya akan dibuang. Pihak kedua berpikir bahwa tindakan membuat atau menggunakan embrio cadangan adalah tindakan yang tidak benar. Pihak ketiga berpikir boleh menggunakan embrio terlepas dari tujuan semula. Nah loh, pilih pihak mana ni? 1, 2, apa 3?
Bagaimana pendapat orang tentang Embrionik stem cell tergantung pada pandangan mereka tentang status moral embrio manusia. Ada tiga pandangan berbeda yang implikasinya mempengaruhi penelitian:
![Page 15: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/15.jpg)
1. Embrio adalah manusia, jadi emrio berhak mendapat perlindungan selayaknya manusia. Pandangan ini melarang penelitian yang merugikan atau membunuh embrio manusia.
2. Embrio secara biologis manusia, tetapi dalam arti moral bukan orang. Apa yang membuat manusia adalah orang dalam arti moral adalah pemilik hak, anggota dari komunitas moral. Singkatnya manusia tidak diartikan berdasarkan jumlah kromosomnya tapi lebih ke arah karakteristik moral yang biasa dimiliki manusia, yaitu kemampuan merasa, kesadaran diri, berpikir rasional, dsb. Karena embrio tidak punya karakteristik seperti ini maka penelitian tentang embrio (secara moral) dibolehkan.
3. Embrio, meskipun bukan orang, tapi pantas mendapatkan perhatian khusus dan pertimbangan moral sebagai bentuk perkembangan manusia. Pandangan ini berkompromi dengan pandangan pertama dan kedua. Pandangan ini memperbolehkan penelitian embrio dengan kondisi yang terkendali.
(sumber: Life, The Science of Biology 7th edition, 2005)
Tiap negara punya pandangan yang berbeda-beda mengenai masalah stem cell ini. Di USA, Austria, Prancis, Jerman, dan Irlandia tidak mendukung penelitian embrionik stem cell. Tapi kalau di Inggris, Belanda, Italia, Finlandia, Yunani, Swedia, China, Jepang, Singapura, dan Korea Selatan mendukung pengembangan teknologi embrionik stem cell, bahkan mereka punya Stem Cell Bank. Gimana dengan Indonesia? Kalau Indonesia memiliki pandangan seperti pandangan ke-3, Indonesia hanya mengizinkan RSCM dan FKUI untuk melakukan pengembangan stem cell dengan syarat dan pengawasan yang ketat. (sumber: Kompasiana )
Sebenernya ada alternatif bagi embrionik stem cell, yaitu sel induk yang diambil dari cairan ketuban. Nah, kalo diambil dari cairan ketuban kan berarti nggak membunuh embrio tuh, berarti nggak menimbulkan masalah etika moral tuh. Masalahnya beres kan? (sumber: Kabar24 )
FYI, aplikasi stem cell di Indonesia masih butuh 3 tahun lagi, selengkapnya bisa dibaca di detikHealth.
Gimana menurut kalian? Apakah terapi stem cell itu boleh apa enggak? Kalo aku sih lebih condong ke pendapat ke-3. Tapi berhubung ada alternatif dari cairan ketuban aku milihnya alternatif aja. Selamat liburan, mohon maaf lahir dan batin see u.
SukaOne blogge
INILAH.COM, Semarang- Penelitian tentang stem cell (sel punca) di Indonesia masih minim karena terkendala oleh persyaratan yang ketat. Padahal sel punca menjanjikan untuk mengobati berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
"Di Indonesia, baru RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang sudah mengembangkan
![Page 16: Document1](https://reader035.vdokumen.com/reader035/viewer/2022081816/5572112f497959fc0b8e899a/html5/thumbnails/16.jpg)
penelitian tentang sel punca, karena persyaratan yang dibutuhkan untuk melakukannya terlalu ketat," kata Direktur Centre for Biomedical Research (Cebior) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang Prof Sultana MH Faradz.
Menurut dia, penelitian tentang sel punca juga harus benar-benar dilakukan di bawah pengawasan ahli dan membutuhkan dana yang sangat besar, sehingga penelitian di Indonesia masih minim.
"Pengetahuan tentang sel punca sebenarnya telah dikenal di dunia biologi cukup lama, namun di Indonesia masih sebatas riset, sehingga membutuhkan biaya mahal dan belum menjadi barang komersial," katanya.
Padahal, kata dia, dalam perkembangan di dunia kedokteran selama dua dekade terakhir, transplantasi sel punca lebih menjanjikan untuk mengobati berbagai penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
"Beberapa penyakit yang sudah terbukti dapat diatasi oleh transplantasi sel punca, di antaranya alzheimer, parkinson, dan diabetes melitus, sehingga jutaan penderita menunggu pengembangan penelitian di bidang ini," katanya.
Sel punca merupakan sel induk yang belum mengalami diferensiasi sehingga mempunyai potensi untuk mengalami diferensiasi menjadi jenis sel lain dan memperbaiki sistem tubuh, selama organisme yang bersangkutan hidup.
Ia menjelaskan, sel punca banyak ditemukan di sum-sum tulang belakang dan mempunyai kemampuan untuk membelah diri secara terus-menerus menjadi beberapa sel yang diinginkan, seperti sel jantung, sel syaraf, dan sel otot.
"Namun transplantasi sel punca yang diizinkan di dunia kedokteran hanya sel punca dewasa yang menggunakan plasenta, sel darah tepi, dan jaringan lemak," tegasnya.
Sedangkan, kata dia, transplantasi sel punca secara "emprionic stem cell" atau pengembangan sel punca menggunakan pembuahan dalam tabung dan "xeno stem cell" atau pencangkokan sel punca menggunakan sel pada binatang dilarang.
"Pelarangan itu disebabkan dua metode transplantasi sel punca tersebut belum diteliti secara mendalam dan belum ada kode etik yang mengaturnya," katanya.
Untuk memperdalam pengetahuan tentang sel punca, lanjutnya, Undip juga berencana menyelenggarakan workshop bertema Modern Biologi and its Application: Focusing on Stem Cells and Human Genetics" pada 28-30 November mendatang.
Berkaitan dengan penelitian itu, ia mengharapkan pemerintah mampu mengarahkan kebijakan riset dasar dan terapan, sehingga ada peraturan dan kode etik jelas, meskipun peneliti tetap harus mempertimbangkan rasa tanggung jawab dan kemanusiaan.
"Dengan perkembangan ilmu biologi yang semakin pesat, para praktisi dan akademisi diharapkan mampu memanfaatkan teknologi dan hasil penelitian untuk kepentingan masyarakat luas," kata Sultana.[*/ito]