1.5 bab ii
DESCRIPTION
yayayanTRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tanaman Ubi Jalar Ungu
Ubi jalar merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang kaya akan
sumber karbohidrat dan berpotensial sebagai bahan penganekaragaman pangan
dan agroindustri. Meskipun memiliki kadar protein yang rendah ubi jalar ungu
juga mengandung vitamin C dan kaya akan antosianin yang berperan sebagai
antioksidan (Bararah, 2012). Menurut Sarwono (2005) dalam Rakhmah (2012),
taksonomi tanaman ubi jalar berasal dari Divisi: Spermatophyta, Sub divisi:
Angiospermae, Kelas: Dicotyledone, Ordo: Turbiflorae, Famili: Convolvulaceae,
Genus: Ipomoea dan Spesies: Ipomoea batatas L.
Mengingat kondisi dan iklim di Indonesia sangat mendukung, tanaman ubi
jalar sangat potensial untuk dikembangkan secara nasional. Ubi jalar dapat
tumbuh dengan baik pada iklim tropis dan akan menghasilkan hasil terbaik
apabila dibudidayakan pada lahan persawahan (Anonim, 2013). Ubi jalar dapat
dipanen berdasarkan umur tanaman. Idealnya ubi jalar dapat dipanen apabila
sudah berumur 3 bulan. Ciri ubi jalar yang sudah dapat dipanen apabila ubi-
ubinya sudah tua. Ciri fisik ubi jalar yang matang, yaitu kandungan tepungnya
sudah maksimum, ditandai dengan kadar serat yang rendah dan apabila dilakukan
perebusan akan menghasilkan rasa yang enak dan tidak berair (Prihatman, 2000).
Produksi ubi jalar terbesar di Indonesia berada di daerah Jawa Barat, Jawa
Timur, Jawa Tengah, Papua dan Sumatera. Namun hanya Papua yang baru
memanfaatkan ubi jalar sebagai makanan pokok pada saat ini (Iriyanti, 2012).
Tanaman ubi jalar lebih efektif sebagai penghasil karbohidrat dibandingkan
6
dengan ubi kayu. Ubi jalar mampu menghasilkan 48.000 kalori per hektar per
hari, sedangkan ubi kayu hanya 35.000 kalori per hektar per hari (Rahmawan,
2006).
Menurut Rahayu dkk. (2012) karbohidrat pada ubi jalar ungu mengandung
indeks glikemik yang rendah sehingga aman untuk dikonsumsi dan dapat
menurunkan kadar gula darah karena mengandung karbohidrat yang berfungsi
sebagai serat pangan. Serat pangan terdiri dari komponen yang larut (Solube
Dietary Fiber) dan komponen yang tidak dapat larut (Insolube Dietary Fiber).
Kandungan serat pangan pada ubi jalar ungu dapat dilihat pada Tabel 1.
Menurut Suiatna (2009) indeks glikemik (IG) adalah tingkatan pangan
berdasarkan pengaruh yang diberikan terhadap kadar gula darah. Pangan yang
dapat menaikkan gula darah dengan cepat maka menghasilkan IG tinggi, begitu
juga sebaliknya. Penentuan IG suatu pangan ditentukan oleh jenis dan cara
pengolahan pangannya. IG dikelompokkan menjadi 3 bagian, yaitu IG rendah
(<55), sedang (55-70) dan tinggi (>70).
Tabel 1. Kandungan serat pangan ubi jalar unguSerat Pangan (Dietary Fiber) Jumlah Solube Dietary Fiber (SD) (% bb) 3,18Insolube Dietary Fiber (IDF) (% bb) 1,46
Sumber : Hardoko dkk. (2010)
Kandungan utama pada ubi jalar ungu adalah pati yang terdiri dari 30-
40% amilosa dan 60-70% amilopektin. Selain itu ubi jalar ungu juga mengandung
kadar serat pangan yang tinggi yaitu 4,72% per 100 g (Nintami, 2012). Ubi jalar
ungu mengandung antosianin yang lebih tinggi daripada ubi jalar jenis lain
sehingga memiliki kulit dan daging umbi yang berwarna ungu pekat dan disebut
Ipomoea batatas (Kumalaningsih, 2006 dalam Kristiyani, 2012). Menurut Ginting
7
dkk. (2008) senyawa antosianin yang terdapat pada ubi jalar berfungsi sebagai
antioksidan dan penangkap radikal bebas, sehingga berperan dalam mencegah
terjadinya penuaan, kanker dan penyakit degeneratif seperti arterisklerosis.
Adapun kandungan gizi yang terdapat di dalam ubi jalar ungu dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Kandungan gizi ubi jalar ungu per 100 gKandungan gizi JumlahKalori (kal) 123,00Karbohidrat (g) 27,90Protein (g) 1,80Lemak (g) 0,70Kalsium (mg) 30,00Fosfor (mg) 49,00Zat besi (mg) 0,70Natrium (mg) 77,00Kalium (mg) 0,90Niacin (mg) 22,00Vitamin A (SI) 62,00Vitamin B (mg) 0,70Vitamin C (mg) 22,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Republik Indonesia (1991) dalam Iriyanti (2012)
2.2. Tepung Ubi Jalar Ungu
Tepung ubi jalar ungu merupakan salah satu produk setengah jadi yang
diperoleh dari pengolahan ubi jalar ungu. Pembuatan tepung ubi jalar dapat dibuat
secara langsung dari ubi jalar yang dihancurkan dan kemudian dikeringkan tetapi
dapat juga dibuat dari gaplek ubi jalar yang digiling (dihaluskan) kemudian
diayak atau disaring (Ambarsari dkk., 2009). Menurut Kristiyani (2012) tepung
ubi jalar ungu merupakan bahan pangan lokal yang memiliki kandungan
antosianin yang cukup tinggi. Menurut Hasbullah (2001) dalam Yosephine (2011)
di dalam 100 g ubi jalar ungu mengandung 110,51 mg antosianin. Antosianin
8
merupakan salah satu sumber antioksidan yang mampu menghalangi laju
perusakan sel radikal bebas akibat nikotin, polusi udara dan bahan kimia.
Tepung ubi jalar ungu mengandung karbohidrat yang tinggi namun rendah
protein. Tepung ubi jalar ungu mengandung protein sekitar 2,79% (Iryanti, 2012)
dibandingkan dengan kandungan protein terigu sekitar 9% per 100 g (Mahmud
dkk., 2009). Komposisi kimia yang terdapat dalam tepung ubi jalar ungu dan
tepung terigu dapat dilihat pada Tabel 3. Selain mengandung karbohidrat yang
tinggi, tanaman ubi jalar ungu banyak terdapat di Indonesia sehingga berpotensi
untuk menggantikan terigu. Pemanfaatan tepung ubi jalar ungu dalam pengolahan
pangan telah dilakukan oleh Hardoko dkk. (2010) melalui penelitian pembuatan
roti tawar. Penggunaan tepung ubi jalar ungu dalam pembuatan roti tawar tersebut
dilakukan sebagai substitusi parsial tepung terigu sekaligus meningkatkan
aktivitas antioksidan roti yang dihasilkan. Namun penggunaan tepung ubi jalar
hanya dapat dilakukan hingga 20%, hal itu dikarenakan apabila penggunaan
tepung ubi jalar ungu lebih akan menyebabkan penurunan karakteristik mutu roti
yang meliputi volume roti, keempukan dan kesukaan warna terhadap roti tawar.
Menurut Ambarsari dkk. (2009) keunikan dari tepung ubi jalar ini adalah
warna produk yang dihasilkan mengikuti warna daging umbi bahan bakunya.
Untuk mendapatkan hasil yang sesuai dengan bahan bakunya harus menggunakan
proses yang tepat. Menurut Kuncahyo (2013) keuntungan pembuatan tepung ubi
jalar ungu adalah memiliki daya simpan yang lebih lama dibandingkan dengan ubi
jalar segar, penggunaannya lebih luas dalam pengolahan pangan dan nilai gizi,
sebagai alternatif penyediaan bahan baku industri dengan harga stabil, dapat
menciptakan industri dan menambah pendapatan masyarakat.
9
Tabel 3. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu dan tepung teriguKomposisi kimia Tepung Ubi Jalar Ungu (*) Tepung Terigu (**)Air (%) 7,28 11,80Abu (%) 5,31 1,00Protein (%) 2,79 9,00Lemak (%) 0,81 1,00Karbohidrat (%) 83,91 77,20Serat (%) 4,72 0,30
Sumber : 1.Lies Suprapti (2003) dalam Iryanti (2012)** 2. Mahmud dkk. (2009)**
2.3. Tempe dan Tepung Tempe
Menurut Cahyadi (2009) tempe merupakan makanan yang diperoleh dari
proses fermentasi kapang golongan Rhizopus. Tempe merupakan sumber protein
nabati yang tinggi dan sangat digemari masyarakat karena proses pembuatannya
sederhana dan memiliki harga yang relatif murah. Menurut Widianarko (2000)
tempe merupakan makanan tradisional masyarakat Indonesia yang terbuat dari
kedelai melalui proses fermentasi. Tempe memiliki nilai gizi yang tinggi
dibandingkan dengan kedelai, karena tempe memiliki daya cerna yang lebih baik.
Tempe merupakan sumber protein nabati yang tidak kalah dengan protein
hewani. Dalam 100 g tempe mengandung energi sebanyak 201 kkal, karbohidrat
13,50 g, protein 20,80 g, lemak 8,80 g dan serat 1,40 g (Waluyani, 2013). Selama
proses fermentasi tempe menyebabkan terjadinya peningkatan asam amino,
sehingga apabila mengkonsumsi tempe dapat memenuhi sebagian besar
kebutuhan asam amino pada tubuh seperti triptofan, treonin, isoleusin, valin dan
histidin (Anonim, 2012).
Zat gizi pada tempe lebih mudah dicerna dan dimanfaatkan di dalam tubuh
sehingga baik diberikan pada makanan anak-anak penderita gizi buruk dan diare
kronis untuk meningkatkan pertumbuhan berat badan pada anak tersebut
10
(Anonim, 2013). Selain mengandung nutrisi yang tinggi tempe juga mengandung
antibiotika dan antioksidan yang berpotensi melawan radikal bebas penyebab
penuaan, penyakit degenaratif dan penyakit yang lainnya (Waluyani, 2013)
Tepung tempe merupakan tepung yang diperoleh dari hasil pengolahan
tempe. Tepung tempe memiliki kadar abu, protein, lemak dan serat kasar yang
lebih tinggi daripada tepung terigu (Susanti, 1995). Tepung tempe memiliki rasa
yang hambar dan tidak memiliki rasa kedelai akan tetapi masih mengandung
protein yang tinggi (Faizah, 2012). Pemanfaatan tepung tempe dalam pengolahan
beberapa produk makanan sudah banyak dilakukan sebagai bahan tambahan pada
produk makanan anak-anak, ibu hamil dan lanjut usia.
Penelitian pembuatan kukis dengan tepung tempe sudah dilakukan oleh
Susanti (1995). Penelitian tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi
penggunaan tepung tempe maka kadar abu, protein, lemak dan serat kasarnya
semakin tinggi namun kadar air dan karbohidratnya semakin rendah. Penggunaan
tepung tempe dalam pembuatan kukis tersebut hingga mencapai 25% masih dapat
diterima oleh panelis secara organoleptik. Tepung tempe diperoleh melalui proses
pemotongan tempe segar, blanching, pengeringan, penggilingan dan pengayakan.
Adapun tujuan dari blanching terhadap tempe adalah untuk mematikan
kapang Rhizopus sehingga vitamin B12, B2 dan B6 tidak larut. Tempe yang sudah
diolah menjadi tepung tempe akan memiliki kandungan zat gizi yang berbeda.
Kandungan gizi tempe dan tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 4.
11
Tabel 4. Kandungan zat gizi tempe dan tepung tempe per 100 gKandungan gizi Tempe Tepung tempe (*)Energi (kkal) 201,00 149,00Karbohidrat (g) 13,50 28,00Air (g) 55,30 4,00Abu (g) 1,60 3,00Protein (g) 20,80 46,10Lemak (g) 8,80 26,00Serat kasar (g) 1,40 2,80Kalsium (mg) 155,00 149,00**Zat besi (mg) 4,00 10,00Fosfor (mg) 326,00 340,80**Vitamin B1 (mg) 0,19 0,10
Sumber : 1. Mahmud dkk. (2009) 2. Marulitua (2013)* 3. Pertiwi (2012)**
2.4. Tepung Udang Rebon
Udang merupakan salah satu sumber protein yang cukup tinggi. Salah satu
jenis udang yang mudah ditemui di pasaran dan masih memiliki harga yang
terjangkau yaitu udang rebon. Udang rebon adalah salah satu Famili Penaeidae.
Udang rebon memiliki kulit agak keras namun tidak kaku. Biasanya udang rebon
digunakan sebagai bahan pembuatan terasi (Anonim, 2013). Menurut Wau dkk.
(2010) udang rebon (Acetes erythraeus) merupakan jenis udang yang bertekstur
lembut dan disukai hampir seluruh masyarakat.
Udang rebon merupakan sumber protein hewani yang sangat baik. Dalam
100 g udang rebon segar mengandung protein sebesar 16,20 g. Kandungan ini
hampir sama dengan kandungan protein pada udang segar sehingga disarankan
pada anak-anak yang sedang dalam masa pertumbuhan agar banyak mengonsumsi
udang, termasuk rebon (Astawan, 2009). Protein merupakan salah satu zat gizi
yang sangat diperlukan dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tubuh.
Protein berperan penting dalam pembentukan sel-sel dan jaringan baru tubuh,
12
memelihara pertumbuhan jaringan tubuh dan untuk perbaikan jaringan yang rusak
(Winarno, 2004). Selain mengandung protein udang rebon juga kaya akan kalsium
yaitu sebanyak 757 mg per 100 g (Setiyorini, 2013).
Menurut Astawan (2009) udang rebon tidak hanya kaya akan kalsium juga
kaya akan fosfor. Terjadinya osteoporosis tidak hanya disebabkan karena
kurangnya kalsium tetapi dengan konsumsi kalsium dan fosfor yang seimbang
dapat mencegah osteoporosis. Pada umumnya pemanfaatan udang rebon
digunakan sebagai bahan pembuatan terasi dan pakan ternak (Wau dkk., 2010).
Pengolahan udang rebon menjadi tepung udang rebon sangat mudah dilakukan
melalui proses pengeringan dan penggilingan. Adapun komposisi zat gizi yang
terdapat dalam udang rebon dan tepung udang rebon dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi zat gizi udang rebon segar dan tepung udang rebon dalam 100 g
Komposisi zat gizi Udang rebon segar (*) Tepung udang rebon (**)Energi (kkal) 81,00 299,00Karbohidrat (g) 0,70 3,20Air (g) 79,00 21,60Protein (g) 16,20 59,40Lemak (g) 1,20 3,60Kalsium (mg) 757,00 2306,00Zat besi (mg) 2,20 21,40Fosfor (mg) 292,00 265,00
Sumber : 1. Mahmud dkk. (2009)* 2. Astawan (2009)**
2.5. Minyak Sawit Merah
Menurut Rismawati (2009) minyak sawit merah adalah minyak sawit yang
diperoleh tanpa melalu proses pemucatan (bleaching) dengan tujuan
mempertahankan karotenoidnya. Sementara menurut Wardi (2008) minyak sawit
merah merupakan minyak yang kaya akan vitamin A dan vitamin E. Menurut
13
Julita dan Damayanti (2002) minyak sawit merah merupakan sumber vitamin A
yang dapat digunakan sebagai penanggulangan masalah kekurangan vitamin A,
penyediaan zat warna alami (orange kemerahan) dan sebagai bahan “healthy
food” sangat bermanfaaat terhadap kesehatan masyarakat.
Minyak sawit merah mengandung banyak karotenoid dalam bentuk α dan
β-karoten, selain itu minyak sawit merah juga mengandung 800 mg/Kg vitamin E
dalam bentuk tokoferol dan tokotrienol (Razak, 2007). Vitamin A yang terdapat
pada minyak sawit merah 15 kali lebih banyak dibandingkan dengan vitamin A
pada wortel dan 300 kali lebih banyak dari vitamin A pada tomat (Nugroho,
2013).
Penelitian yang berhubungan dengan analisis kadar beta karoten sudah
dilakukan oleh Hayadi dan Yusianti (2001). Dengan suhu pemanggangan yang
bervariasi dan lama waktu pemanggangan dapat menyebabkan hilangnya
kandungan karoten pada roti manis. Suhu 325°F selama 15 menit, suhu 350°F
selama 12 menit, suhu 375°F selama 9 menit. Pada suhu 325°F selama 15 menit
dan subtitusi 20% tepung ubi jalar dan 50% minyak sawit merah, roti manis
mengalami kehilangan karoten yang lebih sedikit yaitu sekitar 56,05%. Semakin
meningkatnya suhu yang digunakan maka hilangnya karoten cenderung lebih
besar.
Vitamin A adalah nutrisi penting yang dibutuhkan dalam jumlah kecil
untuk fungsi normal dari sistem penglihatan, pemeliharaan fungsi sel
pertumbuhan, memproduksi kekebalan sel darah merah dan reproduksi (Anonim,
2012). Penambahan minyak sawit merah dalam pembuatan menu makanan anak-
anak merupakan suatu alternatif untuk mencukupi kebutuhan vitamin A (Julita
14
dan Damayanti, 2002). Rata-rata, kebutuhan vitamin A setiap harinya pada anak-
anak yang berusia 1-3 tahun sebanyak 300 µg, sedangkan usia 4-8 tahun
membutuhkan 400 µg dan usia 9-13 tahun umumnya akan membutuhkan 600 µg
(Bunie, 2012).
Vitamin A merupakan vitamin yang cepat rusak apabila dipanaskan
dengan adanya oksigen dan suhu yang tinggi sehingga penggunaan minyak sawit
merah dalam proses penggorengan dengan suhu tinggi tidak dianjurkan karena
karotenoid pada minyak sawit merah akan hilang pada pemanasan tinggi (Razak,
2007). Minyak sawit merah lebih dianjurkan digunakan sebagai minyak makan
dalam menumis sayur, minyak salad, shortening dan bahan fortifikan (Puspitasari,
2008).
Minyak sawit merah digunakan sebagai shortening dalam pembuatan
kukis berfungsi mempengaruhi aroma, rasa dan warna pada kukis. Semakin tinggi
subtitusi minyak sawit merah yang digunakan pada pembuatan kukis maka warna
kukis yang dihasilkan lebih baik, aroma yang harum serta rasa yang enak pada
kukis (Julita dan Damayanti, 2002). Pembuatan biskuit dengan menggunakan
minyak sawit merah sudah dilakukan oleh Najamuddin dkk. (2012). Penambahan
minyak sawit merah hingga 25% menjadi biskuit terpilih baik dari segi
penerimaan panelis maupun dari segi kandungan β-karotennya. Biskuit dengan
penggunaan minyak sawit merah 25% memiliki kandungan β-karoten yang cukup
tinggi (406,66 ppm) hal ini disebabkan karena proses pemanggangan dilakukan
tidak terlalu lama yaitu pada suhu 120ºC selama ± 15 menit dan dari segi
organoleptiknya dapat diterima panelis.
15
2.6. Kukis
Kue kering (kukis) merupakan salah satu jenis makanan kecil yang
sangat digemari masyarakat di perkotaan maupun di pedesaan, karena dapat
dijadikan sebagai penganan minum teh pada sore hari. Bentuk dan rasa kue kering
sangat beragam tergantung pada bahan tambahan yang digunakan (Suarni, 2004).
Kukis adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan lunak, berkadar lemak tinggi,
relatif renyah dan bila dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat
(Saputra, 2008). Menurut Suhardjito (2006) kukis atau kue kering adalah kue
manis yang berukuran kecil-kecil. Kukis atau kue kering dapat digolongkan
menjadi dua yaitu jenis adonan misalnya kue kering manis dan jenis busa
misalnya sponge dan cake (Anonim, 2012).
Tahapan pembuatan kue kering meliputi pembentukan krim,
pembentukan adonan, pencetakan, pemanggangan, pendinginan dan pengemasan.
Pada tahap pembakaran, suhu yang digunakan untuk pembakaran bergantung pada
jenis kue kering yang dibuat. Umumnya pembakaran dilakukan pada suhu kurang
lebih 170ºC selama 15-20 menit (Suarni, 2009). Sementara menurut Sultan (1983)
dalam Saputra (2008) pemanggangan kukis dapat dilakukan pada suhu 220ºC
selama 12-15 menit.
Suhu pemanggangan mempengaruhi karakteristik dari suatu produk
kukis, semakin tinggi suhu pemanggangan kukis yang digunakan maka kukis
yang dihasilkan memiliki bentuk yang lebih kecil karena crust cepat terbentuk,
warna crust menjadi gelap dan bagian tengah tidak mengalami pemanggangan
yang merata. Sementara suhu yang rendah memerlukan waktu yang lama untuk
16
mendapatkan warna crust yang diinginkan dan crust menjadi tebal (Anonim,
2013).
Ketika akan melakukan pembakaran terhadap adonan yang sudah
dicetak, oven yang digunakan tidak boleh terlalu panas pada saat kue dimasukkan
sebab bagian luar kue akan terlalu cepat matang sehingga menghambat
pengembangan, dan mengakibatkan permukaan kukis pecah-pecah.
Bahan-bahan yang umumnya digunakan dalam pembuatan kukis
dibedakan menjadi dua bagian, yaitu terdiri bahan pengikat seperti tepung, air,
telur, sementara bahan pelembut seperti gula, shortening atau margarin, bahan
pengembang (soda kue dan baking powder). Bahan yang berperan penting dalam
membentuk sifat-sifat kue kering khususnya sifat fisik dan cita rasa antara lain
tepung, telur dan bahan pengembang (Anonim, 2012).
Penggunaan tepung dalam adonan berfungsi untuk membentuk tekstur,
mengikat bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata serta
membentuk cita rasa. Shortening atau margarin berperan untuk memberi nilai gizi,
kelembutan, rasa enak dan berpengaruh juga pada tekstur (Sultan, 1969 dalam
Indriyani, 2007). Telur berfungsi membentuk warna, aroma, kelembutan,
membentuk struktur dan kekokohan, berfungsi sebagai emulsifier alami.
Penggunaan gula dalam formulasi kukis tidak hanya berfungsi sebagai pemanis
tetapi juga membentuk tekstur, pemberi warna dan kontrol pengembang adonan.
Gula yang digunakan biasanya dalam bentuk gula pasir, gula halus atau tepung
gula. Penggunaan gula halus akan memberikan hasil yang lebih baik karena tidak
menyebabkan pelebaran kue yang terlalu besar (Anonim, 2012).
17
Garam berfungsi sebagai penguat rasa, memperkuat struktur kukis,
secara tidak langsung membantu pembentukan warna, mencegah pertumbuhan
bakteri yang tidak diinginkan dalam adonan. Garam yang ditambahkan dalam
formulasi kukis adalah ± 1% (Affandi, 2007). Penggunaan bahan pengembang
berfungsi untuk mengembangkan produk dengan menghasilkan gas
karbondioksida. Sumber gas tersebut umumnya adalah natrium bikarbonat, yang
populer digunakan karena harganya murah dan toksisitasnya sangat rendah
(Anonim, 2012).
Kukis yang dihasilkan harus memenuhi syarat mutu yang ditetapkan agar
aman untuk dikonsumsi. Syarat mutu kukis yang digunakan merupakan syarat
mutu yang berlaku secara umum di Indonesia berdasarkan Standar Nasional
Indonesia pada Tabel 6.
Secara umum ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi mutu kukis,
diantaranya :
1) Air
Menurut Legowo (2004) air merupakan komponen penting pada bahan
pangan yang mempengaruhi acceptability, kenampakan, kesegaran, tekstur dan
cita rasa pangan. Kadar air merupakan banyaknya air yang terdapat di dalam
bahan pangan dinyatakan dalam persen. Banyaknya air pada bahan pangan juga
dapat mempengaruhi masa simpannya. Air di dalam bahan makanan terbagi
menjadi beberapa bentuk, yaitu : (a) air bebas yang terdapat di ruang-ruang antar
sel dan inter-granular dan pori-pori yang terdapat pada bahan pangan, (b) air
terikat secara lemah karena terserap (teradsorbsi) pada permukaan koloid
18
makromolekuler dan (c) air dalam keadaan terikat kuat yaitu membentuk hidrat
(Sudarmadji dkk., 2007).
2) Abu
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kadar abu sangat erat kaitannya dengan kandungan mineral bahan tersebut
(Legowo, 2004). Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada jenis bahan
dan cara pengabuannya (Sudarmadji dkk., 2007). Kadar abu dalam suatu bahan
menunjukkan kandungan mineral, kemurnian dan kebersihan suatu bahan yang
dihasilkan. Abu di dalam bahan pangan dibedakan menjadi beberapa bagian yaitu
abu total, abu terlarut dan abu tidak terlarut. Kadar abu total adalah bagian dari
analisis proksimat yang digunakan untuk mengevaluasi nilai gizi suatu bahan
pangan (Andarwulan dkk., 2011).
3) Protein
Protein merupakan senyawa reaktif yang tersusun dari beberapa asam-
asam amino, mempunyai gugus reaktif yang dapat berikatan dengan komponen
lain. Secara umum pengolahan bahan pangan berprotein dapat dilakukan secara
fisik biasanya dilakukan dengan penghancuran atau pemanasan, secara kimia
dengan penggunaan pelarut organik, pengoksidasi, alkali, asam atau belerang
dioksida dan secara biologis dengan hidrolisa enzimatis atau fermentasi (Palupi
dkk., 2007). Protein merupakan zat yang penting bagi tubuh karena berfungsi
sebagai zat pembangun, zat pengatur dan sumber energi. Protein tersusun dari
asam-asam amino dengan unsur-unsur utama C, O, H dan N (Legowo, 2004).
Protein yang diperlukan organisme dapat diklasifikasikan menjadi dua
golongan utama, yaitu protein sederhana merupakan protein yang apabila
19
terhidrolisis hanya menghasilkan asam amino dan protein terkonjugasi merupakan
protein yang dalam hidrolisis tidak hanya menghasilkan asam amino, tetapi juga
menghasilkan komponen organik ataupun komponen anorganik, yang disebut
"gugus prosthetic" (Sumarno, 2002). Menurut Andarwulan dkk. (2011) protein
memiliki sifat fungsional yang berperan penting dalam membentuk karakteristik
pangan, seperti pengemulsi, pengikat air, pembentuk gel/tekstur dan kekentalan.
Tabel 6. Syarat mutu kukis berdasarkan Standar Nasional IndonesiaKriteria Uji Satuan Klasifikasi
Keadaan - Bau- Rasa - Warna - Tekstur
AirProtein Abu
Bahan tambahan makanan- Pewarna
- Pemanis
Cemaran logam- Tembaga (Cu)- Timbal (Pb)- Seng (Zn)- Raksa (Hg)- Arsen (Ar)
Cemaran lempeng total- Angka lempeng total- Coliform- E. coli - Kapang
%
%%
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
koloni/gAPM/gAPM/g
Koloni/g
NormalNormal Normal Normal
Maks. 5Min. 6Maks. 2
Sesuai SNI 0222-MNo. 772/Menkes/Per/IX/88Tidak boleh ada
Maks. 10,0Maks. 1,0Maks. 40,0Maks. 0,05Maks. 0,5
Maks. 1,0 x 104
Maks. 20Maks. 3Maks. 1.0 x 104
Sumber : SNI 01 – 2973 – 1992
20
Menurut Winarno (2004) penentuan mutu suatu bahan pangan secara
umum dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu warna, aroma, rasa dan tekstur yang
terdapat pada bahan pangan tersebut. Sama halnya dengan penilaian organoleptik
terhadap kukis dipengaruhi oleh :
1. Warna : salah satu faktor utama yang dapat digunakan sebagai penentu mutu
suatu bahan pangan, sebagai indikator kesegaran atau kematangan bahan. Baik
tidaknya cara pengolahan atau cara pencampuran dilihat dari warna yang
seragam.
2. Aroma : salah satu penentu kelezatan suatu bahan makanan. Aroma dapat
dikenali apabila berbentuk uap dan molekul-molekul komponen aroma tersebut
harus mampu menyentuh indera penciuman.
3. Rasa : rasa berbeda dengan aroma, rasa cenderung melibatkan panca indera
lidah. Rasa dapat timbul apabila terjadi rangsangan kimiawi yang dapat
diterima lidah atau indera pencicipan.
4. Tekstur : tekstur memiliki pengaruh terhadap penilaian suatu bahan pangan
seperti keempukan, kekerasan dan kelembutan. Tekstur juga merupakan
sensasi tekanan yang dapat diamati melalui mulut (waktu digigit, dikunyah dan
ditelan) dan dapat diamati dengan menggunakan jari.
Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi warna, aroma, rasa dan
tekstur pada kukis adalah bahan dasar yang digunakan, suhu pemanggangan, lama
pemanggangan, reaksi kimia yang terjadi selama pemanggangan yaitu reaksi
browning dan reaksi maillard.